lapkas oligohidramnion rev
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban terlalu sedikit. Oligohidramnion
dapat terjadi kapan saja selama masa kehamilan, walau pada umumnya sering
terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Sekitar 12% wanita yang masa
kehamilannya melampaui batas waktu perkiraan lahir (usia kehamilan 42 minggu)
juga mengalami oligohidramnion, karena jumlah cairan ketuban yang berkurang
hampir setengah dari jumlah normal pada masa kehamilan 42 minggu.1
Penyebab oligohidramnion tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mayoritas
wanita hamil yang mengalami tidak tahu pasti apa penyebabnya. Penyebab
oligohidramnion yang telah terdeteksi adalah cacat bawaan janin dan bocornya
kantung/ membran cairan ketuban yang mengelilingi janin dalam rahim. Sekitar
7% bayi dari wanita yang mengalami oligohidramnion mengalami cacat bawaan,
seperti gangguan ginjal dan saluran kemih karena jumlah urin yang diproduksi
janin berkurang. Masalah kesehatan lain yang juga telah dihubungkan dengan
oligohidramnion adalah tekanan darah tinggi, diabetes, SLE, dan masalah pada
plasenta. Serangkaian pengobatan yang dilakukan untuk menangani tekanan darah
tinggi, yang dikenal dengan nama angiotensin-converting enxyme inhibitor (mis
captopril), dapat merusak ginjal janin dan menyebabkan oligohidramnion parah
dan kematian janin. Wanita yang memiliki penyakit tekanan darah tinggi yang
kronis seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli kesehatan sebelum
merencanakan kehamilan untuk memastikan bahwa tekanan darah mereka tetap
terawasi baik dan pengobatan yang mereka lalui adalah aman selama kehamilan
mereka.2
Semakin awal oligohidramnion terjadi pada kehamilan, semakin buruk
prognosisnya. Jika terjadi pada trimester II, 80-90% akan mengakibatkan
mortalitas.3
1.2. Tujuan
1
Dapat mengetahui tentang perbedaan jumlah cairan ketuban yang
fisiologis dan yang patologis, juga dapat mengetahui indikasi untuk dilakukan
suatu persalinan secara seksio cesarea dan juga untuk melengkapi persyaratan
kepaniteraan klinik senior di SMF Obstetri RSUP Haji Adam Malik Medan.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cairan Ketuban
2.1.1. Definisi
Cairan ketuban atau cairan amnion adalah cairan yang memenuhi rahim. Cairan
ini ditampung di dalam kantung amnion yang disebut kantung ketuban atau
kantung janin. Cairan ketuban diproduksi oleh buah kehamilan, yaitu sel-sel
trofoblas, kemudian akan bertambah dengan produksi cairan janin, yaitu air seni
janin. Sejak usia kehamilan 12 minggu, janin mulai minum air ketuban dan
mengeluarkannya kembali dalam bentuk air seni. Jadi ada pola berbentuk
lingkaran atau siklus yang berulang.6
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Cairan Ketuban
Secara mikroskopis, selaput ketuban merupakan suatu struktur berlapis lapis yang
didominasi dengan jaringan penyangga dan jaringan epitel. Jaringan-jaringan
penyangga terdiri dari substrat matriks ekstraseluler kolagen dan non kolagen,
seperti fibronectin, integrin, febrilin, laminin dan proteoglican. Dibawah ini
digambarkan struktur selaput ketuban yang membentuk kantong kehamilan, yaitu:
1. Lapisan khorion, merupakan lapisan yang terluar berhubungan langsung
dengan jaringan desidua maternal. Berfungsi sebagai kerangka dari selaput.
Terdiri 4 lapisan :
a. Lapisan Trophoblas. Lapisan ini melekat dengan lapisan sel desidua
maternal, terdiri dari 2–10 sel tropoblas dan akan mengalami penipisan
sesuai dengan usia kehamilan.
b. Lapisan Pseudobasement membrane.Lapisan tipis jaringan retikulin yang
berada antara trophoblas dengan lapisan reticular.
c. Lapisan Reticular. Lapisan jaringan retikulin ini merupakan bagian utama
dari membrane khorion yang terdiri dari sel-sel fibroblast dan sel Hofbauer
yang bertugas dalam proses transport metabolit aktif dan sebagai
makrofag.
3
d. Lapisan Celular. Merupakan lapisan paling dalam dari membran khorion,
berbatasan dan melekat langsung dengan lapisan amnion.
2. Lapisan amnion, merupakan lapisan bagian dalam selaput ketuban serta paling
elastis dibandingkan Lapisan khorion. Lapisan ini memiliki 5 lapisan:
a. Spongy layer. Lapisan yang berbatasan langsung dengan khorion.
Merupakan lapisan reticular yang terdiri dari jaringan kolagen dan mucus.
Mempunyai kemampuan bergeser dan meregang. Merupakan lapisan
“stress absorber” yang terdiri kolagen tipe III. Walaupun lapisan amnion
lebih tipis dbanding lapisan korion, lapisan tersebut lebih elastis.
b. Fibroblast layer. Lapisan ini terdiri dari sel-sel mesenkimal yang berasal
dari mesoderm discus embrionik. Didapat banyak makrofag yang sering
terlibat dalam proses penipisan selaput ketuban.
c. Compact layer. Merupakan bagian yang paling tebal dan mengandung
kolagen interstisiial tipe I, kolagen tipe III dan kolagen tipe V. Bersama
dengan membran basal merupakan kerangka jaringan ikat yang kokoh.
d. Basement membrane. Merupakan bagian yang terdiri dari jaringan
fibroblast kompleks dalam jaringan retikulin. Memisahkan lapisan
epithelial dengan jaringan selaput ketuban lainnya. Didapatkan sel
Hofbauer. Sangat kaya serabut kolagen tipe III dan IV.
e. Epithelial lining. Merupakan lapisan terdalam dari selaput ketuban. Terdiri
dari selapis sel kuboid yang tidak bersilia. Permukaan bebas dari sel ini
ditutupi oleh mikrovili. Antar sel dihubungkan dengan desmosom.
