konflik klas dan gender dalam politik agama

17
Tabyin Jurnal Pendidikan Islam Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 41 ~ Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama Jainudin email: [email protected] Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abstrak Agama dipandang sebagai sumber moral, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan berkecenderungan ke arah perselisihan, ketegangan dan perubahan. Penganut suatu agama adalah manusia bagian dari masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menjadi lahan konflik sebagaimana diisyaratkan oleh teori konflik. Dan agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai konflik (intoleransi), baik antar agama maupun intra suatu agama. Namun masih ada masyarakat yang memandang agama sebagai suatu yang positif yang didasarkan pada pandangan kaum fungsional (fungsionalisme). Disisi lain agama dipandang sebagai sesuatu yang mengakibatkan adanya disfungsi dan terwujudnya disintegrasi sosial. Disisi lain disamping agama sebagai sumber konflik masih ada lagi sumber konflik yang lain yaitu peran jender dalam masyarakat, yang merupakan kultur yang menentukan harapan-harapan pada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam masyarakat. Korelasi antara perbedaan jender dan status sosial. Semakin besar perbedaan semakin timpang pula status sosial, dan semakin kecil pula perbedaan status sosial itu. Karl Marx memahami seluruh kehidupan sosio budaya ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas sosial yang terlibat dalam proses produksi yaitu kaum industriawan yang mengontrol alat produksi dan kaum proletar sebagai pekerja. Feminisme memandang secara khusus kedudukan perempuan ditengah-tengah masyarakat. Secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: 1. Feminis liberal kelompok ini berpendapat bahwa laki-laki maupun perempuan diciptakan seimbang tidak terjadi penindasan antara satu dengan lain. 2. Feminis Marxis-Sosialis; aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnnya lebih disebabkab oleh faktor alam. 3. Feminis radikal dalam kelompok ini perempuan tidak harus bergantung pada laki- laki, bukan saja dalam hal kebendaan tetapi juga dalam hal pemenuhan kebutuhan sek. Perempuan bisa mendapatkan kepuasan sek dengan sesama perempuan. Gender dalam perspektif teori konflik bahwa perempuan sebagai kelompok penyumbang yang paling banyak dalam menyediakan tenaga murah dalam produksi yang sangat menguntungkan bagi kapitalis. Konstruksi jender sudah mengakar pada masyarakat sebagai inspirator munculnya persepsi masyarakat sistem patriarkhi sebagai bias jender. Agama dilihat dari sudut pandang konflik membuka celah lebar untuk menjadikan sebab munculnya ketegangan sosial dalam masyarakat. Namun di sisi lain bahwa konflik yang bersifat fungsional atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan. Kata Kunci: Teori Konflik, Gender dan Politik Agama

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 41 ~

Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Jainudin

email: [email protected]

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Abstrak

Agama dipandang sebagai sumber moral, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan berkecenderungan ke arah perselisihan, ketegangan dan perubahan. Penganut suatu agama adalah manusia bagian dari masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menjadi lahan konflik sebagaimana diisyaratkan oleh teori konflik. Dan agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai konflik (intoleransi), baik antar agama maupun intra suatu agama. Namun masih ada masyarakat yang memandang agama sebagai suatu yang positif yang didasarkan pada pandangan kaum fungsional (fungsionalisme).

Disisi lain agama dipandang sebagai sesuatu yang mengakibatkan adanya disfungsi dan terwujudnya disintegrasi sosial. Disisi lain disamping agama sebagai sumber konflik masih ada lagi sumber konflik yang lain yaitu peran jender dalam masyarakat, yang merupakan kultur yang menentukan harapan-harapan pada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam masyarakat. Korelasi antara perbedaan jender dan status sosial. Semakin besar perbedaan semakin timpang pula status sosial, dan semakin kecil pula perbedaan status sosial itu. Karl Marx memahami seluruh kehidupan sosio budaya ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas sosial yang terlibat dalam proses produksi yaitu kaum industriawan yang mengontrol alat produksi dan kaum proletar sebagai pekerja. Feminisme memandang secara khusus kedudukan perempuan ditengah-tengah masyarakat. Secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: 1. Feminis liberal kelompok ini berpendapat bahwa laki-laki maupun perempuan diciptakan seimbang tidak terjadi penindasan antara satu dengan lain. 2. Feminis Marxis-Sosialis; aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnnya lebih disebabkab oleh faktor alam. 3. Feminis radikal dalam kelompok ini perempuan tidak harus bergantung pada laki-laki, bukan saja dalam hal kebendaan tetapi juga dalam hal pemenuhan kebutuhan sek. Perempuan bisa mendapatkan kepuasan sek dengan sesama perempuan.

Gender dalam perspektif teori konflik bahwa perempuan sebagai kelompok penyumbang yang paling banyak dalam menyediakan tenaga murah dalam produksi yang sangat menguntungkan bagi kapitalis. Konstruksi jender sudah mengakar pada masyarakat sebagai inspirator munculnya persepsi masyarakat sistem patriarkhi sebagai bias jender. Agama dilihat dari sudut pandang konflik membuka celah lebar untuk menjadikan sebab munculnya ketegangan sosial dalam masyarakat. Namun di sisi lain bahwa konflik yang bersifat fungsional atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan.

