landasan kependidikan ctl dan rme 2003
TRANSCRIPT
LANDASAN KEPENDIDIKAN
Model Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) dan Realistic Mathematics
Education (RME)
Kelompok 4 :
Sintya Lastari Depa R.S. (113174005)
Rif’atun Nasyizah (113174013)
Bambang Hendy S. (113174025)
Rachmi Arivesfa R.T. (114174026)
Amelia Hidayatin U. (113174037)
Pendidikan Matematika 2011A
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Surabaya
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat serta karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah “Landasan Kependidikan” yang berjudul Model Pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan Realistic Mathematics Education (RME)
dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memudahkan mahasiswa dalam memahami
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Realistic
Mathematics Education (RME) dan sekaligus memenuhi tugas mata kuliah
“Landasan Kependidikan”.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu kami dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen
pembimbing.
Kami menyadari bahwa kami adalah manusia yang mempunyai
keterbatasan dalam berbagai hal, termasuk dalam pembuatan makalah ini. Maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Sehingga dapat memperluas wawasan tentang
materi model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan
Realistic Mathematics Education (RME).
Surabaya, 24 Oktober 2012
Penulis
i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................................. ii
Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)..........................................1
1. Pengertian..............................................................................................................1
2. Landasan Pemikiran/ Latar Belakang......................................................................1
3. Tujuan....................................................................................................................2
4. Prinsip-Prinsip CTL..................................................................................................3
5. Pendekatan pembelajaran CTL...............................................................................3
6. Penerapan pembelajaran CTL didalam kelas..........................................................4
7. Strategi pembelajaran CTL...................................................................................11
8. Kelebihan dan kelemahan pembelajaran CTL.......................................................13
Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)........................................15
1. RME sebagai Inovasi Pendidikan Matematika......................................................15
2. Sejarah RME.........................................................................................................15
3. Pengertian RME....................................................................................................17
4. Karakteristik RME.................................................................................................19
5. Prinsip Utama RME...............................................................................................20
6. Keuntungan Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Realistik........................................................................................................................23
7. Implementasi pembelajaran Matematika Realistik..............................................25
Daftar Pustaka..................................................................................................................28
ii
Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
1. Pengertian
Menurut Nur Hadi CTL adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa.
Menurut Jonhson CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan untuk menolong para siswa melihat siswa melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka.
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas,2004:18).
Pembelajaran CTL terfokus pada perkembangan ilmu, pemahaman, keterampilan siswa, dan juga pemahaman kontekstual siswa tentang hubungan mata pelajaran yang dipelajarinya dengan dunia nyata. Pembelajaran akan bermakna jika guru lebih menekankan agar siswa mengerti relevansi apa yang mereka pelajari di sekolah dengan situasi kehidupan nyata dimana isi pelajaran akan digunakan.
Pembelajaran CTL awalnya dikembangkan oleh John Dewey 1918 yang merumuskan kurikulum dan metodologi pembelajaran yang berkaitan dengan pengalaman dan minat siswa.
2. Landasan Pemikiran/ Latar Belakang
Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya.
Berikut Latar Belakang Model pembelajaran CTL :
• Dasar pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah.
1
• Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” apa yang dipelajarinya, bukan “mengetahuinya”.
• Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
3. Tujuan
Berikut tujuan dari model pembelajaran CTL, yaitu :
1. Guru dapat memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran
yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks
kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan atau
keterampilan yang secara refleksi dapat diterapkan dari permasalahan
kepermasalahan lainya.
2. Model pembelajaran ini bertujuan agar dalam belajar itu tidak hanya
sekedar menghafal tetapi perlu dengan adanya pemahaman.
3. Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan minat
pengalaman siswa.
4. Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk melatih siswa agar dapat
berfikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar dapat
menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri dan orang lain.
5. Model pembelajaran CTL ini bertujun agar pembelajaran lebih produktif
dan bermakna.
6. Model pembelajaran model CTL ini bertujuan untuk mengajak anak pada
suatu aktivitas yang mengkaitkan materi akademik dengan konteks
jehidupan sehari-hari.
7. Tujuan pembelajaran model CTL ini bertujuan agar siswa secara indinidu
dapat menemukan dan mentrasfer informasi-informasi komplek dan siswa
dapat menjadikan informasi itu miliknya sendiri.
2
4. Prinsip-Prinsip CTL
Dengan menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah mengikuti tiga prinsip ilmiah modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu di alam semesta, yaitu: 1) Prinsip Kesaling-bergantungan, 2) Prinsip Diferensiasi, dan 3) Prinsip Pengaturan Diri.
Prinsip kesaling-bergantungan mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta saling bergantung dan saling berhubungan. Dalam CTL prinsip kesaling-bergantungan mengajak para pendidik untuk mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, dengan siswa-siswa, dengan masyarakat dan dengan lingkungan. Prinsip kesaling-bergantungan mengajak siswa untuk saling bekerjasama, saling mengutarakan pendapat, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Prinsipnya adalah menyatukan pengalaman-pengalaman dari masing-masing individu untuk mencapai standar akademik yang tinggi.
