makalah fiqh ibadah tajhizul janazah

31
Kata Pengantar Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tajhizul Janazah” ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr.H. Mujar Ibnu Syarif M.Ag. sebagai dosen pengampu mata kuliah Fiqh Ibadah yang telah membimbing penulis dalam menyusun tugas ini. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai bahan pelengkap nilai semester tiga program studi ilmu hukum untuk mata kuliah Fiqh Ibadah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam Jakarta. Makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai tata cara mengurus jenazah atau mayat, yaitu mulai dari memandikan, mengafani hingga menguburkan. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat kepada para pembaca dan penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis i

Upload: dian-oktavia

Post on 11-Apr-2017

459 views

Category:

Law


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Kata Pengantar

Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah

memberikan penulis kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “Tajhizul Janazah” ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat dan salam

senantiasa tercurah kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak

Dr.H. Mujar Ibnu Syarif M.Ag. sebagai dosen pengampu mata kuliah Fiqh Ibadah

yang telah membimbing penulis dalam menyusun tugas ini.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai bahan

pelengkap nilai semester tiga program studi ilmu hukum untuk mata kuliah Fiqh

Ibadah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam Jakarta.

Makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai tata cara

mengurus jenazah atau mayat, yaitu mulai dari memandikan, mengafani hingga

menguburkan.

Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat kepada

para pembaca dan penulis sendiri.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun supaya penulis dapat menyempurnakan makalah selanjutnya.

Jakarta, Oktober 2015

Penulis

i

Page 2: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3

1.3 Tujuan................................................................................................................3

1.4 Manfaat .............................................................................................................4

Bab II Pembahasan ..................................................................................................5

2.1 Memandikan Jenazah ........................................................................................5

2.2 Mengafani Jenazah ..........................................................................................11

2.3 Shalat Jenazah .................................................................................................13

Bab III Penutup......................................................................................................17

3.1 Kesimpulan......................................................................................................17

3.2 Saran.................................................................................................................18

Daftar Pustaka........................................................................................................19

ii

Page 3: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Islam menganjurkan umatnya agar selalu ingat akan kematian1. Ibnu

Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits:

“Rasul Saw. berkata kepada sahabatnya: Malulah kamu kepada Allah, mereka

menjawab: Sesungguhnya kami malu kepada-Nya ya Nabi Allah dan segala puji

baginya. Rasulullah Saw. Bersabda: Bukan begitu, tetapi, Barangsiapa yang

benar-benar malu kepada Allah, hendaklah ia memelihara kepalanya dengan

segala isinya, hendaklah ia memelihara perutnya dengan segala yang terkandung

di dalamnya, dan hendaklah ia mengingat maut dan bala. Dan Barangsiapa yang

menginginkan akhirat, tentulah ia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa

yang berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah malu terhadap Allah dengan

sebenar-benarnya.”

Orang yang sakit hendaklah bersikap sabar, namun, ia disunnahkan

berobat2, sesuai dengan hadits:

“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikan tiap-tiap

penyakit ada obatnya. Oleh karena itu, berobatlah kamu, tetapi, janganlah

berobat dengan yang haram.”

Dalam pada itu hendaklah ia senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT

karena Nabi Saw. bersabda:

“Jangan seseorang kamu mati, kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada

Allah.”

1 Lahmuddin Nasution, Fiqh 1 (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), hlm. 129.

2 Ibid, hlm. 130

Tajhizul Janazah 1

Page 4: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Islam juga menganjurkan umatnya mengunjungi orang yang sedang sakit

(‘iyadat al-maridh), menghibur, dan mendoakannya. Bila tampak tanda-tanda

bahwa orang itu akan segera meninggal dunia3, maka disunahkan melakukan hal-

hal berikut:

1. Mengajarinya (talqin) mengucapkan kalimat tauhid. Nabi Saw. bersabda:

“Ajarilah orang-orang (yang akan) mati diantara kamu, Laa ilaaha illa

Allah.”

