optimasi proses pengeringan simplisia kayu secang (sappan ... · ) maupun farmakologi. oleh karena...
TRANSCRIPT
i
OPTIMASI PROSES PENGERINGAN SIMPLISIA
KAYU SECANG (Sappan Lignum) DAN APLIKASINYA
PADA PRODUK MINUMAN
HASRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Proses Pengeringan
Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) dan Aplikasinya pada Produk Minuman
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Hasriani
NRP F153100101
ABSTRACT
HASRIANI. Optimization of Drying Process of Sappanwood Simplicia
(Sappan Lignum) and Its Application into Beverage Products. Supervised by
RIZAL SYARIEF, SETYO PERTIWI, and BUDI NURTAMA.
Secangs plant (Caesalpinia sappan Linn.) or locally known as sappanwood,
have long been used in a favorite beverage such as bir pletok from Betawi. In the
progress of their utilization, sappanwood is used as simplicia in the
pharmaceutical field. Simplicia is a natural material that presented in the dry form.
Utilization of post-harvest handling technologies such as drying is an alternative
technology to create a standard in producing simplicia of sappanwood
(Sappan Lignum). The aims of study were to identify the practices of harvest and
post harvest of sappanwood, to optimize the drying process of Sappan Lignum, to
identify the availability of brazilin content, and to assess the level of consumer’s
acceptance of sappan drink. This study consists of three phases. Phase I was to
know the optimum brazilin content in samples from lowland (Takalar Regency)
and highland (Gowa Regency) in South Sulawesi with three different cutting
types. Phase II was to optimize the drying process by using Design Expert 8.0®
with drying variables i.e. temperature (40°-60°C), air velocity (0,78-0,95m/s), and
relative humidity (30-60%). The responses were analyzed i.e. dried shrinkage,
brazilin content, colors (L and oHue), and drying time. Phase III was to produce
sappan drink followed by organoleptic test (hedonic test). The results showed that
the stem of plants with a big size is optimum to be harvested. The spines, the outer
layer, and cambium of harvested sappanwood are removed to get wood core.
Sappan Lignum from highlands (Lonjo'boko Village, Gowa Regency) have stick
form contained the highest brazilin (79,87mg/g). The selected solution for
optimum drying process of simplicia were drying temperature (60°C), air velocity
(0,78m/s), and relative humidity (30%), with desirability value (0,709). Sappan
drink produced from dried Sappan Lignum and fresh sappanwood showed the
same acceptance level of the panelists in taste, aroma, and color.
Key words: sappanwood simplicia, optimization of the drying process, brazilin,
sappan drink, hedonic test
RINGKASAN
HASRIANI. Optimasi Proses Pengeringan Simplisia Kayu Secang
(Sappan Lignum) dan Aplikasinya pada Produk Minuman. Dibimbing oleh
RIZAL SYARIEF, SETYO PERTIWI, dan BUDI NURTAMA.
Biodiversitas masih menjadi sumber utama untuk perkembangan riset di
Indonesia, khususnya bagi berbagai spesies tanaman yang dapat dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan, seperti bahan pangan, bahan baku industri, maupun
obat-obatan. Terdapat sekitar 30.000 jenis tumbuhan di Indonesia dan 7.000 di
antaranya berkhasiat sebagai obat. Salah satunya adalah tanaman secang
(Caesalpinia sappan L.) yang jumlahnya cukup banyak dan sering dimanfaatkan
masyarakat sebagai minuman berkhasiat. Tanaman secang ditemukan tumbuh liar
di alam. Pembudidayaan tanaman secang sampai saat ini masih terbatas.
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan berupa bahan yang dikeringkan.
Penanganan pasca panen kayu secang yang dilakukan masyarakat masih
tradisional, khususnya pada praktek pengeringannya. Masyarakat mengeringkan
kayu secang dalam bentuk gelondongan di tempat terbuka tanpa memperhatikan
kebersihan dan stabilitas senyawa aktif di dalamnya. Hal ini kurang mendukung
pemanfaatan kayu secang yang cukup potensial dalam bidang industri pangan
(functional food) maupun farmakologi. Oleh karena itu diperlukan adanya
optimasi pengeringan kayu secang menjadi suatu simplisia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penanganan pascapanen yang
tepat dalam pembentukan simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Secara
spesifik penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi praktek-praktek
pemanenan dan pasca panen kayu secang yang dilaksanakan oleh masyarakat,
(2) mengoptimasi proses pengeringan kayu secang untuk mendapatkan
simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan menggunakan piranti lunak
Design Expert 8.0®
, (3) mengidentifikasi khasiat (kandungan brazilin) pada
produk kayu secang segar dan simplisia kayu secang (Sappan Lignum), dan
(4) mengkaji tingkat penerimaan konsumen pada produk minuman secang celup
yang dihasilkan.
Penelitian telah dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai April 2012.
Bertempat di beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai lokasi pengambilan
sampel, Laboratorium Pindah Panas dan Massa dan Laboratorium TPPHP
Fateta IPB, serta Pusat Studi Biofarmaka IPB Taman Kencana. Penelitian ini
terdiri dari 3 tahap. Tahap I untuk mengetahui kandungan brazilin optimum
pada sampel kayu secang dari dataran tinggi dan rendah dengan 3 jenis
potongan yang berbeda (stick, serutan, gelondongan). Sampel kayu secang
diambil dari Sulawesi Selatan. Penelitian tahap II akan menggunakan data
hasil penelitian tahap I dalam pelaksanaan optimasi proses pengeringan
menggunakan piranti lunak Design Expert 8.0®
. Kombinasi variabel pengeringan
yang digunakan yaitu suhu pengeringan (40o-60
oC), kecepatan aliran udara
(0,78-0,95 m/s), dan kelembaban relatif (20-60%). Pengujian simplisia sebagai
output hasil optimasi meliputi pengujian, susut pengeringan, kadar brazilin, warna
(L dan oHue), dan lama pengeringan. Terakhir, penelitian tahap III yaitu uji
penerimaan konsumen terhadap produk secang celup. Produk tersebut
kemudian dilanjutkan dengan tahap uji organoleptik (hedonic test) kepada
30 panelis tidak terlatih.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian batang tanaman secang dengan
ukuran besar paling optimum untuk dipanen. Inti kayu secang untuk pembuatan
simplisia diperoleh dengan terlebih dahulu menghilangkan bagian duri, kulit luar,
dan kambium dari kayu secang hasil panen. Kayu secang dari daerah dataran
tinggi (Desa Lonjo’boko, Kecamatan Malino, Kabupaten Gowa) bentuk potongan
stick memiliki kandungan brazilin paling tinggi sebesar 79,87mg/g. Solusi proses
pengeringan optimum untuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum) adalah
dengan komponen suhu pengeringan 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s,
kelembaban relatif (RH) sebesar 30%, dan nilai desirability sebesar 0,709. Produk
secang celup yang dihasilkan dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum)
maupun dari kayu secang segar hasil pemanenan menunjukkan tingkat
penerimaan panelis yang sama yaitu suka terhadap parameter rasa, aroma, dan
warna produk.
Kata kunci: secang, optimasi proses pengeringan, brazilin, secang celup,
uji organoleptik
® Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atas seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
OPTIMASI PROSES PENGERINGAN SIMPLISIA
KAYU SECANG (Sappan Lignum) DAN APLIKASINYA
PADA PRODUK MINUMAN
HASRIANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Leopold O. Nelwan, M.Si
i
Judul Tesis : Optimasi Proses Pengeringan Simplisia Kayu
Secang (Sappan Lignum) dan Aplikasinya pada
Produk Minuman
Nama : Hasriani
NRP : F153100101
Program Studi/Mayor : Teknologi Pasca Panen
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS
Ketua
Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr
Anggota
Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Teknologi Pasca Panen
Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 4 Juni 2012 Tanggal Lulus:
ii
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai syarat dalam
menyelesaikan perkuliahan di Magister Sains, Teknologi Pasca Panen, Institut
Pertanian Bogor. Tidak lupa shalawat serta salam senantiasa di berikan kepada
Nabi Muhammad, SAW, keluarganya, dan umatnya sampai akhir zaman.
Penulis melakukan penelitian tentang Optimasi Proses Pengeringan
Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) dan Aplikasinya pada Produk Minuman.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu (1) menentukan bentuk potongan
simplisia dengan kadar brazilin optimum, (2) optimasi proses pengeringan
simplisia dengan bentuk potongan yang memiliki kadar brazilin optimum, dan
(3) pembuatan produk secang celup.
Selama menjalani studi, penulis banyak sekali mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak baik berupa dukungan moril dan doa. Oleh karena itu, melalui
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Orang tua tercinta, ayahanda Lukman, SP dan ibunda Nurhayati, SP, serta
anggota keluarga lainnya yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan
dan semangat.
2. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS; Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr; dan
Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr selaku komisi pembimbing, atas segala perhatian,
bimbingan, saran, pengertian, serta dukungan moril kepada penulis selama
menjalani proses penelitian.
3. Dr. Ir. Leopold O. Nelwan, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
bimbingan dan saran kepada penulis.
4. Masyarakat Desa Lonjo’boko Kabupaten Gowa dan Desa Ko’mara
Kabupaten Takalar yang telah memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap
penelitian ini.
5. Rekan-rekanku di TPP 2010, Cicih Sugianti terima kasih atas bantuan tenaga
dan waktu yang diluangkan; Tajul Iflah, Putri Wulandari Zainal, Cininta
Pertiwi, Fajri Eko Munanda, Elmi Kamsiati, Susi Lesmayati, Sandra Leoni dan
iii
Syahriman Hakim atas keceriaan pembangkit semangat selama penulis
melakukan penelitian.
6. Sahabat tercinta, Khadijah Herdayani, Julyanti Mustafa, Deba Supriyanto,
Tiara Eka Suardi, Yenny Fiqhiany Hamty, dan Ibu Ratna Siahaan yang telah
meluangkan waktu dan tenaga demi kelancaran penelitian.
Kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak kekurangan. Kritik,
saran dan masukan sangat penulis harapkan, demi sempurnanya penelitian ini
dikemudian hari.
Akhir kata, teriring doa semoga segala bantuan dapat menjadi amal
ibadah di mata Allah SWT dan mendapat imbalan yang lebih tinggi. Harapan
penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat, sekecil apapun itu bagi
kita semua. Amin.
Bogor, Juli 2012
Penulis
iv
RIWAYAT HIDUP
Hasriani, lahir di Makassar pada Hari Kamis,
28 Juli 1988. Penulis dilahirkan sebagai anak tunggal
dari pasangan Lukman, SP dan Nurhayati, SP. Jalur
pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu
TK Pertiwi Panggentungan, tahun 1992-1993; SD Inpres
Tamarunang, tahun 1993-1999; SLTP Negeri 1
Sungguminasa, tahun 1999-2002; dan SMU Negeri 3
Makassar, tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Perguruan
Tinggi Negeri Universitas Hasanuddin Makassar melalui Jalur Penelusuran Minat
dan Bakat (JPMB) pada program Strata Satu (S1) Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian. Penulis berkesempatan
melanjutkan ke jenjang Pascasarjana (S2) Teknologi Pertanian, program studi
Teknologi Pasca Panen, Institut Pertanian Bogor sejak 2010 sampai sekarang.
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiii
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1
Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
Ruang Lingkup ................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 5
Botani Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.) ............................. 5
Kandungan Kimia Kayu Secang ....................................................... 7
Brazilin ............................................................................................ 8
Pembuatan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) ....................... 10
Panen ..................................................................................... 11
Pasca Panen ............................................................................. 13
Teori Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) ............. 15
Pemutuan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) ......................... 18
Respons Surface Method ................................................................... 19
Secang Celup .................................................................................... 20
METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 22
Waktu dan Tempat ........................................................................... 22
Bahan dan Alat ................................................................................. 22
Prinsip Kerja Mesin Pengering Berakuisisi .............................. 22
Cara Pengoperasian Mesin Pengering Berakuisisi .................... 24
Metode Penelitian ............................................................................. 24
Penelitian Tahap I ..................................................................... 24
Pemanenan Kayu Secang ................................................ 24
Penanganan Pasca Panen Kayu Secang ............................ 25
Analisis Kadar Brazilin .................................................. 25
Rancangan Percobaan ..................................................... 27
Penelitian Tahap II ................................................................... 27
Pembuatan Rancangan Proses dan Respon dengan
Program Design Expert 8.0® ............................................ 27
Perlakuan Pengeringan .................................................... 28
Analisis Kimia dan Fisik ................................................. 28
Analisis Respon .............................................................. 28
Optimasi Proses .............................................................. 30
Penelitian Tahap III ................................................................. 32
Pembuatan Produk Secang Celup ................................... 32
Uji Kesukaan (Hedonic Test) .......................................... 32
vi
Rancangan Percobaan ..................................................... 33
Metode Analisis ...................................................................... 34
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 36
Analisis Kandungan Brazilin Optimum ............................................. 36
Optimasi Proses Pengeringan ............................................................ 41
Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dan Respon ............. 41
Pengujian Kadar Air ................................................................ 42
Hasil Pengukuran Respon Rancangan Perlakuan Proses
Pengeringan ............................................................................. 44
Analisis Respon dengan Program Design Expert 8.0® ............... 46
Analisis Respon Susut Pengeringan ................................ 46
Analisis Respon Kadar Brazilin ...................................... 49
Analisis Respon Warna .................................................. 53
Analisis Respon L ................................................. 53
Analisis Respon oHue ............................................. 56
Analisis Respon Lama Pengeringan ................................. 59
Optimasi Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dengan
Program Design Expert 8.0® ..................................................... 64
Uji Penerimaan Terhadap Produk Secang Celup ............................... 68
Rasa Seduhan .......................................................................... 70
Aroma Seduhan ....................................................................... 72
Warna Seduhan ....................................................................... 73
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 76
Kesimpulan ...................................................................................... 76
Saran ................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 78
LAMPIRAN ................................................................................................ 82
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil-hasil penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen
bioaktif tanaman rempah dan obat ........................................................... 7
2 Bagian tanaman, cara pengumpulan, kadar air simplisia .......................... 12
3 Standar mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum) ............................ 18
4 Rancangan perlakuan proses pengeringan dari program Design
Expert 8.0® ............................................................................................ 28
5 Hasil analisis sidik ragam pengaruh jenis dataran dan potongan terhadap
kadar brazilin kayu secang ...................................................................... 40
6 Hasil pengukuran nilai kadar air untuk seluruh rancangan perlakuan
proses pengeringan .................................................................................. 43
7 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh
rancangan perlakuan proses pengeringan ................................................. 45
8 Hubungan oHue dengan warna simplisia kayu secang (Sappan Lignum)
yang diukur ............................................................................................. 56
9 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance
pada tahapan optimasi rancangan perlakuan proses pengeringan ............. 64
10 Hasil uji analisis sidik ragam (ANOVA) parameter rasa seduhan produk
secang celup A dan secang celup B ......................................................... 71
11 Hasil uji analisis sidik ragam (ANOVA) parameter aroma seduhan produk
secang celup A dan secang celup B .......................................................... 72
12 Hasil uji analisis sidik ragam (ANOVA) parameter warna seduhan produk
secang celup A dan secang celup B .......................................................... 73
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) .............................................. 5
2 Kayu secang ........................................................................................... 6
3 Struktur kimia (a) brazilin dan (b) brazilein ........................................... 9
4 Jalur Polyol ............................................................................................ 10
5 Berbagai bentuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum)....................... 14
6 Diagram alir mesin pengering berakuisisi .............................................. 23
7 Bagian inti kayu secang sebagai bahan baku simplisia ........................... 25
8 Rancangan diagram alir penelitian tahap I
(Analisis kandungan brazilin) ................................................................ 26
9 Rancangan diagram alir penelitian tahap II
(Optimasi proses pengeringan dengan Design Expert 8.0®) .................... 31
10 Rancangan diagram alir penelitian tahap III (Uji penerimaan terhadap
produk secang celup) ............................................................................. 33
11 Perbedaan warna inti kayu secang pada: (a) Desa Ko’mara Kabupaten
Takalar dan (b) Desa Lonjo’boko Kabupaten Gowa .............................. 38
12 Bentuk potongan kayu secang yang digunakan untuk analisis kandungan
brazilin optimum: (a) gelondongan, (b) serutan, dan (c) stick ................. 38
13 Hasil uji kadar brazilin (mg/g) kayu secang berdasarkan pengaruh jenis
dataran dan bentuk potongan ................................................................. 39
14 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon susut
pengeringan ........................................................................................... 47
15 Grafik contour plot hasil uji respon susut pengeringan .......................... 48
16 Grafik tiga dimensi hasil uji respon susut pengeringan .......................... 48
17 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon kadar
brazilin ................................................................................................... 51
18 Grafik contour plot hasil uji respon kadar brazilin ................................. 52
19 Grafik tiga dimensi hasil uji respon kadar brazilin ................................. 53
20 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon L ............... 55
21 Grafik contour plot hasil uji respon L .................................................... 55
22 Grafik tiga dimensi hasil uji respon L .................................................... 56
23 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon oHue ......... 58
24 Grafik contour plot hasil uji respon oHue .............................................. 58
ix
Halaman
25 Grafik tiga dimensi hasil uji respon oHue .............................................. 59
26 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon lama
pengeringan ........................................................................................... 63
27 Grafik contour plot hasil uji respon lama pengeringan ........................... 63
28 Grafik tiga dimensi hasil uji respon lama pengeringan ........................... 64
29 Grafik contour plot dan nilai desirability solusi rancangan perlakuan
proses pengeringan optimum ................................................................. 67
30 Grafik tiga dimensi nilai desirability solusi rancangan perlakuan proses
pengeringan optimum ............................................................................ 68
31 Produk secang celup .............................................................................. 69
32 Nilai rata-rata hasil uji organoleptik (hedonict test) terhadap parameter
rasa, aroma, dan warna seduhan pada produk secang celup A dan B ...... 70
33 Mesin pengering berakuisisi tampak depan ........................................... 100
34 Flow controller mesin pengering berakuisisi ......................................... 100
35 Anemometer ......................................................................................... 101
36 Cutting mill ........................................................................................... 101
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil uji kadar brazilin kayu secang (mg/g) berdasarkan pengaruh jenis
dataran dan bentuk potongan .................................................................. 81
2 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis potongan terhadap kadar brazilin
kayu secang ........................................................................................... 81
3 Rekapitulasi data uji kadar air rancangan perlakuan proses pengeringan . 82
4 Rekapitulasi data uji susut pengeringan rancangan perlakuan proses
pengeringan .......................................................................................... 83
5 Rekapitulasi data uji warna rancangan perlakuan proses pengeringan .... 85
6 Rekapitulasi data uji kadar brazilin rancangan perlakuan proses
pengeringan .......................................................................................... 86
7 Kromatogram KCKT rancangan perlakuan proses pengeringan dengan
(a) suhu 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, RH 45%, dan (b) standar
brazilin kayu secang .............................................................................. 87
8 ANOVA dan persamaan polinomial respon susut pengeringan .............. 88
9 ANOVA dan persamaan polinomial respon kadar brazilin ..................... 89
10 ANOVA dan persamaan polinomial respon L ....................................... 90
11 ANOVA dan persamaan polinomial respon oHue ................................... 91
12 ANOVA dan persamaan polinomial respon lama pengeringan .............. 92
13 Rekapitulasi data running perlakuan proses pengeringan untuk
mendapatkan rancangan optimum ......................................................... 93
14 Solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum yang
dihasilkan dalam tahapan optimasi ......................................................... 94
15 Simplisia kayu secang (Sappan Lignum) sebagai hasil dari proses
pengeringan ........................................................................................... 95
16 Formulir pengujian organoleptik (hedonic test) ...................................... 97
17 Hasil uji organoleptik (hedonic test) produk secang celup dari simplisia
kayu secang (secang celup A) dan kayu segar hasil pemanenan
(secang celup B)..................................................................................... 98
18 Gambar alat yang digunakan dalam penelitian ....................................... 100
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Biodiversitas masih menjadi sumber utama untuk perkembangan riset di
Indonesia, khususnya terkait material berbagai spesies tanaman yang dapat
dimanfaatkan dalam berbagai keperluan, seperti bahan pangan, bahan baku
industri, maupun obat-obatan. Indonesia memiliki kekayaan hayati yang sangat
besar, di antaranya adalah tanaman obat dan rempah. Terdapat sekitar 30,000 jenis
tumbuhan di Indonesia dan 7,000 di antaranya berkhasiat sebagai obat
(Sastroamidjojo, 1997). Salah satunya adalah tanaman secang (Caesalpinia
sappan L.) yang jumlahnya cukup banyak dan sering dimanfaatkan masyarakat
sebagai minuman dan dipercaya berkhasiat bagi kesehatan.
Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) ditemukan tumbuh liar di alam
sebagai tanaman pagar, pembatas kebun, atau tumbuh sebagai tanaman sela.
Pembudidayaan tanaman secang sampai saat ini masih terbatas mungkin
disebabkan karena tumbuh duri pada batangnya, sehingga masyarakat
menganggap akan menyulitkan dalam perawatan dan penanganannya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2011), luas lahan yang sementara tidak
diusahakan (temporarily unused) untuk daerah luar Pulau Jawa yaitu 47,105 Ha,
luar Pulau Jawa yaitu 14,854,793 Ha, sehingga total luas lahan yang sementara
tidak diusahakan untuk seluruh Indonesia yaitu 14,901,898 Ha. Khusus di
Provinsi Sulawesi Selatan, luas lahan yang sementara tidak diusahakan yaitu
88,870 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki lahan
cukup luas dan potensial yang dapat dimanfaatkan untuk membudidayakan
tanaman secang.
Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) merupakan salah satu sumber
daya alam yang belum banyak tersentuh dalam hal pemanfaatan dan
pengolahannya dari hulu hingga ke hilir. Bagian tanaman secang yang sering
dimanfaatkan adalah bagian batang/kayu. Masyarakat memanfaatkan kayu secang
dalam bentuk minuman yang diperoleh dari hasil perebusan inti kayu secang yang
berwarna merah, maupun dengan penambahan rempah-rempah lainnya seperti
kapulaga, jahe merah, dan kayu manis. Kebiasaan mengkonsumsi minuman
2
secang secara turun temurun, menjadikan minuman secang sebagai minuman
fungsional yang dapat dikonsumsi sesuai kebutuhan tanpa batasan takaran.
Kelebihan lain minuman secang adalah pada rasanya. Berbeda dengan jamu
yang umumnya berasa pahit, secang enak untuk dinikmati di segala cuaca terlebih
saat udara dingin. Minuman secang merupakan minuman kesehatan legendaris
yang mengandung antioksidan, anti kanker, memperlancar peredaran darah, obat
batuk darah / TBC, malaria, pembersih darah, anti tetanus, dan anti peradangan
(Priatni dan Tatik, 2007).
Jumlah kandungan zat berkhasiat dalam tanaman dipengaruhi oleh
faktor-faktor yaitu faktor dalam (genetic) dan faktor luar (lingkungan tempat
tumbuh), di samping itu juga dipengaruhi oleh umur pada saat panen dan proses
pasca panennya. Sedangkan kebiasaan yang terjadi di tingkat petani/pengumpul
bahan simplisia adanya tenggang waktu antara panen sampai proses pengeringan
(Sampurno 2000 dalam Jokopriyambodo, 2003).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan yang dikeringkan (Materia Medika Indonesia, 1995). Pemanfaatan
teknologi pengeringan dapat digunakan untuk menghasilkan suatu standar
pembuatan simplisia kayu secang. Praktek pengeringan yang dapat dilakukan
untuk memperoleh simplisia kayu secang mengacu pada penelitian yang ada
sebelumnya walaupun dengan bahan baku berbeda, yaitu dengan pengeringan
secara alami (sun drying), menggunakan oven, blower, ataupun rak pengering.
Pengeringan diperlukan sebagai suatu syarat pembentukan simplisia dengan kadar
air yang sesuai standar yaitu 8-10%. Dengan interval kadar air tersebut,
diharapkan simplisia dapat bebas dari serangan mikroorganisme, komponen
metabolit sekundernya masih terjaga dengan baik, dapat diatur dan distandarkan,
serta dapat disimpan dalam jangka waktu cukup lama jika ditunjang dengan
pengemasan yang baik pula (Sembiring, 2007).
Penanganan pasca panen kayu secang yang dilakukan masyarakat masih
tradisional, khususnya pada praktek pengeringannya. Masyarakat mengeringkan
kayu secang dalam bentuk gelondongan di tempat terbuka tanpa memperhatikan
kebersihan dan stabilitas senyawa aktif di dalamnya. Hal ini kurang mendukung
3
pemanfaatan kayu secang yang cukup potensial dalam bidang industri pangan
(functional food) maupun farmakologi. Oleh karena itu diperlukan adanya
optimasi pengeringan kayu secang menjadi suatu simplisia. Proses optimasi
adalah suatu pendekatan normatif untuk mengidentifikasikan penyelesaian
terbaik dalam pengambilan keputusan suatu permasalahan. Melalui optimasi,
permasalahan akan diselesaikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai
dengan balasan yang diberikan (Ma’arif et al. 1989). Keuntungannya adalah
masyarakat mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan tanaman lokal kayu
secang dalam bentuk simplisia berdasarkan pengembangan sistem optimizations
process pada setiap faktor-faktor perlakuan pengeringan yang terpilih. Selain itu,
dapat diperoleh gambaran dan kondisi proses pengeringan optimal dalam
menghasilkan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang memiliki kandungan
senyawa aktif maksimum.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penanganan pasca panen yang tepat
dalam pembentukan simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Secara spesifik
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi praktek-praktek pemanenan dan pasca panen kayu secang
yang dilaksanakan oleh masyarakat.
2. Mengoptimasi proses pengeringan kayu secang untuk mendapatkan
simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan menggunakan piranti lunak
Design Expert 8.0®.
3. Mengidentifikasi khasiat (kandungan brazilin) pada kayu secang segar dan
simplisia kayu secang (Sappan Lignum).
4. Mengkaji tingkat penerimaan konsumen pada produk minuman secang
celup yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Pertimbangan penyediaan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) secara
kontinyu untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan ketersediaan bahan baku
industri maupun farmasi.
4
2. Bahan informasi bagi masyarakat mengenai simplisia kayu secang
(Sappan Lignum) yang mencakup aspek organoleptik dan kandungan kimia.
3. Memberikan sentuhan teknologi untuk mengangkat kearifan lokal dalam
kebiasaan mengkonsumsi minuman kayu secang agar lebih memasyarakat.
Ruang Lingkup
Optimasi pengeringan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) ini spesifik
pada komoditas kayu secang yang ada di wilayah dataran tinggi dan dataran
rendah, studi kasus di Kabupaten Gowa (Desa Lonjoboko) dan Kabupaten
Takalar (Desa Ko’mara), Provinsi Sulawesi Selatan. Decision analysis dimulai
dari tahap identifikasi langsung, praktek panen dan pasca panen di lapangan.
Kemudian dilanjutkan dengan kajian persyaratan simplisia sebagai suatu
minuman berkhasiat dalam upaya penentuan model optimasi yang akan diterapkan
untuk pembentukan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) menggunakan piranti
lunak Design Expert 8.0®.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)
Tanaman secang tersebar hampir di seluruh Indonesia (Gambar 1) dan
memiliki nama daerah yang berbeda-beda yaitu Seupeueng (Aceh), Sepang
(Gayo dan Sasak), Sopang (Batak), Lacang (Minangkabau), Secang (Sunda, Jawa
Tengah, Madura), Cang (Bali), Supa (Bima), Sepel (Timor), Hape (Sawu),
Kayu Sema (Manado), Dolo (Bare), Sappang (Makassar) dan Sepang (Bugis),
Sepen (Halmahera Selatan), Savala (Halmahera Utara), Sungiang (Ternate) dan
Roro (Tidore) (Anonim, 2011b).
Gambar 1 Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)
Menurut Tjitrosoepomo (2004), taksonomi tanaman secang adalah
sebagai berikut:
Divisi : Spermathophyta
Sub divisi : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Sub class : Dialypetalae
Ordo : Rosales
Family : Caesalpinaceae
Genus : Caesalpinia
Species : Caesalpinia sappan Linn.
6
Tumbuhan ini berupa pohon kecil dengan tinggi 5-10 m. Permukaan batang
kasar, berduri tersebar. Daun majemuk menyirip, setiap sirip mempunyai 10-20
pasang anak daun yang berhadapan mempunyai daun penumpu. Perbungaan
tersusun tandan, bunga berwarna kuning terang. Buah polong warna hitam, berisi
3-4 biji. Banyak tumbuh di pekarangan daerah Jawa, juga dijumpai di pegunungan
berbatu pada daerah yang tidak terlalu dingin di Sulawesi Selatan. Di habitat
alaminya, sebagian besar pohon kayu secang tumbuh pada tempat-tempat yang
berbukit dengan tipe tanah seperti liat dan berbatu-batu, pada daerah dengan
ketinggian tempat rendah dan sedang. Pohon ini tidak toleran pada tanah-tanah
yang terlalu basah (Anonim, 2011a).
Pohon secang tumbuh pada lokasi-lokasi yang memiliki kisaran curah hujan
tahunan 700-4300 mm, rata-rata suhu udara tahunan adalah 24-27,5°C, dan
dengan kisaran pH tanah adalah 5-7,5. Tumbuhan ini banyak dijumpai pada
dataran rendah hingga ketinggian 1700 m dpl. Kayu secang dapat diperbanyak
menggunakan biji. Biasanya tumbuhan ini ditanam di bawah naungan di sekitar
tepi hutan. Hingga akhir abad ke 19, kayu secang telah dimanfaatkan sebagai
sumber pewarna merah utama. Namun saat ini, pemanfaatannya sebagai bahan
pewarna hanya berlangsung untuk skala kecil. Biji tumbuhan ini berfungsi sebagai
bahan sedatif, kayu dan batangnya dapat mengobati tuberkolosis, diare, dan
disentri, sedangkan daun-daunnya dapat dimanfaatkan untuk mempercepat
pematangan buah pepaya dan mangga. Tumbuhan ini memiliki daya adaptasi
terhadap lingkungan yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman
penghijauan. Sedangkan di Sulawesi Selatan kayu secang (Gambar 2) dibuat
minuman seperti teh yang berkhasiat menguatkan lambung (Anonim, 2011a).
Gambar 2 Kayu Secang
7
Kandungan Kimia Kayu Secang
Penyebaran metabolit sekunder pada tanaman sangat beragam baik dalam
berbagai spesies maupun organ, maka pengumpulan bahan simplisia yang tidak
teratur akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi kesehatan.
Simplisia yang berasal dari bahan liar akan mempunyai variasi yang sangat tinggi
dalam hal kandungan zat berkhasiatnya (Jokopriyambodo, 2003). Beberapa hasil
penelitian mengenai komponen bioaktif tanaman rempah dan obat, termasuk
secang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil-hasil penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen bioaktif
tanaman rempah dan obat Jenis Tanaman Bentuk Produk Komponen Aktif Manfaat Kesehatan Jahe -
-
Ekstrak jahe
Ekstrak jahe
Gingerol, shogaol, gingeron
Gingerol, shogaol
-
-
Antioksidan
Anti-inflmasi, rematik,
artristis kronis
Antibakteri
Kekebalan tubuh
Kunyit/Temulawak - Kurkumin
Komp. Fenolik
Antihepatoksik,
antikolesterol,
Antikanker, antimutagenik
Lidah Buaya -
-
Gel lidah buaya
Gel lidah buaya
Aloin, aleat, emodin
Aloin
-
Vitamin, mineral, asam
amino
Antibiotik, penghilang
rasa sakit
Obat pencahar
Diabetes
Obat luka
Mengkudu Jus buah
Jus buah
-
Damnacantahl
-
Xeronin dan proxeronin
Antikanker
Imunomodulator,
antikanker
Aktivasi enzim,
membentuk protein
Kayu Secang -
Ekstrak secang
Ekstrak
kloroform
Brazilin
Brazilin
-
Antioksidan,
Antibakteri
Antidiare
Pala -
-
Ekstrak
kloroform
Miristicin
Eugenol
-
Hepatoprotektor
Antioksidan, aktivasi
enzim
Antidiare (Shigela,
E. coli)
* Sumber : Priatni dan Tatik (2007)
Kayu secang apabila diseduh dengan air panas menghasilkan warna merah
yang dinamakan sappanin. Batang dan daun secang mengandung alkohol, tannin,
saponin, fotosterol, asam tanat, gelatin, resin, resorsin, brazilin, brazilien, minyak
atsiri dan pigmen. Secara empiris kayu secang dapat digunakan untuk mengobati
8
tuberkulosis, desentri, analgetik, penyakit kulit, desinfektan, tonikum dan rematik.
