konflik klas dan gender dalam politik agama
TRANSCRIPT
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 41 ~
Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama
Jainudin
email: [email protected]
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Abstrak
Agama dipandang sebagai sumber moral, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan berkecenderungan ke arah perselisihan, ketegangan dan perubahan. Penganut suatu agama adalah manusia bagian dari masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menjadi lahan konflik sebagaimana diisyaratkan oleh teori konflik. Dan agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai konflik (intoleransi), baik antar agama maupun intra suatu agama. Namun masih ada masyarakat yang memandang agama sebagai suatu yang positif yang didasarkan pada pandangan kaum fungsional (fungsionalisme).
Disisi lain agama dipandang sebagai sesuatu yang mengakibatkan adanya disfungsi dan terwujudnya disintegrasi sosial. Disisi lain disamping agama sebagai sumber konflik masih ada lagi sumber konflik yang lain yaitu peran jender dalam masyarakat, yang merupakan kultur yang menentukan harapan-harapan pada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam masyarakat. Korelasi antara perbedaan jender dan status sosial. Semakin besar perbedaan semakin timpang pula status sosial, dan semakin kecil pula perbedaan status sosial itu. Karl Marx memahami seluruh kehidupan sosio budaya ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas sosial yang terlibat dalam proses produksi yaitu kaum industriawan yang mengontrol alat produksi dan kaum proletar sebagai pekerja. Feminisme memandang secara khusus kedudukan perempuan ditengah-tengah masyarakat. Secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: 1. Feminis liberal kelompok ini berpendapat bahwa laki-laki maupun perempuan diciptakan seimbang tidak terjadi penindasan antara satu dengan lain. 2. Feminis Marxis-Sosialis; aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnnya lebih disebabkab oleh faktor alam. 3. Feminis radikal dalam kelompok ini perempuan tidak harus bergantung pada laki-laki, bukan saja dalam hal kebendaan tetapi juga dalam hal pemenuhan kebutuhan sek. Perempuan bisa mendapatkan kepuasan sek dengan sesama perempuan.
Gender dalam perspektif teori konflik bahwa perempuan sebagai kelompok penyumbang yang paling banyak dalam menyediakan tenaga murah dalam produksi yang sangat menguntungkan bagi kapitalis. Konstruksi jender sudah mengakar pada masyarakat sebagai inspirator munculnya persepsi masyarakat sistem patriarkhi sebagai bias jender. Agama dilihat dari sudut pandang konflik membuka celah lebar untuk menjadikan sebab munculnya ketegangan sosial dalam masyarakat. Namun di sisi lain bahwa konflik yang bersifat fungsional atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan.
Kata Kunci: Teori Konflik, Gender dan Politik Agama
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 42 ~
Pendahuluan
Agama dipandang sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap
sebagai sumber konflik. Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah
ganda. Agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan,
persatuan, dan persaudaraan. Namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai sesuatu
yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti dicatat dalam sejarah
menimbulkan peperangan.1
Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang
berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta berkecenderungan ke arah perselisihan,
ketegangan dan perubahan. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah “masyarakat”. Tampaknya
masyarakat menjadi lahan tumbuh suburnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor:
ekonomi, politik, sosial, bahkan agama. Oleh karena itu pada sisi ini agama bisa saja menjadi
salah satu faktor timbulnya konflik di masyarakat. 2
Pada dasarnya kalau merujuk pada al-Qur’an banyak indikasi yang menjelaskan adanya
faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas al-Qur’an menyebutkan bahwa faktor konflik
itu sesungguhnya berasal dari manusia. Dalam surat yusuf ayat 5, dijelaskan tentang adanya
kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha untuk menarik dirinya untuk menyimpang dari
nilai-nilai dan norma Illahi. Atau secara tegas, disebutkan bahwa kerusakan bisa berbentuk
kerusuhan, demonstrasi dan lain-lain diakibatkan oleh tangan manusia, seperti disebutkan dalam
surat Ar-Rum ayat 41. Ayat-ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik
sesungguhnya adalah manusia. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini akan melihat dari segi
penganut agamanya, bukan agamanya untuk mengidentifikasi timbulnya konflik. Penganut suatu
agama adalah manusia bagian dari masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menjadi
lahan konflik sebagaimana diisyaratkan dalam teori konflik.
Pembicaraan ini dimulai dari tataran penganut agamanya yakni orang yang meyakini
dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik
dan buruk, dalam terminologi Islam disebut amal perbuatan. Dari mana mereka meyakini bahwa
suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinnan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan
mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut agama yang berbeda dan memiliki
kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan
kemampuannya masing-masing. Akibat dari perbedaan pemahaman itu saja, Cikal bakal konflik
tidak bisa kita hindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapat
1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002). hlm. 147. 2 Paul B Horton, Sosiologi (Terj. Aminudin Ram) (Jakarta: Erlangga, 1987). hlm. 25.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 43 ~
melahirkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak konflik seperti ini adalah konflik
intra agama atau disebut konflik antar madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman
terhadap ajaran agama. Hal ini terjadi karena pemahaman agama bisa dilakukan dengan
memahami bahwa agama sebagai suatu doktrin dan ajaran serta agama itu difahami sebagai
aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah. Sayyed Hoessein Nasr menyebutnya
dengan istilah Islam ideal dan Islam realita.3
Secara umum ada dua pandangan mengenai fungsi agama dalam masyarakat. Dua
pandangan tersebut lebih melihat fungsi pisitif dan fungsi negatif. Kelompok yang memandang
fungsi positif agama, didasarkan pada pandangan kaum fungsional (fungsionalisme). Salah satu
pemikirnya adalah Durkheim yang melihat fungsi agama dalam kaitannya dengan solidaritas sosial.