2. Membacakan surat Yasin di dekatnya.

3. Menghadapkan wajahnya ke kiblat dan membaringkannya pada lambung

kanan; bila ini tidak mungkin ia ditelentangkan, dengan kaki ke arah kiblat

dan kepalanya ditinggikan agar menghadap kibat pula.

Apabila orang itu telah meninggal dunia, hendaklah seorang dari

mahramnya yang paling mencintainya dan sama jenis kelamin dengannya4

melakukan hal-hal berikut:

1. Menutupkan kedua matanya,

2. Mengikat sehelai kain lebar dari dagu ke kepalanya,

3. Melemaskan persendian-persendiannya,

4. Menanggalkan pakaiannya,

5. Menutupi seluruh badannya dengan kain tipis,

6. Meletakkan sesuatu yang agak berat di atas perutnya,

7. Menghadapkannya ke kiblat,

8. Membayar hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiatnya.

Setelah hal-hal ini ada empat kewajiban (fardhu kifayah) yang harus

dilakukan terhadap jenazah, yaitu memandikan, mengafani, menshalatkan, dan

menguburkannya.

1.2 RUMUSAN MASALAH3 Ibid.

4 Ibid, hlm.131

Tajhizul Janazah 2

Page 5: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Dengan mengetahui uraian singkat di atas, maka rumusan masalahnya:

1.2.1 Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memandikan jenazah?

1.2.2 Bagaimana tata cara memandikan jenazah?

1.2.3. Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengafani jenazah?

1.2.4. Bagaimana tata cara mengafani jenazah?

1.2.5 Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan shalat

jenazah?

1.2.6 Apa sajakah rukun shalat jenazah?

1.3 TUJUAN

1.3.1 Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memandikan jenazah.

1.3.2 Mengetahui tata cara memandikan jenazah.

1.3.3 Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengafani jenazah.

1.3.4 Mengetahui tata cara mengafani jenazah.

1.3.5 Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan shalat

jenazah.

1.3.6 Mengetahui rukun shalat jenazah.

1.4 MANFAAT

Tajhizul Janazah 3

Page 6: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca sebagai

suatu rujukan atau referensi untuk mengetahui tuntunan dalam mengurus jenazah

mulai dari memandikan, mengafani hingga menshalatkan jenazah.

BAB II

Tajhizul Janazah 4

Page 7: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

PEMBAHASAN

2.1 MEMANDIKAN JENAZAH

Jenazah orang Muslim wajib dimandikan, kecuali orang yang mati syahid,

yakni yang terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir.5

Dasar wajibnya memandikan jenazah ialah hadits Nabi Saw, berkenaan

dengan seseorang yang meninggal karena jatuh dari untanya:

“Mandikanlah ia dengan air dan sidrin (daun bidara).”

Sedangkan, pengecualian orang yang mati syahid didasarkan pada hadits

tentang para korban perang Uhud:

“Bahwasanya Nabi Saw memberi perintah sehubungan dengan para

korban yang terbunuh pada perang Uhud, mereka dikuburkan dengan pakaiannya

dan tidak disembahyangkan.”

Jabir r.a. berkata, “Rasulullah Saw, bersabda, ‘Kuburkanlah mereka

dengan kondisi berdarah’(para syuhada perang uhud) dan mereka pun tidak

memandikannya.”

Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Aku adalah saksi bagi mereka,

kafanilah dalam kondisi berdarah. Sesungguhnya, seseorang yang luka berdarah

(dijalan Allah) kecuali kelak datang dihari kiamat dengan luka darahnya berbau

misk (parfum).” (HR. Imam Bukhari, Abu Daud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibnu

Majah dan Al-Bayhaqi dari Ibnu Jabir r.a) .

Annas Bin Malik r.a. berkata, “Sesungguhnya, para syuhada dalam

perang Uhud tidak ada yang dimandikan, dan mereka dikuburkan dengan

5 Ibid.

Tajhizul Janazah 5

Page 8: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

lumuran darahnya serta tidak ada yang dishalati (kecuali Hamzah).” (HR. Abu

Daud, Al-Hakim, At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, dan Ahmad).

