lapsus baru
DESCRIPTION
etryuil;TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
Bronkiolitis
Oleh :
MA`RUF
Nim : 010.06.0033
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA
DI SMF ANAK RSUD KOTA MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2014
1
Laporan Kasus
BAB I
Laporan kasus
1.1 IDENTITAS PASIEN
1. Nama : A H
2. umur : 1.2 tahun
3. jenis kelamin: laki-laki
4. alamat : kebun duren
5. tanggal/Jam Masuk RSUD Kota Mataram : 13 November 2014 jam
14.15 wita
6. No. RM : 115013
Ibu Ayah
Nama Ny. Z Tn. S
Umur 23Tahun 26 Tahun
Pendidikan terakhir SMP SMA
Pekerjaan IRT Buruh
Diagnosa masuk : bronkiolitis
1.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak nafas
1.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sessak nafas (+), batuk
berdahak (+), Pilek (+), demam (-).Ibu pasien mengatakan mengatakan
bahwa pasien sering mengalami sesak nafas.
1.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama
pada usia 4 bulan.
1.2.3 Riwayat penyakit keluarga
2
Ayah pasien mengaku mempunyai riwayat asma
1.2.4 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal dengan keluarganya, dalam rumah tempat
tinggal beranggotakan keluarga 4 orang, pendapatan perhari keluarga
rata-rata 50 ribu rupiah.
1.2.5 Riwayat social / lingkungan
ayah pasien adalah seorang perokok
Banyak tetangga yang mempunyai burung puyuh
1.2.6 Riwayat Pribadi
A. Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat USG (+) 3x di dokter SPOG (usia kehamilan 7,8,9
bulan)
Riwayat sakit berat selama hamil (-). Riwayat minum obat-
obatan dan jamu-jamuan selama hamil (-)
Selama ANC, tidak ditemukan kelainan pada janin atau ibu
(riwayat perdarahan, muntah berlebihan, demam selama
kehamilan disangkal; bidan juga mengatakan letak dan
perkembangan janin normal)
Pasien lahir normal di salah satu Rumah Sakit di NTB.
Lahir cukup bulan dengan berat lahir 3.100 gram. Panjang
badan 47 cm Lahir langsung menangis, riwayat biru setelah
lahir (-), kuning setelah lahir (-).
B. Riwayat nutrisi
ASI ekslusif (+), Pasien diberikan PASI sejakusia 6 bulan.
Susu formula yang diberikan adalah SGM, sampai saat ini
pasien tetap mendapatkan ASI.
Makan minum menurun sejak keluhan sesak datang..
C. Riwayat imunisasi : ibu mengaku rutin melakan imunisasi
D. Riwayat pertumbuhan
3
menegagkan kepala : 2 bulan
Membalikan badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 13 bulan
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan Umum : Tampak sedang
• Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
• Suhu : 36.5 oC
• Nadi : 102 x/menit ( teraba, teratur, kuat angkat)
• Pernapasan : 52 x/menit
• Berat badan : 10 kg
• Tinggi badan : 80 cm
4
Kesimpulan status gizi : Gizi Baik
• Status gizi : Kesimpulan status gizi berdasarkan perhitungan standar
deviasi (SD) atau Z-score dengan menggunakan nilai indeks antropometri:
BB/TB : -2 SD s/d +2 SD Gizi baik
BB/U : -2 SD s/d +2 SD BB Normal
TB/U : -2 SD s/d +2 SD TB Normal
Status Generalis
Kepala
• Bentuk : Normocephali
• Rambut : hitam, lurus, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut.
• Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
• Hidung : Sekret (-), darah (-) ,nafas cuping hidung (-)
• Telinga : Sekret (-), serumen (-)
• Mulut : bibir kering (-) bibir sianosis (-),
5
• Leher :Pembesaran KGB (-)
Thorax
• Pulmo
• Inspeksi : Pergerakan dinding thorax kiri-kanan simetris,
retraksi dinding dada (+)
• Palpasi : vocal fremitus positif di seluruh lapang paru
• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan
• Auskultasi : Ronkhi (-/-), wheezing (+/+)
• Cor
• Inspeksi : Ictus cordis tampak
• Palpasi : Ictus cordis teraba
• Perkusi : Batas kanan jantung parasternal kanan ICS V,
batas kiri jantung midclavicula ICS V
• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II tunggal, reguler, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : Datar simetris, retraksi epigastrium (-).