Baginya agama lebih memiliki fungsi untuk menyatukan anggota masyarakat, agama memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk secara berkala menegakkan dan memperkuat perasaan dan ide-ide
kolektif. Di sisi lain agama juga dituding memeliki disfungsi bagi terwujudnya integrasi sosial.
Agama dipandang sebagai sumber berbagai konflik yang terjadi dalam masyarakat, perbedaan
keyakinan atau perbedaan agama sering kali memicu konflik. Konflik agama bisa terjadi antar
anggota masyarakat dalam satu agama.4
Selain agama sebagai sumber konflik masih ada lagi-lagi yaitu peran jender dalam
masyarakat, peran jender merupakan ide-ide kultural yang menetukan harapan-harapan pada laki-
laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dalam masyarakat. Dalam
perspektif budaya setiap orang dilahirkan dengan kategori budaya: laki-laki atau perempuan. Sejak
lahir setiap orang sudah ditentukan paran dan atribut jendernya masing-masing. Jika lahir laki-laki
maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai laki-laki. Sebaliknya jika seorang lahir
perempuan maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai perempuan. Dalam
pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan jender, ada nilai tata krama
dan norma hukum yang membedakan peran laki dan perempuan. Jika seorang menyalahi nilai,
norma dan perasaan tersebut maka yang bersangkutan akan menghadapi risiko di dalam
masyarakat.
Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki diidentifikasi
sebagai orang yang memiliki karakteristik masculinity, sedangkan perempuan diidentifikasi sebagai
orang yang memiliki karakteristik femininity. Perempuan dipersepsikan sebagai manusia cantik,
langsing dan lembut. Sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, tegar dan
3 Sayyed Hoessein Nasr, Islam Cita dan Islam Fakta (Jakarta: Yayasan Obor, 1984). Hlm. 234. 4 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012). hlm. 171.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 44 ~
agresif. Laki-laki dianggap lebih cerdas dalam banyak hal, lebih kuat, lebih berani dari pada
perempuan. Anggapan-anggapan budaya seperti ini dengan sendirinya memberikan peran lebih
luas kepada laki-laki, dan pada saatnya laki-laki memperoleh status sosial lebih tinggi dari pada
perempuan.
Peran jender tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan identitas dan berbagai
karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Sebab terjadinya
ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih dari sekedar perbedaan fisik biologis
tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat turut memberikan andil. Dalam
pengalaman sehari-hari antara laki-laki dan perempuan senantiasa terjadi konflik dan ketegangan
jender. Perempuan tetap mempunyai keinginan untuk bergerak secara leluasa guna meningkatkan
status dan percaya diri, tetapi budaya dalam masyarakat membatasi keinginan mereka, terutama
bagi mereka yang telah kawin, apalagi kalau sudah mempunyai anak. Pada saat ini perempuan
menghadapi beban ganda (double burden). Dari satu segi mereka perlu berusaha sendiri, tetapi
difihak lain harus lebih konsisten mengasuh anak dan mengurus keluarga. Laki-laki lebih leluasa
melakukan berbagai kegiatan produktif.5
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui adanya korelasi antara perbedaan
jender dan status sosial. Semakin besar perbedaan semakin timpang pula status sosial dan
semakin kecil perbedaan itu semakin kecil pula perbedaan status sosial itu, meskipun perbedaan
peran jender bukan satu-satunya variabel yang menentukan ketimpangan atau keadilan.
Pembahasan
1. Teori Konflik
Kita boleh mengatakan bahwa dalam tahun 1950-an paradigma yang memandang
masyarakat sebagai sistem, paling berpengaruh dalam sosiologi barat. Tetapi kedudukannya
berubah dalam dasawarsa berikut. Terjadi suatu pergeseran dimana konsep kunci yang
diharapkan membuka rahasia masyarakat tidak lagi “orde” atau “peranan sosial” sebagai
pembantunya melainkan “konflik”. Kita melihat bahwa sosiologi abad 19 sebetulnya telah
memberi perhatian besar kepada kenyataan sosial ini. Tokoh Darwinisme sosial telah
melukiskan kehidupan bersama dengan memakai istilah struggle dan survival of the fittest. Vilfredo
Pareto telah menerangkan pergolakan dunia politik sebagai akibat dari mekanisme
pertentangan antara dua individu yang disebut the lions dan the foxes, yang secara bergilir
menunggu kesempatan untuk berkuasa. Dalam abad yang lalu Karl Marx memahami seluruh
kehidupan sosio budaya menjadi ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas sosial yang
5 Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Dian Jakarta, 2010). hlm. 67.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 45 ~
terlibat dalam proses produksi yaitu kaum industriawan yang mengontrol alat-alat produksi
dan kaum proletariat sebagai kaum pekerja.