Kata Kunci: Teori Konflik, Gender dan Politik Agama

Page 2: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 42 ~

Pendahuluan

Agama dipandang sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap

sebagai sumber konflik. Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah

ganda. Agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan,

persatuan, dan persaudaraan. Namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai sesuatu

yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti dicatat dalam sejarah

menimbulkan peperangan.1

Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang

berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta berkecenderungan ke arah perselisihan,

ketegangan dan perubahan. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah “masyarakat”. Tampaknya

masyarakat menjadi lahan tumbuh suburnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor:

ekonomi, politik, sosial, bahkan agama. Oleh karena itu pada sisi ini agama bisa saja menjadi

salah satu faktor timbulnya konflik di masyarakat. 2

Pada dasarnya kalau merujuk pada al-Qur’an banyak indikasi yang menjelaskan adanya

faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas al-Qur’an menyebutkan bahwa faktor konflik

itu sesungguhnya berasal dari manusia. Dalam surat yusuf ayat 5, dijelaskan tentang adanya

kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha untuk menarik dirinya untuk menyimpang dari

nilai-nilai dan norma Illahi. Atau secara tegas, disebutkan bahwa kerusakan bisa berbentuk

kerusuhan, demonstrasi dan lain-lain diakibatkan oleh tangan manusia, seperti disebutkan dalam

surat Ar-Rum ayat 41. Ayat-ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik

sesungguhnya adalah manusia. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini akan melihat dari segi

penganut agamanya, bukan agamanya untuk mengidentifikasi timbulnya konflik. Penganut suatu

agama adalah manusia bagian dari masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menjadi

lahan konflik sebagaimana diisyaratkan dalam teori konflik.

Pembicaraan ini dimulai dari tataran penganut agamanya yakni orang yang meyakini

dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik

dan buruk, dalam terminologi Islam disebut amal perbuatan. Dari mana mereka meyakini bahwa

suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinnan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan

mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut agama yang berbeda dan memiliki

kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan

kemampuannya masing-masing. Akibat dari perbedaan pemahaman itu saja, Cikal bakal konflik

tidak bisa kita hindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapat

1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002). hlm. 147. 2 Paul B Horton, Sosiologi (Terj. Aminudin Ram) (Jakarta: Erlangga, 1987). hlm. 25.

Page 3: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 43 ~

melahirkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak konflik seperti ini adalah konflik

intra agama atau disebut konflik antar madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman

terhadap ajaran agama. Hal ini terjadi karena pemahaman agama bisa dilakukan dengan

memahami bahwa agama sebagai suatu doktrin dan ajaran serta agama itu difahami sebagai

aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah. Sayyed Hoessein Nasr menyebutnya

dengan istilah Islam ideal dan Islam realita.3

Secara umum ada dua pandangan mengenai fungsi agama dalam masyarakat. Dua

pandangan tersebut lebih melihat fungsi pisitif dan fungsi negatif. Kelompok yang memandang

fungsi positif agama, didasarkan pada pandangan kaum fungsional (fungsionalisme). Salah satu

pemikirnya adalah Durkheim yang melihat fungsi agama dalam kaitannya dengan solidaritas sosial.

Baginya agama lebih memiliki fungsi untuk menyatukan anggota masyarakat, agama memenuhi

kebutuhan masyarakat untuk secara berkala menegakkan dan memperkuat perasaan dan ide-ide

kolektif. Di sisi lain agama juga dituding memeliki disfungsi bagi terwujudnya integrasi sosial.

Agama dipandang sebagai sumber berbagai konflik yang terjadi dalam masyarakat, perbedaan

keyakinan atau perbedaan agama sering kali memicu konflik. Konflik agama bisa terjadi antar

anggota masyarakat dalam satu agama.4

Selain agama sebagai sumber konflik masih ada lagi-lagi yaitu peran jender dalam

masyarakat, peran jender merupakan ide-ide kultural yang menetukan harapan-harapan pada laki-

laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dalam masyarakat. Dalam

perspektif budaya setiap orang dilahirkan dengan kategori budaya: laki-laki atau perempuan. Sejak

lahir setiap orang sudah ditentukan paran dan atribut jendernya masing-masing. Jika lahir laki-laki

maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai laki-laki. Sebaliknya jika seorang lahir

perempuan maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai perempuan. Dalam

pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan jender, ada nilai tata krama

dan norma hukum yang membedakan peran laki dan perempuan. Jika seorang menyalahi nilai,

norma dan perasaan tersebut maka yang bersangkutan akan menghadapi risiko di dalam

masyarakat.

Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki diidentifikasi

sebagai orang yang memiliki karakteristik masculinity, sedangkan perempuan diidentifikasi sebagai

orang yang memiliki karakteristik femininity. Perempuan dipersepsikan sebagai manusia cantik,

langsing dan lembut. Sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, tegar dan

3 Sayyed Hoessein Nasr, Islam Cita dan Islam Fakta (Jakarta: Yayasan Obor, 1984). Hlm. 234. 4 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012). hlm. 171.

Page 4: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 44 ~

agresif. Laki-laki dianggap lebih cerdas dalam banyak hal, lebih kuat, lebih berani dari pada

perempuan. Anggapan-anggapan budaya seperti ini dengan sendirinya memberikan peran lebih

luas kepada laki-laki, dan pada saatnya laki-laki memperoleh status sosial lebih tinggi dari pada

perempuan.

Peran jender tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan identitas dan berbagai

karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Sebab terjadinya

ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih dari sekedar perbedaan fisik biologis

tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat turut memberikan andil. Dalam

pengalaman sehari-hari antara laki-laki dan perempuan senantiasa terjadi konflik dan ketegangan

jender. Perempuan tetap mempunyai keinginan untuk bergerak secara leluasa guna meningkatkan

status dan percaya diri, tetapi budaya dalam masyarakat membatasi keinginan mereka, terutama

bagi mereka yang telah kawin, apalagi kalau sudah mempunyai anak. Pada saat ini perempuan

menghadapi beban ganda (double burden). Dari satu segi mereka perlu berusaha sendiri, tetapi

difihak lain harus lebih konsisten mengasuh anak dan mengurus keluarga. Laki-laki lebih leluasa

melakukan berbagai kegiatan produktif.5

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui adanya korelasi antara perbedaan

jender dan status sosial. Semakin besar perbedaan semakin timpang pula status sosial dan

semakin kecil perbedaan itu semakin kecil pula perbedaan status sosial itu, meskipun perbedaan

peran jender bukan satu-satunya variabel yang menentukan ketimpangan atau keadilan.