• Auskultasi : Bising usus terdengar normal
• Palpasi : Hepar/lien/ginjal tidak teraba
• Perkusi : Timpani pada selurung lapang abdomen
Ekstremitas dan Kulit :
• Akral hangat (+), Edema (-), Sianosis perifer (-)
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap 13 November 2014
WBC : 9.26 /mm3
LYM : 3.29 103/ul
RBC : 4.74 106 /ul
HB : 10.4 g/dl
HCT :29.8 %
Trombosit : 26 /mm3
6
Gula darah sewaktu 13 November 2014
GDS : 130 mg/dl
Pemeriksaan foto thorax AP
Tampak gambaran infiltrate
Bercacak konsolidasi
1.5 Diagnosis Banding :
Bronkiolitis
asma
Pneumonia berat
Diagnosis Kerja :
Bronkoiolitis
1.6 Rencana Terapi
- O2 lpm
- D5 ¼ ns
- Ampicilin
- Dexamethason
- Nebu farbivent
- Ambroxsol syr
- Paracetamol syr
7
1.7 Resume
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sebelumnya tadi
malam pasien sudah pernah datang dengan keluhan yang sama tapi
setelah mendapatkan terapi uap satu kali keadaan pasien membaik dan
diperbolehkan pulang, pagi hari setelah diperbolehkan pulang pasien
mengalami sesak kembali dirumahnya karena sesak semakin memberat
pasien di bawa kembali ke rumah sakit siang hari. Ibu pasien mengaku
di rumah sakit sejak siang hari sudah mendapatkan terapi uap hingga
tiga kali dan mendapatkan terapi oksigen namun sesak belum
hilang.pasien pernah mengalami hal yang sama saat berusia 4 bulan.
Ayah pasien adalah seorang perokok dan lingkungan tempat tinggal
terdapat banyak penghobi burung puyuh. Ayah pasien seorang perokok
dan mempunyai riwayat penykit asma.
8
Follow up
Waktu Hasil follow up Terapi
13
Nonvembe
r 2014
Ku : sesak (+), batuk (+) demam(-)pilek (+), muntah (-), nafsu makan menurun,menyusu kurang, BAB-BAK (+)Keadaan umum : sedang Kesadaran : compos mentisTanda-tanda vitalHR : 120 X/mntRR : 52 X/mntT : 36,0 CNadi : 98 x/ mnt (teraba,teratur,kuat angkat)Pemeriksaan fisikKepala : normochepaliMata : konjungtiva anemi (-) Sclera ikterik (-)Hidung : secret (-) Pernafasan cuping hidung(-)Mulut : bibir sianosis (-)Leher : pembesaran KGB (-)Thorax : simetris, retraksi (-), S1 S2 tunggal regular, RH (-), Wh (+).Abdomen : Simetris (+), BU (+), Distensi(-), timpani (+).Ekstremitas : akral hangat(+), sianosis (-), oedem (-)
Assesment : Bronkiolitis
- O2 2 lpm
- D5 ¼ ns 30 tpm
- Ampicilin 4 x 250mg
- Dexamethason 3 x
1/3 amp (IV)
- Nebu farbivent
- Ambroxsol syr 2 x
1/3 cth
- Paracetamol syr 2 x1
cth
Waktu Hasil follow up Terapi
14
November
2014
Ku : sesak berkurag, batuk (+) demam(-)pilek (+), muntah (-), nafsu makan menurun,menyusu kurang, BAB-BAK (+)Keadaan umum : baikKesadaran : compos mentisTanda-tanda vitalHR : 120 X/mntRR : 40 X/mnt
- O2 2 lpm
- D5 ¼ ns 30 tpm
- Ampicilin 4 x 250mg
- Dexamethason 3 x
1/3 amp (IV)
- Nebu farbivent
9
T : 36,5 CNadi : 100 x/ mnt (teraba, teratu, kuat angkat)Pemeriksaan fisikKepala : normochepaliMata : konjungtiva anemi (-) Sclera ikterik (-)Hidung : secret (-) Pernafasan cuping hidung(-)Mulut : bibir sianosis (-)Leher : pembesaran KGB (-)Thorax : simetris, retraksi (-), S1 S2 tunggal regular, RH (-), Wh (+).Abdomen : Simetris (+), BU (+), Distensi(-), timpani (+).Ekstremitas : akral hangat(+), sianosis (-), oedem (-)
Assesment : Bronkiolitis
- Ambroxsol syr 2 x
1/3 cth
- Paracetamol syr 2 x1
cth
Waktu Terapi
15
november
2014
Ku : sesak berkurang, batuk (+) demam(-)pilek (+), muntah (-), nafsu makan dan minum baik, BAB-BAK (+)Keadaan umum : baikKesadaran : compos mentisTanda-tanda vitalHR : 110 X/mntRR : 36 X/mntT : 36,0 CNadi : 98 x/mnt (teraba, teratur, kuat angkat)Pemeriksaan fisikKepala : normochepaliMata : konjungtiva anemi (-) Sclera ikterik (-)Hidung : secret (-) Pernafasan cuping hidung(-)Mulut : bibir sianosis (-)Leher : pembesaran KGB (-)Thorax : simetris, retraksi (-), S1 S2 tunggal regular, RH (-), Wh (+).Abdomen : Simetris (+), BU (+), Distensi(-), timpani (+).Ekstremitas : akral hangat(+),
O2 2 lpm kalo sesak
Lain- lain dilanjutkan
10
sianosis (-), oedem (-)
Assesment : Bronkiolitis
Waktu Hasil follow up Terapi
16
november
2014
Ku : sesak (-), batuk (+) demam(-)pilek (+), muntah (-), BAB-BAK (+)Keadaan umum : sedang Kesadaran : compos mentisTanda-tanda vitalHR : 110 X/mntRR : 33 X/mntT : 36,0 CNadi : 98 x/mnt (teraba, teratur, kuat angkat)Pemeriksaan fisikKepala : normochepaliMata : konjungtiva anemi (-) Sclera ikterik (-)Hidung : secret (-) Pernafasan cuping hidung(-)Mulut : bibir sianosis (-)Leher : pembesaran KGB (-)Thorax : simetris, retraksi (-), S1 S2 tunggal regular, RH (-), Wh (+).Abdomen : Simetris (+), BU (+), Distensi(-), timpani (+).Ekstremitas : akral hangat(+), sianosis (-), oedem (-)