Prinsip diferensiasi merujuk pada dorongan terus menerus dari alam semesta untuk menghasilkan keragaman, perbedaan dan keunikan. Dalam CTL prinsip diferensiasi membebaskan para siswa untuk menjelajahi bakat pribadi, memunculkan cara belajar masing-masing individu, berkembang dengan langkah mereka sendiri. Disini para siswa diajak untuk selalu kreatif, berpikir kritis guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa segala sesuatu diatur, dipertahankan dan disadari oleh diri sendiri. Prinsip ini mengajak para siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Mereka menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. Selanjutnya dengan interaksi antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan keterbatasan kemampuan.
5. Pendekatan pembelajaran CTL
· Pendekatan – pendekatan pembelajaran CTL adalah sebagai berikut :
1. Problem-Based Learning, yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar melalui berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah dalam
3
rangka memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi
pelajaran.
2. Authentic Instruction, yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan
siswa untuk mempelajari konteks bermakna melalui pengembangan
keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks
kehidupan nyata.
3. Inquiry-Based Learning; pendekatan pembelajaran yang mengikuti
metodologi sains dan memberi ke-sempatan untuk pembelajaran bermakna.
4. Project-Based Learning; pendekatan pembelajaran yang memperkenankan
siswa untuk bekerja mandiri dalam mengkonstruksi pembelajarannya
(pengetahuan dan keterampilan baru), dan mengkulminasikannya dalam
produk nyata.
5. Work-Based Learning; pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa
menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi ajar dan
menggunakannya kembali di tempat kerja.
6. Service Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu
penerapan praktis dari pengetahuan baru dan berbagai keterampilan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan
kegiatan lainnya.
7. Cooperative Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan
kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam rangka memaksimalkan
kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
6. Penerapan pembelajaran CTL didalam kelas
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas – asas
ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan CTL. Untuk lebih jelasnya, uraian setiap asas CTL dan penerapannya
dalam pembelajaran adalah sebagai berikut sebagai berikut:
a. Kontruktivisme (Constructivism)
Komponen ini merupakan landasan berfikir pendekatan CTL.
Pembelajaran konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri
4
secara aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari
pengalaman belajar yang bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta,
konsep dan kaidah yang siap dipraktekkan, melainkan harus dkonstruksi
terlebih dahulu dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Karena itu
siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya.
Menurut Piaget pendekatan konstruktivisme mengandung empat
kegiatan inti, yaitu :
1. Mengandung pengalaman nyata (Experience);
2. Adanya interaksi sosial (Social interaction);
3. Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making);
4. Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).
Prinsip konstruktivisme yang harus dimiliki guru adalah sebagai
berikut:
1. Proses pembelajaran lebih utama dari pada hasil pembelajaran.
2. Informasi bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata siswa lebih
penting daripada informasi verbalistis.
3. Siswa mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan
menerapkan idenya sendiri.
4. Siswa diberikan kebebasan untuk menerapkan strateginya sendiri dalam
belajar.
5. Pengetahuan siswa tumbuh dan berkembang melalui pengalaman sendiri.
6. Pengalaman siswa akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat
apabila diuji dengan pengalaman baru.
7. Pengalaman siswa bisa dibangun secara asimilasi (pengetahuan baru
dibangun dari pengetahuan yang sudah ada) maupun akomodasi (struktur
pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menyesuaikan hadirnya
pengalaman baru).
5
b. Bertanya (Questioning)
Komponen ini merupakan strategi pembelajaran CTL. Bertanya dalam
pembelajaran CTL dipandang sebagai upaya guru yang bisa mendorong siswa
untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi,
sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berfikir siswa. Pada sisi lain,
kenyataan menunjukkan bahwa pemerolehan pengetahuan seseorang selalu
bermula dari bertanya.
Prinsip yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran berkaitan
dengan komponen bertanya sebagai berikut:
1. Penggalian informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya.
2. Konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui siswa lebih efektif melalui
tanya jawab.
3. Dalam rangka penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif
dilakukan lewat diskusi baik kelompok maupun kelas.
4. Bagi guru, bertanya kepada siswa bisa mendorong, membimbing dan
menilai kemampuan berpikir siswa.
5. Dalam pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya berguna untuk:
menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon
siswa, mengetahui kadar keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang
diketahui siswa, memfokuskan perhatian siswa sesuai yang dikehendaki
guru, membangkitkan lebih banyak pertanyaan bagi diri siswa, dan
menyegarkan pengetahuan siswa.
c. Menemukan (Inquiry)
Komponen menemukan merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini
diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-
kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh
siswa. Dengan demikian pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa
tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri
dari fakta yang dihadapinya.
6
Prinsip yang bisa dipegang guru ketika menerapkan komponen inquiry
dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa
menemukan sendiri.
2. Informasi yang diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan
bukti-bukti atau data yang ditemukan sendiri oleh siswa.
