manajemen konflik untuk konflik kepentingan [studi kasus taman nasional lore lindu]

22
PL 3201 Manajemen dan Administrasi Pembangunan MANAJEMEN KONFLIK UNTUK KONFLIK KEPENTINGAN STUDI KASUS : TAMAN NASIONAL LORE LINDU Oleh : Fitri Noor Permatasari 15409056 Nizar Imam Hanafi 15409064 Yuresdia Sabrina 15409076 Noris Makarena 15409082 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012

Upload: fitri-noor-permatasari

Post on 01-Jan-2016

351 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Laporan Manajemen Konflik untuk Konflik Kepentingan. Studi kasus Taman Nasional Lore Lindu, dimana ada konflik kepentingan antara masyarakat yang tinggal di sekitar taman nasional dengan pengelola taman nasional tersebut.

TRANSCRIPT

Page 1: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

PL 3201 Manajemen dan Administrasi Pembangunan

MANAJEMEN KONFLIK UNTUK KONFLIK KEPENTINGAN STUDI KASUS : TAMAN NASIONAL LORE LINDU

Oleh :

Fitri Noor Permatasari 15409056

Nizar Imam Hanafi 15409064

Yuresdia Sabrina 15409076

Noris Makarena 15409082

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2012

Page 2: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengelolaan hutan konservasi seperti taman nasional dilakukan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang steril dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan kerap mengabaikan keberadaan masyarakat adat/lokal yang justru telah hidup di kawasan-kawasan tersebut secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. hal ini mengakibatkan seringnya terjadi konflik kepentingan antara kepentingan masyarakat setempat dengan kepentingan konservasi seperti yang terjadi di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.

Taman Nasional Lore Lindu memiliki luas sekitar 568.000 ha dan memiliki ekosistem yang beragam, mulai dari hutan hujan pamah dan hutan pegunungan yang lebat sampai berbagai lembah dataran berumput dan berawa di dataran tinggi. Sejak ditetapkan menjadi Taman Nasional pada tahun 1993, konflik antara masyarakat adat setempat dengan pihak pengelola taman nasional pun terjadi. Masyarakat lokal yang tinggal di dalam maupun di sekitar taman nasional, secara turun temurun telah memanfaatkan lahan adat mereka yang berada di dalam kawasan taman nasional yang telah menjadi sumber mata pencaharian mereka. Sedangkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993 pada tanggal 5 Oktober 1993 tentang penunjukan kawasan TNLL yang pada saat itu mulai pemberlakukan aturan yang melarang masyarakat lokal untuk mengambil atau memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan tanaman nasional. Pemberlakuan aturan ini didukung pula Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah dengan keluarnya SK Gubernur No.592/1993 tentang tidak diakuinya keberadaan lahan adat di Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah.

1.2. Tujuan

Dalam upaya untuk meminimalisir konflik kepentingan yang terjadi di Taman Nasional Lore Lindu antara masyarakat lokal dengan pihak pengelola, dibutuhkan suatu konsep pengelolaan yang diharapkan dapat mengakomodir aspirasi dan keinginan pihak – pihak yang terkait. Untuk itu diperlukan suatu identifikas yang bertujuan untuk mengenali persoalan manajemen pembangunan yang terjadi dan memberikan alternatif solusi terkait dengan manajemen pembangunan dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi pada Taman Nasional Lore Lindu.

Page 3: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

BAB II

DASAR TEORI

Salah satu masalah utama dalam manajemen pembangunan pada Taman Nasional Lore Lindu adalah masalah konflik kepentingan. Dasar teori yang diambil adalah teori mengenai jenis-jenis konflik dan manajemen konflik.

Pengertian dan Tipologi KonflikKonflik merupakan kondisi akibat adanya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Konflik juga merupakan bentuk hubungan yang terjadi apabila masing-masing aktor memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerjasama satu sama lain. Dalam pembangunan, setiap aktor memungkinkan terjadinya suatu konflik, aktor-aktor tersebut yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta. Berdasarkan pengertian tersebut, data diartikan bahwa konflik akan teridentifikasi apabila terdapat:

• Dua/lebih individu maupun kelompok• Perbedaan ketertarikan • Perbedaan harapan atau kemampuan • Perbedaan pandangan terhadap suatu masalah

Menurut Don Hellriegel dan Slocum, terdapat tiga macam tipe dasar penyebab konflik yaitu:• Konflik Tujuan (goal conflict), konflik yang terjadi apabila hasil akhir yang diinginkan atau

hasil yang dipreferensi, tidak bersifat kompatibel. • Konflik Kognitif (cognitive conflict), konflik yang muncul apabila individu-individu menyadari

bahwa pemikiran mereka atau ide-ide mereka tidak konsisten satu sama lain.• Konflik Efektif, konflik yang muncul apabila perasaan-perasaan atau emosi-emosi tidak

kompatibel satu sama lain. Seorang pakar (Pondy, 1967) mengembangkan sebuah model tentang proses konflik yang disebutnya “Conflict Episode”. Ada lima tahapan sejak suatu konflik itu berawal yang dilaluinya sebagai suatu proses yaitu :

