konflik agama di indonesia

8
Konflik Agama di Indonesia Agama merupakan panduan moralitas manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan adanya kesadaran beragama, manusia akan memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya kehadiran manusia lain. Manusia lain tersebut tentu memiliki berbagai perbedaan dan keunikan tersendiri. Mulai dari suku, agama, ras, maupun golongan. Perlu adanya sebuah kesadaran untuk menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agama didefinisikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dari pengertian tersebut sebenarnya agama dapat digunakan sebagai alat yang meciptakan sebuah keselarasan dalam masyarakat. Sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik jasmani maupun rohani. Perbedaan memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari di negeri ini. Para founding fathers secara tepat merumuskan bentuk negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler yang tentunya akan menimbulkan berbagai konflik. Pilihan untuk menjadi negara non agama memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian, dan menjunjung tinggi kemerdekaan. Rumusan para founding fathers menjadi sebuah kecermatan dan kecerdasan yang digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan bersama akan adanya sebuah ketenteraman dalam bermasyarakat. Keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan agama hanya menjadi sebuah harapan ketika sebuah rezim berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Rezim otoriter dengan Soeharto sebagai pimpinannya, telah membatasi ruang kebebasan publik. Dalam menjalankan sebuah agama, masyarakat harus mengikuti pola rezim yang sedang berkuasa. Pilihan untuk menjalankan sebuah agama atau keyakinan di luar agama yang telah ditetapkan pemerintah mustahil untuk terjadi. Hal tersebut kemudian menimbulkan sikap intoleran, parokal, dan genthoisme dalam

Upload: mcs-candra-putra

Post on 25-Nov-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Konflik Agama di IndonesiaAgama merupakan panduan moralitas manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan adanya kesadaran beragama, manusia akan memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya kehadiran manusia lain. Manusia lain tersebut tentu memiliki berbagai perbedaan dan keunikan tersendiri. Mulai dari suku, agama, ras, maupun golongan. Perlu adanya sebuah kesadaran untuk menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agama didefinisikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dari pengertian tersebut sebenarnya agama dapat digunakan sebagai alat yang meciptakan sebuah keselarasan dalam masyarakat. Sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik jasmani maupun rohani.Perbedaan memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari di negeri ini. Para founding fathers secara tepat merumuskan bentuk negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler yang tentunya akan menimbulkan berbagai konflik. Pilihan untuk menjadi negara non agama memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian, dan menjunjung tinggi kemerdekaan. Rumusan para founding fathers menjadi sebuah kecermatan dan kecerdasan yang digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan bersama akan adanya sebuah ketenteraman dalam bermasyarakat.Keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan agama hanya menjadi sebuah harapan ketika sebuah rezim berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Rezim otoriter dengan Soeharto sebagai pimpinannya, telah membatasi ruang kebebasan publik. Dalam menjalankan sebuah agama, masyarakat harus mengikuti pola rezim yang sedang berkuasa. Pilihan untuk menjalankan sebuah agama atau keyakinan di luar agama yang telah ditetapkan pemerintah mustahil untuk terjadi. Hal tersebut kemudian menimbulkan sikap intoleran, parokal, dan genthoisme dalam masyarakat yang kemudian berujung dengan adanya sebuah konflik. Kekerasan maupun konflik semacam ini tentu saja menciderai ketenangan kehidupan beragama di dalam masyarakat, dan di tingkat internasional, telah