Pada umumnya penggunaan kayu secang sebagai obat dengan cara menyeduh,
sehingga kemungkinan bahan aktifnya dapat larut dalam air (Sundari et al. 1995).
Hasil penelitian Safitri (2000) dalam Priatni dan Tatik (2007) diketahui
bahwa bagian kayu secang memiliki daya peredaman radikal bebas superoksida
dan aktivitas antioksidan sebesar 100%. Studi juga mengungkapkan terdapat lima
senyawa aktif yaitu saponin, fitosterol, brazilin, tannin, flavonoid dan diantaranya
tidak hanya mampu meredam radikal superoksida, tetapi juga memberikan efek
peredaman yang sangat berarti terhadap radikal hidroksil yang lebih reaktif dan
berbahaya. Zat antioksidan yang terdapat dalam tumbuhan ini bersifat labil bila
serbuk kayu secang diseduh dengan air panas, hasil seduhannya lama kelamaan
berubah warnanya menjadi semakin merah tua (Haryono, 1985).
Brazilin
Sanusi (1989) telah mengisolasi zat warna merah yang terkandung
dalam kayu secang yang dikenal sebagai senyawa golongan brazilin. Brazilin
merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur
kimianya. Berdasarkan aktivitas antioksidannya, brazilin diharapkan mempunyai
efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia. Selanjutnya
Lim et al. (1997) membuktikan bahwa indeks antioksidatif dari ekstrak kayu
secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial. Penelitian lain
mengungkapkan bahwa brazilin diduga mempunyai efek anti-inflamasi
(Sukria, 1993 dalam Sundari et al. 1998).
Senyawa brazilin hanya terdapat pada tanaman brazilwood atau
Caesalpinia sp. Brazilin mempunyai aktivitas farmakologis seperti proteksi hati,
antikonvulsan, antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, antivirus,
ancomplementary, penghambat xantin oksidase, penghambat aldose reduktase,
proteksi otak (Zhao et al. 2008 dalam Hangoluan, 2011), dan yang terakhir diteliti
adalah sebagai anti jerawat. Senyawa ini merupakan komponen utama dan
merupakan senyawa penciri dari kayu secang (Batubara et al. 2010).
Brazilin (C16H14O5) merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi jika
teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna merah
kecoklatan dan dapat larut dalam air, dengan struktur kimia seperti yang tampak
9
pada Gambar 3. Brazilin memiliki warna kuning sulfur jika dalam bentuk murni,
dapat dikristalkan, larut air, jernih mendekati tidak berwarna dan berasa manis.
Asam tidak berpengaruh terhadap larutan brazilin, tetapi alkali dapat membuatnya
berwarna merah. Eter dan alkohol menimbulkan warna kuning pucat terhadap
larutan brazilin. Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar
matahari. Terjadinya warna merah ini disebabkan oleh terbentuknya brazilein
(C6H12O5) (Kim et al. 1997 dalam Holinesti, 2007).
Gambar 3 Struktur kimia (a) brazilin dan (b) brazilein
(Sumber :http://edhisambada.wordpress.com)
Brazilin termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid.
Pengujian terhadap ekstrak kayu secang untuk mengetahui keberadaan senyawa
flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan etanol 80% dan asam klorida
pekat dan ternyata memberikan hasil positif dengan munculnya warna kuning
kemerahan yang berarti ekstrak tersebut mengandung senyawa golongan
flavonoid (Suhartati, 1983).
Kayu secang telah digunakan sebagai komponen dalam ramuan untuk
pencegahan dan perawatan komplikasi diabetes dalam obat tradisional Korea
dan Cina. Kandungan brazilin dalam kayu secang diketahui merupakan salah
satu inhibitor dari aldose reduktase. Aldosa reduktase merupakan enzim
pertama dalam jalur Polyol yang mereduksi D-glukosa menjadi D-Sorbitol
dengan konversi NADPH dan NADP+ (Gambar 4). Jalur Polyol ini diduga
memiliki peran penting dalam perkembangan komplikasi degeneratif dari diabetes
(De La Fuente et al. 2003 dalam Wicaksono et al. 2008).
a b
10
Glukosa Sorbitol Fruktosa
Gambar 4 Jalur Polyol
Telah dilaporkan juga bahwa Caesalpin P, sappanchalcone,
3-deoxysappanone, brazilin dan protosappanin yang merupakan konstituen
dari kayu secang, dapat berfungsi sebagai inhibitor aldose reduktase.
Senyawa-senyawa yang disebutkan di atas juga dilaporkan mampu memperbaiki
fungsi dari sel beta dari pulau-pulau Langerhans di pankreas yang berfungsi
dalam produksi insulin (Li WL et al. 2004 dalam Wicaksono et al. 2008).
Selain itu, brazilin yang memberikan warna merah ketika teroksidasi
(membentuk brazilein), merupakan salah satu komponen penting dari kayu
secang yang berguna untuk memperlancar peredaran darah, dan telah terbukti
secara in vitro dapat menginduksi vasorelaksasi (Hu DM et al. 2003 dalam
Wicaksono et al. 2008).
Brazilin memiliki banyak aktivitas, sehingga dapat dijadikan standar dalam
kontrol kualitas kayu secang. Untuk memenuhi kontrol kualitas kayu secang
berdasarkan senyawa penciri, digunakan brazilin (Hangoluan, 2011).
Pembuatan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)
Simplisia sebagai bahan baku obat tradisional sangat berperan dalam
kaitannya dengan mutu suatu produk. Rendahnya kualitas simplisia tanaman
obat lebih banyak disebabkan pada saat penanganan pasca panen, proses
pengeringan bahan dan kondisi penyimpanan. Simplisia tanaman obat yang telah
terkontaminasi bakteri dan kapang dapat terbawa sampai pada produk olahannya
yang kemungkinan dapat menyebabkan rusaknya komponen kimia yang
berkhasiat dan dapat juga menghasilkan toksin yang sangat membahayakan
kesehatan (Chosdu et al. dalam Katno, 1999).
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut:
pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, sortasi kering,
pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu. Kadar senyawa aktif dalam
Aldose reduktase Sorbitol dehidrogenase
NADPH NADP+ NAD+ NADH
11
suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada: bagian tanaman yang
digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen, dan
lingkungan tempat tumbuh (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
Panen
Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses budidaya
tanaman obat. Waktu, cara pemanenan dan penanganan bahan setelah panen
merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil
tanaman. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara panen yang
berbeda. Begitu juga tanaman yang mengalami stres lingkungan akan memiliki
waktu panen yang berbeda meskipun jenis tanamannya sama. Pemanenan kayu
dilakukan setelah pada kayu terbentuk senyawa metabolit sekunder secara
maksimal. Umur panen tanaman berbeda-beda tergantung jenis tanaman
dan kecepatan pembentukan metabolit sekundernya. Tanaman secang baru
dapat dipanen setelah berumur 4 sampai 5 tahun, karena apabila dipanen terlalu
muda kandungan zat aktifnya seperti tanin dan sappan masih relatif sedikit
(Sembiring, 2007).
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif
di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Senyawa aktif terbentuk secara
maksimal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen
yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari.
Contoh, simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen pada pagi
hari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu
dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia
terhadap panas sinar matahari. Panen dapat dilakukan dengan tangan,
menggunakan alat atau menggunakan mesin. Alat atau mesin yang digunakan
untuk memetik perlu dipilih yang sesuai. Alat yang terbuat dari logam sebaiknya
tidak digunakan bila akan merusak senyawa aktif simplisia seperti fenol,
glikosida, dan sebagainya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
Cara pengambilan bagian tanaman untuk pembuatan simplisia dapat dilihat
pada Tabel 2.
12
Tabel 2 Bagian tanaman, cara pengumpulan, kadar air simplisia No Bagian Tanaman Cara Pengumpulan Kadar Air Simplisia
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Kulit batang
Batang
Kayu
Daun
Bunga
Pucuk
Akar
Rimpang
Buah
Biji
Kulit buah
Bulbus
Dari batang utama dan cabang,
dikelupas dengan ukuran panjang
dan lebar tertentu; untuk kulit
batang mengandung minyak atsiri
atau golongan senyawa fenol digunakan alat pengelupas bukan
logam.
Dari cabang, dipotong-potong
dengan panjang tertentu dan
diameter cabang tertentu.
Dari batang atau cabang, dipotong
kecil atau diserut (disugu) setelah
dikelupas kulitnya.
Tua atau muda (daerah pucuk),
dipetik dengan tangan satu persatu.
Kuncup atau bunga mekar atau
mahkota bunga, atau daun bunga, dipetik dengan tangan.
Pucuk berbunga; dipetik dengan
tangan (mengandung daun muda
dan bunga).
Dari bawah permukaan tanah,
dipotong-potong dengan ukuran
tertentu.
Dicabut, dibersihkan dari akar;
dipotong melintang dengan
ketebalan tertentu
Masak, hampir masak; dipetik dengan tangan.
Buah dipetik; dikupas kulit buahnya
dengan mengupas menggunakan
tangan, pisau, atau menggilas, biji
dikumpulkan dan dicuci.
Seperti biji, kulit buah dikumpulkan
dan dicuci.
Tanaman dicabut, bulbus dipisah
dari daun dan akar dengan
memotongnya, dicuci.
10 %
10 %
10 %
5 %
5 %
8 %
10 %
8 %
8 %
10 %
8 %
8 %
* Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985.
Pada waktu panen, peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan
bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Bahan yang rusak atau busuk harus
segera dibuang atau dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keranjang, kantong,
karung dan lain-lain) tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk
dan tidak rusak. Selanjutnya dalam waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan
tidak terkena panas yang berlebihan, karena dapat menyebabkan terjadinya proses
fermentasi/busuk. Bahan juga harus dijaga dari gangguan hama (hama gudang,
tikus dan binatang peliharaan) (Sembiring, 2007).
13
Pasca Panen
Beberapa proses pasca panen yang dilakukan dalam pembuatan
simplisia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985) adalah
sebagai berikut:
1. Penyortiran Basah
Penyortiran basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang
terbuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil,
rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus
dibuang. Bahan nabati yang baik memiliki kandungan bahan organik asing tidak
lebih dari 2%.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang
melekat pada bahan simplisia menggunakan air bersih. Bahan simplisia yang
mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian agar
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pada simplisia batang dapat pula
dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba awal
karena sebagian besar jumlah mikroba. Bahan yang telah dikupas tersebut tidak
memerlukan pencucian jika cara pengupasannya dilakukan tepat dan bersih.
3. Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan
bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan
dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang tetapi
dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari untuk mengurangi pewarnaan akibat
reaksi antara bahan dan logam pisau. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau,
dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan
dengan ukuran yang dikehendaki seperti pada Gambar 5.
14
Gambar 5 Berbagai bentuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum)
(Sumber: Materia Medika Indonesia, 1977)
Setelah dicuci, dibersihkan, dan dijemur, simplisia lalu dipotong-potong
kecil ukuran 0,25-0,06 cm yang setara dengan ayakan 4/18 (tergantung jenis
simplisia). Semakin tipis perajangan maka semakin cepat proses pengeringan
kecuali tanaman yang mengandung minyak menguap, perajangan tidak boleh
terlalu tipis karena menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat aktif.
Sebaliknya bila perajangan terlalu tebal pengeringannya lama dan mudah
berjamur (Ritrum Center, 2011).
4. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan
dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat
terhambat. Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah
rusak dan tahan disimpan dalam waktu yang lama. Dalam proses ini, kadar air dan
reaksi-reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu
pengeringan perlu diperhatikan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara
40-600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang
mengandung kadar air 10%. Di samping menggunakan sinar matahari langsung,
penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu
40-500C. Kelebihan dari alat ini adalah waktu penjemuran lebih singkat yaitu
sekitar 8 jam, dibandingkan dengan sinar matahari yang membutuhkan waktu
lebih dari 1 minggu (Sembiring, 2007).
15
5. Penyortiran Kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum
simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan. Seperti halnya pada sortasi awal,
sortasi di sini dapat dilakukan dengan atau secara mekanik. Setelah penyortiran,
simplisia ditimbang untuk mengetahui rendemen hasil dari proses pasca panen
yang dilakukan (Sembiring, 2007).
6. Pengemasan
Selama penyimpanan ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia
yang dapat mengakibatkan pemunduran mutu, sehingga simplisia bersangkutan
tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan atau yang ditentukan. Oleh karena itu
pada penyimpanan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat
mengakibatkan kerusakan simplisia, yaitu cara pengepakan, pembungkusan dan
pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu,
serta cara pengawetannya. Untuk dapat disimpan dalam waktu lama, simplisia
harus dikeringkan dahulu sampai kering, sehingga kandungan airnya tidak lagi
dapat menyebabkan kerusakan yang merugikan.
7. Penyimpanan
Cara menyimpan simplisia dalam wadah yang kurang sesuai memungkinkan
simplisia rusak karena dimakan kutu atau ngengat. Biasanya jenis serangga
tertentu merusak jenis simplisia tertentu pula. Penyimpanan simplisia dapat
dilakukan di ruang biasa (suhu kamar) ataupun di ruang ber AC. Ruang tempat
penyimpanan harus bersih, udaranya cukup kering dan berventilasi. Ventilasi
harus cukup baik karena hama menyukai udara yang lembab dan panas. Jadi
sebelum disimpan pokok utama yang harus diperhatikan adalah cara penanganan
yang tepat dan higienis.
Teori Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)
Penanganan pasca panen merupakan suatu langkah yang sangat penting
guna mendapatkan simplisia yang baik. Salah satu langkah pasca panen yang
perlu diperhatikan pula ialah cara pengeringan. Pengeringan suatu hasil panen
16
merupakan suatu langkah untuk mendapatkan bahan simplisia yang
penggunaannya masih ditangguhkan. Pengeringan dapat dilakukan secara alamiah
(sinar matahari dan diangin-anginkan pada ruangan terbuka) dan buatan
(dengan oven) (Sutjipto, 1995).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah
suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas
permukaan bahan. Pada pengeringan bahan simplisia tidak dianjurkan
menggunakan alat dari plastik. Selama proses pengeringan bahan simplisia,
faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering
yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Suhu pengeringan
tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia
dapat dikeringkan pada suhu 30oC sampai 90
oC, tetapi suhu yang terbaik adalah
tidak melebihi 60oC (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
Ada beberapa sifat kayu yang diduga mempunyai hubungan erat dengan
sifat pengeringannya. Pengeringan kayu terutama dipengaruhi oleh kerapatan,
ukuran dan frekuensi jari-jari kayu. Ada kecenderungan yang kuat bahwa kayu
yang berat atau berkerapatan tinggi akan mengering lebih lambat dan sehubungan
dengan cacat-cacat pengeringan lebih problematis dibanding dengan kayu
yang ringan. Karena itu pada pengeringan kayu yang berat digunakan bagan
pengeringan yang lunak (suhu dan gradient pengeringan yang rendah)
(Budiarso, 1997).
Hasil penelitian Sukaton (1999) pada pengukuran kadar air awal dari
beberapa jenis kayu menunjukkan bahwa kayu-kayu memiliki kadar air awal yang
bervariasi atau tidak seragam. Ketidakseragaman kadar air awal merupakan hal
yang wajar dan tidak dapat dihindarkan karena pengambilan sampel dilakukan
secara acak dari tumpukan kayu yang mungkin berasal dari pohon atau bagian
batang yang berlainan. Selain disebabkan oleh asal potongan kayu yang berbeda,
variasi kadar air awal kayu juga dapat disebabkan oleh perbedaan waktu tunggu
yaitu selang waktu antara proses penggergajian dan pelaksanaan pengeringan.
