kon sensus
DESCRIPTION
isk pada lansiaTRANSCRIPT
Infeksi merupakan masalah yang umum terjadi pada usia lanjut dan merupakan penyebab
yang signifikan terjadinya morbiditas dan mortalitas populasi kelompok usia tersebut. Infeksi
juga merupakan alasan utama perawatan di rumah sakit pada usia lanjut yang tinggal di
komunitas dan merupakan diagnosis yang paling sering menyebabkan seorang usia lanjut
penghuni tempat perawatan jangka panjang (long-term care Facilities) dipindahkan keruang
perawatan akut dirumah sakit.
Seorang usia lanjut berada pada resiko tinggi terjadinya infeksi dengan komplikasi yang
serius akibat infeksi. Disisi lain, menegakan diagnosis terjadinya infeksi pada usia lanjut
tidak selalu mudah. Tampilan klinis yang tidak khas disertai berbagai kemunduran status
fungsional dan kognitif serta adanya penyakit-penyakit komorbid kronik yang lain membuat
munculnya infeksi pada usia lanjut sering tidak dapat dideteksi pada tahap awal. Sementara
pada sebagian besar kasus pemberian antibiotik empirik yang cepat dan tepat, disertai terapi
suportif yang adekuat, sangat mempengaruhi perjalanan penyakit dan prognosis pasien lanjut
usia yang mengalami infeksi. Keterlambatan diagnosis akan mempengaruhi saat memulai
terapi yang akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan infeksi.
Masalah lain adalah soal pemilihan antimikroba yang harus memperhatikan berbagai
penurunan fungsi organ pada usia lanjut serta jenis mikroorganisme penyebab yang seringkali
berbeda dari kelompok usia dewasa muda. Hal ini membutuhkan pertimbangan yang cukup
dalam hal pemilihan jenis dan penyesuaian dosis antimikroba yang harus diberikan. Yang
tidak kalah penting adalah masalah tata laksana umum infeksi pada kelompok usia lanjut
yang harus bersifat paripurna, yaitu selain pemberian antimikroba juga harus memperhatikan
segi cairan, nutrisi, status fungsional dan mental, interaksi obat dan upaya pencegahan
infeksi.
Pada pasien geriatri tidak hanya kondisi fisik-medik saja yang terlibat dan perlu diberikan
perhatian, maka perlu diberikan suatu pendekatan khusus dalam menghadapi seorang usia
lanjut yang sakit, yang sdisebut sebagai pendekatan paripurna pada pasien geriatri (P3G) atau
comprehensive geriatric assesment (CGA). Pada P3G selain kondisi fisik-medik juga
dilakukan pengkajian terhadap fungsi kognitif dan mental, psikososial, nutrisi, serta status
fungsionalnya. Dalam pelaksanaannya P3G dilakukan oleh suatu tim interdisiplin yaitu terdiri
dari spesialis penyakit dalam konsultan geriatri, spesialis psikiatri geriatri, spesialis
rehabilitasi-medik geriatri, ahli gizi, farmasi dan perawat gerontik.
Pada pasien geriatri yang mengalami infeksi akut, P3G mempunyai peranan yang sangat
penting. Evaluasi menyeluruh mengenai kondisi fisik medik baik dari anamnesis (termasuk
riwayat penyakit dan konsumsi oat-obatan), pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan
penunjang, disertai evaluasi status fungsional, cairan dan nutrisi serta status kognituf dan
mental, akan mengarahkan dokter pada diagnosis yang tepat termasuk adanya hendaya yang
muncul, penatalaksaan yang paripurna, serta upaya pencegahan yang optimal. Dengan
demikian keluaran (outcome) yang akan dihasilkan juga dapat leih baik dibandingkan pada
pasien lanjut usia yang ditatalaksana secara konvensional.
Pasien yang dikelola dengan P3G mempunyai kualitas hidup terkait kesehatannya yang lebih
baik, jumlah hari hidup terkait kualitas yang lebih tinggi, angka rehopitalisasi yang secara
bermakna berkurang, serat biaya yang dikeluarkan pasien tidak lebih tinggi dibandingkan
pasien yang dirawat dengan cara konvensional.
Pada tabel 1 dapat disimak butir-butir yang dievaluasi pada P3G, termasuk pada pasien
geriatri yang mengalami infeksi akut.