Sekurang-kurangnya memandikan jenazah itu ialah dengan mengalirkan

air ke seluruh tubuhnya. Untuk lebih sempurna, memandikan dilakukan dengan

mengindahkan hal-hal berikut:

1. Di tempat yang sunyi, yaitu di tempat yang hanya terdapat orang yang

memandikan dan pembantunya, serta wali jenazah itu sendiri.

2. Jenazah diletakkan di tempat yang agak tinggi, dipan misalnya agar air

bebas mengalir dan tidak menggenangi tubuhnya.

3. Jenazah dimandikan dalam pakaian gamis, atau ditutupi dengan kain.

A’isyah berkata:

“Rasulullah Saw dimandikan dengan mengenakan gamis. Mereka

menuangkan air dan menggosoknya dari atas gamis tersebut.”

4. Hendaklah menggunakan air dingin, sebab air dingin menguatkan

badannya. Lalu air tersebut dicampur dengan daun bidara atau yang

serupa seperti sabun dan yang lainnya.6

5. Memandikan tiga kali lebih, sesuai yang dibutuhkan atau yang dilihat

perlu oleh orang-orang yang memandikannya dan hendaklah

memandikan dengan hitungan ganjil (3 kali, 5 kali, atau 7 kali, dan

seterusnya).7

6. Melepaskan gulungan dan kepangan rambut, mencucinya dengan baik,

dan menguraikan rambutnya.8

7. Bagi wanita dibuat tiga kepang rambutnya kemudian diletakkan di

belakang.9

6 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah. (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm.61.7 Ibid.8 Ibid.9 Ibid, hlm. 62

Tajhizul Janazah 6

Page 9: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

8. Memulai memandikannya dari sebelah kanan dan anggota badan yang

biasa dibasuh ketika berwudhu.10

9. Membersihkannya (memandikannya) dengan menggunakan kain

pembersih atau yang semisalnya.11

10. Aurat jenazah haram dilihat, sedangkan bagian tubuh lainnya tidak.

Namun dianjurkan agar orang yang memandikan itu tidak melihatnya

lebih dari batas yang diperlukan.12

Nabi Saw. bersabda kepada Ali RA.:

Janganlah engkau memandang kepada paha orang yang baik yang

hidup maupun yang mati.

11. Orang yang memandikan itu hendaknya adalah orang yang amin, yaitu

dapat menyimpan rahasia. Bila ia melihat hal-hal yang baik pada

jenazah, ia disunnahkan menyebutkannya, tetapi hal-hal yang buruk

haram diungkapkannya.13

Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata:

Janganlah ada yang memandikan jenazah kamu kecuali orang yang

terpercaya.

12. Pada akhir memandikannya hendaklah mencampuri airnya dengan

parfum, kapur barus, dan sebagainya. Tetapi, pengecualian bagi orang

yang meninggal dalam keadaan berpakaian ihram, maka ketika

dimandikan airnya tidak boleh dicampur dengan aroma apapun.14

13. Jumhur ulama sepakat bahwa hendaklah yang memandikan mayat laki-

laki adalah orang laki-laki dan yang memandikan mayat perempuan

adalah orang perempuan. Pengecualian bagi suami istri diperbolehkan

memandikan yang lain. Misalnya, jika istri meninggal, maka suami 10 Ibid.11 Ibid.12 Nasution, Op. Cit., hlm. 132

13 Ibid, hlm. 13314 Al-Albani, Op. Cit., hlm. 61-63

Tajhizul Janazah 7

Page 10: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

boleh memandikannya, dan sebaliknya. Tetapi, Imam Abu Hanifah

mengemukakan pendapat yang berbeda karena beliau memandang

kematian sama dengan talaq, yakni bahwa suami tidak dibenarkan

memandikan istrinya.15 Dalam hal ini, jumhur ulama mendasarkan

pendapat mereka kepada dua dalil:

a. Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Kalau aku berniat mengerjakan sesuatu

pastilah tidak akan mundur, dan tidak ada yang berhak memandikan

beliau kecuali istri-istrinya.”

b. Aisyah r.a., berkata, “Suatu hari Rasulullah Saw. kembali dari Baqi’, dan

didapatinya aku sedang sakit kepala dan berkata, “Aduh kepalaku.” Lalu

beliau bersabda, Bahkan aku juga, hai A’isyah, aduh kepalaku.”