Kayu-kayu yang lebih dahulu digergaji mempunyai kadar air yang lebih rendah
dibandingkan kayu yang baru saja digergaji, karena kayu yang lebih dahulu
digergaji dan ditumpuk selama masa tunggu lebih banyak mengalami penurunan
17
kadar air. Kayu yang terletak di pinggir tumpukan mempunyai kadar air yang
lebih rendah daripada kayu yang terletak di tengah tumpukan karena kayu-kayu
yang terletak di pinggir tumpukan relatif lebih mudah mengering akibat
berhubungan langsung dengan udara luar.
Gradient pengeringan (GP) adalah bilangan yang menyatakan tingkat
kekerasan dari suatu proses pengeringan dan merupakan perbandingan antara
kadar air kayu saat itu terhadap kadar air keseimbangan yang telah ditentukan
pada saat yang sama. Makin besar nilai GP makin keras proses pengeringan.
Setiap potong kayu baik dari jenis yang berbeda maupun dari jenis yang sama
mempunyai penurunan kadar air yang berbeda, artinya mempunyai kecepatan
pengeringan atau kemampuan yang berbeda untuk menyesuaikan dengan kadar air
keseimbangan yang diatur pada setiap tahapan proses pengeringan buatan. Ada
beberapa faktor menurut Sukaton (1999) yang menyebabkan hal tersebut terjadi
yaitu: (1) kayu berasal dari jenis kayu yang berbeda atau dari jenis yang sama dan
berasal dari pohon atau bagian batang yang berbeda, mempunyai perbedaan dalam
banyak hal seperti kerapatan, kandungan komponen kimia (misalnya kandungan
zat ekstraktif) dan struktur anatomi kayunya dan (2) kayu yang dikeringkan
kemungkinan mempunyai pola penggergajian yang berbeda.
Perbedaan nilai rataan kadar air akhir dan gradient kadar air juga tampak
pada jenis kayu yang sama dengan tebal berbeda. Hal ini karena pada kondisi
yang sama, air pada kayu yang tebal memerlukan waktu yang lebih lama untuk
bergerak dari dalam ke permukaan kayu daripada kayu yang lebih tipis. Sehingga
kayu yang tipis akan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi iklim (kadar air
keseimbangan), sementara pada saat yang sama kayu yang tebal kadar air
rataannya masih jauh di atas kadar keseimbangan (Sukaton, 1999).
Pengeringan dengan sinar matahari merupakan suatu cara pengeringan yang
sangat ekonomis, namun untuk bahan-bahan yang mengandung minyak atsiri bila
dikeringkan dengan sinar matahari dapat rusak dan bahan-bahan tersebut biasanya
dikeringkan dengan diangin-anginkan. Pengeringan suatu bahan dengan jalan
diangin-anginkan juga mengandung resiko karena ada bahan-bahan tertentu bila
dikeringkan dengan diangin-anginkan akan mudah rusak sebelum kering (busuk
atau berjamur) (Sutjipto, 1995).
18
Pemutuan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau
pembeliannya dari pengumpul/pedagang simplisia. Simplisia yang diterima harus
berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan umum. Agar selalu diperoleh
simplisia dengan mutu yang baik, sebaiknya disediakan contoh untuk tiap-tiap
simplisia dengan mutu yang pasti dan memenuhi persyaratan yang dapat
digunakan sebagai simplisia pembanding. Contoh simplisia pembanding tersebut
disimpan secara khusus agar mutunya terjaga, dan tiap jangka waktu tertentu
diperiksa kembali mutunya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
Dalam perdagangan tidak selalu mungkin untuk memperoleh simplisia
yang murni; bahan asing yang tidak berbahaya dalam jumlah yang sangat kecil
dalam simplisia atau yang ditambahkan/dicampurkan, pada umumnya
tidak merugikan. Simplisia nabati harus bebas dari serangga, fragmen hewan
atau kotoran hewan; tidak boleh menyimpang bau dan warnanya; tidak boleh
mengandung lendir dan cendawan atau menunjukkan tanda-tanda
pengotor lain; dan tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun atau
berbahaya (Materia Medika Indonesia, 1977).
Persyaratan mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang telah
tercantum di buku Materia Medika Indonesia Jilid I terbitan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3 Standar mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum)
Parameter Standar
Kadar air
Kadar abu
Kadar abu yang tidak larut dalam asam
Kadar sari yang larut dalam air
Kadar sari yang larut dalam etanol
Bahan organik asing
10-12%
< 2 %
< 0,5 %
> 2 %
> 1 %
< 2 %
* Sumber : Materia Medika Indonesia Jilid I, 1977.
Semua paparan yang tertera dalam persyaratan simplisia, kecuali tentang isi
dan penggunaan, merupakan syarat baku bagi simplisia yang bersangkutan. Suatu
simplisia tidak dapat dinyatakan bermutu Materia Medika Indonesia jika tidak
19
memenuhi syarat baku tersebut. Syarat baku yang tertera dalam Materia Medika
Indonesia berlaku untuk simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan
pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan yang dipergunakan untuk keperluan
lain yang dijual dengan nama yang sama (Materia Medika Indonesia, 1977).
Response Surface Methods
Optimasi bertujuan meminimumkan usaha yang diperlukan atau biaya
operasional dan memaksimumkan hasil yang diinginkan. Jika usaha yang
diperlukan atau hasil yang diharapkan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari
sebuah keputusan, maka optimasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapaian
kondisi maksimum atau minimum dari fungsi tersebut. Optimasi pada salah satu
atau seluruh aspek produk adalah tujuan dalam pengembangan produk. Hasil
evaluasi sensori sering digunakan dalam menentukan apakah produk optimum
yang telah dikembangkan adalah benar (Ma’arif et al. 1989).
Design Expert 8.0®
merupakan piranti lunak yang menyediakan rancangan
percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi rancangan produk
dan proses. Menurut Anonim (2006), program komputer ini memberikan beberapa
rancangan statistik yang digunakan di dalam proses optimasi seperti:
a. Factorial design, digunakan untuk mengidentifikasi faktor vital yang
mempengaruhi proses dan pembuatan produk di dalam percobaan sehingga
dapat memberikan peningkatan.
b. Response surface methods, digunakan untuk menentukan proses yang paling
optimal sehingga diperoleh hasil yang paling optimum.
c. Mixture design techniques, digunakan untuk menentukan formula yang optimal
di dalam formulasi produk.
d. Combined designs (combine process variables, mixture components, and
categorical factors) digunakan untuk penentuan optimasi proses dan formulasi
di dalam pembuatan produk.
Dalam penentuan model, modifikasi terhadap model dapat memberikan
hasil yang lebih baik. Modifikasi model dilakukan dengan cara menghilangkan
komponen atau hubungan antara komponen yang tidak diinginkan (reduksi
model). Komponen yang dihilangkan adalah komponen yang dianggap tidak
signifikan secara statistik terhadap respon. Untuk menentukan signifikansi model,
20
ditentuan nilai αout yang menjadi pembatas. Jika komponen dianggap tidak
signifikan berdasarkan nilai αout yang telah ditentukan, maka komponen tersebut
akan dihilangkan dari model.
Reduksi model dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tiga tipe reduksi
model yang paling mendasar yaitu:
a. Step-wise regression: kombinasi dari forward dan backward regressions.
Komponen ditambahkan, dihilangkan, atau diganti dalam setiap langkah
reduksi model.
b. Backward elimination: komponen dihilangkan dalam setiap langkah
reduksi model.
c. Forward selection: komponen ditambahkan dalam setiap langkah
reduksi model.
Metode backward elimination dianggap sebagai pilihan yang terbaik dalam
melakukan reduksi model algortima karena semua komponen dalam model akan
diberikan kesempatan untuk diikutkan di dalam model. Metode step-wise dan
forward selection dilakukan dengan menggunakan model inti minimal sehingga
beberapa komponen tidak pernah diikutkan dalam model.
Secang Celup
Secara prinsip, proses produksi secang celup sama dengan proses produksi
teh celup sesuai dengan jenis teh yang diperlukan. Perbedaan hanya terletak
pada bentuk atau ukuran teh yang digunakan, dimana pembuatan teh celup
sebenarnya dilakukan dengan menggunakan proses pengepakan dari proses
produksi teh dasar. Dalam proses produksi teh celup, teh yang digunakan adalah
teh yang telah dipotong-potong dengan ukuran kecil dan halus yang berbeda
dengan apa yang disebut dengan Tea Dust. Tea Dust adalah teh yang berkualitas
rendah karena merupakan sisa-sisa dari teh remukan, sedangkan teh celup adalah
teh yang secara sengaja dipotong-potong hingga ukurannya halus. Proses
pengolahan teh celup secara umum sama dengan pengolahan daun teh pada
umumnya yaitu pelayuan, penggulungan, fermentasi dan pengeringan
(Kotscheven. 1975 dalam Sudarmadji, 1997)
21
Teh celup ini biasanya dibuat dari pencampuan antara dua komponen yaitu
komponen pengisi dan komponen utama. Komponen utama merupakan teh
bermutu baik dari jenis peco fanning (daun pucuk ditambah 2 daun di bawahnya)
atau orange peco (daun pucuk ditambah satu daun di bawahnya). Mutu bahan
utama ini menentukan kekuatan seduhan yaitu warna coklat cerah khas teh,
sedangkan komponen pengisi berasal dari teh bermutu rendah seperti dust
(teh hitam yang dihasilkan dari daun teh yang tua dan mengandung hancuran
tangkai daun) yang berfungsi menentukan rasa dan warna seduhan teh. Setelah
melalui proses pencampuan bahan-bahan tersebut di atas, teh yang dihasilkan
kemudian dikemas. Pengemasan teh celup dilakukan dengan menggunakan bahan
pengemas primer dari kertas chronton, yang diberi benang dan dibungkus lagi
dengan kemasan sekunder dari bahan karton atau aluminium foil. Di perusahaan
besar, proses pengemasan ini dilakukan secara otomatis dengan menggunakan
mesin pengemas teh celup (Husman. 1995 dalam Slamet, 1997).
22
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai April 2012 dan
tempat pelaksanaan sebagai berikut:
1. Studi Lapangan di Kabupaten Gowa (Desa Lonjo’boko, Kecamatan
Parangloe) dan Kabupaten Takalar (Desa Ko’mara, Kecamatan
Polongbangkeng Utara), Sulawesi Selatan.
2. Laboratorium Pindah Panas dan Massa dan Laboratorium Teknologi
Pengolahan Pangan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan
Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor.
3. Pusat Studi Biofarmaka, Kampus IPB Taman Kencana.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah tanaman secang (Caesalpinia sappan L.)
yang tumbuh liar dan diperoleh dari Kabupaten Gowa (Desa Lonjo’boko) dan
Kabupaten Takalar (Desa Ko’mara), Sulawesi Selatan. Sedangkan, bahan
pendukung yang digunakan untuk analisa kimia adalah ethanol, larutan kloroform,
aquades, alkohol, asam asetat glasial, asam borat, asam oksalat, dan lain-lain.
Alat utama yang digunakan adalah software program Design Expert 8.0®
,
mesin pengering berakuisisi, oven drying, parang, dan HPLC. Sedangkan alat
pendukung yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) timbangan digital,
2) desikator, 3) cawan aluminium, 4) seperangkat komputer, 5) refrigerator,
6) desikator, 7) pH meter, 8) cawan porselen, 9) labu ukur, 10) erlenmeyer, 11)
alat destilasi, 12) pipet, 13) spatula, 14) gelas piala, 15) tanur listrik, 16) wadah,
17) kertas saring, dan lain-lain.
Prinsip Kerja Mesin Pengering Berakuisisi
Fungsi utama mesin pengering beraukuisisi adalah untuk mengkondisikan
ruangan (chamber) agar berada dalam suhu dan kelembaban yang diinginkan.
Prinsip kerja mesin pengering berakuisisi didasarkan pada udara panas yang
dihembuskan ke bahan seperti dapat dilihat pada Gambar 6. Udara panas yang
masuk ke dalam ruang memiliki suhu dan kelembaban relatif (RH) tertentu yang
23
dapat dikontrol sesuai kebutuhan. Udara panas berasal dari elemen listrik yang
berada pada ruang heating unit dan berkapasitas 2000 W. Sedangkan untuk
kontrol RH digunakan humidifier yang berupa pembangkit steam dengan cara
memanaskan air dalam ruang humidifier. Pemanasan air ini menggunakan heater
listrik dengan kapasitas 2000 W. Udara panas yang basah dari ruang air heater
akan didorong oleh blower ke dalam ruang terkondisi. Kecepatan udara yang
masuk dalam ruang terkondisi dapat diatur dengan menarik atau memundurkan
tuas pada bagian flow controller.
Gambar 6 Diagram alir mesin pengering berakuisisi
Untuk mencapai dan menjaga kondisi ruangan agar sesuai dengan setpoint,
diimplementasikan dua buah subsistem kontrol yang independent yaitu kontrol
suhu dan kontrol RH.
Kontrol suhu menggunakan algoritma PID (proportional-integral-
derivative) yang dalam mengambil keputusan aksi kontrol mempertimbangkan:
1. P : selisih antara kondisi aktual dan setpoint (error)
2. I : jumlah dari selisih antara kondisi aktual dan setpoint
3. D : kecepatan perubahan kondisi
Subsistem pengontrol suhu akan mengeluarkan perintah on/off untuk
heater sesuai perhitungan berdasarkan algoritma PID tersebut. Kontrol RH
mengunakan algortima PD (proportional-derivative). Subsistem pengontrol RH
Microprosessor
Controller Humidifier
Electrical
Fan Heating
Unit
Airflow
Regulator
PC Drying
Chamber
Scale
24
akan mengeluarkan perintah ke steamer untuk on/off sesuai dengan hasil formula
PD tersebut. Penimbangan massa bahan dilakukan secara otomatis oleh mesin.
Selang waktu penimbangan dapat diatur sesuai kebutuhan. Pada saat
penimbangan, blower akan mati sehingga tidak ada udara yang masuk ke ruang
pengering. Data hasil penimbangan akan langsung terekam (terakuisisi).
Cara Pengoperasian Mesin Pengering Berakuisisi
1. Nyalakan saklar
2. Masukkan wadah dan zero-kan timbangan
3. Atur suhu, RH, dan selang waktu penimbangan yang diinginkan
4. Nyalakan blower dengan memilih menu CTRH = 1
5. Masukkan wadah dan bahan saat suhu dan RH sesuai dengan pengaturan
6. Mulai pengukuran dengan memilih menu: START
7. Hentikan pengukuran ketika massa bahan sesuai dengan Berat Kering Tanur
(BKT) estimasi dengan memilih menu: STOP PERCOBAAN
8. Matikan blower dengan memilih menu: CTRH = 0
9. Matikan saklar
Metode Penelitian
Penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
Penelitian Tahap I
Penelitian tahap I ini dilakukan untuk mengetahui kandungan brazilin
optimum yang terdapat pada sampel kayu secang dengan 3 jenis potongan
berbeda. Sampel diambil dari dataran tinggi (Desa Lonjo’boko, Kabupaten Gowa)
dan dataran rendah (Desa Ko’mara, Kabupaten Takalar). Diagram alir penelitian
tahap I dapat dilihat pada Gambar 8.
Pemanenan Kayu Secang
Pemanenan kayu secang menggunakan parang yang bebas dari korosi,
dengan menebang batang kayu secang yang berukuran cukup besar (diasumsikan
oleh masyarakat, memiliki bagian inti kayu berwarna merah yang lebih optimal).
Pemanenan dilakukan oleh empat orang: 1 orang sebagai penebang, 3 orang
sebagai pengumpul.
25
Penanganan Pasca Panen Kayu Secang
Langkah selanjutnya adalah menghilangkan duri, kulit luar dan lapisan
cambium (bagian kayu yang berwarna keputih-putihan) sehingga diperoleh bagian
kayu secang yang berwarna merah (inti kayu) seperti yang terlihat pada
Gambar 7. Dilakukan sortasi basah pada kayu teras yang diperoleh, kemudian
dicuci, ditiriskan. Kemudian dirajang menjadi beberapa bentuk yaitu: (1) stick
dengan panjang ± 5 cm, (2) gelondongan kayu teras secang, dan (3) serutan. Jika
belum digunakan, kayu secang kemudian disimpan di dalam kemasan plastik
berlubang pada suhu ruang.