Tabel 1
Butir-butir yang dievaluasi pada Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G)
Anamnesis
1. Keluhan utama
2. Riwayat penyakit sekarang (RPS)
3. Riwayat penyakit dahulu (RPD)
a. Riwayat perawatan sebelumnya
b. Riwayat operasi
4. Riwayat pemakaian obat- obatan
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Riwayat alergi
7. Riwayat nutrisi
8. Riwayat sosial
a. Kebiasaan
b. Finansial
c. Dukungan keluarga
9. Anamnesis sistem
Pemeriksaan fisik
1. Tanda vital
2. Pemeriksaan sistem organ
3. Pemeriksaan neurologik ( N I – N XII, sensorik-motorik )
4. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi
Pemeriksaan status fungsional
1. Memeriksa indeks ADL (activities of daily living) atau ICF ( International
Classification Of Functioning )
2. Memeriksa IADL ( Instrumental ADL )
Memeriksa status mental
1. Memeriksa skor AMT ( Abbreviated mental test )
2. Melakukan penampilan depresi dengan Geriatric Depression Scale
Pemeriksaan penunjang
1. Sesuai hasil anamnesis dan pemeriksaan sebelumnya
2. Sesuai urutan prioritas
3. Sesuai asas cost-effectiveness
Pengkajian iatrogenesis
1. Mengidentifikasi adanya efek samping obat baik langsung maupun interaksi obat.
2. Mengidentifikasi adanya efek merugikan pada pasien akibat tindakan diagnostik
tenaga kesehatan
3. Mengidentifikasi adanya efek merugikan pada pasien akibat tindakan medik/bedah
4. Mengidentifikasi adanya efek merugikan pada pasien akibat tindakan keperawatan
Pendekatan interdisiplin
1. Kunjungan oleh semua disiplin terkait, dua kali seminggu
2. Pembahasan pasien seminggu sekali oleh tim terpadu geriatri
3. Prinsip merawat bersama
4. Komunikasi langsung
5. Rekam medik bersama
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi pada Usia Lanjut
Infeksi yang terjadi pada usia lanjut, selain dipengaruhi adanya mikroorganisme penyebab
infeksi (faktor agen) dan faktor lingkungan juga sangat dipengaruhi perubahan mekanisme
respon imun yang menyebabkan daya tahan tubuh (host defence). Menurunnya daya tahan
tubuh sendiri, selain disebabkan perubahan sisitem imun, juga dapat disebabkan oleh kondisi
malnutrisi dan banyaknya penyakit komorbid yang sering menyertai seorang berusia lanjut.
Beberapa faktor yang dapat menjadi faktor resiko, faktor predisposisi dan faktor kontributor
terjadinya infeksi pada usia lanjut antara lain :
1. Perubahan sistem imun dan respon imun
Seorang yang berusia lanjut akan mengalami penurunan kemampuan untuk melawan agen
penyebab infeksi(mikroorganisme), yang disebabkan oleh disfungsi sistem imunitas adaptif
maupun alami (non-adaptif). Produksi dan proliferasi limfosit-T akan menurun seiring
meningkatnya usia, menyebabkan berkurangnya kemampuan imunitas yang di mediasi-sel,
sementara pada sel B terjadinya produksi antibodi terhadap antigen baru. Menipisnya kulit,
membesarnya prostat, menurunnya refleks batuk, serta perubahan anatomik maupun
fisiologis yang terkait usia akan mengubah imunitas non adaptif yang menempatkan seorang
usia lanjut rentan tehadap infeksi.
2. Adanya penyakit komorbid tertentu
Penyakit penyakit kronik seperti keanasan, aterosklerosis, diabetes melitus, demensia,
merupakan predisposisi terhadap terjadinya infeksi tertentu. Penggunaan obat-obatan seperti
sedatif, narkotika, antikolinergik, dan obat penekan asam lambung akan menekan mekanisme
daya tahan tubuh jauh lagi. Komorbiditas pada usia lanjut akan menyebabkan menurunnya
imunitas alamiah yang non-spesifik seperti integritas kulit, refleks batuk, bersihan mukosilier,
maupun respon imun yang dipacu oleh pengenalan terhadap produk mikroba. Penyakit paru
obstruktif (PPOK) dan diabetes melitus (DM) merupakan contoh penyakit komorbid yang
merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pada usia lanjut.