Latent Conlict merupakan tahap dimana muncul faktor-faktor dalam situasi yang dapat menjadi kekuatan potensial guna mendorong konflik. Selanjutnya Percieved Conflict merupakan tahap pada waktu mana satu pihak memandang pihak lain seperti akan menghambat atau mengancam sasarannya. Felt Conflict adalah tahap dimana konflik tersebut tidak hanya dipandang atau dianggap ada, namun benar-benar dirasakan dan dikenali keberadaannya. Sedangkan Manifest Conflict merupakan tahap dimana kedua belah pihak berperilaku yang mengundang tanggapan dari pihak lain. Dan tahap terakhir yaitu Conflict Aftermath dimana tahap sesudah konflik diatasi, tetapi masih terdapat sisa-sisa ketegangan yang tertinggal pada pihak-pihak yang bersangkutan yang nantinya disamping hal-hal lain dapat menjadi dasar bagi “Latent Conflict” pada episode berikutnya.

Latent Conflict

Percieved Conflict

Felt Conflict

Manifest Conflict

Conflict Aftermath

Page 4: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

Konflik sejauh ini selalu dianggap sebagai sesuatu yang negatif, padahal sebenarnya konflik dapat dipandang dari dua sisi yaitu positif dan negatif. Seorang pakar bernama Deustch menganggap bahwa hal yang harus dilakukan ketika muncul konflik bukan untuk menghilangkan atau mencegah konflik, melainkan bagaimana menjadikan konflik itu sesuatu yang produktif, yang berguna. atau setidaknya bagaimana mengusahakan agar konflik itu jangan sampai destruktif atau merusak.

Selanjutnya dikemukakan, konflik di antara kelompok-kelompok yang bertentangan bisa menciptakan fungsi-fungsi stabilisasi dan integrasi bagi hubungan-hubungan sosial yang ada, karena proses konflik akan mendorong penyesuaian-penyesuaian yang mengakibatkan lahirnya sistem dan struktur kemasyarakatan yang baru, yang lebih bisa diterima oleh semua pihak. Konflik bisa merevitalisasi norma-norma yang ada maupun memunculkan norma-norma baru. Dalam hal itu konflik menjadi suatu mekanisme untuk penyesuaian norma-norma yang lebih sesuai dengan tuntutan kondisi-kondisi yang baru. Dengan demikian, masalahnya bagaimana mengidentifikasi dan mengarahkan konflik, agar fungsi-fungsi positif yang dikandung itu bisa efektif, sehingga melahirkan hal-hal yang konstruktif.

Sedangkan konflik apabila dipandang dari sudut pandang negatif dapat menghambat komunikasi antar setiap aktor, mengganggu kerjasama antara aktor-aktor pembangunan, menggangu proses perencanaan dan pelaksanaan, serta menumbuhkan ketidakpuasan terhadap sesuatu.

Sumber-Sumber KonflikSumber-sumber terjadinya konflik dapat dijelaskan dalam berbagai teori, teori tersebut yaitu

teori structural social, teori Psychocultural, dan kebijakan sebagai pemicu konflik. a. Teori Struktural Sosial

• Konflik dipicu oleh adanya persaingan antara pihak-pihak yang berkepentingan • Tindakan terhadap pihak lain dalam pemikiran teori struktur sosial akan menciptakan

tantangan nyata untuk meningkatkan solidaritas dan respon kolektif dalam menghadapi lawan

• Strategi manajemen konflik memerlukan perubahan kondisi organisasi pihak tersebut secara mendasar.

b. Teori Psychocultural • Menekankan pada konflik sebagai kekuatan psikologi dan kultural • Teori ini menunjukan bahwa suatu pihak perlu memperhitungkan kejadian-kejadian

eksternal dan tingkah laku pihak lain • Dalam melakukan manajemen konflik memfokuskan pada proses yang dapat mengubah

persepsi atau mempengaruhi hubungan antara pihak-pihak kunci c. Adanya Kebijakan

• Kebijakan publik merupakan suatu hal yang akan dikerjakan atau sebuah larangan yang dibuat oleh pemerintah

• Timbulnya konflik dari sebuah kebijakan dapat terjadi dari karena adanya pihak-pihak yang tidak terakomodasi dalam pembuatan kebijakan tersebut

• Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan dasar yang berupa perbedaan tujuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut

Selain sumber-sumber di atas, menurut Suripto (2002), sumber konflik secara umum dapat dijelaskan meliputi :

Page 5: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

a. Kebutuhan (needs), yaitu esensi terhadap kesejahteraan dan keberadaan manusia.b. Persepsi (perceptions), yaitu cara pandang dan pemahaman terhadap suatu hal atau

masalah.c. Kekuasaan (power), yaitu kemampuan yang dimiliki seeorang untuk mempengaruhi orang

lain sesuai dengan kehendaknya.d. Nilai (values), yaitu kepercayaan atau prinsip dasar yang dipertimbangkan sebagai hal yang

amat penting.e. Perasaan dan Emosi (feeling and emotions), yaitu respon yang timbul dari diri

individu/kelompok dalam menghadapi konflik.

Manajemen KonflikSetelah dijelaskan mengenai konflik yang dapat dipandang sebagai konstruktif maupun destruktif, maka dibutuhkan sebuah manajemen konflik. Manajemen konflik menurut Ross(1933) adalah langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin atau tidak mungkin. Manajemen konflik juga dapat dijelaskan sebagai usaha yang dilakukan untuk mengarahkan fungsi konstruktif suatu konflik lebih besar dari fungsi konstruktifnya.

