kompilasi laporan field trip semarang_edited.pdf
TRANSCRIPT
1
INISIATIF PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK SECARA DAMAI DI JAWA TENGAH
LAPORAN FIELD TRIP
“Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam”
Kunjungan dan Dialog dengan Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang dan Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik), Salatiga
Kamis, 1 Oktober 2015
Tim Penulis:
Andre Ferdianto (PP. Pancasila Salatiga) Eva Roviana (PP. Al-Muntaha Salatiga)
Ika Mayasari (PP. Luhur Wahid Hasyim Semarang)
Muhammad Najmuddin (PP. Raudlotu Thalibin Batang) Muhammad Satrio Dwi Putranto (PP. Raudlotu Thalibin Semarang)
Editor:
Junaidi Simun
Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human
Rights and Peaceful Conflict Resolution
2
A. Pendahuluan
Field trip atau kunjungan ke Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Kampoeng
Persemaian Cinta Kemanusiaan atau umum dikenal sebagai Percik merupakan bagian
dari kegiatan Training dan Field Trip “Pendidikan Perdamaian di Pesantren
Berperspektif HAM dan Islam” yang diselenggarakan 29 September – 2 Oktober 2015, di
Semarang, Jawa Tengah. Field trip dilaksanakan pada 1 Oktober 2015, dengan tujuan
meningkatkan pengetahuan peserta training tentang best practices bina damai dan
penanganan konflik yang terjadi di Jawa Tengah dan memberikan pengalaman kepada
peserta training tentang upaya yang dapat dilakukan dalam rangka bina damai dan
penanganan konflik.
Alasan memilih Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Kampoeng Percik sebagai
tujuan field trip tidak lain adalah bahwa kedua lembaga ini merupakan lembaga yang
terlibat secara aktif dalam kajian, promosi dan advokasi kasus-kasus konflik yang
terjadi, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun yang diulas dalam laporan
ini hanya keterlibatan Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Percik dalam inisiatif
perdamaian dan penyelesaian konflik secara damai di Jawa Tengah.
Laporan field trip ini merupakan kompilasi dari lima laporan yang ditulis oleh
lima orang peserta terbaik alumni training dalam kurun waktu satu minggu. Selain
pendahuluan laporan ini juga akan membahas inisiatif perdamaian yang dilakukan
Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Percik, pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus-
kasus yang ditangani, upaya penyelesaian konflik secara damai, dan rekomendasi.
1. Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro1
Pondok Pesantren Edi Mancoro berasal dari dua kata, yaitu “Edi” dan “Mancoro”.
Edi artinya bagus, dan Mancoro yang berarti bersinar. Bila digabung, artinya akan
menjadi “sebuah pesantren yang diharapkan menjadi sebuah sinar yang bagus dan
memancar ke seluruh penjuru dunia.”
Semula tepatnya pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, Pesantren Edi
Mancoro hanya sebuah tempat untuk pendidikan dan latihan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Desaku Maju. Adalah KH. Mahfud Ridwan, Lc. yang memulai awal
pendirian dan mengasuh pesantren yang berdiri pada 25 Desember 1989 ini. Selain KH.
Mahfud Ridwan sendiri pesantren yang tergabung dalam Yayasan Desaku Maju
dimotori oleh para aktivis 1980-an, di antaranya KH. Mahfudz Ridwan Lc, KH.
Muhammad HM Sholeh BA, Matori Abdul Jalil, dan Zainal Arifin BA. Pada 2013,
1 https://ppedimancoro.wordpress.com (Diakses 7 Oktober 2015).
3
pengelolaan pesantren menginduk kepada Yayasan Edi Mancoro yang telah terdaftar di
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Pesantren ini terletak di Dusun Bandungan, Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang,
Kabupaten Semarang dan menempati tanah seluas 3.000 m2. Saat diresmikan,
pesantren ini memilki enam bangunan yang dikelilingi ribuan pohon salak pondoh yang
rimbun. Karena sering ada program pelatihan yang digelar Yayasan Desaku Maju pada
kurun 1979-1984, pada 1987-1988 dibangunlah pondok, sebagai tempat pendidikan
dan pelatihan. Kalau tidak ada kegiatan, para santri belajar mengaji di sana. Awalnya
hanya 10 orang. Tetapi setelah itu jumlahnya terus bertambah, sehingga lama-kelamaan
berkembang seperti sekarang.2
Awalnya, menurut KH Mahfudz Ridwan, santri yang diterima adalah lulusan S-1
dan pasca-lulus pesantren, asal lulus tes masuk. “Tidak harus beragama Islam. Pemeluk
agama Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Konghuchu, pun diperbolehkan. Jadi, seperti
fakultas perbandingan agama. Pengajarnya dari luar, semacam dosen terbang, dan
sebagian alumnus. Mereka juga memiliki latar belakang agama yang berbeda. Barangkali
lebih tepat dikatakan sebagai pesantren pluralis,” jelas KH Mahfudz yang juga adalah
alumnus Baghdad University (Irak) sekelas dengan KH Musthofa Bisri dan KH
Abdurrahman Wahid.
Di Pondok Pesantren Edi Mancoro ini tak hanya diajarkan mengenai agama Islam,
pelajaran agama lain juga diajarkan. Pluralitas agama dijunjung tinggi, membekali santri
sebagai pendamping masyarakat.
Adapun wilayah kerja pesantren, awalnya terfokus pada dimensi religius yang
bersifat normatif dan ekslusif daripada dimensi kemasyarakatan yang bersifat praktis,
humanis, dan inklusif. Namun seiring berjalannya waktu yang menuntut dinamika
masyarakat yang cepat dan beragam, selanjutnya pesantren ini pun hadir sebagai
institusi yang responsif, proaktif, serta akomodatif.
Di samping dimensi keagamaan, keberadaan Pondok Pesantren ini juga berusaha
melakukan upaya yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan yang kompleks
dan pemberdayaannya. Semua itu dilakukan demi terbentuknya masyarakat yang
madani, yakni masyarakat yang lebih mengutamakan keadilan, kebersamaan, dan
menafikan sekat-sekat penghalang atas dasar agama, ras, suku, golongan, serta etnis
yang selama ini ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Visi dan misi pesantren, meliputi: membentuk santri yang berwawasan
keagamaan secara mendalam dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural. Pesantren
2 Ibid.
4
yang jaraknya dekat dengan Rawa Pening ini bersifat non profit, independen, dan
mandiri dalam menentukan kebijakan dan garis perjuangannya.
Pondok Pesantren Edi Mancoro mempunyai beberapa program, di antaranya
adalah:
a. Melakukan kajian dan studi ke-Islaman secara intensif dan berkesinambungan
baik dalam prespektif tekstual yang bersifat normatif maupun dalam prespektif
kontekstual ke-Indonesiaan.
b. Menyelenggarakan diskusi-diskusi ilmiah, dialog keagamaan, dialog
kemasyarakatan lintas SARA bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia yang
plural.
c. Melakukan sosialisasi sekaligus pribuminisasi atas hasil kajian-kajian di atas bagi
komunitas masyarakat pada umumnya.
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat), kursus kilat bagi aktifitas
pesantren dan kemasyarakatan dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
e. Membentuk jaringan kerja sama antar pesantren, institusi kemasyarakatan,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi sosial kemasyarakatan dan
seluruh komunitas strategis di masyarakat.
2. Profil Kampoeng Percik3
Seperti dikutip dalam websitenya, Percik adalah singkatan dari “Persemaian
Cinta Kemanusiaan”. Percik merupakan lembaga independen yang diperuntukkan bagi
penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tahun
1996, yakni 1 Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari
sejumlah peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis LSM yang bergerak di bidang
bantuan hukum serta pengorganisasian masyarakat.