3. Malnutrisi
Malnutrisi, sering dijumpai pada populasi usia lanjut, baik di komunitas maupun yang tinggal
di panti werdha, berperan dalam menurunkan imunitas usia lanjut khususnya malnutrisi yang
dimediasi-sel. Seorang usia lanjut rentan terhadap terjadinya mal-nutrisi yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, baik fisiologis maupun psikologis, yang mempengaruhi
keinginan/nafsu untuk makan dan berbagai halangan fisik maupun ekonomi terhadap
kebiasaan makanan sehat. Malnutrisi sering dialami oleh mereka yang berusia sangat lanjut
(the oldest old), yang tinggal di tempat perawatan jangka panjang, beberapa etnik minoritas,
dan mereka dengan status sosial ekonomi rendah, seorang lanjut usia yang mengalami
malnutrisi lebih mudah mengalamai sakit dan mati dibandingkan berstatus nutrisi baik, atau
mudah mengalami luka tekan (ulkus dekubitus) serta penyembuhan luka yang lambat selama
perawatan akut dirumah sakit atau tempat perawatan lain.
4. Gangguan fungsional
Gangguan fungsional (seperti imobilisasi, inkontonensia, disfagia) yang sering terjadi pada
usia lanjut dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi karena selain menimbulkan
berbagai komplikasi juga meningkatkan kebutuhan akan pemakaian kateter, selang makanan
(feeding tubes), dan peralatan invasif lainnya.
5. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar berperan dalam meningkatnya insidens infeksi pada
kelompok usia lanjut. Populasi yang secara khusus rentan terhadap terjadinya infeksi adalah
penghuni panti wedha, yang di Indonesia umumnya mereka yang berasal dari kelompok
sosial ekonomi rendah yang tinggal di lingukan panti wedha dengan tingkat higiene yang
kurang memadai. Di Indonesia, faktor lingkungan ini masih berkutat pada masalah buruknya
higine, padatnya penduduk di suatu wilayah, dan sarana kesehatan belum merata. Kelomppok
usia lanjut dengan latar belakang ekonomi rendah sebagai kelompok yang rentan, masih
belum menjadi prioritas dari pemerintah maupun masyarakat, sehingga insidens infeksi dan
kondisi-kondisi yang berkaitan dengan infeksi tetap tinggi.
Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu infeksi yang umum terjadi pada populasi
usia lanjut, umumnya berupa ISK asimtomatik. Walaupun mortalitas langsung akibat ISK
dikatakan cukup jarang, namun insidensnya yang tinggi (baik di komunitas maupun di tempat
perawatan jangka panjang) menimbulkan masalah baru berupa penggunaan antibiotika secara
berlebihan yang meningkatkan laju resistensi kuman terhadap berbagai jenis antibiotika.
Bakteriuria asimptomatik meningkat tajam prevalensinya seiring meningkatnya usia,
terutama pada wanita. Prevalens bakteriuria asimptomatik juga meningkat tajam pada
populasi usia lanjut yang berada di tempat perawatan jangka panjang dan panti werdha.
Sementara bakteriuria simptomatik ditemukan sebanyak 13 per 100 orang per tahun, yaitu
10,9 pada pria dan 14 pada wanita.
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi bakterial yang paling sering timbu dan
sumber utama bakteriemia pada usia lanjut. Faktor yang mempredisposisi seorang usia lanjut
mengalami iks adalah penggunaan kateter (baik folley maupun kondom), dan neurogenic
bladder dengan peningkatan volume residu urine, faktor yang secara spesifik turut pula
berperan adalah hipertrofi prostat pada pria, serta meningkatnya pH vagina dan terjadinya
atrofi vagina sehubungan dengan deplesi esterogen post menopause dan pengosongan
kandung kemih yang tidak sempurna pada wanita. Faktor-faktor tersebut memberikan
kesempatan bagi bakteri untuk berkolonisasi dan meningkatkan resiko terjadinya bakteriuria
asimptomatik dan ISK pada usia lanjut.
Diagnosis
Sama seperti pada infeksi lain, manifestasi klinis ISK pada usia lanjut sering tidak khas -
bahkan asimptomatik- sehingga diagnosis dan pengobatannya masih menjadi tantangan bagi
para dokter. Beberapa gejala yang sama seperti pada dewasa muda mungkin terjadi pada
seorang usia lanjut yang mengalami ISK.
