komunikasi non verbal dalam masyarakat high and low context

17
Komunikasi Non Verbal dalam Masyarakat High and Low Context Komunkasi nonverbal adalah penyampaian makna melelui bahasa tubuh meliputi ekspresi wajah, gestures, posture, kontak mata, dan suara, juga penggunaan ruang fisik seperti jara interpersonal, waktu, artefak yang digunakan (Dayakisni & Yuniardi, 2008). Lalu apa hubungan antara komunikasi non verbal dengan masyarakat High or Low Context? Secara sederhana, masyarakat konteks budaya tinggi atau yang biasa disebut dengan high context culture dapat diartikan sebagai masyarakat yang cenderung menganut budaya kolektif yang cenderung menyampaikan pesan secara berbelit-belit dengan banyak menggunakan simbol, kiasan, dan kata-kata halus yang dirumuskan sebagai high-context 1 . Golongan masyarakat ini biasanya menggunakan cara berkomunikasi yang tidak langsung to the point, dalam menyampaikan suatu hal, biasanya diawali dengan kata-kata pembuka yang cenderung mengarah ke basa-basi dalam rangka menjaga perasaan lawan bicara. Pemilihan kata–kata (diksi) pada saat berbicara pun dilakukan secara hati-hati. Tidak asal-asalan, sehingga kalimat yang dihasilkan enak didengar dan tidak menyinggung perasaan lawan bicara. Namun kehati-hatian ini tidaklah lantas membuat masyarakat konteks budaya tinggi berbicara terlalu banyak. Biasanya mereka akan berbicara seperlunya. Masyarakat ini juga sangat menjunjung tinggi aturan yang telah ada. Dalam konteks ini aturan tersebut pastinya ada hubungan dengan budaya. Seperti apabila 1 Materi Kuliah Teori Komunikasi – Uncertainty Reduction oleh Drs. Turnomo Rahardjo

Upload: imam-syaifudin

Post on 12-Jun-2015

6.004 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

Komunikasi Non Verbal dalam Masyarakat High and Low Context

Komunkasi nonverbal adalah penyampaian makna melelui bahasa tubuh meliputi

ekspresi wajah, gestures, posture, kontak mata, dan suara, juga penggunaan ruang fisik

seperti jara interpersonal, waktu, artefak yang digunakan (Dayakisni & Yuniardi, 2008).

Lalu apa hubungan antara komunikasi non verbal dengan masyarakat High or Low

Context?

Secara sederhana, masyarakat konteks budaya tinggi atau yang biasa disebut dengan

high context culture dapat diartikan sebagai masyarakat yang cenderung menganut budaya

kolektif yang cenderung menyampaikan pesan secara berbelit-belit dengan banyak

menggunakan simbol, kiasan, dan kata-kata halus yang dirumuskan sebagai high-context1.

Golongan masyarakat ini biasanya menggunakan cara berkomunikasi yang tidak langsung to

the point, dalam menyampaikan suatu hal, biasanya diawali dengan kata-kata pembuka yang

cenderung mengarah ke basa-basi dalam rangka menjaga perasaan lawan bicara. Pemilihan

kata–kata (diksi) pada saat berbicara pun dilakukan secara hati-hati. Tidak asal-asalan,

sehingga kalimat yang dihasilkan enak didengar dan tidak menyinggung perasaan lawan

bicara. Namun kehati-hatian ini tidaklah lantas membuat masyarakat konteks budaya tinggi

berbicara terlalu banyak. Biasanya mereka akan berbicara seperlunya. Masyarakat ini juga

sangat menjunjung tinggi aturan yang telah ada. Dalam konteks ini aturan tersebut pastinya

ada hubungan dengan budaya. Seperti apabila makan bersama dalam satu ruang makan, maka

tidak boleh berbicara sendiri. Lalu aturan mengenai kewajiban untuk menghormati orang

yang lebih tua. Aturan-aturan seperti inilah yang menjadi ciri khas masyarakat konteks

budaya tinggi. Dalam hal “membaca lingkungan”, mereka juga termasuk ahlinya. Membaca

lingkungan disini berarti kemampuan mengetahui keadaan dengan cara membaca bahasa non-

verbal lawan bicara. Jika mimik muka lawan bicara telah berubah yang jika pada awalnya

mereka tersenyum namun lama-kelamaan senyuman tersebut menghilang dan digantikan oleh

raut muka yang cemberut, maka itulah saatnya untuk menghentikan pembicaraan atau

merubah topik pembicaraan. Kita juga akan sering menjumpai makna ambiguitas dalam

pembahasan masyarakat konteks budaya tinggi.