Gambar 7 Bagian inti kayu secang sebagai bahan baku simplisia
Analisis Kadar Brazilin
Penelitian tahap I dilakukan untuk mengetahui kadar brazilin optimum
dari setiap perlakuan penanganan pasca panen (perajangan) yang diberikan pada
kayu secang. Bentuk potongan dengan kadar brazilin optimum digunakan
pada tahap penelitian selanjutnya yaitu optimasi proses pengeringan dengan
Design Expert 8.0®.
Bagian Teras Kayu Secang
26
Gambar 8 Rancangan diagram alir penelitian tahap I
(Analisis kandungan brazilin)
Tanaman Secang
(Caesalpinia sappan L.)
Pemanenan Kayu Secang
Dataran Tinggi (Kabupaten Gowa)
Pemanenan Kayu Secang
Dataran Rendah (Kabupaten Takalar)
Mulai
Sampel
Kayu Secang
Hilangkan duri, kulit luar, dan kambium
Bagian Teras
Kayu Secang
Uji Kadar Brazilin
Stick (± 5cm)
Gelondongan
Serutan
Bahan Baku
Simplisia Kayu Secang
Sortasi Basah
Pencucian dan Penirisan
Perajangan
Simpan dalam kemasan
plastik pada suhu ruang hingga digunakan
Selesai
27
Rancangan Percobaan
Penelitian tahap satu menggunakan Rancangan Acak Dua Faktor dengan 3
kali ulangan untuk melihat pengaruh faktor jenis dataran dan potongan terhadap
kadar brazilin. Diolah menggunakan ANOVA dan Uji Duncan dengan bantuan
program program SPSS V.17. Model linearnya adalah:
𝑋𝑖𝑘𝑟 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑘 + 𝜖𝑖𝑘𝑟
Dimana,
𝑋𝑖𝑘𝑟 = Respon setiap kelompok yang diamati
𝜇 = Rataan umum
𝛼𝑖 = Pengaruh jenis dataran
𝛽𝑘 = Pengaruh jenis potongan
𝜖𝑖𝑗𝑘 = Pengaruh galat percobaan
Penelitian Tahap II
Penelitian tahap II ini menggunakan hasil dari penelitian tahap I
yaitu bentuk perajangan dengan kadar brazilin optimum sebagai running
dalam pelaksanaan optimasi proses pengeringan dengan piranti lunak
Design Expert 8.0®
. Diagram alir penelitian tahap II dapat dilihat pada Gambar 9.
Tahapan dalam penelitian ini yaitu:
Pembuatan Rancangan Proses dan Respon dengan Program
Design Expert 8.0®
Setelah didapatkan bahan baku simplisia kayu secang yang memiliki kadar
brazilin optimum, penelitian dilanjutkan dengan tahapan pembuatan rancangan
proses dan respon dengan menggunakan piranti lunak Design Expert 8.0®
. Tahap
ini diawali dengan penetapan perlakuan-perlakuan pengeringan yang digunakan
sebagai variabel berubah yang akan dimasukkan ke dalam pengaturan rancangan
proses karena nilainya yang berubah pada setiap rancangan perlakuan proses
pengeringan. Variabel berubah adalah perlakuan-perlakuan pengeringan terhadap
respon yang dihasilkan pada masing-masing rancangan perlakuan proses
pengeringan kayu secang menjadi simplisia kayu secang (Sappan Lignum).
Oleh karena itu, nilai variabel berubah akan berbeda-beda pada setiap rancangan
untuk melihat pengaruh perlakuan pengeringan.
28
Penentuan variabel berubah kemudian diikuti dengan penentuan kisaran
minimum dan maksimum dari perlakuan pengeringan yaitu suhu pengeringan
(40-600C), kecepatan aliran udara (0,78-0,95m/s), dan kelembaban relatif
(30-60%). Batas-batas ini akan menjadi input dalam pengaturan rancangan
proses oleh program Design Expert 8.0®
untuk mencari rancangan proses dari
setiap perlakuan pengeringan sehingga dihasilkan output berupa rancangan
perlakuan pengeringan.
Perlakuan Pengeringan
Perlakuan pengeringan dalam pembuatan simplisia kayu secang meliputi
suhu pengeringan, kecepatan aliran udara, dan kelembaban relatif. Proses
pengeringan dilakukan sampai mencapai kadar air yang diharapkan yaitu 8-10%.
Kemudian seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan yang dibuat, diukur
responnya dengan melakukan analisis kimia dan fisik yang telah ditentukan.
Total rancangan perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan oleh
program Design Expert 8.0®
yang akan diukur variabel responnya yaitu sebanyak
lima belas perlakuan (Tabel 4).
Tabel 4 Rancangan perlakuan proses pengeringan dari program Design
Expert 8.0®
Rancangan Faktor 1
(A : Suhu) oC
Faktor 2
(B : KecepatanAliranUdara) m/s
Faktor 3
(C : RH) %
1 50 0,86 45
2 50 0,86 45
3 50 0,86 45
4 40 0,86 30
5 40 0,86 60
6 40 0,78 45
7 40 0,95 45
8 50 0,95 60
9 50 0,78 60
10 50 0,78 30
11 50 0,95 30
12 60 0,86 30
13 60 0,86 60
14 60 0,95 45
15 60 0,78 45
29
Analisis Kimia dan Fisik
Seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan yang telah dibuat
kemudian diukur responnya dengan melakukan analisis kimia dan fisik, yang
terdiri dari: (1) kadar brazilin, (2) susut pengeringan, (3) warna (L dan oHue), dan
(4) lama pengeringan. Hasil pengukuran dan perhitungan dari keseluruhan respon
kemudian akan dimasukkan ke dalam program Design Expert 8.0®
untuk
selanjutnya dianalisis.
Analisis Respon
Setelah dilakukan pengukuran respon dari setiap rancangan perlakuan
proses pengeringan, dilakukan input data hasil pengukuran tersebut dalam
program Design Expert 8.0®
. Hasil input data dari masing-masing respon dari
seluruh rancangan selanjutnya akan dianalisis oleh program Design Expert 8.0®
.
Pada tahapan analisis respon ini, program Design Expert 8.0®
memberikan model
polinomial yang sesuai dengan hasil pengukuran setiap respon. Respon yang
dianalisis antara lain nilai kadar brazilin, susut pengeringan, uji warna
(L dan oHue), dan lama pengeringan.
Program Design Expert 8.0®
memberikan empat pilihan model polinomial
untuk setiap respon, yaitu mean, linear, quadratic, dan cubic. Terdapat tiga tahap
untuk mendapatkan persamaan polinomial, yaitu berdasarkan sequential model
sum of squares [Tipe I], lack of fit test, dan model summary statistics. Kemudian
partial sum of squares [Tipe III] akan memilih ordo tertinggi persamaan
polinomial dari suatu variabel respon yang dianalisis ragamnya masih
memberikan hasil yang berbeda nyata. Lack of fit test akan memilih ordo
persamaan polinomial tertinggi yang memberikan hasil tidak berbeda nyata dilihat
dari segi penyimpangan responnya. Model summary statistic akan memilih ordo
persamaan polinomial yang memberikan nilai “Adjusted R-squared” dan
“Prediction R-squared” maksimum.
Berdasarkan tahap tersebut, piranti lunak Design Expert 8.0®
menentukan
ordo persamaan polinomial tertinggi untuk setiap variabel responnya. Suatu
variabel respon dapat dikatakan berbeda nyata atau signifikan pada taraf
signifikansi 5% apabila nilai p “prob>f” hasil analisis ragam lebih kecil dari 0,05.
Variabel respon yang hasil analisis ragamnya berbeda nyata dapat digunakan
30
sebagai model prediksi karena variabel uji memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap respon rancangan perlakuan proses pengeringan tersebut.
Selanjutnya, model yang dianggap paling sesuai tersebut akan ditampilkan
di dalam sebuah contour plot berupa grafik dua dimensi (2-D) atau tiga dimensi
(3-D). Selain itu, program Design Expert 8.0®
juga memberikan grafik plot
kenormalan residual (normal plot residual) yang mengindikasikan apakah residual
(selisih atau perbedaan antara respon aktual dengan yang diprediksikan untuk
setiap respon) mengikuti garis kenormalan (garis lurus).
Optimasi Proses
Hasil analisis dari setiap respon kemudian digunakan untuk melakukan
optimasi proses dengan program Design Expert 8.0®. Proses optimasi dilakukan
untuk mendapat suatu rancangan perlakuan proses pengeringan yang
menghasilkan respon optimal sesuai target optimasi yang diinginkan. Nilai target
optimasi yang dapat dicapai dikenal dengan istilah nilai desirability yang
ditunjukkan dengan nilai 0-1. Semakin tinggi nilai desirability menunjukkan
semakin tingginya kesesuaian rancangan perlakuan proses pengeringan yang
didapatkan untuk mencapai rancangan optimal dengan variabel respon yang
dikehendaki.
Dalam menentukan target optimasi dilakukan pembobotan kepentingan
untuk tujuan yang diinginkan. Pembobotan ini dinamakan importance yang dapat
dipilih mulai dari 1 (+) hingga 5 (+++++) tergantung kepentingan variabel respon
yang bersangkutan. Semakin banyak tanda positif yang diberikan menunjukkan
tingkat kepentingan variabel respon yang semakin tinggi. Berdasarkan target
optimasi yang telah ditentukan, program Design Expert 8.0®
akan memberikan
solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum.
31
Gambar 9 Rancangan diagram alir penelitian tahap II
(Optimasi proses pengeringan dengan Design Expert 8.0®
)
Pengeringan
Pembuatan Rancangan Proses dan
Penentuan Respon
Mulai
Sortasi Kering
Suhu pengeringan
(40-600C)
Kecepatan Aliran
Udara (0,78-0,95 m/s)
Kelembaban Relatif
(RH) (30-60 %)
15 Perlakuan
Proses Pengeringan
Selesai
Tidak
Solusi Proses
Optimum
Ya
Analisis Respon
Optimasi Proses
Model Signifikan
Lack of fit = tidak
signifikan
Adj&Pred R-Squ = positif
Adeq Precision > 4
Susut
Pengeringan
Uji
Kadar Brazilin Uji Warna
Lama
Pengeringan
Pengukuran dan Perhitungan Nilai Respon Kimia dan Fisik
32
Penelitian Tahap III
Pembuatan Produk Secang Celup
Produk secang celup dibuat dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum).
Sebagai pembanding dibuat juga produk secang celup dari kayu segar hasil
pemanenan. Pada penelitian ini, tidak digunakan bahan tambahan seperti pada
produk-produk secang celup yang ada di pasaran. Hal ini dilakukan karena
mengadopsi kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan yang mengkonsumsi
secang murni tanpa bahan tambahan lainnya.
Tahap awal yaitu bahan baku dipotong-potong dan dihaluskan dengan
cutting mill hingga menjadi serbuk. Sampel ditimbang seberat 2 gram untuk
kemudian dikemas dengan tea bag. Diagram alir penelitian tahap III dapat dilihat
pada Gambar 10.
Uji Kesukaan (Hedonic test)
Produk secang celup yang dihasilkan kemudian dimasukkan pada tahapan
uji organoleptik dengan metode uji kesukaan (hedonic test) terhadap 30 panelis
tidak terlatih. Para panelis tersebut diberikan formulir pengujian (Lampiran 16),
kemudian diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya
(ketidaksukaan). Di samping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau
kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya dalam skala
hedonik. Skor penerimaan relatif juga dapat menunjukkan kesukaan, contoh
dengan skor tertinggi berarti yang lebih disukai. Hasil yang paling baik diperoleh
dari skala yang seimbang, yaitu yang jumlahnya ganjil (Setyaningsih et al. 2010).
Skala uji kesukaan yang digunakan untuk produk secang celup adalah
sebagai berikut:
1 = Sangat tidak suka
2 = Tidak suka
3 = Agak tidak suka
4 = Biasa saja
5 = Agak suka
6 = Suka
7 = Sangat suka
33
Rancangan Percobaan
Penelitian tahap tiga menggunakan Rancangan Blok Acak Lengkap.
Diolah menggunakan ANOVA dan Uji Duncan dengan bantuan program
komputer SPSS V.17.
Gambar 10 Rancangan diagram alir penelitian tahap III
(Uji penerimaan terhadap produk secang celup)
Uji Organoleptik (Hedonic test)
Serbuk
Dipotong-potong lalu dihaluskan dengan Cutting mill
Ditimbang ± 2 gram
Dikemas dalam tea bag
Pengepresan dengan Alat
Pengemas Teh Celup
Secang Celup
Selesai
Bahan Baku
Simplisia kayu secang (Hasil Tahap II)
Bahan Baku
Kayu secang segar (Hasil Tahap I)
Mulai
34
Metode Analisis
1. Penetapan Kadar Air dan Berat Kering Tanur
Sampel yang sudah ditimbang berat basahnya (Bb), dipotong dengan
ukuran panjang 2 cm dan lebar 2 cm (British Standard, 1957). Kemudian sampel
dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 103 ± 2oC selama 72 jam. Setelah
dioven, sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang hingga
mencapai berat konstan. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali ulangan pada
setiap perlakuan proses pengeringan. Rincian metode kering tanur ini diterangkan
di dalam ASTM (American Society for Testing and Materials) D2016. Untuk
kadar air dan berat kering tanur (Bkt) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Ka (% bk) = 𝐵𝑏−𝐵𝐾𝑇
𝐵𝐾𝑇 𝑥 100%
Bkt = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎 ℎ
1+(% 𝐾𝑎/100)
2. Penetapan Kadar Brazilin (Batubara et al. 2010)
Sebanyak 10 gram sampel dalam bentuk serbuk diekstrak dengan 50%
ethanol (100 ml) selama 12 jam pada suhu ruang. Proses ini diulang sebanyak
3 kali. Ekstrak yang diperoleh kemudian disaring menggunakan kertas saring
Whatman No.2 lalu dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 30oC. HPLC
yang digunakan adalah seri LC-20A (Shimadzu, Jepang) yang dilengkapi dengan
detektor PDA. Sebuah kolom Shim-pack VP-BPO (150 mm x 4,6 mm)
(Shimadzu, Jepang) juga digunakan. Brazilin ditimbang secara akurat dan
dilarutkan dalam methanol untuk mendapatkan sebuah seri konsentrasi larutan
standar. Untuk sampel, sekitar 30 mg ekstrak ethanolik ditimbang dan dilarutkan
dalam methanol. Semua larutan standar dan sampel disaring melalui filter
membran 0,45 μm sebelum analisis HPLC. Elusi ini dilakukan menggunakan
sistem gradient dengan suhu yang dipertahankan pada 30oC, laju aliran 1 ml/menit
dan dipantau pada panjang gelombang 280 nm. Fase gerak elusi gradient
dilakukan selama 45 menit dengan konsentrasi 5-50% methanol dalam larutan
asam trifluoroasetat 0,05%. Brazilin dihitung menggunakan kurva kalibrasi
standar eksternal dengan memplot daerah puncak terhadap perbedaan konsentrasi
brazilin (kisaran 25-125 μg/mL).
35
3. Penetapan Susut Pengeringan (Materia Medika Indonesia, 1995)
Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap suatu zat. Kecuali
dinyatakan lain, suhu penetapannya adalah 105oC dan susut pengeringan
ditetapkan sebagai berikut: timbang seksama 1-2 gram zat dalam bobot timbang
dangkal tertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu penetapan selama
30 menit dan telah ditera. Jika zat berupa hablur besar, sebelum ditimbang digerus
dengan cepat hingga ukuran butrian lebih kurang 2 mm. Ratakan zat dalam botol
timbang dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih
kurang 5-10 mm, masukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan
pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan
botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam eksikator hingga suhu kamar.
Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan, pengeringan dilakukan
pada suhu antara 5-10oC di bawah suhu leburnya selama 1-2 jam, kemudian pada
suhu penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap.
Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali ulangan pada setiap rancangan perlakuan
proses pengeringan. Susut pengeringan sampel ditentukan dengan rumus
sebagai berikut:
Susut pengeringan (%) = (𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑜𝑣𝑒𝑛 –𝑏𝑜𝑏 𝑜𝑡 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 )
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑟𝑖 𝑥 100%
4. Pengukuran Warna (Hutching, 1999)
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan chromameter
(Minolta tipe CR-310). Salah satu potongan stick kayu secang diambil sebagai
sampel untuk pengukuran dari tumpukan, kemudian diukur nilai L, a dan b dari
sampel. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali ulangan pada setiap perlakuan.
Hasil pengukuran dikonversi ke dalam sistem Hunter. Selanjutnya dari nilai a dan
b dapat dihitung oHue yang menunjukkan kisaran warna sampel. Nilai
oHue dapat
dihitung dengan persamaan:
oHue = tan
-1 𝑏
𝑎 ……………………………………………..……………. (1)
36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kandungan Brazilin
Identifikasi tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) di Sulawesi Selatan,
dilakukan pada beberapa daerah yang berada pada dataran rendah dan dataran
tinggi, yaitu Desa Ko’Mara, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten
Takalar yang mewakili daerah dataran rendah. Desa Pencong, Kecamatan
Biringbulu, Kabupaten Gowa, serta Desa Lonjo’boko, Kecamatan Malino,
Kabupaten Gowa yang mewakili daerah dataran tinggi. Tanaman secang
yang ditemukan pada daerah tersebut seluruhnya tumbuh liar. Identifikasi
juga dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (BALITTRO)
Cimanggu, Bogor. Tanaman secang yang terdapat di BALITTRO adalah hasil
pembudidayaan dari polong tanaman secang. Namun, tanaman secang tersebut
hanya merupakan tanaman koleksi dengan umur tanaman kurang lebih 7 tahun.
Sedangkan untuk keperluan penelitian dalam lingkup BALITTRO menggunakan
tanaman secang yang juga tumbuh liar pada beberapa daerah di Jawa Barat.
Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yang ditemui pada beberapa
daerah tersebut, menunjukkan keragaman dari segi habitat (lokasi tumbuh), umur
tanaman, maupun pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar. Beberapa masyarakat
menggunakan bagian kayu tanaman secang sebagai pagar rumah, pembatas kebun,
maupun sebagai campuran pada air minum yang mereka konsumsi setiap hari.
Tanaman secang merupakan tanaman yang tumbuh bercabang-cabang
dalam satu rumpun. Masyarakat memanen bagian batang dari tanaman secang
yang berukuran cukup besar karena memiliki bagian inti kayu yang berwarna
merah lebih optimal. Pemanenan dilakukan menggunakan parang. Pemanenan
pada salah satu bagian batang tanaman secang tidak mematikan keseluruhan
tanaman. Kayu secang yang diperoleh dihilangkan durinya terlebih dahulu,
kemudian kulit luar dan kambiumnya hingga diperoleh bagian inti kayu secang.
Sortasi basah, pencucian dan penirisan, serta perajangan dilakukan ketika kayu
secang hasil panen tersebut akan digunakan sebagai bahan campuran air minum.
37
Pada penelitian tahap satu, dipilih dua daerah yang dianggap mewakili
perbedaan habitat tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yaitu Desa Ko’Mara
dan Desa Lonjo’boko. Perbedaan habitat yang dimaksudkan yaitu tanaman secang
pada Desa Ko’Mara ditemukan tumbuh pada daerah hutan jati yang kering dan
suhu cukup panas. Tanaman secang pada daerah tersebut oleh masyarakat sekitar
diperkirakan berumur puluhan tahun. Bagian inti kayu secang yang diperoleh pun
memiliki proporsi yang tidak terlalu besar (± 50%) dan menghasilkan banyak
sampah pasca panen (sampah kulit dan kambium). Sedangkan tanaman secang
pada Desa Lonjo’boko ditemukan tumbuh pada sekitar daerah aliran sungai yang
kondisinya lembab dan bersuhu dingin. Warna inti kayu secangnya pun lebih
merah dibandingkan di Desa Ko’Mara. Proporsi inti kayunya cukup besar
(± 75%) untuk keseluruhan batang yang dipanen dengan sedikit sampah pasca
panen. Tanaman secang pada daerah tersebut diperkirakan berumur kurang lebih
7 tahun. Perbedaan kayu secang pada kedua daerah tersebut dapat dilihat
pada Gambar 11.
Perbedaan besarnya proporsi inti kayu secang yang diperoleh pada dua
lokasi pengambilan sampel disebabkan oleh perbedaan agroekologi dan
ketersediaan unsur hara. Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) pada daerah
dataran tinggi (Desa Lonjo’boko) mendapatkan suplai makanan yang lebih baik
karena tumbuh di daerah aliran sungai sehingga bagian inti kayunya pun lebih
optimal. Berbeda pada tanaman secang yang tumbuh di Desa Ko’mara yang
pertumbuhannya tidak disuplai dengan ketersediaan air yang cukup. Penelitian
Sugiarso (1998) tentang pengaruh lingkungan terhadap produksi simplisia asal
tapak liman (Elephantopus scaber L.) pada tiga daerah di Pulau Jawa
menunjukkan bahwa hasil simplisia tertinggi (78,95gram/tanaman) atau
2,526kg/Ha diperoleh pada perlakuan penanaman pada 700 m dpl di daerah
Gedangan pada musim kemarau, dengan pemeliharaannya yang baik dan air
pengairan yang cukup.
38
(a) (b)
Gambar 11 Perbedaan warna inti kayu secang pada: (a) Desa Ko’Mara
Kabupaten Takalar dan (b) Desa Lonjo’boko Kabupaten Gowa
Setelah penentuan lokasi pengambilan kayu secang, selanjutnya dilakukan
identifikasi bentuk potongan yang digunakan oleh masyarakat. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa untuk diperdagangkan di pasar tradisional, kayu secang
umumnya dalam bentuk gelondongan dengan panjang ± 5 cm maupun setengah
gelondongan. Sedangkan sebagai bahan tambahan untuk air minum digunakan
dalam bentuk stick dengan panjang ± 5 cm. Kayu secang yang umumnya
diperdagangkan di Pulau Jawa berbentuk serutan, dan hal tersebut juga menjadi
salah satu dasar penentuan bentuk potongan yang akan digunakan untuk tahapan
selanjutnya. Berbagai bentuk potongan tersebut yang kemudian dianalisis untuk
mengetahui bentuk potongan seperti apa yang memiliki kandungan brazilin
optimum. Tiga bentuk potongan yang dianalisis kandungan brazilinnya dari
masing-masing daerah pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 12.
(a) (b) (c)
Gambar 12 Bentuk potongan kayu secang yang digunakan untuk analisis
kandungan brazilin optimum: (a) gelondongan, (b) serutan, dan (c) stick
39
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Gelondongan Stick Serutan
78,28 79,88
66,26
28,07
52,53
7,9
Ka
dar
bra
zili
n (
mg/g
)
Dataran Tinggi
Dataran Rendah
Hasil analisa kandungan brazilin pada berbagai bentuk potongan kayu
secang dari dua daerah pengambilan sampel berada pada kisaran
7,90-79,87mg/g (berdasarkan basis kering ekstrak) (Gambar 13). Kadar brazilin
tertinggi terdapat pada perlakuan bentuk potongan stick untuk daerah dataran
tinggi (79,87mg/g), sedangkan kadar brazilin terendah pada perlakuan bentuk
potongan serutan untuk daerah dataran rendah (7,90mg/g).
Gambar 13 Hasil uji kadar brazilin kayu secang (mg/g) berdasarkan pengaruh
jenis dataran dan bentuk potongan
Pada penelitian ini sampel kayu secang yang digunakan memberikan
nilai kadar brazilin yang lebih bervariasi. Pada daerah dataran tinggi, kisaran
nilai rata-rata kadar brazilin dari sampel kayu secang yaitu 66,26-79,88mg/g
dengan perincian 66,26mg/g pada bentuk potongan serutan, 78,28mg/g pada
potongan gelondongan, dan 79,88 mg/g pada bentuk potongan stick. Pada
daerah dataran rendah, kisaran nilai rata-rata kadar brazilin dari sampel kayu
secang yaitu 7,90-28,07mg/g dengan perincian 7,90mg/g pada bentuk potongan
serutan, 28,07mg/g pada bentuk potongan gelondongan, dan 52,53mg/g pada
bentuk potongan stick.
Hasil penelitian pada tahap analisis kandungan brazilin ini memperkaya
hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Batubara et al. (2010) yang
tidak memberikan rincian secara spesifik khususnya mengenai lokasi
pertumbuhan tanaman secang yang diambil sebagai sampel analisis. Penelitian
tersebut telah berhasil mengekstraksi kayu secang yang diambil dari berbagai
40
lokasi di Pulau Jawa (Karanganyar, Semarang, Yogyakarta, Cianjur, dan Bogor)
dengan kombinasi pelarut etanol antara 5,71-9,94% (berdasarkan basis kering).
Kadar brazilin yang dihasilkan untuk seluruh daerah pengambilan sampel tersebut
berada pada kisaran 5,81-24,85mg/g. Konsentrasi ekstrak dan kadar brazilin
tertinggi ditemukan di daerah Semarang. Variasi tersebut mungkin disebabkan
oleh perbedaan kondisi lingkungan tempat tumbuh kayu secang.
Rendahnya kadar brazilin pada bentuk potongan serutan diduga disebabkan
besarnya luas permukaan bahan yang kontak dengan udara, sehingga
memudahkan brazilin teroksidasi. Penyerutan kayu secang yang dilakukan
langsung di lokasi pemanenan, dapat memicu percepatan kehilangan senyawa
brazilin. Sedangkan dengan jenis potongan stick dan gelondongan, luas
permukaan bahan yang akan teroksidasi lebih sedikit, sehingga kandungan
brazilinnya pun cukup tinggi. Kadar brazilin yang lebih kecil pada jenis
potongan gelondongan dibandingkan dengan potongan stick diduga juga
disebabkan karena waktu pemotongan gelondongan, dilakukan terlebih dahulu.
Hal ini akan menyebabkan total senyawa brazilin yang teroksidasi kemungkinan
akan jauh lebih besar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985)
menyatakan bahwa senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian
tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan
umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Dengan demikian untuk
menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi
dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari.
Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam pengaruh jenis dataran dan potongan terhadap
kadar brazilin kayu secang
Sumber keragaman Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung
Model 60749,838a 4 15187,460 264,376
Dataran 9235,764 1 9235,764 160,772**
Potongan 2553,568 2 1276,784 22,226*
Error 804,250 14 57,446
Total 61554,088 18
Keterangan :
db = derajat bebas
* = berpengaruh sangat nyata
** = tidak berpengaruh sangat nyata
41
Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 5 menunjukkan bahwa variabel jenis
dataran tidak berpengaruh nyata untuk kadar brazilin kayu secang. Sedangkan
untuk variabel jenis potongan, menunjukkan hasil yang berpengaruh sangat nyata
pada taraf 1% terhadap kadar brazilin. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,983
(98,3%) menunjukkan data-data aktual pengaruh hasil uji brazilin mencakup
dalam model sebesar 98,3%. Hasil ini kemudian dilanjutkan kepada taraf uji lanjut
menggunakan metode Duncan. Pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa pengaruh
potongan terbaik untuk kadar brazilin diperoleh pada potongan stick.
Dataran tinggi dengan potongan stick dipilih sebagai model perlakuan
yang akan diterapkan untuk rancangan perlakuan proses pengeringan dengan
Design Expert 8.0®
. Dataran tinggi dipilih untuk mewakili daerah pengambilan
sampel karena memiliki nilai mean terbesar dibandingkan dataran rendah,
walaupun hasil analisis sidik ragamnya menunjukkan nilai yang tidak signifikan.
Optimasi Proses Pengeringan
Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dan Respon
Piranti lunak Design Expert 8.0® sebagai alat utama pada penelitian
ini digunakan untuk memperoleh kombinasi optimal dari proporsi relatif
masing-masing variabel pengeringan yang digunakan (suhu, kecepatan aliran
udara, dan RH) terhadap keseluruhan perlakuan proses pengeringan. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Response Surface Methods dengan metode
Box-Benhken. Penggunaan Box-Benhken bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perubahan kombinasi komponen dalam memperoleh respon tertentu hingga
didapatkan suatu rancangan perlakuan proses pengeringan yang optimal.
Design Expert 8.0®
merupakan piranti lunak (software) yang menyediakan
rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi terhadap
rancangan produk dan proses (Anonim, 2006).
Penetapan faktor-faktor pengeringan beserta kisarannya didasarkan pada
hasil studi beberapa literatur yang berkaitan dengan proses pengeringan simplisia.
Sembiring (2007) mengatakan bahwa pada umumnya suhu pengeringan adalah
antara 40-600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang
mengandung kadar air 10%. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses
42
pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu
pengeringan dan luas permukaan bahan. Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan
sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan
selama penyimpanan. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30oC
sampai 90oC, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60
oC
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985). Chrysanty (2009) melakukan
penelitian mengenai karateristik pengeringan lapisan tipis dan mutu simplisia
temu putih dengan menggunakan alat pengering berakuisisi. Penelitian tersebut
menggunakan kisaran kelembaban relatif (RH) yaitu 20-60%. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kombinasi RH yang sesuai untuk pengeringan simplisia
temu putih adalah RH 20-40% pada kecepatan aliran udara yang tinggi
(0,78-0,95m/s).
Pengujian Kadar Air
Kadar air suatu bahan merupakan total keseluruhan kadar air yang ada
di dalam bahan pangan seperti air bebas, air terikat secara fisik dan kimiawi.
Air dalam bahan pangan biasanya terdapat dalam jaringan, sedangkan air terikat
terdapat dalam sel. Kadar air bebas sangat mudah dalam penguapannya dan
mudah terabsorbsi kembali ke bahan apabila kondisi lingkungan sekitarnya
lembab (Syarief dan Irawati, 1988).
Pengujian kadar air pada kayu secang hasil dari proses pengeringan,
dilakukan untuk memastikan apakah kadar air telah mencapai interval nilai yang
ditargetkan yaitu 8-10% (Tabel 6). Dengan nilai kadar air tersebut diharapkan
akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme merugikan, dan memudahkan
penyimpanan. Selain itu, pengeringan hingga kadar air yang tidak terlalu rendah
akan menghindarkan simplisia kayu secang dari kerusakan akibat pengeringan
seperti perubahan warna (staining), cacat bentuk (warping), tegangan sisa di
permukaan (case hardening), pecah dalam (honeycombing), pecah (checking), dan
collapse (permukaan kayu yang berkerut).
43
Tabel 6 Hasil pengukuran nilai kadar air untuk seluruh perlakuan proses
pengeringan
Rancangan
perlakuan proses
pengeringan
Perlakuan proses pengeringan Kadar Air
(%) Suhu
(oC)
Kecepatan Aliran
Udara (m/s)
RH
(%)
1 50 0,86 45 9,669
2 50 0,86 45 9,213
3 50 0,86 45 9,339
4 40 0,86 30 8,506
5 40 0,86 60 9,089
6 40 0,78 45 8,147
7 40 0,95 45 9,542
8 50 0,95 60 9,491
9 50 0,78 60 9,070
10 50 0,78 30 9,077
11 50 0,95 30 9,840
12 60 0,86 30 8,751
13 60 0,86 60 9,221
14 60 0,95 45 9,265
15 60 0,78 45 8,955
Penurunan kadar air kayu secang menunjukkan tiga tahap penurunan, yaitu
tahap penurunan kadar air cepat pada awal pengeringan, tahap penurunan kadar
air lambat, dan tahap penurunan kadar air sangat lambat pada akhir pengeringan.