Pada pasien rawat jalan, seorang usia lanjut yang diduga mengalami ISK harus dilakukan
urinalisis dan pemeriksaan untuk mengkonfirmasi adanya bakteri di urin. Kultur urin
merupakan pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada semua pasien usia lanjut yang
diduga menderita ISK untuk menentukan jenis mikroorganisme penyebab. Cara
mengumpulkan spesimen untuk pemeriksaan urinalisis dan kultur harus dilakukan dengan
cara yang benar, yaitu mengambil urin porsi tengah (midstream urine specimen), untuk
menghindari kontaminasi bakteri untuk mikroorganisme lain yang ada di muara urethra.
Beberapa penulis mencoba membuat suatu kriteria diagnosis ISK pada pasien usia lanjut
berdasarkan manifestasi klinis dan laboratoris.
Tabel 2.
Gabungan kriteria untuk diagnosis infeksi saluran kemih pada usia lanjut
1. Bakteriuria > 105 colony forming unit (cfu) per ml dari patogen tunggal
2. Piuria > 10 sel darah putih perlapang pandang besar (LPB)
3. Gejala :
a. Nyeri berkemih, frekuensi atau urgensi yang baru muncul atau meningkat
b. Perubahan karakter urine : keruh, berdarah, atau berbau
c. Suhu tubuh meningkat
d. Nyeri baru atau memberat di suprapubic, pinggang atau kostovertebral
e. Inkontinensia yang baru muncul atau memberat
f. Penurunan status mental atau fungsional
Pada pasien-pasien usia lanjut yang memerlukan perawatan di rumash sakit, selain urinalisis
dan kultur urine, kultur darah juga harus dilakukan. Pasien yang dirawat dan terdapat infeksi
yang complicated (saluran kemih bagian atas berulang, atau terkait kateter) memerlukan
pengkajian fungsi ginjal (ureum, kreatinin) juga evaluasi terhadap anatomi saluran kemih
(ultrasonografi,pyelografi intrvena) dan fungsi kandung kemih (volume residu urine).
Beberapa pasien memerlukan pemeriksaan sistoskopi, sementara pada pasoen laki-laki
diperlukan pemeriksaan terhadap kelenjar prostat. Untuk menyingkirkan prostatitis bakterial
kronik dan hiperplasia prostat.
Penatalaksanaan
Bakteria asimptomatik pada usia lanjut seharusnya tidak diterapi karena terbukti tidak
mengurangi morbiditas dan mortalitas, bahkan akan meningkatkan resistensi terhadap
antibiotik, meningkatkan resiko terjadinya efek samping obat yang umum terjadi pada usia
lanjut, serta meningkatkan biaya. Terapi pada isk yang simptomatik memerlukan kultur urine
untuk diagnosis yang optimal, pemilihan antibiotika yang sesuai, serta lamanya terapi yang
memadai. Pemilihan antibiotik untuk pengobatan isk pada usia lanjut sama dengan dewasa
muda. Terapi empirik yang direkomendasikan pada pasien rawat jalan adalah dengan
trimetroprim-sulfametoxazole. Fluoroquinolone oral saat ini dianjurkan sebagai alternatif
terapi isk pada pasien yang intoleran terhadap trimetoprim-sulfametoxazole atau yang gagal
dengan terapi tersebut. Lama terapi umumnya 7 hari, atau pada kasus yang complicated dapat
dianjurkan sampai 14 hari. Pada laki-laki usia lanjut lama terapi antibiotika yang dianjurkan
adalah 14 hari. Pemeriksaan kultur urine ulang sebaiknya dilakukan setelah 7 sampai 10 hari
setelah terapi selesai.
Pasien usia lanjut yang memerlukan perawatan rumah sakit akibat isk umumnya diterapi
dengan antibiotika parenteral sampai terdapat perbaikan klinis. Antibiotika parenteral yang
dianjurkan digunakan sebagai terapi empirik isk pada lanjut usia yang dirawat adalah
fluoroquinolone, cephalosporine spektrum luas, beta-lactam dan anti beta-lactamase, dan
aminoglicoside. Pada perawatan di rumah sakit, lama terapi umumnya sekitar 10 sampai 14
hari. Evaluasi ulang kultur harus dilakukan setelah 7 sampai 10 hari setelah selesainya
pemberian antibiotika.
Tabel 3.