Menurut Fisher (2001): pendekatan dalam manajemen konflik secara lebih umum dapat menggambarkan situasi secara keseluruhan seperti:

Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras. Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan

damai. Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan

mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru

dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan

berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Manajemen konflik sebenarnya adalah manajemen pembangunan karena dalam pembangunan banyak pihak yang terlibat dalam pembangunan konflik bertransformasi dari suatu bentuk ke bentuk lain. Sehingga stakeholder yang ada seperti pemerintah tidak berhenti memanajemen konflik.

Strategi Manajemen KonflikDalam pelaksanaan manajemen konflik, terdapat strategi yang dapat dikembangkan yaitu:

a. Self-Help StrategiesMengurutkan dari penggunaan paksaan fisik sampai penarikan kembali, yaitu tindakan individu atau kelompok yang memajukan kepentingan sendiri tanpa koordinasi dengan yang lain. Strategi self-help sering dilihat sebagai suatu tindakan sepihak yang bersifat destruktif dan dapat digunakan untuk tindakan konstruktif dalam bentuk menarik diri, menghindar, tidak mengikuti, atau melakukan tindakan independen.

Page 6: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

b. Joint Problem SolvingMeliputi prinsip-prinsip pembantahan dengan peran bersama untuk menyelesaikan pertentangan, yaitu dapat dengan penawaran langsung antar pihak dengan mediasi, arbitrasi dan negosiasi. Joint problem solving memungkinkan adanya kontrol terhadap hasil yang dicapai oleh kelompok-kelompok yang terlibat. Keputusan diambil secara bersama dan memberikan keuntungan dengan kadar yang berbeda untuk setiap kelompok.

c. Third Party Decision MakingMenghasilkan keputusan final. Tiga pihak merepresentasikan komunitas yang lebih besar, membuat keputusan yang mengikat pembantahan atau pertentangan melalui petunjuk untuk peranan norma dan kaidah. Pihak ketiga membuat keputusan yang mengikat berdasarkan aturan-aturan untuk mencapai hasil yang pasti. Keputusan yang diambil oleh pihak ketiga dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat konflik karena dianggap mempunyai pegangan/pedoman yang baik.Sejauh ini, posisi perencana merupakan posisi pihak ketiga.Strategi dalam Third Party Decision Making atau dalam posisi pihak ketiga yaitu:• Mediation (penengah); mempertimbangkan tuntutan kedua belah pihak lawan dan

tidak mendukung salah satu pihak • Bargaining (tawar menawar); memberikan penawaran, kompensasi, atau negosiasi

dari pihak terkait (Stern, 1976) • Advocacy (pembelaan); melibatkan sebuah situasi dari kekuatan yang tidak

berimbang, tetapi melibatkan sebuah third party yang memiliki kekuatan dan keinginan untuk meluruskan ketidakseimbangan konflik

• Persuasion (pembujukan); pemecahan konflik oleh salah satu pihak dengan pihak lain secara objektif meninggalkan posisi asalnya, dan

• Arbitration (arbitrasi); menempatkan perselisihan dimana keputusannya bersifat mengikat yang dibuat berdasarkan tuntutan konflik dari pihak terkait dalam suatu perselisihan oleh third party

Page 7: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

BAB III

GAMBARAN UMUM

3.1. Gambaran Umum Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)

Cagar Biosfer (CB) Lore Lindu adalah kawasan konservasi ekosistem daratan yang secara internasional diakui keberadaannya oleh MAB UNESCO untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Selaras dengan fungsi Cagar Biosfer yang ditetapkan oleh MAB UNESCO, CB Lore Lindu mempunyai tiga fungsi utama yaitu : pelestarian keanekaragaman biologi dan budaya; penyedia model pengelolaan lahan dan lokasi eksperimen urituk pembangunan berkelanjutan; dan penyediaan tempat untuk riset, pemantauan lingkungan, pendidikan dan pelatihan.

Untuk mengintegrasikan berbagai fungsi tersebut, kegiatan diatur menurut sistem pembagian wilayah (zonasi), yang meliputi area inti (core zone) untuk pelestarian, zona penyangga (buffer zone), dan kawasan luar yang merupakan area transisi (transition area) atau kawasan untuk kerjasama dengan masyarakat lokal. Area inti pada Cagar Biosfer Lore Lindu berstatus sebagai taman nasional (Taman Nasional Lore Lindu) di bawah pengelolaan Balai Besar Taman Nasional Lore Undu, yang menginduk ke Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan.

Taman Nasional Lore Lindu ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1 999 tanggal 23 Juni 1999, dengan luas 217.991,18 ha. Taman Nasional ini tertetak sekitar 20 km arah Tenggara kota Palu (menuju Kulawi atau Napu), Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis, Taman Nasional ini terletak pada 119°90’ - 120°16’ BT dan 1°8’ - 1°3’ LS. Sedangkan, secara administratif, taman nasional ini teletak di wilayah Kabupaten Donggala dan Sigi. Di bagian utara, berbatasan dengan Dataran Lembah Palu dan Dataran Lembah Pablo, sebelah timur berbatasan dengan Dataran Lembah Napu, sebelah selatan dengan Dataran Lembah Bada, dan sebelah barat dengan Sungai Lariang dan dataran Lembah Kulawi. Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) memiliki banyak potensi dan keunikan yang bisa menjadi tempat demonstrasi keterkaitan manusia dengan alamnya antara lain: potensi keanekaragaman hayati; potensi sumber air; potensi kebudayaan, pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal; potensi sejarah; dan potensi wisata. Potensi utama yang dimiliki oleh TNLL selain keanekargaman hayati dan pemandangan alam adalah potensi sejarah dan kearifan masyarakat lokal.

