manajemen konflik

27
Manajemen Konflik by:Erfi Ilyas Page 1 Manajemen Konflik By: Erfi Ilyas [email protected] 1. Pendahuluan Sebagai makhluk sosial, tidak seorangpun bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain (nobody is island). Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa interaksi dengan orang lain merupakan kebutuhan dasar manusia setelah kebutuhan fisiologis, bahkan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis sekalipun seseorang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, dimana kehidupan masyarakat berjalan dengan sangat dinamis dengan persaingan yang semakin ketat dan perubahan lingkungan yang semakin tidak terprediksi, tidak pelak lagi akan membawa orang pada situasi konflik. Artinya hampir tidak mungkin kita bisa mengelak dari situasi konflik. Konflik tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang baik atau jelek, konflik hanyalah fakta kehidupan. Konflik tidak bisa diprediksi dan dicegah, konflik hanya bisa dikelola. Karenanya harus dimaknai secara wajar sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Konflik, bila dikelola secara baik akan memberi banyak manfaat. Melalui konflik kita memperoleh kesempatan memahami sudut pandang orang lain, mendorong kreativitas untuk keluar dari situasi yang tidak diharapkan. Konflik bisa menjadi katalis bagi perubahan, memberi pembelajaran dan memperluas perspektif dalam melihat persoalan. Sementara disisi lain, bila tidak dikelola secara baik, konflik bisa menjadi sangat merugikan, menyebabkan terjadinya “ chaos” yang sering bermuara pada tindakan kekerasan dan destruktif. Ada banyak bukti yang dapat ditunjukkan betapa konflik yang tidak terkelola secara baik telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan kehidupan organisasi, konflik yang dikelola dengan baik akan memberi banyak manfaat bagi kemajuan organisasi, konflik dapat mendorong pertumbuhan, kreativitas, kohesivitas, dan sebagainya. Namun kalau tidak dikelola dengan baik, konflik juga dapat melumpuhkan organisasi. Sehubungan dengan itu, agar konflik dapat memberi manfaat yang maksimal, diperlukan kemampuan mengelola konflik dengan cara yang tepat. Untuk dapat mengelola konflik dengan baik dibutuhkan pemahaman yang baik tentang aspek- aspek yang berkenaan dengan konflik tersebut, seperti; sumber-sumber konflik, berbagai pandangan tentang konflik, tipe-tipe konflik, dampak konflik, indikator adanya konflik, gaya manajemen konflik dan strategi penyelesaian konflik. Dengan pemahaman tersebut diharapkan konflik dapat dikelola secara konstruktif, sehingga memberi faedah yang maksimal guna meraih kesempatan untuk terus maju. Kecuali itu, dengan pemahaman yang baik konflik dapat diselesaikan menggunakan strategi yang tepat, sehingga dampak negatif konflik dapat ditekan sekecil mungkin. 2. Berbagai definisi tentang Konflik (Conflict definition) Definisi konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah; percekcokan; perselisihan; pertentangan. Sementara itu, definisi konflik menurut Cassell Concise English Dictionary (qtd. In. Lacey, 2003:17) adalah; a fight, a collision; a struggle, a contest; opposition of interest, opinions or purpose; mental strife, agony”. Mengacu pada definisi di atas, konflik berarti suatu pertarungan, suatu benturan; suatu pergulatan, pertentangan kepentingan-kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan; pergulatan mental, penderitaan batin

Upload: erfi-ilyas-koto

Post on 28-Dec-2015

163 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 1

Manajemen Konflik By: Erfi Ilyas

[email protected]

1. Pendahuluan

Sebagai makhluk sosial, tidak seorangpun bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain (nobody is island). Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa interaksi dengan orang lain merupakan kebutuhan dasar manusia setelah kebutuhan fisiologis, bahkan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis sekalipun seseorang membutuhkan interaksi dengan orang lain.

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, dimana kehidupan masyarakat berjalan dengan sangat dinamis dengan persaingan yang semakin ketat dan perubahan lingkungan yang semakin tidak terprediksi, tidak pelak lagi akan membawa orang pada situasi konflik. Artinya hampir tidak mungkin kita bisa mengelak dari situasi konflik. Konflik tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang baik atau jelek, konflik hanyalah fakta kehidupan. Konflik tidak bisa diprediksi dan dicegah, konflik hanya bisa dikelola. Karenanya harus dimaknai secara wajar sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri.

Konflik, bila dikelola secara baik akan memberi banyak manfaat. Melalui konflik kita memperoleh kesempatan memahami sudut pandang orang lain, mendorong kreativitas untuk keluar dari situasi yang tidak diharapkan. Konflik bisa menjadi katalis bagi perubahan, memberi pembelajaran dan memperluas perspektif dalam melihat persoalan. Sementara disisi lain, bila tidak dikelola secara baik, konflik bisa menjadi sangat merugikan, menyebabkan terjadinya “chaos” yang sering bermuara

pada tindakan kekerasan dan destruktif. Ada banyak bukti yang dapat ditunjukkan betapa konflik yang tidak terkelola secara baik telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan kehidupan organisasi, konflik yang dikelola dengan baik akan memberi banyak manfaat bagi kemajuan organisasi, konflik dapat mendorong pertumbuhan, kreativitas, kohesivitas, dan sebagainya. Namun kalau tidak dikelola dengan baik, konflik juga dapat melumpuhkan organisasi.

Sehubungan dengan itu, agar konflik dapat memberi manfaat yang maksimal, diperlukan kemampuan mengelola konflik dengan cara yang tepat. Untuk dapat mengelola konflik dengan baik dibutuhkan pemahaman yang baik tentang aspek-aspek yang berkenaan dengan konflik tersebut, seperti; sumber-sumber konflik, berbagai pandangan tentang konflik, tipe-tipe konflik, dampak konflik, indikator adanya konflik, gaya manajemen konflik dan strategi penyelesaian konflik. Dengan pemahaman tersebut diharapkan konflik dapat dikelola secara konstruktif, sehingga memberi faedah yang maksimal guna meraih kesempatan untuk terus maju. Kecuali itu, dengan pemahaman yang baik konflik dapat diselesaikan menggunakan strategi yang tepat, sehingga dampak negatif konflik dapat ditekan sekecil mungkin.

2. Berbagai definisi tentang Konflik (Conflict definition)

Definisi konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah; percekcokan; perselisihan; pertentangan. Sementara itu, definisi konflik menurut Cassell Concise English Dictionary (qtd. In. Lacey, 2003:17) adalah;

“a fight, a collision; a struggle, a contest; opposition of interest, opinions or purpose; mental strife, agony”.

Mengacu pada definisi di atas, konflik berarti suatu pertarungan, suatu

benturan; suatu pergulatan, pertentangan kepentingan-kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan; pergulatan mental, penderitaan batin”

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 2

Sedangkan pengertian konflik menurut Winardi (1994:1) adalah;

“adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi”.

Pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian konflik menurut

Winardi di atas, dikemukan pula oleh Kusnadi (2001:11), yang memberikan definisi tentang konflik seperti berikut:

“konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau suatu interaksi yang bersifat antagonis (berlawanan, bertentangan atau berseberangan).

Sementara itu, definisi konflik menurut Vecchio et. al (1992:454) adalah:

“conflict is the process that results when one person (or a group of people) perceives that another person or group is frustrating, or about to frustrate, an important concern. Conflict involves incompatible differences between parties that result in interference or opposition”.

Dengan redaksi yang agak berbeda, Wood et. al (2001:534) memberikan

definisi tentang konflik sebagai berikut: Conflict is a situation in which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another“

Definisi konflik yang lebih lengkap diberikan oleh Daniel Webster (qtd. in

Pickering, 2000:1) yang mendefinisikan konflik sebagai:

persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.

keadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya: pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antar individu).

perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan.

perseteruan Berangkat dari beberapa definisi konflik di atas, dapat disimpulkan bahwa

konflik pada dasarnya merupakan pertentangan, atau perselisihan yang dapat terjadi dalam diri individu, antar individu, antar kelompok, dan antar organisasi. Pertentangan atau perselisihan tersebut dapat menyangkut aspek-aspek yang terkait dengan; kebutuhan, keinginan, pendapat, kepentingan, tujuan, dan lain sebagainya. Artinya konflik dapat terjadi akibat adanya perbedaan kebutuhan, keinginan, pendapat, pandangan, persepsi, interpretasi serta kepentingan, baik yang terjadi dalam diri individu, antar individu, antar kelompok maupun antar organisasi. Karenanya konflik dapat terjadi bila dalam suatu situasi terdapat perbedaan sudut pandang terhadap situasi tersebut.

3. Tipe-tipe konflik

Mengelompokkan konflik ke dalam kategori tertentu bukanlah pekerjaan yang mudah, karena banyak sekali parameter yang dapat dijadikan rujukan. Berangkat dari pengertian yang terkandung dalam definisi konflik, dapat dipahami bahwa konflik muncul sebagai akibat dari adanya ketidaksesuaian paham atau perbedaan sudut pandang pada suatu situasi sosial terhadap suatu persoalan dan/atau adanya

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 3

antagonisme-antagonisme emosional. Ditinjau dari objek yang menjadi konflik, Winardi (1994:5) membagi konflik ke dalam dua kategori yaitu, (1) Konflik-konflik substantif (substantive conflict), dan (2) Konflik-konflik emosional (emotional conflict).

Konflik substantif (Substantive conflict) - Konflik substantif adalah konflik yang

terjadi akibat adanya ketidaksesuaian paham tentang hal-hal yang berkenaan dengan; tujuan-tujuan, alokasi sumber daya, distribusi imbalan, kebijaksanaan-kebijaksanaan, dan prosedur-prosedur, serta penugasan pekerjaan. Sementara itu, konflik substantif menurut Wood, et. al (2001:534) adalah; “conflict that occurs in the form of a fundamental disagreement over ends or goals to be pursued and the means for their accomplishement”. Jadi Wood lebih melihat konflik substantif sebagai konflik yang terjadi akibat tidak adanya kesepahaman tentang tujuan yang akan dikejar dan sarana untuk memenuhinya.

Konflik emosional (Emotional conflict) - Konflik emosional adalah konflik yang dtimbulkan karena adanya perasaan-perasaan marah, ketidak-percayaan, ketidak-senangan, perasaan takut tersaingi, sikap pembangkangan, dan bentrokan-bentrokan kepribadian. Pengertian yang tidak jauh berbeda diberikan pula oleh Wood et. al (2001: 534) yang menjelaskan bahwa; “emotional conflict is conflict that involves interpersonal difficulties that arise over feeling of anger, mistrust, dislike, fear, resentment and the like. Dengan demikian konflik emosional adalah konflik yang lebih banyak dipicu oleh perasaan marah, tidak suka, tidak percaya, khawatir, dendam, dan kebencian.

Baik konflik substantif maupun konflik emosional dapat bersifat destruktif maupun konstruktif, tergantung bagaimana konflik tersebut dihadapi, dimaknai dan dikelola.

Ditinjau dari tujuan organisasi konflik dapat dibedakan atas konflik fungsional dan konflik disfungsional (Kusnadi, 2001:22-23).

Konflik fungsional (Functional conflict) - Adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan organisasi dan karenanya cenderung bersifat konstruktif, sehingga konflik jenis ini sangat dibutuhkan oleh organisasi.

