makalah klp 6
DESCRIPTION
yaTRANSCRIPT
MAKALAH
WAWASAN KEMARITIMAN
(Nenek Moyangku Seorang Pelaut)
Oleh
Kelompok VI:
AHMAD AMIN I1A3 12 024ABDUL MASHURI I1A3 12 023DEDI I1A3 12 026DEVY PRIMANINGSIH I1A3 12 001SUSANTI I1A3 11 039
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN KONSENTRASI ABALON
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbanyak di
dunia. Pulau–pulau di kepulauan Indonesia dipisahkan oleh samudra, laut maupun
selat. Namun demikian, luas wilayah lautan lebih luas bila dibandingkan dengan
wilayah daratan, oleh karena itu negara Indonesia dikenal sebagai negara maritim.
Selain disebut negara maritim , negara Indonesia dikenal pula sebagai negara
agraris.
Penduduk di kepulauan Indonesia sangat heterogen, terdiri dari bermacam-
macam suku, ras, agama dan masyarakat. Berdasarkan kondisi geografisnya
masyarakat Indonesia dapat dibagi menjadi dua, yaitu masyarakat pesisir dan
masyarakat agraris. Masyarakat pesisir mendiami di wilayah–wilayah sekitar
pantai, sedangkan masyarakat agraris mendiami di daerah pedalaman pulau yang
ada di Indonesia. Kondisi yang demikian menjadikan masyarakat pesisir dan
pedalaman mempunyai perbedaan dalam berbagai aspek kehidupannya.
Masyarakat pesisir atau dapat pula disebut masyarakat laut adalah
sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dekat daerah pantai
dengan ikatan – ikatan tertentu. Masyarakat laut umumnya mendiami daerah–
daerah di sekitar pantai yang ada di pulau–pulau di kepulauan Indonesia. Wilayah
kepulauan Indonesia sebagian besar terdiri dari wilayah perairan yang didalamnya
terdapat ribuan pulau. Atau dengan kata lain, secara geografis Indonesia
berbentuk kepulauan dengan wilayah laut lebih besar dari pada wilayah daratan.
Hal ini memungkinkan peran dari masyarakat laut atau pesisir tidak bisa
dilepaskan dari berbagai segi kehidupan di Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang dikelilingi oleh laut hampir semua
provinsinya memiliki wilayah perairan, kondisi geografis yang demikian
menjadikan Indonesia negara maritim yang mempunyai daerah perikanan laut tak
kurang dari 6,85 juta km2 dan diperkirakan daerah tersebut memiliki kandungan
produksi ikan 10 juta ton pertahunnya. Namun sayangnya dengan potensi kelautan
yang berlimpah itu masyarakat Indonesia belum dapat memaksimalkan potensi
tersebut. Hal ini diakibatkan oleh paradikma pembangunan yang lebih
memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian di pedalaman sehingga
kurang memperhatikan kehidupan masyarakat di daerah pesisir. Sebab lain yang
mengakibatkan kurang diperhatikannya masyarakat didaerah pesisir dari segi
historis karena masih kurangnya para sejarawan yang melakukan penelitian
dibidang kemaritiman. Perhatian para sejarawan pada aspek maritim seperti
perdagangan, pelayaran, perkapalan, perikanan, perompakan, dan sebagainya
masih sangat kurang proporsinya jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya
seperti bidang pertanian, industri, perhubungan politik dan sebagainya. Hal
tersebut mungkin berkaitan dengan pengalaman sebagai bangsa Indonesia yang
semenjak memproklamirkan kemerdekaannya lebih banyak di warnai dengan
persoalan-persoalan kebaratan daripada persoalan-persoalan kebaharian, inilah
yang menyebabkan bangsa Indonesia naluri kebahariaannya semakin tumpul
sehingga kurang mampu melihat apalagi bertindak untuk memanfaatkan dunia
kebahariaan.
Secara geografis wilayah Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang
menempatkan laut sebagai jembatan penghubung bukan sebagai pemisah. Dengan
demikian, penguasaan terhadap laut merupakan suatu keharusan bagi penduduk
yang menghuni pulau–pulau yang ada di Indonesia. Kondisi semacam ini,
membentuk mereka sebagai manusia yang akrab dengan kehidupan laut. Selain
itu, pulau–pulau yang ada di Indonesia letaknya sangat strategis dalam konteks
perdagangan laut internasional antara dunia barat dan dunia timur.
“ Nenek Moyangku Seorang Pelaut….”. Nyanyian itu pastinya tidak lagi
asing di telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita
tentang dendangan lagu tersebut. Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu
tidak hanya sekedar nyanyian belaka. Pelaut sangat identik dengan orang-orang
yang hidup di daerah perairan atau lebih tepatnya disebut dengan laut. Indonesia.
Sebuah negara maritim yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh
luas wilayah negara. Memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya
menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Namun apakah
kenyataannya seperti itu?
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui asal-usul dan
perkembangan pelaut di Indonesia. Adapun manfaat pembuatan makalah ini
adalah menambah wawasan mengenai asal-usul dan perkembangan pelaut di
Indonesia.