Kemudian beliau bersabda lagi, “Apa yang membuatmu susah? Kalau

engkau mati sebelumku, aku akan memandikanmu, mengafanimu,

menshalatkanmu, dan menguburkanmu.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu

Majah, Ibnu Hisyam Ad-Daraquthni, dan Al-Baihaqi).

14. Orang yang mengurusi proses memandikan mayat hendaklah orang-

orang yang paling mengetahui sunnahnya, khususnya dari kalangan

kerabat.16 Hal ini seperti yang dilakukan orang-orang dahulu ketika

memandikan Rasulullah Saw., Ali r.a. berkata, “Aku telah

memandikan Rasulullah Saw, lalu aku perhatikan mayat itu seolah aku

tidak dapati sesuatu. Beliau sangat baik (jasadnya) ketika hidupnya

juga saat matinya.” (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi).

15. Bagi orang yang memandikan mayat disediakan pahala yang besar,

namun dengan dua syarat yang perlu diperhatikan17:

Pertama, hendaklah merahasiakan apa yang telah dilihatnya dari sang

mayat hal-hal yang mungkin kurang disenangi.

15 Nasution, Op. Cit., hlm. 13416 Al-Albani, Op. Cit., hlm. 6417 Ibid.

Tajhizul Janazah 8

Page 11: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Kedua, hendaknya seseorang dalam melakukannya (memandikannya)

hanya semata-mata mencari ridha Allah SWT., tidak mengharapkan

balasan apapun dari segala urusan dunia. Hal ini mengingatkan

ketetapan Allah yang disyariatkan-Nya bahwa Allah tidak mau

menerima segala peribadahan kecuali yang benar-benar murni

ditujukan bagi-Nya. Dalil tentang hal ini sangat banyak, baik dari Al-

Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya, dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 10.

16. Bagi orang yang telah memandikan mayat, lebih disukai untuk mandi.

Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa yang selesai

memandikan mayat, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud,

At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ath-Thayalusi, dan Ahmad lewat beberapa

jalur sanad yang semuanya dari Abu Hurairah r.a.)

Adapun tata cara memandikannya, mula-mula jenazah didudukkan secara

lemah lembut, dengan posisi miring ke belakang. Orang yang memandikan

meletakkan tangan kanan di bahu dengan ibu jarinya pada lekukan tengkuk dan

lututnya menahan punggung jenazah. Lalu, perut jenazah diurut dengan tangan

kiri untuk mengeluarkan kotoran yang mungkin keluar. Kemudian, jenazah

ditelentangkan dan kedua kemaluannya dibersihkan dengan tangan kiri yang

dibalut dengan perca. Setelah perca pembalut tangan diganti, gigi dan lubang

hidungnya dibersihkan pula.

Berikutnya, jenazah diwhudu’kan seperti wudhu’ orang hidup. Setelah itu

kepalanya, kemudian janggutnya, dibasuh dengan menggunakan sidrin (daun

bidara), dan dirapikan dengan sisir kasar, dengan memperhatikan agar rambut

yang gugur dikembalikan. Kemudian dibasuh bagian kanan, setelah itu bagian kiri

badannya, lalu tubuhnya dibaringkan ke kiri dan dibasuh bagian belakang badan

sebelah kanan, kemudian tubuhnya dibaringkan ke kanan dan dibasuh pula bagian

badan belakang sebelah kiri. Semua ini menggunakan air bercampur sidrin (daun

bidara). Setelah itu bekas sidrin (daun bidara) tadi dihilangkan dengan

Tajhizul Janazah 9

Page 12: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

menyiraminya secara merata dengan air bersih. Kemudian sekali lagi disiram

dengan air bercampur sedikit kapur.