Konflik disfungsional (Dysfunctional conflict) - adalah konflik yang menghambat pencapaian tujuan organisasi dan karenanya seringkali bersifat destruktif. Meskipun konflik disfungsional ini merupakan konflik yang sangat merugikan, namun keberadaanya dalam suatu organisasi seringkali tak dapat dihindari. Oleh karena itu harus diupayakan menjadi konflik fungsional atau berbagai penyebab munculnya konflik disfungsional ini dieliminir semaksimal mungkin.

Melalui perspektif yang agak berbeda, Fred Luthans (1995:270-291) membagi konflik ke dalam 4 (empat) ketegori yaitu; (1) intra-individual conflict, (2) interpersonal conflict, (3) Intergroup conflict, dan (4) organizational conflict. Sementara itu, pengelompokkan konflik yang tidak jauh berbeda dengan pengelompokkan Fred Luthans dikemukan pula oleh James A.F. Stoner dan Charles Wankel (qtd. in. Winardi, 1994:68-70) serta Wood et al (2001:535) yang membagi konflik menjadi empat macam tipe yaitu; (1) konflik di dalam individu, (2) konflik antar individu-individu, (3) konflik antara kelompok-kelompok, dan (4) konflik antara organisasi-organisasi.

3.1 Konflik dalam diri individu (Intra-individual Conflict )

Menurut Fred Luthans (1995:270) dalam diri setiap individu biasanya terdapat; (1) a number of competing needs and roles, (2) a variety of ways that drives and roles can be expressed, (3) many type of barriers which can occur between the drive and the goal, and (4) both positive and negative aspect attached to desired goals. Proses adaptasi terhadap kerumitan inilah yang kemudian dapat menimbulkan

konflik dalam diri individu. Dengan demikian konflik dalam diri individu dapat terjadi

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 4

pada saat individu dihadapkan pada dua kebutuhan atau dua peran yang bertentangan atau berbenturan satu sama lain. Konflik dapat pula terjadi dalam diri individu pada saat yang bersangkutan dihadapkan pada dua alternatif yang sama-sama menarik. Disamping itu, konflik dalam diri individu dapat pula terjadi karena tidak mampu mengatasi hambatan yang dihadapi dalam mencapai suatu tujuan. Sehubungan dengan itu, masih menurut Fred Luthans (1995:270), Intra-individual forms of conflict can be analyzed in terms of the frustration model, goals and roles.

3.1.1 Konflik karena Frustrasi (Conflict Due to Frustration)

Frustrasi terjadi bila dorongan atau motivasi seseorang untuk mencapai tujuan tertentu terhalang oleh suatu hambatan.

Gambar 1 A Model of Frustration

Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1, Kebutuhan seseorang akan

sesuatu mendorongnya untuk mencapai suatu tujuan guna memenuhi kebutuhan tersebut. Namun untuk mencapai tujuan tersebut orang sering menghadapi hambatan (barrier). Hambatan ini bisa jadi jelas (overt), misalnya hambatan yang bersumber dari luar diri individu atau bersifat fisik, tetapi dapat pula bersifat tidak jelas atau tersembunyi (covert) yang bersumber dari dalam diri individu dan bersifat mental-sociopsychological. Hambatan ini akan membawa seseorang pada situasi frustrasi. Frustrasi umumnya memicu alat pertahanan (defense mechanism) yang ada dalam diri seseorang. Pada gambar 1 ditunjukkan bahwa bila seseorang berada pada situasi frustrasi ada empat hal yang mungkin dilakukan oleh orang tersebut sebagai reaksi terhadap hambatan yang dihadapi, yaitu; (1) aggression, (2) withdrawal, (3) fixation, dan (4) compromise.

Contoh sederhana dari situasi frustrasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut; misal, seorang yang kehausan berusaha mencari air untuk mengatasi dahaganya, kemudian dia menuju dapur tempat air biasanya disimpan. Namun pintu dapur tersebut terkunci, sehingga dia terhalang untuk mencapai tujuannya memperoleh air, akibatnya orang tersebut berada pada situasi frustrasi yang kemudian memicu “defense mechanism” yang ada dalam diri orang tersebut. Kemungkinan “defense

Need (deficiency)

Drive (deficiency with

direction)

Goal/ Incentive (reduction of the drives and fulfillment of

deficiencies)

Barrier (1) Overt (2) Covert

Frustration

Defense mechanisms (1) Aggression (2) Withdrawal (3) Fixation

(4) Compromise

Sumber :Fred Luthans (1995). Organizational Behavior. McGRAW-HILL. p.271

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 5

mechanism” yang akan digunakan orang tersebut sebagai reaksi terhadap hambatan yang dihadapi, antara lain adalah:

Aggression : bereaksi secara fisik dengan menendang pintu sambil memaki-maki

Withdrawal : menarik diri, mundur dari pintu sambil mencibir

Fixation : terus menggedor-gedor pintu meskipun dia sudah tahu bahwa pintu tersebut terkunci

Compromise : meminum air kopi yang ada dalam ruangan atau memasuki dapur dengan jalan memanjat jendela

Model frustrasi di atas tidak hanya dapat digunakan untuk menganalisis perilaku secara umum, melainkan dapat pula digunakan untuk menganalisis aspek khusus pada perilaku kerja dalam suatu organisasi.

3.1.2 Konflik Tujuan (Goal Conflict)

Sumber lain yang juga umum menjadi penyebab konflik dalam diri individu adalah tujuan (goal). Seseorang akan menghadapi konflik dalam dirinya pada saat berada dalam situasi harus memilih diantara dua tujuan yang sama-sama atraktif atau sama-sama tidak atraktif. Konflik tujuan juga dapat terjadi pada saat seseorang menghadapi dua atau lebih tujuan yang saling bersaing atau bertentangan. Fred Luthans (1995:274) membagi konflik tujuan (goal conflict) ke dalam tiga kategori, yaitu; (1) approach-approach conflict, (2) approach-avoidance conflict, dan (3) avoidance-avoidance conflict.

Approach-approach conflict - Tipe approach-approach conflict ini terjadi pada saat seseorang berada pada situasi harus memilih diantara dua tujuan yang sama-sama atraktif. Sebagai contoh, seorang pimpinan dihadapkan pada situasi harus memilih diantara dua pelamar yang sama-sama kualified untuk ditempatkan pada satu posisi. Hal yang sama mungkin pula dihadapi oleh seorang pencari kerja ketika harus memilih salah satu dari dua tawaran pekerjaan yang sama-sama menarik. Karena itu, approach-approach conflict merupakan masalah untuk periode waktu yang

singkat . Namun demikian, bila tidak ditangani dengan baik konflik in tentu juga dapat melumpuhkan. Satu aspek yang menarik dari approach-approach conflict ini adalah perubahan yang terjadi dalam sikap individu kearah penolakan pilihan. Mereka sering menyesal tidak melakukan pilihan terhadap alternatif yang ada. Misal, bila seseorang membeli sebuah mobil dari dua alternatif mobil yang berbeda dan setelah itu merasa bahwa dia telah membuat keputusan yang jelek. Sering sekali, orang tersebut kemudian mencoba mengurangi rasa penyesalannya melalui rasionalisasi bahwa pilihan alternatif yang dipilih tersebut lebih baik atau secara aktif menolak segala informasi yang memberi dukungan terhadap kenyataan bahwa pilihan tersebut tidaklah lebih baik.

Avoidance-avoidance conflict - Avoidance-avoidance conflict terjadi pada saat seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tidak atraktif. Sebagai contoh, seseorang memiliki penyakit fisik yang tidak mengenakkan, misalnya penyakit borok. Tetapi pada saat bersamaan yang bersangkutan memiliki perasaan takut yang sangat kuat untuk pergi kerumah sakit guna operasi. Akibatnya orang tersebut terjepit diantara dua pilihan. Kebanyakan orang akan terombang ambing diantara dua pilihan tersebut tanpa penyelesaian konflik. Namun demikian, jika salah satu dari dua motif menjadi lebih kuat, maka konflik dapat dipecahkan. Misalnya, jika rasa tidak nyaman penderita borok pada contoh di atas menjadi tidak tertahan, maka motif menolak perasaan sakit akan mengesampingkan motif menolak pergi kerumah sakit, sehingga konflik dapat dipecahkan.

Approach-avoidance conflict - Pada approach-avoidance conflict seseorang harus memutuskan memilih atau menolak satu tujuan yang positif atau atraktif, tetapi pada saat yang sama juga negatif atau tidak atraktif. Sebagai contoh, misalnya seorang

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 6

karyawan dipromosikan pada suatu jabatan yang atraktif, namun dengan menduduki jabatan tersebut dia harus menjadi bawahan dari seseorang yang sangat tidak disukainya. Jika motif untuk meraih tujuan tersebut sama kuat dengan motif untuk menolaknya, maka karyawan tersebut akan terperangkap dalam kebimbangan. Pemecahan konflik ini membutuhkan penguatan satu motif melebihi motif yang lainnya, jika hal ini dapat dilakukan maka akan memungkinkan seseorang mencapai tujuan. Hal ini dapat diselesaikan jika tujuan dibuat lebih atraktif atau jika individu lebih rasional untuk mengatasi konflik. Meskipun individu mencapai tujuan, kekuatan motif untuk menolak tujuan tetap masih tinggi dan individu tetap dalam kecemasan yang tinggi. Penurunan kekuatan motif untuk menolak tujuan karenanya menjadi penting dalam menemukan pemecahan konflik yang “tolerable”.

3.1.3 Konflik Peran dan Kemenduaan (Role Conflict and Ambiguity)

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan ini masing-masing individu akan memainkan serangkaian peran, khususnya dalam kehidupan sosial seorang individu akan memainkan urutan peran mulai dari peran anak, teman, pelajar, remaja, mahasiswa, orang tua, dan kakek. Masing-masing peran ini mempunyai harapan untuk diwujudkan, ada kalanya seorang individu harus memainkan banyak peran dalam waktu yang bersamaan. Dalam menjalankan peran-peran tersebut, tidak jarang terjadi pertentangan atau persaingan antara satu peran dengan peran lainnya. Seorang wanita karir akan menghadapi banyak sekali pertentangan antara peran sebagai wanita karir dan peran sebagai ibu rumah tangga. Begitu juga halnya dalam organisasi, seorang pekerja seringkali harus menjalankan banyak peran dalam waktu yang bersamaan. Fred Luthans (1995:277) membagi konflik peran ke dalam tiga kategori, yaitu; (1) person and the role conflict, (2) intra-role conflict, dan (3) inter-role conflict.

Person and the role conflict - Person and the role conflict adalah konflik yang terjadi akibat adanya perbedaan antara personaliti seseorang dengan harapan dari peran yang harus dijalankannya. Sebagai contoh, seorang pekerja bagian produksi yang juga merupakan anggota serikat buruh dipromosikan menjadi seorang supervisor. Supervisor yang baru ini tentu tidak akan mampu melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap para pekerja, karena hal tersebut bertentangan dengan kepribadiannya. Namun disisi lain, hal itulah yang diharapkan oleh manajer produksi untuk dilakukannya.