II. PEMBAHASAN
A. Asal Usul Pelaut Di Indonesia
Dari buku-buku sejarah baik pelajaran maupun tulisan ilmiah, tidak akan
ada keraguan bahwa nenek moyang kita sejak jaman kerajaan Sriwijaya hingga
Majapahit merupakan pelaut-pelaut tangguh. Pelaut-pelaut Bugis pun tidak
ketinggalan reputasi nya sebagai “orang laut” yang mampu mengarungi samudra.
Para ahli memiliki pandangan masing-masing mengenai asal mula bangsa
Indonesia. Masing-masing berpendapat berdasarkan sudut pandang yang berbeda.
Ada ahli yang menyelidiki asal-usul bangsa Indonesia dari persebaran bahasa, ada
pula yang melihatnya dari persebaran peninggalan artefak-artefak (benda-benda
rumah tangga dari batu, tulang dan logam) atau pun fosil-fosil manusia purbanya.
Berikut ini teori-teori para ahli tentang asal-usul masyarakat Indonesia.
1. Prof. Dr. H. Kern
Ilmuwan asal Belanda, menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari
Asia. Kern berpendapat bahwa bahasa-bahasa yang digunakan di kepulauan
Indonesia, Polinesia, Melanesia, Mikronesia memiliki akar bahasa yang sama,
yakni bahasa Austronesia. Kern menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia berawal
dari satu daerah dan menggunakan bahasa Campa.
Menurutnya, nenek-moyang bangsa Indonesia menggunakan perahu-
perahu bercadik menuju kepulauan Indonesia. Pendapat Kern ini didukung oleh
adanya persamaan nama dan bahasa yang dipergunakan didaerah Campa dengan
di Indonesia, misalnya kata “kampong” yang banyak digunakan sebagai kata
tempat di Kamboja. Selain nama geografis, istilah-istilah binatang dan alat perang
pun banyak kesamaannya. Tetapi pendapat ini disangkal oleh K. Himly dan
P.W. Schmidt berdasarkan perbendaharaan bahasa Campa.
2. Van Heine Geldern
Berpendapat tak jauh berbeda dengan Kern bahwa bahasa Indonesia
berasal dari Asia Tengah. Teori Geldern ini didukung oleh penemuan-penemuan
sejumlah artefak, sebagai perwujudan budaya, yang ditemukan di Indonesia
mempunyai banyak kesamaan dengan yang ditemukan di daratan Asia.
3. Max Muller
Berpendapat lebih spesifik, yaitu bahwa bangsa Indonesia berasal dari
daerah Asia Tenggara. Namun, alasan Muller tak didukung oleh alasan yang
jelas.
4. Willem Smith
Melihat asal-usul bangsa Indonesia melalui penggunaan bahasa oleh
orang-orang Indonesia. Willem Smith membagi bangsa-bangsa di Asia atas dasar
bahasa yang dipakai, yakni bangsa yang berbahasa Togon, bangsa yang berbahasa
Jerman, dan bangsa yang berbahasa Austria. Lalu bahasa Austria dibagi dua, yaitu
bangsa yang berbahasa Austro Asia dan bangsa yang berbahasa Austronesia.
Bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia ini mendiami wilayah Indonesia,
Melanesia, dan Polinesia.
4. Hogen
Menyatakan bahwa bangsa yang mendiami daerah pesisir Melayu berasal
dari Sumatera. Bangsa Melayu ini kemudian bercampur dengan bangsa Mongol
yang disebut bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu
Muda). Bangsa Proto Melayu kemudian menyebar di sekitar wilayah Indonesia
pada tahun 3.000 hingga 1.500 SM, sedangkan bangsa Deutro Melayu datang ke
Indonesia sekitar tahun 1.500 hingga 500 SM.
5. Drs. Moh. Ali
Menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan, Cina.
Pendapat ini dipengaruhi oleh pendapat Mens yang berpendapat bahwa bangsa
Indonesia berasal dari daerah Mongol yang terdesak oleh bangsa-bangsa lebih
kuat sehingga mereka pindah ke selatan, termasuk ke Indonesia.
Ali mengemukakan bahwa leluhur orang Indonesia berasal dari hulu-hulu
sungai besar yang terletak di daratan Asia dan mereka berdatangan secara
bergelombang. Gelombang pertama berlangsung dari 3.000 hingga 1.500 SM
(Proto Melayu) dan gelombang kedua terjadi pada 1.500 hingga 500 SM (Deutro
Melayu). Ciri-ciri gelombang pertama adalah kebudayaan Neolitikum dengan
jenis perahu bercadik-satu, sedangkan gelombang kedua menggunakan perahu
bercadik-dua.
6. Prof. Dr. Krom
Menguraikan bahwa masyarakat awal Indonesia berasal dari Cina Tengah
karena di daerah Cina Tengah banyak terdapat sumber sungai besar. Mereka
menyebar ke kawasan Indonesia sekitar 2.000 SM sampai 1.500 SM. Sedangkan
Mayundar berpendapat bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal
dari India, lalu menyebar ke wilayah Indocina terus ke daerah Indonesia dan
Pasifik. Teori Mayundar ini didukung oleh penelitiannya bahwa bahasa Austria
merupakan bahasa Muda di India bagian timur.
