new modernism sunnah taufiq shidqy a. amir firmansyah …
TRANSCRIPT
NEW MODERNISM SUNNAH TAUFIQ SHIDQY
A. Amir Firmansyah
ABSTRAK
Modernisasi sunah diperlukan sepanjang sama sebagaimana modernisasi al-Qur’an dalam arti
modernisasi pemahaman ayat-ayat dan hadis tentang masalah sosial bukan masalah akidan
dan hukum. Interpretasi ayat dan hadis sosial selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga Islam selalu relevan sepanjang
zaman dan tempat. Pada umumnya, pemikiran new moderism sunah dimunculkan dari
pendapat minoritas ulama sunni yang secara internal yang terjadi kontra dengan pendapat
dengan mayoritas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Disisi lain, pemikiran new
modernism sunah tampak tidak ilmiah, bahkan adakalanya timbul dari asumsi yang tidak
jelas. Misalnya kritik internal diduga belum dilakukan oleh para ulama. Pengembangan
pemikiran para new moderism dengan cercaan sebagian periwayat, cercaan terhadap para
ulama dan matan sunah tidak ilmiah dan tidak etis, karena hanya tumbah dari ketidaktahuan
mereka tentang ulumul hadis dan emosional semata dengan mengikuti cara orientalis yang
tidak etis dan moralis.
BABI
PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan umat Islam tebagi menjadi tiga, yaitu masa klasik 650-1250 M,
masa pertengahan 1250-1800 M dan masa modern 1800 sampai sekarang.1 Adapun sejarah
perkembangan ingkar sunah hanya terjadi dua masa, yaitu masa klasik dan modern. Menurut
M. Mustafa Azami, sejarah ingkar sunah klasik terjadi pada masa Syafi’i abad ke-2 H/ 7 M
kemudian hilang dari peredarannya selama kurang lebih 11 abad. Kemudian pada abad
modern, ingkar sunah timul kembali di India dan mesir dari abad ke-19 M/13 H hingga
sekarang.
Pada masa pertengahan ingkar sunah tidak muncul kembali, kecuali barat mulai
meluaskan kolonialismenya ke negara-negara Islam. Perbedaan pandang berbagai sekte
klasik dalam silam tentang sunah diangkat kembali oleh oreintalis untuk meracuni pemikiran
umat Islam.
Gejala timbulnya ingkar sunah awal di mesir modern beriringan dengan perkembangan
modernisasi yang dipelopori oleh para reformis seperti Muhammad Abduh (w. 1905 M) dan
murid-muridnya diantaranya Muhammad Rashid Ridla (w. 1935 M) yang membawa
pengaruh besar bagi perkembangan kebebasan berfikir dan berijtihad setelah mengalami
stagnasi sekian lama.2 Namun diantara pengikut mereka ada yang berlebihan dalam
memahami isu dibukanya kembali kebebasan ijtihad tersebut, sehingga menyimpang dari
prinsip dasar ijtihad dan persyaratannya sebagaimana yang oleh Muhammad Abduh padahal
beliau sendiri tidak mengingkarinya.
Diantara tokoh ingkar sunah di mesir antara lain, Taufiq Shidqi (w.1920), Ahmad
Amin(w 1954), Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Subhi Mansur.
Dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba mengungkapkan biografi Taufiq Shidqi,
bagaimana sepak terjang beliau dalam pemahaman terkait ingkar sunah, dalil apa saja yang
beliau pakai untuk ingkar terhadap sunah. Diungkapkan juga mengenai analisis kritik
terhadap Taufiq Shidqi yang dikatakan sebagai seorang pemikir new moderism dalam sunah.
1 Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
13-14. 2 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagi Aspek (jakarta: UI-Press, 1985), 83.