Intra-role conflict - Intra-role conflict adalah konflik yang terjadi ketika seorang

individu harus mewujudkan harapan yang kontradiktif dari peran yang harus dijalankan. Kembali pada contoh supervisor di atas, haruskah supervisor yang baru tersebut “autocratic” atau “democratic” dalam menghadapi para pekerja.

Inter-role conflict - Inter-role conflict adalah konflik yang tercipta akibat adanya perbedaan persyaratan dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan dalam waktu yang bersamaan. Sebagai contoh, seorang eksekutif sukses yang sering dituntut bekerja mulai dari jam 07.00 pagi sampai jam 10.00 malam akan menghadapi banyak persoalan dengan perannya sebagai orang tua, yang juga menuntut kehadirannya ditengah keluarga pada saat makan malam. Seorang perawat yang mempunyai bayi akan menghadapi konflik ketika harus menjalankan tugasnya sebagai perawat pada malam hari. Banyak contoh lain yang dapat dikemukakan berkenaan dengan “inter-role conflict” ini.

3.2 Konflik antar pribadi (Interpersonal Conflict)

Interpersonal conflict atau konflik antar pribadi adalah konflik yang tercipta

akibat adanya perbedaan atau pertentangan antara dua individu atau lebih. Konflik antar pribadi ini seringkali dipicu oleh adanya perbedaan persepsi, perbedaan asumsi, perbedaan orientasi, perbedaan status, dan perbedaan prinsip (Kusnadi,

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 7

2001:28). Sementara itu Whetten dan Cameron (qtd. in. Fred Luthans, 1995:278-279) mengidentifikasi ada empat sumber sebagai pemicu konflik antar pribadi, yaitu; (1) personal differences, (2) information deficiency, (3) role incompatibility, dan (4) environmental stress.

Personal differences - Setiap orang adalah unik, artinya tidak ada satu orangpun didunia ini yang sama dengan orang lain meskipun dilahirkan dari orang tua yang sama, dibesarkan dengan lingkungan yang sama atau bahkan kembar sekalipun. Setiap orang memiliki latar belakang budaya, tradisi keluarga, sistem nilai, dan proses sosial yang berbeda. Tidak ada orang yang datang dari latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman, sifat, karakter dan nilai yang sama. Perbedaan inilah kemudian yang dapat menjadi sumber konflik yang utama, karena perbedaan latar belakang ini menyebabkan setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu persoalan. Perbedaan ini pulalah yang kemudian menjadi pemicu pertentangan antar individu.

Information deficiency- Sumber konflik ini adalah merupakan hasil atau akibat dari putusnya informasi dalam suatu organisasi. Sehingga mengakibatkan dua orang yang berada dalam situasi konflik menggunakan informasi yang berbeda atau salah seorang dari mereka atau mungkin keduanya memiliki informasi yang salah. Konflik yang disebabkan oleh kekurangan informasi ini umumnya tidak merupakan konflik emosional, sehingga tidak sulit untuk diselesaikan. Sekali konfliknya diselesaikan tidak lagi akan meninggalkan dendam atau kemarahan yang berkepanjangan. Namun demikian konflik antar pribadi akan semakin sengit jika diantara individu yang berkonflik mempunyai derajat komunikasi yang lemah atau kemampuan berkomunikasi yang dimiliki masing-masing pihak sangat kurang.

Role incompatibility- Konflik antar pribadi yang disebabkan oleh “role incompatibility” ini pada dasarnya dapat dipicu oleh konflik peran dalam diri individu atau konflik antar kelompok. Dewasa ini banyak sekali manajer mempunyai fungsi dan tugas yang saling terkait satu sama lain. Sehingga peran individu dari manajer-manajer ini bisa jadi tidak cocok (incompatible). Sebagai contoh, manajer produksi dan manajer penjualan mempunyai fungsi yang saling terkait, yang satu mendukung yang lain. Bagaimanapun juga, peran manajer produksi adalah menekan biaya dan hal itu dilakukan dengan jalan menjaga inventaris pada tingkat yang rendah. Sedangkan pada sisi lain, manajer penjualan mempunyai peran meningkatkan pendapatan melalui peningkatan penjualan. Akibatnya manajer penjualan tidak dapat menepati janji pengiriman kepada pelanggan sebagai akibat rendahnya persediaan yang disiapkan oleh manajer produksi. Karena itu, konflik yang disebabkan oleh “role incompatibility” ini harus diselesaikan oleh level manajemen yang lebih tinggi.

Environmental stress- Konflik antar pribadi dapat pula dipicu oleh “environmental stress” sebagai akibat dari langkanya atau menyusutnya sumber daya, “downsizing”, tekanan persaingan, atau tingginya derajat ketidakpastian. Sebagai contoh, bila suatu organisasi mengumumkan bahwa dalam waktu dekat akan melakukan pengurangan karyawan akibat menurunnya produksi. Hal itu tentu akan meningkatkan stress dikalangan karyawan, siapakah yang akan terkena pemutusan hubungan kerja, siapakah yang akan tetap dipertahankan sebagai karyawan, ketidakpastian tersebut dapat memicu konflik diantara mereka (karyawan).

3.3 Konflik antar kelompok (Intergroup Conflict)

Intergroup conflict atau konflik antar kelompok adalah konflik yang terjadi antar kelompok atau bagian dalam suatu masyarakat atau dalam sebuah organisasi. Sama halnya dengan individu, kelompok juga memiliki suatu karakteristik tertentu yang bisa jadi berbeda dengan kelompok lainnya. Kecuali itu, satu kelompok mempunyai peran dan fungsi yang berbeda dengan kelompok lainnya. Dalam menjalankan peran atau fungsi tersebut dapat terjadi pertentangan dengan peran dan fungsi kelompok lainnya. Sebagai contoh, bagian pemasaran yang mempunyai peran untuk meningkatkan pendapatan melalui tingkat penjualan yang tinggi akan

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 8

berusaha meraih sebanyak mungkin pelanggan baru melalui berbagai upaya, seperti; promosi yang gencar, pemberian diskon, hadiah, dan lain sebagainya. Untuk menjalankan peran tersebut menuntut alokasi dana yang lebih besar. Sementara disisi lain, bagian keuangan menghendaki dilakukannya efisiensi pada semua kegiatan untuk mendapatkan profit yang lebih besar. Situasi ini, tidak pelak lagi akan memicu terjadinya konflik antara bagian pemasaran dengan bagian keuangan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya konflik antar kelompok karena adanya sejumlah anteseden yang mendahului konflik tersebut. Fred Luthans (1995:284-285) telah mengidentifikasi sejumlah kondisi anteseden untuk menjelaskan konflik antar kelompok, yaitu; (1) competition for resources, (2) task interdependence, (3) jurisdictional ambiguity, dan (4) status struggles.

Competition for resources- Hampir semua organisasi saat ini memiliki sumber daya yang sangat terbatas. Sehingga masing-masing kelompok dalam organisasi akan bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersebut, baik yang menyangkut anggaran, ruang kerja, personal, jasa pendukung, dan lain sebagainya. Apalagi bila dalam organisasi tersebut “gaya sentripetal” sebagai akibat dari tingginya ego masing-masing kelompok sangat kuat, maka persainganpun menjadi semakin ketat. Akibat persaingan tersebut konflik antar kelompok semakin sulit dihindari.

Task interdependence - Jika dua kelompok dalam satu organisasi tergantung satu sama lain baik secara “mutual way” atau “one way” (seperti halnya urutan proses

teknologi) akan lebih cenderung mengalami konflik dibanding kelompok yang tidak tergantung (independent) satu sama lain.

Jurisdictional ambiguity- Jurisdictional ambiguity dapat terjadi karena adanya tumpang tindih tanggung jawab (overlapping responsibilities) antara satu kelompok

atau bagian dengan kelompok atau bagian lainnya. Sebagai contoh, konflik dapat terjadi bila satu kelompok mencoba lebih mengambil kendali atau mengambil aktivitas yang diinginkan, atau memberikan sebagian tanggung jawab untuk kegiatan yang tidak diinginkan pada pihak lain.

Status struggles- Konflik ini terjadi bila satu kelompok (katakan kelompok A) berusaha untuk meningkatkan statusnya, sementara kelompok lain (katakan kelompok B) melihat apa yang dilakukan kelompok A merupakan penghalang baginya untuk menempati tempat yang diinginkan dalam status hirarki. Konflik juga dapat terjadi bila satu kelompok merasa mendapat perlakuan tidak adil dibanding kelompok lain dengan status yang sama, ketidak adilan tersebut dapat menyangkut; penghargaan, tugas pekerjaan, kondisi kerja, hak istimewa, atau simbol status.

3.4 Konflik organisatoris (Organizational Conflict)

Sebagaimana diketahui bahwa organisasi terdiri dari banyak individu dan kelompok yang masing-masingnya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda. Pada bagian terdahulu telah dibahas berbagai jenis konflik, mulai dari konflik dalam diri individu, konflik antara individu, dan konflik antar kelompok. Harus diingat bahwa konflik-konflik tersebut juga terjadi dalam suatu organisasi, sehingga menjadi inheren dengan konflik organisasi.

James A.F. Stoner dan Charles Wankel menjelaskan bahwa; konflik organisatoris merupakan suatu ketidaksesuaian paham antara dua orang anggota organisasi atau lebih, yang timbul karena fakta bahwa mereka harus berbagi dalam hal mendapatkan sumberdaya yang terbatas, atau aktivitas-aktivitas pekerjaan, dan atau karena fakta bahwa mereka memiliki status-status, tujuan-tujuan, nilai-nilai persepsi-persepsi yang berbeda-beda (qtd. in. Winardi, 1994:62). Konflik organisasi dapat bersifat vertikal, horizontal dan diagonal.

Konflik vertikal adalah konflik antara tingkatan yang ada dalam organisasi. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara pihak-pihak yang memiliki status dan tingkatan yang sederajat. Sedangkan konflik diagonal adalah konflik yang terjadi

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 9

lintas fungsi dan tingkatan. Fred luthans (1995:287) mengenali konflik semacam ini sebagai “structural conflict”. Masih menurut Fred Luthans, dalam organisasi klasik terdapat empat jenis “structural conflict’ yang utama, yaitu; (1) hierarchical conflict,

(2) functional conflict, (3) line-staff conflict, dan (4) formal-informal conflict.

3.4.1 Hierarchical conflict

Hierarchical conflict adalah konflik yang terjadi antara berbagai tingkatan dalam organisasi. Misalnya konflik antara; direksi dengan para manajer, “midle management” dengan supervisor atau mungkin antara manajemen dengan para karyawan

3.4.2 Functional conflict

Functional conflict adalah konflik yang terjadi antara berbagai fungsi atau departemen dalam organisasi. Misalnya konflik antara departemen produksi dengan departemen pemasaran, antara bagian keuangan dengan bagian personalia, dan lain sebagainya.

3.4.3 Line-staff conflict

Line-staff conflict adalah konflik yang terjadi antara lini dan staf. Konflik ini

sering disebabkan oleh situasi, dimana personel staf tidak memiliki kewenangan formal terhadap personel lini.

3.4.4 Formal-informal conflict

Formal-informal conflict dapat terjadi antara organisasi formal dan organisasi

informal. Sebagai contoh, norma-norma kinerja suatu organisasi formal bisa jadi tidak cocok dengan norma-norma kinerja organisasi informal.