Para pendiri ini merupakan sebagian dari staf akademik sebuah universitas di
Salatiga yang terpaksa keluar dari universitas tersebut karena menolak beberapa
kebijakan dari pengurus yayasan dan pimpinan universitas yang dinilai tidak
demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan tidak menjunjung tinggi
kebebasan akademis serta otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan
wadah baru untuk mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang
demokrastis dan berkeadilan sosial.
Percik sebagai lembaga independen memiliki visi sebagai berikut:
a. Mendukung penciptaan masyarakat sipil, melalui pemberdayaan lembaga-
lembaga demokrasi dan pengembangan nilai-nilai demokrasi;
3 http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=32 (Diakses 7 Oktober 2015).
5
b. Mendorong masyarakat pada penyadaran akan dasar-dasar kehidupan
masyarakat plural dan toleransi dalam seluruh kehidupan sosial;
c. Memberikan perhatian pada dasar-dasar masyarakat sipil, HAM khususnya bagi
orang-orang yang telah dilemahkan dan dipinggirkan dari pelayanan pemerintah
dan sistem hukum.4
Visi tersebut dalam kurun waktu yang lebih pendek khususnya mengacu kepada
tuntutan perkembangan yang ada dalam masyarakat saat ini, mendorong Percik untuk
mengutamakan segi-segi berikut:
a. Peningkatan kinerja pemerintah lokal menuju kearah pemerintahan lokal yang
sehat dan baik.
b. Meningkatkan kesadaran politik masyarakat ke arah perwujudan prinsip-prinsip
bernegara dan bermasyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi penegakan
hukum dan menghormati HAM.
c. Memperkuat civil society yang berbasis pada nilai-nilai pluralisme dan toleransi.5
Kelahiran Percik juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan yang semakin luas
dalam masyarakat Indonesia tentang perlunya proses demokratisasi dilaksanakan
dengan segera di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tuntutan
tersebut muncul sebagai bagian dari keprihatinan yang meluas di masyarakat terhadap
sistem politik yang semakin sentralistik, hegemonik, opresif, dan tidak toleran. Sistem
politik yang tidak sehat tersebut berakibat pada rendahnya kesadaran dan partisipasi
politik rakyat, tiadanya ruang publik yang memungkinkan terjadinya pertukaran
wacana publik secara bebas, tidak berkembangnya lembaga-lembaga demokrasi,
lemahnya penegakan hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), serta birokrasi
pemerintahan yang korup. Di lain pihak perkembangan masyarakat menunjukkan
kecederungan ke arah masyarakat plural yang tersekat-sekat yang di dalamnya
mengandung potensi konflik horisontal yang besar. Kondisi politik yang tidak sehat
tersebut melanda kehidupan politik baik pada aras nasional, maupun pada aras lokal.
Keterlibatan panjang staf Percik dalam berbagai penelitian dan studi pada aras
lokal yang dimiliki secara individual oleh staf Percik dilandasi pula oleh keyakinan
bahwa bagi masa depan Indonesia arena politik pada aras lokal justru semakin penting
dan menentukan, maka lahirnya Percik merupakan perwujudan dari keinginan untuk
ikut menggulirkan proses demokratisasi politik pada aras lokal.6
4 http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=39 5 http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=32 (Diakses 7 Oktober 2015). 6 Ibid.
6
Kampoeng percik teletak di Dusun Dukuh Turusan, Salatiga. Percik ini
merupakan LSM yang didirikan untuk pluralitas agama yang ada di Indonesia.
Tiga pilar kegiatan Percik yaitu studi, refleksi, dan advokasi atau bantuan hukum.
Peran Percik sendiri adalah tidak lebih sebagai mediator dan bukan sebagai hakim
penyelesaian konflik yang ada. Percik juga berupaya dalam pencegahan terjadinya
konflik, yaitu dengan menebarkan isu-isu perdamaian, pemahaman mengenai toleransi
dan pentingnya musyawarah. Di antara kegiatan Percik untuk mewujudkan itu adalah:
a. Menyelenggarakan kegiatan studi-studi dan penelitian yang memenuhi standar
keilmuan yang tinggi, independen serta memenuhi nilai-nilai kegunaan bagi
kehidupan masyarakat luas.
b. Melakukan kegiatan refleksi sebagai upaya lebih mendalam terhadap berbagai
gejala yang diteliti, serta menghubungkannya dengan berbagai nilai-nilai luhur
yang diyakini dan menjadi komitmen percik..
c. Melakukan progam aksi yang di tunjukkan kepada terciptanya masyarakat yang
demokratis dan berkeadialan, dan lain sebagainya.
Menurut Singgih Nugroho, seperti yang dipaparkannya ketika kunjungan ke
Percik 1 Oktober 2015, tujuan utama dari didirikannya Percik adalah sebagai penguat
civil society.7 Dengan adanya kesadaran masyarakat akan hak dan tanggungjawabnya
maka sebuah perdamaian akan dapat diterapkan. Hal tersebut diterapkan oleh Percik
dengan cara melakukan pendampingan dan pembelaan hak-hak orang lemah. Secara
kelembagaan, Percik juga melakukan pendidikan demokrasi dan toleransi bagi
masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima sebuah perbedaan sebagai sebuah
rahmat dan kehendak Tuhan.
Ditambahkan Dr. Prajarta Dirdjosanjoto,8 Direktur Percik, lembaga ini dibentuk
karena adanya kepedulian terhadap lintas iman. Percik bukan merupakan lembaga
agama, akan tetapi bagi Percik agama menjadi inspirasi bagi kehidupan manusia.
Menurutnya, agama sebagai dapur, yang mana melalui dapur tersebut dapat diolah
berbagai hasil makanan. Agama bisa saja menjadi sumber konflik dan perpecahan dan
agama juga dapat menjadi sumber perdamaian dan kebahagiaan.
7 Presentasi Singgih Nugroho dalam “Field Trip ke Kampoeng Persick”, 1 Oktober 2015. 8 Wawancara dengan Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, 7 Oktober 2015.
7
B. Inisiatif Perdamaian dan Pengelolaannya
1. Edi Mancoro dan Inisiatif Perdamaian
Menurut Muhamad Hanif, pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro yang akrab
disapa Gus Hanif9, memaparkan bahwa yang selama ini dilakukan oleh Pondok
Pesantren Edi Mancoro dalam merespon persoalan yang terjadi di masyarakat tidak
hanya berorientasi kepada hasil. Setiap kegiatan yang dilakukan selalu berkonsentrasi
pada proses yang dilaksanakan. Dari setiap proses yang ada kemudian dikawal oleh
pesantren dan mengenai hasil dari proses tersebut masyarakat sendiri yang
menentukannya.
Salah satu peran yang ditampilkan Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam bidang
advokasi adalah pendampingan berbagai persoalan dan kasus yang terjadi di
masyarakat. Pendampingan tidak hanya dilakukan sekali, tetapi bertahap dan
berkelanjutan. Selain melakukan pendampingan dan advokasi, Pondok Pesantren Edi
Mancoro juga sering mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk memberikan
pemahaman tentang toleransi, moderatisme, HAM, dan lain sebagainya. Kegiatan
tersebut dilakukan sebagai salah satu tanggungjawab pesantren terhadap perdamaian
umat. Di antara inisiatif kegiatannya adalah: dialog lintas agama, diskusi dan
silaturahmi antar agama yang bertujuan untuk menanamkan toleransi serta
mempererat persaudaraan antar agama di tanah air.
Inisiatif perdamaian yang diinisiasi Pondok Pesantren Edi mancoro dalam
berbagai kegiatannya di antaranya sebagai berikut:10
1. Pendampingan korban kasus Waduk Kedung Ombo (WKO) tahun 1980-an.
Pendampingan yang dilakukan secara psikis dan advokasi (bantuan hukum).
Kendalanya karena Pondok Pesantren pada saat itu dijadikan sebagai markas
tempat musyawarah dan penggodokan strategi pedampingan korban WKO.