Pada awal abad ini G. Simmel dan Max Weber masih tetap menarik perhatian
terhadap gejala konflik, yang tak mungkin terhindarkan, namun memainkan peranan positif
dalam mempertahankan masyarakat dan memupuk rasa pemersatuan. Tetapi sesudah mereka
kata “konflik” tidak terdengar lagi kecuali dalam arti negatif. Paradigma atau bagan
masyarakat yang mengarahkan dan menuntun kebanyakan sosiolog memberi top ranking pada
konsep “kesesuaian paham” atau “consensus” yang menjiwai dan mendasari masyarakat,
sedangkan konflik atau perselisihan dicela sebagai “penyakit masyarakat”. Di satu pihak apa
yang lazim disebut dunia barat mengalami perkembangan ekonomi dan tingkat kemakmuran
yang tidak ada bandingnya. Di pihak lain zaman konyungtur tinggi itu sekaligus juga
merupakan zaman perang dingin antara dua kekuatan raksasa dunia. Negara-negara baru
menyatakan merdeka.6
Gambaran masyarakat sebagai kesatuan yang berintegrasi atas dasar nilai-nilai yang
dibagi bersama, yang telah disepakati, dibatinkan, dan didukung dengan spontan sekarang
diganti dengan gambaran lain dengan perseteruan, perselisihan antar individu dalam
kelompok yakni konflik yang berati perselisihan nilai-nilai atau tuntunan-tuntunan berkenaan
dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan alam yang tidak mencukupi dimana
pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang
diinginkan melainkan juga memojokkan, merugikan dan menghancurkan lawan mereka.
Konflik selalu ada dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu model interaksi dalam
mencapai hasrat kehidupannya.
Teori konflik dapat dilihat sebagai suatu perkembangan yang terjadi terkait dengan,
setidaknya sebagian fungsionalisme struktural dan merupakan hasil dari banyak kritik yang
diskusikan sebelumnya. Akan tetapi harus dicatat bahwa teori konflik mempunyai banyak
akar lain, seperti Marxian, Weberian dan karya Simmel mengenai mengenai konflik sosial. Teori
konflik memberikan suatu alternatif bagi fungsionalisme struktural, tetapi ia digantikan oleh
aneka teori Neo Marxian. Sebenarnya salah satu sumbangan utama teori konflik adalah
caranya meletakkan dasar bagi teori-teori yang lebih setia kepada karya Marx, teori-teori yang
menarik audiens yang luas didalam sosialogi. Masalah utama dengan teori konflik adalah ia
tidak pernah berhasil memisahkan diri secara memadai dari akar-akar fungsionalisme
6 K J Veeger, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993). hlm.212.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 46 ~
strukturalnya. Ia lebih berupa sejenis fungsionalisme struktural yang menyala dikepalanya
dari suatu teori masyarakat yang benar-benar kritis.7
Teori struktural konflik muncul sebagai pengeritik utama teori struktural
fungsional. Di dorong rasa tidak puas terhadap teori struktural fungsional, maka sejumlah
pemikir mencoba beroposisi dengan membangun tradisi yang lain. Struktural fungsional
dianggapnya menutup mata terhadap konflik yang selalu melekat pada setiap masyarakat.
Struktural fungsional dinilai lebih memandang masyarakat dari sisi keseimbangan.
Di mata tradisi struktural konflik, teori struktural fungsional terlalu berorientasi
kepada status quo (homeostatik) padahal kenyatannya masyarkat penuh ketegangan dan selalu
berpotensi melakukan konflik. Kenyataan yang terjadi di masyarakat senantiasa terjadi
perubahan. Lebih dari itu teori struktural fungsional dinilai mengabaikan praktik dominasi
satu kelompok dominan terhadap yang lain, dan oleh karena itu pantas jika teori struktural
fungsional dituduh berkolusi dengan kelompok dominan.
Perspektif baru ini kemudian menaruh perhatian terhadap ketegangan, konflik
kegandrungan terhadap terjadinya perubahan terhadap masyarakat. Perspektif inilah yang
kemudian dikenal sebagai teori struktural konflik, yang pada awalnya dicetuskan oleh Karl
Marx dan juga bisa telurusi dari karya-karyanya Max weber. Meskipun Marx dan Weber
sepakat dalam banyak hal, akan tetapi kedunya mengembangkan tipe konflik yang berbeda.
Setelah berkembang ternyata tipe konflik Marxian jauh lebih populer dari pada tipe konflik
yang dikembangkan Weber. Oleh karena itu, dalam merekonstruksi teori konflik yang muncul
sebagai kritik terhadap teori struktural fungsional kali ini akan diawali pembahasannya dari
karya Karl Marx sebagai pencetus perspektif konflik yang lebih berpengaruh.
Diketahui dalam perjalanannya apa yang dirintis oleh Marx ternyata kemudian
mempengaruhi banyak pemikir lain sehingga banyak karya-karya Marx semakin bervarian.