Assesment : Bronkiolitis
Terapi lanjut
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi
disebabkan oleh virus. Penyakit ini terjadi selama usia 2 tahun pertama
dengan insidensi puncaknya pada sekitar usia 6 bulan. Secara klinis ditandai
dengan episode wheezing, nafas cepat dan retraksi dada
2.2. Etiologi
Penyebab utama dari bronkiolitis adalah infeksi repiratory syncytical
virus (RSV) yang memilki morbiditas dan mortalitas tinggi, terutama pada
anak dengan risiko tinggi dan imnunokompromise. Sekitar 95 % dari kasus-
kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV.
Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus,
virus influenza, virus parainfluenza, Rhinovirus dan mikoplasma. Tidak ada
bukti yang kuat bahwa bakteri menyebabkan bronkiolitis.
Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan
imunitas yang tidak bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak
menimbulkan gejala klinis. RSV adalah golongan paramiksovirus dengan
bungkus lipid serupa dengan virus parainfluenza, tetapi hanya mempunyai
satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan nukleokapsid RNA helik
linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya mempunyai satu
antigen bungkus berarti bahwa komposisi antigen RSV relatif stabil dari
tahun ke tahun.
2.3. Epidemiologi
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan
12
menjelang kemarau, dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan
dengan menjangkitnya para-influenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik
di daerah sub tropis dari Asia Tenggara sepanjang tahun , dan memuncak
antara bulan Oktober sampai Februari dan berkurang pada bulan Maret
sampai Juli.
Bronkiliotis sering mengenai anak usia di bawah 2 tahun dengan
insiden tertinggi pada bayi umur 6 bulan.Pada daerah yang penduduknya
padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.
Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat
penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin terjadi oleh
karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah.
Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan,
bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan
immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya
penyakit yang lebih berat. Penyakit ini menimbulkan morbiditas infeksi
saluran napas bawah terbanyak pada anak.
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia
1 – 2 tahun di AS pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan
90.000 kasus perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian
setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus perawatan di
RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkembang hampir
sama dengan di AS. Insiden terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada
musim hujan di negara-negara tropis.
Dinegara dengan 4 musim, epidemiologi bronkiolitis menunjukkan
puncak yang tajam setiap tahun pada musim dingin antara bulan januari dan
maret sampai awal musim semi dan dinegara tropis banyak ditemukan pada
musim hujan. Faktor yang memicu bronkiolitis RSV meningkat setiap musim
dingin belum diketahui. Persentase rendah kasus bronkiolitis ditemukan pada
musim panas. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU dr.Soetomo Surabaya
pada tahun 2002 dan 2003, bronkiolitis banyak ditemukan pada bulan januari
sampai bulan Mei
13
2.4. Patofisiologi
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons
inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi
mukus, timbunan debris selular/ sel-sel mati yang terkelupas, kemudian
diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena
tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran
respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan
aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memilki penampang saluran
respiratori yang kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase
inspirasi dan ekspirasi, akan tetapi karena radius saluran respiratori lebih
kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air tapping dan hiperinflasi.
Ateletaksis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang
terjebak diabsorbsi.
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia
dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida
(hiperkapnea) tidak selalu terjadi. Semakin tinggi laju respiratori, maka
semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat
selama end expiratory lung volume meningkat dan compliance paru
menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi 60x/menit.