Regimen antibiotika parenteral untuk pengobatan infeksi saluran kemih komplikata
Antibiotika Dosis
Ciprofloxacin 200-400 mg tiap 12 jam
Ceftriaxone 1-2 gram tiap 24 jam
Ceftazoline 1-2 gram tiap 8 jam
Cefotaxime 1-2 gram tiap 8 jam
Ceftazidime 0,5-2 gram tiap 8 jam
Ampicilin 1 gram tiap 4-6 jam
Piperacillin/tazobactam 4,5 gram tiap 8 jam
Gentamicin 1-1,5 mg/KgBB tiap 8 jam atau 4-5
mg/KgBB tiap 24 jam
Amikacin 5 mg/KgBB tiap 8 jam atau 15 mg/KgBB
tiap 24 jam
Imipenem/cilastatin 500mg tiap 6 jam
Suatu uji klinis pada 237 pasien dengan rerata usia hampir 60 tahun yang mengalami
pielonefritis akut atau isk komplikata, menunjukan bahwa terapi dengan antibiotika
piperacillin-tazobactam sama efektifnya dengan imipenem-cilastatin dalam hal keberhasilan
klinis (83,0% vs 79,9%) tidak jauh berbeda secara statistik. Namun respon microbiologis
lebih baik pada piperacillin-tazobactam (57,9%) bila dibandingkan imipenem-cilastatin
(48,6%), dengan efektifitas piperazilin-tazobactam yang lebih baik terhadap E.coli,
Enterobacter Claloe, dan P. Aeroginosa. Kedua obat ini cukup aman dan dapat ditoleransi
dengan baik.(kejadian efek samping obat, masing-masing 9,6 dan 9,9%)
Pencegahan
Pada populasi usia lanjut yang mempunyai beberapa faktor resiko yang harus pertama-tama
dilakukan adalah memodifikasi faktor faktor resiko dan faktor predisposisi terjadinya isk
pada usia lanjut. Beberapa cara intervensi telah dievaluasi untuk mencegah isk pada populasi
usia lanjut, antara lain konsumsi cranberry juice dan pemberian antibiotika dosis rendah,
terutama pada perempuan usia lanjut yang mengalami episode kekambuhan sistitis akut yang
sering. Terapi profilaksis ini diberikan pada waktu menjelang tidur, dan diteruskan selama 6
bulan sampai 1 tahun.
Tabel 4
Antibiotika Profilaksis padaISK Simptomatis Akut yang Berulang
Antibiotika yang dianjurkan Dosis
Nitrofurantoin 50-100 mg per hari
Trimetoprim-sulfametoxazole 80/400 mg per hari atau 3 kali perminggu
Trimetoprim alternative 100 mg per hari
Cafalexine 125 mg per hari
Norfloxacine 200 mg per hari atau tiga kali perminggu
Ciprofloxacine 125 mg per hari
Penggunaan antibiotika pada usia lanjut
Seorang berusia lanjut cenderung akan mengkonsumsi obat-obatan dalam jumlah yang lebih
banyak dibanding dewasa muda, termasuk antibiotika. Ada beberapa aspek khusus dalam
penggunaan antibiotika untuk usia lanjut menyebabkan peresepannya lebih rumit, terlebih
lagi pemantauan efeknya. Perubahan fisiologis seiring meningkatnya usia akan menyebabkan
perubahan farmakokinetik, disertai sulitnya membuat perkiraan yang tepat mengenai fungsi
ginjal menyebabkan penyesuaian dosis antibiotika pada usia lanjut menjadi tantangan
tersendiri. Tingginya prevalensi penyakit komorbid pada seorang berusia lanjut akan
meningkatkan kemungkinan polifarmasi yang menyebabkan resiko efek samping dan
interaksi obat akan meningkat. Pengkajian terhadap dampak penggunaan obat (efek samping
obat dan interaksi obat) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendekatan paripurna
pada pasien geriatri (P3G).
Memulai terapi antibiotika seyogyanya hanya dilakukan pada keadaan terdapat potensi
keuntungan klinis yang jelas dan menghindari pemakaian antibiotika yang memicu resistensi.