Sebagian mereka tidak lebih sekedar mereproduksi karya Marx, mereka dikenal sebagai
Marxian. Disamping itu juga ada para tokoh yang mengembangkan teori yang dirintis oleh
Marx. Dalam perkembangannya teori konflik ini memasuki teori konflik alternatif yakni teori
teori konflik yang cenderung memakai asumsi-asumsi struktural fungsional. Dalam hal ini
konflik bukan berpretensi untuk dibawa pada sebuah muara revolusi, melainkan justru dalam
rangka membangun konsensus. Tidak diingkari bahwa setiap individu memiliki kepentingan,
sehingga masing-masing anggota kelompok memiliki sumbangan terhadap munculnya
konflik. Justru konsensus itu terjadi mengandaikan adanya konflik yang muncul secara tak
7 George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Post Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). hlm. 450
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 47 ~
terlekakkan, sebagai konsekwensi dari adanya kepentingan pada setiap individu. Dalam
konteks inilah dimengerti bahwa tidak mungkin konsensus terjadi tanpa diawali oleh
perbedaan atau konflik.8
2. Biografi Karl Marx
Karl Marx yang lahir di kota Trier, Jerman, Tahun 1818 adalah anak dari pasangan
Heunrich dan Henrietta-keturunan seorang Borjuis dan rohaniwan Yahudi. Seluruh keluarga,
termasuk Karl Marx dipermandikan dalam gereja. Tatapi ketika Marx masih sangat muda ia
menjumpai keluarganya mengalami disharmoni, karena alasan bisnisnya- dalam hal ini
menyelamatkan status pegawai negerinya, ayah Marx melakukan konversi keagamaan dan
kemudian memilih lutherianisme, sebuah sekte dan protetanisme.
Karl Marx menikahi Yenni anak Baron van Westphalen, tetangganya sediri tahun 1843.
Ia belajar hukum di Bonn dan Berlin. Di Berlin itulah ia tertarik pada filsafat idealismenya
Hegel. Sebagai mahasiswa di Bonn dan Berlin dian dipengaruhi oleh dialektiknya Hegel.
Namun dia dikemudian hari ia berbalik arah menolak idealismenya Hegel, dan memulai
dengan teori historical meterialism. Ia mengkaitkan kondisi masyarakat dengan landasan
ekonomi dan mode produksi. Karl Marx dalam hal ini merekomendasikan revolusi tentara
sebagai bagian dari proletariat.
Setelah meraih gelar doktor dalam filsafat, kemudian dia memilih kegiatan dalam
bidang jurnalisme. Ia menjadi wartawan di Koln dan lalu pindah di Paris yang
mempertemukannya dengan Friederich Engels (1820-1893). Bersama Engels ia
mempersiapkan the manifesto of the Communist Party (1848) sebagai pernyatan Kebijakan Liga
Komunis.
Kepindahannya tokoh yang pernah menjadi pemimpin redaksi sebuah harian ini,
pada tahun 1842 ke Paris di karenakan kesulitan menghadapi sensor pemerintah Prusia yang
dilakukan secara terus menerus. Setelah diusir polisi Perancis Marx, kemudian pindah ke
Brusel selama dua tahun. Setelah pindah ke london dan kemudian kembali ke Jerman.
Tahun1848 pada saat revolusi di Eropa mengalami kegagalan – Marx pindah lagi ke London
sebagai pengungsi untuk selamanya hingga Karl marx meninggal pada tahun 1883.
Di akhir hidup Marx dan keluarganya dalam kemiskinan. Kehidupan finansialnya
ditopang oleh Engels. Setelah beberapa tahun melakukan penelitian yang sebagian besar
dilakukan di Britsh Museum, ia mempublikasikan volume pertama karya besarnya, capital,
pada tahun 1867. Dari tahun 1864 hingga 1872 Marx memainkan peran penting dalam
organisasi buruhInternational. Disamping Capital, Karl Marx lalu menulis The German Ideology,
8 Zainuddin Maliki, Teori Sosial Modern (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2012). hlm. 140-141.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 48 ~
The Poverty of Philosophy. The 18th Brumaire of Louis Bonaparte, The Civil War In France, A
Contribution to The Critique of Political Economy, Grundrisse; Foundations of the Critique of Political
Economy dan theoris of surflus value.9
3. Teori Feminisme
Dalam dekade terakhir kelompok femenis memunculkan dengan fungsi reproduksion
beberapa teori yang secara khsusus menyoroti kedudukan perempuan dalam kehidupan
masyarakat. Feminis berupaya menggugat kemamapan patriarki dan berbagai bentuk stereotipe
jender lainnya yang berkembang luas dalam masyarakat. Pandangan feminis terhadap
perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan secara umum dapat dikategorikan kepada
tiga kelompok; sebagai berikut:
a) Feminisme Liberal
Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki maupun
perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara
satu dengan yang lain. Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsi-prinsip pencerahan bahwa
laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan-kekhususan. Secara
ontologis keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi haknya
perempuan. Dalam beberapa hal, terutama yang berhubungan fungsi reproduksi, aliran
ini amsih tetap memandang perlu adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan
perempuan bagaimanapun juga fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa
konsekwensi logis didalam kehidupan bermasyarakat.
Kelompok ini paling moderat diantara kelompok feminis. Kelompok ini
membenarkan perempuan bekerja bersama-sama laki-laki. Kalau bisa mereka
menghendaki agar perempuan diintegrasi secara total didalam semua peran, termasuk
bekerja diluar rumah. Tidak ada satupun kelompok jenis kelamin laki-laki yang lebih
dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktutral
secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan didalam berbagai peran, seperti
dalam peran sosial, ekonomi dan politik. Organ reproduksi bukan merupakan
penghalang terhadap peran tersebut.
Tokoh aliran ini antara lain Margareth Fuuler (1810-1850), Harnet Martineau
(1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873) dan Susan Anthony (1820-1906)
b) Feminis Marxis-Sosialis.
9 Maliki. hlm. 142-143.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 49 ~
Aliran berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan
jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis
kelamin itu sesungguhnya lebih di sebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak
anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-
laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.
Agak mirip dengan teori konflik, kelompok ini menganggap posisi inferior
perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis.
Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan jender didalam masyarakat adalah
akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah
bagi perempuan didalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan
lebih tinggi daripada suami atau sebaliknya. Perempuan senantiasa mencemaskan
keamanan ekonominya, karenanya, mereka memberikan dukungan kekuasaan kepada
suaminya. Struktur ekonomi atau kelas didalam masyarakat memberikan pengaruh efektif
terhadap status perempuan, karena itu untuk mengangkat harkat dan martabat
perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan ulang kembali
struktural secara mendasar, terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor
domestik dan sektor publik. Tokoh aliran ini antara lain Clara zetkin (1857-1933), Rosa
Luxemburg (1871-1919)10
Bedanya dengan teori konflik dan teori Marx-Engels, teori ini tidak terlalu
menekankan faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar
ideologi sebagaimana halnya dalam teori konflik, tetapi teori ini lebih menyoroti faktor
seksualitas dan jender dalam kerangka dasar ideologinya.
c) Feminis Radikal.
Aliran ini muncul di permulaan abad 19 dengan mengangkat isu besar
menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga
patriarkhi yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan
laki-laki. Lebih dari itu diantara kaum feminis radikal ada yang lebih ekstrem, tidak hanya
menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan “seks” dalam arti
kepuasaan seksual juga bisa diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolerir
praktek lesbian.11
Menurut kelompok ini perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki,
bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan
10 Maliki. hlm. 11-12. 11 Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiction (London: Routledge, 1989). hlm. 12.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 50 ~
seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan dan kepuasan seksual
kepada sesama perempuan. Kepuasan seksual dari laki-laki adalah masalah psikologis.
Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan itu dapat terpenuhi dari sesama
peremuan.
Aliran ini juga mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan
mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu
mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagi dalih. Ketertindasan
perempuan berlangsung cukup lama dan dinilainya sebagai bentuk penindasan yang
teramat panjang didunia. Penindasan karena ras, perbudakan dan warna kulit dapat
segera dihentikan dengan resolusi dan peraturan tetapi pemerasan secara seksual teramat
susah dihentikan, dan untuk itu diperlukan gerakan yang lebih mendasar.
Yang menjadi inti perjuangan semua aliran feminisme tersebut diatas adalah
berupaya memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan status dan peran sosial antara
laki-laki dan perempuan sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan jender dalam
masyarakat.12
4. Gender dalam Perpektif Teori Konflik
Dalam soal jender teori konflik terkadang diidentifikasikan dengan teori Marx
karena begitu kuat pengaruh Karl Marx di dalamnya. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa
dalam susunan didalam suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling
memperebutkan pangaruh dan kekusaan. Siapa yang menguasai sumber-sumber produksi
dan distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama didalamnya.
Marx yang kemudian dilengkapi oleh Fredrich Engels mengemukakan suatu gagasan menarik
bahwa perbedaan dan ketimpangan jender antara laki-laki dan perempuan, tidak disebabkan
oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan dari kelas yang berkuasa
dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga (family). Hubungan suami istri
tidak ubahnya seperti hubungan proletar dan borjuis, hamba dan tuan, pemeras dan yang di
peras. Dengan kata lain ketimpangan peran jender dalam masyarakat bukan karena faktor
biologis atau pemberian Tuhan (divine creation) tetapi konstruksi masyarakat (social construction).
Menurut Engels, masyarakat primitif lebih bersifat egaliter katika ia belum kenal
adanya surplus penghasilan sehingga belum dikenal adanya pemilikan pribadi. Bentuk-bentuk
keluarga dalam masyarakat primitif ditandai dengan penerapan sistem produksi untuk
digunakan sendiri. Rumah tangga bersifat komunal, semua dilakukan untuk rumah tangga
12 Ramazanoglu. hlm.60.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 51 ~
sebagai keseluruhan. Perempuan sebagai anggota keluarga mempunyai kontribusi yang sama
dengan laki-laki dalam ekonomi rumah tangga.
Surplus penghasilan mulai dikenal ketika hewan piaraan mulai didayagunakan dan
para petani sudah menetap disuatu tempat tidak lagi berpindah-pindah (nomaden). Bersamaan
dengan itu sarana kepemilikan pribadi mulai dikembangkan, dan kesuasaan mulai
terkonsentrasi pada segelintir laki-laki. Setelah kepemilikan pribadi diperkenalkan dan
diperkenankan, muncullah konsep kapitalisme yang mentolerir terjadinya akumulasi modal
dikalangan orang-orang terbatas. Akumulasi modal kemudian menjadi dasar lahirnya sistem
perdagangan. Selanjutnya produksi untuk perdagangan yang dikuasai oleh laki-laki
mendominasi produksi untuk barang-barang konsumsi hal mana perempuan banyak terlibat
didalamnya. Akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian dari harta dan sejak itulah
dominasi laki-laki dimulai. Perempuan terkondisikan untuk bekerja di sektor domestik dan
laki-laki bekerja dan mengontrol sektor publik. Disamping itu, rumah tangga berada di
bawah otoritas dan kewenangan suami.
Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-
laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan.
Seolah-olah Engels ingin mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah
hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan mempunyai
korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan. Generalisasi Engels tersebut jika
benar, maka ada suatu hal yang dapat disangsikan yaitu kontrol laki-laki atas produksi dalam
masyarakat yang terbagi-bagi kedalam beberapa kelas adalah karena kepentingan kelas
borjuis. Lagi pula menurut Marxisme persoalan jender yang timpang dalam masyarakat tidak
dapat diselesaikan hanya dengan melakukan revolusi sosial yang menghapus pembagian
pekerjaan domestik. Banyak faktor lain yang terlibat di dalam pembentukan stereotipe jender
didalam masyarakat.