BAB II
PEMBAHASAN
1. BIOGRAFI TAUFIQ SHIDQI
Taufiq Shidqi adalah salah seorang dokter yang bertugas disalah satu lembaga
kemasyarakatan di Kairo, mesir. Ia dilahirkan pada 19 september 1881 M. Pada masa
usia remaja masuk ke maktab untuk mempelajari al-Qur’an dan menghafalnya, sejak itu
ia telah tampak kecenderungan pada masalah yang bersifat religius dan realisasinya
dalam ilmu modern. Kemudian ia menamatkan sekolah dasar tahun 1896 M, sekolah
menengah tahun 1900 M, sekolah kedokteran tahun 1904 M.
Adapun kariernya sejak menyelesaikan studi kedokteran tahun 1904 M, daingkat
menjadi dokter disebuah rumah sakit di Qashar al-‘Ayniy , kemudian dimutasi ke rumah
sakit Thu>ra> (1905). Ia naik pangkat lebih tinggi 1913 M dan dimutasi ke lembaga
pemasyarakatan Mesir 1914 M dan meningal pada 1920 M setelah terserang penyakit
tifus gawat.3
Pada awal abad 20-an ada seorang dokter berkebangsaan mesir bernama Taufiq
Shidqi (w.1920) banyak menulis tentang pembaruan agama, diantaranya pemikiran
sunnah. Dia berusaha menghabiskan waktunya untuk mendalami dua ilmu ilmu
kedokteran dan syara’, dasar-dasar ilmu keislaman dan ilmu hadis, ia banyak menulis
artikel ilmiah berwawan pembaharuan di berbagai majalah dan koran harian, seperti al-
manna>r, al-muayyad dll
Diantara artikel yang amat penting yaitu; al-Islam Huwa al-Qur’a>n Wahdah yang
terbit dua kali, yang pertama sebagai opini publik dan kedua tanggapan terhadap al-
Naskh Fi al-Syara>i al-Ilahiyah. Artikel yang ditulisnya mengundang perhatian para
kritikus dibelahan dunia Islam.4
Pemikiran Taufiq Shidqi tentang sunah dinilai para ulama sunah sebagai pemikiran
yang kontroversional dan sebagai pengingkar sunnah. Penilaian ini didasarkan pada
penolakan terhadap kehujjahan sunah yang dikodifikasikan dan diriwayatkan.
Menurutnya bahwa Islam hanyalah al-Qur’an satu-satunya. Ia juga dinilai sebagai
pengingkar sunnah pertama di abad modern, sejak terjadi pengingkaran awal masa klasik
yang berhadapan dengan syafi’i (w. 203 H) yang disebut radd al-sunnah. Sebagian
ulama lain seperti Rasyid Ridha sendiri menilainya sebagai pembaharu dalam sunnah.
3 M. Rasyid Ridla, Tarjamah Al-Thalib Taufiq Shidqi, al-Manar 483-485.
4 M. Rasyid Ridla, Majalah Al-Manar (Mesir: Mathba’ah al-Manar, 1928), 492-494.
Hal tersebut dimaklumi karena bisa jadi akibat pengaruh beberapa hal. Diantaranya
pengaruh gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad Abduh dan M. Rasyid
Ridha. Kemudian oleh sebagian penganutnya modernisasi dipahami secara berlebihan,
sementara wawasan keislaman dalam agama dan sunah belum terpenuhi.