7. Dr. Brandes
Berpendapat bahwa suku-suku yang bermukim di kepulauan Indonesia
memiliki persamaan dengan bangsa-bangsa yang bermukim di daerah-daerah
yang membentang dari sebelah utara Pulau Formosa di Taiwan, sebelah barat
Pulau Madagaskar; sebelah selatan yaitu Jawa, Bali; sebelah timur hingga ke tepi
pantai bata Amerika. Brandes melakukan penelitian ini berdasarkan perbandingan
bahasa.
8. Prof. Mohammad Yamin
Sejarawan Indonesia, Prof. Mohammad Yamin, bahkan menentang teori-
teori di atas. Ia menyangkal bahwa orang Indonesia berasal dari luar kepulauan
Indonesia. Menurut pandangannya, orang Indonesia adalah asli berasal dari
wilayah Indonesia sendiri. Ia bahkan meyakini bahwa ada sebagian bangsa atau
suku di luar negeri yang berasal dari Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, berbicara tentang “laut” rasanya wajib hukumnya
karena Ruang atau Wilayah Hidupya terdiri dari laut yang memiliki besaran 70%
disamping 30% wilayah darat. Dengan diberlakukannya United Nation
Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 sebagai hukum positif
Internasional pada tanggal 16 November 1994 di Montego Bay, maka pokok-
pokok tentang Negara kepulauan telah diakui. Ketektuan ini pun telah
diratifikasikan oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985
sebagai dasar penetapan Negara Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Namun
secara empiris ternyata kia tidak berdaulat sepenuhnya dilaut karena lebih besar
kepentingan maupun kekayaan dilaut dinikmati oleh pihak asing. Bagai mana
mungkin wilayah laut yang kurang lebih 5,8 juta km2 diamankan dengan kekuatan
yang sangat minim dan orientasi ruang hidup bangsa lebih pada wilayah daratan,
sehingga tidak heran kondisi tersebut bisa terjadi.
B. Sejarah Pelaut Nusantara
Ceng Ho dan Colombus adalah dua pelaut ulung yang tersohor di penjuru
dunia. Mereka terkenal sebagai figur tangguh yang berani menantang ganasnya
samudra dengan perahu sejarahnya. Tapi ternyata kepiawaian mereka jauh
ketinggalan dari pelaut Nusantara. Dengan berdasar pada sumber sejarah yang
berlimpah, Dick bercerita tentang pelaut-pelaut nusantara yang sudah
menjejakkan kaki di Afrika sejak abad ke-5 M. Jauh sebelum bangsa Eropa
mengenal Afrika dan jauh sebelum bangsa Arab berlayar ke Zanzibar. Ceng Ho
apalagi, pelaut China yang pernah mengadakan muhibah ke Semarang pada abad
ke-14 M ini jelas ketinggalan dari moyang kita.
Penelitian Dick-read tentang pelaut nusantara ini seperti kebetulan.
Awalnya, ia datang ke mozambik pada 1957 untuk meneliti masa lalu Afrika.
Disana. untuk pertama kalinya mendengar bagaimana masyarakat Madagaskar
fasih berbicara dengan bahasa Austronesia laiknya pemukim di wilayah pasifik. Ia
juga tertarik dengan perompak Madagaskar yang menggunakan Kano (perahu
yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri) yang mirip perahu khas Asia timur.
Ketertarikannya memuncak setelah ia banyak menghadiri seminar tentang masa
lalu Afrika, yang menyiratkan adanya banyak hubungan antara Nusantara dan
sejarah Afrika.
Dalam penelusurannya, Dick-read menemukan bukti-bukti mutakhir
bahwa pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra hindia dan berlayar sampai
Afrika Sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari
mereka.
Diantara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik,
teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj (ras Afro-
Indonesia) dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik
sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat
musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Ada juga
kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria dengan patung dan relief
perahu yang ada di Borobudur.
Beberapa tanaman khas Indonesia yang juga tak luput di hijrahkan ke
sana, semisal pisang raja, ubi jalar, keladi dan jagung. Menurut penelitian George
Murdock, profesor berkebangsaan Amerika pada 1959, tanaman-tanaman itu
dibawa orang-orang Indonesia saat melakukan perjalan ke Madagaskar.
Di afrika juga ada masyarakat yang disebut Zanj yang mendominasi pantai
timur Afrika hampir sepanjang millennium pertama masehi. Lalu siapakah Zanj,
yang namanya merupakan asal dari nama bangsa Azania, Zanzibar dan Tanzania?
Tak banyak diketahui. Tapi ada petunjuk yang mengarahkan kesamaan Zanj
Afrika dengan Zanaj atau Zabag di Sumatera.
Dalam hal ini, Dick mengajukan dugaan kuat keterikatan Zanj,
Swarnadwipa dan Sumatera. Swarnadwipa yang berarti Pulau emas merupakan
nama lain Sumatera. Hal ini dapat dilihat dalam legenda Hindhu Nusantara. Dick
menduga, banyaknya emas di Sumatera ini dibawa oleh Zanj dan pelaut nusantara
dari Zimbabwe, Afrika. Karena, Dick juga menemukan bukti yang menyatakan
tambang-tambang emas di Zimbabwe mulanya dirintis oleh pelaut Nusantara yang
datang ke sana. Sebagian tak kembali dan membentuk ras Afro-Indonesia.
Mungkin ras inilah yang disebut Zanj.