Potensi Kebudayaan, Pengetahuan, dan Kearifan Masyarakat Lokal

Masyarakat yang hidup di sekitar kawasan TNLL sebagian besar merupakan suku asli, yang terdiri atas Suku Kaili (Kaili Ledo, Kaili Ija, Kaili Ado, kaili Moma, Kaili Tohulu dan Kaili Da'a), Kulawi, Behoa, Pekurehua dan Bada. Selain suku asli, terdapatjuga para pendatang, seperti suku Bugis, Jawa, Toraja dan Bali. TNLL juga kaya akan berbagai budaya kesenian masyarakat, seperti tarian rego. Adat istiadat, pengetahuan lokal dan kearifan masyarakat lokal di TNLL menjadi potesi yang dapat mendukung pelestarian kawasan Lore Lindu. Suku Kaili, Pekurehua (Napu), Behoa dan Bada mempunyai tradisi dan hukum adat yang masih fungsional. Desa Toro sebagai salah satu desa model di Taman Nasional Lore Lindu tetap menjaga kelestarian sumberdaya hutan di sekitarnya, sehingga

Page 8: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

pemerintah baik lokal maupun nasional memberikan penghargaan atas kearifan yang mereka pertahankan, dan Tahun 2004 masyarakat Toro mendapat penghargaan equator Initiative 2004 pada saat COP VII di Malaysia.

Potensi Sejarah

Keunikan lain yang dimiliki oleh TNLL adalah adanya Megalith atau Batu besar peninggalan prasejarah pada zaman batu. Batu-batu tersebut diperkirakan berasal dari masa 3.000-1.300 SM. Terdapat sekitar 419 Megalith yang tersebar di dalam dan sekitar kawasan TNLL antara lain: 43 buah di daerah Lore Utara, 306 buah di Lore Tengah, 57 buah di Lore Selatan dan 13 buah di Kulawi. Patung-patung megalith ini diperkirakan sebagai patung-patung pemujaan para nenek moyang. Patung megalith yang tertinggi berukuran 4 meter, tetapi kebanyakan berukuran 1,5 sampai 2,5 meter. Ada 5 klasifikasi megalith, yaitu : patung-patung batu, kalamba, tutu'na, batu dakon dan bentuk lainnya.

Potensi Wisata

Selain berfungsi sebagai kawasan pelestarian keanekaragaman biologi dan budaya, kawasan TNLL juga berfungsi sebagai salah satu tujuan wisata di Sulawesi Tengah. Di TNLL, terdapat berbagai objek wisata alam yang sangat menarik, antara lain: Panorama alam Danau Lindu, Air terjun Wuasa, Danau Tambing, jalur track wisata, lokasi birdwatching, lokasi pengamatan satwa, Camping ground, dan Megalith.

Potensi Keanekaragaman Hayati

Lore lindu dikenal sebagai Kawasan Ekologi (G 200 Es) karena dipandang sebagai contoh yang baik untuk ekosistem terrestrial dunia. Kawasan ini kaya akan spesies dan spesies endemik, memiliki keunikan taksonomi yang tinggi, fenomena ekologis dan evolusi yang luar biasa dan berfungsi sebagai habitat-habitat penting bagi spesies utama. Potensi yang dimiliki oleh Lore Lindu sudah diakui oleh banyak pihak. Lore Lindu dikenal sebagai habitat dari burung endemik khas daerah Wallacea. Sekitar 224 jenis burung ditemukan di Sulawesi. 97 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi dan 83% diantara burung endemik tersebut terdapat di Taman Nasional Lore Lindu. Burung endemik tersebut antara lain: nun sulawesi (Tanygnatus sumatrana), rangkong (Rhyticeros cassidix), maleo (Macrocephalon maleo) dan lain-lain.

Beberapa fauna endemik lainnya adalah anoa (Anoa quades), anoa pegunungan (Bubalus quarlesi), kera hitam (Macacatonkeana), tarsius sulawesi (Tarsius spectrum), rusa (Cervus timorensis), babirusa (Babyrousa babyrousa), babi kutilan (Sus celebensis), musang raksasa sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii), kus-kus marsupial, kera hantu (Tarsius sp), dan monyet tonkea (Macaca tonkeana). Di TNLL terdapat 113 spesies (89%) dari 127 mamalia yang terdapat di Pulau Sulawesi, 24 spesies (23%) dari total 103 reptil (tidak termasuk penyu) Sulawesi dan Sekitar 21 spesies (67%) dari 31 spesies amfibia Sulawesi.