Dengan melakukan rangkaian tata cara memandikan jenazah ini, berarti

telah selesai satu kali mandi, namun masih disunnahkan melakukan hal seperti itu

sampai tiga kali.

Nabi Saw bersabda kepada para wanita yang memandikan putrinya,

Ummu Kulsum:

“Kamu mandikanlah dia tiga kali atau lima atau lebih jika kamu pandang

hal itu perlu, dengan air dan sidrin (daun bidara); dan taruhlah kapur, atau

sedikit kapur, pada yang terakhir. Mulailah dengan bagian sebelah kanan dan

tempat-tempat wudhu’nya.” (HR. Bukhari)

Apabila ternyata setelah selesai dimandikan masih ada najis yang keluar,

maka najis itu wajib dibersihkan.

Dalam hal ini ada pendapat yang mengatakan bahwa istri lebih berhak

memandikan jenazah suaminya dari pada kerabatnya dengan alasan istri boleh

melihat bagian-bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh mereka.

Dari kelompok kerabat yang paling berhak memandikan jenazah seorang

laki-laki ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian para ‘asabahnya secara

berurutan, yaitu anak, cucu, saudara, anak saudara, paman, dan anak paman.

Urutan ini berlaku pula pada kerabat perempuan dalam memandikan jenazah

perempuan.

Jadi, untuk memandikan jenazah perempuan didahulukan kerabat

perempuannya yang masih berhubungan mahram, kemudian kerabat yang bukan

mahram, bila tidak ada, maka kerabat laki-laki yang mahram. Kedudukan suami

dalam hal memandikan istrinya sama dengan kedudukan istri dalam hal

memandikan suaminya. Ada pendapat yang mendahulukannya atas para kerabat

perempuan.

Apabila di tempat jenazah laki-laki hanya ada perempuan Ajnabiyah

(bukan mahram) atau pada jenazah perempuan hanya ada laki-laki Ajnabi, maka

jenazah itu tidak dimandikan, melainkan hanya ditayamumkan saja.

Tajhizul Janazah 10

Page 13: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Bagi orang yang telah memandikan mayat lebih disukai untuk mandi. Ini

berdasarkan sabda Rasulullah SAW.,” Barang siapa yang selesai memandikan

mayat maka hendaklah ia berwudhu”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban,

Ath-Thayalusi, dan Ahmad lewat beberapa jalur sanad yang semuanya dari Abu

Hurairah r.a.)

2.2 MENGAFANI JENAZAH

Setelah dimandikan jenazah itu wajib pula dikafani berdasarkan hadist

Nabi Saw., tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya itu:

“Kamu kafanilah dia dengan kedua pakaian yang dipakainya ketika

meninggal itu.”

Juga ada Hadist yang bersala dari Layla binti Qa’if Al-Saqafiyyah :

“Saya termasuk diantara mereka yang memandikan Ummu Kulsum, putri

Rasulullah Saw. Yang pertama kali diberikan kepadaku oleh Rasulullah Saw.,

ialah al-Haqw (sarung), kemudian al-Dir’(gamis), lalu milhafah (selimut).

Setelah itu, jenazah dimasukan kedalam kain yang lain. Layla berkata

selanjutnya: Dalam pada itu Rasulullah Saw., duduk dekat pintu, pada beliau

terdapat kafan yang diberikannya kepada kami satu demi satu.”