Terlepas dari percaya atau tidak, nyatanya penulis telah menjabarkan
banyak bukti yang menceritakan kehebatan pelaut Nusantara. Hal ini tentu
menjadi kebangaan tersendiri bagi kita sebagai keturunannya.
Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada
paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil
sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan
Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang
bangsa Indonesia.
Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read
(Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan
memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini,
antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah
berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak
peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika. Buku ini bercerita
tentang pelaut-pelaut Nusantara yang berlayar sampai ke Afrika pada masa
lampau, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika selain gurun Saharanya, dan
jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi menemukan kota kota-kota eksotis di
pantai timur Afrika seperti Kilwa,Lamu dan Zanzibar.
Para petualang Nusantara ini bukan hanya singgah di Afrika. Mereka juga
meninggalkan banyak jejak di kebudayaan di seluruh Afrika. Mereka
memperkenalkan jenis-jenis tanaman baru, teknologi, musik, dan seni yang
pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam kebudayaan Afrika sekarang.Sejak
abad ke-9 Masehi, nenek moyang kita telah berlayar jauh dengan kapal bercadik.
Ke Utara mengarungi laut Tiongkok, ke Barat memotong lautan Hindia hingga
Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Kian ramainya pengangkutan
komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di
Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Sumber sejarah pelayaran Indonesia dalam masa prasejarah bisa kita lihat
dari relief di candi-candi Hindu dan Budha yang dibangun setelah tahun 500
Masehi, seperti Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Di sana dapat dilihat bahwa
pada masa itu sudah berlangsung pelayaran niaga. Perlayaran ini merupakan
wujud aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi pada
kawasan yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang
dagangan.
Masyarakat Indonesia telah memiliki pranata hubungan perdagangan.
Budaya kemaritiman bangsa Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejarah
menunjukkan, kehidupan kemaritiman, pelayaran dan perikanan beserta
kelembagaan formal dan informalnya merupakan kontinuitas dari proses
perkembangan kemaritiman Indonesia masa lalu. Buktinya, berdasarkan
penelitian, terdapat tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang
Kalimantan untuk berlayar. Situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan
Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu layar, menggambarkan bahwa kita
adalah keturunan bangsa pelaut sudah sekitar tahun 10.000 sebelum masehi.
Selain itu, ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku
Aborigin di Australia dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita
sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain dengan kapal-kapal yang laik
layar. Sejarah juga mencatat, bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi
kiblat di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia.
Sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan
perdagangan (commercial zones).
1. Jaringan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan,
Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera.
2. Jaringan perdagangan Selat Malaka.
3. Jaringan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan
Vietnam Selatan, dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan.
4. Jaringan Laut Sulu, meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao,
dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam).
5. Karingan Laut Jawa, meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku,
pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera, yang berada di
bawah hegemoni Majapahit (Sarasehan, 2014).
Masa kecil kita memang sering mendengarkan lagu yang mengisahkan
bahwa nenek-moyang kita seorang pelaut. Dongengdongeng pengantar tidur juga
banyak berkisah tentang tokoh-tokoh yang berhubungan dengan laut: di tanah
Melayu ada kisah tentang si Malin Kundang yang terkutuk menjadi batu karena
durhaka setelah kaya dalam pelayaran lalu lupalah akan bundanya; di tanah Sunda
ada kisah tentang Sangkuriang yang marah cintanya ditolak karena sang terkasih
ternyata bundanya sendiri sehingga perahu yang dibuat untuk persembahan cinta
diobrak-abriknya hingga membentuk Gunung Tangkuban Perahu; di tanah Bugis
dikenal kisah Sawerigading yang membuat perahu I Lawarlenreng untuk
menemui Putri We Cudai setelah terketahui bahwa We Tenri Abeng yang dicinta
ternyata saudaranya sendiri, dan dalam perjalanan pulang perahu tersebut
terhempas ombak lalu kandas terbelintang patah karena konon melanggar sumpah
sendiri sebelum berlayar; di tanah Bali dan Jawa berkembang cerita tentang Panji
yang tergambarkan sebagai tokoh dalam kemajuan pramodern masyarakat pesisir
(Vickers, 2009).
Buku-buku sejarah memang banyak berkisah tentang peradaban bahari
bangsa Indonesia di masa lalu. Dikisahkan bahwa berbagai pemukiman pantai di
Nusantara pernah menjelma sebagai bandar yang diperhitungkan dalam pelayaran
dan perniagaan dunia, Banten yang kejayaannya kemudian digantikan Batavia;
Demak yang kejayaannya kemudian digantikan Semarang; Gresik yang
kejayaannya kemudian digantikan Surabaya; Gowa yang kejayaannya kemudian
digantikan Makassar. Dikisahkan pula betapa ulungnya para pelaut Nusantara
mengarungi samudera (Dick-Read, 2005); ada yang menjadi saudagar kaya raya
memperniagakan berbagai hasil bumi, barang kerajinan, serta emas dan logam;
ada yang menjadi pedagang budak dan perompak gagah berani menakutkan
kawan dan lawan; ada pula yang menjadi petualang mendatangi dan membuka
daerah baru serta menyebarkan syiar agama (Yuga, 2011).