2. PEMIKIRAN TAUFIQ SHIDQI
Diantara pemikiran Taufiq Shidqi dalam sunah yang dimuat dalam majalah al-
manar sebgai berikut:
a. Sunah hanya untuk umat Islam pada masa nabi dan bangsa Arab saja, bagi bangsa
selain arab yang ingin memahami harus mempelajari bahasa Arab, kondisi, tradisi,
sejarah, dan istilah bangsa Arab.5
b. Al-Qur’an telah jelas karena ayat-ayat yang global (mujmal) dijelaskan oleh antar
ayat-ayat yang berkaitan. Sedang ayat-ayat mutlak dibatasi seperti yang dilakukan
Nabi pada masanya.6
c. Sunnah ditolak karena melebihi al-Qur’an yang tidak disebut di dalamnya.7
d. Taufiq Shidqi juga menolak interpretasi kata al-h}ikmah dalam beberapa ayat al-
Qur’an, misalnya QS. Al-Baqarah 151 dengan arti sunah sebagaimana yang
diinterpretasikan oleh ulama sunni. Menurutnya, al-hikmah diartikan mauidzah,
adab, berilmu dan masyarakat madani.8
e. Bilangan rakaat shalat menurut Taufiq Shidqi minimal dua rakaat, sesuai dengan
keteranga dalam al-Nisa’ 100-101, kemudian boleh ditambah sesuai dengan
kondisinya.9
f. Dalam al-Qur’an tidak ada satu ayatpun perintah membunuh orang murtad, dalam
beragama tidak ada paksaan QS al-Baqarah 256 dan al-Kahfi 29. Hukuman bunuh
bagi yang mengganti agama Islam (murtad)10
g. Diantara mereka hanya menghitung 17 hadith, sebagian lagi ber pendapat hanya
satu hadith, bahkan sebagian lagi berpendapat satu hadith dan itu saja maudhu’.
h. Al-Qur’an dipelihara tuhan sedang sunnah tidak, sebagaimana dalm surat al-Hijr:
9
i. Sunnah tidak ditulis dan tidak dibubukan sejak masa Nabi saw.
5 Taufiq Shidqy, Al-Isla>m Huwa Al-Qur’a>n Wahdah, Al-Manar (Mesir: Maktabah al-Manar,1907), XII/ 914.
6 Taufiq Shidqi, Tarjamah Al-Talib, 492-494.
7 Ibid, 906, 907 dan 914.
8 Ibid, 908-909.
9 Ibid, 918-920.
10 Taufiq Shidqi, Al-Isla>m Huwa Al-Qur’a>n Wahdah, 9/523.
j. Al-Qur’an telah sempurna tidak perlu disempurnaka lagi sebagimana keterangan
al-An’am 37.11
Kesimpulannya, Taufiq Shidqy menolak kehujahan sunnah sebagai salah satu
dasar hukum Islam setelah al-Qur’an.
3. ANALISIS KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN TAUFIQ SHIDQI
Untuk memudahkan analisis dan kritik beberapa pemikiran tersebut dapat
diringkas menjadi delapan pokok masalah:
1. Sunnah hanya berlaku pada masa nabi dan bagi bangsa Arab
Taufiq Shidqi mengatakan bahwa, sunah hanya untuk umat Islam pada
masa Nabi dan bangsa Arab saja, berdasarkan firman Allah:
Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya (QS
Ibrahim 14:4)
Bagi selain arab yang ingin memahami harus mempelajarinya.12
Permasalahanya sekarang apakah nabi diutus untuk orang sezaman nabi
saja dan terbatas pada orang Arab saja? Ataukah nabi diutus kepada seluruh
manusia baik pada mereka yang hidup masa nabi sampai hari kiamat dan tidak
dibatasi bangsa Arab saja? Rasyid Ridha mengemukakan, bahwa telah dimaklumi
secara pasti tidak ada perselisihan dikalangan para ulama bahwa Nabi Muhammad
diutus kepada seluruh manusia baik bangsa Arab ataupun non Arab pada masa
Nabi dan seterusnya sampai hari kiamat disegala tempat dan zaman, kecuali ada
dalil yang menunjukkan kekhususannya.13
Surat Ibrahim 14:4 tersebut tidak menujukkan bahwa zona wilayah
kerasulan nabi Muhammad, akan tetapi untuk pada rasul umat terdahulu. Lihat
saja redasinya tidak ada kata yang menunjuukkan kekhususan nabi Muhammad.