Akibatnya dicurigai oleh pemerintah dan dalam berbagai aksinya diintervensi
oleh pemerintah. Untuk menangani masalah ini, pihak Edi Mancoro berusaha
menjelaskan kepada pemerintah bahwa kegiatan apapun yang dilakukan di
pesantrern tidak ada yang perlu dicurigai atau dipandang membahayakan bagi
pemerintah.
2. Pemberdayaan Yayasan Kristen Peru di Salatiga. Kegiatan ini dilakukan saat
tahun 1993 dan 1994 di Peru sedang terjadi musibah kelaparan yang hebat, dan
Pondok Pesantren Edi Mancoro mencoba memberikan pelatihan pemberdayaan
secara mandiri kepada masyarakat Kristen Peru di Salatiga.
9 Wawancara dengan Gus Hanif, 6 Oktober 2015. 10 Presentasi Gus Hanif dalam “Field Trip ke Pondok Pesantren Edi Mancoro”, 1 Oktober 2015.
8
3. Penguatan pemberdayaan masyarakat dengan terbentuknya 63 kelompok kecil
yang ada di masyarakat.
4. Pembentukan Forum Gedangan. Forum ini dibentuk akhir 1990-an saat
reformasi bergulir. Pembentukan forum ini dilakukan karena terjadi
ketidakmerataan pendistribusian sembilan bahan pokok (sembako) di Kota
Salatiga dan sekitarnya. Ini dikarenakan merebaknya isu Kristenisasi dan
Islamisasi di Salatiga.
5. Pembentukkan Forum Lintas Iman SOBAT.11 SOBAT diinisiasi dengan tujuan
untuk langkah pencegahan dan meminimalisir konflik serta isu-isu bernuansa
SARA yang ada dan berpotensi berkembang di masyarakat.
6. Pendampingan konflik antara gereja dan umat Islam di sekitar Salatiga dan
Kabupaten Semarang.
7. Pendampingan konflik Temanggung (pembakaran gereja).
8. Halaqoh ulama’ dan santri.
9. Mengadakan diskusi lintas agama di Pesantren Edi Mancoro bersama tokoh
lintas agama.
10. Pemberdayaan masyarakat lokal di Kecamatan Tuntang dalam mengatasi
masalah tanaman enceng gondok yang hampir tidak terkendali di Rawa Pening,
yaitu dengan membentuk pelatihan kelompok home industry kreasi enceng
gondok.
11. Pemberdayaan ekonomi umat. Dari beberapa kegiatan yang telah dijelaskan di
atas, terdapat satu kegiatan yang tidak kalah penting, yaitu kegiatan
pemberdayaan ekonomi umat. Dimana ekonomi umat termasuk dalam faktor
utama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena kebutuhan
ekonomi masyarakat berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.
Contoh riil pemberdayaan ekonomi umat diwujudkan dalam bentuk
KOPPONTREN, yaitu Koperasi Pondok Pesantren Edi Mancoro yang didirikan
pada tahun 1996. Koperasi ini memiliki tiga unit usaha, yakni unit simpan pinjam
(KUB Sejahtera), Mini Market dan Bengkel Sepeda Motor.
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan di atas bukan berarti tanpa halangan. Menurut
Gus Hanif, banyak kalangan yang menentang konsep, pemikiran dan gerak langkah yang
selama ini dilakukan Pondok Pesantren Edi Mancoro. Di antaranya:
a. Adanya kelompok pro dan kontra di masing-masing pihak
b. Banyaknya cemooh yang dilakukan oleh warga
c. Adanya pertentangan dari masing-masing kelompok
11 Penjelasan lebih detil mengenai SOBAT dan kiprahnya dapat dibaca dalam Junaidi Simun, “Laporan Penelitian Conflict Analysis Mapping di Jawa Tengah”, April 2015.
9
Kritik keras dan hujatan yang diarahkan kepada KH. Mahfudz Ridwan terhadap
gagasannya masih dipandang tidak lumrah oleh masyarakat dan tidak semua orang
mampu menerima niat dan maksud positif yang disampaikan. Sebagian masyarakat
masih memandang sebelah mata karena adanya kegiatan yang melibatkan hubungan
antar agama. Di sisi lain posisi Pondok Pesantren Edi Mancoro sendiri dikenal sebagai
Pondok Pesantren tempat belajar-mengajar ilmu agama Islam.
Tetapi hal tersebut dipahami oleh KH. Mahfudz Ridwan sebagai sebuah
perbedaan pandangan dan pendapat yang harus diterima. Hal tersebut juga menjadi
penyemangat dirinya untuk lebih banyak memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang arti penting toleransi dan moderat.
Dari beberapa persoalan tersebut, salah satu cara menghadapinya adalah dengan
senyuman dan kesabaran serta berupaya memberikan pemahaman secara bertahap
mengenai indahnya sikap toleransi dan saling menghargai keberagaman dan
perbedaan. Selain itu seperti yang diutarakan Gus Hanif dan Gus Syauqi12 terkait
problem ketika mereka mewakili KH. Mahfud Ridwan dalam sebuah proses perdamiaan
seringkali terjadi ketegangan, pondok didatangi oleh aparat hukum guna mengawal dari
jalannya rapat. Selain itu juga dicurigai sebagai kelompok pembuat onar dll.
2. Percik dan Inisiatif Perdamaian
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, inisiatif perdamaian yang digagas oleh
Percik dapat dilihat dari visi dan misinya yang dijabarkan dalam program dan kegiatan
yang bertumpu pada tiga pilar, yaitu penelitian, advokasi dan refleksi. Ketiga pilar ini
merupakan landasan kegiatan Percik dalam menangani atau mencegah terjadinya
konflik dalam masyarakat. Di antara inisiatif perdamaian melalui program dan kegiatan
yang pernah dilakukan adalah:
a) Penelitian
Dalam menangani masalah yang terjadi di masyarakat ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, salah satunya adalah penelitian. Dimana penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan memahami latar belakang aktor yang memiliki
konflik baik individu maupun kelompok serta mengenali dan memahami akar
dari suatu konflik. Beberapa kegiatan penelitian yang dilakukan oleh PERCIK
diantaranya sebagai berikut:
1. Penelitian Kong Hu Chu (1996)
2. Penelitian tentang gejala kekerasan massal di Pekalongan (1998)
3. Penelitian kepemiluan
12 Gus Hanif dan Gus Syauqi merupakan putra dari KH. Mahfud Ridwan. Wawancara dengan Gus Hanif dan Gus Syauqi, 6 Oktober 2015.
10
4. Penelitian politik lokal, pemekaran, desentralisasi
5. Penelitian tentang praktek keagamaan lokal
6. Penelitian tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)
b) Advokasi
1. Program-program lintas iman melalui entitas SOBAT, SOBAT Kata Hawa,
SOBAT Iman, SOBAT Muda, SOBAT Anak, UTF, sohbet, wacana lintas iman
2. Jaringan Pemantau Pemilu untuk Rakyat (JPPR)
3. Pemberdayaan desa; desentralisasi; kepemerintahan lokal yang baik
4. Community Oriented Policing (COP)/ Perpolisian Masyarakat (Polmas);
Prospect
c) Refleksi
1. Seminar internasional tahunan dinamika politik lokal. Dimana persoalan
sosial politik dibahas
2. Penerbitan jurnal “Renai”
3. Berbagai seminar dan diskusi di aras lokal
Menurut Singgih Nugroho, untuk dapat mencapai apa yang menjadi visi dan
misinya maka berbagai kegiatan dirancang dan dilaksanakan oleh Percik, di antaranya
mengadakan seminar, diskusi, silaturahmi, dan kegiatan lainnya dengan peserta dari
masyarakat yang berbeda agama, etnis dan suku. Dalam berbagai kegiatannya, Percik
juga mengajak partisipasi para pemimpin agama dan tokoh masyarakat untuk
berkomunikasi bersama-sama. Selain itu, Percik juga juga melibatkan anak-anak muda,
mahasiswa dan pelajar untuk bergabung secara aktif dalam kegiatan-kegiatan mereka.