Berbeda dengan masyarakatkonteks budaya tinggi, masyarakat konteks budaya rendah, atau

yang biasa disebut dengan low context culture diartikan sebagai masyarakat yang

mengartikan dan menyampaikan pesan tanpa banyak basa-basi. Mereka menyampaikan lewat

1 Materi Kuliah Teori Komunikasi – Uncertainty Reduction oleh Drs. Turnomo Rahardjo

Page 2: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

arti sesungguhnya tanpa kiasan atau cara yang berbelit-belit agar bisa dimengerti. Pola

komunikasi seperti ini cenderung digunakan oleh masyarakat yang bersifat individualistis.

Dalam sebuah pembicaraan, mereka biasanya cenderung blak-blakan, langsung pada inti apa

yang ingin diucapkan, tanpa menyaring kata-kata yang akan dikeluarkan. Sehingga

kemungkinan lawan bicaranya tersinggung itu lebih besar. Namun, kebanyakan dari mereka

berkomunikasi dengan sesamanya. Sehingga kemungkinan terrsinggung akan lebih kecil. Hal

ini karena lawan bicaranya (sesama masyarakat budaya rendah) juga terbiasa mengatakan hal

yang sama, lugas, langsung, dan to the point. Pilihan kata (diksi) yang tepat juga tidak begitu

diperhatikan, dalam berkomunikasi, yang terpenting maksud pembicara dapat tersampaikan

tanpa harus repot-repot memilih susunan kalimat yang baik. Berkebalikan dari masyarakat

konteks budaya tinggi, masyarakat budaya rendah cenderung tidak suka mengindahkan

aturan. Dalam sistem masyarakat ini, kita akan jarang menemukan aturan-aturan yang

mengikat. Mungkin ada beberapa, namun tidaklah banyak. Biasanya mereka lebih mengacu

pada aspek rasionalitas dalam menghadapi sebuah persoalan. Kita pun akan jarang

menemukan makna ambiguitas di dalam masyarakat ini. Masyarakat konteks budaya rendah

cenderung tidak begitu bisa untuk “membaca lingkungan”. Ini berarti, pada saat berbicara

mereka tidak dapat membaca situasi/keadaan. Hal ini disebabkan mereka tidak begitu ahli

dalam membaca bahasa non-verbal lawan bicaranya.

faktor high-context culture low-context culture

pola komunikasi banyak menggunakan metafor,

pesan-pesan yang implisit, tidak “to

the point”.

pesan yang disampaikan to the point,

tidak “berputar-putar”.

sikap diri apabila

terjadi kesalahan

menerima/meyikapi kesalahan yang

terjadi sebagai kesalahan pribadi,

cenderung untuk meng-internalisasi

banyak hal.

menilai kesalahan terjadi karena faktor

eksternal/orang lain. 

penggunaan

komunikasi non

verbal

menggunakan komunikasi non-

verbal dengan ekstensif.

cenderung untuk menggunakan

komunikasi verbal daripada non-

verbal.

ekspresi reserved, mendem jero, ilmu padi ekspresif, kalau tidak suka/tidak setuju

Page 3: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

(semakin berisi semakin merunduk

– rendah hati).

terhadap sesuatu akan disampaikan,

tidak dipendam.

orientasi terhadap

kelompok

ada pemisahan yang jelas antara ini

kelompok saya VS itu bukan

kelompok saya.

terbuka, tidak terikat dalam dengan

satu kelompok, bisa berpindah-pindah

sesuai kebutuhan/konteks.

ikatan kelompok memiliki ikatan kelompok yang

sangat kuat, baik itu keluarga,

kelompok masyarakat, dsb.

cenderung untuk tidak memiliki ikatan

kelompok yang kuat – lebih individuil.

komitmen

terhadap

hubungan dengan

sesama

komitmen yang tinggi terhadap

hubungan jangka panjang -

hubungan baik lebih penting

daripada tugas/pekerjaan.

komitmen yang rendah terhadap

hubungan antar sesama -

tugas/pekerjaan lebih penting daripada

hubungan baik.

fleksibilitas

terhadap waktu

waktu bukanlah sebuah titik,

melainkan sebuah garis - proses

lebih penting daripada hasil akhir.

waktu adalah sebuah titik yang apabila

tidak dimanfaatkan dengan baik, akan

terbuang percuma - hasil akhir lebih

penting daripada proses.

diadaptasi dari: model budaya Prof. Edward T. Hall, seorang antropog dari Columbia

University.