Untuk nabi Muhammmad diutus kepada seluruh manusia, sebagaimana firman
Allah surat al-A’raf 7:158 dan Saba’ 34: 28
11
Taufiq Shidqi, Al-Nakh Fi Al-Syara’ al-Ilahiyah, al-Manar, 516. 12
Taufiq shidqi, Al-Isla>m Huwa Al-Qur’a>n Wahdah 9/914. 13
M. Rasyid Ridla, Al-Mannar, 9/926.
Katakanlah: hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua
(QS. Al-A’raf 7: 158)
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba, 34: 28)
Taufiq Shidqi, kalau mengakui sunnah hanya berlaku pada masa nabi saja,
bagi umat setelah nabi hanya menggunakan al-Qur’an dan ijtihat penguasa
setempat.
Permasalahan sunah berlaku bagi siapa dan pada masa nabi saja atau
berlaku pada masa-masa berikutnya sangat erat kaitannya dengan fungsi kerasulan
Muhammad. Apakah nabi diutus untuk orang sezaman saja dan terbatas pada
orang arab saja. Ataukah nabi diutus kepada seluruh manusia baik pada mereka
yang hidup masa nabi sampai hari kiamat dan tidak dibatasi bangsa Arab saja.
Hal ini kemudian terbantahkan dengan dua ayat diatas bahwa nabi diutus
untuk seluruh umat dalam kaitannya ia menjadi nabi terakhir, sehingga sampai
kiamat, nabi muhammadlah yang diberi amanat untuk membawa peringatan.14
2. Makna al-h}ikmah dalam al-Qur’an bukan sunnah
Dalam ayat 131 surat al-Baqarah:
14
Abbul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, 2011),
282.
Sebagaimana kami telah mengutus kepadmu rasul di antara kamu yang
membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu al-kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui (QS 2: 151)
Taufiq Shidqi menolak makna al-h}ikmah diartikan sunah sebagaimana
pemaknaan para ulama ahli tafsir pada umumnya. Menurutnya, al-h}ikmah
diartikan mau’dzah, adab, berilmu, dan masyarakat madani sebagaimana
keterangan sebelumnya.
Kata al-hikmah pada ayat tersebut diartikan sunnah yang menjelaskan
maksud Allah yang belum diterangkan oleh teks al-Qur’an melalui lisan nabi.15
Al-shafi’i memilih al-hikmah diartikan sunah sebagaimana periwayatan Qatadah.
Alasan ulama al-shafi’iyah karena pertama, Allah menyebutkan dalam ayat itu,
membacakan al-kita>b. Kedua, mengajarkannya, kemudian dihubungkan dengan
kata al-h}ikmah berart ia di luar al-kitab yakni sunah rasul.16
Kata al-h}ikmah diartikan sunah lebih kuat, karena diperkuat dengan ayat lain
misalnya surah al-ahzab/33:34
Dan ingatlah apa yang dibacakan dirumahmu (istri-istri nabi) dari ayat-ayat Allah
dan hikmah (sunah nabimu). Sesungguhnya Allah maha lembut lagi maha
mengetahui
Rasulullah saw mengajarkan sunah kepada mereka sebagimana mengajarkan
al-kita>b. Demikian juga para sahabat belajar al-kita>b dan sunnah dari
Rasulullah saw secara bersama-sama. Dan mereka bergantian menemani beliau
agar tidak luput dari sunnah.