Tujuan dari upaya tersebut adalah menanamkan ideologi toleransi dan cinta
kemanusian sejak dini.
Ditambahkan Agung Waskito Adi, salah satu satu staf dan peneliti di Percik
bahwa upaya perdamaian yang selama ini dilakukan oleh Percik tidak pernah
terprogramkan dan terkonsep secara rinci. Upaya perdamaian yang selama ini pernah
dilakukan dibiarkan mengalir begitu saja. Selain itu, yang menjadi konsentrasi dalam
penanganan konflik adalah berorientasi pada proses. Menurutnya, jika berorientasi
pada hasil maka seringkali tidak dapat memuaskan para pihak yang terlibat dalam
konflik sehingga inisiatif perdamaian yang murni sulit sekali dicapai.13
Agung Waskito Adi juga mengutarakan bahwa inisiatif perdamaian sebenarnya
sudah terdapat dalam masyarakat sendiri. Masyarakat sebagai sebuah kumpulan
berbagai macam manusia mempunyai potensi untuk menghasilkan sebuah kesepakatan
sosial. Sedangkan peran Percik adalah menjembatani agar inisiatif dan kesepakatan
perdamaian atau kesepakatan sosial tersebut dimunculkan oleh masyarakat sendiri. 13 Wawancara dengan Agung Waskito Adi, 7 Oktober 2015.
11
Kesepakatan yang muncul hasil dari masyarakat sendiri, dibangun oleh mereka sendiri
dan hasilnya pun dapat berubah di kemudian hari sesuai dengan kesepakatan mereka.
Menurut Agung, peran Percik hanyalah sebatas membangun relasi pertemanan dan
persaudaraan agar ide dan inisiatif dapat tercapai dan diterima oleh semua pihak
dengan legowo.14
Dalam pelaksanaan berbagai agenda kegiatan Percik bukan berarti tanpa ada
kendala sama sekali. Banyak sekali kendala dan rintangan yang pernah mereka lalui. Di
antara kendala-kendala tersebut adalah ancaman keselamatan jiwa, intimidasi, sikap
pemerintah yang tidak pro aktif, masyarakat yang sulit untuk diajak bekerjasama dan
lain sebagainya. Bahkan pernah suatu hari dalam melakukan pendampingan kasus
sengketa tanah di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, leher salah seorang staf
Percik dikalungi celurit oleh masyarakat.
Selain itu, masyarakat yang tidak mengetahui apa itu Percik serta apa maksud
dan tujuan berdirinya, pandangan masyarakat bahwa Percik hanya merupakan
pergumulan sekelompok penganut agama Kristen saja merupakan tantangan tersendiri.
Sebagian masyarakat juga masih memandang bahwa dalam kegiatan Percik terkandung
misi terselubung: Kristenisasi.
Menghadapi berbagai rintangan tersebut Percik melakukan beberapa hal agar
dapat menyelesaikannya tanpa menimbulkan konflik yang baru, yaitu membangun
komunikasi secara intensif dengan pihak-pihak yang berkonflik, sembari memberikan
pemahaman mengenai Percik yang merupakan lembaga lintas iman. Hal ini juga
dilakukan dalam upaya perluasan jaringan. Selain itu mereka juga melakukan
pencegahan lebih dini, mengajak peran serta pemerintah dan tokoh masyarakat,
melakukan gerakan senyap dan rahasia yang terstruktur, dan lain sebagainya.
C. Pelanggaran HAM yang Terjadi
1. Kasus Pembangunan Waduk Kedung Ombo
Kasus yang diulas pada bagian ini adalah Kasus Mega Proyek Pembangunan
Waduk Kedung Ombo pada tahun 1981-1985 era Soeharto. Dalam proses pembangunan
waduk ini diduga kuat telah terjadi pelanggaran HAM. Pada bagian ini juga akan dibahas
bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi, akibat yang ditimbulkan dan proses
penyelesaian kasus.
Pembangunan Waduk Kedung Ombo merupakan bagian dari Proyek
Pengembangan Wilayah Sungai Jratunseluna yang akan mencakup tiga wilayah:
14 Ibid.
12
Karesidenan Semarang, Karesidenan Surakarta dan sembilan kabupaten, yaitu
Semarang, Demak, Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara, Boyolali, dan Sragen. Melalui
proyek ini pemerintah Indonesia berniat untuk meningkatkan usaha pengamanan dan
pengendalian banjir. Proyek Jratunseluna juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
air dan listrik untuk daerah-daerah perindustrian dan pemukiman.15
Rencana pembangunan Waduk Kedung Ombo diharapkan akan dapat berfungsi
sebagai sarana pengembangan perikanan dan pariwisata serta mampu menyediakan
tenaga listrik sebesar 22,5 Megawatt. Hal ini juga diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan petani dan taraf hidup masyarakat setempat. Waduk Kedung Ombo
diperkirakan dapat mengairi persawahan Glapan Sedadi seluas 37.500 Ha sehingga akan
ada sekitar 7.500 Ha sawah baru di Grobogan selatan dan 10.000 di lembah Juana.16
Pembangunan waduk dimulai pada tahun 1981. Namun survei, investigasi, dan
studi kelayakan telah dilakukan oleh Proyek Perancangan Pengembangan Sumber-
Sumber Air (P3SA) bersama dengan konsultan Belanda, NEDECO, sejak 1969 hingga
1976. Pembuatan desain waduk dilakukan oleh Proyek Jratunseluna bersama SMEC
(Snowy Mountain Engineering Corporation) dari Australia yang juga merangkap sebagai
kontraktor pada tahun 1976 hingga 1978.
Namun faktanya, proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo yang dibiayai Bank
Dunia ini tidak semulus yang diperkirakan. Pada tahun 1985 mulai terlihat adanya bibit-
bibit permasalahan. Masyarakat Kedung Ombo menolak tawaran ganti rugi pembebasan
tanah yang dianggap terlalu rendah. Mereka menolak kedatangan Tim Pendata dan Tim
Pembebasan Tanah. Permasalahan tersebut menyangkut persoalan hak asasi manusia.
a. Pemerintah melakukan pemaksaan dengan merelokasi warga ke tempat yang
telah disediakan, Desa Muko-Muko di Bengkulu. Pemerintah melakukan
pendataan secara sepihak. Masyarakat pemilik tanah tidak diikutkan untuk
bermusyawarah mengenai besarnya uang ganti rugi tanah yang ditawarkan
pemerintah.
b. Pemerasan warga, karena dana ganti rugi sangat tidak layak diberikan. Menteri
Dalam Negeri saat itu, Soepardjo Rustam dalam rapat kerja dengan Anggota
Komisi II DPR 25 November menyebutkan bahwa besarnya uang ganti rugi bagi
pembebasan tanah yang terkena proyek pembangunan waduk sebesar Rp 3.000,-
per m 2 (meter persegi). Dalam perjalanannya mengenai besarnya uang ganti rugi
tanah ini, pemerintah hanya mengacu pada SK Gubernur Jawa Tengah tertanggal
2 Mei 1985 No. 593/135/1987 yang menetapkan besarnya uang ganti rugi tanah
15 https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_Kedung_Ombo (Diakses 10 Oktober 2015). 16 Ibid.
13
sebesar Rp. 700,- per m 2.17 Namun faktanya ada warga yang hanya menerima Rp
250,-/m².
c. Acaman kepada warga yang tidak mau pindah dari tempat kelahirannya di
Kedung Ombo ke tempat yang telah disediakan. Bentuk ancamannya berupa:
Warga yang bertahan mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik oleh
aparat negara akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut.