Pembahasan

1. Teori Konflik

Kita boleh mengatakan bahwa dalam tahun 1950-an paradigma yang memandang

masyarakat sebagai sistem, paling berpengaruh dalam sosiologi barat. Tetapi kedudukannya

berubah dalam dasawarsa berikut. Terjadi suatu pergeseran dimana konsep kunci yang

diharapkan membuka rahasia masyarakat tidak lagi “orde” atau “peranan sosial” sebagai

pembantunya melainkan “konflik”. Kita melihat bahwa sosiologi abad 19 sebetulnya telah

memberi perhatian besar kepada kenyataan sosial ini. Tokoh Darwinisme sosial telah

melukiskan kehidupan bersama dengan memakai istilah struggle dan survival of the fittest. Vilfredo

Pareto telah menerangkan pergolakan dunia politik sebagai akibat dari mekanisme

pertentangan antara dua individu yang disebut the lions dan the foxes, yang secara bergilir

menunggu kesempatan untuk berkuasa. Dalam abad yang lalu Karl Marx memahami seluruh

kehidupan sosio budaya menjadi ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas sosial yang

5 Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Dian Jakarta, 2010). hlm. 67.

Page 5: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 45 ~

terlibat dalam proses produksi yaitu kaum industriawan yang mengontrol alat-alat produksi

dan kaum proletariat sebagai kaum pekerja.

Pada awal abad ini G. Simmel dan Max Weber masih tetap menarik perhatian

terhadap gejala konflik, yang tak mungkin terhindarkan, namun memainkan peranan positif

dalam mempertahankan masyarakat dan memupuk rasa pemersatuan. Tetapi sesudah mereka

kata “konflik” tidak terdengar lagi kecuali dalam arti negatif. Paradigma atau bagan

masyarakat yang mengarahkan dan menuntun kebanyakan sosiolog memberi top ranking pada

konsep “kesesuaian paham” atau “consensus” yang menjiwai dan mendasari masyarakat,

sedangkan konflik atau perselisihan dicela sebagai “penyakit masyarakat”. Di satu pihak apa

yang lazim disebut dunia barat mengalami perkembangan ekonomi dan tingkat kemakmuran

yang tidak ada bandingnya. Di pihak lain zaman konyungtur tinggi itu sekaligus juga

merupakan zaman perang dingin antara dua kekuatan raksasa dunia. Negara-negara baru

menyatakan merdeka.6

Gambaran masyarakat sebagai kesatuan yang berintegrasi atas dasar nilai-nilai yang

dibagi bersama, yang telah disepakati, dibatinkan, dan didukung dengan spontan sekarang

diganti dengan gambaran lain dengan perseteruan, perselisihan antar individu dalam

kelompok yakni konflik yang berati perselisihan nilai-nilai atau tuntunan-tuntunan berkenaan

dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan alam yang tidak mencukupi dimana

pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang

diinginkan melainkan juga memojokkan, merugikan dan menghancurkan lawan mereka.

Konflik selalu ada dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu model interaksi dalam

mencapai hasrat kehidupannya.

Teori konflik dapat dilihat sebagai suatu perkembangan yang terjadi terkait dengan,

setidaknya sebagian fungsionalisme struktural dan merupakan hasil dari banyak kritik yang

diskusikan sebelumnya. Akan tetapi harus dicatat bahwa teori konflik mempunyai banyak

akar lain, seperti Marxian, Weberian dan karya Simmel mengenai mengenai konflik sosial. Teori

konflik memberikan suatu alternatif bagi fungsionalisme struktural, tetapi ia digantikan oleh

aneka teori Neo Marxian. Sebenarnya salah satu sumbangan utama teori konflik adalah

caranya meletakkan dasar bagi teori-teori yang lebih setia kepada karya Marx, teori-teori yang

menarik audiens yang luas didalam sosialogi. Masalah utama dengan teori konflik adalah ia

tidak pernah berhasil memisahkan diri secara memadai dari akar-akar fungsionalisme

6 K J Veeger, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993). hlm.212.

Page 6: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 46 ~

strukturalnya. Ia lebih berupa sejenis fungsionalisme struktural yang menyala dikepalanya

dari suatu teori masyarakat yang benar-benar kritis.7

Teori struktural konflik muncul sebagai pengeritik utama teori struktural

fungsional. Di dorong rasa tidak puas terhadap teori struktural fungsional, maka sejumlah

pemikir mencoba beroposisi dengan membangun tradisi yang lain. Struktural fungsional

dianggapnya menutup mata terhadap konflik yang selalu melekat pada setiap masyarakat.

Struktural fungsional dinilai lebih memandang masyarakat dari sisi keseimbangan.

Di mata tradisi struktural konflik, teori struktural fungsional terlalu berorientasi

kepada status quo (homeostatik) padahal kenyatannya masyarkat penuh ketegangan dan selalu

berpotensi melakukan konflik. Kenyataan yang terjadi di masyarakat senantiasa terjadi

perubahan. Lebih dari itu teori struktural fungsional dinilai mengabaikan praktik dominasi

satu kelompok dominan terhadap yang lain, dan oleh karena itu pantas jika teori struktural

fungsional dituduh berkolusi dengan kelompok dominan.

Perspektif baru ini kemudian menaruh perhatian terhadap ketegangan, konflik

kegandrungan terhadap terjadinya perubahan terhadap masyarakat. Perspektif inilah yang

kemudian dikenal sebagai teori struktural konflik, yang pada awalnya dicetuskan oleh Karl

Marx dan juga bisa telurusi dari karya-karyanya Max weber. Meskipun Marx dan Weber

sepakat dalam banyak hal, akan tetapi kedunya mengembangkan tipe konflik yang berbeda.