Adapun al-h}ikmah dalam surat ali-Imran 3: 48 tersebut memang tidak diartikan
sunah. Sebagian ahli tafsir membeberkan al-kita>b diartikan tulisan, al-h}ikmah
benar dalam perkataan dan perbuatan atau diartikan sunah para nabi.17
Bukan
menjadi sifat terhadap kitab taurat, karena dalam tata bahasa sifat itu disebutkan
setelah yang disifati.18
15
Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an (Beirut: Da>r al-fikr, 1987), 231. 16
Muhammad bin Idris Al-shafi’i, Risalah (Kairo: Da>r al-Turath, 1979),78. 17
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni>, S}afwat Al-Tafa>si>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1969), 202. 18
Abdul Majid Khon, 284
Dari beberapa keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa boleh saja kata
al-h}ikmah diinterpretasikan dengan berbagai arti berdasarkan dalil yang jelas,
tetapi sekalipun yang di artikan dengan arti sunah tidak menunjukkan kewajiban
menjadikan sunah sebagai hujah. Kewajiban kehujahan sunah berdasarkan ayat-
ayat yang menyuruh patuh kepada rasul sebagai realisasi iman kepadanya.19
3. Rakaat shalat
Bilangan rakaat salat menurut Taufiq Shidqi minimal dua rakaat, sesuai
dengan keteranga dalam surat al-Nisa>’ 102-102
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqasar shalatmu, jika kamu takut diserang orag-orang kafir.
Sesungguhnyaorang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka, lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-
sama mereka, maka hendakah segolongan dari mereka berdiri(salat) besertamu
dan menyandang senjata.
19
Ibid 284.
Salat dilaksanakan nabi secara mutawatir dan dimaklumi oleh para sahabat,
mereka melihat bagaimana cara nabi melaksanakan salat, jumlah bilangan salat
sehari-semalam dan jumlah rakaatnya. Salat yang disebut dalam ayat tersebut
adalah salat dalam keadaan perang. Ia mempunyai hukum dan cara tersendiri
karena darurat, tidak sama dengan dalam keadaan biasa disamping bolehnya
meringkas salat. Bahkan dalam surat al-Baqarah 2:239 Allah berfirman:
Bila kamu dalam keadaan takut bahaya, maka salatlah sambil berjalan atau
berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah.
Sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui.
Bentuk salat dalam keadaan lari atau naik diatas kendaraan, berarti tidak
ada rukuk dan sujud. Jika Taufiq Shidqi berkesimpulan dari surat al-Nisa’ 101-
102 bahwa salat dalam keadaan takut, minimal satu rakaat bagi ma’mum dan dua
rakaat bagi imam. Dan dalam keadaan aman minimal dua rakaat. Mengapa tidak
mengambil kesimpulan dari surat al-Baqarah 2:239 bahwa kewajiban salat
minimal tanpa ruku’ dan sujud, jadi salat dalam keadaan takut tidak dapat
disamakan dengan keadaan aman, ia mendapat keringanan dari syara’.20
4. Sunah Tidak Boleh Kontradiksi Dengan Al-Qur’an.
Menurut Taufiq Shidqi sunah yang melebihi dari al-Qur’an atau yang tidak
disebut dalam al-Qur’an ditolak. Mislanya hukum bunuh bagi orang murtad, dan
hukum rajam terhadap pezina muh}s}a>n. Memang terjadi adanya pro kontra
dikalangan para ulama tentang status sunah sebagai sumber hukum yang berdiri
sendiri atau sunah menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Dua pendapat tersebut dapat dikompromikan bahwa pada prinsipnya pendapat
yang kontra itu mengakui adanya hukum baru yang dibina sunah yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an secara tegas.
Dengan demikian hanya retorika yang berbeda, pendapat pertama mengakui
sunah menetapkan hukum sendiri yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Adapun
pendapat kedua, memahami sunah dikandung secara tersirat dalam teks atau
kaedah al-Qur’an.