3. Siklus inquiry adalah observasi, bertanya, mengajukan dugaan,
pengumpulan data, dan penyimpulan.
4. Langkah-langkah kegiatan inquiry: merumuskan masalah; mengamati atau
melakukan observasi; menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan,
gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain; mengkomunikasikan atau
menyajikan hasilnya pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens
yang lain).
d. Masyarakat belajar (learning community)
Komponen ini menyarankan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh
dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar bisa diperoleh dengan sharing
antar teman, antarkelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik
di dalam maupun di luar kelas. Karena itu pembelajaran yang dikemas dalam
diskusi kelompok dengan anggota heterogen dan jumlah yang bervariasi sangat
mendukung komponen learning community.
Prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan
pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community adalah
sebagai berikut:
1. Pada dasarnya hasil belajar diperoleh dari kerja sama atau sharing dengan
pihak lain.
2. Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima
informasi.
3. Sharing terjadi apabila ada komunikasi dua atau multiarah.
7
4. Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di
dalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang
dimilikinya bermanfaat bagi yang lain.
5. Siswa yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi
sumber belajar.
e. Pemodelan (modelling)
Komponen pendekatan CTL ini menyarankan bahwa pembelajaran
keterampilan dan pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru
siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian contoh, misalnya cara
mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu
penampilan. Cara pembelajaran semacam ini akan lebih cepat dipahami siswa
dari pada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa
ditunjukkan modelnya atau contohnya.
Prinsip-prinsip komponen modelling yang bisa diperhatikan guru ketika
melaksanakan pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan mantap apabila ada model
atau contoh yang bisa ditiru.
2. Model atau contoh bisa diperoleh langsung dari yang berkompeten atau dari
ahlinya.
3. Model atau contoh bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil
karya, atau model penampilan.
f. Refleksi (reflection)
Komponen yang merupakan bagian terpenting dari pembelajaran
dengan pendekatan CTL adalah perenungan kembali atas pengetahuan yang
baru dipelajari. Dengan memikirkan apa yang baru saja dipelajari, menelaah,
dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam
pembelajaran, bahkan memberikan masukan atau saran jika diperlukan, siswa
akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan
pengayaan atau bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki
8
sebelumnya. Kesadaran semacam ini penting ditanamkan kepada siswa agar ia
bersikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru.
Prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan guru dalam rangka
penerapan komponen refleksi adalah sebagai berikut:
1. Perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh merupakan
pengayaan atas pengetahuan sebelumnya.
2. Perenungan merupakan respons atas kejadian, aktivitas, atau pengetahuan
yang baru diperolehnya.
3. Perenungan bisa berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yang
baru diterima, membuat catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat, atau
unjuk kerja.
g. Penilaian autentik (authentic assessment)
Komponen yang merupakan ciri khusus dari pendekatan kontekstual
adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran
atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran
perkembangan pengalaman siswa ini perlu diketahui guru setiap saat agar bisa
memastikan benar tidaknya proses belajar siswa. Dengan demikian, penilaian
autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data
yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa
berlangsung, bukan semata-mata pada hasil pembelajaran.
Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip dasar yang perlu menjadi
perhatian guru ketika menerapkan komponen penilaian autentik dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Penilaian autentik bukan menghakimi siswa, tetapi untuk mengetahui
perkembangan pengalaman belajar siswa.
2. Penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian
proses dan hasil.
3. Guru menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluators) yang dapat
merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan
9
apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana
perkembangan belajar siswa dalam berbagai konteks belajar.
4. Penilaian autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat
mengembangkan penilaian diri (self assessment) dan penilaian sesama (peer
assessment).
Selain itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru
ketika akan menggunakan pendekatan CTL. Diantaranya adalah :
1. Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang
sedang berkembang.Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh
tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya.Anak
bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil,melainkan organism yang sedang
berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat
ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan
demikian peran guru bukan sebagai instruktur yang memaksakan kehendak
melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka belajar sesuai dengan
tahap perkembangannya.
2. Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan
penuh tantangan.Kegemaran anak adalah mencoba hal-hal yang dianggap aneh
dan baru. Oleh karena itu belajar belajar bagi mereka adalah mencoba
memecahkan setiap persoalan yang menantang, Dengan demikian guru
berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk
dipelajari oleh siswa.
3. Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan antara hal-hal yang baru
dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah
membantu agar siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru
dengan penngalaman sebelumnya.
4. Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada atau
proses pembentukan skema baru,dengan demikian tugas guru adalah
memfasilitasi agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan proses
akomodasi.