Embriologis berasal dari ektoderm. Pada lapisan ini disekresi kolagen tipe
III, IV dan glikoprotein nonkolagen (laminin, nidogen, fibronektin) yang
membentuk membran basal4
2.1.3. Embriologi Cairan Ketuban
Hari ke 6–7 setelah fertilisasi, embrio akan nidasi kedalam endometrium. Sel-sel
stroma endometrium mengalami perubahan yang disebut Decidual reaction, yang
4
ditandai dengan pembengkakan sel akibat akumulasi glikogen dan lipid kedalam
sitoplasmanya. Tujuan perubahan ini guna menyiapkan tempat untuk nidasi dari
embrio. Sel yang mengalami perubahan ini disebut Sel desidua. Setelah proses
nidasi, bagian sel desidua yang menutupi lapisan atas dari kantong khorionik
disebut Lapisan sel desidua kapsularis, sedangkan lapisan yang membatasi antara
kantong khorionik dengan dinding endometrium uterus disebut Lapisan sel
desidua basalis. Jaringan endometrium yang mengalami desidualisasi selain
ditempat nidasi blastokist disebut Lapisan sel desidua parietalis. Dinding khorion
yang berbatas dengan Lapisan desidua basalis disebut Khorion frondusum.
Sedangkan dinding khorion yang berbatasan dengan Lapisan desidua kapsularis
yang nantinya mengalami regresi disebut Khorion laeve. Akibat perkembangan
yang progresif pada trimester pertama, kantong khorion akan memenuhi seluruh
rongga kavum uteri dan menyebabkan Lapisan sel desidua kapsularis terdorong
menjauhi pasokan darah dari dinding endometrium sehingga Lapisan desidua
kapsularis mengalami degenarasi menjadi lebih tipis. Berikutnya, Khorion laeve
akan kontak langsung dengan Desidua parietalis dan berfusi menjadi satu pada
pertengahan trimester kedua membentuk Membran khorion amnion (selaput
ketuban). Selaput Ketuban merupakan membran yang avaskuler tetapi secara aktif
terlibat dalam pengaturan jumlah cairan ketuban serta memproduksi zat-zat
bioaktif berupa peptida vasoaktif, faktor pertumbuhan dan sitokin5.
2.1.4. Volume Cairan Ketuban
Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya
campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo,
sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm
adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada
kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu
300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih
mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri.
5
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki
peran tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion
sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion. Dengan
bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh kulit janin
dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai
kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam
memproduksi cairan amnion.
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan
dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan
menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma
ibu dan cairan amnion.
Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis
ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan
pada janin, seperti atresia esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan
polihidramnion.
Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi,
secara umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia
kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21
minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap
setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari
50 ml pada saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan
gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Pada kehamilan postterm jumlah
cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau kurang.
Brace dan Wolf menganalisa semua pengukuran yang dipublikasikan pada
12 penelitian dengan 705 pengukuran cairan amnion secara individual. Variasi
terbesar terdapat pada usia kehamilan 32-33 minggu. Pada saat ini, batas
normalnya adalah 400 – 2100 ml1,2,3,4.
6
Faktor utama yang mempengaruhi volume air ketuban :
1. Pengaturan fisiologis aliran oleh fetus
2. Pergerakan air dan larutan didalam dan yang melintasi membran
3. Pengaruh maternal pada pergerakan cairan transplasenta
Volume air ketuban merupakan prediktor kemampuan janin menghadapi
persalinan, karena kemungkinan tali pusat terjepit antara bagian bayi dan dinding
rahim meningkat tatkala air ketuban sedikit. Hal ini akan menimbulkan gawat
janin serta persalinan diakhiri dengan bedah cesar.
2.1.5. Kandungan Cairan Ketuban
Pada awal kehamilan, cairan amnion adalah suatu ultrafiltrat plasma ibu. Pada
awal trimester kedua, cairan ini terdiri dari cairan ekstrasel yang berdifusi melalui
kulit janin sehingga mencerminkan komposisi plasma janin. Namun setelah 20
minggu, kornifikasi kulit janin menghambat difusi ini dan cairan amnion terutama
terdiri dari urin janin.
Urin janin mengandung lebih banyak urea, kreatinin, dan asam urat
dibandingkan plasma. Selain itu juga mengandung sel janin yang mengalami
deskuamasi, verniks, lanugo dan berbagai sekresi. Karena zat-zat ini bersifat
hipotonik, maka seiring bertambahnya usia gestasi, osmolalitas cairan amnion
berkurang. Cairan paru memberi kontribusi kecil terhadap volume amnion secara
keseluruhan dan cairan yang tersaring melalui plasenta berperan membentuk
sisanya. 98% cairan amnion adalah air dan sisanya adalah elektrolit, protein,
peptid, karbohidrat, lipid, dan hormon.3,7,8
Terdapat sekitar 38 komponen biokimia dalam cairan amnion, di antaranya
adalah protein total, albumin, globulin, alkalin aminotransferase, aspartat
aminotransferase, alkalin fosfatase, γ-transpeptidase, kolinesterase, kreatinin
kinase, isoenzim keratin kinase, dehidrogenase laktat, dehidrogenase
7
hidroksibutirat, amilase, glukosa, kolesterol, trigliserida, High Density
Lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL), very-low-density lipoprotein
(VLDL), apoprotein A1 dan B, lipoprotein, bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin
indirek, sodium, potassium, klorid, kalsium, fosfat, magnesium, bikarbonat, urea,
kreatinin, anion gap , urea, dan osmolalitas. 3,7,8
Faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor, EGF) dan factor
pertumbuhan mirip EGF, misalnya transforming growth factor-α, terdapat di
cairan amnion. Ingesti cairan amnion ke dalam paru dan saluran cerna mungkin
meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi jaringan-jaringan ini melalui gerakan
inspirasi dan menelan cairan amnion.1-7
Beberapa penanda (tumor marker) juga terdapat di cairan amnion
termasuk α-fetoprotein (AFP), antigen karsinoembrionik (CEA), feritin, antigen
kanker 125 (CA-125), dan 199 (CA-199). 1,2,3,5,7
Keadaan normal cairan ketuban
Pada usia kehamilan cukup bulan volume 1000-1500 cc
Keadaan jernih agak keruh
Steril
Bau khas, agak manis dan manis
Terdiri dari 98-99% air, 1-2% garam-garam anorganik dan bahan organic
(protein terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, vernix caseosa dan sel-
sel epitel
Sirkulasi sekitar 500 cc/jam10
2.1.6. Fungsi Cairan Ketuban
Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion
merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua
arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk
uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa
8
menelan. Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan
permukaan plasenta menjadi sumber dari cairan amnion. Telah diketahui bahwa
cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang
memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus
pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal.
Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki
peptid antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu.
Cairan amnion adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon,
karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa penelitian, komponen-komponen cairan
amnion ditemukan memiliki fungsi sebagai biomarker potensial bagi
abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa tahun belakangan,
sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui sebagai faktor
pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai dengan
usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam
pengembangan medikasi stem cell 1,2,3,4
Ada beragam fungsi cairan ketuban, antara lain sebagai bantalan atau
peredam atau pelindung yang menjaga janin terhadap benturan dari luar. Cairan
ketuban juga memungkinkan janin leluasa bergerak sekaligus tumbuh bebas ke
segala arah. Selain itu sebagai benteng terhadap kuman dari luar tubuh ibu dan
menjaga kestabilan suhu tubuh janin. Cairan ketuban juga merupakan alat bantu
diagnosis dokter pada pemeriksaan amniosentesis.
Perlu diketahui, air ketuban tidak membuka apalagi mendorong janin
keluar. Yang bertugas untuk itu adalah kontraksi rahim (his). Jadi walaupun
ketuban sudah pecah atau kadar airnya sedikit , pembukaan mulut rahim dan
dorongan bayi untuk lahir tetap akan terjadi selama ada kontraksi.
Pada kehamilan normal, cairan amnion memberikan ruang bagi janin
untuk tumbuh, bergerak, dan berkembang. Tanpa cairan amnion, uterus akan
berkontraksi dan menekan janin. Jika terjadi pengurangan volume cairan amnion
pada awal kehamilan, janin akan mengalami berbagai kelainan seperti gangguan
9
perkembangan anggota gerak, cacat dinding perut, dan sindroma Potter , suatu
sindrom dengan gambaran wajah berupa kedua mata terpisah jauh, terdapat
lipatan epikantus, pangkal hidung yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang
tertarik ke belakang.
Pada pertengahan usia kehamilan, cairan amnion menjadi sangat penting
bagi perkembangan paru janin. Tidak cukupnya cairan amnion pada pertengahan
usia kehamilan akan menyebabkan terjadinya hipoplasia paru yang dapat
menyebabkan kematian.
Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin, cairan ini
mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat pertumbuhan
bakteri yang memiliki potensi patogen. .Selama proses persalinan dan kelahiran
cairan amnion terus bertindak sebagai medium protektif pada janin untuk
memantau dilatasi servik. Selain itu cairan amnion juga berperan sebagai sarana
komunikasi antara janin dan ibu. Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir
dapat diketahui dari hormon urin janin yang diekskresikan ke dalam cairan
amnion.
Cairan amnion juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk melihat
adanya kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan dan perkembangan janin
dengan melakukan kultur sel. Jadi cairan amnion memegang peranan yang cukup
penting dalam proses kehamilan dan persalinan. 11
2.1.7. Pengukuran Cairan Ketuban
Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan amnion,
dengan teknik single pocket ,dengan memakai Indeks Cairan Amnion (AFI), dan
secara subjektif pemeriksa.
Pemeriksaan dengan metode single pocket pertama kali diperkenalkan oleh
Manning dan Platt pada tahun 1981 sebagai bagian dari pemeriksaan biofisik,
dimana 2ccm dianggap sebagai batas minimal dan 8 cm dianggap sebagai
polihidramnion.
10
Metode single pocket telah dibandingkan dengan AFI menggunakan
amniosintesis sebagai gold standar. Tiga penelitian telah menunjukkan bahwa
metode pengukuran cairan ketuban dengan teknik Indeks Cairan Amnion (ICA)
memiliki korelasi yang lemah dengan volume amnion sebenarnya (R2 dari 0.55,
0.30 dan 0.24) dan dua dari tiga penelitian ini menunjukkan bahwa teknik single
pocket memiliki kemampuan yang lebih baik.
Kelebihan cairan amnion seperti polihidramnion, tidak mempengaruhi
fetus secara langsung, namun dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Secara
garis besar, kekurangan cairan amnion dapat berefek negatif terhadap
perkembangan paru-paru dan tungkai janin, dimana keduanya memerlukan cairan
amnion untuk berkembang 6,7
Jumlah cairan ketuban dapat dipantau melalui USG, tepatnya
menggunakan parameter AFI (Amniotic Fluid Index). Pada dasarnya, cairan
ketuban sudah bisa dideteksi begitu seorang ibu terlambat haid dan dengan USG
sudah terlihat kantung janinkarena itu berarti sudah terbentuk cairan ketuban.
Pada kehamilan normal, saat cukup bulan, jumlah cairan ketuban sekitar 1000 cc.
Cairan ketuban dikatakan kurang bila volumenya lebih sedikit dari 500 cc.
Ibu harus curiga jika ada cairan yang keluar secara berlebih atau sedikit tetapi
terus menerus melalui vagina. Biasanya berbau agak anyir, warnanya jernih dan
tidak kental. Sangat mungkin itu adalah cairan yang keluar atau merembes karena
ketuban mengalami perobekan. Tanda lainnya adalah gerak janin menyebabkan
perut ibu terasa nyeri12.
2.1.8. Distribusi Cairan Ketuban
Urin Janin
Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi
urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan
aterm. Wladimirof dan Campbell mengukur volume produksi urin janin secara 3
dimensi setiap 15 menit sekali, dan melaporkan bahwa produksi urin janin adalah
sekitar 230 ml / hari sampai usia kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat
11
sampai 655 ml/hari pada kehamilan aterm. Produksi urin janin rata-rata adalah
sekitar 1000-1200 ml/ hari pada kehamilan aterm.1,2,3,5,7,8
Cairan Paru
Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan
amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-
paru janin memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari
produksi tersebut ditelan kembali dan 50 % lagi dikeluarkan melalui mulut. Pada
kehamilan normal, janin bernafas dengan gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau
gerakan masuk dan keluar melalui trakea, paru-paru dan mulut. Jadi jelas bahwa
paru-paru janin juga berperan dalam pembentukan cairan amnion. 1,2,3,5,7,8
Gerakan menelan
Pada manusia, janin menelan pada awal usia kehamilan. Pada janin domba, proses
menelan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan.