Page 9: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Isu/Masalah yang terjadi pada Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)

Masalah yang terjadi pada Taman Nasional Lore Lindu dimulai ketika adanya Surat Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1993 yang menetapkan kawasan tersebut sebagai konservasi. Awalnya, kawasan tersebut merupakan perkebunan kopi milik masyarakat Dongi-Dongi (masyarakat lokal di kawasan tersebut). Lahan yang digunakan sebagai perkebunan kopi ini merupakan lahan masyarakat adat Dongi-Dongi yang sudah turun-temurun dari leluhur masa lalu dan tetap digunakan sebagai lahan perkebunan oleh masyarakat setempat. Selain itu, masyarakat Dongi-Dongi juga sangat bergantung pada lahan dan hutan kawasan tersebut sebagai tempat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup karena mereka terbiasa menjadi petani lahan kering.

Lahan perkebunan masyarakat Dongi-Dongi yang menjadi sumber mata pencaharian utama mereka terletak di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang ditetapkan tahun 1993, karena alasan konservasi sesuai dengan hukum yang berlaku maka masyarakat setempat dilarang untuk memasuki kawasan konservasi dan melakukan aktivitas pertanian/perkebunan pada lahan tersebut. Awalnya, untuk menghindari amukan masyarakat lokal, pihak pengelola berjanji memberikan lahan sebesar ± 2 Ha kepada masing-masing kepala keluarga di masyarakat Dongi-Dongi sebagai kompensasi. Di samping penggunan lahan yang tidak diperbolehkan, masyarakat Dongi-Dongi juga dipindahkan karena letak permukiman mereka yang sangat berdekatan dengan batas wilayah TNLL. Dalam hal penentuan batas wilayah, pihak pengelola tidak membicarakan terlebih dahulu dengan masyarakat Dongi-Dongi, hal ini juga menjadi pemicu konflik yang terjadi di TNLL ini.

Karena masyarakat setempat harus pindah, maka pihak pengelola memindahkan mereka ke suatu desa dan 'menyuruh' mereka untuk menjadi petani lahan basah dan tidak menjadi petani lahan kering di TNLL. Namun, hal ini tidak berjalan karena desa yang digunakan untuk permukiman baru masyarakat tidak memiliki akses infrastruktur yang memadai untuk sebuah permukiman, selain itu tidak ada pelatihan lebih lanjut mengenai pertanian lahan basah sehingga pada akhirnya masyarakat Dongi-Dongi memutuskan untuk kembali lagi ke desa awal dan menjadi petani lahan kering secara sembunyi-sembunyi di dalam TNLL. Selain itu, pada akhirnya sampai tahun 2012 lahan yang dijanjikan sebagai bentuk kompensasi pihak pengelola hanya sebesar 0,9 Ha tanpa ada penambahan lebih lanjut.

Karena masyarakat setempat tidak mempunyai tempat lain untuk tinggal dan lahan lain untuk mencari nafkah, mereka kembali ke permukiman awal yang sangat berdekatan dengan batas wilayah TNLL serta kembali menggunakan lahan perkebunan sebagai mata pencaharian, namun di satu sisi lahan tersebut berada pada wilayah konservasi dimana tidak boleh dibudidayakan secara massif. Karena factor konservasi lah, pihak pengelola dengan bantuan polisi hutan mengusir secara paksa masyarakat setempat yang melakukan perkebunan di areal konservasi. Pengusiran ini dilakukan secara besar-besaran, dimana pernah terjadi penembakan dan penangkapan masyarakat. Perlakuan pihak pengelola ini membuat masyarakat setempat menjadi marah dan berupaya untuk melakukan

Page 10: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

pendudukan lahan pada TNLL. Pendudukan lahan ini sudah terjadi selama 4 kali hingga terakhir tahun 2007. Secara keseluruhan , konflik yang terjadi pada Taman Nasional Lore Lindu adalah konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang terjadi di sekitar TNLL terutama diakibatkan oleh; 1) desakan kebutuhan lahan, baik untuk kegiatan pertanian sebagai sumber penghidupan maupun untuk pemukiman, 2) masyarakat merasa bahwa kawasan TNLL tidak memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup mereka, dan 3) proses penetapan batas kawasan yang dilakukan sepihak tanpa penjelasan memadai kepada masyarakat yang telah memanfaatkan sumberdaya yang terdapat pada kawasan ini jauh sebelumnnya

Gambar 4.1Skema Permasalahan Lahan pada TNLL

Sumber : http://conflict-disaster.blogspot.com

Masyarakat, pada kasus ini melakukan konflik karena kepentingannya tidak diakomodir oleh pihak pengelola. Dalam konflik ini, yang diminta masyarakat adalah kepentingan mereka dapat dipahami dan dimengerti oleh pihak pengelola sebagai suatu bentuk aspirasi.Di satu sisi, pihak pengelola tidak melibatkan masyarakat dalam penetapan kawasan Taman Nasional. Namun pihak pengelola juga memiliki kepentingan konservasi, untuk menjaga sumber daya alam di Taman Nasional Lore Lindu. Masalah yang sering terjadi pada taman nasional darat adalah kurang terlibatnya masyarakat dalam pengelolaan konservasi taman nasional, sehingga kepentingan masyarakat terabaikan. Hal ini juga yang menjadikan tingginya kerusakan taman nasional darat, karena masyarakat membudidayakan sumber daya alam di taman nasional secara diam-diam.