Antibiotika empiris yang berspektrum luas harus ‘disempitkan’ jika patogen penyebab telah
diidentifikasi. Terapi antibiotika pada seorang usia lanjut tidak hanya dipengaruhi perubahan
fisiologis yang terkait farmako kinetik obat saja, namun juga oleh jenis infeksi atau infeksi
berat yang terjadi pada usia lanjut. Pedoman ‘start low, go slow’ harus diseimbangkan
dengan upaya penentuan dosis yang agresif untuk mencapai farmakodinamik yang optimal
dan meningkatkan keluaran klinis yang optimal pada pasien usia lanjut yang telah mengalami
immunosenescence, mempunyai komorbid yang banyak, dan cadangan fungsional klinis
sering optimal pada pasien usia lanjut yang telah mengalami immunosenescence, mempunyai
komorbid yang banyak, dan cadangan fungsional yang terbatas.
Perubahan fisiologis yang terjadi pada penuaan mempegaruhi parameter farmakokinetik
berbagai obat, termasuk antibiotika. Besarnya perubahan dan efek yang terjadi bervariasi
antara individu.
Tabel 5.
Perubahan fisiologis terkait peningkatan usia dan efeknya pada farmakokinetik antibiotika
Perubahan fisiologis Potensi efek farmakokinetik
Absorpsi
pH lambung meningkat Absorpsi antibiotika yang pH dependent
menurun dan absorpsi antibiotika yang acid-
labile akan meningkat
Luas permukaan usus kecil berkurang Absorpsi menurun
Aliran darah ke usus kecil menurun Absorpsi menurun
Pengosongan lambung dan motilitas saluran
cerna menurun
Absorpsi menurun atau melambat
Distrubusi
Rasio jaringan lemak terhadap jaringan otot
meningkat
Waktu paruh antibiotika yang larut lemak
bertambah panjang
Jumlah cairan tubuh berkurang Konsentrasi antibiotika yang larut air
meningkat
Kadar albumin plasma menurun Kadar bebas plasma beberapa antibiotika
(mis: penicillin, ceftriaxone, sulfonamid,
dan clindamicin) meningkat
Kadar α1 acid glycoprotein meningkat Kadar bebas plasma beberapa antibiotika
(makrolide) berkurang
Metabolisme
Aktifitas fase 1 enzimatik (sitokrom p 450)
menurun
Waktu paruh antibiotika yang
dimetabolisme melalui fase 1 bertambah
panjang
Aliran darah ke hepar berkurang Metabolisme jalur pertama berkurang
Eleminasi
Aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi
glomerulus menurun
Meningkatnya waktu paruh antibiotika yang
dieleminasi di ginjal
Dampak poli farmasi terhadap efek samping dan interaksi obat
Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan 5 atau lebih obat pada satu saat. Berdasarkan
definisi ini, polifarmasi didapatkan rata-rata pada 39% pasien berusia lanjut dikomunitas.
Data tahun 1999 menunjukan di poliklinik geriatri depaprtemen ilmu penyakit dalam
RSUPN-CM 32,3% pasien menggunakan lebih dari lima obat dalam satu saat, walaupun
angka tersebut semakin menurun pada tahun-tahun selanjutnya. Sampai batas tertentu,
polifarmasi dapat dianggap sebagai konsekuensi adanya penyakit komorbid yang banyak
(multipatologi) pada kelompok usia lanjut, dan datang ke banyak dokter sesuai penyakit yang
dideritanya. Sehingga, tidaklah mengherankan bahwa seorang berusia lanjut cenderung
mengalami polifarmasi dibandingkan usia yang lebih muda.
Konsekuensi polifarmasi adalah meningkatnya kemungkinan terjadinya efek samping obat
(ESO). Sekitar 10% dari seluruh kunjungan ke rumah sakit pada pasien-pasien berusia >65
tahun berhubungan dengan kejadian ESO. Kejadian ESO lebih sering terjadi pada mereka
yang menggunakan 5 macam obat atau lebih. Golongan antibiotika merupakan termasuk
kelompok obat yang paling banyak menyebabkan kejadian ESO, pada beberapa literatur –
disebutkan dapat mencapai 25% dari seluruh kejadian dibandingkan golongan obat lain,
termasuk antipsikosis dan antidepressan.
Kejadian ESO sebagai akibat dari interaksi obat pada polifarmasi bukan hal yang jarang
terjadi. Sebagai contoh, kejadian kematian jantung mendadak (sudden cardiac death)
resikonya lima kali lebih tinggi pada pasien yang menerima obat erithromcyn yang
dikonsumsi bersamaan dengan verapamil atau diltiazem.
Tabel 6.