Artinya, di masa lalu bangsa dan nenek moyang kita memang
menumpukan peradabannya di atas pendasaran budaya pesisir dan bahari. Di masa
lalu bangsa dan nenek moyang kita memang telah mengembangkan keunggulan
berdasarkan potensi yang dimunculkan oleh hamparan laut dan isinya. Lalu
mengapa pada masa kini kita bukan lagi bangsa pelaut, bukan lagi bangsa yang
mengembangkan kejayaan berdasarkan budaya bahari? Selanjutnya, kalaupun saat
ini kita bukan lagi bangsa pelaut, bukan lagi masyarakat yang mengandalkan
budaya bahari, pelajaran apa yang bisa dimaknai dan ditransformasikan dari jagad
bahari masa lalu tersebut?
Pada zaman Majapahit, arus balik peradaban berlangsung dari wilayah
bawah angin diselatan ke atas angin di utara. Arus Balik yang mengisahkan
Nusantara dalam segala kemegahannya sebagai kekuatan maritim yang jaya.
Tetapi, kemudian Arus Balik membayangkan arus zaman membalik, segalanya
berubah: kekuasaan laut menjadi mengkerut ke pedalaman, kemuliaan menukik
dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke kekalahan, kecemerlangan cendekia
menjadi kedunguan penalaran, persatuan berubah menjadi perpecahan yang
memandulkan segala kegiatan. Kehadiran Belanda dan Portugis (Peranggi)
mengubah struktur masyarakat dan pemerintahan. Westernisasi mengubah watak
bangsa yang tangguh, yang pandai memanfaatkan alam untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, menjadi masyarakat yang manja. Kemudian cenderung
konsumtif, sekaligus minim inovasi. Produk-produk asing terus dikonsumsi,
sehingga kita kehilangan kreasi untuk menemukan, mengolah, dan mencipta
(Sarasehan, 2014).
Sejarah merupakan bagian penting dari pendekatan sosial budaya, niai-
nilai budaya dan wawasan budaya. Latar belakang sejarah keberadaan Bangsa
Indonesia sebahagian besar diawali dari terjadinya oksodus manusia, yaitu dengan
keberaniannya mengarungi lautan dari tanah asalnya sampai mencapai kepulauan
Indonesia. Di wilayah Barat Indonesia menurut catatan sejarah, nenek moyangnya
berasal dari Yunan yang merupakan pelaut-pelaut ulung di Tiongkok Selatan.
Sementara itu, di wilayah Timur Indonesia sejarah Indonesia juga tercatat berasal
dari kawasan Melanesia yang terkenal sebagai manusia laut atau bangsa bahari
ikut mengisi kepulauan nusantara.
Dapat dipastikan penghuni kepulauan nusantara dimasa lalu telah
mengembangkan transportasi laut sehingga mereka dapat mendiami hampir
seluruh kepuauan nusantara. Sebelum kehadiran bangsa penjajah, laut Indonesia
telah digunakan “ruang temu” daerah terjadinya interaksi antar berbagai suku,
yaitu sebagai media ekonomi, ajang percaturan politik, pertukaran bahasa dan
budaya, yang kemudianhari muncul kesadaran sebagai sebuah bangsa (Indonesia)
yang berciri bahari.
Robert Dick Read dalam bukunya “Penjelajah Bahari” menggambarkan
pengaruh peradaban Nusantara di Afrika adalah merupakan bukti sejarah mutahir
tentng penjelajah laut Indonesia sebelum Cheng Ho dan Colombus. Dalam
penelitiannya mengungkap bahwa pelaut-pelaut nusantara telah menaklukan
samudera jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai sebagai penjelajah
bahari. Pada abad ke-5 para pelaut nusantara telah mampu menyeberang
Samudera Hindia hingga mencapai Afrika, serta meninggalkan banyak jejak
budaya. Mereka memperkenalkan jenis-jenis tanaman, teknologi, musik dan seni
yang pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam kebudayaan Afrika sekarang,
khususnya di Afrika Barat dan dataran rendah Nigeria.
C. Beberapa Kerajaan Yang Dikenal Dengan Penguasa Lautan
Sejak zaman dahulu kala ada bebrapa kerajaan yang tidak hanya dikenal
berkuasa di beberapa daerah, tetapi terdapat juga kerajaan yang berkuasa dalam
bidang pelayaran diantaranya ialah:
1. Kerajaan Sriwijaya (638-1030 M)
Sejak permulaan tarikh Masehi, hubungan dagang antara, India dengan
Kepulauan Indonesia sudah ramai. Daerah pantai timur Sumatra menjadi jalur
perdagangan yang ramai dikunjungi para pedagang. Kemudian, muncul pusat-
pusat perdagangan yang berkembang menjadi pusat kerajaan. Kerajaan-kerajaan
kecil di pantai Sumatra bagian timur sekitar abad ke-7, antara lain Tulangbawang,
Melayu, dan Sriwijaya. Dari ketiga kerajaan itu, yang kemudian berhasil
berkembang dan mencapai kejayaannya adalah Sriwijaya.
Ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan Sriwijaya antara
lain:
a. Letak geografis dari Kota Palembang. Palembang sebagai pusat pemerintahan
terletak di tepi Sungai Musi. Di depan muara Sungai Musi terdapat pulau-
pulau yang berfungsi sebagai pelindung pelabuhan di Muara Sungai Musi.