20
M. Rashid Ridla, al-Manar, IX/927-928.
Hadis disebut juga sebagai taqri>r yakni penguat terhadap al-Qur’an, apa
yang disampaikan al-Qur’an dijelaskan dalam hadis dengan tidak ada perbedaan,
baik kandungan maupun bentuk global dan terperincinya.21
Dasar pemikiranya, kewajiban umat Islam mengikuti hadis s}ah}ih} adalah
kewajiban taat kepada rasul yang diperintahkan al-Qur’an, sebagaiman firman
Allah:
Dan tidaklah patut bagilaki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan
yang mu’minah, apabila Allah dan rasulnya telah menetapka suatu perkara, akan
ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan rasulnya maka sungguh ia telah sesat dengan sesat yang
nyata(al-ahzab 33:36)
Ayat 26 surat al-Baqarah dan ayat 29 Al-Kahfi diatas yang dijadikan dasar
penolakan sunah Taufiq Shidqi tidak berkaitan dengan hukum murtad, ia
berkaitan dengan dakwah secara umum. Jadi nabi dan para da’i setelahnya tidak
boleh memaksa seseorang untuk memasuki agama Islam, mereka hanya
tabligh/menyampaikan dan keimanan terserah padanya.22
5. Kelangkaan hadith mutawatir.
Memang ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa hadis mutawatir
sedikit, karena sulitnya menempuh persyaratan yang ketat. Diantara mereka ada
yang hanya menghitung 17 hadis, sebagian lagi berpendapat hanya satu hadis,
bahkan sebagian berpendapat hanya satu hadis dan itu juga dinilai maud}u’.
Pendapat inilah salah satunya, yang dijadikan senjata ingar sunah sunah
membuang seluruh hadis.23
Namun meski demikian, hadis tetap merupakan elemen pentng dalam ajaran
Islam, mengingat hadis adalah ijithad nabi Muhammad yang tidak mungkin tanpa
petunjuk dari Allah. Hingga dikatakan bahwa wahyu pada dasarnya terbagi
menjadi dua, yakni wahyu yang tertulis dan mengandung mu’jizat saat dibaca dan
wahyu yang diriwayatkan berupa hadis nabi yang berasal dari Allah, oleh karena
itu, menurut ‘Ajjaj al-Khatib mendasari pentingnya posisi hadis atas empat hal,
21
Must}a>fa> al-Siba’i, Al-Sunnah Wa Maka>nuha Fi Al-Tashri’ Al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2000),
414. 22
Abdul Majid Khon, 288. 23
Ibid,
yaitu: berdasarkan keimanan, berdasar perintah al-Qur’an, berdasar dalil dari
hadis sendiri dan berdasar ijma’ ulama.24
6. Sunnah Tidak Terpelihara
Taufiq Shidqi berpendapat bahwa hanya al-Qur’an yang dipelihara tuhan
sedang sunah tidak, sebagaimana dalam surat al-Hijr 15: 9.
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.
Maksud pemeliharaan al-Qur’an dalam surat al-Hijr yakni sunah sebagai
penjelas (mubayyin) dan al-Qur’an sebagai yang dijelaskan (mubayyan). Secara
logis pemeliharaan mubayyan terhenti pada pemeliharaan mubayyin karena
keduanya sebagai wahyu dari sumber yang sama yaitu Allah. Sunah sebagai
benteng al-Qur’an yang kuat dan sebagai penjelas baginya. Sehingga al-qur’an
dapat terpelihara dari interpretasi dan penakwilan yang hanya disesuaikan dengan
ra’yu dan hawa nafsu.25
Pemeliharaan sunah memang berbeda dengan pemeliharaan al-Qur’an.