4 Sumber-sumber konflik (Resources of conflict)

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, konflik dapat berasal dari berbagai sumber, Robbins (qtd. in. Vecchio. et. al, 1995:456-459) membagi sumber konflik ke dalam tiga grup utama, yaitu (1) communication factors, (2) structural factors, dan (3) personal behaviour factors.

4.1 Communication factors

Banyak sekali bukti yang dapat dikemukakan sehubungan dengan konflik yang disebabkan oleh komunikasi yang jelek. Bila komunikasi didefinisikan sebagai “ creating a mental picture in the mind of a receiver in exactly the same detail as intended by the sender” (Vecchio. et. al, 1992:456), dapat dipastikan bahwa

komunikasi yang benar atau sempurna akan jarang ditemui dan sulit diwujudkan. Berangkat dari ketidaksempurnaan ini, maka akan banyak sekali ditemui peluang untuk terjadinya “misunderstanding” dalam proses berkomunikasi. Kesalahpahaman inilah kemudian dapat menjadi sumber konflik. Namun demikian, konflik yang berakar dari komunikasi yang tidak sukses tidaklah serumit konflik yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan substantif. Artinya konflik yang bersumber dari faktor komunikasi cenderung lebih mudah diatasi dibanding konflik substantif.

4.2 Structural factors

Faktor-faktor struktural yang dapat menjadi sumber konflik, menurut Vecchio. et. al (1992, 457-458) antara lain adalah; (1) size, (2) participation, (3) line-staff distinction, (4) reward system, (5) resource interdependence, dan (6) power.

Size - Dari hasil-hasil studi yang dilakukan berkenaan dengan hubungan konflik dengan ukuran organisasi, temuannya hampir konsisten yaitu konflik yang terjadi

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 10

lebih besar pada organisasi yang besar. Hal ini karena ukuran organisasi yang semakin besar menyebabkan; tujuan organisasi menjadi kurang jelas, formalitas semakin tinggi, spesialisasi meningkat, tingkatan supervisi menjadi lebih banyak, dan peluang untuk terjadinya distorsi komunikasi menjadi semakin besar. Kondisi ini semua dapat menjadi sumber konflik.

Participation - Dari perspektif hubungan antar manusia, diyakini bahwa mengundang bawahan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dapat mendorong bawahan untuk terlibat secara penuh dalam menjalankan keputusan tersebut. Namun disisi lain, partisipasi bawahan tersebut dapat menjadi sumber konflik. Hasil penelitian berkenaan dengan topik ini menunjukkan bahwa; “when subordinate participation is greater, levels of conflict tend to be higher” (Vecchio. et. at, 1992:457). Meningkatnya partisipasi staf dalam pengambilan keputusan menyebabkan meningkat pula kesadaran akan preferensi individu. Namun disisi lain, karena bawahan mempunyai kewenangan yang sangat terbatas untuk menempatkan preferensi mereka dalam proses pengambilan keputusan, maka tidak ada jaminan bahwa sudut pandang bawahan akan terakomodasi dengan baik. Tetapi, meskipun demikian peningkatan konflik sebagai akibat tingginya partisipasi staf, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Karena, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hal ini dapat meningkatkan kinerja unit kerja secara keseluruhan, sehingga keberadaan konflik menjadi sesuatu yang produktif.

Line-staff distinction - Dalam survey-survey yang dilakukan terhadap para manajer, ditemukan bahwa satu hal yang paling sering disebut sebagai sumber konflik adalah perbedaan antara lini dan staf dalam organisasi. Departemen lini, seperti misalnya departemen produksi melakukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan kegiatan inti organisasi. Sementara staf departemen, misalnya staf pada departemen riset dan pengembangan, “public relation”, “finance” dan “personnel” melakukan pekerjaan yang mendukung fungsi lini. Divisi lini umumnya lebih berorientasi praktis, sementara divisi staf orientasinya jauh dari aktivitas inti organisasi. Kecuali itu, anggota divisi lini dan staf umumnya juga berbeda dalam hal; cara kerja, tujuan, nilai-nilai, dan latar belakang pendidikan. Perbedaan-perbedaan inilah kemudian yang sering membawa mereka pada situasi konflik.

Reward system - Jika salah satu pihak dalam organisasi memperoleh penghargaan (reward) lebih dari yang diperoleh pihak lainnya, maka dengan mudah konflik akan terpicu. Konflik jenis ini dapat terjadi antar individu atau kelompok pada seluruh organisasi sebagai akibat dari tidak jelasnya sistem reward yang dijalankan.

Resource interdependence - Bila sumberdaya yang dimiliki organisasi berlimpah, seperti; dana, ruang, peralatan, dan material tentu konflik jenis ini tidak akan terjadi. Namun hampir semua organisasi memiliki sumberdaya yang sangat terbatas, sehingga masing-masing kelompok dalam organisasi akan bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Kondisi ini sering membawa berbagai pihak dalam organisasi dalam situasi konflik.

Power- Distribusi power dalam organisasi juga dapat menjadi sumber konflik. Jika salah satu kelompok merasa memiliki power yang jauh lebih kecil dari yang seharusnya, atau kelompok lain memiliki power yang lebih besar, maka munculnya perasaaan tidak senang dari kelompok yang memiliki power lebih kecil tidak dapat dihindarkan, yang akhirnya akan membawa mereka pada situasi konflik.

4.3 Personal behavior

Sumber konflik lainnya berasal dari perbedaan-perbedaan yang dimiliki individu-individu dalam organisasi. Karena masing-masing individu berbeda dalam hal; budaya, latar belakang keluarga, pendidikan, orientasi, dan nilai sehingga menghasilkan perilaku yang berbeda satu sama lain. Hal ini tidak pelak lagi dapat menjadi pemicu konflik ketika mereka berinteraksi satu sama lain. Terutama bila dalam interaksi tersebut banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran verbal.

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 11

Robert Bolton, Hollier, Muray dan Cornelius (qtd. in. Hoda Lacey, 2003:110-114) telah mengidentifikasi sejumlah pelanggaran verbal yang sering terjadi dalam suatu interaksi, yaitu:

Mengkritik Memberi label Mendiagnosis Pujian manipulatif Memerintah Mengancam Menggurui Menginterogasi Menasihati Mengambil alih pembicaraan Membesarkan hati

Perbedaan-perbedaan yang dimiliki antar individu dalam suatu kelompok atau

organisasi tentu dapat pula membawa masing-masing individu pada sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu masalah. Tidak jarang terjadi “kita melihat berbagai hal bukan sebagaimana mereka adanya, melainkan sebagaimana kita adanya”. Artinya tidak jarang terjadi kita mewarnai kata-kata dan kalimat-kalimat orang lain dengan krayon emosional kita sendiri dan kemudian bereaksi pada kata-kata atau kalimat-kalimat itu seakan-akan mereka adalah fakta (Hoda Lacey, 2003:103).

Dalam konteks ini kiranya menarik menyimak cerita Fisher, Kopelmen dan Schneider tentang seorang kolonel Angkatan Darat Amerika Serikat selama perang Vietnam. Kolonel tersebut mengatakan perlunya mempertimbangkan suatu konflik dari sudut pandang musuh. Ia beranggapan bahwa dengan memahami bagaimana orang lain memandang suatu persoalan bisa membuat kita mempertanyakan baik buruknya sudut pandang kita. “Semakin kita memahami keprihatinan-keprihatinan dan ide-ide mereka“, katanya “semakin besar kemungkinan kita akan kehilangan kepercayaan akan kebenaran tujuan kita sendiri“ (Hoda Lacey, 2003:102). Oleh sebab itu, bila dalam melihat suatu persoalan masing-masing individu hanya bertahan dengan sudut pandangnya tanpa mau bermurah hati untuk mencoba memahami sudut pandang orang lain, maka dapat dipastikan terjadinya konflik tidak dapat dielakkan. Lebih lanjut Hoda Lacey (2003:23-24) mengemukan bahwa konflik sering muncul ketika kita merasa terancam oleh seseorang yang kita pandang:

Bertindak dari perangkat nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang berbeda

Menyerang apa yang kita pandang sebagai wilayah kita Merampas sesuatu yang kita anggap sah miliki kita Merugikan kita atau merongrong kita dengan sesuatu cara Berbeda dari kita dalam suatu hal

Disamping empat faktor utama yang telah diuraikan di atas, sumber konflik yang juga tidak kalah pentingnya untuk dicermati dewasa ini adalah manajemen perubahan (manajement of change). Satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri saat ini adalah terjadinya perubahan lingkungan yang demikian cepat. Sehingga organisasi yang tetap ingin survive ditengah arus perubahan yang maha dahsyat ini, tidak bisa tidak harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Bila tidak, dapat dipastikan organisasi dimaksud akan tergilas oleh derasnya arus perubahan tersebut. Sebagaimana terungkap dalam suatu pepatah “Seandainyapun anda berada di jalur yang benar, anda akan tergilas kalau anda duduk saja disana“. Dengan demikian perubahan dalam segala aspek organisasi adalah merupakan hal yang harus dilakukan untuk menyikapi perubahan lingkungan yang terjadi. Semakin besar perubahan yang dilakukan, semakin besar pula kecenderungan timbulnya

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 12

penentangan terhadap perubahan tersebut. Hal inilah kemudian yang dapat memicu terjadinya konflik bila perubahan tersebut tidak dilakukan dengan strategi yang tepat.

5 Perubahan pandangan terhadap konflik

Bersamaan dengan bergulirnya waktu, pandangan para ilmuwan sosial dan manajer terhadap konflik telah mengalami banyak perubahan. Sampai pada pertengahan tahun 1940-an, sangatlah popular memposisikan konflik sebagai sesuatu yang membahayakan dan tidak berguna. Keberadaan konflik pada saat itu dipandang sebagai sinyal bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak beres dalam organisasi. Menurut pandangan tradisional ini, konflik sangat merugikan karena telah menyita banyak perhatian para manajer dan melemahkan energi dan sumberdaya, oleh sebab itu konflik harus dihindari. Tambahan lagi, konflik dipandang sebagai hasil dari manajemen yang jelek dan usaha dari orang-orang yang suka berbuat onar (troublemakers), karenanya konflik harus dieliminasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan pandangan terhadap konflik mengalami banyak kemajuan. Konflik tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang merugikan dan karenanya harus dihindari. Pandangan modern terhadap konflik adalah bahwa konflik di dalam organisasi merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dan bahkan konflik-konflik tersebut justru dibutuhkan untuk kemajuan organisasi. Jika dikelola secara konstruktif, konflik bisa membuahkan pembelajaran, pertumbuhan, perubahan, hubungan-hubungan yang lebih baik, dan perasaan memiliki tujuan bersama (Hoda Lacey, 2003:19). Lebih lanjut Hoda Lacey (2003:33) mengemukakan bahwa konflik bisa menjadi katalis bagi perubahan, kita bisa memandangnya sebagai suatu kesempatan untuk belajar tentang sudut pandang lain, untuk memahami perspektif yang ada. Dengan demikian kita dapat melihat suatu persoalan melalui berbagai macam sudut pandang. Bisa jadi suatu persoalan dapat didekati dengan cara yang lebih baik dibanding dengan cara yang selama ini kita gunakan. Konflik dapat menyebabkan orang mencari pemecahan-pemecahannya, ia sering kali menjadi sebuah alat untuk mencapai inovasi dan perubahan organisatoris (Winardi, 1994:64-65).