Setelah berkembang ternyata tipe konflik Marxian jauh lebih populer dari pada tipe konflik

yang dikembangkan Weber. Oleh karena itu, dalam merekonstruksi teori konflik yang muncul

sebagai kritik terhadap teori struktural fungsional kali ini akan diawali pembahasannya dari

karya Karl Marx sebagai pencetus perspektif konflik yang lebih berpengaruh.

Diketahui dalam perjalanannya apa yang dirintis oleh Marx ternyata kemudian

mempengaruhi banyak pemikir lain sehingga banyak karya-karya Marx semakin bervarian.

Sebagian mereka tidak lebih sekedar mereproduksi karya Marx, mereka dikenal sebagai

Marxian. Disamping itu juga ada para tokoh yang mengembangkan teori yang dirintis oleh

Marx. Dalam perkembangannya teori konflik ini memasuki teori konflik alternatif yakni teori

teori konflik yang cenderung memakai asumsi-asumsi struktural fungsional. Dalam hal ini

konflik bukan berpretensi untuk dibawa pada sebuah muara revolusi, melainkan justru dalam

rangka membangun konsensus. Tidak diingkari bahwa setiap individu memiliki kepentingan,

sehingga masing-masing anggota kelompok memiliki sumbangan terhadap munculnya

konflik. Justru konsensus itu terjadi mengandaikan adanya konflik yang muncul secara tak

7 George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Post Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). hlm. 450

Page 7: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 47 ~

terlekakkan, sebagai konsekwensi dari adanya kepentingan pada setiap individu. Dalam

konteks inilah dimengerti bahwa tidak mungkin konsensus terjadi tanpa diawali oleh

perbedaan atau konflik.8

2. Biografi Karl Marx

Karl Marx yang lahir di kota Trier, Jerman, Tahun 1818 adalah anak dari pasangan

Heunrich dan Henrietta-keturunan seorang Borjuis dan rohaniwan Yahudi. Seluruh keluarga,

termasuk Karl Marx dipermandikan dalam gereja. Tatapi ketika Marx masih sangat muda ia

menjumpai keluarganya mengalami disharmoni, karena alasan bisnisnya- dalam hal ini

menyelamatkan status pegawai negerinya, ayah Marx melakukan konversi keagamaan dan

kemudian memilih lutherianisme, sebuah sekte dan protetanisme.

Karl Marx menikahi Yenni anak Baron van Westphalen, tetangganya sediri tahun 1843.

Ia belajar hukum di Bonn dan Berlin. Di Berlin itulah ia tertarik pada filsafat idealismenya

Hegel. Sebagai mahasiswa di Bonn dan Berlin dian dipengaruhi oleh dialektiknya Hegel.

Namun dia dikemudian hari ia berbalik arah menolak idealismenya Hegel, dan memulai

dengan teori historical meterialism. Ia mengkaitkan kondisi masyarakat dengan landasan

ekonomi dan mode produksi. Karl Marx dalam hal ini merekomendasikan revolusi tentara

sebagai bagian dari proletariat.

Setelah meraih gelar doktor dalam filsafat, kemudian dia memilih kegiatan dalam

bidang jurnalisme. Ia menjadi wartawan di Koln dan lalu pindah di Paris yang

mempertemukannya dengan Friederich Engels (1820-1893). Bersama Engels ia

mempersiapkan the manifesto of the Communist Party (1848) sebagai pernyatan Kebijakan Liga

Komunis.

Kepindahannya tokoh yang pernah menjadi pemimpin redaksi sebuah harian ini,

pada tahun 1842 ke Paris di karenakan kesulitan menghadapi sensor pemerintah Prusia yang

dilakukan secara terus menerus. Setelah diusir polisi Perancis Marx, kemudian pindah ke

Brusel selama dua tahun. Setelah pindah ke london dan kemudian kembali ke Jerman.

Tahun1848 pada saat revolusi di Eropa mengalami kegagalan – Marx pindah lagi ke London

sebagai pengungsi untuk selamanya hingga Karl marx meninggal pada tahun 1883.

Di akhir hidup Marx dan keluarganya dalam kemiskinan. Kehidupan finansialnya

ditopang oleh Engels. Setelah beberapa tahun melakukan penelitian yang sebagian besar

dilakukan di Britsh Museum, ia mempublikasikan volume pertama karya besarnya, capital,

pada tahun 1867. Dari tahun 1864 hingga 1872 Marx memainkan peran penting dalam

organisasi buruhInternational. Disamping Capital, Karl Marx lalu menulis The German Ideology,

8 Zainuddin Maliki, Teori Sosial Modern (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2012). hlm. 140-141.

Page 8: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 48 ~

The Poverty of Philosophy. The 18th Brumaire of Louis Bonaparte, The Civil War In France, A

Contribution to The Critique of Political Economy, Grundrisse; Foundations of the Critique of Political

Economy dan theoris of surflus value.9

3. Teori Feminisme

Dalam dekade terakhir kelompok femenis memunculkan dengan fungsi reproduksion

beberapa teori yang secara khsusus menyoroti kedudukan perempuan dalam kehidupan

masyarakat. Feminis berupaya menggugat kemamapan patriarki dan berbagai bentuk stereotipe

jender lainnya yang berkembang luas dalam masyarakat. Pandangan feminis terhadap

perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan secara umum dapat dikategorikan kepada

tiga kelompok; sebagai berikut:

a) Feminisme Liberal

Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki maupun

perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara

satu dengan yang lain. Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsi-prinsip pencerahan bahwa

laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan-kekhususan. Secara

ontologis keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi haknya

perempuan. Dalam beberapa hal, terutama yang berhubungan fungsi reproduksi, aliran

ini amsih tetap memandang perlu adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan

perempuan bagaimanapun juga fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa

konsekwensi logis didalam kehidupan bermasyarakat.