Selain itu, diriwayatkan bahwa Nabi Saw. dikafani dengan tiga helai kain

putih, tidak pakai gamis dan tidak pula serban.18

Sekurang-kurang kafan ialah sehelai kain, baik bagi perempuan maupun

laki-laki, sesuai dengan kisah mus’ab ibn Umar yang ketika meninggalnya, kain

yang ada ternyata tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya; bila ditutupkan

ke kepalanya, terbuka kakinya dan bila ditutupkan kekaki kepalanya terbuka. Pada

waktu itu, Rasulullah Saw. bersabda :

“Tutupilah kepalanya dengan kain itu, dan taruh izkhir (sejenis tumbuhan

berbau harum) di kakinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Sebaik-baiknya, laki-laki dikafani dengan tiga helai kain putih, tanpa

gamis dan serban. Satu helai sebagai sarung (izar). Sehelai lagi menutupi badan 18 Nasution, Op. Cit., hlm. 136

Tajhizul Janazah 11

Page 14: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

dari leher hingga mata kaki, dan yang terakhir menutupi seluruh tubuhnya. Untuk

jenazah perempuan, sebaiknya digunakan lima helai, sarung, kerudung, dan gamis

ditambah lagi dengan dua helai lain yang dapat membalut seluruh tubuhnya.

Pada dasarnya, semua bahan yang boleh dipakainya pada waktu hidup

boleh dijadikan sebagai kafannya. Sebaiknya dipilih bahan yang baik. Sabda Nabi

Saw. dalam riwayat Jabir :

“Bila seseorang kamu mengkafani saudaranya, hendaklah ia membaikkan

kafannya.”

Akan tetapi, makruh menggunakan bahan yang mewah, sebabAli ra.

Meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda :

“Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam hal kafan.”

Biaya untuk pengadaan kafan, diambil dari harta peninggalan si jenazah

sendiri dan keperluan ini didahulukan atas pembayaran hutang-hutangnya. Jika

yang meninggal itu perempuan yang bersuami, maka biaya untuk kafannya

dibebankan kepada suami yang wajib membelanjainya, bila mampu, seperti

pakaiannya sewaktu hidup. Bila jenazah tidak meninggalkan harta maka

kafannyadibebankkan kepada orang yang berkewajiban membelanjainya jika ia

hidup. Jika orang itu tidak ada, maka kafannya diambil dari Bait-al Maal.

Untuk mengenakan kafan itu mula-mula lembaran kafan yang paling baik

dan paling lebar dihamparkan, kemudian diatasnya dihamparkan lembaran-

lembaran yang lainnya, dan masing-masing ditaburi dengan hanut. Kemudian

jenazah ditelentangkan diatasnya, ditaburi dengan hanut, dan ditaruh kapas yang

telah diberi hanut pada mulut, hidungnya, telinga dan kedua kemaluannya, serta

diikat kedua pangkal pahanya (ilyah) dengan perca. Setelah itu kain kafan

dibalutkan satu persatu, dan diikat agar tidak terlepas ketika mengangkutnya,

tetapi ikatan itu dibuka kembali setelah ia berada didalam kuburnya.

Untuk jenazah yang meninggal ketika melaksanakan ihram, maka ia tidak

diberi harum-haruman dan kepalanya tidak ditutup karena Nabi Saw. bersabda

tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya ketika ihram :

Tajhizul Janazah 12

Page 15: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

“Kamu kafanilah ia dengan kedua pakaian yang dipakainya ketika

meninggal itu, dan jangan dekatkan kepadanya wangi-wangian, sebab nanti ia

akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.”

Jenazah hendaknya diangkut oleh orang laki-laki yang cukup kuat dengan

hati-hati dan penuh hormat demikian pula ketika memasukannya ke dalam kubur.

Mereka yang mengangkut jenazah hendaknya berjalan dengan agak cepat.

Menurut Syafi’i, Maliki, dan para ulama Madinah, sebaiknya orang-orang

yang mengiringkan jenazah berjalan dekat di depannya, sesuai dengan praktik

Nabi Saw., Abu Bakr dan Umar r.a, tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa

mereka lebih baik berjalan dibelakangnya seperti yang dilakukan oleh Ali r.a.

Sambil berjalan mengiringkan jenazah disunnahkan berdiam diri sambil

berpikir tentang kematian dan hal-hal yang akan dihadapi sesudahnya dan tentang

fananya dunia ini.