Penurunan kadar air cepat diawal disebabkan karena pada awal pengeringan
massa air pada permukaan bahan masih dalam jumlah besar. Udara pengering
yang dihembuskan akan meliputi permukaan bahan dan akan menaikkan tekanan
uap air, terutama pada daerah permukaan. Pada saat proses ini terjadi,
perpindahan massa dari bahan ke udara dalam bentuk uap air berlangsung dalam
jumlah yang besar sampai tekanan uap air pada permukaan akan menurun. Setelah
massa air pada permukaan berkurang maka terjadi perpindahan air secara difusi
dari dalam bahan ke permukaan. Selama proses tersebut, terjadi penurunan kadar
air secara lambat. Pada akhirnya setelah air bahan berkurang, tekanan uap air
bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara sekitarnya dan
tidak ada perpindahan air (Chrysanty, 2009).
Suhu merupakan salah satu faktor penting pada pelaksanaan
pengeringan kayu secang. Suhu yang sesuai akan memberikan pengaruh
terhadap pencapaian produk akhir yang diinginkan yaitu simplisia kayu secang
(Sappan Lignum) dengan kadar air 8-10%. Demikian juga dengan kecepatan
44
aliran udara yang berkaitan dengan kemampuan menyebarkan panas ke seluruh
permukaan bahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sucipto (2009) bahwa
panas, merupakan energi yang diperlukan oleh molekul air untuk melepaskan diri
dari ikatan antara molekul pada air bebas dalam rongga sel atau melepaskan diri
dari ikatan dengan tangan hidroksil pada air terikat. Pada suhu tinggi, udara
cenderung menghisap kelembaban atau uap air dibandingkan dengan udara
bersuhu rendah. Sirkulasi udara, berfungsi sebagai pengantar panas ke kayu yang
digunakan untuk menguapkan air dari dalam kayu dan memindahkan uap air dari
permukaan kayu ke udara sekitar.
Simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang dihasilkan dari kayu secang
yang dikeringkan, diduga memiliki sifat yang higroskopis yakni memiliki
kemampuan dalam menyerap molekul air dari lingkungannya. Hal ini
diindikasikan dengan simplisia yang terasa cukup lembab ketika dipegang
pada saat dikeluarkan dari kemasan plastik. Sifat higroskopis ini diduga akan
mempengaruhi nilai kadar air dari simplisia kayu secang ketika pengukuran.
Hasil Pengukuran Respon Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan
Rancangan perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan dilanjutkan pada
tahap pelaksanaan proses pengeringan. Selanjutnya dilakukan pengukuran dan
perhitungan untuk setiap respon yang telah ditetapkan yaitu susut pengeringan,
kadar brazilin, warna (L dan oHue), dan lama pengeringan. Hasil pengukuran dan
perhitungan respon dari setiap rancangan perlakuan proses pengeringan dapat
dilihat pada Tabel 7.
45
Tabel 7 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan
Rancangan
perlakuan proses
pengeringan
Perlakuan proses pengeringan Respon total seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan
Susut
Pengeringan (%)
Kadar Brazilin
(mg/g)
Warna Lama Pengeringan
(Menit) Suhu
(oC)
Kecepatan Aliran
Udara (m/s)
RH
(%) L
oHue
1 50 0,86 45 4,6862 0,84 34,74 37,04 1260
2 50 0,86 45 4,6668 0,90 34,52 34,87 810
3 50 0,86 45 4,7646 0,87 32,82 34,07 810
4 40 0,86 30 4,5465 0,93 35,85 40,08 560
5 40 0,86 60 3,2443 1,84 30,92 36,96 1120
6 40 0,78 45 4,3529 3,60 35,47 37,52 1230
7 40 0,95 45 4,4936 1,31 33,71 38,43 360
8 50 0,95 60 4,6767 0,80 37,01 41,85 1140
9 50 0,78 60 5,5148 1,06 31,96 33,95 1700
10 50 0,78 30 4,4631 1,20 33,29 37,32 1340
11 50 0,95 30 5,1349 1,72 34,66 36,18 470
12 60 0,86 30 4,5804 3,61 32,93 37,77 1170
13 60 0,86 60 3,5392 2,16 33,74 35,47 1390
14 60 0,95 45 4,4028 1,25 35,90 36,36 1660
15 60 0,78 45 4,7250 5,29 34,40 36,49 620
46
Analisis Respon dengan Program Design Expert 8.0®
Analisis Respon Susut Pengeringan
Hasil uji respon susut pengeringan berkisar antara 3,2443% sampai
5,5148%. Nilai susut pengeringan terendah yaitu 3,2443% diperoleh dari
rancangan perlakuan proses pengeringan ke 5 dengan suhu 40oC, kecepatan aliran
udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai susut
pengeringan tertinggi yaitu 5,5148% diperoleh dari rancangan perlakuan proses
pengeringan ke 9 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan
kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon susut
pengeringan adalah 4,52% dengan nilai standar deviasi sebesar 0,55%.
Susut pengeringan bertujuan untuk melihat seberapa besar senyawa yang
hilang pada proses pengeringan. Selain itu, susut pengeringan dapat dijadikan
dasar dalam penetapan kualitas simplisia akibat pertumbuhan mikroorganisme
yang merugikan. Susut pengeringan ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisa
karena berkaitan dengan kemungkinan pertumbuhan kapang atau jamur
serta zat yang mudah menguap pada simplisia (Soetarno dan Soediro, 1997).
Variasi nilai susut pengeringan pada masing-masing rancangan perlakuan
diduga disebabkan oleh adanya ketidakseragaman proses pengeringan. Hal ini
dapat dilihat dari penggunaan suhu, kecepatan aliran udara, dan kelembaban
relatif (RH) yang berbeda-beda untuk setiap rancangan perlakuan proses
pengeringan. Ketidakseragaman faktor-faktor proses pengeringan tersebut
diduga mengakibatkan senyawa volatil yang hilang pada saat proses pengeringan
juga lebih variatif, salah satunya senyawa brazilin.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design
Expert 8.0®
, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara susut
pengeringan dengan faktor-faktor perlakuan. Model yang dihasilkan hanya dibuat
berdasarkan nilai mean nya.
Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0®
adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif,
sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam (ANOVA)
menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 129,83 dengan nilai p “Prob>F”
lebih kecil dari 0,05 (0,0077). Hal ini menunjukkan lack of fit yang signifikan
47
Design-Expert® SoftwareSusutPengeringan
Color points by value ofSusutPengeringan:
5.5148
3.2443
Internally Studentized Residuals
No
rma
l %
Pro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
terhadap pure error dimana variasi dalam replikasi nilai mean nya lebih kecil
dari variasi design points nilai yang diprediksikan. Nilai lack of fit yang
signifikan disebabkan oleh replikasi yang baik dan variasinya kecil, modelnya
tidak memprediksikan dengan baik, atau kombinasi keduanya. Selain itu, akan
muncul kemungkinan bahwa model yang dihasilkan tidak dapat memberikan
prediksi yang baik dalam kondisi tertentu.
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon susut pengeringan juga
menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480. Nilai tersebut
menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon
susut pengeringan.
Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 14
menunjukkan data-data untuk respon susut pengeringan yang menyebar normal.
Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat disepanjang garis
kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya
pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon susut pengeringan.
Gambar 14 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon
susut pengeringan
Grafik contour plot pada Gambar 15 menggambarkan kombinasi antara
komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon susut
pengeringan. Hal ini diidentikkan dengan warna yang terlihat sama pada seluruh
area grafik contour plot. Kesamaan warna tersebut menunjukkan nilai respon
48
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualSusutPengeringan
Design Points5.5148
3.2443
X1 = B: KecepatanX2 = C: RH
Actual FactorA: Suhu = 50
0.78 0.82 0.86 0.91 0.95
30
38
45
53
60
SusutPengeringan
B: Kecepatan
C:
RH
3
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualSusutPengeringan
Design points above predicted valueDesign points below predicted value5.5148
3.2443
X1 = B: KecepatanX2 = C: RH
Actual FactorA: Suhu = 50
30
38
45
53
60
0.78
0.82
0.86
0.91
0.95
3.0000
3.5000
4.0000
4.5000
5.0000
5.5000
6.0000
S
us
utP
en
ge
rin
ga
n
B: Kecepatan
C: RH
terukur sama tingginya pada semua kombinasi antar komponen rancangan
perlakuan proses pengeringan yang diukur.
Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 16 merupakan bentuk
permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses
pengeringan terhadap respon susut pengeringan. Grafik memperlihatkan nilai
respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen yang diukur. Hal ini
juga disebabkan model polinomial yang dihasilkan (mean) memberikan nilai
respon susut pengeringan yang dianggap tidak berbeda nyata pada setiap
kombinasi antara komponen rancangan perlakuan.
Gambar 15 Grafik contour plot hasil uji respon susut pengeringan
Gambar 16 Grafik tiga dimensi hasil uji respon susut pengeringan
49
Analisis Respon Kadar Brazilin
Brazilin sering digunakan sebagai senyawa penciri pada kayu secang.
Brazilin memiliki banyak aktivitas sehingga dapat dijadikan standar dalam kontrol
kualitas kayu secang. Kontrol kualitas bahan alami dilakukan untuk mengevaluasi
kualitas dan keaslian tanaman obat sehingga mencegah adanya pencampuran obat
dari tanaman lain (Soares dan Scarmino. 2008 dalam Hangoluan, 2011).
Pengukuran kadar brazilin menggunakan HPLC (High Performance Liquid
Chromatography) dengan detektor ultraviolet-tampak (UV-VIS) yang dipantau
dengan panjang gelombang 280 nm. Brazilin dihitung menggunakan kurva
kalibrasi standar eksternal dengan memplot daerah puncak terhadap perbedaan
konsentrasi brazilin (kisaran 25-125 µg/mL) (Batubara et al. 2010). Brazilin
termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Pengujian terhadap
ekstrak kayu secang untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid dilakukan
dengan cara menambahkan etanol 80% dan asam klorida pekat. Hasil positif
ditunjukkan dengan munculnya warna kuning kemerahan yang berarti ekstak
tersebut mengandung senyawa golongan flavonoid (Suhartati, 1983).
Hasil uji respon kadar brazilin berkisar antara 0,80mg/g sampai 5,29mg/g.
Nilai kadar brazilin terendah yaitu 0,80mg/g diperoleh dari rancangan perlakuan
proses pengeringan ke 8 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan
kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai kadar brazilin tertinggi yaitu
5,29mg/g diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 15 dengan
suhu 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 45%.
Nilai rata-rata (mean) dari respon kadar brazilin adalah 1,82533mg/g dengan nilai
standar deviasi sebesar 0,93mg/g.
Hubungan antara kadar brazilin dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan
membentuk model polinomial yang melibatkan suhu dan kecepatan aliran udara
(Persamaan 2). Model polinomialnya adalah reduced quadratic model.
Kadar brazilin = - (1,38516)A – (8,92647)B + (0,014430)A2 ………….……… (2)
Keterangan: A = suhu
B = kecepatan aliran udara
50
Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0®
adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif,
sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination.
Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan komponen A (suhu), komponen C
(RH), interaksi komponen AB (suhu dan kecepatan aliran udara), interaksi
komponen AC (suhu dan RH), interaksi komponen BC (kecepatan aliran
udara dan RH), komponen B2
(interaksi antar kecepatan aliran udara),
dan komponen C2 (interaksi antar RH) karena dianggap tidak signifikan
(tidak memenuhi αout = 0,1000).
Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah
direduksi (reduced quadratic model) signifikan dengan nilai p “prob>F” lebih
kecil dari 0,05 (<0,0001). Selain itu, hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa
komponen B (kecepatan aliran udara), dan komponen A2 (interaksi antar suhu),
memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap respon kadar brazilin.
Lack of fit F-value sebesar 1181,07 dengan nilai p “Prob>F” lebih kecil dari 0,05
(0,0008) menunjukkan lack of fit yang signifikan relatif terhadap pure error.
Nilai adjusted R-squared dan predicted R-squared secara berturut-turut
untuk respon kadar brazilin adalah 0,5055 dan 0,1685 yang menunjukkan bahwa
data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon kadar brazilin
mencakup dalam model sebesar 50,55% dan 16,85%. Nilai adequate precision
untuk respon kadar brazilin adalah lebih besar dari 4 (7,349) yang menunjukkan
besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai tersebut menandakan bahwa model
dapat digunakan sebagai pedoman untuk design space.
Persamaan (2) menunjukkan bahwa respon kadar brazilin akan meningkat
berbanding lurus dengan peningkatan interaksi antar komponen suhu. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai konstanta yang positif (0,014430). Respon kadar brazilin
akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kecepatan aliran udara
dan peningkatan suhu yang ditunjukkan dengan nilai konstanta negatif.
Brazilin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat tidak stabil.
Beberapa faktor selama proses pengeringan yang diduga menjadi penyebab
terjadinya oksidasi dan penurunan kadar brazilin pada kayu secang, antara lain
penundaan yang cukup lama setelah pemanenan kayu secang, serta peningkatan
51
Design-Expert® SoftwareBrazilin
Color points by value ofBrazilin:
5.29
0.80
Internally Studentized Residuals
No
rm
al
% P
ro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
suhu dan kecepatan aliran udara selama proses pengeringan. Peningkatan
kecepatan aliran udara diduga berperan dalam menyebarkan panas ke seluruh
permukaan bahan dan berakibat pada laju degradasi sktruktur kimia brazilin
yang lebih cepat.
Faktor suhu pengeringan kemungkinan memiliki pengaruh yang lebih
signifikan terhadap penurunan nilai kadar brazilin dibandingkan dengan faktor
kecepatan aliran udara. Suhu pengeringan yang semakin tinggi dapat
menimbulkan energi kinetik penyebab dekomposisi dan perubahan struktur kimia
brazilin menjadi senyawa lain seperti brazilein yang identik dengan pigmen warna
merah pada kayu secang. Maharani (2003) telah melakukan penelitian mengenai
stabilitas brazilin pada kayu secang yang telah diekstraksi sebelumnya.
Pemanasan pada suhu 40oC menyebabkan peningkatan absorbansi pigmen warna
kayu secang yang sangat tajam pada menit ke 180. Pada pemanasan suhu 60oC
juga terjadi peningkatan warna setelah 60 menit kemudian terjadi penurunan
secara terus-menerus. Peningkatan terjadi karena pigmen brazilin kayu secang
telah berubah menjadi brazilein secara keseluruhan karena peningkatan suhu.
Setelah itu nilai absorbansi mengalami penurunan secara terus-menerus. Hal ini
menunjukkan bahwa pigmen brazilein telah terdegradasi.
Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 17
menunjukkan data-data untuk respon kadar air yang menyebar normal. Data-data
yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap
asumsi dari ANOVA pada respon kadar brazilin.
Gambar 17 Grafik kenormalan internally stundentized residuals
respon kadar brazilin
52
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualBrazilin
Design Points5.29
0.80
X1 = A: SuhuX2 = B: Kecepatan
Actual FactorC: RH = 45
40 45 50 55 60
0.78
0.82
0.86
0.91
0.95
Brazilin
A: Suhu
B:
Ke
ce
pa
tan
0.49
0.67
1.00
1.25
1.44
1.60
1.87
1.87
2.00
2.00
2.39
2.39
2.74
3.00
3
Grafik contour plot pada Gambar 18 menggambarkan kombinasi antara
komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon kadar brazilin,
melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon
kadar brazilin terendah yaitu 0,80mg/g, sedangkan warna merah menunjukkan
nilai respon kadar brazilin tertinggi yaitu 5,29mg/g. Garis-garis yang terdiri
atas titik-titik pada grafik contour plot merupakan kombinasi antara tiga
komponen rancangan perlakuan proses pengeringan dengan proporsi berbeda
yang menghasilkan nilai respon kadar brazilin yang sama.
Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 19 merupakan bentuk permukaan
dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan.
Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda
pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan. Area yang rendah
menunjukkan nilai respon kadar brazilin yang rendah, sedangkan area yang tinggi
menunjukkan nilai respon kadar brazilin yang tinggi.