Perspektif yang tidak jauh berbeda dikemukan pula oleh Vecchio. et. al (1992:455) yang menyatakan bahwa; ”…conflict can encourage a search for new tactis and strategies, and help overcome stagnation and complacency”. Lebih lanjut Vecchio mengemukakan bahwa “conflict as a device for directing effort is, therefore sometimes a desirable state”. Dengan demikian jelas bahwa konflik tidak selamanya

negatif, bila ditangani dengan baik konflik dapat memberi banyak manfaat kepada individu dan organisasi. Sebagai mana dikemukan Vecchio di atas, konflik juga dapat mendorong dilakukannya pencarian untuk menemukan taktik dan strategi baru. Kecuali itu, konflik juga dapat digunakan sebagai piranti untuk mengatasi stagnasi dan mengatasi kecenderungan untuk hanya memuaskan diri sendiri. Lebih lanjut Winardi (1994:65) mengidentifikasi sejumlah perbedaan antara pandangan kuno dan modern terhadap konflik seperti ditunjukkan dalam tabel 1 berikut ini.

Table 1 Pandangan kuno dan pandangan modern tentang konflik

PANDANGAN KUNO PANDANGAN MODERN

Konflik dapat dihindari Konflik tidak dapat dihindari

Konflik disebabkan karena adanya kesalahan manajemen dalam hal mendisain dan mengelola organisasi atau karena adanya pengacau-pengacau

Konflik muncul karena aneka macam sebab, termasuk didalamnya struktur organisatoris, perbedaan-perbedaan dalam tujuan-tujuan yang tidak dapat dihindari, perbedaan-perbedaan dalam persepsi-persepsi serta nilai-nilai personalia yang terspesialisasi dan sebagainya

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 13

Konflik merusak organisasi yang bersangkutan, dan menyebabkan tidak tercapainya hasil optimal

Konflik membantu, kadang-kadang menghambat hasil pekerjaan organisatooris dengan derajat yang berbeda-beda

Tugas manajemen adalah meniadakan konflik Tugas manejemen adalah memanaje tingkat konflik, dan pemecahannya hingga dapat dicapai hasil prestasi organisatoris optimal

Agar dapat dicapai hasil prestasi organisatoris optimal, maka konflik perlu ditiadakan.

Hasil pekerjaan optimal secara organisatoris, memerlukan konflik moderat

Sumber : Winardi (1994). Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Mandar Maju. h. 67

Perbedaan perspektif dalam melihat konflik antara pandangan tradisionil dan modern, dikemukakan pula oleh Fred Luthans (1995, 288-289). Perbedaan pandangan tersebut dapat diringkas sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Perbedaan Asumsi terhadap Konflik antara

Pandangan Tradisionil dan Modern

Traditional Modern

Conflict is by definition avoidable Conflict is inevitable

Conflict is caused by troublemakers, boat rockers, and prima donnas

Conflict is determined by structural factors such as the physical shape of a building, the design of career structure, or the nature of a class system.

Legalistic forms of authority such as “going through channels” or “sticking to the book” are empashized

Conflict is integral to the nature of change

Scapegoats are accepted as inevitable A minimal level of conflict is optimal

Sumber: Fred Luthans (1995). Organizational Behavior. McGraw-Hill. p. 288-289

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa pandangan tradisionil melihat konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari. Manajer dengan pandangan seperti ini akan selalu mencoba mengabaikan konflik atau mencari rasionalisasi untuk membenarkan sikap bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat dilakukan terhadap konflik tersebut. Pandangan tradisionil ini juga berpendapat bahwa konflik disebabkan oleh adanya “troublemakers”, sehingga menutup diri dari kemungkinan adanya sesuatu yang harus diperbaiki dalam sistem organisasi. Kecuali itu, penyebab kesalahan diterima sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Sedangkan pandangan modern melihat konflik sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan, karena konflik tersebut merupakan bagian integral dari perubahan.

Organisasi yang ingin maju, tidak dapat mengelak dari perubahan dan konsekuensinya juga tidak dapat mengelak dari konflik. Kalau pandangan tradisionil menganggap bahwa konflik disebabkan oleh adanya “troublemaker”, maka pandangan modern melihat bahwa konflik ditentukan oleh faktor-faktor struktural seperti; bentuk fisik dari gedung, desain dari struktur karir, atau sifat dari sistem. Disamping itu, pandangan modern menilai tingkat konflik yang minimum adalah ketika konflik tersebut optimum, artinya pada tingkat tersebut konflik dapat menghasilkan kinerja yang maksimal.

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 14

6. Dampak Konflik

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa konflik dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Artinya, bila konflik ditangani atau dikelola secara baik, maka akan memberi banyak manfaat baik bagi individu maupun organisasi. Karena konflik membuahkan pembelajaran, khususnya dalam melihat suatu persoalan. Kecuali itu, diyakini pula bahwa konflik dapat memicu inovasi dan kreativitas. Tyson dan Jackson (2000:62) mengatakan bahwa “ada beberapa bukti yang sangat mendukung bahwa pada tingkat tekanan tertentu, konflik penting bagi sebuah kelompok untuk bertindak pada tingkat yang tepat“. Namun disisi lain, konflik bila tidak ditangani dengan baik, juga dapat membawa kehancuran. Konflik secara inheren tidaklah merupakan sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan. Artinya konflik tidak dipandang merupakan sesuatu yang dibutuhkan atau dihindari, melainkan hanya dalam batasan efek dari konflik tersebut terhadap kinerja. Apakah konflik tersebut dapat memicu peningkatan kinerja pada tingkat yang optimum atau justru sebaliknya, meluluh lantakkan kinerja pada tingkat yang sangat rendah. Hubungan antara konflik dan kinerja dapat diilustrasikan seperti ditunjukkan gambar 2.

Gambar 2 Contemporary View of the Relationship Between

Conflict and Performance

Mengamati gambar 2 di atas, dapat dipahami bahwa konflik pada tingkat yang optimum akan menghasilkan kinerja yang tertinggi. Tetapi apabila tingkat konflik sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya “chaos” atau kekacauan. Sebaliknya bila tingkat konflik terlalu rendah dapat menghasilkan kinerja yang jelek dan kecenderungan untuk hanya memuaskan diri sendiri akibat kurangnya inovasi. Sehubungan dengan itu, bila tingkatan konflik yang eksis terlalu rendah perlu dilakukan stimulus untuk meningkatkan konflik agar mencapai tingkat yang optimum. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menstimulasi konflik menurut Winardi (1994:81-82), antara lain adalah:

Menyertakan orang lain - Metode yang umum digunakan untuk memberi goncangan pada sebuah unit kerja yang “beku” adalah dengan memasukkan orang baru pada unit kerja tersebut, yang memiliki latar belakang, nilai-nilai dan gaya yang sangat berbeda dengan yang selama ini wujud pada unit kerja tersebut.

Level of Conflict

Low High

P e r f o r ma n ce

Low

High

Optimum Level of Conflict

Poor Performance Due to chaos

Poor Performance Due to Complacency

Sumber : Robert P. Vecchio. et.al (1992). Organisationall Behaviour Life at Work in Australia. Harcourt Brace. P. 456

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 15

Bertindak bertentangan dengan apa yang umum berlaku - Tindakan tidak menyampaikan informasi pada individu-individu atau kelompok-kelompok yang secara normatif harus memperoleh informasi tersebut dapat menstimulasi konflik. Atau dengan menambahkan kelompok kelompok baru dalam jaringan infomasi tersebut, sehingga terjadi redistribusi kekuasaan. Hal ini juga dapat menjadi stimulus terjadinya konflik.

Merestrukturisasi organisasi yang bersangkutan - Tindakan memecah unit kerja atau departemen lama dan mereorganisasi mereka sedemikian rupa, sehingga mereka memiliki anggota-anggota yang baru, tanggung jawab baru akan mendorong terciptanya suatu situasi yang tidak pasti, sehingga masing-masing individu akan mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang baru tersebut. Pada saat masing-masing individu mencoba menyesuaikan diri dengan situasi mereka yang baru dapat mendorong lahirnya metode-metode operasi yang lebih baik.

Merangsang persaingan - Tindakan menawarkan bonus, pembayaran insentif, pemilihan karyawan berprestasi dapat menciptakan terpeliharanya persaingan. Apabila iklim persaingan ini dipelihara dengan baik, diyakini dapat menstimulasi timbulnya konflik produktif. Karena masing-masing individu atau kelompok akan berusaha lebih menonjol dari individu atau kelompok lainnya.

Memilih manajer-manajer yang tepat - Para manajer yang otoriter, yang tidak mau mendengar pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat mereka, seringkali menyebabkan bawahan atau anggota kelompoknya menjadi pasif. Karena itu diperlukan manajer yang tepat untuk membangunkan mereka dari kepasifan.

Robbins (qtd. In. Vecchio et al, 1992:468) menawarkan pula beberapa metode yang dapat digunakan untuk menstimulasi konflik, yang tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan di atas, yaitu sebagai berikut:

Appointing managers who are open to chance - Pada suatu unit kerja, manajer yang otoriter akan cenderung menekan sudut pandang yang berbeda. Sebagai hasilnya kelesuan dapat diatasi sampai pada suatu tingkat melalui pemilihan dan penempatan manajer yang memiliki orientasi perubahan.

Encouraging competition - Pemberian insentif pada individu dan kelompok terhadap kinerja yang dicapai melalui; peningkatan upah, bonus, dan pengakuan cenderung meningkatkan persaingan. Persaingan bila dikelola secara baik dapat menghasilkan “creative conflict”

Restructuring the work unit - Pergantian anggota tim kerja, rotasi staf, dan mengubah garis komunikasi dapat dilakukan guna memberi goncangan dalam organisasi. Restrukturisasi dapat pula menciptakan pekerjaan baru yang diisi oleh orang luar dengan nilai dan gaya yang berbeda dengan nilai dan gaya sebelumnya.

Dengan mencermati gambar 2 dapat diketahui pula bahwa bila tingkat konflik terlalu tinggi dapat pula mengakibatkan terjadinya “chaos“ sehingga harus direduksi. Artinya konflik tersebut harus dikelola sedemikian rupa sehingga situasi yang panas menjadi dingin. Masing-masing pihak yang terlibat konflik diupayakan agar mengurangi intensitas pertentangan yang terjadi diantara mereka. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mereduksi konflik diantaranya adalah; (1) mensubstitusikan tujuan-tujuan luhur (superior) yang dapat diterima oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik, sehingga mendorong masing-masing pihak untuk mengerahkan energi dan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan tersebut. Kecuali itu, secara tidak langsung tanpa mereka sadari mereka akan berinteraksi secara lebih inten untuk mengatasi segala rintangan dalam mencapai tujuan tersebut. (2) menciptakan musuh bersama, artinya kepada kedua belah pihak dihadapkan musuh bersama dari luar, sehingga mau tidak mau mereka harus menyatukan kekuatan untuk menghadapi musuh tersebut. Hal tersebut akan menstimulasi kerjasama diantara mereka dan dengan sendirinya mereka akan melupakan perbedaan dan pertentangan yang terjadi diantara mereka selama ini.