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan
diganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh
makrofag. Berbeda dengan bayi, anak besar dan orang dewasa dapat
mentolerir edema saluran napas lebih baik, oleh karena itu pada anak besar
dan dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila terserang infeksi virus saluran
napas.
14
2.5. Manifestasi Klinis
Mula-mula pasien mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa
pilek encer, batuk, bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini
berlangsung beberapa hari, kemudian timbul distres respirasi yang ditandai
oleh batuk paroksimal, mengi, dispneu, dan iritabel. Timbulnya kesulitan
minum terjadi karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan dan
menghisap. Pada kasus ringan, gejala menghilang 1-3 hari. Pada kasus berat,
gejalanya dapat timbul beberapa hari dan perjalananya sangat cepat. Kadang-
kadang, bayi tidak demam sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres
pernapasan dengan frekuensi napas 60 x/menit, terdapat napas cuping hidung,
penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang sianosis.
Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena
terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada
15
akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan mengi kadang-
kadang terdengar dengan jelas.
Gambaran radiologik biasanya normal atau hiperinflasi paru, diameter
anteroposterior meningkat pada foto lateral. Kadang-kadang ditemukan
bercak-bercak pemadatan akibat atelektasis sekunder terhadap obtruksi atau
anflamasi alveolus. Leukosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal.
Limfopenia yang sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan
pada brokiolitis. Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan
menunjukkan hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan,
akibat edem dan hipersekresi bronkiolus.
2.6.Klasifikasi
Tabel Klasifikasi bronkiolitis berdasarkan gejala klinis
Keparahan Tanda
Ringan Anak sadar, warna kulit merah muda Dapat makan dengan baik Saturasi oksigen > 90%. Saturasi oksigen diketahui
dengan alat sederhana di kantor dokter atau RS Sedang Salah satu di antara:
Kesulitan makan Lemah Kesulitan bernapas, digunakannya otot-otot bantu
pernapasan Adanya kelainan jantung atau saluran napas Saturasi oksigen < 90% Usia kurang dari enam bulan
Berat Seperti kriteria untuk kategori sedang, namun: mungkin tidak membaik dengan pemberian oksigen menunjukkan episode terhentinya napas menunjukkan tanda kelelahan otot pernapasan atau
terkumpulnya terlalu banyak karbon dioksida dalam tubuh.
2.7 Faktor resiko
Salah satu faktor resiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada
umur kurang dari 6 bulan, sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara
penuh berkembang dengan baik. Anak laki-laki cenderung untuk
16
mendapatkan bronkiolitis lebih sering dibanding anak-anak perempuan.
faktor lain yang telah dihubungkan dengan peningkatan resiko bronkiolitis
pada anak-anak meliputi:
a. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan
kekebalan dari ibu
b. Kelahiran prematur
c. Pajanan ke asap rokok
d. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan
anak, panti asuhan
e. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah/ tempat
bermain.
Bayi dengan ibu perokok pasif mempunyai peningkatan resiko
infeksi RSV dengan suatu perbandingan rintangan dilaporkan 3.87 untuk itu
telah banyak studi atas efek dari perokok pasif pada penyakit yang
berhubungan dengan pernapasan di bayi dan anak-anak. Di dalam suatu
tinjauan ulang yang sistematis dari perokok pasif dan infeksi saluran nafas
bawah pada bayi dan anak-anak, Strachan Dan Cook menunjukkan suatu
perbandingan digabungkan dari 1.57 jika kedua orang tua perokok dan suatu
perbandingan dari 1.72 jika ibu yang merokok. Stock Dan Dezateux
meninjau 20 kasus studi dari fungsi berkenaan dengan paru-paru di bayi.
Studi ini menunjukkan suatu penurunan fungsi paru-paru di bayi para ibu
yang merokok selama kehamilan. Aliran Expirasi berkurang kira-kira 20%.
ukuran lain-lain fungsi berkenaan dengan paru-paru demikian juga abnormal.
Bapak yang merokok juga mempunyai suatu efek, prevalensi penyakit
bidang berhubung pernapasan bagian atas meningkat dari 81.6% ke 95.2% di
bayi di bawah 1 tahun usia jika hanya bapak yang merokok.
Air susu ibu (ASI) telah menunjukkan mempunyai faktor kebal
terhadap RSV yang mencakup immunoglobulin G dan Suatu antibodies 160
dan interferon-161. ASI telah pula ditunjukkan untuk mempunyai
menetralkan aktivitas melawan terhadap RSV. Di satu studi merujukan ke
rumah sakit yang relatif dengan RSV adalah anak-anak yang tidak diberi ASI
17
.Di dalam studi lain, 8 ( 7%) dari 115 anak-anak di opname dengan infeksi
RSV adalah disusui, dan 46 ( 27%) dari 167 pasien sebagai kendali disusui.