Keadaan seperti ini sangat tepat untuk kegiatan pemerintahan dan pertahanan.
Kondisi itu pula menjadikan Sriwijaya sebagai jalur perdagangan
internasional dari India ke Cina, atau sebaliknya. Juga kondisi sungai-sungai
yang besar, perairan laut yang cukup tenang, serta penduduknya yang
berbakat sebagai pelaut ulung.
b. Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja. Hal ini
telah memberi kesempatan Sriwijaya untuk cepat berkembang sebagai negara
maritim.
Pada mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Akan tetapi
karena Sriwijaya terletak di tepi Sungai Musi dekat pantai, maka perdagangan
menjadi cepat berkembang. Perdagangan kemudian menjadi mata pencaharian
pokok. Perkembangan perdagangan didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya
yang strategis. Sriwijaya terletak di persimpangan jalan perdagangan
internasional. Para pedagang Cina yang akan ke India singgah dahulu di
Sriwijaya, begitu juga para pedagang dan India yang akan ke Cina. Di Sriwijaya
para pedagang melakukan bongkar muat barang dagangan. Dengan demikian,
Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi pusat perdagangan. Sriwijaya
mulai menguasai perdagangan nasional maupun internasional di kawasan perairan
Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut
Jawa berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Tampilnya Sriwijaya sebagai pusat perdagangan, memberikan
kemakmuran bagi rakyat dan negara Sriwijaya. Kapal-kapal yang singgah dan
melakukan bongkar muat, harus membayar pajak. Dalam kegiatan perdagangan,
Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan beberapa jenis binatang liar, sedangkan
barang impornya antara lain beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas,
gading, dan binatang.
Perkembangan tersebut telah memperkuat kedudukan Sriwijaya sebagai
kerajaan maritim. Kerajaan maritim adalah kerajaan yang mengandalkan
perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan hasil-hasil laut. Untuk
memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang
kuat. Melalui armada angkatan laut yang kuat Sriwijaya mampu mengawasi
perairan di Nusantara. Hal ini sekaligus merupakan jaminan keamanan bagi para
pedagang yang ingin berdagang dan berlayar di wilayah perairan Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran karena beberapa hal
antara lain :
a. Keadaan sekitar Sriwijaya berubah, tidak lagi dekat dengan pantai. Hal ini
disebabkan aliran Sungai Musi, Ogan, dan Komering banyak membawa
lumpur. Akibatnya. Sriwijaya tidak baik untuk perdagangan.
b. Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Hal ini disebabkan
terutama karena melemahnya angkatan laut Sriwijaya, sehingga pengawasan
semakin sulit.
c. Dari segi politik, beberapa kali Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan-
kerajaan lain. Tahun 1017 M Sriwijaya mendapat serangan dari Raja
Rajendracola dari Colamandala, namun Sriwijaya masih dapat bertahan.
Tahun 1025 serangan itu diulangi, sehingga Raja Sriwijaya, Sri
Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala.
Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singhasari melakukan Ekspedisi
Pamalayu. Hal itu menyebabkan daerah Melayu lepas. Tahun 1377 armada
angkatan laut Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri
riwayat Kerajaan Sriwijaya.
2. Kerajaan Majapahit
Setelah Singhasari jatuh, berdirilah kerajaan Majapahit yang berpusat di
Jawa Timur, antara abad ke-14 sampai ke-15 M. Berdirinya kerajaan ini
sebenarnya sudah direncanakan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya).
Saat itu dengan dibantu oleh Arya Wiraraja seorang penguasa Madura, Raden
Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai
hutannya orang Trik. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari
buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba,
Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan
Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik
menyerang pasukan Mongol sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali
pasukannya.
Pada masa pemerintahannya Raden Wijaya mengalami pemberontakan
yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya yang pernah mendukung perjuangan
dalam mendirikan Majapahit. Setelah Raden Wijaya wafat, ia digantikan oleh
putranya Jayanegara. Jayanegara dikenal sebagai raja yang kurang bijaksana dan
lebih suka bersenang-senang. Kondisi itulah yang menyebabkan pembantu-
pembantunya melakukan pemberontakan.
Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah
pemberontakan Kuti. Pada saat itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota
negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah perlindungan
pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun
strategi dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah
Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan (1319-1321) dan Patih Kediri (1322-
1330).
Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada,
Majapahit mencapai zaman keemasan. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas,
bahkan melebihi luas wilayah Republik Indonesia sekarang. Oleh karena itu,
Muhammad Yamin menyebut Majapahit dengan sebutan negara nasional kedua di
Indonesia. Seluruh kepulauan di Indonesia berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Hal ini memang tidak dapat dilepaskan dan kegigihan Gajah Mada. Sumpah
Palapa, ternyata benar-benar dilaksanakan. Dalam melaksanakan cita-citanya,
Gajah Mada didukung oleh beberapa tokoh, misalnya Adityawarman dan
Laksamana Nala. Di bawah pimpinan Laksamana Nala Majapahit membentuk
angkatan laut yang sangat kuat. Tugas utamanya adalah mengawasi seluruh
perairan yang ada di Nusantara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk,
Majapahit mengalami kemajuan di berbagai bidang. Majapahit juga menjalin
hubungan dengan kerajaan lain. Hubungan dengan Siam, Birma, Kamboja, Anam,
India, dan Cina berlangsung dengan baik. Dalam membina hubungan dengan luar
negeri, Majapahit mengenal motto Mitreka Satata, artinya negara sahabat.
Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat Majapahit hidup aman
dan tenteram. Hayam Wuruk sangat memperhatikan rakyatnya. Keamanan dan
kemakmuran rakyat diutamakan. Untuk itu dibangun jalan-jalan dan jembatan-
jembatan. Dengan demikian lalu lintas menjadi lancar. Hal ini mendukung
kegiatan keamanan dan kegiatan perekonomian, terutama perdagangan. Lalu
lintas perdagangan yang paling penting melalui sungai. Misalnya, Sungai
Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Akibatnya desa-desa di tepi sungai dan yang
berada di muara serta di tepi pantai, berkembang menjadi pusat-pusat
perdagangan. Hal itu menyebabkan terjadinya arus bolak-balik para pedagang
yang menjajakan barang dagangannya dari daerah pantai atau muara ke
pedalaman atau sebaliknya. Bahkan di daerah pantai berkembang perdagangan
antar daerah, antar pulau, bahkan dengan pedagang dari luar. Kemudian timbullah
kota-kota pelabuhan sebagai pusat pelayaran dan perdagangan. Beberapa kota
pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain Canggu, Surabaya,
Gresik, Sedayu, dan Tuban. Pada waktu itu banyak pedagang dari luar seperti dari
Cina India, dan Siam. Adanya pelabuhan-pelabuhan tersebut mendorong
munculnya kelompok bangsawan kaya. Mereka menguasai pemasaran bahan-
bahan dagangan pokok dari dan ke daerah-daerah Indonesia Timur dan Malaka.
Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian besar
keluarga raja, setelah turunnya Hayam Wuruk. Perang Paregrek telah melemahkan
unsur-unsur kejayaan Majapahit. Meskipun peperangan berakhir, Majapahit terus
mengalami kelemahan karena raja yang berkuasa tidak mampu lagi
mengembalikan kejayaannya. Unsur lain yang menyebabkan runtuhnya Majapahit
adalah semakin meluasnya pengaruh Islam pada saat itu (Nuh, 2014).
D. Pelaut Ulung dari Kalangan Wanita Laksamana Malahayati
Telah diketahui bahwa di Indonesia banyak terdapat pelaut tangguh dan
sebagian besar adalah laki-laki. Tapi siapa sangka, dunia ini ternyata memiliki
sejarah tentang betapa hebatnya para pelaut wanita. Sejarah mencatat beberapa
pelaut paling terkenal di dunia, yang muncul di tiap era yang berbeda.
Laksamana Malahyati dianggap sebagai salah satu pelaut wanita terbaik di
dunia, Grace O’ Malley, wanita asal Irlandia ini memang memperlihatkan
keulungan dan kehebatannya sebagai seorang pelaut handal. Melaut baginya
bukan hanya karena kecintaannya terhadap profesi pelaut, tapi untuk
membuktikan kepada dunia bahwa dialah yang terbaik, dibandingkan dengan
rekan-rekan lelaki yang satu kapal dengannya. Sejarah pun mencatat bahwa Grace
adalah wanita “bajak laut” terhebat di dunia. Tidak ada yang menyangkali bahwa
ketrampilannya melaut melebihi para pelaut laki-laki saat itu.
Masih ada lagi pelaut wanita ulung lainnya. Naomi James yang lahir di
sebuah peternakan domba di Selandia Baru. Wanita yang bahkan tidak tahu
bagaimana caranya berenang di usianya yang sudah mencapai 23 tahun, pada
akhirnya mampu memecahkan rekor dunia dengan berlayar sendirian mengelilingi
dunia selama 272 hari.
Pelaut waita ulung lainnya adalah Laura Dekker. Pada usianya yang masih
sangat belia, sekitar 16 tahun, ia sudah berlayar sendirian. Wanita muda asal
Belanda ini tiba di kepulauan Karibia, Saint Maarten pada hari Sabtu 21 Januari
2012. Ia berlayar seorang diri selama satu tahun satu hari dengan menggunakan
kapal berukuran 11×5 meter, yang ia namai sendiri dengan sebutan ‘Guppy’.
Masih ada beberapa nama pelaut wanita yang sangat hebat di atas laut.
Tapi apakah kita tahu bahwa ternyata seorang pelaut wanita asal Indonesia pantas
disejajarkan dengan pelaut-peluat wanita ulung tersebut. Namanya memang belum
dikenal secara luas, apalagi media barat tidak pernah memberitakan atau
mengulasnya. Namanya Malayahati.
Sebagai pelaut dan pejuang wanita, Malahayati pernah memimpin 2000
orang yang terdiri dari para janda yang suaminya telah tewas sebagai pahlawan di
medan laga (mereka dikenal dengan sebutan pasukan Inong Balee) untuk
berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada tanggal 11
September 1599. Pada pertempuran tersebut, ia berhasil membunuh Cornelis de
Houtman dalam sebuah duel di atas geladak kapal. Oleh karena itulah juga wanita
ini memperoleh gelar laksamana. Wanita pertama di dunia yang memperoleh gelar
laksamana.
Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Malayahati mengkoordinir
pasukannya di laut. Dengan sigap mereka juga mengawasi berbagai pelabuhan-
pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, serta secara seksama
mengawasi kapal-kapal jenis galey milik Kesultanan Aceh Darussalam. Seorang
nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis pernah
mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksanana
Malahayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki perlengkapan armada laut
yang teridentifikasi terdiri dari 100 buah kapal (galey) dengan kapasitas
penumpang 400-500 orang.
Nama asli Malayahati sebenarnya adalah Keumalahayati. Ayahnya juga
ternyata adalah seorang laksamana, bernama Mahmud Syah. Nah, kakeknya dari
pihak ayah adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra, yang dikenal luas
sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Belum ditemukan catatan sejarah
secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematian
Malayahati. Ada beberapa perkiraan, antara lain dikatakan bahwa beliau memiliki
masa hidupnya di sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.
Saya membayangkan, bahwa ketika dalam pertempuran hebat melawan
Belanda itu, wanita ini dengan gagah berani, berdiri di balik benteng dan
didampingi para Laskar Inong Balee menatap tajam serta penuh kemarahan ke
arah selat Malaka. Di kejauhan sana, terlihat jelas ribuan kapal Belanda
menyemuti lautan, semakin mendekat dan sudah siap-siap untuk menyerang Aceh.
Laksamana Malahayati, wanita asal kota rencong ini dengan semangat membara
dan tak mengenal takut sudah siap menanti. Darahnya mendidih. Ia seakan tak
sudih melihat tanah airnya terancam penjajah. Ia laksana perwira yang siap mati
bagi sesuatu yang sangat dicintainya.
Kemudian Malayahati mengangkat tangannya sembari berseru lantang.
Dengan nada yang tegas dan pasti. Dilapisi keyakinan yang amat sangat, beliau
memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan kapal perang. Dengan langkah
yang penuh kepastian, dan diiringi teriakan memotivasi, Laksamana Malahayati
menaiki kapal perangnya. Rupa-rupanya mereka sudah benar-benar siap beradu
kekuatan melawan tentara penjajah di tengah laut. Kita pun sudah tahu akhir
ceritanya. Laksamana Malahayati dan pasukannya berhasil memenangkan
pertempuran itu, dan De Houtman mati di tangannya.
Makam wanita ini ada di Aceh. Kita mungkin perlu merenungi kisah
kepahlawanan Laksamana Malahayati. Sangat bisa jadi tanpa beliau tanah Aceh
tidak akan seperti yang kita saksikan saat ini. Untuk menghargainya, maka ada
juga salah satu pelabuhan di Aceh yang dinamai Pelabuhan Malahayati.
KESIMPULAN
Indonesia sebagai negara yang dikelilingi oleh laut hampir semua
provinsinya memiliki wilayah perairan, kondisi geografis yang demikian
menjadikan Indonesia negara maritim yang mempunyai daerah perikanan laut tak
kurang dari 6,85 juta km2 dan diperkirakan daerah tersebut memiliki kandungan
produksi ikan 10 juta ton pertahunnya.
Sejarah merupakan bagian penting dari pendekatan sosial budaya, niai-
nilai budaya dan wawasan budaya. Latar belakang sejarah keberadaan Bangsa
Indonesia sebahagian besar diawali dari terjadinya oksodus manusia, yaitu dengan
keberaniannya mengarungi lautan dari tanah asalnya sampai mencapai kepulauan
Indonesia. Di wilayah Barat Indonesia menurut catatan sejarah, nenek moyangnya
berasal dari Yunan yang merupakan pelaut-pelaut ulung di Tiongkok Selatan.
Sementara itu, di wilayah Timur Indonesia sejarah Indonesia juga tercatat berasal
dari kawasan Melanesia yang terkenal sebagai manusia laut atau bangsa bahari
ikut mengisi kepulauan nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Nur, M. 2006. Peradaban Laut dan Permasalahan Toponimi Pulau-Pulau di Sekitar Sumatera. Konferensi sejarah VIII pada Tanggal 14-17 November 2006. Jakarta.
Nuh. M. 2014. Sejarah Indonesia. Pedagang, Penguasa, dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu dan Buddha).
Read, Robert Dick. 2008. Penjelajah Bahari (Pengruh Peradaban Nusantara di Afrika). PT Mizan Pustaka. 378 Halaman.
Salman, D., T. Tahara., N. Suyuti., M. Lampe., E.B. Demmalino. 2011. Jagad Bahari Nusantara (Telaah Diamika Pranata sosial Terhadap Kearifan Lokal Masyarakat Pantai: Melestarikan Budaya Bahari dan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata). Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta.
Swastiyansyah, Atika., E. Ratnasari., F.A. Mahmud., F.J. Purnomo. R. Mufidah., T. A. Rivanti., W. Widodo. 2013. Makalah sejarah Maritim “Masyarakat Laut dan Sikap Kelompok Sosial dan Negara Terhadap Laut. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Semarang.
Teor, P. Ananta. 2014. Budaya Maritim Indonesia, Peluang, Tntangan dan Strategi. Arus Baik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16. Yogyakarta.