lapsus litmin
DESCRIPTION
laporan kasusTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau
berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut. Definisi ini
menghindari pengkorelasian nyeri dengan suatu rangsangan (stimulus). Definisi ini
juga menekankan bahwa nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi
sekaligus emosi.1,2,3
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri akut atau
nyeri nosiseptif, dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri
neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif yang
diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat
perbaikan dari jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri
fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut juga sebagai gangguan
sistem alarm. Nyeri idiopatik yang tidak berhubungan dengan patologi baik
neuropatik maupun nosiseptif dan memunculkan gejala gangguan psikologik
memenuhi somatoform seperti stres, depresi, ansietas dan sebagainya.1,2,3
Klasifikasi dari nyeri kronik digolongkan dalam 3 kategori : nyeri yang
disebabkan oleh penyakit atau kerusakan pada jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif,
seperti osteoarthritis), nyeri yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan sistem
somatosensori (nyeri neuropatik), dan gabungan antara nyeri nosiseptif dan
neuropatik (nyeri gabungan).1,2,3
International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
neuropatik adalah nyeri yang dihasilkan dari penyakit atau kerusakan dari sistem
saraf perifer atau sentral, dan berasal dari kelainan fungsi sistem nervus. Awalnya,
nyeri neuropatik digunakan hanya untuk menggambarkan nyeri yang berhubungan
dengan neuropatik perifer, dan nyeri sentral pada lesi di sistem saraf pusat yang
1
berhubungan dengan nyeri. Nyeri neurogenik menyangkut semua penyebab, baik
perifer maupun sentral.1,2,3
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik
perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi,
toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya
herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa
muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.1,2,3
Neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat
penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati.
Dan pada pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.4
Herpes Zoster dikenal pula sebagai ‘shingles’ dapat menginfeksi sistem saraf
dengan reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang
distribusi dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai
neuralgia paska herpetika. Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai
nyeri radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan
penderitanya.5
Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan
imunitas menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk
kanker dan penderita HIV.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Nyeri post herpetikum (Neuralgia Post Herpetik = NPH / Post Herpetic
Neuralgia = PHN) merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam Herpes
Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi disepanjang serabut
saraf yang mengikuti pola ruam segmental dari Herpes Zoster.3
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri
disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan.
Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang
menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang
menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham
mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga
bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan
neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam
(atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher
mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah
herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari
berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin.
Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International Association for Study of
Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri
yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga
bulan tanpa adanya malignitas.6
NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 3 bulan
setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan
sebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching).
Nyeri ini juga dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi seperti disestesia,
parestesia, hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien dengan NPH, biasanya
3
terjadi perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian,
hampir seluruh penderita memiliki area erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri,
dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperature pada area
kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan (allodinia mekanik)
atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya dinyatakan
bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien
dengan NPH lebih cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita
dengan zoster yang sembuh tanpa neuralgia.7
2.2 Epidemiologi
Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan
data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di
Asia, Australia dan Amerika Selatan.4
Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan
10-70 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada
penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5
dan 9 tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara
usia 1 dan 4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada
penderita HIV atau dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok sehat usia sama.4,5
2.3 Etiologi
Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari
sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya
terdapat DNA untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200
nm.4,8
4
Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian
menderita herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang bertanggung
jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.8
Gambar 1. Virus Varisella zoster
Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik
untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada kulit,
menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah resolusi,
banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic
neuralgia).5
2.4 Patogenesis
Gambar 2. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster
5
A. Herpes Zoster
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari
virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion setelah paparan
pertama melalui system pernafasan. Imunitas seluler berperan dalam
pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan
mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus
dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan
dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang
akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah
mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini
bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga
hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ’Lipschutz
inclusion body’.4,5
Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis
hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat
menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis.
Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.5
B. Nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis :5
1. Proses stimulasi singkat
Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan
menyebabkan timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak
menyebabkan terjadinya lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam
waktu singkat.
6
2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau
inflamasi jaringan.
Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan
atau dikenal sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah
terjadinya kalor, rubor, dolor dan fungsiolaesa.
3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.
Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau
sentral akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari
sistem saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron
sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang
terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui
perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi
abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral
(sensitisasi sentral).
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara
normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan Aβ
yang biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan dengan rasa
normal, tetapi pada allodinia diraakan nyeri.5
Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik
yang diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan
proses pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah
rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan
respon berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan
menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan.
Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan
berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya
menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua
rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam
7
proses sehingga dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska
herpetika memerlukan beberapa macam pendekatan pula.5
2.5 Manifestasi Klinis
Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan
parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post
herpetik ke dalam tiga fase:1,9,10
1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya
berlangsung < 4 minggu
2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4
bulan
3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi
kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.
Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli
penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan
penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam
kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral
mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya.
Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi
penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal
dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.1,9,10
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang
ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia
dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita,
tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup
jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari
atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering
8
dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan
rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi
antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak
tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang.1,9,10
Pada masa gelembung –gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai
menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena.
Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat
nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal
serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba – tiba dan tiap serangan terdiri
dari sekelompok serangan – serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan
sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila
penderita datang sebelum gelembung – gelembung herpes timbul, untuk meramalkan
bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia
trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal
inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat
– tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat –
tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling
nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi
dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia
postherpatikum otikum.1,9,10
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala
prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai
dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa
demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala
prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom
kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul
mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan
9
saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari
awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10
hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai
berminggu-minggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes
zoster dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan
famciclovir atau valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah
penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang
ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia
dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita,
tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup
jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari
atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering
dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan
rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi
antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak
tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang.1,9,10
2.6 Penatalaksanaan
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan
neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan
terapi non farmakologis.1,11,12
a. Terapi farmakologis:1,11,12
1. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster
yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian
asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis
anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan pada 3 hari pertama
10
sejak lesi muncul.Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan
obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah,
anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan
dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang
dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit
kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500
mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan
opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.
2. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan
analgetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik
non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik
perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri
neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan
efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan
nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga
menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian,
jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam
4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan
terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa
pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat
atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang
digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian
menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam
meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.
3. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi
voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek
inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang
11
bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan
memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi
hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan
kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-
3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal
dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin
bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti
halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun
berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga
mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat,
substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent
nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas
analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati
diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla
spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.
4. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia
paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok
reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini
dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat
dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik
amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami pengurangan nyeri
tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake
saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic
antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara
oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine.
TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding
SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine,
paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan
12
TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin,
sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping
TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti
blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat
meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan
hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus
neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine,
desipramine dan lainnya.
5. Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat
voltage-gated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan
terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik
jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap
ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya
adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA.
Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang
baik dalam mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek
yang baik dengan penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan
NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan
dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama
bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien
orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak
dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang
disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada
neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini
melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang
menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi
neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa
13
terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada
uji klinik ini).
b. Terapi non farmakologis1,11,12
1. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri.
Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus
neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih
menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut
dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.
2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial
hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi
penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/
tambahan disamping terapi farmakologis.
3. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika
pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml
diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang
menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata
dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %.
2.7 Pencegahan
Cara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah
terinfeksinya virus Zoster itu sendiri.13 Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat
diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut
pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan
saraf dan nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis
ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi
antiviral diharapkan dapat menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit
14
akan lebih singkat, dan menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral
yang dapat digunakan adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi
analgetika akan mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia
pascaherpetika.10,14
Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan
oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi mereka yang berusia 60
tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60
tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko
neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat
mencapai 6 tahun atau bahkan lebih.9,14 Selain itu, The United States Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP) juga telah merekomendasikan lansia
diatasumur 60 tahun untuk memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari
perawatan kesehatan rutin.15 Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui
oleh Food and Drug Administration untuk mencegah Varicella.13,16
2.8 Prognosis
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat.
Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-
obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus,
nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang
diberikan.17
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan
sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap
analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang
menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan
pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.17
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya
mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena
15
setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti
biasa.17
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ
masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien
mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.17
16
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Bawon
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 73 tahun
Alamat : Air kumbang padang permata, banyuasin
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 22 September 2014
3.2 Anamnesa
Diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 22 September 2014 , pukul 10.30
WIB.
A. Keluhan Utama
Nyeri di luka bekas herpes zoster sejak 1 bulan yang lalu
B. Keluhan Tambahan
Nyeri semakin lama semakin bertambah sehingga menganggu tidur
C. Riwayat Perjalanan Penyakit
Lebih kurang 12 minggu yang lalu os mengeluh kepala pusing disertai badan
teras pegal serta nyeri otot dan tulang, dua hari kemudian timbul bintil berisi
cairan berkelompok yang awalnya di dada kiri kemudian menjalar ke
punggung kiri, pinggir merah, terasa nyeri dan panas seperti terbakar.
Lebih kurang 11 minggu yang lalu os mengaku bintil bertambah banyak
kemudian os berobat ke RSK dr Rivai Abdullah dan dirawat inap selama 15
hari dengan diagnosa herpes zoster.
Lebih kurang 4 minggu yang lalu os mengeluh nyeri seperti disilet-silet di
daerah luka bekas herpes zoster. Nyeri dirasakan sepanjang waktu, namun
intensitas nyeri sering meningkat dengan sentuhan ringan seperti gesekan
17
baju, nyeri mengganggu aktivitas, tidak disertai gatal. Pasien sudah berobat
ke puskesmas dan diberi obat pil bulat kecil berwarna putih, pil lonjong
berwarna putih yang dimunum 3 kali sehari. Namun tetap tidak
menghilangkan nyeri. Riwayat demam disangkal, keluhan lemah dan linu
pada anggota gerak disangkal.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh penderita.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Baik
Tanda vital
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 89 x/menit
- Suhu : 36,8 0C
- Pernapasan : 23 x/menit
1. Status Generalisata
a. Kepala
- Wajah : mongoloid
- Mata : konjungtiva anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-)
- Hidung : sekret (-)/(-)
- Telinga : sekret (-)/(-)
b. Leher
- JVP 5-2 cmH2O
18
- Pembesaran tiroid (-)
- Pembesaran KGB (-)
c. Thorax
- Pulmo
Inspeksi : simetris, interkosta tidak melebar, retraksi tidak ada
Palpasi : vokal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+)/(+) normal, wheezing (-)/(-), ronki (-)/(-)
- Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba iktus kordis pada ICS IV linea aksilaris anterior
sinistra
Perkusi
batas atas : ICS II linea mid klavicularis sinistra
batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri : ICS IV-V linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-)
d. Abdomen
- Inspeksi : datar, lemas
- Palpasi : teraba massa (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar
lien tidak teraba
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : BU (+) normal
e. Ekstremitas
- Superior : tidak ada kelainan fungsi pergerakan maupun
deformitas
- Inferior : tidak ada kelainan fungsi pergerakan maupun
deformitas
2. Status Dermatologikus
19
Ad Regio : Regio thoracal sinistra posterior et inferior, regio axilaris sinistra
Lesi : Tampak patch hiperpigmentasi, multiple, berbatas tegas, ukuran
plaque, tersebar diskret.
3.4 Resume
Lebih kurang 12 minggu yang lalu os mengeluh kepala pusing disertai badan
teras pegal serta nyeri otot dan tulang, dua hari kemudian timbul bintil berisi cairan
berkelompok yang awalnya di dada kiri kemudian menjalar ke punggung kiri, pinggir
merah, terasa nyeri dan panas seperti terbakar.
Lebih kurang 11 minggu yang lalu os mengaku bintil bertambah banyak
kemudian os berobat ke RSK dr Rivai Abdullah dan dirawat inap selama 15 hari
dengan diagnosa herpes zoster.
Lebih kurang 4 minggu yang lalu os mengeluh nyeri seperti disilet-silet di
daerah luka bekas herpes zoster. Nyeri dirasakan sepanjang waktu, namun intensitas
nyeri sering meningkat dengan sentuhan ringan seperti gesekan baju, nyeri
mengganggu aktivitas, tidak disertai gatal. Pasien sudah berobat ke puskesmas dan
diberi obat pil bulat kecil berwarna putih, pil lonjong berwarna putih yang dimunum
3 kali sehari. Namun tetap tidak menghilangkan nyeri. Riwayat demam disangkal,
keluhan lemah dan linu pada anggota gerak disangkal.
Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh penderita. Tidak ada
keluarga yang memiliki keluhan yang sama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Untuk
pemeriksaan dermatologis didapatkan pada regio thoracal sinistra posterior et inferior
dan regio axilaris sinistra, tampak patch hiperpigmentasi, multiple, berbatas tegas,
ukuran plaque, tersebar diskret.
3.5 Diagnosis banding
20
1. Post Herpetic Neuralgia
2. Miositis
3. Pleuritis
3.6 Diagnosis Kerja
Post Herpetic Neuralgia
3.7 Penatalaksanaan
Melfinal 3x500 mg
Sangobion 3x1
Bcom C 1x1
3.8 Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad fungtionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
BAB IV
21
PEMBAHASAN
Nyeri Post Herpetikum adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian
tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri merupakan
suatu reaktivasi virus Varicella yang berdiam di dalam jaringan saraf.
NPH dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari
setelah timbulnya ruam pada kulit) dan NPH (rasa sakit yang terjadi setidaknya
120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).
Tabel 4.1. Anamnesis secara teori dan kasus.
AnamnesisTeori Kasus
- NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah
- Sindroma neuralgia pasca-herpes dikenali secara tunggal dengan adanya nyeri setelah seorang menderita herpes zoster, baik dengan maupun tanpa interval bebas nyeri.
- Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
- 73 tahun
- Herpes zoster 12 minggu yang lalu
- Pada pasien ditemukan nyeri seperti disilet-silet, intensitas nyeri sering meningkat dengan sentuhan ringan seperti gesekan baju.
Tabel 4.2 Diagnosis Banding
22
Diagnosis Banding
PHN Miositis Pleuritis
- NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah
- Sindroma neuralgia pasca-herpes dikenali secara tunggal dengan adanya nyeri setelah seorang menderita herpes zoster, baik dengan maupun tanpa interval bebas nyeri.
- Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
-
- Radang serabut otot yang merupakan reaksi radang yang disebabkan oleh trauma, atau berubah menjadi radang bernanah bila didahului perlukaan
- Manifestasi klinis yang dijumpai adalah demam dan tanda-tanda radang (merah, bengkak, panas, nyeri dan fungsio lesa),
-
- Radang pleura yang ditandai perubahan proses bernafas yang intensitasnya tergantung pada beratnya proses radang.
- Manifestasi klinis yang ditemukan adalah nyeri pada dada terutama saat bernapas, sesak napas, perasaan ditikam dan batuk.
Tabel 4.3 Penatalaksanaan
23
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Rabey M, M. Manip. Post-herpetic Neuralgia: Possible Mechanisms for Pain Relief with Manual Therapy. 2003. London: Science Direct. p180-184.
2. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001. London: The Guilford Press.
3. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada: Elsevier. p654-674.
4. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.
5. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from: http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id
6. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic Neuralgia. 2004. American Academy of Neurology. p959-965.
7. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.
8. Mazzoni, P. Pearson, T. Rowland, L. Merritt’s Neurology Handbook. 2nd Edition. Lippincott Williams & Wilkins : 2006.
9. Panlilio L, Paul J, Srinivasa N. Current Management of Postherpetic Neuralgia; dalam The Neurologist. Volume 8. 2002. Baltimore. p339-350.
10. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012. Jakarta. p416-419.
11. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Medication; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.
12. Dworkin R, Kanneth E. Treatment and Prevention of Postherpetic Neuralgia. 2003. New York: Clinical Infectious Disease. p877-882.
13. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine Review. p102-111.
14. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011. New York: Pain Medicine News. p84-91.
15. Vorvick L. Shingles; dalam Medline Plus. 2012. 16. Department of Neurological Surgery. Postherpetic Neuralgia. 2013. New
York: Columbia Neurosurgery.17. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Follow-up; dalam Medscape Reference. Editor:
Robert A. 2012.
25