10
7. Strategi pembelajaran CTL
Beberapa strategi pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh guru secara
konstektual antara lain:
a. Pembelajaran berbasis masalah
Dengan memunculkan problem yang dihadapi bersama,siswa ditantang
untuk berfikir kritis untuk memecahkan.
b. Menggunakan konteks yang beragam
Dalam CTL guru membermaknakan pusparagam konteks sehingga
makna yang diperoleh siswa menjadi berkualitas.
c. Mempertimbangkan kebhinekaan siswa
Guru mengayomi individu dan menyakini bahwa perbedaan individual
dan social seyogianya dibermaknakan menjadi mesin penggerak untuk belajar
saling menghormati dan toleransi untuk mewujudkan ketrampilan
interpersonal.
d. Memberdayakan siswa untuk belajar sendiri
Pendidikan formal merupakan kawah candradimuka bagi siswa untuk
menguasai cara belajar untuk belajar mandiri dikemudian hari.
e. Belajar melalui kolaborasi
Dalam setiap kolaborasi selalu ada siswa yang menonjol dibandingkan
dengan koleganya dan sisiwa ini dapat dijadikan sebagai fasilitator dalam
kelompoknya.
f. Menggunakan penelitian autentik
11
Penilaian autentik menunjukkan bahwa belajar telah berlangsung secara
terpadu dan konstektual dan memberi kesempatan pada siswa untuk dapat maju
terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
g. Mengejar standar tinggi
Setiap sekolah seyogianya menentukan kompetensi kelulusan dari
waktu kewaktu terus ditingkatkan dan setiap sekolah hendaknya melakukan
Benchmarking dengan melukan study banding keberbagai sekolah dan luar
negeri.
Berdasarkan Center for Occupational Research and Development (CORD)
Penerapan strategi pembelajaran konstektual digambarkan sebagai berikut:
a. Relating
Belajar dikatakan dengan konteks dengan pengalaman nyata, konteks
merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu peserta didik
agar yang dipelajarinya bermakna.
b. Experiencing
Belajar adalah kegiatan “mengalami “peserta didik diproses secara aktif
dengan hal yang dipelajarinya dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal
yang dikaji,berusaha menemukan dan menciptakan hal yang baru dari apa yang
dipelajarinya.
c. Applying
Belajar menekankan pada proses mendemonstrasikan pengetahuan yang
dimiliki dengan dalam konteks dan pemanfaatanya.
d. Cooperative
Belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui kegiatan
kelompok, komunikasi interpersonal atau hubunngan intersubjektif.
12
e. Trasfering
Belajar menenkankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru.
8. Kelebihan dan kelemahan pembelajaran CTL
Terdapat beberapa kelebihan dalam pembelajaran CTL, diantaranya adalah :
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk
dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan
materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi
itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya
akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep
kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran
konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
3. Menumbuhkan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat tentang
materi yang dipelajari.
4. Menumbuhkan rasa ingin tahu tentang materi yang dipelajari dengan bertanya
kepada guru.
5. Menumbuhkan kemampuan dalam bekerjasama dengan teman yang lain untuk
memecahkan masalah yang ada.
6. Siswa dapat membuat kesimpulan sendiri dari kegiatan pembelajaran.
Sedangkan kelemahan dari pembelajaran CTL adalah sebagai berikut :
1. Bagi siswa yang tidak dapat mengikuti pembelajaran, tidak mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman yang sama dengan teman lainnya karena siswa
tidak mengalami sendiri.
13
2. Perasaan khawatir pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik siswa
karena harus menyesuaikan dengan kelompoknya.
3. Banyak siswa yang tidak senang apabila disuruh bekerjasama dengan yang
lainnya, karena siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang
lain dalam kelompoknya.
4. Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode CTL. Guru tidak
lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan
ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang
sedang berkembang. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide – ide dan mengajak siswa agar
dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi – strategi mereka
sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan
perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran
sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
5. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan
dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru
bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak
melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai
dengan tahap perkembangannya.
Dari penjelasan di atas maka seorang guru dalam menerapkan model
pembelajaran CTL harus dapat memperhatikan keadaan siswa dalam kelas.
Selain itu, seorang guru juga harus mampu membagi kelompok secara
heterogen, agar siswa yang pandai dapat membantu siswa yang kurang pandai.
14
Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
1. RME sebagai Inovasi Pendidikan Matematika
Salah satu permasalahan yang muncul terkait dengan dunia pendidikan
matematika di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi sejak
lama adalah bagaimana melakukan transformasi berbagai konsep matematika
yang telah dikenal masyarakat menjadi konsep-konsep yang mengasyikkan untuk
dipelajari dan mudah untuk diaplikasikan.
Sejalan dengan hal tersebut, di dalam pendidikan matematika terdapat
perubahan yang cukup signifikan, khususnya dalam hal pendekatan
pembelajarannya. Profesor Dr. Robert Sembiring dari Intsitut Teknologi Bandung
(ITB) merintis Realistic Mathematics Education (RME) atau pendidikan
matematika realistik di Indonesia dengan membentuk IP-PMRI (singkatan dari
Institut Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia). Tujuan
utama institut ini adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika di
Indonesia melalui reformasi pendekatan pembelajaran matematika di sekolah
dengan menggunakan teori pembelajaran Realistic Mathematics Education
(RME) atau dalam konteks Indonesia-PMRI.