mencoreng wajah Indonesia yang sering mencitrakan diri sebagai negara yang menghormati kebebasan beragama.Sikap buruk yang muncul pada masyarakat menciptakan sebuah ancaman tersendiri terhadap kelangsungan hidup beragama di negeri ini. Antara sesama penganut agama sarat dengan adanya pertikaian, permusuhan, bahkan pembunuhan. Lebih ironis lagi, agama dijadikan sebuah pembenaran untuk melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak pantas untuk dilakukan tersebut.Selain sebuah rezim otoriter sebagai penyebab terjadinya konflik, klaim kebenaran juga menimbulkan masalah tersendiri. Klaim kebenaran yang dimaksud adalah klaim kebenaran yang digunakan sebagai alat peneguh keyakinan dan landasan normatif peribadatan. Munculnya klaim kebenaran tersebut diakibatkan adanya sebuah kegelisahan penganut agama dalam menghadapi pilihan. Hal tersebut menciptakan sebuah ruang untuk menentukan pilihan berdasarkan pijakan berpikir masing-masing. Pilihan tersebut diterjemahkan berdasarkan interpretasi masing-masing individu maupun kelompok yang akhirnya menimbulkan sebuah ketidakharmonisan dalam masyarakat. Kebenaran yang semula berasal dari Tuhan Yang Maha Esa menjadi tersamarkan dengan adanya klaim kebenaran.Klaim kebenaran yang ditandai dengan adanya perbedaan interpretasi dalam menghadapi suatu hal, akhirnya mengakibatkan polarisasi antarkelompok agama. Fenomena yang muncul di negeri ini adalah dengan munculnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perbedaan yang muncul dalam bidang fikih semakin menjalar ke bidang politik. Fenomena serupa juga terjadi dalam agama Kristen yang kemudian melahirkan dua agama baru, yaitu Katolik dan Protestan.Agama menimbulkan sebuah stratifikasi sosial dengan adanya proses pemahaman agama. Muncul pemegang otoritas teologis disatu sisi dan pengikut disis lain. Para pemimpin dalam berbagai agama secara eksklusif berperan sebagai penafsir tunggal terhadap ayat-ayat Tuhan maupun fenomena-fenomena yang muncul pada masyarakat. Kelompok pengikut diwajibkan untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh kaum pemimin agama.Stratifikasi sosial yang terwujud dalam beragama juga berpeluang menimbulkan sebuah konflik. Interpretasi yang dimunculkan oleh para pemimpin agama diyakini oleh pengikut-pengikutnya sebagai kebenaran mutlak. Interpretassi yang berbeda-beda akhirnya melahirkan bermacam-macam kelompok eksklusif dalam agama tertentu. Hal tersebut mengakibatkan para pengikut mudah terombang-ambing diantara kebenaran interpretasi yang dimunculkan oleh para pemimpin agama. Akhirnya, masyarakat seakan kehilangan haknya untuk menentukan kebenaran sendiri.Eksklusivitas dari para pemimpin maupun pengikut agama juga ditujukan untuk agama lain. Hal ini tentu juga berpotensi memunculkan sebuah konflik. Sebagai contoh, hal tersebut terjadi pada agama Yahudi. Bagi mereka tidak ada nabi setelah Nabi Musa AS. Nabi Isa AS maupun Muhammad SAW hanya dianggap sebagai tokoh sejarah dan bukan tokoh spiritual. Hal tersebut tentu menimbulkan permusuhan antaragama.Selain beberapa hal penyebab konflik agama yang telah dibicarakan diatas, masih terdapat beberapa hal yang juga berpotensi menimbulkan sebuah konflik yang mengatasnamakan agama. Adanya sikap tertutup dan saling curiga antaragama juga menjadi sebuah hal yang berpotensi menimbulkan konflik. Agama semula ditujukan untuk menciptakan keserasian antar hamba Tuhan. Akan tetapi, dengan adanya sikap tertutup dan saling curiga antaragama, hal tersebut seakan sulit untuk diwujudkan. Kegiatan yang dijalankan oleh suatu agama dianggap sebagai sebuah ancaman bagi agama lain. Sebagai contoh, pendirian rumah ibadat dianggap suatu ekspansi yang akan merugikan agama lain. Pendirian ruma ibadat yang semula ditujukan sebagai sumber kebaikan dan kemaslahatan, malah menjadi sumber sengketa dan pertentangan.Keterkaitan yang berlebihan terhadap simbol agama seperti Masjid dan Gereja juga dinilai sebagai sebuah sumber konflik. Masjid dan Gereja bukan lagi sebagai sebuah tempat sakral tetapi sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Kebanggaan