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 16

6.1 Dampak positif konflik

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa konflik dapat memberi manfaat, bila dikelola dengan baik. Beberapa manfaat yang dapat ditarik dari konflik menurut Winardi (1994:6-7) antara lain adalah:

Peningkatan kreativitas dan inovasi - Akibat adanya konflik, orang terdorong

untuk melakukan pekerjaannya dengan cara yang lebih baik, menggunakan sumberdaya yang lebih efisien guna mencapai kinerja yang tertinggi. Kecuali itu, akibat konflik orang juga terpacu untuk berperilaku lebih baik agar lebih disukai orang lain.

Upaya yang meningkat (intensitasnya) - Konflik dapat membantu orang mengatasi perasaan apatis dan mendorong orang yang terlibat konflik untuk bekerja lebih keras.

Ikatan (kohesi) yang makin kuat - Konflik yang terjadi dengan pihak luar, dapat mendorong semakin diperkuatnya identitas kelompok, diperkuatnya ikatan (kohesi) dan komitmen anggota kelompok agar dapat memenangkan perseteruan dengan pihak lawan.

Ketegangan yang menyusut - Konflik juga diyakini dapat membantu menyusutkan ketegangan-ketegangan antar pribadi

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Carolyn Sherif dan rekan-rekan (qtd. in. Winardi, 1994: 73-75) terhadap dua kelompok anak muda yang ditempatkan pada dua buah kamp yang terpisah, kemudian diciptakan situasi konflik intensif diantara mereka, maka dari studi tersebut ditemukan paling tidak ada dua manfaat dari situasi konflik tersebut, yaitu:

Kohesi yang semakin meningkat - Anggota suatu kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain, akan berusaha membangun identitas kelompok yang lebih kuat melalui ikatan (kohesi) yang kuat. Karena hanya dengan ikatan yang kuat tersebutlah, mereka yakin dapat mengatasi kelompok lain yang terlibat konflik dengan mereka. Karena itu, ketidakcocokkan-ketidakcocokan masa lampau akan dikesampingkan guna membangun kesatuan yang lebih kuat.

Munculnya pemimpin-pemimpin - Apabila konflik makin memuncak, maka individu-individu yang dapat memberikan kontribusi terbesar untuk memenangkan perseteruan tersebut akan semakin dihormati dan dihargai. Makin terlihat kemampuannya untuk dapat mengalahkan lawan, maka semakin besar kekuasaan yang diberikan oleh anggota kelompok kepadanya. Sehingga tanpa melalui suatu prosedur yang rumit dan bertele-tele, orang yang bersangkutan secara otomatis akan dinobatkan sebagai pemimpin.

Sementara itu Pickering (2000:3) telah pula mengidentifikasi sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari konflik, diantaranya adalah:

Motivasi meningkat Identifikasi masalah/pemecahan meningkat Ikatan kelompok lebih erat Penyesuaian diri pada kenyataan Pengetahuan/keterampilan meningkat Kreativitas meningkat Membantu upaya mencapai tujuan Mendorong pertumbuhan

Lebih lanjut, Pickering (2000:95) berpendapat bahwa karena konflik berakar dalam emosi, sehingga bila seseorang berhasil mengatasi konflik secara efektif, maka dia akan berkembang dalam tiga aspek, yaitu:

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 17

Kepribadian - Sukses yang diperoleh seseorang dalam menangani konflik akan menambah rasa percaya diri orang tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan harga dirinya. Orang yang mempunyai harga diri tinggi memiliki kepribadian yang lebih positif.

Kekuatan - Kekuatan pribadi atau kepercayaan terbentuk manakala seseorang berhasil mengalahkan rasa takut akan terungkapnya kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Bila seseorang berhasil mengatasi konflik, besar kemungkinan orang tersebut akan membuka diri, sehingga menambah kepercayaan orang lain pada orang tersebut yang sudah barang tentu akan menambah kekuatannya.

Perspektif - Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa konflik sering terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan persepsi terhadap suatu persoalan atau kenyataan. Jika seseorang berhasil mengatasi konflik maka dapat dipastikan perspektif orang tersebut akan semakin luas.

6.2 Dampak negatif konflik

Sebagaimana telah di uraikan sebelumnya, bahwa konflik disamping memiliki manfaat dapat pula memberi dampat negatif. Terutama bila konflik tersebut tidak ditangani atau dikelola dengan baik. Daniel Dana, dari Mediation Training Institute International, percaya bahwa “konflik karyawan yang tidak terkelola merupakan biaya terbesar yang sebenarnya bisa ditekan di organisasi-organisasi sekarang ini (qtd. In. Hoda Lacey, 2003:xii). Pada tingkat yang sangat tinggi, sebagaimana diilustrasikan pada gambar 1, konflik dapat menyebabkan terjadinya “chaos“ yang sudah barang

tentu akan berakibat sangat fatal bagi eksistensi individu, kelompok maupun organisasi. Pickering (2000:3-4) telah mengidentifikasi beberapa dampak buruk konflik sebagai berikut:

Produktivitas menurun Kepercayaan merosot Pembentukan kubu-kubu Informasi dirahasiakan dan arus komunikasi berkurang Timbul masalah moral Waktu terbuang sia-sia Proses pengambilan keputusan tertunda

Lebih lanjut Pickering (2000:96), berpendapat bahwa ditinjau dari aspek

emosional dan hubungan antar manusia, konflik dapat membawa tiga dampak negatif yang merugikan, yaitu:

Momentum - Konflik dapat menjadi hambatan sehingga semua orang mati langkah.

Harga diri - Seseorang yang terlibat konflik dengan orang lain mungkin mencoba membuat orang lain yang menjadi lawan konflik merasa bersalah, tidak cakap atau bodoh. Harga diri lawan konflik dijatuhkan sedemikian rupa, sehingga berada pada posisi yang sangat tidak mengenakkan.

Hubungan antar individu - Tidak pelak lagi, bahwa konflik dapat menyebabkan hubungan antar individu menjadi tercabik-cabik sebagai akibat putusnya komunikasi, hilangnya kejernihan fikiran, amarah dan sikap permusuhan.

Sehubungan dengan itu, Wood, et. al (2001:539) menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan seorang manajer untuk mencegah terjadinya konflik yang destruktif ditempat kerja, yaitu:

Listen carefully to employees to prevent misunderstanding Monitor employees’ work to assist them to understand and coordinate

their action. Encourage employees to approach you when they cannot solve difficulties

with co-workers on their own.

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 18

Clear the air with regular meetings that give employees a chance to discuss their grievances

Provide a suggestion box, check it frequently and personally reply to all signed suggestion.

Offer as much information as possible about decision to minimize confusion and resentment.

Use employee surveys to identify potential conflicts that have not yet surfaced.

Dari uraian-uraian di atas, kiranya sangatlah jelas bahwa konflik memiliki sisi positif dan negatif. Bila dikelola secara baik, konflik dapat memberi banyak manfaat dan sebaliknya bila tidak dikelola secara baik atau diatasi dengan cara-cara yang tidak tepat, konflik dapat menimbulkan banyak kerugian dan bahkan kehancuran. Oleh karena itu hasil akhir suatu konflik tergantung pada bagaimana konflik itu dikelola.

7. Gaya manajemen konflik (Styles of Conflict Management)

Masing-masing orang atau manajer tentu mempunyai cara yang berbeda dalam menghadapi konflik. Ken Thomas, seorang pakar yang menulis secara luas konflik organisasi menyarankan lima gaya utama menajemen konflik yang dapat diadop oleh para manajer dalam mengelola konflik, yaitu; (1) forcing, (2) collaborating, (3) compromising, (4) avoiding, dan (5) accomodating (qtd. in.

Vecchio.et. al, 1992:466). Untuk menjelaskan kelima gaya ini, Thomas lebih lanjut menyarankan digunakannya “framework dua dimensi”, sebagaimana ditunjukkan gambar 3.

Gambar 3 A Two-Dimensional Model of Conflict Behavior

7.1 Forcing

Forcing adalah gaya manajemen konflik yang berusaha mengatasi lawan konflik dengan menggunakan kewenangan formal, ancaman atau power. Dengan demikian gaya ini lebih condong untuk memuaskan keprihatinan sendiri (assertive) daripada memuaskan keprihatinan pihak lain (cooperative).

Cooperativeness

Uncooperative Cooperative

A s s e r t i v e n e s s

Unassertive

Assertive Forcing

Sumber : Robert P. Vecchio. et.al (1992). Organisationall Behaviour

Life at Work in Australia. Harcourt Brace. P. 467

Collaborating

Avoiding

Compromising

Accommodating

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 19

7.2 Collaborating

Collaborating adalah gaya manajemen konflik yang menggabungkan assertiveness dan cooperativeness. Artinya, gaya kolaborasi ini berusaha memuaskan keprihatinan kedua belah pihak melalui diskusi yang ikhlas dengan hati yang jujur. Kesuksesan gaya ini dibutuhkan kepercayaan dan keterbukaan dari seluruh pihak yang terlibat konflik.

7.3 Accomodating

Accomodating adalah gaya manajemen konflik yang lebih mengutamakan keprihatinan pihak lain dari pada keprihatinan sendiri. Perilaku akomodatif bisa jadi dimotivasi oleh keinginan untuk menjadi altruistik dan mempertahankan harmoni yang telah tercipta selama ini. Artinya orang yang menggunakan gaya ini lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri, karena berprinsip bahwa konfrontasi dan kemarahan adalah sesuatu yang buruk.

7.4 Avoiding

Avoiding adalah gaya manajemen konflik yang merupakan kombinasi antara “unassertiveness“ dan “uncooperativenes“. Artinya gaya ini mencoba mengabaikan

keprihatinan sendiri dan juga keprihatinan pihak lain. Kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik berusaha untuk menjauhkan diri dari konflik tersebut. Biasanya hal ini dilakukan untuk menghindari konflik yang lebih luas dan masing-masing pihak berharap konflik tersebut akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

7.5 Compromising

Compromising adalah gaya manajemen konflik yang mencoba mencari titik tengah antara keprihatinan sendiri dan keprihatinan pihak lain. Artinya masing-masing pihak tidak akan mencapai apa yang diinginkan secara maksimal. Pendekatan ini berhasil apabila masing-masing pihak bersedia saling memberi satu sama lain.

Lebih lanjut Ken Tomas mencoba meringkas karakteristik kelima gaya manajemen konflik di atas, sebagaimana tersaji dalam tabel 3 berikut ini.

Tabel 3 Five Conflict-Handling Style

Conflict-Handling Style

Related Term Proverb

Forcing Competing Conflictful Moving against the other

Put your foot down where you mean to stand

Collaborating Problem solving Integrating Confronting

Come let us reason together

Compromising Splitting the difference Sharing Horse-trading

You have to give some to get some

Avoiding Moving away from the other Withdrawing Losing-leaving

Let sleeping dogs lie

Accomodating Yielding-losing Friendly-helping Moving toward the other

It is better to give than to receive

Sumber : Robert P. Vecchio. et.al (1992). Organisational Behaviour Life at Work in Australia. Harcourt Brace. P. 466

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 20

Mencermati karakteristik masing-masing gaya manajemen konflik dalam tabel 3 di atas, jelas kiranya bahwa masing-masing gaya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Meskipun orang dapat tergoda untuk mempertimbangkan satu gaya manajemen konflik lebih efektif dari gaya lainnya (misalnya collaborating lebih efektif dari avoiding). Namun harus diyakini bahwa setiap gaya akan bekerja baik pada situasi tertentu. Artinya, meskipun suatu gaya efektif menyelesaikan konflik pada suatu situasi belum tentu juga efektif pada situasi yang lain. Melalui survey yang dilakukannya, Ken Thomas (qtd. in. Vecchio et al, 1992:469) berusaha mengidentifikasi gaya manajemen konflik yang cocok untuk suatu situasi, sebagaimana tersaji dalam tabel 3 berikut ini.