( Sensifitas Budaya-http://www.rumahsakitmandiri.com/artikel/66-mgt-umum/135-

sensitifitas-budaya.html )

Komunikasi Non Verbal dalam Hubungan Asmara antara Orang Indonesia dengan

Amerika

Menurut Antropolog Edward T Hall (1979), bangsa Indonesia masuk dalam

kelompok high context culture dalam berkomunikasi2. Dalam budaya ini, konteks atau pesan

2 Tantangan Komunikasi di tengah Keragaman Budaya Dunia - http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:wtfDl3lRK_EJ:faculty.petra.ac.id/ido/courses/3b_tantangan_komunikasi.pdf+kOMUNIKASI+NON+VERBAL+MASYARAKAT+HIGH+AND+LOW+CONTEXT+CULTURE&hl=id&gl=id

Page 4: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

nonverbal diberi makna yang sangat tinggi. Sebaliknya, bangsa Amerika termasuk dalam low

context culture dalam berkomunikasi.

Eye Gaze

Bagi orang Amerika, kontak mata sebagai tanda kejujuran. Orang Amerika yang

berkomunikasi tanpa memandang mata pihak lawan bicara dipandang tidak jujur. Namun

Bagi orang Indonesia, memandang mata lawan bicara masih dianggap tidak sopan.

Sentuhan

Hasil studi menunjukkan bahwa bagi orang Amerika sentuhan diintepretasikan

sebagai “kekuatan” atau bias diartikan membantu atau menolong. Orang yang lebih kuat akan

menyentuh orang yang kurang kuat, seperti jabat tangan. Namun bagi orang Indonesia

terutama wanita, sentuhan merupakan hal yang tabu, apalagi belum menikah. Hal tersebut

tidak lepas dari budaya ketimuran yang menganggap sentuhan antara laki-laki dan

perempuan, meskipun dalam hubungan asmara adalah perbuatan yang tidak senonoh.

Paralanguage

Paralanguage sesungguhnya termasuk dalam unsur-unsur linguistik, yaitu bagaimana

atau cara sesuatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan itu sendiri. Bagi orang Amerika

cara berbicara dan mengungkapkan sesuatu cenderung diungkapkan dengan apa adanya atau

bahkan blak-blakkan. Mereka tidak terlalu memperhatikan intonasi, volume ataupun

dialeknya. Sedangkan orang Indonesia justru sebaliknya, cenderung menyampaikan pesan

secara berbelit-belit dengan banyak menggunakan simbol, kiasan, dan kata-kata halus.

Diam

Diam bisa berarti juga sedang melakukan komunikasi. Seseorang dengan diam bisa

saja ia mengkomunikasikan tidak ingin diganggu, atau sedang marah, sebel, benci, dan

sebagainya. Dalam komunikasi di budaya Timur, diam bisa diartikan dengan beragam arti.

Sedangkan orang Amerika menggap diam adalah hal yang berbeda. Bisa berarti setuju atau

sedang berpikir.

Body Movement

Setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya sendiri. Orang Amerika menggerakkan

tubuhnya dengan cara bahasa Amerika. Dan orang Indonesia juga memiliki pergerakan tubuh

khas Indonesia. Meskipun hal tersebut juga tidak lepas dari latar belakang etnis, kelas sosial,

gaya pribadi dan lain-lain, ini semua akan mempengaruhi bahasa tubuh kita Beberapa

perbedaan kebudayaan mungkin dengan mudah dapat dikenali namun ada juga yang sukar.

Penciuman (Bau)

Page 5: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

Indera penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk membangkitkan makna.

Orang AS merupakan pencerminan dari kebudayaan yang anti bau3, sedangkan orang

Indonesia menganggap penting bau seseorang sebagai perluasan dari pribadi individu

tersebut.

Warna, waktu, dan bunyi.