Suatu meta-analysis hubungan menyusui dengan opname untuk
infeksi saluran nafas bawah di (dalam) awal kelahiran menguji 33 studi,
semua dari yang menunjukkan suatu asosiasi bersifat melindungi antara
menyusui dan resiko opname untuk infeksi saluran nafas bawah. Sembilan
studi dijumpai pada semua ukuran-ukuran pemasukan analisa. Kesimpulan
adalah bahwa bayi yang tidak disusui ASI hampir meningkatakan resiko yang
lebih besar lipat tiga diopname untuk infeksi saluran nafas bawah dibanding
yang disusui ASI eklusif untuk 4 bulan ( perbandingan resiko: 0.28).
2.8.Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pertama
sekali dapat dicatat bahwa bayi dengan bronkiolitis menderita suatu infeksi
ringan yang mengenai saluran pernapasan bagian atas disertai pengeluaran
sekret-sekret encer dari hidung dan bersin-bersin. Gejala-gejala ini biasanya
akan berlangsung selama beberapa hari dan disertai demam dari 38,50C
hingga 39 C, akan tetapi bisa juga tidak disertai demam, bahkan pasien bisa
mengalami hipotermi. Pasien mengalami penurunan nafsu makan, kemudian
ditemukan kesukaran pernafasan yang akan berkembang perlahan-lahan dan
ditandai dengan timbulnya batuk-batuk, bersin paroksimal, dispneu, dan
iritabilitas. Pada kasus ringan gejala akan menghilang dalam waktu 1-3 hari.
Kadang-kadang, pada penderita yang terserang lebih berat, gejala-gejala
dapat berkembang hanya dalam beberapa jam serta perjalaan penyakitnya
akan berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-muntah dan diare
biasanya tidak didapatkan pada pasien ini. Kebanyakan bayi-bayi dengan
penyakit tersebut, mempunyai riwayat keberadaan mereka diasuh oleh orang
dewasa yang menderita penyakit saluran pernafasan ringan pada minggu
sebelum awitan tersebut terjadi pada mereka. Disamping itu, kita juga harus
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan
18
wheezing.
Pemeriksaan fisik memperlihatkan seorang bayi mengalami distres
nafas takipneu, kadang-kadang disertai sianosis, dan nadi juga biasanya
meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot pembantu
pernafasan yang mengakibatkan terjadinya retraksi pada daerah interkostal
dan daerah sub kostal. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya
hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi
yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop, serta terdapat crackles.
Hepar dan lien akan teraba beberapa cm dibawah tepi batas bawah
tulang iga. Keadaan ini terjadi akibatt pendorongan diafragma kebawah
karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Suara riak-riak halus yang
tersebar luas juga dapat terdengar pada bagian akhir inspirasi. Fase ekspirasi
pernafasan akan memanjang dan suara-suara pernapasan juga bisa hampir
tidak terdengar jika sudah berada dalam kasus yang berat.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory
Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas
berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih
dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam
kategori ringan. Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan
berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95%
merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat
inap.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Jumlah dan hitung jenis lekosit
biasanya normal. Limfopenia yang biasanya berhubungan dengan penyakit-
penyakit virus, tidak ditemukan pada penyakit ini. Biakan-biakan bahan yang
berasal dari nasofaring akan menunjukkan flora normal. Virus dapat dapat
diperlihatkan di dalam sekresi nasofaring melalui fluresensi imunologis
dalam suatu peningkatan titer-titer darah atau dalam biakan.Gambaran
radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat
paru-paru mengembang ( hyperaerated ). Bisa juga didapatkan bercak-bercak
19
yang tersebar, mungkin atelektasis ( patchy atelectasis ) atau pneumonia (
patchy infiltrates ). Pada rontgen -foto lateral, didapatkan diameter AP yang
bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan rontgen foto
dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang
menyempit, jantung terangkat,diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter
anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal,
pembuluh darah paru tampak tersebar.
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan
aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus
tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif
pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen
RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas
pemeriksaan ini adalah 80-90%.
2.9. Diagnosis Banding
1. Asma bronchial
Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama,
mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat
memanjang, eosinofilia dan respons perbaikan segera pada pemberian satu
dosis albuterol aerosol.
2. Pneumonia
Terdapat gejala batuk dengan napas cepat, tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam, adanya demam, crackels/ronkhi, pernapasan cuping
hidung dan grunting/merintih.
2.10. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel
darah putih pada umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung
jenis mungkin normal atau bergeser kekanan atau kekiri
20
Urin
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai
balance cairan dan kemungkinan dehidrasi.
Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh
infeksi/peradangan tetapi dapat membantu menerka beratnya derajat
dehidrasi.