Tabel 4 Uses of Five Styles of Conflict Handling

Conflict-Handling Style Appropriate Situations

Forcing

1. When quick, decisive action is vital, e.g., emergencies 2. On important issues where unpopular actions needing

implementing, e.g., cost-cutting, enforcing unpopular ruler, discipline

3. On issues vital to company welfare when you know you’re right

4. Against people who take advantage of noncompetitive behavior

Collaborating 1. To find an intergrative solution when both sets of concerns

are too important to be compromised 2. When your objectives is to learn 3. To merge insights from people with different perspectives 4. To gain commitment by incorporating concerns into a

consensus 5. To work through feelings which have interfered with

relationship

Compromising

1. When goals are important, but not worth the effort or

potential disruption of more assertive modes 2. When opponents with equal power are commited to

mutually exclusive goals. 3. To achieve temporary settlements to complex issues. 4. To arrive at expedient solutions under time pressure. 5. As a backup when collaboration or competition is

unsuccessful .

Avoiding 1. When issues is trivial, or more important issues are pressing.

2. When you perceive no chance of satisfying your concerns. 3. When potential disruption outweights the benefits of

resolution 4. To let people cool down and regain perspective. 5. When gathering information supersedes immediate

decision. 6. When others can resolve the conflict more effectively. 7. When issues seem tangential or symptomatic of other

issues

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 21

Lanjutan

Conflict-Handling Style Appropriate Situations

Accomodating

1. When you find you are wrong-to allow a better position to

be heard, to learn, and to show your reasonableness. 2. When issues are more important to others than yourself- to

satisfy others and maintain cooperation. 3. To build social credits for later issues. 4. To minimize loss when you are outmatched and losing. 5. When harmony and stability are especially important. 6. To allow subordinates to develop by learning from

mistakes.

Sumber : Robert P. Vecchio. et.al (1992). Organisational Behaviour Life at Work in Australia. Harcourt Brace. P. 469

8. Indikator Adanya Konflik

Meskipun konflik pada dasarnya adalah merupakan suatu pertentangan, namun tidak selamanya konflik dimanifestasikan dalam perselisihan terbuka, teriakan atau tanda-tanda yang mudah kelihatan. Oleh karena itu intuisi untuk mengetahui tanda-tanda adanya sesuatu yang tidak beres perlu dipertajam, terutama bagi yang menduduki posisi sebagai pemimpin. Konflik bisa diekspresikan secara agresif atau pasif, secara jelas atau tersembunyi atau gabungan dari keempatnya. Hoda Lacey (2003:25-26) menciptakan suatu model untuk memandang konflik, seperti diilustrasikan pada gambar 4.

Gambar 4 Tanda-tanda Konflik

JELAS

TERSEMBUNYI

PA S I F

A G R E S I F

Sumber : Diadaptasi dari Hoda Lacey (2003). How to Resolve Conflict

In the Workplace. Gramedia Pustaka Utama. P. 26

IV

I

III

II

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 22

Gambar 4 di atas menjelaskan bahwa tanda-tanda konflik diidentifikasi melalui empat kuadran, yaitu; Kuadran I, II, III dan IV

Kuadran I, Konflik dimanifestasikan secara agresif dengan tanda-tanda yang jelas, misalnya; melalui teriakan, celaan, ejekan, tindak kekerasan, dan sebagainya.

Kuadran II, Konflik dimanifestasikan secara agresif tetapi dengan tanda-tanda yang tersembunyi, misalnya; melalui komentar-komentar yang merendahkan, pelecehan, tanpa henti mencari-cari kesalahan, mengkritik atau dengan cara menjatuhkan nama baik pihak lain.

Kuadran III, Konflik dimanifestasikan secara pasif dan tersembunyi, misalnya; tidak mau bekerjasama, apatis, membolos dengan alasan sakit, dan sebagainya.

Kuadran IV, konflik dimanifestasikan secara pasif dan jelas, misalnya; sopan santun yang dibuat-buat, tidak mau berbicara, mengacuhkan lawan konflik, membuat memo yang berisi kekeliruan lawan konflik dengan tembusan kepada pihak lain, dan sebagainya.

Lebih lanjut, Hoda Lacey (2003:46) mengidentifikasi sejumlah indikator umum yang dapat digunakan sebagai petunjuk adanya konflik dalam organisasi, indikator tersebut antara lain adalah;

Komunikasi semakin mengambil bentuk penulisan memo dan e-mail Lebih banyak orang bekerja di balik pintu tertutup Rapat-rapat yang tidak memperoleh hasil apa-apa Bahasa “mereka dan kita” Friksi dan permusuhan antar pribadi Nada suara tinggi dan air mata Terbentuknya gang-gang Rehat makan siang berkepanjangan dan jadwal tidak terjaga Aksi bolos dan tidak masuk kerja dengan alasan sakit Moril rendah atau ketegangan Orang-orang tampak tertekan dan muram Output/kualitas kerja terpengaruhi

9. Strategi Penyelesaian Konflik

Sebagaimana telah di bahas sebelumnya bahwa kita tidak dapat mengelak dari konflik karena konflik merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita baik sebagai individu, anggota kelompok maupun organisasi. Karena itu konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan menyambutnya dengan baik, belajar darinya dan mengalir bersama konflik tersebut.

Agar konflik memberi manfaat, maka konflik tersebut harus dikelola dengan baik dan diselesaikan dengan cara-cara yang tepat. Filosofi mendasar dari pemecahan konflik adalah kepercayaan dan keyakinan bahwa kita dapat menyelesaikan konflik tersebut dengan baik. Mengingat konflik banyak sekali jenisnya dan sumber konflik juga sangat beragam, oleh karena itu masing-masing jenis konflik memerlukan cara penyelesaian yang spesifik. Namun demikian sebagian besar penyelesaian konflik, tidak hanya konflik antar individu, tetapi juga konflik antar kelompok dan organisasi bersandar pada tiga strategi dasar, yaitu; (1) lose-lose (pendekatan kalah-kalah), (2) win-lose (pendekatan menang-kalah), dan (3) win-win (pendekatan menang-menang).

Lose-lose - Penyelesaian konflik dengan pendekatan kalah-kalah terjadi apabila tak seorangpun dari pihak yang terlibat konflik berada pada posisi yang menang. Seperti telah dijelaskan sebelumnya pendekatan kalah-kalah dapat dilakukan dalam berbagai cara. Pendekatan-pendekatan yang umum digunakan diantaranya adalah; melakukan kompromi, memisahkan salah satu pihak dari konflik, menggunakan pihak ketiga dari luar atau arbitrator, dan yang terakhir adalah menggunakan aturan yang ada. Sekalipun penyelesaian konflik menggunakan pendekatan ini terkesan

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 23

berhasil, tapi sesungguhnya hanya untuk sementara waktu. Konflik tersebut masih mempunyai peluang untuk muncul kembali di kemudian hari atau menjadi anteseden dari konflik lainnya. Karena itu, strategi penyelesaian konflik menggunakan pendekatan ini kurang disukai dibanding pendekatan lainnya seperti; menang-kalah atau khususnya menang-menang.

Win-lose - Penyelesaian konflik dengan pendekatan menang-kalah, salah satu pihak mencapai apa yang diinginkannya dengan jalan mengorbankan kepentingan pihak lain. Strategi penyelesaian konflik dengan pendekatan ini menjadi sangat umum pada budaya yang menghargai persaingan. Salah satu pihak yang berada pada situasi konflik berusaha menyusun kekuatan untuk menang. Strategi menang kalah dapat berakibat “functional” dan “dysfunctional” terhadap organisasi. Fungsional, karena mendorong kreativitas untuk memenangkan persaingan, dan dapat meningkatkan kohesivitas dan “esprit de corp“ diantara individu-individu kelompok-kelompok yang terlibat konflik. Pada sisi disfungsional, strategi menang-kalah mengabaikan kemungkinan solusi lain seperti; kerjasama, membangun tujuan bersama dan satu masalah besar dalam penggunaan strategi ini adalah salah satu pihak tetap berada pada posisi yang kalah. Meskipun orang atau kelompok yang menderita kekalahan mungkin bisa belajar sesuatu dari konflik tersebut, namun kekalahan tersebut tetap merupakan sesuatu yang menyakitkan sehingga mendorong keinginan untuk membalas dendam.

Win-win - Penyelesaian konflik dengan pendekatan menang-menang adalah penyelesaian yang paling disukai baik dalam konflik individu, kelompok maupun organisasi. Seluruh tenaga dan kreativitas diarahkan untuk memecahkan masalah dari pada sekadar mengalahkan pihak lain. Kebutuhan masing-masing pihak yang ada dalam situasi konflik dipenuhi dan kedua belah pihak menerima hasil yang diharapkan. Tinjauan terhadap literatur yang relevan menunjukkan bahwa strategi menang-menang berhubungan erat dengan adanya keinginan untuk membicarakan persoalan yang memicu konflik secara terbuka dan jujur dan masing-masing pihak mempunyai posisi tawar yang menyenangkan. Meskipun sangat sulit menerapkan strategi ini dalam penyelesaian konflik, namun harus menjadi tujuan utama dalam mengelola konflik.

Khusus berkenaan dengan konflik antar kelompok, Fred Luthans (1995:286) menyarankan sejumlah strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik, yaitu; (1) avoidance, (2) defusion, (3) containment, dan (4) confrontation.

Avoidance - Jenis strategi ini berusaha untuk membiarkan konflik apa adanya. Dengan kata lain mengabaikan konflik tersebut. Strategi ini tentu cocok manakala konflik yang terjadi sepele atau tindakan yang cepat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya konflik.

Defusion - Adalah strategi yang mengupayakan agar konflik menjadi “deaktive“ dan mendinginkan emosi serta permusuhan diantara kelompok yang terlibat konflik. Hal ini dapat dilakukan dengan mencoba menurunkan taraf konflik atau menciptakan “superordinat goals“ untuk mendorong masing-masing kelompok yang terlibat konflik bekerjasama untuk memenuhi tujuan tersebut. Strategi ini cocok digunakan manakala kelompok tersebut mempunyai tujuan bersama yang penting.

Containment - Melalui strategi ini, suatu konflik dibiarkan muncul kepermukaan, tetapi ditahan secara hati-hati melalui pengungkapan isu-isu yang akan didiskusikan dan bagaimana isu-isu tersebut diselesaikan. Untuk melaksanakan strategi ini, masalah dan prosedur yang akan digunakan disusun, dan wakil dari pihak-pihak yang terlibat konflik diizinkan melakukan negosiasi dan tawar-menawar dalam struktur yang dibangun. Strategi ini cocok digunakan bila diskusi terbuka mengalami kegagalan dan masing-masing pihak mempunyai kekuatan yang seimbang.