Faktor tersebut menjadi hal yang relative bagi setiap pribadi. Hal tersebut tidak lepas

dari psikologi (kesukaan, favorit, kegemaran, atau ketidaksukaan.

Kedekatan Ruang dan Waktu

Orang Amerika Serikat lebih suka ada meja yang membatasi dirinya dengan orang

lain. Orang Amerika Serikat lebih suka membiarkan pintu kamar kerjanya terbuka dan kalau

ditutup berarti ada suatu rahasia atau hal yang serius yang dibicarakan. Orang Indonesia

belajar untuk membuat batas tembok dengan orang lain, yaitu dengan cara bicara dalam nada

rendah atau diam. Kebiasaan ini bagi orang Amerika Serikat dapat dianggap sebagai silent

treatment4. 

Contoh

Kapanlagi.com - Artis sinetron Tia Ivanka semakin mantap dengan George Tupelo. Ia memutuskan untuk menikah dengan pria bule asal Amerika Latin. Apalagi, George telah bersedia masuk Islam, agama yang dianut Tia. "Dia bilang mau ikut saya," kata perempuan bernama asli Artia Dewi Siregar itu di Jakarta.

Dari perspektif Komunikasi Antar Pribadi, hubungan Tia-George didasarkan pada latarbelakang yang berbeda. Tia dan George menggunakan bahasa non verbal yang berbeda dalam hubungan mereka. Tia sebagai orang Indonesia mungkin memiliki cara yang berbeda dalam berhubungan dengan George. Tia harus bisa menjaga jarak, sikap dan perilaku dalam berhubungan dengan George yang berkebangsaan Amerika. Mungkin sentuhan, pelukan bahkan ciuman adalah hal yang wajar bagi George sebagai orang Amerika, namun tidak bagi Tia sebagai orang Indonesia yang notabene menganut adat ketimuran. (Di sini Saya mengesampingkan factor Tia sebagai artis yang biasanya hal-hal di atas adalah hal yang wajar).

Hubungan Masyarakat Jawa dengan Masyarakat Luar Jawa

 Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya adalah Indonesia, khususnya suku Jawa. Masyarakat Jawa sangat terkenal dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh sopan santun. (Di sini Saya menyamakan semua masyarakat Jawa dan mengesampingkan 3Di negara-negara yang penduduknya tidak terlalu banyak mengkonsumsi daging, ada anggapan bahwa orang-orang AS mengeluarkan bau yang tidak enak karena terlalu banyak makan daging.4 Menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan sedang marah

Page 6: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

factor wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur). Oleh karena itu menurut saya masyarakat Jawa termasuk dalam the real high context culture. Sedangkan bagi masyarakat luar Jawa, pasti memiliki karakteristik yang berbeda. Di sini saya akan membandingkan dengan orang Batak karena saya menilai karakter orang Jawa sangat kontras dengan orang Batak. Namun perlu dicatat, perbedaan komunikasi non verbal tidak menyeluruh begitu saja di antara keduanya. Hal tersebut tidak lepas dari factor adat dan budaya secara khusus dan termasuk orang Indonesia secara umum.

Eye Gaze

Bagi orang Jawa, kontak mata secara langsung dianggap hal yang tidak sopan.

Terlebih jika hal tersebut dilakukan terhadap orang yang lebih tua. Orang jawa menyebutnya

unggah-ungguh atau tata krama. Bagi orang luar jawa sebenarnya kontak mata secara

langsung bukan hal yang dipermasalahkan. Namun walaupun begitu bukan berarti orang

Batak menganggap kontak mata secara langsung hal yang wajar. Tetap saja kontak mata tetap

ada aturannya karena bagi sebagian orang, kontak mata yang terlalu berlebihan dianggap

menantang bahkan pelecehan.

Sentuhan

Masyarakat jawa adalah masyarakat yang sangat menjunjung adat ketimuran. Salah

satunya adalah sentuhan. Masyarakat jawa akan sangat menjaga diri mereka dengan lawan

jenisnya sebelum mereka menikah. Hal tersebut menyangkut harga diri dan masalah tata

krama yang ada. Hal tersebut sama bagi orang Batak.

Paralanguage

Inilah komunikasi non verbal yang begitu kontras antara orang Jawa dan Batak.