IP-PMRI itu sendiri mengadopsi RME yang dikembangkan oleh Freudenthal
Instute Belanda, yang merupakan sebuah lembaga penelitian dan pengembangan
pendidikan matematika di Universitas Utrecht. Setelah dianggap berhasil
diterapkan di Eropa dan Amerika, metode ini mulai berkebang ke Asia. Tepatnya
tahun 2001 RME mulai merambah Indonesia.
2. Sejarah RME
Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education
(RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan
matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan
15
ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre (1968) melalui proyek
Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar
ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut
pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan
pengalaman anak dan relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian
dari nilai kemanusiaan. Selain memandang matematika sebagai subyek yang
ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan
kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada
pebelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan
melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama
matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran
matematika harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi”
(Freudental,1968).
Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut
dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi
horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa diberi perkakas
matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses
reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung
dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian
menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah
nyata menuju ranah simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam
ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda
maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991). Hal ini disebabkan oleh
pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya
bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan
“membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari
dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu.
16
3. Pengertian RME
RME adalah suatu pendekatan dimana matematika dipandang sebagai
suatu kegiatan manusia (Freudental, 1973, Treffers, 1987, De Moor, 1994 dalam
Ahmad Fauzan 2001:1). Kata Realistik diambil dari salah satu diantara empat
pendekatan dalam pendidikan matematika yang diklasifikasikan oleh Treffers
(Marpaung,2001:2). Realistik yaitu pendekatan yang menggunakan suatu situasi
dunia nyata atau suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pada
tahap ini siswa melakukan aktivitas horizontal mathematization. Maksudnya,
siswa mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentfikasi aspek
matematika yang ada pada masalah tersebut. Kemudian, dengan menggunakan
vertical mathematization siswa tiba pada tahap pembentukan konsep.
RME merupakan metode yang dapat memberikan pengertian mengenai
proses pendidikan matematika sebagai proses menggabungkan pandangan tentang
apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana
matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh
dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif
matematika yang sudah jadi), namun pendidikan harus mengarahkan siswa kepada
penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali
matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari
berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber
belajar.
Dua pandangan penting RME adalah ‘mathematics must be connected to
reality and mathematics as human activity’.Pertama, matematika harus dekat
terhadap siswa dan harus relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Kedua, ia
menekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia sehingga siswa harus di
beri kesempatan untuk belajar.
Menurut pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika,
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep
matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam
hal ini berperan sebagai fasilitator. Hal ini dilakukan agar siswa mampu
17
menemukan konsep-konsep matematika dengan kemampuan siswa sendiri dan
tugas guru adalah terus memantau atau mengarahkan siswa dalam pembelajaran.
RME dimulai dengan pengajuan masalah yang kaya (rich problem), yakni
masalah yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara yang berbeda.
Karakteristik rich problem adalah:
1. Pemecahannya mengarah pada aktivitas matematika.
2. Pemecahannya dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan.
3. Biasanya diambil dari masalah kehidupan sehari-hari.
4. Pada dasarnya adalah masalah open-ended.
5. Biasanya melibatkan banyak disiplin ilmu lain.
Pada RME, pendidikan matematika lebih ditekankan pada aktivitas, yaitu
aktivitas matematisasi. Matematisasi terdiri dari dua tipe yaitu matematisasi
vertikal dan matematisasi horisontal.
o Matematisasi horisontal adalah proses penggunaan matematika
sehingga siswa dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah
dalam situasi nyata.
o Matematisasi vertikal adalah proses pengorganisasian kembali dengan
menggunakan matematika itu sendiri.
Matematisasi horisontal bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol atau
pentransformasian masalah nyata ke dalam model matematika, sedangkan
matematisasi vertikal bergerak dalam dunia simbol itu sendiri atau proses dalam
matematika itu sendiri.
Berdasarkan dua jenis matematisasi inilah, dibuatlah 4 klasifikasi
pendekatan dalam pendidikan matematika, yaitu mekanistik, empiristik,
strukturalistik, dan realistik.
1. Pendekatan mekanistik tidak menggunakan matematisasi horisontal dan
matematisasi vertikal.
2. Pendekatan empiristik hanya menggunakan matematisasi horizontal.
3. Pendekatan stukturalistik hanya menggunakan matematisasi vertikal.
18
4. Pendekatan realistik menggunakan matematisasi horisontal dan
matematisasi vertikal dalam proses belajar mengajar.
4. Karakteristik RME
Secara umum, teori RME terdiri dari lima karakteristik yaitu:
1. Penggunaan real konteks sebagai titik tolak belajar matematika.
Menggunakan konteks “dunia nyata” yang tidak hanya sebagai
sumber matematisasi tetapi juga sebagai tempat untuk
mengaplikasikan kembali matematika. Pembelajaran matematika
realistik diawali dengan masalah-masalah yang nyata, sehingga
siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya secara
langsung. Proses pencarian (inti) dari proses yang sesuai dari
situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai
matematisasi konseptual. Dengan pembelajaran matematika
realistik siswa dapat mengembangkan konsep yang lebih komplit.