adalah sesuatu yang identik dengan kesombongan, maka jika kesombongan tersebut ternodai, konflikpun tidak dapat dihindari. Akibatnya, sikap saling membunuh muncul. Padahal, rumah ibadat yang dibangun tersebut ditujukan sebagai sarana belajar bagaimana untuk menjalin rasa cinta antar sesama hamba Tuhan.Rumah ibadat, Masjid, dan gereja beralih fungsi menjadi lambang kesombongan manusia. Agama yang semula ditujukan sebagai sarana untuk menghayati iman dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi hanya digunakan semata-mata untuk mencapai kuantitas pemeluk dan alat pengemban kekuasaan. Para penguasa negeri ini telah menjadikan agama sebagai alat pelurus kebijakan. Tujuan agama yang telah terselewengkan menyebabkan penyebaran agamapun terselewengkan. Agama yang seharusnya digunakan untuk membangun kualitas iman, dijadikan alat pengumpul dan pembangun kekuatan. Akibat dari penghayatan yang salah mengenai agama seperti ini, manusia menjadi lebih mudah terprovokasi yang berujung pada sebuah konflik.Berbagai masalah agama yang berpotensi menimbulkan konflik membutuhkan berbagai solusi untuk mengatasinya. Salah satu diantaranya adalah kita harus senantiasa mengembangkan sikap toleransi antar penganut agama. Penyelesaian konflik harus dimulai dari individu beragama tersebut. Harus ada sebuah kesadaran bahwa setiap agama memiliki teks dan ajaran yang terkadang tafsirnya masih ambigu, yang berakibat pada praktik dan keyakinan beragama yang berbeda. Membangun kehidupan bermasyarakat tanpa memandang adanya perbedaan agama merupakan modal yang sangat positif untuk menciptakan adanya sebuah perdamaian.Dialog juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dialog bukan ditujukan untuk mempersamakan satu agama dengan agama yang lain. Diadakannya dialog ditujukan untuk mendapatkan suatu titik temu yang dimungkinkan secara teologis oleh agama yang kita anut. Dalam memahami agama lain hendaknya kita bersikap melihat fenomena dengan apa adanya. Suatu dialog dilakukan dengan perasaan rendah hati untuk membandingkan konsep-konsep agama lain. Diharapkan suatu keharmonisan dapat diciptakan dengan adanya dialog tersebut.Peran tokoh agama adalah sebuah hal yang vital untuk mengantisipasi terjadinya sebuah konflik. Tokoh agama harus memberikan pemahaman keagamaan yang damai dan tidak menonjolkan perbedaan. Mereka harus menyatakan bahwa urusan kebenaran agama adalah urusan pribadi yang tak boleh diganggu siapapun. Mereka juga harus memberikan contoh sikap yang seharusnya ditunjukkan dalam menghadapi sebuah permasalahan.Akar sebuah konflik tidaklah tunggal seperti didasarkan pada perbedaan keyakinan dan doktrin. Hal tersebut menuntut sebuah penyelesaian dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Perbedaan merupakan rahmat dari Tuhan. Jadi, kita harus menghormati adanya perbedaan tersebut. Dengan sikap saling menghormati diharpakan dapat terciptanya masyarakat yang aman dan tenteram tanpa adanya sebuah konflik.Referensi Th. Sumartana, dkk. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

SEBAB TIMBULNYA KONFLIK MASYARAKAT BERAGAMAsembunyikan teks Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia.Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar masyarakat beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam perspektif sosiologi agama.Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama.1457Dengan menggunakan kerangka teori Hendropuspito, penulis ingin menyoroti konflik antar kelompok masyarakat Islam - Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu:A. Perbedaan Doktrin dan Sikap MentalSemua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.1458Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.B. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk AgamaTidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.C. Perbedaan Tingkat KebudayaanAgama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern.Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.D. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan AgamaFenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.