Masyarakat Jawa sangat terkenal dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh sopan

santun. Intonasi dan suaranya pelan. Lebih banyak basa-basi dan berbelit-belit. Sebaliknya,

orang Jawa sangat blak-blakkan. Tidak peduli siapa lawan bicara. Intonasi dan suara sangat

keras dan cenderung kasar bagi orang Jawa.

Diam

Bagi orang Jawa, berbicara sebenarnya hanya diperbolehkan seperlunya saja. Jadi

ketika orang Jawa diam, hal itu adalah hal yang lumrah. Hal tersebut sesuai dengan adat

orang Jawa yang sangat berhati-hati ketika berbicara. Terlebih membicarakan orang lain.

Namun bagi orang batak, diam adalah penolakan.

Body Movement

Setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya sendiri. Orang Jawa dan Batak memiliki

khas bahasa tubuhnya masing-masing.

Kedekatan Ruang dan Waktu

Page 7: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

Orang Jawa sangat menjaga jarak dengan orang lain. Ada banyak factor mengapa.

Salah satunya adalah adanya tingkatan-tingkatan bagi orang Jawa yaitu anak-anak-dewasa-

orang tua. Sedangkan Orang batak tidak mengenal tingkatan sehingga jarak dan waktu

bukanlah penghalang dalam setiap komunikasi. 

Contoh

Si A adalah mahasiswa dari Jawa dan memiliki teman B dari luar Jawa yaitu Batak.

Keduanya akan sangat sulit untuk saling menyesuaikan. Si A akan berbicara dengan nada

yang pelan atau biasa dan dengan intonasi serta tekanan yang biasa pula. Namun si B

berbicara dengan suara yang lantang disertai intonasi tekanan yang keras. Di sini bisa saja Si

A salah paham karena menganggap B suka berbicara dengan keras dan punya tata krama.

Namun tidak bagi si B. B merasa hal itu wajar-wajar saja.

Lainnya, Si A mungkin terbiasa dengan tingkah lakunya sesuai dengan unggah-

ungguh atau tata krama adat Jawa. Selalu menunduk dan tidak melihat wajah lawan bicara,

selalu senyum, dan mengucapkan permisi sambil membungkuk ketika lewat di depan

seseorang . Namun semua hal tersebut mungkin tidak dilakukan oleh B. Berbicara secara

blak-blakkan dan berjalan lalu lalang begitu saja tanpa permisi merupakan hal yang biasa

bagi si B.

Jadi di sinilah perlu adanya sikap saling mengerti dan saling menyesuaikan antara

keduanya dalam komunikasi antar pribadi agar tidak terjadi benturan budaya di antara

keduanya.

Hubungan Pertemanan, Persahabatan, dan Pacaran dalam Pesantren

Inilah model komunikasi antar pribadi yang berbeda dan unik di antara model

komunikasi antar pribadi lainnya, Komunikasi non verbal dalam hubungan pertemanan dan

persahabatan sabtri dalam pesantren sedikit berbeda dengan orang pada umumnya. Betapa

tidak, setiap hubungan baik itu pertemanan dan persahabatan dalam pesantren tidak bisa

dilakukan sembarangan dan harus mengikuti aturan-aturan yang ada terlebih jika hubungan

tersebut adalah lawan jenis, baik karena didasarkan aturan agama juga aturan dari pesantren

itu sendiri. Orang yang hidup dalam pondok pesantren atau santri sebenarnya tidak mengenal

yang namanya pacaran. Hal tersebut dilarang dalam agama Islam karena Islam tidak

mengenal yang namanya pacaran. Islam hanya mengenal ta’aruf 5 dan khitbah6. Sebagai satu

5 Pertemuan antar pihak laki-laki dengan pihak perempuan sebelum memutuskan untuk menikah6 Lamaran atau pinangan

Page 8: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

contoh fenomena yang menarik adalah diharamkannya facebook oleh para ulama se-Jawa dan

Bali.

Facebook HARAM?????

Boomingnya layanan situs jejaring sosial, seperti facebook, friendster maupun chatting untuk menjalin hubungan pertemanan diam-diam diawasi oleh ulama.

Pondok Pesantren se Jawa-Madura yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren Putri (FMP3) mengharamkan pemanfaatan situs jejaring sosial secara berlebihan, seperti mencari jodoh maupun pacaran.

Pernyataan ini sesuai dengan hasil pembahasan dalam Forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtdien Lirboyo, Kelurahan Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, yang dilaksanakan sejak beberapa hari yang lalu.