Kemudian siswa juga dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru dan dunia nyata. Oleh karena itu untuk
membatasi konsep-konsep matematika dengan pengalaman sehari-
hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari dan
penerapan matematika dalam sehari-hari.
2. Penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal
sebelum menggunakan cara formal atau rumus. Istilah model ini
berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang
dikembangkan oleh siswa sendiri. Dan berperan sebagai jembatan
bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika
informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model
sendiri dalam menyelesaikan masalah. Model situasi merupakan
model yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan
formalisasi model tersebut. Melalui penalaran matematika model-
of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada
akhirnya akan menjadi model matematika formal.
19
3. Mengaitkan sesama topik dalam matematika. Menggunakan
keterkaitan dalam pembelajaran matematika realistik. Dalam
pembelajaran ada keterkaitan dengan bidang yang lain, jadi kita
harus memperhatikan juga bidang-bidang yang lainnya karena
akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam
mengaplikasikan matematika biasanya diperlukan pengetahuan
yang kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri
tetapi juga bidang lain.
4. Penggunaan metode interaktif dalam belajar. Menggunakan
interaktif. Interaktif antara siswa dengan guru merupakan hal yang
mendasar dalam pembelajaran matematika realistik. Bentuk-bentuk
interaktif antara siswa dengan guru biasanya berupa negoisasi,
penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan,
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk
informal siswa.
5. Menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa. Menggunakan
produksi dan konstruksi streefland (1991) menekankan bahwa
dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk
melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting
dalam proses belajar. Strategi-strategi formal siswa yang berupa
prosedur pemecahan masalah konstekstual merupakan sumber
inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu
untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
5. Prinsip Utama RME
Terdapat 5 prinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1. Didominasi oleh masalah- masalah dalam konteks, melayani dua
hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.
2. Perhatian diberikan pada pengembangan model”situasi skema dan
simbol”.
20
3. Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat
pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif.
4. Interaktif sebagai karakteristik diproses pembelajaran matematika.
5. Intertwinning (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok
bahasan.
Gravemeijer dalam Yulianti (2006:12), menyatakan bahwa dalam
merancang pembelajaran yang berbasis RME ada 3 prinsip kunci (Key
Principles) yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut.
1. Penemuan Kembali Terbimbing dan Matematisasi Progresif (Guided
Reinvention dan Progressive Mathematization)
Dalam mempelajari matematika perlu diupayakan agar siswa
mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri berbagai konsep,
prinsip matematika dan lain-lain, dengan bimbingan orang dewasa,
dengan melalui proses matematisasi horizontal dan matematisasi
vertical, seperti yang dulu pernah dialami oleh para pakar pertama kali
menemukan atau mengembangkan konsep-konsep atau materi-materi
tersebut.
2. Fenomenologi Didaktis (Didactical phenomenology)
Fenomenologi didaktis mengandung arti bahwa dalam mempelajari
konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi lain dalam
matematika, para peserta didik perlu bertolak dari masalah-masalah
(fenomena-fenomena) realistik, yaitu masalah-masalah yang berasal
dari dunia nyata, atau setidak-tidaknya dari masalahmasalah yang
dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah yang nyata. Masalah
yang dipilih untuk dipecahkan juga harus didesuaikan degan tingkat
berpikir peserta didik.
3. Mengembangkan Model-Model Sendiri (Self-developed models)
Self-developed models mengandung arti bahwa dalam mempelajari
konsep-konsep dan materi-materi matematika yang lain, dengan
melalui masalah-masalah yang realistik peserta didik mengembangkan
sendiri model-model atau cara-cara menyelesaikan masalah-masalah
tersebut dengan berbekal pengetahuan penunjang yang telah dimiliki.
21
Adapun prinsip RME Menurut Van den Heuvel Panhuizen (dalam
Supinah dan Agus D.W, 2008), prinsip-prinsip dalam pendekatan realistik
adalah sebagai berikut :
1. Prinsip aktivitas (Activity Principle)
Matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif baik
secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika.
2. Prinsip realitas (Reality Principle)
Pembelajaran matematika dimulai dengan masalah-masalah yang
realistik atau dapat dibayangkan oleh siswa.
3. Prinsip berjenjang (Level Principle)
Artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang
pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah
kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai
mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal.
4. Prinsip jalinan
Artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang
dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu
sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi
itu secara lebih baik.
5. Prinsip interaksi
Yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan
harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya dalam
menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan
menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan
itu serta menanggapinya.
6. Prinsip bimbingan ( Guidance Principle)
Yaitu siswa perlu diberi kesempatan terbimbing untuk menemukan
pengetahuan matematika.
