kebudayaan jawa
TRANSCRIPT
1
Dalam artikel ini, sang penulis, Kodiran menggunakan paradigma
positivistik dalam menyusun kerangka berpikirnya. Penggunaan paradigma
positivistik tersebut terindikasi dengan adanya regularity (keajegan) yang banyak
muncul di artikel ini semisal perihal yang menyangkut sistem kekerabatan, sistem
pertanian masyarakat Jawa yang sudah duturunkan dari generasi ke generasi dan
menjadi suatu tradisi terpola yang relatif sulit berubah. Penulis menggunakan
metode penulisan induktif (dari khusus ke umum), karena nampaknya penulis
mengawali artikel ini dengan fakta-fakta pada masyarakat Jawa (bersifat khusus)
yang terimplementasi dalam tujuh sub bab yaitu identifikasi, angka-angka dan
fakta demografis, bentuk desa, mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan,
sistem kemasyarakatan dan religi. Rangakaian tersebut diakhiri dengan bab
delapan yang membahas tentang beberapa kesimpulan faktor penghambat
kemajuan masyarakat Jawa itu sendiri dalam era pembangunan (bersifat umum).
Penulis berusaha untuk mendeskripsikan kehidupan masyarakat suku Jawa
yang begitu luas dan sangat kompleks hanya dalam 23 halaman saja. Penulis
memulai dengan memberikan identifikasi tentang kebudayaan Jawa itu sendiri.
Jawa sebelum adanya pembagian daerah administratif seperti sekarang ini
1 Merujuk pada artikel karya Kodiran dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Koentjaraningrat ed:329)
By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos.KEBUDAYAAN JAWA
2
hanyalah terbagi dalam dua wilayah saja yaitu Pesisir dan Ujung Timur. Pada
tahun 1755 kebudayaan Jawa berpusat di daeran Yogyakarta dan Surakarta.
Karena mencakup wilayah yang sangat luas, maka banyak variasi dalam
kebudayaan Jawa sesuai letak geografisnya. Variasi tersebut tercermin dalam
perbedaan istilah teknis, dialek bahasa, bentuk arsitektur bangunan dsb. Ditinjau
dari segi bahasa saja, kebudayaan Jawa mempunyai strata-strata tersendiri dalam
bahasa kesehariannya dan mempunyai aturan kepada siapa bahasa tersebut boleh
digunakan semisal bahasa ngoko dipakai untuk bebicara dengan orang yang sudah
akrab atau usianya leih muda, ngoko sendiri dibagi menjadi dua yaitu ngoko
andap dan ngoko lugu. Bahasa Krama digunakan untuk orang yang belum kenal
akrab atau untuk orang yang lebih tua.
Pada bagian kedua, penulis mengungkap angka-angka dan fakta
demografis yang menyebutkan bahwa pada tahun 1930 penduduk Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Pulau Madura sebanyak 30.321.000 dengan kepadatan penduduk
rata-rata 402 per km², sedangkan pada tahun 1961, penduduk di ketiga daerah
tersebut adalah 42.471.000 dengan kepadatan penduduk rata-rata 567 per km².
Pada bagian ketiga, penulis mendeskripsikan bentuk desa sebagai tempat
kediaman asli masyarakat Jawa adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus
menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara administratif
desa langsung berada di bawah kekuasaan pemerintahan kecamatan dan terdiri
dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap dukuh dikepalai kepala dukuh. Rumah-rumah desa
biasanya dibatasi oleh pagar tanaman atau pagar bambu saja. sebuah dukuh dan
dukuh lainnya dihubungkan oleh jalan-jalan desa yang lebarnya sering tidak lebih
3
dari dua meter. Pusat pemerintahan desa ada di balai desa, dimana dijadikan
sebagai tempat administrasi pemerintahan desa dan untuk menampung kegiatan-
kegiatan masyarakat.
Lebih spesifik lagi, penulis menjelaskan tentang perbedaan arsitektur
rumah-rumah di Jawa. Secara garis besar arsitektur rumah Jawa dibedakan
menurut bentuk atapnya, ada yang dinamakan rumah limasan, rumah serotong,
rumah joglo, rumah penggangepe, rumah daragepak, rumah macan njerum,
rumah klabang nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang dan rumah sinom.