( http://staff.blog.ui.ac.id/syam-mb/2009/05/25/facebook-haram )

Jadi, di sini Saya hanya akan menjelaskan komunikasi non verbal hubungan

pertemanan dan persahabatan saja karena hubungan pacaran tidak dikenal dalam pesantren.

Contoh

A dan B adalah santri dan santriwati dari sebuah pesantren. Ketika mereka saling

bertemu dan bicara, mereka tidak saling menatap mata (eye gaze) dan memandang satu sama

lain. Lebih-lebih melihat matanya, melihat wajahnya pun A dan B tidak berani. Mereka

hanya akan melihat satu sama lain sekilas saja. Hal tersebut untuk menjaga pandangan

mereka.

Nada dan intonasi dalam paralanguage A dan B pun sangat pelan-pelan. Mereka

tidak bicara keras-keras bahkan membentak. Mereka sangat berhati-hati dalam

mengungkapkan atau menyampaikan setiap kalimat.

Jarak dan waktu mereka pun tidak terlalu dekat. Mereka saling menjaga jarak karena

tidak diizinkan untuk saling bersentuhan bahkan untuk sekedar bersalaman sekalipun.

Mereka juga tidak boleh bertemu berduaan saja terlebih dalam waktu yang lama untuk

menjaga dari fitnah. Ketika si B diam maka si A pun diam. Mereka hanya bicara seperlunya

saja.

Page 9: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

Mereka tidak tertawa terbahak-bahak sampai gigi mereka terlihat, namun hanya

tersenyum saja. Itulah bentuk-bentuk komunikasi non verbal santri-santri dalam pesantren. Itu

berlaku untuk semua, entah itu teman ataupun sahabat.

( Sample yang saya ambil adalah pondok-pondok pesantren di Kaliwungu yang

dikenal dengan kota santri )

Hubungan Profesional dalam rangka penjajagan dan pengembangan bisnis antara

orang Jawa dengan Cina

Sebelum kita masuk pada hubungan non verbal antara Orang Jawa dan Orang Cina,

tak ada salahnya mengetahui bagaimana proses perkembangan hubungannya masyarakat

Cina dan Jawa. Seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang

mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks. Salah satu masalah tersebut erat

kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non pribumi, terhadap

identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis pribumi.

Sanjatmiko (1999) menyimpulkan bahwa renggangnya jarak sosial etnis Cina dengan

etnis Jawa disebabkan oleh:

1. Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnis Cina ke dalam penduduk pribumi, sehingga

perasan senasip orang-orang Cina terhadap komunitasnya sangat tinggi.

2. Anggapan bahwa kultur etnis keturunan Cina lebih tinggi daripada etnis pribumi dalam hal

ini etnis Jawa. Hal ini sering terjadi karena akibat dari pemerintah kolonial yang

memberikan strata sosial yang lebih tinggi kepada etnis Cina dari pada etnis Jawa.

3. Prasangka negatif bahwa etnis Jawa itu malas, bodoh, tidak dapat memanfaatkan

kesempatan dan sebagainya. Sebaliknya prasangka negatif yang terjadi pada etnis Cina

oleh Jawa bahwa orang Cina ialah etnis yang mau untung sendiri tanpa melihat halal dan

haram.

4. Diskriminasi pribumi terhadap etnis Cina dalam kesempatan menduduki jajaran aparat

desa atau pemerintah. Diskriminasi ini terjadi pada masa orde baru dimana etnis Cina

hanya boleh memegang perekonomian tanpa boleh memegang pemerintahan.

5. Adanya perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi antara pribumi dan etnis Cina.

Kesenjangan ini terjadi karena adanya suatu perbedaan akses terhadap sumber daya

ekonomi.

(Keterangan di atas dikutip dari Pengaruh Persaingan Bisnis Dan Kecemburuan Sosial Jawa

dan Cina - http://lutfihistory.blogspot.com/2009/04/pengaruh-persaingan-bisnis-dan.html)

Page 10: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

Jadi, bisa kita lihat bahwa masyarakat Jawa termasuk dalam High Context Culture

sedangkan Cina adalah Low Context Culture sehingga komunikasi nnon verbal di antara

keduanya akan saling berbenturan.