4.2. Alternatif Penyelesaian Masalah dengan Teori Manajemen Untuk menyelesaikan konflik kepentingan di Taman Nasional Lore Lindu, diperlukan adanya alternatif penyelesaian berupa manajemen konflik. Menurut Ross, manajemen konflik dapat dilakukan dengan pendekatan teori structural dan teori psikokultural. Teori sturktural memandang bahwa perbedaan kepentingan sulit untuk dijembatani sehingga diperlukan tindakan unilateral atau bantuan pihak ketiga sebagai perantara pihak-pihak yang bertikai. Dari teori ini, muncullah strategi

Page 11: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

yang dikenal sebagai strategi Self-Help dan strategi Third Party Decision Making. Sedangkan teori psikokultural memfokuskan pada proses yang bisa mengubah persepsi atau mempengaruhi hubungan antara kedua pihak yang bertikai. Jadi teori ini memandang bahwa kepentingan-kepentingan pihak lebih bersifat subjektif dan dapat diubah. Dari teori ini diturunkanlah suatu strategi yang dikenal sebagai strategi Join Problem Solving. Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga strategi tersebut.

Strategi Self-Help

Strategi ini merupakan tindakan individu atau kelompok yang saling mengajukan kepentingan mereka dalam keadaan yang tidak terkoordinasi. Metode ini seringkali dipakai ketika satu pihak menggunakan berbagai tindakan pembalasan untuk melawan pihak lain. Tindakan ini bisa menghacurkan atau bahkan merusak diri sendiri. Kadang-kadang juga terjadi tindakan unilateral dimana pihak yang kuat memaksakan kehendaknya pada phak yang lebih lemah. Strategi self-help ini memiliki kelebihan yaitu dapat menawarkan pilihan-pilihan yang cukup penting bagi pihak yang lemah. Pihak yang lemah menilai dan mempertimbangkan pilihan-pilihan tersebut dengan melihat apakah ada kemungkinan menggunakan strategi joint problem solving atau third party decision making untuk mengembangkan solusi yang konstruktif. Selain itu, startegi ini juga dinilai lebih seimbang, tidak terlalu sepihak, dan bersifat membangun, misalnya dalam bentuk exit, avoidance, noncompliance, atau tindakan unilateral. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing bentuk strategi self-help.1. Exit

Exit merupakan tindakan self-help yang paling efektif untuk memperkuat pihak yang lemah dalam menghadapi lawan yang kuat. Exit merupakan suatu tindakan yang dilakukan sekelompok orang yang merasa sebagai pihak yang lemah untuk membentuk sistem masyarakat yang lebih sederhana agar di dalam sistem tersebut mereka bisa menyusun kekuatan baru untuk melakukan perlawanan. Exit selalu diikut dengan hasil yan berupa voice. Semakin kecil melakukan exit, maka voice yang dihasilkan juga akan semakin kecil.

2. AvoidanceAvoidance merupakan suatu tindakan yang diambil karena pihak yang lemah merasa bahwa jika mereka bertindak, pengorbanan yang harus mereka berikan akan lebih besar daripada hasil yang mungkin diperoleh. Jadi keputusan mereka untuk tidak melakukan tindakan bukan karena mereka sudah merasa puas dengan situasi yang ada, melainkan karena mereka mempertimbangkan kerugian dan keuntungan yang akan diperoleh.

3. NoncomplianceNoncompliance adalah suatu kejadian dimana salah satu pihak menolak untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan oleh pihak lain. Noncompliance seringkali berakibat tidak terlalu baik dan kadang merugikan dalam situasi dimana tidak terdapat batas yang tegas pada kekuasaan seseorang. Kekuasaan tersebut menjadi terkonsentrasi karena sikap noncompliance ini seolah-olah memberi jalan pada orang atau kelompok tersebut untuk leluasa melakukan apapun yang mereka inginkan. Tindakan noncompliance ini dapat bermanfaat dalam menarik perhatian terhadap masalah, menggerakkan para pendukung, dan sebagai langkah pertama untuk menggunakan joint problem solving atau third party decision making.

4. Tindakan unilateralTindakan unilateral adalah tindakan sepihak yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk mengambil langkah lebih jauh atas sesuatu yang dipandang sebagai kepentingannya. Biasanya,

Page 12: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

tindakan unilateral memiliki kemungkinan adanya pertempuran. Memang tidak semua tindakan unilateral bersifat keras, meskipun demikian pada tahapannya tindakan ini seringkali diakhiri dengan adanya pertempuran.

Dari segala kelebihan yang dimiliki, strategi self-help juga memiliki kelemahan yaitu terlalu terfokus pada kepentingan setiap pihak dan hampir mengabaikan kepentingan gabungan. Strategi ini memperhatikan peranan interpretasi subjektif dari suatu tindakan hanya karena hal ini memiliki sedikit relevansi dengan perilaku yang dimotivasi kepentingan. Dalam kasus Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), strategi self help sulit untuk dilakukan sebagai alternatif solusi dalam menyelesaikan konflik kepentingan yang terjadi. Hal ini disebabkan karena konflik yang terjadi meliputi banyak pihak, sehingga jika menggunakan strategi ini tidak akan efisien dan efektif dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

Strategi Joint Problem Solving

Joint problem solving merupakan strategi manajemen konflik dalam bentuk tindakan bersama antara pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan masalah mereka. Straregi ini dapat berupa tawar menawar langsung antara kedua pihak melalui bantuan pihak ketiga misalnya mediasi, arbitrasi, atau negosiasi. Ciri-ciri strategi ini ditandai dengan adanya kontrol terhadap pihak-pihak yang bertikai oleh seluruh pihak, termasuk pihak ketiga bila mereka melibatkannya. Metode-metode yang terdapat dalam strategi joint problem solving antara lain: indentifikasi kepentingan, pembobotan kepentingan, bantuan dan dorongan dari pihak ketiga, komunikasi efektif, dan pembuatan kesepakatan antar kedua pihak untuk tetap menjaga perdamaian.