Sherman dan teman-teman melaporkan bahwa janin domba menelan secara
bertahap dengan volume sekitar 100-300 ml/kg/hari. Pritchard meneliti proses
menelan pada janin dengan menginjeksi kromium aktif pada kompartemen
amniotik, dan menemukan rata-rata menelan janin adalah 72 sampai 262
ml/kg/hari. 1,2,4,5,7,8
Absorpsi Intramembran
Satu penghalang utama dalam memahami regulasi cairan amnion adalah
ketidaksesuaian antara produksi cairan amnion oleh ginjal dan paru janin, dengan
konsumsinya oleh proses menelan. Jika dihitung selisih antara produksi dan
konsumsi cairan amnion, didapatkan selisih sekitar 500-750 ml/hari, yang tentu
saja ini akan menyebabkan polihidramnion. Namun setelah dilakukan beberapa
penelitian, akhirnya terjawab, bahwa sekitar 200-500 ml cairan amnion diabsorpsi
melalui intramembran. Gambar menunjukkan distribusi cairan amnion pada fetus.
Dengan ditemukan adanya absorbsi intramembran ini, tampak jelas bahwa
terdapat keseimbangan yang nyata antara produksi dan konsumsi cairan amnion
pada kehamilan normal. 5
12
2.2. Oligohidramnion
2.2.1. Definisi Oligohidramnion
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal,
yaitu kurang dari 500 cc. Definisi lainnya menyebutkan sebagai AFI yang kurang
dari 5 cm. Karena VAK tergantung pada usia kehamilan maka definisi yang lebih
tepat adalah AFI yang kurang dari presentil 5 ( lebih kurang AFI yang <6.8 cm
saat hamil cukup bulan) 13.
2.2.2. Patofisiologi Oligohidramnion
Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan dengan
adanya sindroma potter dan fenotip pottern, dimana, Sindroma Potter dan Fenotip
Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal
bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit).
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru
lahir, dimana cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion
menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari
dinding rahim menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu,
karena ruang di dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal
atau mengalami kontraktur dan terpaku pada posisi abnormal.
Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru
(paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal
ginjal bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal
bilateral) maupun karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal gagal
berfungsi.
Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban (sebagai air
kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari
sindroma Potter.
13
Gejala Sindroma Potter berupa :
Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal
hidung yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang).
Tidak terbentuk air kemih
Gawat pernafasan14.
2.2.3. Epidemiologi Oligohidramnion
Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban terlalu sedikit.
Olygohydramnion dapat terjadi kapan saja selama masa kehamilan, walau pada
umumnya sering terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Sekitar 12% wanita
yang masa kehamilannya melampaui batas waktu perkiraan lahir (usia kehamilan
42 minggu) juga mengalami olygohydramnion, karena jumlah cairan ketuban
yang berkurang hampirsetengah dari jumlah normal pada masa kehamilan 42
minggu1
2.2.4. Etiologi Oligohidramnion
Penyebab oligohydramnion tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mayoritas wanita
hamil yang mengalami tidak tahu pasti apa penyebabnya. Penyebab
oligohydramnion yang telah terdeteksi adalah cacat bawaan janin dan bocornya
kantung/ membran cairan ketuban yang mengelilingi janin dalam rahim. Sekitar
7% bayi dari wanita yang mengalami oligohydramnion mengalami cacat bawaan,
seperti gangguan ginjal dan saluran kemih karena jumlah urin yang diproduksi
janin berkurang. Masalah kesehatan lain yang juga telah dihubungkan dengan
oligohidramnion adalah tekanan darah tinggi, diabetes, SLE, dan masalah pada
plasenta. Serangkaian pengobatan yang dilakukan untuk menangani tekanan
darah tinggi, yang dikenal dengan nama angiotensin-converting enxyme inhibitor
(mis captopril), dapat merusak ginjal janin dan menyebabkan oligohydramnion
parah dan kematian janin. Wanita yang memiliki penyakit tekanan darah tinggi
yang kronis seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli kesehatan
sebelum merencanakan kehamilan untuk memastikan bahwa tekanan darah
14
mereka tetap terawasi baik dan pengobatan yang mereka lalui adalah aman
selama kehamilan mereka.
Fetal : Kromosom, Kongenital, Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim,
Kehamilan postterm dan Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)
Maternal : Dehidrasi, Insufisiensi uteroplasental, Preeklamsia, Diabetes dan
Hypoxia kronis
Induksi Obat :Indomethacin and ACE inhibitors
Idiopatik2
Faktor Resiko Oligohidramnion
Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang tinggi:
Anomali kongenital ( misalnya : agenosis ginjal,sindrom patter ).
Retardasi pertumbuhan intra uterin.
Ketuban pecah dini ( 24-26 minggu ).
Sindrom pasca maturitas15
Manifestasi Klinis Oligohidramnion
Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotement.
Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
Sering berakhir dengan partus prematurus.
Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih
jelas.
Persalinan lebih lama dari biasanya.
Sewaktu his akan sakit sekali.
Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar16.
2.2.5. Diagnosis dan Pemeriksaan Oligohidramnion
Pemeriksaan dengan USG dapat mendiagnosa apakah cairan ketuban terlalu
sedikit atau terlalu banyak. Umumnya para dokter akan mengukur ketinggian
cairan dalam 4 kuadran di dalam rahim dan menjumlahkannya. Metode ini dikenal
15
dengan nama Amniotic Fluid Index (AFI). Jika ketinggian amniotic fluid (cairan
ketuban) yang di ukur kurang dari 5 cm, calon ibu tersebut didiagnosa mengalami
oligohydramnion. Jika jumlah cairan tersebut lebih dari 25 cm, ia di diagnosa
mengalami poluhydramnion17
2.2.6. Penatalaksanaan Oligohidramnion
Sebenarnya air ketuban tidak akan habis selama kehamilan masih normal dan
janin masih hidup. Bahkan air ketuban akan tetap diproduksi, meskipun sudah
pecah berhari-hari. Walau sebagian berasal dari kencing janin, air ketuban
berbeda dari air seni biasa, baunya sangat khas. Ini yang menjadi petunjuk bagi
ibu hamil untuk membedakan apakah yang keluar itu air ketuban atau air seni.
Supaya volume cairan ketuban kembali normal, dokter umumnya
menganjurkan ibu hamil untuk menjalani pola hidup sehat, terutama makan
dengan asupan gizi berimbang. Pendapat bahwa satu-satunya cara untuk
memperbanyak cairan ketuban adalah dengan memperbanyak porsi dan frekuensi
minum adalah ”salah kaprah”. Tidak benar bahwa kurangnya air ketuban
membuat janin tidak bisa lahir normal sehingga mesti dioperasi sesar.