Dari beberapa gaya arsitektur tersebut, limasan, serotong dan joglo adalah bentuk
yang paling sering ditemui.
Pada bagian empat penulis menjelaskan mengenai mata pencaharian hidup
masyarakat Jawa. Selain sumber penghidupan yang berasal dari pekerjaan-
pekerjaan kepegawaian, pertukangan dan perdagangan, bertani adalah juga
merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat
Jawa, terutama mereka yang hidup di pegunungan atau perbukitan. Tanaman yang
banyak mereka tanam adalah padi, ketela pohon, jagung, ketela rambat, kedelai,
kacang tanah, kacang tunggak dsb.
Pada bagian kelima, penulis menguraikan sistem kekerabatan masyarakat
Jawa yang berdasarkan prinsip Bilateral. Sedangkan sistem istilah kekerabatannya
menunjukkan sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Terdapat beberapa
aturan tentang perkawinan yang berhubungan dengan kekerabatan, yaitu larangan
menikah bagi dua orang yang masih saudara sekandung, apabila mereka sepupu
(apabila pihak laki-laki lebih muda dari pihak perempuan menurut garis ibunya).
4
Pada bagian keenam penulis sistem kemasyarakatan masyarakat Jawa yang
ternyata masih ada pembedaan antara golongan priyayi yang terdiri dari pegawai
negeri dan kaum terpelajar dan golongan kedua yang disebut dengan wong cilik
seperti petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya. Namun ada lagi
satu penggolongan berdasarkan agama, yaitu golongan santri dan golongan agama
kejawen. Golongan pertama merujuk pada orang-orang beragama Islam yang taat
dalam menjalankan perintah agamanya. Golongan kedua adalah golongan yang
terdiri dari orang-orang yang percaya pada agama Islam, namun mereka kurang
patuh dalam mejalankan perintah agama Islam dan mencampurkannya dengan
kepercayaan jawa kuno.
Pada bagian ketujuh, penulis menjelaskan mengenai religi masyarakat
Jawa. Keterangan mengenai dua golongan, yaitu santri dan golongan agama
kejawen sudah ada di bagian keenam, namun kita coba lihat kembali mengenai
kepercayaan asli masyarakat Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa percaya bahwa
hidup manusia telah diatur dalam alam semesta sehingga tidak sedikit dari mereka
yang bersikap nerima, yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Inti pandangan alam
pikiran mereka tentang kosmos tersebut, baik diri sendiri, kehidupan sendiri
maupun pikiran sendiri, telah tercakup di dalam totalitas alam semesta atas
kosmos tadi. Itu sebabnya manusia hidup tidak terlepas dengan lain-lainnya yang
ada dalam jagad raya. Jadi apabila lain hal yang ada itu mengalami kesukaran,
maka manusia akan menderita juga.
Pada bagian terakhir atau bagian kedelapan, penulis mencoba
mengidentifikasi masalah pembangunan dan modernisasi. Suatu kelemahan dari
5
mentalitas rakyat pedesaan Jawa, yang merupakan penghambat besar dalam
pembangunan adalah sikapnya yang pasif terhadap hidup. Tekanan jumlah
penduduk yang sudah mulai naik dengan laju sangat cepat sejak satu abad yang
lalu merupakan salah satu penghambat pembangunan. Dengan tanah yang
terpecah-pecah kecil kemudian masih harus dipecah lagi dengan sistem bagi hasil,
maka sukar bagi sseorang untuk menghasilkan surplus yang sulit ditanam lagi
untuk modal pembangunan. Tiap-tiap produksi seolah-olah hilang dalam sekejap
mata. Pada akhir tulisannya, penulis menekankan pentingnya perubahan pada
mentalitas masyarakay Jawa dan diperlukannya pemimpin yang kreatif untuk
memimpin masyarakat.
Bentuk penjelasan dari artikel ini adalah induktif, karena dari deskripsi
tentang masyarakat Jawa dapat diambil beberapa masalah bagi pembangunan
masyarakat Jawa.