Menurut Marxisme dalam kapitalisme penindasan perempuan diperlukan karena
mendatangkan keuntungan. Pertama; eksploitasi perempuan didalam rumah tangga akan
membuat buruh laki-laki dipabrik lebih produktif. Kedua; perempuan juga berperan dalam
reproduksi murah, sehingga memungkinkan harga tenaga kerja lebih murah. Murahnya upah
tenaga kerja menguntungkan kapitalisme. Ketiga; masuknya buruh perempuan sebagai buruh
dengan upah yang lebih murah, menciptakan buruh cadangan. Melimpahnya buruh cadangan
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 52 ~
memperkuat posisi tawar-menawar para pemilik modal (kapitalis) dan mengancam solidaritas
kaum buruh. Kesemuanya ini akan mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis.13
5. Fenomena Keagamaan dan Jender dalam Perspektif Teori Konflik.
Dalam Perspektif sosiologi Agama, konflik digunakan sebagai landasan dalam
melihat fenomena keagamaan yang ada dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan
kekuasaan, kalangan teoretisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan,
penindasan dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena
itu, dalam perspektif konflik agama kejadiannya dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”.
Klaim ini dapat dikemukakan berdasar intensitas kejadian dalam konflik agama yang bernilai
sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada, seperti sungguh-sungguh mencerminkan
kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Keadilan menjadi perkara yang terabaikan
dalam pertumbuhan masyarakat. Moralitas sebagai anjungan pokok dalam merancang
terbentuknya masyarakat yang selaras dan damai terkikis oleh kesenjangan sosial yang
kadang-kadang bernilai sepele.
Agama dilihat-lihat dari sudut pandang konflik membuka celah lebar untuk
menjadikannya sebagai sebab kemunculan ketagangan-ketegangan sosial dalam masyarakat.
Konflik multidimensional yang melanda bangsa dan mengancam integrasi nasional berkaitan
dengan perebutan distribusi sumber daya ekonomi dan kehormatan. Ketika pertentangan
tersebut memerlukan pembenaran, maka agama dan kebudayaan digunakan sebagai alat atau
simbol perlawanan untuk menghancurkan lawan-lawan yang potensial dalam
memperebutkan sumber daya yang ada.14
Dilihat dari sudut pandang konflik, keanekaragaman agama, etnik dan kebudayaan
yang sering kali dipandang sebagai potensi yang menguatkan, melainkan dijadikan simbol
identitas untuk membedakan kelompok sendiri dengan kelompok lain. Kemajemukan
sebagai sebuah keniscayaan dari pembentukan bangsa masih dianggap sebagai perkara yang
nisbi dan relatif. Diatas persepsi ini dapat diamati sebagaimana para pengamat antropolog
agama melihat bahwa Indonesia bagian barat adalah wilayah kultural Islam. Sementara itu
beberapa daerah wilayah timur adalah wilayah kultural nasrani. Jika pada suatu saat terdapat
gejala–gejala yang menunjukkan intensitas kegiatan keagamaan yang berbeda dengan agama
mayoritas penduduk maka yang muncul adalah prasangka adanya ekspansi dari apa yang
disebut sebagai golongan lain dari mereka.15
13 Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). hlm. 57. 14 Ahmad Syafi’i Mufid, Dialog Agama dan Kebangsaan (Jakarta: Dzikrul Hakim, 2001). hlm, 52. 15 Mufid. hlm. 35.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 53 ~
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari
segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi
biologis antara keduanya cukup jelas. Tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu
menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks)
melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis
kelamin inilah yang disebut jender. Pada dasarnya perbedaan jender tersebut tidak menjadi
masalah jika tidak berakibat menimbulkan diskriminasi, subordinasi, stereotipe dan ketidakadilan
relasional antara laki-laki dan perempuan, tetapi jika perbedaan tersebut menyebabkan
munculnya pandangan minus yang diyakini sebagai kodrat Illahi, maka tentu saja halal bagi
kaum perempuan pada khususnya dan bagi siapapun yang memiliki keinsyafan sosial yang
tinggi pada umumnya, untuk mengkritisi berdasarkan nilai-nilai humanistis yang suci.