Bagaimanapun, melahirkan dengan cara operasi sesar merupakan pilihan terakhir
pada kasus kekurangan air ketuban. Meskipun ketuban pecah sebelum waktunya,
tetap harus diusahakan persalinan pervaginam dengan cara induksi yang baik dan
benar.
Studi baru-baru ini menyarankan bahwa para wanita dengan kehamilan
normal tetapi mengalami oligohydramnion dimasa-masa terakhir kehamilannya
kemungkinan tidak perlu menjalani treatment khusus, dan bayi mereka cenderung
lahir denga sehat. Akan tetapi wanita tersebut harus mengalami pemantauan terus-
menerus. Dokter mungkin akan merekomendasikan untuk menjalani pemeriksaan
USG setiap minggu bahkan lebih sering untuk mengamati apakah jumlah cairan
ketuban terus berkurang. Jika indikasi berkurangnya cairan ketuban tersebut terus
berlangsung, dokter mungkin akan merekomendasikan persalinan lebih awal
dengan bantuan induksi untuk mencegah komplikasi selama persalinan dan
16
kelahiran. Sekitar 40-50% kasus oligohydramnion berlangsung hingga persalinan
tanpa treatment sama sekali. Selain pemeriksaan USG, dokter mungkin akan
merekomendasikan tes terhadap kondisi janin, seperti tes rekam kontraksi untuk
mengganti kondisi stress tidaknya janin, dengan cara merekam denyut jantung
janin. Tes ini dapat memberi informasi penting untuk dokter jika janin dalam
rahim mengalami kesulitan. Dalam kasus demikian, dokter cenderung untuk
merekomendasikan persalinan lebih awal untuk mencegah timbulnya masalah
lebih serius. Janin yang tidak berkembang sempurna dalam rahim ibu yang
mengalami oligohydramnion beresiko tinggi untuk mengalami komplikasi selama
persalinan, seperti asphyxia (kekurangan oksigen), baik sebelum atau sesudah
kelahiran. Ibu dengan kondisi janin seperti ini akan dimonitor ketat bahkan
kadang-kadang harus tinggal di rumah sakit.
Jika wanita mengalami oligohydramnion di saat-saat hampir bersalin,
dokter mungkin akan melakukan tindakan untuk memasukan laruran salin melalui
leher rahim kedalam rahim. Cara ini mungkin mengurangi komplikasi selama
persalinan dan kelahiran juga menghindari persalinan lewat operasi caesar. Studi
menunjukan bahwa pendekatan ini sangat berarti pada saat dilakukan monitor
terhadap denyut jantung janin yang menunjukan adanya kesulitan. Beberapa studi
juga menganjurkan para wanita dengan oligohydramnion dapatmembantu
meningkatkan jumlah cairan ketubannya dengan minum banyak air. Juga banyak
dokter menganjurkan untuk mengurangi aktivitas fisik bahkan melakukan
bedrest.18
2.2.7. Prognosis Oligohidramnion
Semakin awal oligohidramnion terjadi pada kehamilan, semakin buruk
prognosisnya
Jika terjadi pada trimester II, 80-90% mortalitas3
2.2.8. Komplikasi Oligohidramnion
Kurangnya cairan ketuban tentu saja akan mengganggu kehidupan janin, bahkan
dapat mengakibatkan kondisi gawat janin. Seolah-olah janin tumbuh dalam
17
”kamar sempit” yang membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Malah pada kasus
extrem dimana sudah terbentuk amniotic band (benang atau serat amnion) bukan
tidak mustahil terjadi kecacatan karena anggota tubuh janin ”terjepit” atau
”terpotong” oleh amniotic band tersebut.
Efek lainnya janin berkemungkinan memiliki cacat bawaan pada saluran
kemih, pertumbuhannya terhambat, bahkan meninggal sebelum dilahirkan. Sesaat
setelah dilahirkan pun, sangat mungkin bayi beresiko tak segera bernafas secara
spontan dan teratur.
Bahaya lainnya akan terjadi bila ketuban lalu sobek dan airnya merembes
sebelum tiba waktu bersalin. Kondisi ini amat beresiko menyebabkan terjadinya
infeksi oleh kuman yang berasal daribawah. Pada kehamilan lewat bulan,
kekurangan air ketuban juga sering terjadi karena ukuran tubuh janin semakin
besar.
Masalah-masalah yang dihubungkan dengan terlalu sedikitnya cairan
ketuban berbeda-beda tergantung dari usia kehamilan. Oligohydramnion dapat
terjadi di masa kehamilan trimester pertama atau pertengahan usia kehamilan
cenderung berakibat serius dibandingkan jika terjadi di masa kehamilan trimester
terakhir. Terlalu sedikitnya cairan ketuban dimasa awal kehamilan dapat menekan
organ-organ janin dan menyebabkan kecacatan, seperti kerusakan paru-paru,
tungkai dan lengan.
Olygohydramnion yang terjadi dipertengahan masa kehamilan juga
meningkatkan resiko keguguran, kelahiran prematur dan kematian bayi dalam
kandungan. Jika oligohydramnion terjadi di masa kehamilan trimester terakhir,
hal ini mungkin berhubungan dengan pertumbuhan janin yang kurang baik.
Disaat-saat akhir kehamilan, oligohydramnion dapat meningkatkan resiko
komplikasi persalinan dan kelahiran, termasuk kerusakan pada ari-ari
memutuskan saluran oksigen kepada janin dan menyebabkan kematian janin.
Wanita yang mengalami oligohydramnion lebih cenderung harus mengalami
operasi caesar disaat persalinannya19.