22
Pembelajaran matematika dengan menggunakan RME banyak
memfasilitasi berbagai aspek :
1. Matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal
dan tidak terlalu abstrak.
2. Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa
3. Menekankan belajar matematika pada learning by doing
4. Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa
menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku
5. Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika
6. Keuntungan Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Realistik
Utari (2003:11) mengungkapkan berbagai keuntungan pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan realistik, yaitu:
1. Melalui penyajian masalah konstektual pemahaman
konsepsiswa meningkat dan bermakna mendorong siswa untuk
memahami keterkaitan matematika dengan dunia sekitar.
2. Siswa terlibat langsung dalam proses doing math sehingga
mereka tidak takut belajar matematika.
3. Siswa dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya
dalam kehidupan sehari-hari dan mempelajari bidang studi
lainnya.
4. Memberi peluang pengembangan potensi dan kemampuan
berfikir alternative.
5. Kesempatan cara penyelesaian berbeda.
6. Melalui belajar berkelompok, siswa dilatih untuk menghargai
pendapat orang lain.
23
7. Memenuhi empat pilar yang dikemukakan oleh UNESCO yaitu
learning to know, learning to do, learning to be, learning to
live together.
Asmin (2006) menggambarkan tentang keunggulan dan kelemahan RME
yang disajikan pada tabel berikut:
Kelemahan dan Keunggulan RME
Keunggulan Kelemahan
1. Karena siswa membangun
sendiri pengetahuannya
maka siswa tidak mudah
lupa dengan
pengetahuannya.
2. Suasana dalam proses
pembelajaran
menyenangkan karena
menggunakan realitas
kehidupan, sehingga siswa
tidak cepat bosan belajar
matematika.
3. Siswa merasa dihargai dan
semakin terbuka karena
setiap jawaban siswa ada
nilainya.
4. Memupuk kerja sama
dalam kelompok.
5. Melatih keberanian siswa
karena harus menjelaskan
jawabannya.
6. Melatih siswa untuk
terbiasa berpikir dan
mengemukakan pendapat.
1. Karena sudah terbiasa diberi
informasi terlebih dahulu
maka siswa masih kesulitan
dalam menemukan sendiri
jawabannya.
2. Membutuhkan waktu yang
lama terutama bagi siswa
yang lemah.
3. Siswa yang pandai kadang-
kadang tidak sabar untuk
menanti temannya yang
belum selesai.
4. Membutuhkan alat peraga
yang sesuai dengan situasi
pembelajaran saat itu.
5. Diskusi kelompok masih
dikuasai oleh siswa
kelompok pandai, sedangkan
untuk kelompok siswa
kurang pandai cenderung
pasif dan cenderung lama
dalam mengerjakan tugas
dari guru.
6. Tingkat pengetahuan guru
24
7. Pendidikan budi pekerti,
misalnya: saling kerja sama
dan menghormati teman
yang sedang berbicara.
yang rendah mengakibatkan
terjadinya miskonsepsi
terhadap materi.
7. Implementasi pembelajaran Matematika Realistik
Implementasi RME di kelas meliputi tiga fase yaitu:
1. Fase pengenalan
Pada fase ini guru memperkenalkan masalah realistic dalam
matematika kepada siswa serta membantu untuk memberikan
pemahaman masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua
konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk
mengkaitkan masalah yang dikaji dengan pengalaman siswa
sebelumnya.
2. Fase eksplorasi
Pada fase ini siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan,
atau berkelompok. Pada saat siswa bekerja, mereka mencoba membuat
model situasi masalah, berbagai pengalaman atau ide, mendiskusikan
pola dibentuk, serta berupaya membuat dugaan. Peran guru disini
adalah melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, memberi
motivasi kepada siswa untuk giat bekerja, dan memberikan bantuan
seperlunya bagi siswa yang membutuhkan. Bagi siswa yang
berkemampuan tinggi, dapatdiberikan pekerjaan yang lebih menantang
yang berkaitan dengan masalah.
3. Fase meringkas
Setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam pemecahan masalah, guru
dapat mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi,
alternatif-alternatif pemecahan masalah, memberikan alasan,
memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat keterkaitan.
Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran
matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran
25
pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada
siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian
menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa
memahami pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami
pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang
sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda
dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal
dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Berikut adalah beberapa contoh situasi yang dapat dilakukan oleh
guru dalam menerapkan pembelajaran matematika realistik :
1. Penjumlahan
Seorang siswa diminta untuk membuka “warung” di sudut kelas.
Siswa yang lain diminta untuk membeli dua jenis menu dan
menghitung berapa harga yang harus dibayar. Daftar menu dan
harga dibuat dalam bentuk gambar yang menarik.
2. Pengurangan
a. Suatu mikrolet memuat 12 penumpang dari terminal Arjosari.
Ketika sampai di pasar, ada yang turun sebanyak 6 orang.