Contoh:

A adalah seorang pengusaha Jawa yang bekerjasama dengan B yang merupakan orang

Cina. Dalam melakukan hubungan kerjasama, B sebagai orang Cina tidak hanya akan melihat

kinerja A dari bagaimana dia menggunakan komunikasi non verbal tetapi juga komunikasi on

verbal. Padahal di satu sisi, A adalah orang Jawa yang lebih menekankan pada komunikasi

non verbal.

Misalnya paralanguage di antara keduanya dalam menyampaikan program-program

kerjasama mereka, B akan lebih cepat dan gesit dalam menyampaikannya ide-idenya

sedangkan A sebagai orang Jawa terkesan lamban dan basa-basi dalam mengungkapkan ide-

idenya.

Mengenai kedekatan ruang misalnya, B sebagai orang Cina akan lebih terbuka dalam

setiap menjalin hubungan dan kerja sama sedangkan A sebagai orang Jawa terkesan tertutup

karena lebih berhati-hati. Bagi B, sebagai orang Cina, dia harus bekerja gigih, cepat dan keras

untuk mendapatkan banyak profit. Jadi waktu bagi B adalah uang. Sedangkan A sebagai

orang Jawa punya pribahasa sendiri, “alon-alon asal kelakon” yang artinya santai saja yang

penting tercapai.

Keduanya memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan-perbedaan inilah yang

membuat keduanya memiliki komunikasi non verbal yang bertolak belakang. Untuk itu untuk

menjaga dan mengembangkan kerjasama di antara keduanya, B sebagai orang Cina harus

lebih memberikan ruang dan waktu bagi orang jawa dalam setiap melakukan bisnis tersebut.

Begitu pula A sebagai orang Jawa harus bisa lebih cepat dan gesit dalam menyampaikan ide-

ide serta kerjanya dalam bekerjasama dengan B.

Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya konteks tinggi dan

budaya konteks rendah mempunyai beberapa perbedaan penting dalam cara penyandian

pesannya. Anggota budaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku nonverbal dan

"dalam membaca lingkungan", dan mereka menganggap bahwa orang lain juga akan mampu

melakukan hal yang sama. Jadi mereka berbicara lebih sedikit daripada anggota-anggota

budaya konteks rendah. Umumnya komunikasi mereka cenderung tidak langsung dan tidak

ekplisit. Budaya konteks rendah, sebaliknya menekankan komunikasi langsung dan ekplisit,

yakni pesan- pesan verbal sangat penting, dan informasi yang akan dikomunikasikan disandi

dalam pesan verbal.

Page 11: Komunikasi Non Verbal Dalam Masyarakat High and Low Context

Referensi :

Materi Kuliah Teori Komunikasi – Uncertainty Reduction oleh Drs. Turnomo Rahardjo

Beebee, S. Beebee, S., dan Redmond, M. (2002).  Interpersonal Communication: Chapter 7 “Nonverbal Communication Skills” (3rd edition).  Boston: Allyn and Bacon

KOMUNIKASI NON-VERBAL Oleh : Dr Rochajat Harun Med. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Komunikasi+Non-Verbal&dn=20081022065832

KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA (Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa oleh Kim Geung Seob) http://74.125.153.132/search?q=cache:u24XavUiy2wJ:elisa.ugm.ac.id/files/suray_daryl/rdLzEJRf/komunikasi%2520antarbudaya.doc+komunikasi+non+verbal+orang+jawa+dan+orang+luar+jawa&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id

ORANG BATAK, ORANG MINANG, ORANG   JAWA http://moendg07.wordpress.com/2009/02/26/orang-batak-orang-minang-orang-jawa/

MAGNITUDE KOMUNIKASI POLITIK OBAMA oleh Dr. Ali Masykur Musa http://www.kauje.net/index.php/Kolom-Ketum/MAGNITUDE-KOMUNIKASI-POLITIK-OBAMA-*.htmlSENSITIFITAS BUDAYA http://www.rumahsakitmandiri.com/artikel/66-mgt-umum/135-sensitifitas-budaya.html

FACEBOOK HARAM???? http://staff.blog.ui.ac.id/syam-mb/2009/05/25/facebook-haram

PENGARUH PERSAINGAN BISNIS DAN KECEMBURUAN SOSIAL JAWA DAN CINA

http://lutfihistory.blogspot.com/2009/04/pengaruh-persaingan-bisnis-dan.html