18
BAB 3
STATUS PASIEN
ANAMNESIS
ANAMNESIS PRIBADI :
Nama : Ny. S
Umur : 30 tahun
Pendidikan : Tamat SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tanggal masuk : 01-10-2012 pukul 21.00
ANAMNESE PENYAKIT :
Ny. S, 30 tahun, G1P0A0, Jawa, Islam, SMP, Wiraswasta i/d Tn. S, 35 tahun,
Tionghoa, Islam, SMA, Wiraswasta datang ke IGD RS HAM dengan
Keluhan Utama : Mules sesekali
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak tanggal 01 Oktober 2012 pada
pukul 19.00 WIB. Riwayat keluar air dari kemaluan tidak
dijumpai. Riwayat keluar lendir darah tidak dijumpai. BAK
dan BAB dalam batas normal
RPT : Tidak dijumpai
RPO : Tidak dijumpai
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 25-12-2011
Taksiran Tanggal Persalinan (TTP) : 01-10-2012
Usia Kehamilan : 39 minggu 3 hari
ANC : SpOG :3x
Bidan: 5x
Riwayat Persalinan : Hamil ini
19
STATUS PRESEN S
Sens : CM Anemia: -
TD : 130/80 mmhg Ikterik: -
Nadi : 80x/I Dispnoe: -
RR : 20 x/I Sianosis: -
Suhu : 36,6 ° C Oedema: -
STATUS LOKALISATA :
Kepala : Conjuntiva palpebra inferior kanan/kiri anemis (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax : Suara Pernafasan : vesikuler, Stem Fremitus : kiri = kanan
: Suara tambahan : -
Abdomen : Membesar asimetris
Ekstremitas : Inferior: sianosis (-), oedema (-)
Superior: sianosis (-), oedema (-)
STATUS OBSTETRIKUS :
Abdomen : membesar asimetris
TFU : 3 jari bawah processus xiphoideus (32 cm)
Teregang : kanan
Terbawah : kepala (4/5)
His : + (1x10”/10’, ireguler)
Gerak : +
DJJ : 132 x/menit (regular)
EBW : 3100 gram
VT : Cerviks tertutup
Sarung tangan : lendir darah (-), air ketuban (-)
PELVIC SCORE
Pembukaan 0 : 0
Pendataran 0% : 0
20
Penurunan -2 : 1
Konsistensi keras : 0
Posisi sacral : 0
Jumlah : 1
ADEKUASI PANGGUL
- Promontorium tidak teraba
- Linea ikominata 2/3 suferior
- Os sacrum cekung
- Spina ischiadica tidak menonjol
- Arcus pubis tumpul
- Os coccigeus mobile
Kesan : panggul adekuat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
HASIL USG TAS
- JK, LK, AH
- FM (+), FHR (+)
- Plasenta fundal grade III
- BPD 92 mm (37w3d)
- FL 77 mm (38w6d)
- AC 346 mm (35w5d)
- AFI : 1,2
Kesan : IUP (37-38) mgg + PK + AH + Oligohidramnion Berat
HASIL LABORATORIUM (01 Oktober 2012)
Darah Rutin
Hb : 12 gr/dl
Ht : 36,30%
Leukosit : 14,16/mm3
21
Trombosit : 306.000/mm3
KGD adrandom: 78 mg/dl
Ur/Cr : 20,0/0,52 mg/dl
Na/K/Cl : 137/4,1/108 mEq/L
HST
PT : 12,5 (12,3)
INR : 1,02
APTT : 26,4 (30,0)
TT : 14,2 (14,0)
DIAGNOSA SEMENTARA
Oligohidramnion + PG + KDR (39-40) minggu + PK + AH + B. Inpartu
RENCANA
Ripening serviks dengan pemasangan balon kateter no. 24 G yang diisi dengan
aquabidest sebanyak 40 cc.
Persalinan spontan pervaginam
FOLLOW UP
Tanggal 01 Oktober 2012 pukul 21.00
KU : Mules sesekali
Status presens:
Sens : CM Anemia: -
TD : 120/80 mmhg Ikterik: -
Nadi : 86x/I Dispnoe: -
RR : 20 x/I Sianosis: -
Suhu : 36,6 ° C Oedema: -
Status Obstetrikus
Abdomen : membesar asimetris
TFU : 3 jari bawah processus xiphoideus (32 cm)
22
Teregang : kanan
Terbawah : kepala (4/5)
His : -
Gerak : +
DJJ : 132 x/menit (regular)
EBW : 3100 gram
Diagnosis
PG + KDR (39-40) minggu + PK + AH + B. Inpartu + Oligohidramnion berat
Rencana
- Ripening serviks dengan pemasangan balon kateter dengan aquabidest 40 cc
- Awasi vital sign, HIS, DJJ dan tanda inpartu
Tanggal 01 Oktober 2012 pukul 23.00
KU : Mules sesekali
Status presens:
Sens : CM Anemia: -
TD : 120/80 mmhg Ikterik: -
Nadi : 86x/I Dispnoe: -
RR : 20 x/I Sianosis: -
Suhu : 36,6 ° C Oedema: -
Status Obstetrikus
Abdomen : membesar asimetris
TFU : 3 jari bawah processus xiphoideus (32 cm)
Teregang : kanan
Terbawah : kepala (4/5)
His : (-)
Gerak : (+)
DJJ : 132 x/i
23
EBW : 3100 gram
Status Lokalisata
Genitalia eksterna: terpasang balon kateter
Diagnosis :
PG + KDR (38-40) minggu + PK + AH + B. Inpartu + Oligohidramnion berat
Terapi :
Ripening serviks dengan pemasangan balon kateter dengan aquabidest 40 cc
Rencana
- awasi vital sign, HIS, DJJ dan tanda inpartu
Tanggal 02 Oktober 2012 pukul 08.00
KU : Mules sesekali
Status presens:
Sens : CM Anemia: -
TD : 120/80 mmhg Ikterik: -
Nadi : 86x/I Dispnoe: -
RR : 20 x/I Sianosis: -
Suhu : 36,6 ° C Oedema: -
Status Obstetrikus
Abdomen : membesar asimetris
TFU : 3 jari bawah processus xiphoideus (32 cm)
Teregang : kanan
Terbawah : kepala (4/5)
His : (+) 1x10”/10’, irregular
Gerak : (+)
DJJ : 132 x/i
24
EBW : 3100 gram
Status Lokalisata
Genitalia eksterna: balon kateter belum terlepas
Diagnosis
PG + KDR (38-40) minggu + PK + AH + B. Inpartu + Oligohidramnion berat
Terapi
Ripening serviks dengan pemasangan balon kateter dengan aquabidest 40 cc
(mulai pukul 23.00 tanggal 01 Oktober 2012)
Rencana
- Awasi vital sign, HIS, DJJ dan tanda inpartu
- USG konfirmasi supervisor
Hasil USG konfirmasi:
- JK, LK, AH
- FM (+), FHR (+)
- Plasenta fundal grade III
- BPD 92 mm (37w3d)
- FL 77 mm (38w6d)
- AC 346 mm (35w5d)
- AFI : 0,5
Kesan: Oligohidramnion berat + PG + KDR (38-40) minggu + PK + AH
Advise : Seksio Cesarea dengan pertimbangan Oligohidramnion berat
Laporan Operasi Seksio Cesarea pada tanggal 02 Oktober 2012
Ibu dibaringkan dimeja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik.