pemeliharaan sunah melalui penyampaian nabi saw kemudian diterima dan diingat
sahabat untuk disampaikan kepada yang belum tahu. Begitu seterusnya kepada
generasi berikutnya. Sebagaimana Allah memelihara al-Qur’an dengan
tumbuhnya pada hufaz} yang andal dari generasi ke generasi, Allah juga
memelihara sunah dengan perhatian para hufaz} yang dapat dipercaya thiqah yang
telah mengahabiskan usianya untuk memeliti dan memeriksanya dari sesama
thiqah sampai kepada rasulullah, sehingga dapat diketahui mana yang s}ah}i>h}
dan mana yang tidak s}ah}i>h}. Sunah dipelihara tuhan di dalam dada para
sahabat dan tabiin kemudian dihimpun dan dikodifikas sampai sekarang.26
7. Larangan Penulisan Sunah Pada Masa Nabi
Sunah tidak ditulis dan tidak dibukukan sejak nabi Muhammad. Tidak
benar jika pada masa awal Islam tidak terdapat tulisan sunnah sebagaimana
sangkaa ingkar sunah. Banyak bukti yang menunjukkan, misalnya surat-surat
24
‘Ajjaj al-Khatib, Us}ul Al-Hadi>th: Ulumuhu Wa Must}alah}uhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 2008), 25-31. 25
Muhammad Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis Dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 54. 26
Abdul Majid Khon, 290
dakwah yang ditujukan kepad para tokoh bangsa dan para raja, kesepakatan dan
perdamainan. S}ahi>fah ibn umar, s}ahi>fah Ali .dll
Pada mulanya memang menulis sunah terlarang karena khawatir campur
aduk dengan penulian al-Qur’an, disisi lain SDM yang mampu menulis dan
membaca sangat minim, sementara perhatian mereka masih pada al-Qur’an
karena ia sumber pokok utama, akan tetapi setelah tidak ada kekhawatiran itu
nabi mengizinkannya. Larangan menulis untuk umum, akan tetapi bagi orang-
orang tertentu ada yang diperbolehkan menulisnya. Misalnya Abu Shah karena
hafalannya kurang, atau seperti Ibnu Umar karena tulisannya bagus tidak ada
kehawatiran campuraduk dengan al-Qur’an atau terjadi adanya proses nasikh
mansukh.27
memahami larangan Rasul untuk menulis hadith seperti laporan Abu Said
al-Khudri, yang menyatakan Rasul bersabda : “janganlah anda menulis (sesuatu)
dari saya. Barang siapa yang telah terlanjur menulis, maka hapuslah.
Ceritakanlah (segala sesuatu) dari saya; demikian tidak apa-apa”, sebagai
larangan penulisan ha>dits yang tidak professional, sebab saat itu dikhawatirkan
akan bercampur dengan al-Qur’an.28
8. Kesempurnaan Al-Qur’an Tidak Memerlukan Sunnah
Menurut Taufiq Shidqi, al-Qur’an telah sempurna tidak perlu
disempurnakan lagi sebagaimana surat al-An’am 37. Ayat yang dijadikan
pedoman Taufiq Shidqi tidak tepat karena maksud al-kitab dalam surat tersebut
menurut pakar tafsir diartikan lawh mahfuz} bukan al-Qur’an atau kalau ingin
dimaksudkan demikian lebih tepat menggunakan dalil surat an-Nahl 16:89 yang
ditakwilkan bahwa al-Qur’an menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dan
hukum-hukumnya. Penjelasana al-Qur’an secara mujmal dan yang pokok saja.
Adapun penjelasan secara terperinci baik yang menyangkut masalah agama atau
masalah furu’iyah dijelaskna oleh sunah atau diserahkan kepada nabi untuk
menjelaskannya.
Pendapat Taufiq Shidqi, bahwa al-Qur’an telah jelas karena mujmalnya
dijelaskan oleh antar ayat-ayat yang berkaitan, sedang mutlaknya dibatasi
penguasa setempat sebagaimana yang dilakukan nabi pada masanya, memang ada
27
Abdul Majid Khon, 291. 28
DR. Mahmud at-Tahhan, Ushu>l al-Takhrij wa Dirasah al-Asa>nid.Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Surabaya:
diantama, 2007) xxvii.
benarnya. Namun seluruhnya tidak demikian, ada yang perlu penjelasan nabi
sebagai penerima wahyu dari globalisasi ayat, misalnya tentang waktu shalat lima
waktu, bacaan salam shalat29
dan lain-lain atau pembatasan kemutlakan ayat,
seperti ayat pemotongan tangan pencuri sampai mana batas pemotongan ini
dengan sunah, yaitu pada batas pergelangan tangan, atau mengkhususkan ayat
yang umum serta ayat tentang pencuri yang memenuhi syarat pemotongan
tangan, nilai barang yang dicuri harus telah mencapai ukuran satu nisab dan
tersimpat ditempatnya.