Pemerintah memaksa warga untuk mengikuti program transmigrasi yang
disiapkan pemerintah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya
warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah
genangan air.
Warga dicap dengan label eks PKI. Predikat eks PKI ini begitu menakutkan
bagi penduduk. Akibatnya mereka tidak dapat mencari pekerjaan,
hilangnya hak-hak sebagai warga negara dan mereka terkucil dari
pergaulan masyarakat.
Kurungan penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan denda bagi warga
tidak menerima jumlah ganti rugi
Pemaksaan untuk meninggalkan rumah dengan menaikan elevasi dan
debit air
d. Akibat yang ditimbulkan dalam kasus Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini di
antaranya berupa:
Penganiayaan terhadap warga dengan memakasa menyetujui ganti rugi
yang diberikan.
Aliran listrik rumah warga dicabut
Pemblokiran areal proyek dan pengisolasian daerah proyek bagi
masyarakat yang menjadi korban atau relawan yang hendak memberi
bantuan
Warga kehilangan hak atas tanah yang telah dimiliki tanpa ganti rugi yang
memadai
Ditenggelamkan ke dalam air
warga terganggu kenyamanan hidupnya (personal rights), tidak mendapat
perlakuan yang sama didepan hukum (procedural rights), kehilangan
tanah, harta, dan mata pencaharian (property Rights).
Hasil studi Elsam dan Lawyer Committee for Human Rights menemukan banyak
kasus pelanggaran HAM dalam pelaksanaan program tersebut. Dalam proyek Aaduk
Kedung Ombo, pelanggaran HAM yang ditemukan adalah: (1) Tak adanya musyawarah
yang dilakukan pemerintah dalam proses pembebasan lahan. Dalam penentuan harga,
17 Ibid.
14
Pemerintah secara sepihak menetapkan harga tanpa mendengar masukan dari
masyarakat; (2) intimidasi dan teror terhadap warga yang tidak bersedia menerima
ganti rugi serta tidak mau mengikuti tawaran pemerintah untuk ikut program
transmigrasi. Warga yang bertahan ini diberi “label” pembangkang dan dicap sebagai
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).18
Meski masih banyak ketidakberesan dan masalah, namun pemerintah Kabupaten
Boyolali menganggap masalah ini sudah tuntas. Pada November 1988, pihak Proyek
Pembangunan Waduk Kedung Ombo mengeluarkan Surat Pemberitahuan Nomor
1348/UM/KDO/XI/88 yang menghimbau agar penduduk yang berada di areal batas
patok kuning dan kuning strip merah agar segera meninggalkan lokasi paling lambat
November 1988. Hal ini dimaksudkan karena akan diresmikan penggenangan waduk
pada 12 Januari 1988.
Proyek Pembangunan WKO kemudian diresmikan Presiden Soeharto pada 18
Mei 1991. Namun hingga kini warga WKO belum juga mendapatkan hak dan ganti rugi
yang layak dari pemerintah. Hingga tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut
Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan
negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Provinsi dan Kabupaten
bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta
Pengadilan Negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan
kepada 662 keluarga penuntut.19 Bahkan pada 13 November 2008, Replubika Online
menuliskan bahwa sebagian warga WKO asal Boyolali yang ditrasmigrasikan ke
Bengkulu hidupnya memprihatinkan. Hal ini karena lahan usaha mereka berupa tanah
gambut yang basah dan agar bisa diolah harus dikeringkan terlebih dahulu, sedangkan
untuk pengeringan lahan gambut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kini mereka
pun hidup dengan kondisi seadanya.20
Lahan yang dituntut pembebasannya oleh warga sebesar kurang lebih 5.898 Ha,
terdiri dari 1500 Ha tanah Perhutani, 730 Ha sawah, 2.655 Ha tanah tegalan, dan 30 Ha
tanah pekuburan yang mengenai daerah wilayah Kecamatan Kemusu Kabupaten
Boyolali, Kecamatan Miri dan Sumber Lawang Kabupaten Sragen, dan satu kecamatan di
Kabupaten Grobogan. Total terdapat 37 desa, 4 kecamatan dari 3 kabupaten (Sragen,
Boyolali dan Grobogan) dan sekitar 5.268 warga kehilangan tanahnya.21
Pada 1980an Romo Mangun Wijaya bersama Romo Sandyawan dan KH.
Hammam Ja’far, pengasuh pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi para
18 Ibid. 19 Ibid. 20 http://www.paknusa.blogspot.co.id/2014/11/pemahaman-empatis-belajar-dari-kasus.html 10 oktober 2015 (Diakses 10 Oktober 2015). 21 Ibid.
15
warga yang masih bertahan di lokasi, membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500
anak-anak, dan membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang
sebagian desanya sudah menjadi danau.
Pemerintah pada awalnya bersikap kaku dan keras serta berpegang teguh pada
aturan ganti rugi dan alternatif bertransmigrasi yang telah ditetapkan. Presiden Suharto
sendiri telah menyatakan sikap untuk melarang orang-orang yang berniat membantu
penduduk yang masih bertahan di daerah genangan Waduk Kedung Ombo.
Akan tetapi di sisi lain, dikabulkannya sebagian tuntutan rakyat Kedung Ombo
dianggap sebagai sebuah prestasi dan kemenangan dari perjuangan rakyat kecil. Hal
tersebut dikarenakan berhasilnya upaya-upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk
mengangkat permasalahan Waduk Kedung Ombo ke permukaan yang akhirnya dapat
memaksa pemerintah untuk tidak memaksa seluruh penduduk Kedung Ombo
bertransmigrasi ke luar Jawa.
Tidak berapa lama setelah peresmian penggenangan waduk dan diberlakukannya
Kedung Ombo sebagai wilayah yang tertutup, banyak inisiatif dari berbagai kelompok
yang ingin mendampingi dan membantu penduduk Kedung Ombo. Salah satunya aksi
solidaritas yang dilakukan Pondok Pesantren Edi Mancoro melalui program-program
pemberdayaan masyarakat yang masih bertahan di sekitar Waduk Kedung Ombo.
Dalam perjalanannya, penyelesaian pembebasan tanah dalam kasus
pembangunan Waduk Kedung Ombo ini memasuki titik terang. Dengan dibantu LBH
Semarang, penduduk Kedung Ombo akhirnya mendapat ganti rugi dari Pemerintah
dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 174/Menhut/VII tahun 2002 yang
berisi relokasi warga Kedung Ombo oleh PT Perhutani ke tanah Perhutani.22
D. Upaya Penyelesaian Konflik secara Damai
1. Peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam Kasus Waduk Kedung Ombo
Dalam penanganan dan pencegahan konflik yang terjadi di masyarakat,
khususnya di Jawa Tengah, Pondok Pesantren Edi Mancoro terlibat cukup aktif. Di
antara keterlibatan tersebut adalah pendampingan warga korban pembangunan Waduk
Kedong Ombo, pencegahan kerusuhan Mei 1998 agar tidak menjalar di Salatiga dan
sekitarnya, fasilitasi bantuan sembako dari Vatikan bekerjasama dengan Gereja, dan
lain sebagainya.
Dalam kasus Waduk Kedung Ombo, selain dugaan pelanggaran HAM yang terjadi,
akibat lain dari pembangunan waduk adalah kesengsaraan yang dialami masyarakat, 22 https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_Kedung_Ombo (10 Oktober 2015).
16
khususnya warga masyarakat yang kena dampak pembangunan Waduk Kedung Ombo.
Hak-hak masyarakat korban Waduk Kedung Ombo terabaikan dan tidak terpenuhi. Di
antara kesengsaraan tersebut adalah sebagian masyarakat sulit untuk membangun
kembali perekonomian di tempat mereka yang baru. Bahkan tidak sedikit di antara
mereka yang kesulitan membangun tempat tinggal karena uang ganti rugi yang
diberikan sangat sedikit dan tidak sepadan.
Kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo merupakan salah satu kasus yang
menyita perhatian Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro, KH. Mahfudz Ridwan.
Kasus tersebut juga menarik perhatian beberapa tokoh nasional, seperti Gus Dur dan
Romo Mangun. Gus Dur yang berupaya mendampingi dan memediasi para penduduk
yang menjadi korban dari Waduk Kedung Ombo kemudian mengajak serta keterlibatan
KH. Mahfudz Ridwan yang merupakan salah satu sahabat karibnya. Di rumah KH.
Mahfudz Ridwan itu lah Gus Dur, Romo Mangun, dan beberapa tokoh lain
mendiskusikan berbagai strategi untuk membantu para penduduk korban
pembangunan Waduk Kedung Ombo. Di kemudian hari, Gedangan, sebuah desa dimana
Pondok Pesantren Edi Mancoro berdiri menjadi pusat kegiatan para tokoh nasional
tersebut untuk membantu para korban Waduk Kedung Ombo.23
Dalam perjalanannya KH. Mahfudz Ridwanlah yang kemudian lebih banyak
terlibat secara langsung dan bertatap muka dengan para penduduk yang menjadi
korban untuk membantu mereka. Menurut Syauqi, salah satu putra beliau, dalam
membantu menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di waduk Kedung Ombo
ayahnya melakukan beberapa hal:24
a. Melakukan pendampingan para korban dengan cara memberikan semangat dan
menguatkan mental mereka. Hal ini dilakukan untuk memberikan motivasi
kepada para korban agar mereka tetap sabar dan tabah dalam menghadapi
cobaan yang menerpa mereka, serta tetap optimis menghadapi masa depan.
b. Membantu para penduduk bernegosiasi dengan pemerintah. KH. Mahfudz
Ridwan membantu memediasi para korban dengan pemerintah agar hak-hak
mereka dapat terpenuhi, seperti ganti rugi yang layak. Mediasi ini kemudian
mendapatkan ruang yang sangat luas pada waktu Gubernur Jawa Tengah dijabat
oleh Mardiyanto. Pada masa Gubernur Mardiyanto, KH. Mahfudz Ridwan
berulang kali memediasi pertemuan dengan para korban. Banyak hal yang
dihasilkan dari pertemuan tersebut, di antaranya: dibangunnya jembatan
panjang penghubung antar daerah di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu. Selama
ini penduduk harus memutar cukup jauh jika naik motor atau memakai kapal
23 Wawancara dengan Gus Syauqi, 6 Oktober 2015. 24 Ibid.
17
getek jika ingin ke daerah sebelah waduk yang sebenarnya berdekatan. Selain itu,
dari pertemuan dengan Gubernur Mardiyanto kemudian diluncurkan program-
program pemberdayaan masyarakat dan bantuan kepada penduduk. Menurut
Gus Syauqi, Gubernur Mardiyanto merasa ikut bertanggung jawab terhadap
korban pelanggaran HAM akibat pembangunan Waduk Kedung Ombo.
c. KH. Mahfudz Ridwan membantu memfasilitasi penyaluran berbagai program
pemberdayaan dan bantuan dari pemerintah pusat kepada para korban Waduk
Kedung Ombo.
Bukan berarti apa yang dilakukan oleh KH. Mahfudz Ridwan tanpa ada halangan
sama sekali. Sebagai seorang aktivis yang hidup pada masa Orde Baru tentunya tidak
lepas dari berbagai intervensi dan ancaman dari penguasa pada waktu itu. Salah satu
tantangannya adalah ketika para tokoh nasional di atas melakukan kegiatan di rumah
KH. Mahfudz Ridwan, seringkali tentara baik yang berpakaian resmi maupun sipil atau
intelijen mendatangi rumah beliau. Tujuan mereka sangatlah jelas, yaitu
mengintervensi dan mengawasi kegiatan para tokoh-tokoh tersebut.
Dalam menghadapi berbagai tekanan dari Pemerintah Orde Baru tersebut KH.
Mahfudz Ridwan tidak berlaku keras. Sebisa mungkin beliau bekerjasama dan
mengurangi gesekan dengan aparat keamanan. Hal ini diperlihatkan oleh KH. Mahfudz
Ridwan dengan memberikan rekaman dan catatan hasil rapat dengan tokoh nasional
tadi kepada pemerintah serta melaporkannya secara rutin. Tentu saja sebagai seorang
yang cerdas, yang diberikan kepada pemerintah bukan rekaman dan catatan inti dari
diskusi yang mereka lakukan, sehingga rahasia tetap terjaga. Hal ini dilakukan agar
strategi dan rencana yang mereka lakukan untuk membantu korban Waduk Kedung
Ombo dapat berjalan tanpa ada halangan dari pemerintah dan pihak keamanan.
Berbagai program dan kegiatan yang dilakukan KH. Mahfudz Ridwan bagi
korban pembangunan Waduk Kedung Ombo sangat membekas di benak penduduk.
Hingga saat ini masih terjalin hubungan kekeluargaan yang sangat erat antara
penduduk korban Waduk Kedung Ombo dan KH. Mahfudz Ridwan sekeluarga. Masih
banyak warga sekitar Waduk Kedung Ombo yang bersilaturahim ke rumah KH. Mahfudz
Ridwan. Bahkan tidak jarang di antara mereka membawa hasil panen untuk diberikan
kepada KH. Mahfudz Ridwan, seperti jagung, ketela, padi, ikan, dan buah-buahan.25
2. Peran Percik dalam Resolusi Konflik di Jawa Tengah
Sebagai sebuah lembaga yang mengkonsentrasikan dirinya pada penelitian dan
advokasi, peran Percik Salatiga sangatlah jelas khususnya terkait dengan kasus-kasus
25 Ibid.
18
pelanggaran HAM dan penyelesaian konflik di Jawa Tengah. Berikut di antara beberapa
kasus yang pernah ditangani oleh Percik:
Kasus Pelarangan Pendirian Gereja di Klaten26
Kasus ini bermula ketika beberapa anggota masyarakat yang beragama Kristen
di suatu daerah di Kabupaten Klaten berkeinginan mendirikan gereja sebagai tempat
ibadah mereka. Akan tetapi keinginan tersebut ditentang oleh mayoritas masyarakat
yang beragama Islam yang berada di daerah tersebut. Adapun penyebab dari adanya
larangan tersebut adalah karena tidak banyak pemeluk agama Kristen yang tinggal di
daerah tersebut. Sehingga dikhwatirkan dengan dibangunnya gereja akan terjadi
kristenisasi di wilayah tersebut.
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya pelarangan pembangunan ini sangatlah
beragam. Di antara akibat tersebut adalah keterbatasan dan ketidakmampuan umat
beragama yang menjadi minoritas di daerah tersebut untuk mempunyai sebuah tempat
ibadah, sehingga berakibat menyulitkan mereka untuk beribadah. Ini merupakan
bentuk penindasan terhadap hak-hak kaum beragama minoritas. Hal tersebut dapat
memunculkan ketidaknyamanan dalam masyarakat, kecemburuan sosial dan bahkan
tidak menutup kemungkinan dapat terjadi konflik dan permusuhan antar agama.
Dalam kasus ini Percik ikut terlibat mendampingi dan memediasi kasus tersebut.
Di antara yang dilakukan adalah membangun komunikasi intensif antara dua pihak
yang berkonflik, mengajak partsipasi semua elemen masyarakat dan pemerintah untuk
menyelesaikannya, dan ikut terlibat secara aktif dalam menyelesaikan kasus tersebut
tanpa terpublikasi ke luar, khususnya media massa. Dari mediasi yang dilakukan
akhirnya diambil sebuah kesepakatan bahwa gereja dapat didirikan di daerah tersebut
dengan syarat tanpa ada tanda salib di depannya.