25
Dibwah spinal anastesi dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic dengan
larutan betadine dan alcohol 70%, kemudian ditutup dengan doek steril
kecuali di lapangan operasi .
Dilakukan insisi fannensteil mulai dari lapisan kutis, subkutis sampai fascia.
Dengan menyisipkan pinset anatomis dibawahnya fascia digunting ke kanan
dan ke kiri, fascia dan otot dikuakkan secara tumpul. Peritoneum dijinjing,
digunting dan dilebarkan.
Tampak uterus gravidarum sesuai dengan usia kehamilan. Dilakukan
identifikasi SBR dan ligamentum rotundum kemudian dipasang hack blast.
Plika vesikouterina digunting kekiri dan kekanan dan disisipkan kearah
bawah. Dinding uterus diinsisi secara konkaf sampai subendometrium,
endometrium ditembus dan diperlebar sesuai sayatan.
Tampak selaput ketuban dipecahkan, air ketuban mengalir kesan: jernih.
Dengan meluksir kepala lahir bayi perempuan, BB: 3200 gram, PB: 48 cm,
AS: 8/9, anus (+). Tali pusat dijepit di dua tempat dan digunting diantaranya.
Dengan PTT lahit plasenta kesan: lengkap. Cavum uteri dibersihkan dari sisa-
sisa plasenta dan selaput ketuban.
Uterus dijahit dengan continous interlocking dan dilakukan evaluasi
perdarahan dan tidak ada perdarahan. Dinding abdomen dijahit lapis demi
lapis lalu ditutup dengan kasa steril dan hipafix.
Keadaaan ibu post operasi baik
Terapi:
- IVFD RL + oksitosin 10-10-5 IU 20 gtt/menit
- Injeksi ceftriaxone 1 gram/ 12 jam
- Injeksi ketorolac 30 mg/8 jam
- Injeksi transamin 1 amp/ 8 jam (24 jam pertama)
Rencana:
- Awasi vital sign, kontraksi uterus dan tanda-tanda perdarahan
- Cek darah rutin 2 jam post operasi
26
Follow up 02 Oktober 2012 pukul 14.15
KU : Nyeri luka operasi
Status presens:
Sens : CM Anemia: -
TD : 120/80 mmhg Ikterik: -
Nadi : 86x/I Dispnoe: -
RR : 20 x/I Sianosis: -
Suhu : 36,6 ° C Oedema: -
Status Lokalisata
Abdomen : soepel, luka operasi tertutup verban
TFU : 1 jari dibawah pusat, kontraksi (+)
p/v : -
lochia : (+) rubra
BAK : kateter terpasang OUP 50cc/jam
BAB : (-) flatus (-)
ASI : -/-
Diagnosis
Post SC a/I Oligohidramnion berat + NH0
Terapi :
- IVFD RL + Oksitosin 10-10-5-5 IU 20 gtt/i
- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam
- Injeksi Transamin 1 amp/ 8 jam (24 jam pertama)
Rencana: cek darah rutin 2 jam post operasi
27
Follow up tanggal 03 Oktober 2012 pukul 08.00
KU : Nyeri luka operasi
Status presens:
Sens : CM Anemia: -
TD : 110/60 mmhg Ikterik: -
Nadi : 86x/I Dispnoe: -
RR : 20 x/I Sianosis: -
Suhu : 36,6 ° C Oedema: -
Status Lokalisata
Abdomen : soepel, peristaltic (+) normal.
luka operasi tertutup verban, kesan: kering
TFU : 2 jari dibawah pusat, kontraksi (+)
p/v : -
lochia : (+) rubra
BAK : kateter terpasang OUP 50cc/jam, warna kuning pekat
BAB : (-) flatus (-)
ASI : -/-
Diagnosis
Post SC a/I Oligohidramnion berat + NH1
Hasil Laboratorium post operasi
Hb : 12 gr/dl
Ht : 38,7%
Leukosit : 18.800/mm3
Trombosit : 401.000/mm3
28
Terapi
- IVFD RL + Oksitosin 10-10-5-5 IU 20 gtt/i
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj Transamin 1 amp/ 8 jam sampai pukl 14.20 WIB
Rencana
- Lanjut terapi
- Mobilisasi
Follow up tanggal 04 Oktober 2012 pukul 08.00
KU : Nyeri luka operasi
Status presens:
Sens : CM Anemia: -
TD : 120/80 mmhg Ikterik: -
Nadi : 86x/I Dispnoe: -
RR : 20 x/I Sianosis: -
Suhu : 36,6 ° C Oedema: -
Status Lokalisata
Abdomen : soepel, peristaltic (+) normal.
luka operasi tertutup verban, kesan: kering
TFU : 2 jari dibawah pusat, kontraksi (+)
p/v : -
lochia : (+) rubra
BAK : kateter terpasang OUP 50cc/jam, warna kuning pekat
BAB : (-) flatus (+)
ASI : -/-
Diagnosis
Post SC a/I Oligohidramnion berat + NH2
29
Terapi :
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Paracetamol 3x 500 mg
- B Compleks 2 x 1 tab
Rencana
- Aff kateter
- Aff Infus
- Mobilisasi
Follow up tanggal 05 Oktober 2012 pukul 08.00
KU : Nyeri luka operasi
Status presens:
Sens : CM Anemia: -
TD : 120/80 mmhg Ikterik: -
Nadi : 86x/I Dispnoe: -
RR : 20 x/I Sianosis: -
Suhu : 36,6 ° C Oedema: -
Status Lokalisata
Abdomen : soepel, peristaltik (+) normal.
luka operasi tertutup verban, kesan: kering
TFU : 2 jari dibawah pusat, kontraksi (+)
p/v : -
lochia : (+) rubra
BAK : kateter terpasang OUP 50cc/jam, warna kuning pekat
BAB : (+) flatus (+)
30
ASI : -/-
Diagnosis
Post SC a/I Oligohidramnion berat + NH3
Terapi
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Paracetamol 3x 500 mg
- B Compleks 2 x 1 tab
Rencana
- Ganti Verban
- Pulang berobat jalan
31
ANALISA KASUS
TEORI KASUS
Olygohydramnion dapat terjadi kapan
saja selama masa kehamilan, walau
pada umumnya sering terjadi di masa
kehamilan trimester terakhir
Pasien merupakan ibu hamil dengan
usia kehamilan telah mencapai 38-40
minggu. Berdasarkan teori,
oligohidramnion sering terjadi pada
masa kehamilan trimester terakhir
Pemeriksaan dengan USG dapat
mendiagnosa apakah cairan ketuban
terlalu sedikit atau terlalu banyak.