Berapa siswa penumpang mikrolet itu sekarang?
b. Di dua halte, dibuat catatan mengenai jumlah penumpang yang
naik dan turun pada suatu mikrolet. Halte pertama mencatat
jumlah penumpang yang naik dan halte kedua mencatat jumlah
penumpang yang turun. Selanjutnya mikrolet melanjutkan
perjalanan. Catatan untuk semua mikrolet ada. Yang
ditanyakan berapa sisa penumpang setelah masing-masing
mikrolet melewati halte kedua.
3. Perkalian
a. Andi mempunyai 3 kucing, berapa jumlah kaki semua kucing
Andi?
b. Andi mempunyai 2 kambing dan 5 ayam. Berapa jumlah kaki
kambing dan kaki ayam yang dimiliki Andi?
26
c. Ibu menghidangkan kue pada tamu. Kue ditaruh di 5 piring
dan masing-masing piring memuat 6 kue. Berapa kue
semuanya?
d. Andi memelihara ayam dan kambing. Setelah dihitung,
diketahui bahwa banyaknya kaki ayam dan kaki kambing
adalah 32. Berapa banyaknya ayam dan kambing Andi?
4. Pembagian
Ibu mengundang 30 orang tetangga untuk acara syukuran. Ayah
menyediakan meja tamu yang mempunyai 6 kursi. Berapa
banyaknya meja yang diperlukan untuk tamu?
5. Sistem Persamaan Linear Dua Peubah
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Diberi permasalahan nyata yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari siswa berikut. Misalnya :
Ali membeli dua buku dan satu pensil harganya Rp.
5000,00. Amir membeli satu buku dan satu pensil yang
sama dengan yang dibeli Ali harganya Rp. 3500,00. Jika
Andi membeli satu buku berapa harganya?
b. Guru membimbing siswa untuk mengenal konsep SPL dua
peubah. Guru mengajak siswa menuliskan harga buku sebagai
B dan harga pensil sebagai P. Akan didapat
2B + P = 5000
B + P = 3500
c. Guru menjelaskan bahwa bentuk tersebut dinamai Sistem
Persamaan Linear Dua Peubah.
d. Guru mengajak siswa menyelesaikan SPL tersebut secara
formal, sebagai berikut.
2B + P = 5000
B + P = 3500
Persamaan pertama dikurangi persamaan kedua menghasilkan
B = 1500.
Jadi, harga satu buku Rp.1.500,00.
27
Daftar Pustaka
Contextual Teaching and Learning (CTL)
http://nadhirin.blogspot.com/2010/03/model-pembelajaran-contextual-teaching.html
di akses pada pukul 14:17 tanggal 22/10/12
http://pend-ekonomi.blogspot.com/2012/03/pengertian-tujuan-dan-strategi.html
di akses pada pukul 14:20 tanggal 22/10/12
http://bio-sanjaya.blogspot.com/2012/07/metode-pembelajaran-ctl.html
di akses pada pukul 14:21 tanggal 22/10/12
http://almasdi.unri.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=68:berita-6&catid=25:the-project
di akses pada pukul 14:23 tanggal 22/10/12
http://www.sekolahdasar.net/2012/05/kelebihan-dan-kelemahan-pembelajaran.html
di akses pada pukul 14:24 tanggal 22/10/12
http://konsultasikurikulum.sekolahjuara.com/2011/02/09/bagaimana-penerapan-ctl-dalam-pembelajaran/
http://syacom.blogspot.com/2012/04/strategi-pembelajaran-konstekstual.html
http://pend-ekonomi.blogspot.com/2012/03/pengertian-tujuan-dan-strategi.html
http://www.sekolahdasar.net/2012/05/kelebihan-dan-kelemahan-pembelajaran.html
http://arissudarmawan.blogspot.com/2011/04/makalah-ctl.html
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/model-pembelajaran-contextual-teaching-learning-ctl/
http://mukhliscaniago.wordpress.com/2012/02/24/model-pembelajaran-ctl/
28
http://andiborneo.blogspot.com/2009/02/kelemahan-dan-kelebihan-ctl-dan-pakem.html
http://almasdi.unri.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=68:berita-6&catid=25:the-project
Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
http://pendidikan-matematika.blogspot.com/2009/03/skripsi-ptk-rme-realistic-mathematics.html
http://syamsulfajrin.blogspot.com/2011/12/penggunaan-model-pembelajaran-realistic.html
http://shofiarenny.wordpress.com/pengetahuan-artikel-tugas-kuliah/diskusi-tentang-metode-pembelajaran-berbasis-rme-realistic-mathematics-education/
PMRI, Institut Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (IP-PMRI), 2006,(http://www.pmri.or.id/home.php).
Zulkardi, RME, http:// www. geocities. com/ Athens /Crete/2336/semarang.doc).
http://funmatika.wordpress.com/2012/01/08/laporan-diskusi-realistic-mathematics-education-rme-atau-pembelajaran-matematika-realistik/
http://www.papantulisku.com/2011/12/kelebihan-dan-kelemahan-
pembelajaran.html
http://www.papantulisku.com/2011/12/ciri-ciri-dan-prinsip-rme-
pendekatan.html
29