29
Hamma>dah ‘Abbas Mutawali, Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Wa Maka>Nuha> Fi Tashri> (Kairo: Da>r al-
Qaumiyah li al-T}aba>iyah wa al-Nashr, 1965), 143.
BAB III\
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Taufiq Shidqi adalah seorang pemikir new moderism yang berada di Mesir yang
mencoba menganalisa keterkaitan sunah dan al-Qur’an dari kacamata modern, bahwa
Islam sebagai ajaran hanya memerlukan al-Qur’an saja sebagai pedoman kehidupan.
2. Pendapat Taufiq Shidqi dikenal juga sebagai ingkar sunah yang pada mulanya terjadi
ketika barat meluaskan kolonialismenya ke negara-negara Islam, beririgan dengan
perkembangan reformis seperti M Abduh dan Rasyid Ridla yang membawa pengaruh
besar bagi perkembanga dunia Islam, khusunya di Mesir.
3. Penulis tidak sependapat dengan Analisis Taufiq Shidqi, karena kembali kepada al-
Qur’an bahwa umat Islam diperintahkan untuk patuh kepada Allah dan Rasulnya,
Rasulpun dalam menyampaikan dan melaksanakan perintah tidak luput dari apa yang
digariskan oleh Allah.
B. Saran
1. Dalam rangka memperkuat persepsi tentang status sunah sebagai dasar hukum Islam,
hendaknya kepada semua umat Islam mempelajari ilmu Dira>yah dan Riwa>yah,
sehingga mampu memahaminya secara fungsional, maupun mendeteksi dan meneliti
kesahihan periwayatan sanad dan matan.
2. Umat Islam yang memiliki kemampuan hendaknya terus mengadakan penelitian
sunah, baik dalam buku-buku induk sunah maupun yang lain, sehingga dapat
diketahui dan dapat diinformasikan mana yang sahih.
3. Makalah masih terbuka lebar untuk dianalisis, penulis mengharapkan kontribusi
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih konprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Khatib(al), ‘Ajjaj Us}ul Al-Hadi>th: Ulumuhu Wa Must}alah}uhu. Beirut: Da>r al-Fikr,
2008.
Majid Khon, Abbul. Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, Jakarta:
Kencana, 2011.
Mutawali, Hamma>dah ‘Abbas Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Wa Maka>Nuha> Fi Tashri>,
Kairo: Da>r al-Qaumiyah li al-T}aba>iyah wa al-Nashr, 1965.
Nasution, Harun. Pembaruan Dalam Islam: Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagi Aspek, Jakarta: UI-Press, 1985.
Qurtubi (al), Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Da>r al-fikr, 1987.
Ridla, M. Rasyid. Tarjamah Al-Thalib Taufiq Shidqi, al-Manar .
Ridla, M. Rasyid. Majalah Al-Manar , Mesir: Mathba’ah al-Manar, 1928.
Shidqy, Taufiq. Al-Isla>m Huwa Al-Qur’a>n Wahdah, Al-Manar, Mesir: Maktabah al-
Manar,1907.
S}a>bu>ni> (al), Muhammad Ali. S}afwat Al-Tafa>si>r , Beirut: Da>r al-Fikr, 1969.
Shafi’i (al), Muhammad bin Idris. Risalah, Kairo: Da>r al-Turath, 1979.
Siba’i (al), Must}a>fa>. Al-Sunnah Wa Maka>nuha Fi Al-Tashri’ Al-Isla>mi>, Kairo: Da>r
al-Sala>m, 2000.
Tahhan(al),Mahmud. Ushu>l al-Takhrij wa Dirasah al-Asa>nid.Terj. Imam Ghazali Sa’id,
Surabaya: Diantama, 2007.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi: Telaah Historis Dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003.