Metode ini dikenal dengan nama
Amniotic Fluid Index (AFI). Jika
ketinggian amniotic fluid (cairan
ketuban) yang di ukur kurang dari 5 cm,
ibu tersebut didiagnosa mengalami
oligohydramnion.
Dari hasil USG pasien didapatkan
Amniotic Fluid Index (AFI) yaitu 1,2
cm. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
menderita oligohydramnion
Disaat-saat akhir kehamialn,
oligohydramnion dapat meningkatkan
resiko komplikasi persalinan dan
kelahiran, termasuk kerusakan pada ari-
ari memutuskan saluran oksigen kepada
janin dan menyebabkan kematian janin.
Wanita yang mengalami
oligohydramnion lebih cenderung harus
mengalami operasi caesar disaat
persalinannya
Pasien ini dilakukan induksi persalinan
namun tidak terjadi kemajuan maka
dilakukan persalinan dengan operasi
seksio caesaria
32
BAB 4
KESIMPULAN
Cairan ketuban atau cairan amnion adalah cairan yang memenuhi rahim. Cairan
ini ditampung di dalam kantung amnion yang disebut kantung ketuban atau
kantung janin. Selaput ketuban merupakan suatu struktur berlapis lapis yang
didominasi dengan jaringan penyangga dan jaringan epitel yang terdiri dari 2
lapisan yaitu lapisan khorion dan lapisan amnion.
Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau
antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada awal kehamilan, cairan
amnion adalah suatu ultrafiltrat plasma ibu. Pada awal trimester kedua, cairan ini
terdiri dari cairan ekstrasel yang berdifusi melalui kulit janin sehingga
mencerminkan komposisi plasma janin. Namun setelah 20 minggu, kornifikasi
kulit janin menghambat difusi ini dan cairan amnion terutama terdiri dari urin
janin.
Jumlah cairan ketuban dapat dipantau melalui USG, tepatnya
menggunakan parameter AFI (Amniotic Fluid Index). Oligohidramnion adalah
suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc.
Definisi lainnya menyebutkan sebagai AFI yang kurang dari 5 cm.
Olygohydramnion yang terjadi dipertengahan masa kehamilan juga
meningkatkan resiko keguguran, kelahiran prematur dan kematian bayi dalam
kandungan Disaat-saat akhir kehamilan, oligohydramnion dapat meningkatkan
resiko komplikasi persalinan dan kelahiran. Wanita yang mengalami
oligohydramnion lebih cenderung harus mengalami operasi caesar disaat
persalinannya.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Winkjosastro H, Saifuddin BA, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009.
2. Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Williams Obstetrics, 23rd ed. USA Prentice Hall International Inc.
McGraw-Hill Companies. 2010.
3. Joy S. Abnormal labour. eMedicine. Aug 12. 2011. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/273053-overview [Diakses pada :
23 Juli 2012]
4. Baker PN. Obstetrics by Ten Teacher. Edisi 18. England.
BookPower/ELST. 2006.
5. Norwitz ER, Schorge JO. At a glance obstetri dan ginekologi. Edisi 2.
Dalam: persalinan dan kelahiran normal. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2006.
6. Pernol, ML. Benson & pernol handbook of obstetrics and gynecology. 10 th
ed. USA. McGraw-Hill Companies. 2001.
7. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current obstetric &
gynecologic diagnosis & treatment , 9th ed. Philadelphia. Appleton &
Lange. 2008.
8. Muchtar R. Sinopsis obstetri. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2002.
9. Nicholson JM, Kellar LC. Case report. The active management of
impending cephalopelvic disproportion in nulliparous women at term: a
case series. Journal of Pregnancy Volume 2010. 2010;
10.1155/2010/708615. Diunduh dari:
http://downloads.hindawi.com/journals/jp/2010/708615.pdf. [Diakses pada
: 23 Juli 2012]
34
10. Ebell MH. Point-of-care guides: predicting the likelihood of successful
vaginal birth after cesarean delivery. American Family Physician. 2007
Oct 15;76(8):1192-1194.
Diunduh dari :
http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1192.html. [Diakses pada: 24 Juli
2012]
11. Porter TF, Zelop CM. Clinical management guidelines for obstectrician-
gynecologists : vaginal birth after cesarean delivery. ACOG Practice
Bulletin No. 54. American College of Obstetricians and Gynecology.
2004; 104:203-12. Diunduh dari :
www.acog.org/acog_districts/dist9/pb054.pdf [Diakses pada : 30 Juli
2012]
12. Tsvieli O, Sergienko R, & Sheiner E. Risk factors and perinatal outcome
of pregnancies complicated with cephalopelvic disproportion: a
population-based study. Maternal-fetal medicine. Archive of Gynecologic
& Obstetric. Springer-Verlag. September 2011. DOI 10.1007/s00404-011-
2086-4. Diunduh dari :
http://www.springerlink.com/content/J266541841130573/fulltext.pdf
[Diakses pada: 23 Juli 2012]
13. Kashif S, Mansoor M, Tariq R, Tahira T. Vaginal birth after caesarean
section; to evaluate factors for successful outcome. Professional Medical
Journal. Dec 2010;17(4): 665-669. Diunduh dari:
www.theprofesional.com/article/OCT-DEC-2010/PROF-1630.pdf
[Diakses pada: 29 Juli 2012]
14. Hofmeyr GJ, Shweni PM. Symphysiotomy for feto-pelvic disproportion
(review). The Cochrane Collaboration. 2010; 10. Diunduh dari :
http://apps.who.int/rhl/reviews/CD005299.pdf. [Diakses pada: 23 Juli
2012]
35