Konstruksi jender yang sudah mengakar dan menancap dalam masyarakat menjadi
inspirator terhadap munculnya persepsi masyarakat bahwa sistem patriarkhi yang sangat bias
jender itu adalah kodrat Illahi yang tidak bisa diubah. Jika budaya patriarkhi dianggap sebagai
dogma, bisa dikata bahwa Islam tidak lagi mempunyai andil dan peran sebagai pedoman
dalam kehidupan bermasyarakat bahkan bisa berasumsi bahwa Islam merupakan agama yang
hanya berlaku untuk negeri dimana Islam diturunkan.16
Dalam dunai modern konflik antar kelas dan bias jender masih tetap ada bahkan
bertambah tegang dan kian pelik. Kapitalisme modern memperkenalkan model produksi
baru dalam bentuk perdagangan dan industri. Situasi ini semakin diperburuk oleh
perkembangan kapitalisme menjadi industrialisme. Era industrialisme melahirkan pabrik-
pabrik tempat para buruh mengahabiskan waktu dan tenaga dengan mesin-mesin industri
untuk memproduksi barang yang cukup banyak untuk mendapatkan keuntungan yang
melimpah bagi pemilik modal pabrik tersebut. Perkembangan kapitalisme ini semakin
menyeret konflik antar kelas kepada titik klimaknya dan satu fase yang sangat genting, yaitu
satu periode dimana penderitaan kaum proletar semakin parah.17 Beberapa contoh konflik
dan bias jender dalam masyarakat yang membentuk struktur, stratifikasi sosial antara lain :
NO KASUS ORIENTASI POLITIK KETERANGAN
1 Memerdekakan Bilal Politik Agama Teori Konflik
2 Perang Shiffin (Ali dan Aisyah)
Politik Agama dan Kekuasaan
Teori Konflik dan bias jender
3 Pertikaian Polewali Mamasa Politik ekonomi dan Agama
Teori konflik
16 Mufid. hlm. 127. 17 Daniel L Pals, Seven Theories of Religion (Terj. Inyiak Ridlwan Muzir) (Yogyakarta: IRCISoD, 2012). hlm. 189.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 54 ~
4 Teror Bom Gereja Jawa Timur
Politik Agama Teori konflik
5 Pertikaan Maluku Utara Politik Kekuasaan dan Agama
Teori Konflik
6 Pertikaian Maluku Tengah Politik Ekonomi dan kekuasaa
Teori konflik
7 Syi’ah dan Sunni Sampang Politik Agama
Teori konflik
8 Tradisi Patriarkhi Politik Kekuasaan
Bias Jender
9 Pembantaian Dukun Santet Politik Agama
Teori Konflik
10 DayakVS Madura di Sambas Politik Ekonomi
Teori Konflik
11 Ambon VS Maluku Utara Politik ekonomi dan Agama
Teori konflik
Contoh tersebut diatas merupakan beberapa contoh peristiwa yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat yang berdampak pada terciptanya struktur dan stratifikasi sosial.
Lebih jauh untuk memahami keberadaan dan peran yang dimainkan Islam, diperlukan
pemahaman mendalam terhadap stratifikasi sosial budaya bangsa arab menjelang dan ketika
al-Qur’an diturunkan. Misi Al-Qur’an hanya dapat difahami secara utuh setelah memahami
kondisi sosial bangsa Arab. Bahkan sejumlah ayat dalam al-Qur’an seperti ayat-ayat jender,
dapat disalah fahami tanpa memahami latar belakang sosial-budaya masyarakat Arab.
Leila Ahmed dalam bukunya yang terkenal, Women and Gender in Islam, memberi
kesimpulan bahwa Islam telah berperan penting dalam mentrnsformasikan pandangan sosial
keagamaan bangsa Arab sehingga menjadi sesuai dengan tradisi bagian lain Timur Tengah,
termasuk pandangan steretipe terhadap perempuan. Penggunaan kata “Islam” dalam buku
ini terkesan agak rancu, karena tidak jelas apakah yang dimaksud Islam adalam arti ajaran
atau Islam dalam arti kebudayaan, sebagaimana yang berkembang dalam sejarah. Jika Islam
sebagai ajaran lalu dianggap sebagai suatu kelanjutan budaya agama dan kultur sebeblumnya,
melestarikan nilai-nilai patriarkhi yang dinilainya gender bias, maka agak kontradiksi dengan
pernyataan ditempat lain (women and the Risse of Islam) tempat ia menunjukkan kegigihan Nabi
dan beberapa istrinya dalam membela hak-hak perempuan.
Perang antar suku, disamping melahirkan struktur dan stratifikasi sosial dengan
gejala seperti munculnya konsep bangsawan, budak , harem, mawali juga melahirkan
beberapa institusi hukum yang bertujuan untuk mengeliminir kekerasan antar suku.18
18 Pals. hlm.125.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 55 ~
Kemunculan suatu konflik dalam suatu susunan masyarakat dapat dijadikan sebagai
pijakan analisis dalam melakukan conflict resolution dan peacebuilding. Langkah ini dapat
menjadikan inspirasi gemilang untuk menemukan samarnya permasalahan yang terjadi dalam
suatu konflik. Analisis suatu konflik harus dibedah berdasar kepada titik dasar
kemunculannya. Semua anatomi yang terlibat didalamnya harus dijelaskandan dipetakan
dengan baik dan tertata. Pencapaian terhadap target dan tujuan tersebut dapat mengantisipasi
terjadinya resolusi konflik yang determinan atas kelompok tertentu semata.19
Dalam kehidupan sehari-hari, dimana interaksi, konflik selalu saja ada dan konflik
merupakan bagian yang tidak dapat terelakkan dalam hidup. Konflik dapat terjadi antar
individu atau antar kelompok. Konflik yang tidak terselesaikan tentunya akan membawa
pada dampak yang tidak baik. Konflik tersebut didominasi oleh konflik antar etnis, agama,
sosial dan politik. Konflik mempunyai pengertian, suatu proses pergulatan hingga pertikaian
individu dengan individu lainnya atau dalam suatu kelompok. Sebenarnya, konflikpun
menyertai individu yang disebut dikemudian dengan konflik batin atau jiwa. Konflik bukan
selalu mengandung makna yang disfungsional. Konflik bisa bermakna fungsional seiring
dengan keberadaannya yang mewujud sebagai wahana yang mendorong terjadinya suatu
perubahan menuju pada suatu kondisi yang lebih baik.20
Pada sisi positif, konflik bisa menjadi pembuka bagi terciptanya pembaharuan di
masyarakat. Sementara itu, pada aspek negatifnya, konflik memerlukan perjuangan lahir
batin. Para sosiolog membagi konflik kepada dua kategori. Kategori pertama; adalah konflik
yang bersifat destruktif. Contoh konflik yang terjadi antara suku Dayak dan suku Madura.