Kelompok ini paling moderat diantara kelompok feminis. Kelompok ini

membenarkan perempuan bekerja bersama-sama laki-laki. Kalau bisa mereka

menghendaki agar perempuan diintegrasi secara total didalam semua peran, termasuk

bekerja diluar rumah. Tidak ada satupun kelompok jenis kelamin laki-laki yang lebih

dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktutral

secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan didalam berbagai peran, seperti

dalam peran sosial, ekonomi dan politik. Organ reproduksi bukan merupakan

penghalang terhadap peran tersebut.

Tokoh aliran ini antara lain Margareth Fuuler (1810-1850), Harnet Martineau

(1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873) dan Susan Anthony (1820-1906)

b) Feminis Marxis-Sosialis.

9 Maliki. hlm. 142-143.

Page 9: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 49 ~

Aliran berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan

jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis

kelamin itu sesungguhnya lebih di sebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak

anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-

laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.

Agak mirip dengan teori konflik, kelompok ini menganggap posisi inferior

perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis.

Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan jender didalam masyarakat adalah

akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah

bagi perempuan didalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan

lebih tinggi daripada suami atau sebaliknya. Perempuan senantiasa mencemaskan

keamanan ekonominya, karenanya, mereka memberikan dukungan kekuasaan kepada

suaminya. Struktur ekonomi atau kelas didalam masyarakat memberikan pengaruh efektif

terhadap status perempuan, karena itu untuk mengangkat harkat dan martabat

perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan ulang kembali

struktural secara mendasar, terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor

domestik dan sektor publik. Tokoh aliran ini antara lain Clara zetkin (1857-1933), Rosa

Luxemburg (1871-1919)10

Bedanya dengan teori konflik dan teori Marx-Engels, teori ini tidak terlalu

menekankan faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar

ideologi sebagaimana halnya dalam teori konflik, tetapi teori ini lebih menyoroti faktor

seksualitas dan jender dalam kerangka dasar ideologinya.

c) Feminis Radikal.

Aliran ini muncul di permulaan abad 19 dengan mengangkat isu besar

menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga

patriarkhi yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan

laki-laki. Lebih dari itu diantara kaum feminis radikal ada yang lebih ekstrem, tidak hanya

menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan “seks” dalam arti

kepuasaan seksual juga bisa diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolerir

praktek lesbian.11

Menurut kelompok ini perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki,

bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan

10 Maliki. hlm. 11-12. 11 Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiction (London: Routledge, 1989). hlm. 12.

Page 10: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 50 ~

seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan dan kepuasan seksual

kepada sesama perempuan. Kepuasan seksual dari laki-laki adalah masalah psikologis.

Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan itu dapat terpenuhi dari sesama

peremuan.

Aliran ini juga mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan

mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu

mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagi dalih. Ketertindasan

perempuan berlangsung cukup lama dan dinilainya sebagai bentuk penindasan yang

teramat panjang didunia. Penindasan karena ras, perbudakan dan warna kulit dapat

segera dihentikan dengan resolusi dan peraturan tetapi pemerasan secara seksual teramat

susah dihentikan, dan untuk itu diperlukan gerakan yang lebih mendasar.

Yang menjadi inti perjuangan semua aliran feminisme tersebut diatas adalah

berupaya memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan status dan peran sosial antara

laki-laki dan perempuan sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan jender dalam

masyarakat.12

4. Gender dalam Perpektif Teori Konflik

Dalam soal jender teori konflik terkadang diidentifikasikan dengan teori Marx

karena begitu kuat pengaruh Karl Marx di dalamnya. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa

dalam susunan didalam suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling

memperebutkan pangaruh dan kekusaan. Siapa yang menguasai sumber-sumber produksi

dan distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama didalamnya.

Marx yang kemudian dilengkapi oleh Fredrich Engels mengemukakan suatu gagasan menarik

bahwa perbedaan dan ketimpangan jender antara laki-laki dan perempuan, tidak disebabkan

oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan dari kelas yang berkuasa

dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga (family). Hubungan suami istri

tidak ubahnya seperti hubungan proletar dan borjuis, hamba dan tuan, pemeras dan yang di

peras. Dengan kata lain ketimpangan peran jender dalam masyarakat bukan karena faktor

biologis atau pemberian Tuhan (divine creation) tetapi konstruksi masyarakat (social construction).

Menurut Engels, masyarakat primitif lebih bersifat egaliter katika ia belum kenal

adanya surplus penghasilan sehingga belum dikenal adanya pemilikan pribadi. Bentuk-bentuk

keluarga dalam masyarakat primitif ditandai dengan penerapan sistem produksi untuk

digunakan sendiri. Rumah tangga bersifat komunal, semua dilakukan untuk rumah tangga

12 Ramazanoglu. hlm.60.

Page 11: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 51 ~

sebagai keseluruhan. Perempuan sebagai anggota keluarga mempunyai kontribusi yang sama

dengan laki-laki dalam ekonomi rumah tangga.

Surplus penghasilan mulai dikenal ketika hewan piaraan mulai didayagunakan dan

para petani sudah menetap disuatu tempat tidak lagi berpindah-pindah (nomaden). Bersamaan

dengan itu sarana kepemilikan pribadi mulai dikembangkan, dan kesuasaan mulai

terkonsentrasi pada segelintir laki-laki. Setelah kepemilikan pribadi diperkenalkan dan

diperkenankan, muncullah konsep kapitalisme yang mentolerir terjadinya akumulasi modal

dikalangan orang-orang terbatas. Akumulasi modal kemudian menjadi dasar lahirnya sistem

perdagangan. Selanjutnya produksi untuk perdagangan yang dikuasai oleh laki-laki

mendominasi produksi untuk barang-barang konsumsi hal mana perempuan banyak terlibat

didalamnya. Akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian dari harta dan sejak itulah

dominasi laki-laki dimulai. Perempuan terkondisikan untuk bekerja di sektor domestik dan

laki-laki bekerja dan mengontrol sektor publik. Disamping itu, rumah tangga berada di

bawah otoritas dan kewenangan suami.

Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-

laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan.

Seolah-olah Engels ingin mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah

hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan mempunyai

korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan. Generalisasi Engels tersebut jika

benar, maka ada suatu hal yang dapat disangsikan yaitu kontrol laki-laki atas produksi dalam

masyarakat yang terbagi-bagi kedalam beberapa kelas adalah karena kepentingan kelas

borjuis. Lagi pula menurut Marxisme persoalan jender yang timpang dalam masyarakat tidak

dapat diselesaikan hanya dengan melakukan revolusi sosial yang menghapus pembagian

pekerjaan domestik. Banyak faktor lain yang terlibat di dalam pembentukan stereotipe jender

didalam masyarakat.

Menurut Marxisme dalam kapitalisme penindasan perempuan diperlukan karena

mendatangkan keuntungan. Pertama; eksploitasi perempuan didalam rumah tangga akan

membuat buruh laki-laki dipabrik lebih produktif. Kedua; perempuan juga berperan dalam

reproduksi murah, sehingga memungkinkan harga tenaga kerja lebih murah. Murahnya upah

tenaga kerja menguntungkan kapitalisme. Ketiga; masuknya buruh perempuan sebagai buruh

dengan upah yang lebih murah, menciptakan buruh cadangan. Melimpahnya buruh cadangan

Page 12: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 52 ~

memperkuat posisi tawar-menawar para pemilik modal (kapitalis) dan mengancam solidaritas

kaum buruh. Kesemuanya ini akan mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis.13

5. Fenomena Keagamaan dan Jender dalam Perspektif Teori Konflik.

Dalam Perspektif sosiologi Agama, konflik digunakan sebagai landasan dalam

melihat fenomena keagamaan yang ada dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan

kekuasaan, kalangan teoretisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan,

penindasan dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena

itu, dalam perspektif konflik agama kejadiannya dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”.

Klaim ini dapat dikemukakan berdasar intensitas kejadian dalam konflik agama yang bernilai

sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada, seperti sungguh-sungguh mencerminkan

kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Keadilan menjadi perkara yang terabaikan

dalam pertumbuhan masyarakat. Moralitas sebagai anjungan pokok dalam merancang

terbentuknya masyarakat yang selaras dan damai terkikis oleh kesenjangan sosial yang

kadang-kadang bernilai sepele.

Agama dilihat-lihat dari sudut pandang konflik membuka celah lebar untuk

menjadikannya sebagai sebab kemunculan ketagangan-ketegangan sosial dalam masyarakat.

Konflik multidimensional yang melanda bangsa dan mengancam integrasi nasional berkaitan

dengan perebutan distribusi sumber daya ekonomi dan kehormatan. Ketika pertentangan

tersebut memerlukan pembenaran, maka agama dan kebudayaan digunakan sebagai alat atau

simbol perlawanan untuk menghancurkan lawan-lawan yang potensial dalam

memperebutkan sumber daya yang ada.14

Dilihat dari sudut pandang konflik, keanekaragaman agama, etnik dan kebudayaan

yang sering kali dipandang sebagai potensi yang menguatkan, melainkan dijadikan simbol

identitas untuk membedakan kelompok sendiri dengan kelompok lain. Kemajemukan

sebagai sebuah keniscayaan dari pembentukan bangsa masih dianggap sebagai perkara yang

nisbi dan relatif. Diatas persepsi ini dapat diamati sebagaimana para pengamat antropolog

agama melihat bahwa Indonesia bagian barat adalah wilayah kultural Islam. Sementara itu

beberapa daerah wilayah timur adalah wilayah kultural nasrani. Jika pada suatu saat terdapat

gejala–gejala yang menunjukkan intensitas kegiatan keagamaan yang berbeda dengan agama

mayoritas penduduk maka yang muncul adalah prasangka adanya ekspansi dari apa yang

disebut sebagai golongan lain dari mereka.15

13 Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). hlm. 57. 14 Ahmad Syafi’i Mufid, Dialog Agama dan Kebangsaan (Jakarta: Dzikrul Hakim, 2001). hlm, 52. 15 Mufid. hlm. 35.

Page 13: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 53 ~

Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari

segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi

biologis antara keduanya cukup jelas. Tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu

menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks)

melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis

kelamin inilah yang disebut jender. Pada dasarnya perbedaan jender tersebut tidak menjadi

masalah jika tidak berakibat menimbulkan diskriminasi, subordinasi, stereotipe dan ketidakadilan

relasional antara laki-laki dan perempuan, tetapi jika perbedaan tersebut menyebabkan

munculnya pandangan minus yang diyakini sebagai kodrat Illahi, maka tentu saja halal bagi

kaum perempuan pada khususnya dan bagi siapapun yang memiliki keinsyafan sosial yang

tinggi pada umumnya, untuk mengkritisi berdasarkan nilai-nilai humanistis yang suci.