Kasus Beras Murah dan Bantuan Ta’jil Puasa oleh GKJ Manahan Solo27
Kasus ini bermula dari kegiatan bakti sosial yang dilakukan oleh GKJ Manahan
pada bulan Ramadhan. Bakti sosial tersebut berupa menjual beras dengan harga murah
dan pemberian ta’jil kepada tukang becak dan masyarakat di lingkungan sekitar gereja.
Niat baik gereja tersebut tidak dapat diterima oleh kaum muslimin yang tinggal di
wilayah Manahan. Padahal kegiatan ini telah dilaksanakan sejak 1997. Sebagian kaum
muslimin tersebut menuduh ada misi kristenisasi dalam bakti sosial yang
diselenggarakan. Selain itu mereka juga meragukan kehalalan dari makanan yang
dibagikan karena tidak diproses atau dimasak secara Islami.
26 Presentasi Singgih Nugroho dalam “Field Trip ke Kampoeng Persick”, 1 Oktober 2015. 27 Wawancara dengan Agung Waskito Adi, 7 Oktober 2015.
19
Masalah ini sempat memanas di Manahan. Bahkan disinyalir akan dapat
menimbulkan bentrokan fisik. Kasus ini sempat membuat geger Kota Solo dan memaksa
Polres Solo ikut turun tangan. Dalam kasus ini, Percik juga ikut terlibat memediasi para
kedua belah pihak. Percik kemudian mempertemukan pihak gereja dan masyarakat
muslim Manahan. Tidak hanya itu yang dilakukan Percik, menurut Agung Waskita Adi,28
Percik juga ikut mengundang tokoh dari Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Pondok Pesantren Ngruki
untuk ikut bertemu dan berembug bareng dalam forum mediasi untuk mendapatkan
sebuah hasil yang dapat membawa manfaat bersama.
Upaya mediasi yang dilakukan Percik kemudian menghasilkan sebuah
pemahaman bahwa bakti sosial yang diselenggarakan oleh GKJ Manahan merupakan
murni bentuk kepedulian pihak gereja bagi kegiatan ibadah puasa umat Islam. Selain
itu, untuk menepis keraguan tentang kehalalan makanan yang dibagikan kepada umat
muslim saat berbuka puasa (ta’jil), maka disepakati bahwa untuk selanjutnya makanan
ta’jil dimasak di sebuah Masjid di Manahan, dan bahan-bahannya tetap berasal dari
gereja. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kesepakatan yang telah dicapai dan
dapat diterima dengan damai oleh semua pihak tersebut tidak boleh dilaksanakan oleh
Polres Solo. Larangan Polres Solo tersebut dikarenakan kekhawatiran akan timbulnya
konflik baru yang lebih besar.
Kasus Kerusuhan Temanggung29
Kasus kerusuhan Temanggung terjadi pada Februari 2011. Kasus ini bermula dari
kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Antonius Richmond Bawengan. Penodaan
dilakukan dengan cara menyebarkan selebaran yang menyesatkan masyarakat.
Antonius kemudian ditangkap oleh Barisan Serba Guna (Banser) NU dan diserahkan ke
Polres Temanggung. Antonius kemudian diadili di Pengadilan Negeri Temanggung.
Namun tidak semua elemen masyarakat merasa puas dan dapat menerima kondisi
tersebut. Saat sidang menjelang vonis banyak orang yang berdemonstrasi di depan
Pengadilan. Aksi demonstrasi tersebut kemudian berubah menjadi anarkis dan
kerusuhan yang berujung dengan pembakaran beberapa gereja di Temanggung, yaitu
Gereja Katolik St. Petrus, Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Pantekosta.30
Kasus konflik ini menyebabkan kondisi kota Temanggung mencekam. Masyarakat
Temanggung yang terkenal damai tenteram menjadi takut untuk keluar rumah. Umat
Kristiani pun banyak yang khawatir untuk beribadah di gereja-gereja mereka. Selain itu,
28 Ibid. 29 Ibid. 30 Penjelasan lebih detil dan lengkap mengenai Kasus Kerusuhan Temanggung tahun 2011 dapat dibaca dalam Junaidi Simun, “Laporan Penelitian Conflict Analysis Mapping di Jawa Tengah”, April 2015.
20
keharmonisan umat beragama di Temanggung terancam terganggu karena adanya
tindakan kekerasan dan main hakim sendiri oleh segelintir orang dalam kasus tersebut.
Menurut Agung Waskito Adi,31 karena adanya kasus tersebut membuat Polres
Temanggung mengirimkan anggotanya ke Percik untuk meminta bantuan rekonsiliasi
dan pendampingan pasca meletusnya kasus. Permohonan bantuan tersebut disikapi
oleh Percik dengan mengirimkan anggotanya ke Temanggung bersama Alissa Wahid
(Putri Gus Dur). Akan tetapi delegasi tersebut tertahan di batas Kota Temanggung dan
tidak dapat masuk karena penjagaan yang ketat oleh aparat kepolisian. Kemudian
bersama Alissa Wahid mereka pergi ke Pondok Pesantren Api Tegalrejo Magelang untuk
bertemu dengan Gus Yusuf Chudlori guna menyusun startegi.
Setelah tim dari Percik dapat masuk ke Temanggung beberapa hari setelah kasus
kemudian Percik melakukan investigasi dan dialog dengan masyarakat dan gereja.
Dialog dilakukan untuk mengembalikan stabilitas. Selain itu juga diberikan pemahaman
bahwa sebenarnya yang melakukan pembakaran gereja dan melakukan kerusuhan
merupakan orang-orang dari luar Temanggung yang ingin mengganggu ketenangan dan
kenyamanan kehidupan masyarakat Temanggung. Percik juga menggandeng para
pemuda di Temanggung dengan cara memberikan pelatihan jurnalistik kepada mereka.
Menurut M. Akbar,32 Percik juga melakukan sarasehan yang melibatkan berbagai
kalangan di Temanggung. Sarasehan yang diselenggarakan merupakan bagian dari
strategi pendampingan dan pemberian wawasan kepada masyarakat. Mengefektifkan
berbagai cara dan kegiatan untuk rekonsiliasi pasca konflik, terutama melaui kesenian,
juga tak luput dilakukan.
Dari keterlibatan pendampingan beberapa kasus di atas, dapat disimpulkan
beberapa metode penangan konflik yang dilakukan oleh Percik.
a. Membangun relasi pertemanan dengan semua pihak. Hal ini dilakukan dengan
fleksibel dan tidak kaku.
b. Membangun komunikasi yang aktif dan intensif dengan dan antar semua pihak
yang berkonflik.
c. Berorientasi pada proses, bukan hasil. Karena konsep hasil yang ditawarkan
belum tentu diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Biarkan masyarakat
yang berkonflik yang mencari kesepakatannya sendiri.
d. Menghindari konflik politik, dan campur tangan dari luar. Bila hal ini tidak
diperhatikan, akan ikut memperparah konflik yang terjadi.
e. Menghindari penyelesaian lewat jalur hukum karena seringkali tidak
memuaskan satu pihak. 31 Wawancara dengan Agung Waskito Adi, 7 Oktober 2015. 32 Wawancara dengan M. Akbar, 7 Oktober 2015.
21
f. Melakukan penanganan dan pendampingan kasus secara senyap (silent) dan
rahasia, serta tidak terpublikasi ke media.
g. Melakukan pencegahan dini serta pencegahan timbulnya konflik baru.