2.3 SHALAT JENAZAH

Jenazah orang muslim wajib dishalatkan, kecuali yang mati syahid dalam

peperangan melawan orang kafir.19 Dasar hukum wajibnya shalat jenazah ialah

Hadist Nabi Saw. :

“Lakukanlah shalat dibelakang (berimam kepada) orang yang

mengucapkan la ilaaha illa Allah,dan (shalat jenazah) atas orang yang

mengucapkan Laa ilaha illa Allah.”

Shalat jenazah itu wajib dilakukan sebelum penguburan karena hukumnya

fardhu kifayah, ia cukup dilakukan satu orang saja, tetapi disunnahkan

melakukannya dengan berjama’ah berdasarkan hadist Nabi Saw. :

“Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal lalu jenazahnya

disembahyangkan oleh empat puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan

19 Ibid, hlm. 139

Tajhizul Janazah 13

Page 16: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Allah dengan sesuatu apapun, kecuali mereka dijadikan Allah sebagai pemberi

syafa’at baginya.” (HR. Muslim)

Seperti halnya memandikan, yang paling berhak untuk memimpin sahalat

jenazah seseorang ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian para

‘ashabahnya secara berurutan, yaitu anak, cucu, saudara anak saudara, paman, dan

anak paman dengan alas an merekalah yang paling berduka atas kematian itu, dan

diaharapkan lebih mustajab, kemudian yang lebih baik qiraat dan lebih faqih

karena dia lebih mulia dan shalatnya lebih sempurna.

Bila jenazah itu laki-laki, maka sebaiknya ia berdiri setentang dengan

kepalanya, tetapi bagi jenazah perempuan imam berdiri setentang pinggangnya.

Dalam satu riwayat tersebut, Annas bin Malik r.a., dalam melakukan

shalat atas jenazah laki-laki ia berdiri setentang dengan kepalanya tetapi ketika

shalat atas jenazah perempuan ia berdiri setentang pinggangnya, lalu Ala’ ibn

Ziyad bertanya, “ Begitukah cara shalat Rasulullah Saw., shalat atas perempuan

setentang pinggang dan atas laki-laki setentang kepalanya?”, Annas menjawab

“ya”.

Sebaiknya untuk tiap-tiap jenazah dilakukan shalat tersendiri, tetapi

boleh juga dilakukan sekaligus satu shalat untuk lebih merka diletakan dari satu

jenazah.20 Dalam hal ini, maka yang paling mulia (afdal) diantara mereka

diletakan paling dekat dengan imam. Bila ada laki-laki dewasa, anak laki-laki,

perempuan, dan khunsa, maka yang diletakan paling dekat pada imam ialah yang

laki-laki, kemudian berturut-turut, anak-anak, khunsa dan perempuan.

Adapun rukun shalat jenazah dilakukan seperti shalat lainnya. Pada shalat

jenazah juga disyaratkan thaharah, menutup aurat, dan menghadap kiblat. Rukun

shalat jenazah ada tujuh, yaitu:

1. Niat atas mayit, seperti shalat lainnya.

20 Ibid, hlm. 140

Tajhizul Janazah 14

Page 17: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

2. Berdiri bila mampu.

3. Takbir empat kali, ini dasarkan pada hadist Abu Hurairah r.a. :

“Bahwasannya Nabi Saw. memberi tahu kematian al-Najasi pada hari

kematiannya; beliau ke mushala, kemudian membariskan orang-orang dan takbir

empat kali.”

Selanjutnya setiap kali shalat jenazah, Nabi Saw. selalu bertakbir empat

kali.

4. Membaca Al-Fatihah, setelah takbir yang pertama, sesuai dengan riwayat dari

Talhah ibn Abdilah ibn Awf :

“Saya melakukan shalat jenazah bersama Ibn Abbas ra. Maka ia

membaca al-fatihah, kemudian berkata : Hendaklah kamu ketahui bahwa itulah

sunnah.”

5. Membaca shalawat atas Nabi Saw., sesudah takbir yang kedua.

6. Doa untuk jenazah tersebut, sesudah takbir yang ketiga.

7. Salam, seperti pada shalat lainnya.

Selain itu, dianjurkan pula untuk memperbanyak shaf shalat jenazah.