Konstruksi jender yang sudah mengakar dan menancap dalam masyarakat menjadi

inspirator terhadap munculnya persepsi masyarakat bahwa sistem patriarkhi yang sangat bias

jender itu adalah kodrat Illahi yang tidak bisa diubah. Jika budaya patriarkhi dianggap sebagai

dogma, bisa dikata bahwa Islam tidak lagi mempunyai andil dan peran sebagai pedoman

dalam kehidupan bermasyarakat bahkan bisa berasumsi bahwa Islam merupakan agama yang

hanya berlaku untuk negeri dimana Islam diturunkan.16

Dalam dunai modern konflik antar kelas dan bias jender masih tetap ada bahkan

bertambah tegang dan kian pelik. Kapitalisme modern memperkenalkan model produksi

baru dalam bentuk perdagangan dan industri. Situasi ini semakin diperburuk oleh

perkembangan kapitalisme menjadi industrialisme. Era industrialisme melahirkan pabrik-

pabrik tempat para buruh mengahabiskan waktu dan tenaga dengan mesin-mesin industri

untuk memproduksi barang yang cukup banyak untuk mendapatkan keuntungan yang

melimpah bagi pemilik modal pabrik tersebut. Perkembangan kapitalisme ini semakin

menyeret konflik antar kelas kepada titik klimaknya dan satu fase yang sangat genting, yaitu

satu periode dimana penderitaan kaum proletar semakin parah.17 Beberapa contoh konflik

dan bias jender dalam masyarakat yang membentuk struktur, stratifikasi sosial antara lain :

NO KASUS ORIENTASI POLITIK KETERANGAN

1 Memerdekakan Bilal Politik Agama Teori Konflik

2 Perang Shiffin (Ali dan Aisyah)

Politik Agama dan Kekuasaan

Teori Konflik dan bias jender

3 Pertikaian Polewali Mamasa Politik ekonomi dan Agama

Teori konflik

16 Mufid. hlm. 127. 17 Daniel L Pals, Seven Theories of Religion (Terj. Inyiak Ridlwan Muzir) (Yogyakarta: IRCISoD, 2012). hlm. 189.

Page 14: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 54 ~

4 Teror Bom Gereja Jawa Timur

Politik Agama Teori konflik

5 Pertikaan Maluku Utara Politik Kekuasaan dan Agama

Teori Konflik

6 Pertikaian Maluku Tengah Politik Ekonomi dan kekuasaa

Teori konflik

7 Syi’ah dan Sunni Sampang Politik Agama

Teori konflik

8 Tradisi Patriarkhi Politik Kekuasaan

Bias Jender

9 Pembantaian Dukun Santet Politik Agama

Teori Konflik

10 DayakVS Madura di Sambas Politik Ekonomi

Teori Konflik

11 Ambon VS Maluku Utara Politik ekonomi dan Agama

Teori konflik

Contoh tersebut diatas merupakan beberapa contoh peristiwa yang terjadi

ditengah-tengah masyarakat yang berdampak pada terciptanya struktur dan stratifikasi sosial.

Lebih jauh untuk memahami keberadaan dan peran yang dimainkan Islam, diperlukan

pemahaman mendalam terhadap stratifikasi sosial budaya bangsa arab menjelang dan ketika

al-Qur’an diturunkan. Misi Al-Qur’an hanya dapat difahami secara utuh setelah memahami

kondisi sosial bangsa Arab. Bahkan sejumlah ayat dalam al-Qur’an seperti ayat-ayat jender,

dapat disalah fahami tanpa memahami latar belakang sosial-budaya masyarakat Arab.

Leila Ahmed dalam bukunya yang terkenal, Women and Gender in Islam, memberi

kesimpulan bahwa Islam telah berperan penting dalam mentrnsformasikan pandangan sosial

keagamaan bangsa Arab sehingga menjadi sesuai dengan tradisi bagian lain Timur Tengah,

termasuk pandangan steretipe terhadap perempuan. Penggunaan kata “Islam” dalam buku

ini terkesan agak rancu, karena tidak jelas apakah yang dimaksud Islam adalam arti ajaran

atau Islam dalam arti kebudayaan, sebagaimana yang berkembang dalam sejarah. Jika Islam

sebagai ajaran lalu dianggap sebagai suatu kelanjutan budaya agama dan kultur sebeblumnya,

melestarikan nilai-nilai patriarkhi yang dinilainya gender bias, maka agak kontradiksi dengan

pernyataan ditempat lain (women and the Risse of Islam) tempat ia menunjukkan kegigihan Nabi

dan beberapa istrinya dalam membela hak-hak perempuan.

Perang antar suku, disamping melahirkan struktur dan stratifikasi sosial dengan

gejala seperti munculnya konsep bangsawan, budak , harem, mawali juga melahirkan

beberapa institusi hukum yang bertujuan untuk mengeliminir kekerasan antar suku.18

18 Pals. hlm.125.

Page 15: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 55 ~

Kemunculan suatu konflik dalam suatu susunan masyarakat dapat dijadikan sebagai

pijakan analisis dalam melakukan conflict resolution dan peacebuilding. Langkah ini dapat

menjadikan inspirasi gemilang untuk menemukan samarnya permasalahan yang terjadi dalam

suatu konflik. Analisis suatu konflik harus dibedah berdasar kepada titik dasar

kemunculannya. Semua anatomi yang terlibat didalamnya harus dijelaskandan dipetakan

dengan baik dan tertata. Pencapaian terhadap target dan tujuan tersebut dapat mengantisipasi

terjadinya resolusi konflik yang determinan atas kelompok tertentu semata.19

Dalam kehidupan sehari-hari, dimana interaksi, konflik selalu saja ada dan konflik

merupakan bagian yang tidak dapat terelakkan dalam hidup. Konflik dapat terjadi antar

individu atau antar kelompok. Konflik yang tidak terselesaikan tentunya akan membawa

pada dampak yang tidak baik. Konflik tersebut didominasi oleh konflik antar etnis, agama,

sosial dan politik. Konflik mempunyai pengertian, suatu proses pergulatan hingga pertikaian

individu dengan individu lainnya atau dalam suatu kelompok. Sebenarnya, konflikpun

menyertai individu yang disebut dikemudian dengan konflik batin atau jiwa. Konflik bukan

selalu mengandung makna yang disfungsional. Konflik bisa bermakna fungsional seiring

dengan keberadaannya yang mewujud sebagai wahana yang mendorong terjadinya suatu

perubahan menuju pada suatu kondisi yang lebih baik.20

Pada sisi positif, konflik bisa menjadi pembuka bagi terciptanya pembaharuan di

masyarakat. Sementara itu, pada aspek negatifnya, konflik memerlukan perjuangan lahir

batin. Para sosiolog membagi konflik kepada dua kategori. Kategori pertama; adalah konflik

yang bersifat destruktif. Contoh konflik yang terjadi antara suku Dayak dan suku Madura.