Analisa gas darah
Analisa gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat,
terutama yang menuntut ventilasi mekanik atau buatan.
Radiologi
Foto sinar x dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan
lateral. dapat terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit)
o Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah
nonspesifik dan mungkin juga dapat pada gambaran pasien dengan
sakit asma, pneumonia yang tidak lazim atau karena virus, dan aspirasi
cairan.
o Ateletaksis fokal
o Gambaran udara yang terperangkap
o Gambaran sekat diafragma yang rata
o Peningkatan gambaran Garis tengah Antero posterior
o Peribronchial Cuffing
o Foto sinar x dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk diagnosa
banding, seperti pneumonia lobaris , gagal jantung kongestif, atau
aspirasi benda asing.
2.11. Penatalaksanaan dan Pengobatan
1 Penatalaksanaan
Arah utama untuk pengobatan pasien dengan bronkiolitis adalah
dengan penggantian cairan dan suplemen cairan. Pada pasien biasanya
mengalami dehidrasi ringan dikarenakan berkurangnya asupan cairan dan
21
banyak kehilangan cairan melalui demam dan takipnea. Pengguanan cairan
tambahan agar diawasi agar tidak terbentuknya formasi edema paru. Terapi
supportive adalah mendeteksi cepat bila ada apnea dan memberikan
perhatian khusus terhadap demam.
2 Pengobatan
Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator merupakan kontroversi pada neonatus
dan bayi. Pada tahun 1993 editorial dari Lancet masih tidak
memperkenankan penggunaan bronkodilator pada pasien-apsien
bronkiolitis yang jelas tidak efektif. Kellner dkk., mereka menyimpulkan
bahwa terdapat peningkatan ringan dari perbaikan sementara pada pasien
dengan bronkiolitis sedang sampai berat.
Kortikosteroid
Disamping aturan utama inflamasi sebagai patoghenesis terjadinya
sumbatan saluran nafas, kortikosteroid sebagai anti inflamsi tidak terbukti
menguntungkan untuk meningkatkan status klinis pada studi klinis multi-
instusional. Dibuktikan dalam penelitan yang ada maka penggunaan
dexamethasone atau glukokortikosteroid lain pada anak-anak tidak dapat
didukung. Nebulasi ephinefrin (0,1 mg/Kg BB) ditemukan lebih efektif
daripada B-agonis salbutamol pada bayi dengan bronkiolitis akut. Pada
studi yang dilakukan henderson dkk, tidak ditemukannya peningkatan
signifikan fungsi respirasi pada penggunaan inhalasi adrenalin.
Kesimpulan yang didapat bahwa adrenalin inhalasi tidak mengurangi
obstruksi saluran nafas. Berdasarkan percobaan random terkontrol untuk
membandingkan subcutaneus ephinefrin dan nebulalisasi ephinefrin
dengan plasebo ditemukan peningkatan yang signifikan pada pasien yang
diterapi dengan ephinefrin dalam hal peningktan perbaikan oksigenasi dan
tanda klinis. Kortikosteroid yang digunakan adalah prednisone,
prednisolon, mertilprednison, hidrokortison, dan deksametason. Rata- rata
dosis per hari berkisar antara 0,6- 6,3 mg/kgBB dan rata- rata total paparan
antara 3,0 – 18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral,
22
intramuscular, dan intravena.
Antikolinergik
Ipratropium bromide adalah zat antikolinergik dalam bentuk
aerosol, tidak dapat menunjukkan bukti dapat membantu dalam
manajemen dari bayi yang sakit. Hal ini menunjukkan tidak ada
keuntungan klinis dibandingkan dengan pengobatan albuterol tersendiri
pada kasus bronkiolitis sedang sampai berat.
Antibiotik
Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan
rutin dari antibiotik sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi
mengarah ke arah lebih buruk dan menunjukkan kenaikan dari hitung sel
darah putih kedepannya menunjukkan tanda-tanda sepsis, selanjutnya
kultur bakteri dari darah, urine, dan cairan LCS sebaiknya diambil dan di
follow up segera dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Penelitian
yang dilakukan oleh Kupperman dkk. dari 156 bayi dibawah umur 24
bulan yang sebelumnya sehat dengan sedikit demam dan menderita
bronkiolitis, menunjukkan bahwa bayi-bayi ini mau tidak mau menderita
bakteremia dan menderita infeksi saluran kemih.penggunaan rutin dari
antibiotik tidak menunjukkan perbaikan dari bronkiolitis.