1. Identifikasi KepentinganIdentifikasi kepentingan dalam perselisihan sosial dapat bersifat kompleks. Meskipun perselisihan tersebut berkembang dari isu-isu yang sudah cukup jelas, tapi sangat mungkin pula akan terjadi keluhan-keluhan tambahan. Salah satu rintangan yang serius dalam metode ini adalah ketidakmampuan pihak-pihak yang berselisih dalam menerjemahkan keluhan yang samar ke dalam tuntutan yang konkret yang bisa dimengerti oleh pihak lain agar mereka dapat memberikan respon.

2. Pembobotan KepentinganMeskipun suatu kepentingan sudah teridentifikasi secara eksplisit, setiap pihak mungkin saja menyertakan berbagai nilai yang berbeda terhadap pihak lain. Pembobotan kepentingan ini dapat membantu khususnya dalam mencari solusi yang terintegrasi dan menguntungkan bagi kedua pihak.

3. Bantuan dan Dorongan dari Pihak KetigaPihak-pihak dalam konflik seringkali membutuhkan bantuan dari pihak ketiga yang bisa memberikan latar dimana para pihak yang berselisih dapat bertemu dan latar tersebut sesuai dengan persetujuan dan permintaan kedua pihak. Pihak ketiga ini diharapkan dapat memicu tiimbulnya komunikasi, membuat usulan prosedur, menerjemahkan keluhan-keluhan ke dalam pernyataan konkret, dll. Meskipun solusi yang integratif diusahakan dan dibuat oleh pihak ketiga, namun kekuasaan untuk menolak dan menerima hasilnya diserahkan pada pihak yang berselisih. Sebagai konsekuensinya, pihak ketiga hendaknya hanya melakukan intervensi seperlunya saja, tidak lebih dan secepatnya menarik diri.

4. Komunikasi EfektifPihak yang berselisih tidak secara langsung berbicara kepada pihak lawan untuk mencari solusi, melainkan mereka harus berkomunikasi secara efektif. Komunikasi yang efektif itu berupa

Page 13: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

pertukaran informasi yang diperlukan oleh pihak yang bersengketa untuk bisa menghasilkan solusi yang integratif. Komunikasi efektif memiliki elemen lain yang juga cukup penting yaitu pertukaran informasi mengenai hal-hal yang mungkin pada awalnya tidak terlalu relevan dengan masalah yang diperselisihkan, namun memiliki kontribusi terhadap keputusan yang integratif.

5. Kepercayaan Bahwa Pihak Lawan Akan Memelihara KesepakatanPihak-phak yang berselisih tidak harus menyukai satu sama lain, tetapi mereka harus percaya bahwa penyelesaian yang terpelihara dapat ditegakkan. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan struktur pinalti yang harus dibayar bila salah satu pihak melanggar persetujuan. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara menciptakan situasi dimana hubungan saling menguntungkan untuk melanjutkan kerjasama yang cukup tinggi sehingga kedua belah pihak tidak berpikir dan tidak merasa perlu untuk melanggar persetujuan.

Sayangnya, strategi ini seringkali gagal khususnya bila yang terlibat adalah komunitas yang besar. Hal ini dikarenakan oleh komunitas besar tersebut kurang melihat peranan yang esensial pada perbedaan kepentingan yang terdapat dalam konflik dan terlalu menekankan pada pentingnya menciptakan persepsi intergroup antara pihak-pihak yang berselisih melalui kontak antar personal. Untuk kasus Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), strategi ini kurang tepat untuk dilakukan mengingat konflik kepentingan ini sudah terjadi sejak lama dan pembuatan kesepakatan antara masyarakat dengan pihak pengelola sudah sulit dilakukan mengingat konflik ini kompleks dan sangat lama.

Strategi Third Party Decision Making

Strategi ini terjadi pada saat pihak ketiga berperan sebagi perwakilan dari komunitas yang leih besar membuat keputusan yang mengikat perselisihan dengan mengacu pada norma yang dianut bersama. Pada strategi ini, kontrol terhadap pelaksanaan hasil keputusan tidak lagi diserahkan kepada pihak yang berselisih. Bahkan, sebagian besar pihak ketiga yang mengambil kepurusan berperan sebagai pengatur dan membuat aturan-aturan yang tegas untuk membuat keputusan yang pasti. Strategi ini terkadang dirasa kurang tepat karena kegagalannya dalam menempatkan kenyataan psikokultural . Selain itu, metode ini juga memberikan solusi pada pihak yang berselisih tanpa memperhatikan hal mendasar dari konflik itu sendiri.