Kejadian efek samping antibiotika yang umum terjadi pada usia lanjut
Jenis / kelas antibiotika Efek samping
Aminoglicoside Nefrotiksik dan ototoksik
Anti tuberkulosis Hepatotoksik
isoniazide Neuropati perifer
Rimfampisin Urin, air mata, dan keringat menjadi
berwarna orange
Beta lactam Diare, demam obat, nefritis interstisialis,
rash, trombositopenia, anemia dan
neutropenia
Carbapenem Kejang
Clyndamicycin Diare dan kolitis terkait clostridium difficile
Floroquinolone Mual, muntah, efek SSP : ambang kejang
menurun dan perpanjangan QT
Linezolide Trombositopenia dan anemia
Macrolide dan azalide Intoleransi saluran cerna, perpanjangan
interval QT, dan ototoksik
Eritromisin dan clarythromicin Hepatitis kolestasis dan interaksi obat
Amantadine dan rimatadine Efek SSP
Tetracycline Fotosensitive
Minocycline Vertigo
Antijamur trazole
Itraconazole dan voriconazole Intoleransi saluran cerna, hepatotoksik, dan
intoleransi obat
Voriconazole Fotosensitifitas dan gangguan visual
Tabel 7.
Interaksi antara antibiotika dan obat lain pada pasie usia lanjut
Jenis / kelas antibiotika Obat yang potensi
berinteraksi
Efek klinis yang potensial
terjadi
Aminoglicoside Amfositerisin B, siklosporin,
cisplatin, loop diuretik,
takrolimus, vankomisin
Memperberat nefrotoksisitas
Amoxicillin dan ampicillin Allopurinol Rash
Flouroquinolone Obat yang mengandung Absorpsi flouroquinolone
almunium, besi, magnesium,
atau zinc, antasida dan
sucralfat
menurun
Antiaritmia Aritmia ventrikular
Ciprofloxacine Suplemen calsium Absorpsi ciprofloxacine
menurun
Teofilin Kadar teofilin meningkat
Warfarin Efek antikoagulan meningkat
Linezolide Obat-obat serotonergik
(SSRI,MAOI, anti depresan
trisiklik)
Sindrome serotonin
Makrolide
Azthromycin Obat mengandung
alumunium atau magnesium
Absorpsi azythromicin
menurun
Clarythromicyn atau
erythromicyn
Antagonis kalsium, statin,
siklosporin, digoxin, teofilin,
dan warfarin
Kadar obat obat yang
berinteraksi meningkat, kadar
macrolide meningkat
(antagonis kalsium)
Metronidazole Warfarin Efek antikoagulan meningkat
Alkohol (termasuk obat yang
mengandung alkohol)
Reaksi seperti disulfiram
Rifampisin Antasid Absorpsi rifampisin menurun
Antiaritmia, benzodiazepin,
antagonis kalsium,
kortikosteroid, digoxin,
enalampril, esterogen dan
atau progestin, metadon,
phenytoin, tamoksifen,
teofilin, valproat,
voriconazole dan warfarin
Kadar atau efek obat-obat
yang berinteraksi menurun
Tetracyclin Obat yang mengandung
almunium, besi, magnesium
atau kalsium asida, dan
bismuth subsasilat
Absorpsi tetracycline
menurun
Digoxin Toksisitas digoxin
Antijamur triazole Karbamazepin, fenobarbital,
phenitoin, dan rifampisin
Konsentrasi anti jamur
menurun
Anti aritmia, benzodiazepine,
antagonis kalsium,
kortikosteroid, digoxin,
statin, sulphonylurea dan
warfarin
Kadar atau efek obat yang
berinteraksi meningkat
Itraconazole, ketoconazole Antasid, antagonis reseptor
H2, penghambat pompa
Absorpsi anti jamur menurun
proton
Voriconazole Phenytoin dan penghambat
proton pump
Kadar atau efek obat yang
berinteraksi meningkat
Trimetoprim-
sulfametoxazole
Phenytoin Kadar phenytoin meningkat
Sulphonyl urea Hipoglikemia
Warfarin Efek antaikoagulan
meningkat
Dosis obat yang tidak sesuai denga fungsi ginjal merupakan penyebab paling signifikan
terhadap kejadian ESO pada penggunaan antibiotika, terutama pada cephalosporin generasi-
ketiga dan aminoglicoside. Sehingga, evaluasi yang teliti terhadap fungsi ginjal pada pasien
lanjut usia harus dilakukan untuk mengurangi risiko kejadian ESO.