Bagi Dr. Prajarta Dirdjosanjoto,33 konflik yang terjadi di masyarakat biarlah
penyelesaiannya disepakati oleh masyarakat sendiri. Masyarakat mempunyai
kemampuan meredam konflik, salah satunya dengan kearifan lokal yang ada karena
masyarakat sendiri lebih berpengalaman. Menurutnya, dalam upaya penyelesaian
konflik yang terjadi di masyarakat, mendengarkan pendapat serta memahami tujuan
dari pendapat yang disampaikan adalah hal yang utama untuk kemudian dicari titik
tengah atau kesepakatan yang akan disetujui semua pihak. Tugas kita, para aktivis
perdamaian, hanya mendampingi dan mengawal agar prosesnya berjalan dengan benar
dan menghasilkan kesepakatan yang diterima semua pihak. Menurutnya, hal ini
didasarkan kepada beberapa aspek:
a. Di dalam masyarakat sendiri penuh dengan potensi konflik.
b. Masyarakat mempunyai kemampuan meredam konflik.
c. Masyarakat mempunyai kearifan lokal.
d. Menghargai upaya-upaya lain yang memahami persoalan tersebut.
3. Manajemen Penyelesaian Konflik secara Damai
Setelah melakukan wawancara dengan Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro
dan para aktivis Percik, secara umum dapat disimpulkan bahwa Pondok Pesantren Edi
Mancoro dan Percik memiliki kesamaan dalam upaya menyelesaikan konflik, yaitu
dengan cara pencegahan dan penanganan konflik secara damai. Kedua lembaga ini
memiliki banyak cara atau solusi dalam terlibat menyelesaikan konflik dengan tanpa
menimbulkan konflik baru atau konflik turunan. Bahwa dalam upaya menyelesaikan
konflik tidak serta merta kita yang bertanggungjawab menangani dan memegang
kendali atas penyelesaian konflik. Tidak bisa seenaknya sendiri berupaya
menyelesaikan konflik yang terjadi maupun berpotensi terjadinya konflik.
Para aktivis kedua lembaga ini menggunakan cara, teknik dan prinsip-prinsip
khusus dalam melibatkan diri menyelesaikan konflik dengan tujuan agar semua pihak
bisa saling menerima dan tidak muncul konflik lanjutan. Di antara teknik dan prinsip
tersebut adalah:
a. Mencari informasi sebanyak dan seutuh mungkin mengenai konflik dan sumber
dan akar terjadinya konflik.
33 Wawancara dengan Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, 7 Oktober 2015.
22
b. Mencoba menganalisa harapan-harapan dan tujuan yang diinginkan semua pihak
yang berkonflik, dan mempersiapkan mental juang untuk melakukan kerja-kerja
resolusi konflik.
c. Menuju musyawarah dengan mendengarkan permasalahan antar berbagai pihak.
d. Menganalisa dengan jeli dan jernih tawar-menawar kepentingan.
e. Menciptakan kesepakatan antar berbagai pihak.
f. Melaksanakan hal yang sudah disepakati secara suka rela.
Hal yang perlu digarisbawahi dari teknik dan prinsip Pondok Pesantren Edi
Mancoro dan Percik dalam upaya mereka menyelesaikan konflik bahwa mereka tidak
pernah membuat aturan-aturan atau keputusan-keputusan yang muncul dan bersifat
pribadi untuk kepentingan pribadi. Mereka selalu mengedepankan kebersamaan dan
permusyawaratan dalam menentukan keputusan-keputusan tersebut. Beberapa hal
berikut dapat dipertimbangkan dalam upaya-upaya dimaksud:
1. Penyelesaian konflik harus dilakukan secara bertahap dan dikategorisasikan
sesuai dengan masalahnya.
2. Harus bisa menganalisa dan mengidentifikasi permasalahan dengan cermat agar
bisa memutuskan metode mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan hal
tersebut.
3. Pemetaan konflik untuk dapat mempermudah penanganannya.
4. Membangun relasi pertemanan dengan semua pihak. Hal ini harus dilakukan
dengan fleksibel dan tidak kaku.
5. Membangun komunikasi yang aktif dan intensif antara dan dengan semua pihak
yang berkonflik agar terjadi keakraban dan mendapatkan informasi yang
berimbang dan memadai.
6. Berorientasi kepada proses, bukan hasil. Karena konsep hasil yang ditawarkan
belum tentu diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Biarkan masyarakat
yang berkonflik yang mencari kesepakatannya sendiri.
7. Partisipasi segenap lapisan masyarakat dan para tokoh masyarakat serta
pemerintah untuk menyelesaikannya.
8. Kompak dan satu komando sehingga kekuatan dapat dibangun dan
kepemimpinan dapat terkontrol.
9. Menghindari konflik politik, dan campur tangan dari pihak luar. Hal ini seringkali
memperparah konflik yang terjadi.
10. Menghindari penyelesaian lewat jalur hukum karena seringkali tidak
memuaskan beberapa pihak.
11. Melakukan penanganan dan pendampingan secara senyap (silent) dan rahasia,
serta tidak terpublikasi ke media.
12. Melakukan pencegahan dini serta pencegahan timbulnya konflik baru.
23
13. Pemberdayaan civil society dan memberikan penyadaran kapda masyarakat akan
arti toleransi dan perbedaaan.
14. Kesepakatan dalam perdamaian merupakan inisiatif masyarakat sendiri karena
masyarakat mempunyai kemampuan untuk itu. Aktifis perdamaian hanya
mengawal prosesnya agar dapat berjalan dengan baik dan terarah.
4. Tantangan dan Problem yang Dihadapi
Kendala yang dihadapi dalam upaya menyelesaikan konflik yang terjadi adalah
kadang sebagian dari pihak yang berkonflik sulit untuk diajak bermusyawarah dan
terkadang pula tidak menemui kesepakatan. Bila hal tersebut terjadi maka antar pihak
yang berkonflik harus menerima penyelesaian konflik paling darurat yang disiapkan
mediator dimana penyelesaiannya haruslah win-win ataupun lose-lose.
Berikut ini tantangan dan problematika yang seringkali dihadapi dalam
penanganan konflik secara damai.
1. Pemerintah tidak independen dan kurang obyektif dalam menyikapi
permasalahan, sehingga mudah terjadi intervensi.
2. Tokoh masyarakat kurang obyektif dalam menyikapi sebuah permasalahan
sehingga seringkali memperkeruh suasana dan memperparah konflik yang
terjadi.
3. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan Hak Asasi Manusia
(HAM) dan toleransi dalam bermasyarakat.
4. Ketika permasalahan tercium oleh media, seringkali penyelesainnya menjadi
rumit.
5. Penyelesaian melewati jalur hukum tidak memuaskan semua pihak.
6. Hal yang paling rentan terjadi saat ini adalah konflik horizontal yang terjadi
antar masyarakat sendiri.
24
E. Rekomendasi
Berkaca pada uraian di atas, bahwa setiap manusia pasti memiliki konflik baik
secara individu maupun kelompok. Namun tidak selamanya konflik itu berkonotasi
negatif. Karena dengan adanya konflik justru bertujuan menambah kedewasaan kita
dalam menjalani kehidupan. Kuncinya adalah bagaimana cara kita mengelola konflik
tersebut dan menghadapinya dengan baik dengan cara damai tanpa adanya kekerasan.
Dari pengalaman mengikuti rangkaian kegiatan Training “Pendidikan
Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam” dan Field trip ke Pondok Pesantren Edi
Mancoro dan Percik serta melakukan wawancara dan berinteraksi langsung dengan
narasumber kunci dari Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Percik, beberapa hal berikut
dapat dijadikan rekomendasi penting sebagai upaya penyelesaian suatu konflik secara
damai berlandaskan prinsip-prinsip Islam dan hak asasi manusia, yaitu:
1. Melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam pendalaman Hak Asasi Manusia
(HAM) serta makna toleransi dalam masyarakat.
2. Pencegahan konflik secara dini harus mulai dilakukan dengan cara mengadakan
diskusi dan silaturahmi secara rutin.
3. Pemerintah dan tokoh masyarakat harus bisa obyektif dan independen dalam
menyikapi sebuah permasalahan.