Heliox
Heliox (campuran antara helium dengan oxygen) telah digunakan
pada pasien asma akut. telah ada laporan kasus yang menyatakan dan
menjelaskan tentang penggunaan heliox pada bayi laki-laki umur 4 bulan
dengan bronkiolitis positif RSV. Heliox mungkin bermanfaat sebagai
tambahan untuk terapi konvensional pada pasien bronkiolitis dalam
keadaan kritis. Bagaimanapun studi klinis dari terapi ini sangat diperlukan
untuk mengetahui keefektifan terapi ini. Hal ini dimungkinkan bahwa
heliox dengan terapi nebulalisasi dapat sangat berguna pada bayi dengan
bronkiolitis berat atau pasien terpasang intubasi dan tidak merespon
dengan terapi konvensional.
Ventilasi mekanik
23
Bayi dengan bronkiolitis kadang-kadang memerlukan ventilasi
mekanik khususnya pada kasus apneu berulang atau peningkatan usaha
nafas pada gagal nafas. Terapi pada pasien seperti ini adalah terapi suportif
, dengan pemberian oksigen yang adekuat baik continous positive airway
pressure (CPAP) dan intermitent mandattory ventilation (IMV) dengan
possitive end-distending pressure (PEEP) telah digunakan dan sukses
sebagai terapi pada bayi tersebut. Penyapihan awal pada hari ke-2 sampai
ke-3 biasanya tidak sukses setelah kesakitan berkurang, untuk itu
penyapihan dilakukan segera. Bayi dengan hypoxemia progresiv tidak
merespon ventilasi konvensional biasanya merespon penggunaan ventilasi
frekuensi tinggi atau extracorporeal oksigenasi membran. experimen terapi
terkini untuk bayi dengan insuffisiensi pulmonal dari bronkiolitis meliputi
surfaktan dan nitrit oksida.
Antivirus ( Ribavirin )
Ribavirin ( 1 beta-D-ribafuranosyl-1,2,4-triazole-3-carbox-amide)
adalah analog nukleosida sintetik yang menggabungkan guanosin dan
inosin tampaknya di buat untuk mempengaruhi RNA massenger dan
menghambat sintesis protein virus. Ribavirin mempunyai spektrum luas
aktivitas antiviral invitro. Terapi ribavirin untuk infeksi RSV masih
kontroversial dikarenakan masih ada penggunaan aerosol, harga yang
relatif mahal, toxisitas dan efek samping.
Saat ini rekomendasi dari AAP terapi dengan ribavirin aerosol
sedang dipertimbangkan untuk bayi-bayi dengan resiko tinggi penderita
penyakit karena RSV :
a. Diantara mereka dengan komplikasi penyakit jantung kongenital
termasuk didalamnya hipertensi portal dan juga mereka yang menderita
displasie bronkopulmonar, kistik fibrosis dan penyakit paru kronik
lainnya.
b. Mereka yang menderita penyakit yang didasari oleh penyakit imun.
c. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan umur kurang dari 6 minggu
dengan penyakit penyerta seperti anomali kongenital multipel atau
24
penyakit neurologi metabolik.
Kesimpulannya ribavirin merupakan terapi yang aman tapi mahal,
efisiensi dan keefektifannya tidak tampak jelas menunjukan dalam
penelitian. Penggunaan ribavirin secara rutin pada saat ini kurang
direkomendasikan.
2.12. Pencegahan
Penyebaran dari RSV kemungkinan terjadi karena kontak langsung
dengan sekret pasien yang terinfeksi. Pencegahan penting pada staf rumah
sakit seperti perhatian khusus terhadap kebersihan sekret pasien dan
kebersihan badan petugas rumah sakit tampaknya dapat mengurangi
penyebaran RSV di rumah sakit. Saat ini menggunaan RSV imunoglobulin
intra vena pada dosis tinggi (500-750 mg/Kg BB) tampaknya dapat
mencegah RSV pada pasien resiko tinggi, sebagai tambahan RSV
imunoglobulin intra venus dalam bentuk aerosol dapat memberikan
keuntungan pada pasien dengan bronkiolitis karena RSV. Dalam penelitian
baru oleh Rimensberger, dkk., menyimpulkan bahwa dosis tunggal RSV
imunodlobulin intra vena (0,1 gr/Kg BB) tidak menunjukan keuntungan
untuk bronkiolitis akut karena RSV.Saat ini tampaknya ada kerugian yang
ditimbulkan oleh penggunaan human polyclonal RSV- Imunoglobulin
antibodi spesifik pada bayi. Hal ini meliputi penggunaan bulanan secara
intra vena antara 2-4 jam.
2.13. Prognosis
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan,
dan penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun,
prematuritas). Anak biasanya dapat mengatasi serangan tersebut sesudah 48
– 72 jam. Mortalitas kurang dari 1 %. 1 Anak biasanya meninggal karena
jatuh ke dalam apneu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi
25
atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipneu dan kurang makan-
minum.
Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat
dengan bronkhiolitis mempunyai kecendrungan menderita asma dan
penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan dengan kontrol. Hal
ini menunjukkan adanya hipereaktifitas bronkhial yang menetap selama
beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik para
RSV positif, maupun RSV negatif. Tidak dapat dibuktikan secara jelas
bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecendrungan asma,
keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat
mengurangiprevalesi asma pada anak dari kelompok pengobatan. Kelainan
ini sebagian dapat dijelaskan melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki
hantaran pernafasan total rendah lebih mungkin mengalami bronkiolitis
dalam responnya terhadap infeksi virus pernafasan. Bayi dengan bronkiolitis
yang padanya berkembang saluran pernafasan reaktif kemungkinan besar
mempunyai riwayat keluarga asma dan alergi, episode bronkiolitis akut
lama, dan terpajan asap rokok.
26
BAB III
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang . Berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik didapatkan pasien berusia 1 tahun 3 bulan datang dengan
keluhan sesak nafas disertai dengan batuk dan pilek,saat sesak pasien malas
makan dan minum, dari pemeriksaan fisik didapatkan respiratory rate 52
kali/mnt, dari pemeriksaan thorax wheezing yang jelas dari kedua lapang
paru,leukosit dalam batas normal pada pemeriksaan foto thoraxterlihat gambaran
hiperinflasi paru (emfisema) serta dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar.
selain itu, adapun factor resiko terjadinya bronkiolitis pada pasien laporan
kasus ini yaitu pajanan asap rokok. Ayah pasien ini, merokok tiap harinya. Hal
lain yang mungkin dapat menjadi factor resiko yaitu kondisi lingkungan sekitar
rumah pasien. Menurut pengakuan ibu pasien, rumahnya terletak di lingkungan
penduduk yang padat. Selain itu, di dekat lingkungan tempat tinggal pasien
banyak penggemar burung punyuh
Pada pasien ini diberikan terapi oksigen nasal kanul 2 liter/menit untuk
memberi kebutuhan oksigen pada pasien ini. Pemberian IVFD D5 ¼ NS 30 tetes
mikro per menit bertujuan sebagai penggantian cairan dan suplemen cairan. Pada
pasien tersebut biasanya mengalami dehidrasi ringan dikarenakan berkurangnya
asupan cairan dan banyak kehilangan cairan melalui demam dan takipnea.
Pengguanan cairan tambahan agar diawasi agar tidak terbentuknya formasi edema
paru. Paracetamol syr sebagai penurun demam. Sedangkan pemberian Injeksi
ampicilin 4 x 250 mg IV pada pasien ini yaitu sebagai profilaksis infeksi sekunder
yang disebabkan oleh bakteri.
Pemberian kortikosteroid yaitu Injeksi dexametason 3 x 1/3 amp pada pasien
ini sebagai antiinflamasi, karena pada patogenesis terjadinya sumbatan saluran
nafas dapat disebabkan oleh proses inflamasi. Namun penggunaan anti inflamasi
ini belum terbukti menguntungkan untuk meningkatkan status klinis pada studi
27
klinis multi-instusional. Dibuktikan dalam penelitan yang ada maka penggunaan
dexamethasone atau glukokortikosteroid lain pada anak-anak tidak dapat didukun.
Nebulisasi Farbivent 1 ampul tiap 8 jam diberikan pada pasien ini yaitu
sebagai terapi yang dapat memperbaiki mukosilier pasien bronkiolitis, disamping
efek sebagai bronkodilator, ambroxol syr 3 x 1/3 cth.
28
Daftar Pustaka
1. Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010.
Hal : 333-347.
2. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.2005. Hal : 348-350..
3. Mereinstein Gerald B, David W Kaplan, Adam A Rosenberg. Buku
zPegangan Pediatri. Edisi 17. Jakarta : Penerbit Widya Medika. 2002. Hal
:506-507.
4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Textbook of Pediatric.
Edisi ke-16. Philadelphia : WB Saunders, 2000.Hal : 1112-1114; 1484-
1486.
5. Garna H Herry. Pedoman Diagnosis Ilmu Kesehatan Anak. Bandung :
Penerbit FK Unpad. 2005. Hal : 400-402.
6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD.Rudolph's Pediatrics. Edisi ke-
20. California : Prentice Hall International Inc. 1996. Page : 671-676;
1636-1638.
7. Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Pedoman Pelayanan Medis RSCM.
Jakarta : Penerbit FKUI. 2004. Hal : 465-466.
8. Setiawati Landia. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya : Penerbit FK Unair. 2008. Hal : 42-47.
9. Bronkiolitis ” : overview. Didapat dari http://www.medicastore.com//.
Diakses tanggal 14 November 2014.
10. “Bronkiolitis”: overview. Didapat dari http://www.cpddokter.com/home.
Diakses tanggal 14 November 2014.
29