Dari ketiga macam strategi yang telah dijelaskan sebelumnya, strategi yang dianggap paling sesuai dalam menyelesaikan konflik di Taman Nasional Lore Lindu adalah strategi Third Party Decision Making. Hal ini dikarenakan oleh konflik yang terjadi di taman nasional tersebut merupakan konflik kepentingan yang sangat berat. Perbedaan kepentingan yang ada tersebut sangat sulit untuk dijembatani sehingga diperlukan adanya bantuan pihak ketiga sebagai perantara pihak-pihak yang berselisih. Hal ini tentu saja perlu didukung dengan kemampuan pihak ketiga dalam bersifat objektif, dapat mengubah persepsi atau mempengaruhi hubungan antara kedua pihak yang berselisih, membuat keputusan yang bijak dan sesuai dengan norma yang berlaku. Peran pihak ketiga sebagai fasilitator dan mediator antara pihak pengelola dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menampung sekaligus memahami aspirasi dan kepentingan di antara kedua belah pihak. Pihak ketiga ini harus bersifat obyektif, tanpa memihak siapapun, dan mengerti konflik ini secara keseluruhan. Hal ini dilakukan agar tidak ada kesalahpahaman yang terjadi kembali antar kedua belah pihak dan aspirasi kepentingan dari masing-masing pihak dapat diakomodir dengan baik. Pihak ketiga untuk kasus TNLL ini dapat berupa LSM (lembaga swadaya masyarakat), pemerintah daerah/pusat, atau institusi pendidikan.

Page 14: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Taman Nasional Lore Lindu merupakan salah satu taman nasional darat di Indonesia. Taman nasional

ini tidak terlepas dari permasalahan manajemen pertumbuhan, permasalahan yang terjadi pada

taman nasional ini berupa konflik kepentingan antara masyarakat setempat dengan pihak pengelola

taman nasional. Konflik kepentingan merupakan jenis konflik yang sering terjadi pada pengelolaan

taman nasional darat. Hal ini terjadi karena hanya kepentingan pihak pengelola saja yang berupa

konservasi sumber daya alam yang dilakukan. Sedangkan, kepentingan masyarakat sebagai pemilk

lahan turun-temurun tidak di dengarkan. Hal ini yang menyebabkan masalah konflik kepentingan

pada Taman Nasional Lore Lindu tidak selesai, karena belum adanya titik tengah antara masyarakat

dengan pihak pengelola. Titik tengah ini hanya akan di dapat bila kedua kepentingan dan aspirasi

kedua belah pihak ini dapat dipahami satu sama lain dan dapat dilaksanakan bersama-sama untuk

pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu ini.

Dalam menemukan titik tengah tersebut dibutuhkan suatu strategi manajemen konflik yang dapat

membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Strategi yang kemungkinan besar dapat

dilakukan adalah strategi Third Party Decision Making. Strategi ini menggunakan pihak ketiga dalam

membantu negosiasi dan pencapaian kesepakaan antara kedua belah pihak. Pihak ketiga dalam

strategi ini berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam memahami kepentingan dari masing-

masing pihak. Peran pihak ketiga sangat besar dalam membantu menyelesaikan konflik, oleh karena

itu dibutuhkan pihak ketiga yang objektif dan mengetahui secara detail konflik kepentingan yang

terjadi. Hal ini untuk menjaga kepercayaan kedua belah pihak dan menghindari kedua belah pihak

dari kesalahpahaman sepihak. Dengan menggunakan strategi ini dan menentukan pihak ketiga yang

tepat maka penyelesaian masalah konflik kepentingan di Taman Nasional Lore Lindu bisa berjalan

dengan baik dan seluruh kepentingan dapat di aspirasikan dalam pengelolaan Taman Nasional Lore

Lindu.

Page 15: Manajemen Konflik Untuk Konflik Kepentingan [Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu]

DAFTAR PUSTAKA

http://www.attayaya.net/2011/02/taman-taman-nasional-dan-masyarakat.html; diakses tanggal 16 mei 2012

http://www.dephut.go.id, diakses tanggal 18 Mei 2012.

http://infosulawesitengah.wordpress.com, diakses tanggal 18 Mei 2012.

http://lorelindu.info , diakses tanggal 18 Mei 2012.

http://www.rajapresentasi.com/cara-order/Manajemen Konflik : Cara Mengelola Konflik yang Efektif/ diakses pada 20 April 2010 pukul 20.08

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Pengelolaan%20Kawasan%20Konservasi%20Indonesia%20:%20Konflik%20Kepentingan%20Konservasi%20Lingkungan%20Hidup%20dengan%20Kepentingan%20Rakyat%20-%20Hari%20Bumi%202009&&nomorurut_artikel=315; diakses tanggal 16 mei 2012

Fisher, Simon, dkk. Mengelola Konflik. 2000. The British Council : Indonesia.

Kassa, Saharia, et all. 2008. Co-Management untuk menginisiasi penyelesaian konflik di Taman Nasional Lore Lindu.

Laporan PL 3201 MADPEM, Sarah Uzma Marashi 15407048 manajemen konflik.

Minnery, John R. Conflict Management in Urban Planning. 1985. Gower Publishing Company : USA.

Slide Kuliah Bapak Andi Oetomo “Manajemen Konflik dalam Penataan Ruang Wilayah dan Kota”