Munculnya destruktif dalam konflik ini karena dipicu oleh adanya rasa kebencian yang dalam
masing-masing individu yang bertikai.
Adapun kategori yang kedua; adalah konflik yang bersifat fungsional jenis konflik
ini dapat menghasilkan perubahan atau konsesnsus baru yang bermuara pada perbaikan.
Contoh; jenis konflik yang terjadi perbedaan pendapat dikalangan para cendekiawan dalam
upaya mencari kebenaran. Dan Konflik yang terjadi pada ahli agama dan ulama yang
bertujuan untuk menegakkan ajaran Allah SWT. Disamping itu juga bisa konflik yang terjadi
pada kelompok politisi dalam fraksi masing-masing untuk menentukan sebuah keputusan
tentang nasib negara, agama dan pemerintah. Hal inilah merupakan konflik fungsional.21
19 Syafuan Razi, Kekerasan Komunal; Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003). hlm. 327. 20 Loekman Soetrisno, Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003). hlm. 14. 21 M Tahir Sapsuha, Pendidikan Pasca Konflik (Yogyakarta: LKIS, 2013). hlm. 44.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 56 ~
Kesimpulan
Dapat menghasilkan perubahan Agama dipandang sebagai sumber moral, sementara di
sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah
suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan berkecenderungan ke
arah perselisihan, ketegangan dan perubahan.
Penganut suatu agama adalah manusia bagian dari masyarakat, hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat menjadi lahan konflik sebagaimana diisyaratkan oleh teori konflik. Dan agama
memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai konflik (intoleransi), baik antar agama maupun
intra suatu agama. Namun masih ada masyarakat yang memandang agama sebagai suatu yang
positif yang didasarkan pada pandangan kaum fungsional (fungsionalisme).
Disisi lain agama dipandang sebagai sesuatu yang mengakibatkan adanya disfungsi dan
terwujudnya disintegrasi sosial. Disisi lain disamping agama sebagai sumber konflik masih ada
lagi sumber konflik yang lain yaitu peran jender dalam masyarakat, yang merupakan kultur yang
menentukan harapan-harapan pada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu
dengan yang lain dalam masyarakat. Korelasi antara perbedaan jender dan status sosial. Semakin
besar perbedaan semakin timpang pula status sosial, dan semakin kecil pula perbedaan status
sosial itu.
Karl Marx memahami seluruh kehidupan sosio budaya ditentukan oleh pertentangan
antara dua kelas sosial yang terlibat dalam proses produksi yaitu kaum industriawan yang
mengontrol alat produksi dan kaum proletar sebagai pekerja.
Feminisme memandang secara khusus kedudukan perempuan ditengah-tengah
masyarakat. Secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: 1. Feminis liberal kelompok ini
berpendapat bahwa laki-laki maupun perempuan diciptakan seimbang tidak terjadi penindasan
antara satu dengan lain. 2. Feminis Marxis-Sosialis; aliran ini berupaya menghilangkan struktur
kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan
peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnnya lebih disebabkab oleh faktor alam. 3.
Feminis radikal dalam kelompok ini perempuan tidak harus bergantung pada laki-laki, bukan saja
dalam hal kebendaan tetapi juga dalam hal pemenuhan kebutuhan sek. Perempuan bisa
mendapatkan kepuasan sek dengan sesama perempuan.
Jender dalam perspektif teori konflik bahwa perempuan sebagai kelompok
penyumbang yang paling banyak dalam menyediakan tenaga murah dalam produksi yang sangat
menguntungkan bagi kapitalis. Konstruksi jender sudah mengakar pada masyarakat sebagai
inspirator munculnya persepsi masyarakat sistem patriarkhi sebagai bias jender.
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam
Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 57 ~
Agama dilihat dari sudut pandang konflik membuka celah lebar untuk menjadikan
sebab munculnya ketegangan sosial dalam masyarakat. Namun di sisi lain bahwa konflik yang
bersifat fungsional atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan.
Daftar Pustaka
Faqih, Mansour. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Horton, Paul B. Sosiologi (Terj. Aminudin Ram). Jakarta: Erlangga, 1987.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.
Maliki, Zainuddin. Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2012.
Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Mufid, Ahmad Syafi’i. Dialog Agama dan Kebangsaan. Jakarta: Dzikrul Hakim, 2001.
Nasr, Sayyed Hoessein. Islam Cita dan Islam Fakta. Jakarta: Yayasan Obor, 1984.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion (Terj. Inyiak Ridlwan Muzir). Yogyakarta: IRCISoD, 2012.
Ramazanoglu, Caroline. Feminism and Contradiction. London: Routledge, 1989.
Razi, Syafuan. Kekerasan Komunal; Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia. Yogyakarta: Tajidu
Press, 2003.
Ritzer, George. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Post Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Sapsuha, M Tahir. Pendidikan Pasca Konflik. Yogyakarta: LKIS, 2013.
Soetrisno, Loekman. Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press, 2003.
Umar, Nazaruddin. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Dian Jakarta, 2010.
Veeger, K J. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala
Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.