Dalilnya seperti berikut.

Rasulullah Saw. Bersabda, “Tidaklah seorang muslim laki-laki meninggal

dunia lalu empat puluh laki-laki berdiri menshalati jenazahnya, yang tidak

menyekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan Allah memberi syafa’at kepada

mereka padanya.”21

21 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatwa-Fatwa Lengkap Seputar Jenazah, terj. Muhammad Iqbal Ghazali, (Jakarta: Darul Haq, 2006) hlm. 101

Tajhizul Janazah 15

Page 18: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam Islam, terdapat empat kewajiban (fardhu kifayah) yang harus

dilakukan terhadap jenazah, yaitu memandikan, mengafani, menshalatkan, dan

menguburkannya.

Tajhizul Janazah 16

Page 19: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Jenazah orang Muslim wajib dimandikan, kecuali orang yang mati syahid,

yakni yang terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir. Terdapat beberapa

hal yang harus diperhatikan dalam memandikan jenazah, diantaranya

memandikannya tempat yang sunyi, jenazah diletakkan di tempat yang agak

tinggi, jenazah dimandikan dalam pakaian gamis, atau ditutupi dengan kain,

hendaklah menggunakan air dingin, sebab air dingin menguatkan badannya lalu

air tersebut dicampur dengan daun bidara atau yang serupa seperti sabun dan yang

lainnya, memandikan tiga kali lebih, sesuai yang dibutuhkan atau yang dilihat

perlu oleh orang-orang yang memandikannya dan hendaklah memandikan dengan

hitungan ganjil (3 kali, 5 kali, atau 7 kali, dan seterusnya), dan sebagainya.

Setelah dimandikan, jenazah wajib pula dikafani, yaitu dengan tiga helai

kain putih, tidak pakai gamis dan tidak pula serbann dan sekurang-kurang kafan

ialah sehelai kain, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Pada dasarnya, semua

bahan yang boleh dipakainya pada waktu hidup boleh dijadikan sebagai kafannya.

Tetapi, makruh menggunakan bahan yang mewah. Biaya untuk pengadaan kafan,

diambil dari harta peninggalan si jenazah sendiri dan keperluan ini didahulukan

atas pembayaran hutang-hutangnya.

Jenazah orang muslim wajib dishalatkan, kecuali yang mati syahid dalam

peperangan melawan orang kafir. Shalat jenazah wajib dilakukan sebelum

penguburan karena hukumnya fardhu kifayah, ia cukup dilakukan satu orang saja,

tetapi disunnahkan melakukannya dengan berjama’ah. Seperti halnya

memandikan, yang paling berhak untuk memimpin sahalat jenazah seseorang

ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian para ‘ashabahnya secara berurutan.

Bila jenazah laki-laki, maka sebaiknya ia berdiri setentang dengan kepalanya,

tetapi bagi jenazah perempuan, imam berdiri setentang pinggangnya. Adapun

rukun shalat jenazah ada tujuh, yaitu niat atas mayit, berdiri bila mampu, takbir

Tajhizul Janazah 17

Page 20: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

empat kali, membaca Al-Fatihah setelah takbir yang pertama, membaca shalawat

atas Nabi Saw sesudah takbir yang kedua, doa untuk jenazah tersebut, sesudah

takbir yang ketiga, dan salam.

3.2 Saran

Setelah menyelesaikan tugas makalah Fiqh Ibadah ini, banyak hal yang

dapat kita pelajari mengenai tajhizul janazah. Semoga dengan membaca makalah

ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai tuntunan dalam

mengurus jenazah supaya dapat dipraktikkan di kehidupan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Lahmuddin. Fiqh 1. Jakarta : Bulan Bintang. 1987

Tajhizul Janazah 18

Page 21: Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah.

Jakarta : Gema Insani Press. 1999

Muhammad, Syaikh bin Shalih Al-Utsaimin. Fatwa-Fatwa Lengkap Seputar

Jenazah. Jakarta : Darul Haq. 2006

Tajhizul Janazah 19