Confrontation - Strategi ini merupakan ujung lain dari kontinum yang merupakan lawan dari strategi “avoidance“. Semua isu-isu yang memicu konflik dibawa secara

terbuka kepermukaan, dan pihak-pihak yang terlibat konflik saling menghadapkan

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 24

isu-isu yang diperdebatkan satu sama lain untuk kemudian dicari solusi yang sama-sama memuaskan. Stretegi ini boleh jadi meliputi pemecahan masalah bersama atau secara formal mendisain ulang pekerjaan dan tanggungjawab agar supaya konflik dapat diselesaikan. Konfrontasi cocok digunakan bila tingkat kepercayaan sangat rendah dan waktu tidak terlalu kritis.

Sebetulnya masih banyak strategi lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik antar kelompok disamping strategi yang telah dijelaskan di atas. Fred Luthans (1995:286), mengidentifikasi strategi lain dalam teknik mengelola konflik, misalnya melalui; superordinat goal, the reduction of interdependece between the conflicting group, expanding resources, mutual problem solving, creation of formal appeals system, dan merging conflicting group.

Dari pembahasan-pembahasan di atas jelaslah terlihat bahwa kemampuan mengelola dan menyelesaikan konflik akan sangat menentukan, apakah konflik tersebut akan menghasilkan sesuatu yang konstruktif atau justru destruktif. Terkait dengan kemampuan menyelesaikan konflik, Wood et al (2001:543) menyarankan beberapa hal yang dapat digunakan seorang manajer untuk meningkatkan kemampuannya menyelesaikan konflik, yaitu:

Discover the reason for and meaning of the conflict Listen actively and openly Communicate emotions openly and directly Search for the hidden fears, desires, interest, emotions and intentions, of

the conflicting parties. Do not seeks to establish who is right and who is wrong, but create a

dialogue between the conflicting parties Develop your own capacity for empathy and perseverance Solve problem creatively and commit to action.

10. Strategi Melakukan Perubahan

Sebagaimana telah dijelaskan pada topik sumber konflik, bahwa disamping faktor komunikasi, struktural dan kepribadian, konflik juga dapat disebabkan oleh perubahan. Karena dalam melakukan perubahan manajemen suatu organisasi sering dihadapkan pada kenyataan bahwa perubahan tersebut mendapat tantangan dari karyawan, terutama bagi mereka yang merasa nyaman dengan situasi yang tercipta selama ini. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, tidak tertutup kemungkinan organisasi akan terpolarisasi menjadi kubu yang mendukung perubahan dan yang menentang perubahan. Kondisi ini jelas memiliki potensi memicu terjadinya konflik. Oleh sebab itu, agar perubahan tersebut disatu sisi membawa organisasi kearah kemajuan tetapi disisi lain juga jangan menimbulkan konflik yang destruktif, maka perubahan tersebut perlu dilakukan dengan strategi yang tepat.

Dalam melakukan perubahan, seorang manajer memiliki otoritas melakukan perubahan, paling tidak ada tiga alternatif yang dapat digunakan seorang manajer, yaitu; memaksa, memanipulasi atau mempengaruhi (Hoda Lacey, 2003:171). Pemaksaan adalah pendekatan yang sangat agresif (menang-kalah). Dalam melakukan pemaksaan seorang manajer akan menggunakan semua kewenangannya agar orang lain menerima perubahan tersebut, dan sering kali dengan ancaman, “Kerjakan, kalau tidak ................“.

Manipulasi pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pemaksaan, hanya saja caranya tidak terang-terangan, dengan kata lain manipulasi adalah agresi yang terselubung. Namun pendekatannya tetap menang-kalah. Manipulasi sering dilakukan dengan pujian yang sofistik, misalnya “Anda kan hebat dalam hal ini, jadi kerjakan saja“. Berbeda dengan kedua pendekatan di atas, mempengaruhi adalah pendekatan yang lebih humanistik. Ini adalah pendekatan menang-menang, artinya perubahan dilakukan dengan meyakinkan orang lain. Kalau manipulasi dan

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 25

pemaksaan dilakukan menggunakan kekuatan dan penipuan. Mempengaruhi menggunakan integritas dan rasionalitas. Perbedaan antara pendekatan manipulasi dan pemaksaan dengan pendekatan mempengaruhi dapat diringkas, sebagaimana tersaji dalam tabel 5 berikut.

Tabel 5 Perbedaan utama antara manipulasi/pemaksaan dan mempengaruhi

Manipulasi dan pemaksaan Mempengaruhi

Kekurangan Pendekatan menang-kalah Menghancurkan motivasi dan

komitmen staf Menimbulkan hubungan/sikap yang

bermusuhan Menanamkan sinisme dan ketidak-

percayaan Mengisyaratkan kepemimpinan yang

jelek Tidak mengizinkan masukan dari staf Informasi mungkin terbias Mendorong lahirnya keputusan yang

tergesa-gesa

Kelebihan Pendekatan menang-menang Mendorong motivasi dan komitmen staf Kebutuhan setiap orang dipertimbangkan Staf merasa didekati dan dihormati Memberikan waktu untuk diskusi Membantu membangun hubungan lebih

baik Mendorong kreativitas Mendorong lahirnya keputusan-

keputusan yang lebih bermutu

Kelebihan Mungkin efektif dalam jangka pendek Mungkin cocok pada keadaan yang

sangat urgen

Kekurangan Bisa menyita waktu

Sumber: Hoda Lacey (2003). How to Resolve Conflict in the Workplace.

Gramedia Pustaka Utama. P. 172

Lebih lanjut Hoda Lacey (2003:173-174) menawarkan model untuk mempengaruhi orang lain menggunakan pendekatan PEPSI (position, empathize, problem, solution, dan influence).

Position - Nyatakan posisi sekarang secara objektif. Apa yang menjadi keberatan orang lain terhadap perubahan yang akan dilakukan dinyatakan secara jujur dan objektif.

Empathize - Bersikap positif dan pahami sudut pandang orang lain.

Problem - Nyatakan masalah apa saja yang akan timbul akibat tidak dilakukannya perubahan yang diinginkan dan siapa saja yang akan terkena dampaknya.

Solution - Menyodorkan alternatif-alternatif solusi yang mungkin ditempuh.

Influence - Gunakan karisma dan nalar yang argumentatif untuk meyakinkan orang lain agar bersedia menerima solusi yang ditawarkan.

11. Kesimpulan

Konflik adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan umat manusia, karena konflik tersebut mengalir seiring dengan dinamika kehidupan. Konflik merupakan bagian integral dari kehidupan itu sendiri baik kehidupan individu, organisasi atau masyarakat. Karenanya tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa konflik dapat menjadi indikator bahwa kehidupan masih berlangsung. Konflik bukanlah sesuatu yang baik atau jelek, konflik hanyalah fakta kehidupan. Konflik bila

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 26

dikelola secara konstruktif, dapat memberi manfaat yang luar biasa, karena konflik dapat menjadi katalis bagi perubahan kearah yang lebih baik.

Konflik memberikan proses pembelajaran bagi yang mengalaminya, karena melalui konflik kita memperoleh kesempatan untuk melihat suatu persoalan dari sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan perspektif yang semakin luas. Namun disisi lain, bila tidak ditangani atau dikelola secara baik konflik juga dapat menjadi perusak yang sangat menakutkan. Konflik yang tidak ditangani dengan baik dapat mengarah pada hal-hal yang destruktif, memutuskan hubungan, membunuh kreatifitas, melemahkan semangat dan bahkan pada tingkat yang tinggi konflik dapat menyebabkan terjadinya “chaos” yang bila tidak dapat diatasi dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konflik pada tingkat yang sangat rendah mengakibatkan dinamika kehidupan berjalan dengan sangat lamban tanpa ada dorongan kearah kemajuan dan pada tingkat yang sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya “chaos” yang juga dapat melumpuhkan kehidupan. Karena itu konflik harus dipertahankan pada tingkat yang optimum, pada mana konflik tersebut akan menghasilkan kinerja yang maksimal.

Konflik dapat terjadi dalam diri individu, antar individu, antar kelompok dan organisasi. Konflik dapat bersumber dari banyak faktor, namun dapat dibagi kedalam tiga kategori utama yaitu; faktor komunikasi, faktor struktur dan faktor perilaku manusia. Mengingat jenis konflik dan sumber konflik sangat beragam, maka solusi penyelesaian konflik juga tentu akan sangat beragam. Agar supaya keberadaan konflik memberi manfaat pada kehidupan individu, organisasi dan masyarakat, maka konflik harus ditangani dengan baik dan diselesaikan menggunakan strategi yang tepat.

Konflik tidak dapat dihindari dan dicegah, tetapi dapat dikelola. Karenanya konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau ditekan, tetapi justru digunakan atau dimanfaatkan sebagai katalis perubahan. Maknailah konflik secara wajar sebagai fakta kehidupan dan mengalirlah bersama konflik tersebut kearah yang lebih baik. Agar konflik betul-betul bisa memberi manfaat, konflik harus dikelola secara baik dan penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan strategi yang tepat. Karena itu, dalam kehidupan modern yang sarat dengan persaingan dan dinamika yang sangat tinggi, yang menyebabkan semakin sedikitnya ruang yang tidak memiliki potensi terciptanya situasi konflik, maka pengetahuan dan keterampilan tentang manajemen konflik menjadi hal yang teramat penting untuk diabaikan. Baik sebagai individu, anggota organisasi, masyarakat apalagi sebagai pemimpin. Pemahaman yang baik tentang esensi konflik, jenis-jenis konflik, sumber penyebab konflik, dan penyelesaian konflik akan mendukung kemampuan mengelola konflik, sehingga konflik dapat memberikan sesuatu yang positif bagi kehidupan individu, kelompok maupun organisasi.

M a n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 27

DAFTAR PUSTAKA

Kusnadi dan Bambang Wahyudi. (2001). Teori dan Manajemen konflik (Tradisional, Kotemporer dan Islam). Malang: Taroda.

Lacey, Hoda. (2003). How to Resolve Conflict in the Workplace. Terj. Bern. Hidayat.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Luthans, Fred. (1995). Organizational Behavior, Seventh Edition. Singapore: McGraw-

Hill International Editions, 1995. Pickering, Peg. (2000). How to Manage Conflict: Win-win Solution. Terj. Masri Maris.

Jakarta: Penerbit Erlanggan. Smither, Robert D. (1988). The Psychology of Work and Human Performance. New York: Harper & Row, Publisher. Tyson, Shaun dan Tony Jackson. (2001). The Essence of Organizational Behaviour.

Terj. Deddy Jacobus dan Dwi Prabantini. Yogyakarta: Penerbit Andi. Vecchio, Robert P., Greg Hearn., Greg Southey. (1992). Organisational Behavior: Life at

Work in Australia. Sidney: Harcourt Brace. Winardi. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). (1994). Bandung:

Penerbit CV. Mandar Maju. Wood, Jack., Joseph Wallace., Rachid M. Zeffane. (2001). Organisational Behaviour:

A Global Perspective. Brisbane: John Willey & Sons Australia, Ltd.

Zwell, Michael. (2000). Creating A Culture of Competence. New York: John Willey &

Sons, Inc.