Munculnya destruktif dalam konflik ini karena dipicu oleh adanya rasa kebencian yang dalam

masing-masing individu yang bertikai.

Adapun kategori yang kedua; adalah konflik yang bersifat fungsional jenis konflik

ini dapat menghasilkan perubahan atau konsesnsus baru yang bermuara pada perbaikan.

Contoh; jenis konflik yang terjadi perbedaan pendapat dikalangan para cendekiawan dalam

upaya mencari kebenaran. Dan Konflik yang terjadi pada ahli agama dan ulama yang

bertujuan untuk menegakkan ajaran Allah SWT. Disamping itu juga bisa konflik yang terjadi

pada kelompok politisi dalam fraksi masing-masing untuk menentukan sebuah keputusan

tentang nasib negara, agama dan pemerintah. Hal inilah merupakan konflik fungsional.21

19 Syafuan Razi, Kekerasan Komunal; Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003). hlm. 327. 20 Loekman Soetrisno, Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003). hlm. 14. 21 M Tahir Sapsuha, Pendidikan Pasca Konflik (Yogyakarta: LKIS, 2013). hlm. 44.

Page 16: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 56 ~

Kesimpulan

Dapat menghasilkan perubahan Agama dipandang sebagai sumber moral, sementara di

sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah

suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan berkecenderungan ke

arah perselisihan, ketegangan dan perubahan.

Penganut suatu agama adalah manusia bagian dari masyarakat, hal ini menunjukkan

bahwa masyarakat menjadi lahan konflik sebagaimana diisyaratkan oleh teori konflik. Dan agama

memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai konflik (intoleransi), baik antar agama maupun

intra suatu agama. Namun masih ada masyarakat yang memandang agama sebagai suatu yang

positif yang didasarkan pada pandangan kaum fungsional (fungsionalisme).

Disisi lain agama dipandang sebagai sesuatu yang mengakibatkan adanya disfungsi dan

terwujudnya disintegrasi sosial. Disisi lain disamping agama sebagai sumber konflik masih ada

lagi sumber konflik yang lain yaitu peran jender dalam masyarakat, yang merupakan kultur yang

menentukan harapan-harapan pada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu

dengan yang lain dalam masyarakat. Korelasi antara perbedaan jender dan status sosial. Semakin

besar perbedaan semakin timpang pula status sosial, dan semakin kecil pula perbedaan status

sosial itu.

Karl Marx memahami seluruh kehidupan sosio budaya ditentukan oleh pertentangan

antara dua kelas sosial yang terlibat dalam proses produksi yaitu kaum industriawan yang

mengontrol alat produksi dan kaum proletar sebagai pekerja.

Feminisme memandang secara khusus kedudukan perempuan ditengah-tengah

masyarakat. Secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: 1. Feminis liberal kelompok ini

berpendapat bahwa laki-laki maupun perempuan diciptakan seimbang tidak terjadi penindasan

antara satu dengan lain. 2. Feminis Marxis-Sosialis; aliran ini berupaya menghilangkan struktur

kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan

peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnnya lebih disebabkab oleh faktor alam. 3.

Feminis radikal dalam kelompok ini perempuan tidak harus bergantung pada laki-laki, bukan saja

dalam hal kebendaan tetapi juga dalam hal pemenuhan kebutuhan sek. Perempuan bisa

mendapatkan kepuasan sek dengan sesama perempuan.

Jender dalam perspektif teori konflik bahwa perempuan sebagai kelompok

penyumbang yang paling banyak dalam menyediakan tenaga murah dalam produksi yang sangat

menguntungkan bagi kapitalis. Konstruksi jender sudah mengakar pada masyarakat sebagai

inspirator munculnya persepsi masyarakat sistem patriarkhi sebagai bias jender.

Page 17: Konflik Klas dan Gender dalam Politik Agama

Tabyin Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1, Nomor 2, Desember 2019 ~ 57 ~

Agama dilihat dari sudut pandang konflik membuka celah lebar untuk menjadikan

sebab munculnya ketegangan sosial dalam masyarakat. Namun di sisi lain bahwa konflik yang

bersifat fungsional atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan.

Daftar Pustaka

Faqih, Mansour. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996.

Horton, Paul B. Sosiologi (Terj. Aminudin Ram). Jakarta: Erlangga, 1987.

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.

Maliki, Zainuddin. Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2012.

Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Mufid, Ahmad Syafi’i. Dialog Agama dan Kebangsaan. Jakarta: Dzikrul Hakim, 2001.

Nasr, Sayyed Hoessein. Islam Cita dan Islam Fakta. Jakarta: Yayasan Obor, 1984.

Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion (Terj. Inyiak Ridlwan Muzir). Yogyakarta: IRCISoD, 2012.

Ramazanoglu, Caroline. Feminism and Contradiction. London: Routledge, 1989.

Razi, Syafuan. Kekerasan Komunal; Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia. Yogyakarta: Tajidu

Press, 2003.

Ritzer, George. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Post Modern.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Sapsuha, M Tahir. Pendidikan Pasca Konflik. Yogyakarta: LKIS, 2013.

Soetrisno, Loekman. Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press, 2003.

Umar, Nazaruddin. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Dian Jakarta, 2010.

Veeger, K J. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala

Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.