Gambar 18 Grafik contour plot hasil uji respon kadar brazilin
53
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualBrazilin
Design points above predicted valueDesign points below predicted value5.29
0.80
X1 = A: SuhuX2 = B: Kecepatan
Actual FactorC: RH = 45
0.78
0.82
0.86
0.91
0.9540
45
50
55
60
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
B
raz
ilin
A: Suhu
B: Kecepatan
Gambar 19 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon kadar brazilin
Analisis Respon Warna
Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada
beberapa faktor diantaranya citarasa, warna, tekstur, dan nilai gizi serta sifat
mikrobiologisnya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara
visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan
(Winarno, 1995). Selain sebagai faktor yang menentukan mutu, warna juga dapat
digunakan sebagai indikator kesegaran, kematangan dan kesempurnaan proses
pengolahan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai
dari warna produk yang seragam dan merata.
Intensitas zat warna diukur dengan menggunakan Chromamater Minolta
CR-310 dengan sistem notasi warna Hunter (sistem warna L, a, dan b). Nilai L
menunjukkan kecerahan, a dan b adalah koordinat-koordinat kromatisitas, dimana
a untuk warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif) dan b untuk warna kuning
(b positif) sampai biru (b negatif).
Analisis Respon L
Respon L identik dengan kecerahan warna suatu produk. Semakin
tinggi nilai L maka kecerahan warna suatu produk yang diukur juga semakin
meningkat. Hasil uji respon L berkisar antara 30,92 sampai 37,01. Nilai L
terendah yaitu 30,92 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 5
dengan suhu 40oC, kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH)
54
60%. Sedangkan nilai L tertinggi yaitu 37,01 diperoleh dari rancangan perlakuan
proses pengeringan ke 8 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan
kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon L adalah 34,40
dengan nilai standar deviasi sebesar 1,63.
Nilai L memiliki kisaran dari 0 untuk warna hitam hingga 100 untuk warna
putih. Kisaran nilai L antara 31,34 sampai 36,64 menunjukkan bahwa tingkat
kecerahan dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum) cenderung rendah. Nilai L
pada simplisia kayu secang (Sappan Lignum) diduga cukup kuat dipengaruhi oleh
warna pigmen brazilein yang merupakan senyawa berwarna merah kecoklatan
pada kayu secang. Brazilein terbentuk dari proses oksidasi pigmen brazilin yang
terjadi selama proses pengeringan maupun ketika kontak dengan udara selama
pemanenan dan penanganan pasca panen kayu secang. Suharti (1983) telah
melakukan penelitian untuk mengisolasi zat warna dari tumbuhan secang
(Caesalpinia sappan Linn). Isolasi yang dilakukan menghasilkan sedikitnya tiga
zat warna, yaitu zat warna kuning dan merah serta zat warna yang larut dalam air.
Zat warna kuning merupakan brazilin atau turunannya yang mudah berubah
menjadi brazilein yang berwarna merah melalui oksidasi udara.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design
Expert 8.0®
, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara respon L
dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan. Model yang dihasilkan hanya dibuat
berdasarkan nilai mean nya.
Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0®
adalah two factorial interaction (2FI), tetapi model ini menunjukkan nilai
predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil
analisis ragam (ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 2,33
dengan nilai p “Prob>F” lebih besar dari 0,05 (0,3398). Hal ini menunjukkan lack
of fit yang tidak signifikan terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak
signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya
kesesuaian data respon L dengan model. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk
respon L juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480.
Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih
baik bagi respon L.
55
Design-Expert® SoftwareL
Color points by value ofL:
36.64
31.34
Internally Studentized Residuals
No
rm
al
% P
ro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualL
Design Points36.64
31.34
X1 = B: KecepatanX2 = C: RH
Actual FactorA: Suhu = 50
0.78 0.82 0.86 0.91 0.95
30
38
45
53
60
L
B: Kecepatan
C:
RH
3
Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 20
menunjukkan data-data untuk respon L yang menyebar normal. Data-data yang
menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap
asumsi dari ANOVA pada respon L.
Gambar 20 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon L
Grafik contour plot pada Gambar 21 menggambarkan kombinasi antara
komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon L. Grafik tiga
dimensi (3-D) pada Gambar 22 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara
komponen rancangan perlakuan proses pengeringan terhadap respon L. Grafik
memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen
rancangan perlakuan yang diukur.
Gambar 21 Grafik contour plot hasil uji respon L
56
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualL
Design points above predicted valueDesign points below predicted value36.64
31.34
X1 = B: KecepatanX2 = C: RH
Actual FactorA: Suhu = 50
30
38
45
53
60
0.78
0.82
0.86
0.91
0.95
31.00
32.00
33.00
34.00
35.00
36.00
37.00
L
B: Kecepatan
C: RH
Gambar 22 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon L
Analisis Respon oHue
Nilai oHue merupakan kisaran warna sampel yang diperoleh dari hasil
perhitungan nilai b dibagi nilai a. Tabel 8 menunjukkan hubungan antara oHue
dengan warna simplisia kayu secang yang diukur. Hasil uji respon oHue
berkisar antara 33,95 sampai 40,08.
Tabel 8 Hubungan oHue dengan warna simplisia kayu secang (Sappan Lignum)
yang diukur oHue Warna Sampel
18o – 54
o red (R)
54o – 90
o yellow red (YR)
90o – 126
o yellow (Y)
Nilai oHue hasil pengukuran pada produk akhir simplisia kayu secang
(Sappan Lignum) menunjukkan warna red (R). Warna merah tersebut identik
dengan warna pigmen brazilein yang merupakan hasil dari oksidasi
pigmen brazilin kayu secang. Brazilein memiliki warna merah tajam dan cerah
pada pH netral (pH 6-7). Pigmen brazilin tersebut bersifat tidak stabil ketika
proses pemanasan. Proses pengeringan dengan suhu tertentu, diduga telah
menimbulkan energi kinetik yang dapat menyebabkan degradasi pigmen
brazilin menjadi brazilein.
57
Nilai oHue terendah yaitu 33,95 diperoleh dari rancangan perlakuan proses
pengeringan ke 9 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan
kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai oHue tertinggi yaitu 40,08
diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 4 dengan suhu 40oC,
kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH) 30%. Nilai rata-rata
(mean) dari respon oHue adalah 37,28 dengan nilai standar deviasi sebesar 1,86.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design
Expert 8.0®, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara respon
oHue dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan. Model yang dihasilkan hanya
dibuat berdasarkan nilai mean nya.
Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0®
adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared
negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam
(ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 2,98 dengan nilai p
“Prob>F” lebih besar dari 0,05 (0,2789). Hal ini menunjukkan lack of fit yang
tidak signifikan terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak signifikan
merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuain
data respon oHue dengan model. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon
oHue juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480.
Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik
bagi respon oHue.
Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 23
menunjukkan data-data untuk respon oHue yang menyebar normal. Data-data
yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap
asumsi dari ANOVA pada respon oHue.
58
Design-Expert® SoftwareHue
Color points by value ofHue:
40.64
34.56
Internally Studentized Residuals
No
rma
l %
Pro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualHue
Design Points40.64
34.56
X1 = B: KecepatanX2 = C: RH
Actual FactorA: Suhu = 50
0.78 0.82 0.86 0.91 0.95
30
38
45
53
60
Hue
B: Kecepatan
C:
RH
3
Gambar 23 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon oHue
Grafik contour plot pada Gambar 24 menggambarkan kombinasi antara
komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon oHue.
Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 25 merupakan bentuk permukaan dari
interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan terhadap
respon oHue. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap
kombinasi antara komponen yang diukur.
Gambar 24 Grafik contour plot hasil uji respon oHue
59
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualHue
Design points above predicted valueDesign points below predicted value40.64
34.56
X1 = B: KecepatanX2 = C: RH
Actual FactorA: Suhu = 50
30
38
45
53
60
0.78
0.82
0.86
0.91
0.95
34
35
36
37
38
39
40
41
H
ue
B: Kecepatan
C: RH
Gambar 25 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon oHue
Analisis Respon Lama Pengeringan
Suatu proses pengeringan diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu
singkat namun memberikan hasil berupa produk akhir dengan mutu yang sesuai
keinginan. Selain itu, dengan waktu pengeringan yang singkat diharapkan biaya
produksi dan umur ekonomis alat dapat ditekan sedini mungkin.
Hasil uji respon lama pengeringan berkisar antara 360 menit sampai
1700 menit. Lama pengeringan terendah yaitu 360 menit diperoleh dari rancangan
perlakuan proses pengeringan ke 7 dengan suhu 40oC, kecepatan aliran udara
0,95m/s, dan kelembaban relatif (RH) 45%. Sedangkan lama pengeringan
tertinggi yaitu 1700 menit diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan
ke 9 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif
(RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon lama pengeringan adalah 1042,67
menit dengan nilai standar deviasi sebesar 249,40 menit.
Lama pengeringan kayu secang memiliki nilai yang cukup berbeda antara
masing-masing rancangan perlakuan proses pengeringan yang telah dilakukan.
Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain perbedaan
kadar air awal kayu, perbedaan bagian batang pengambilan sampel dalam satu
rumpun tanaman, perbedaan kerapatan kayu, maupun ketidakstabilan kondisi suhu
dan RH dalam chamber mesin pengering berakuisisi yang digunakan.
Pengeringan kayu terutama dipengaruhi oleh kerapatan, ukuran dan frekuensi
60
jari-jari kayu. Ada kecenderungan yang kuat bahwa kayu yang berat atau
berkerapatan tinggi mengering lebih lambat dan sehubungan dengan cacat-cacat
pengeringan dibanding dengan kayu yang ringan (Budiarso, 1997). Ada beberapa
faktor yang menyebabkan perbedaan kecepatan pengeringan kayu terjadi yaitu:
(1) kayu berasal dari jenis kayu yang berbeda atau dari jenis yang sama dan
berasal dari pohon atau bagian batang yang berbeda, mempunyai perbedaan dalam
banyak hal seperti kerapatan, kandungan komponen kimia (misalnya kandungan
zat ekstraktif) dan struktur anatomi kayunya dan (2) kayu yang dikeringkan
kemungkinan mempunyai pola penggergajian yang berbeda (Sukaton, 1999).
Hubungan antara lama pengeringan dengan faktor-faktor perlakuan
pengeringan membentuk model polinomial yang melibatkan suhu, kecepatan
aliran udara, dan kelembaban relatif (Persamaan 3). Model polinomialnya adalah
reduced two factors interaction (2FI) model.
Lama pengeringan = - (466,30147)A – (29941,17647)B + 15,08333C +
561,76471AB …………………….. (3)
Keterangan: A = suhu
B = kecepatan aliran udara
C = kelembaban relatif (RH)
Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0®
adalah two factors interaction (2FI), tetapi model ini menunjukkan nilai predicted
R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan
backward elimination. Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan komponen
B (suhu), interaksi komponen AC (suhu dan RH), dan interaksi komponen
BC (kecepatan aliran udara dan RH) karena dianggap tidak signifikan
(tidak memenuhi αout = 0,1000).
Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah
direduksi (reduced two factors interaction (2FI) model) signifikan dengan nilai p
“prob>F” lebih kecil dari 0,05 (<0,0001). Selain itu, hasil ANOVA juga
menunjukkan bahwa komponen C (RH), dan interaksi komponen AB
(suhu dan kecepatan aliran udara) memberikan pengaruh yang nyata (signifikan)
terhadap respon lama pengeringan. Lack of fit F-value sebesar 0,90 dengan nilai p
“Prob>F” lebih besar dari 0,05 (0,6242) menunjukkan lack of fit yang tidak
61
signifikan relatif terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak signifikan
merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data
respon lama pengeringan dengan model.
Nilai adjusted R-squared dan predicted R-squared secara berturut-turut
untuk respon lama pengeringan adalah 0,6446 dan 0,2792 yang menunjukkan
bahwa data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon lama
pengeringan mencakup dalam model sebesar 64,46% dan 27,92%. Nilai adequate
precision untuk respon lama pengeringan adalah lebih besar dari 4 (9,358) yang
menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai tersebut menandakan
bahwa model dapat digunakan sebagai pedoman untuk design space. Hasil
analisis terhadap model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang
baik dan juga diharapkan memberikan prediksi yang baik.
Persamaan (3) menunjukkan bahwa respon lama pengeringan akan
meningkat berbanding lurus dengan peningkatan interaksi antara komponen suhu
dan kecepatan aliran udara yang diindikasikan dengan nilai konstanta yang positif
(561,76471), diikuti dengan komponen RH dengan nilai konstanta sebesar
(15,08333). Respon lama pengeringan akan mengalami penurunan seiring dengan
peningkatan kecepatan aliran udara yang diindikasikan dengan nilai konstanta
negatif (29941,7647), kemudian diikuti dengan komponen suhu dengan nilai
konstanta sebesar (466,30147).
Interaksi antara suhu dan kecepatan aliran udara yang memperpanjang
waktu pengeringan diduga disebabkan oleh adanya beberapa variasi pada
rancangan perlakuan proses pengeringan. Variasi ini dapat berupa suhu rendah
yang berinteraksi dengan kecepatan aliran udara yang rendah pula
(40oC dan 0,78m/s), suhu tinggi yang berinteraksi dengan kecepatan aliran udara
yang rendah (60oC dan 0,78m/s), maupun suhu rendah yang berinteraksi dengan
kecepatan aliran udara yang tinggi (40oC dan 0,95m/s). Variasi tersebut
berinteraksi terhadap faktor ketidakseragaman kadar air awal bahan sehingga
proses penguapan air pada kayu secang pun menjadi lebih lambat, berbanding
lurus dengan waktu pengeringnnya.
62
Kelembaban relatif (RH) yang tinggi akan menghambat proses perpindahan
uap air dari dalam bahan ke luar bahan sehingga lama waktu pengeringan akan
semakin panjang. RH yang tinggi akan menyebabkan cukup banyak massa air
bebas yang menyelimuti seluruh permukaan bahan, sehingga laju penguapan
massa air dari permukaan bahan seolah-olah konstan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi RH, maka laju pengeringan akan menurun perlahan
(Chrysanty, 2009).
Kecepatan aliran udara dan suhu merupakan faktor-faktor proses
pengeringan yang harus diperhatikan untuk mencapai waktu pengeringan
sesingkat mungkin. Suhu berkaitan dengan eneri panas yang dihasilkan dalam
menguapkan air yang terdapat dalam kayu secang. Sedangkan kecepatan aliran
udara digunakan dalam penyebaran panas ke seluruh permukaan kayu secang
selama proses pengeringan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan memindahkan
massa uap air dari permukaan simplisia. Semakin tinggi suhu dan kecepatan aliran
udara yang digunakan maka lama pengeringan juga akan semakin cepat.
Chrysanty (2009) telah melakukan penelitian mengenai pengeringan simplisia
temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) dengan menggunakan mesin
pengering berakuisisi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi
suhu dan kecepatan aliran udara yang digunakan maka waktu pengeringan
yang diperlukan juga semakin singkat. Sirkulasi udara yang baik akan
mempercepat perambatan gelombang panas pada udara sehingga mempercepat
pengeringan (Sucipto, 2009).
Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 26
menunjukkan data-data untuk respon lama pengeringan yang menyebar normal.
Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan
model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon lama pengeringan.
63
Design-Expert® SoftwareLama Pengeringan
Color points by value ofLama Pengeringan:
1700
360
Internally Studentized Residuals
No
rm
al
% P
ro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualLama Pengeringan
Design Points1700
360
X1 = A: SuhuX2 = B: Kecepatan
Actual FactorC: RH = 45
40 45 50 55 60
0.78
0.82
0.86
0.91
0.95
Lama Pengeringan
A: Suhu
B:
Ke
ce
pa
tan
400
600
695.587
800
910.506
1000
1000
1084.97
1084.97
1105.56
1105.56
1125.52
1125.52
1151.04
1151.04
1200
1200
1288.37
1288.37
1400
1400
3
Gambar 26 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon
lama pengeringan
Grafik contour plot pada Gambar 27 menggambarkan kombinasi antara
komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon lama pengeringan,
melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon lama
pengeringan terendah yaitu 360 menit, sedangkan warna merah menunjukkan nilai
respon lama pengeringan tertinggi yaitu 1700 menit. Grafik tiga dimensi (3-D)
pada Gambar 28 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen
rancangan perlakuan proses pengeringan. Perbedaan ketinggian permukaan
menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antara
komponen rancangan perlakuan.
Gambar 27 Grafik contour plot hasil uji respon lama pengeringan
64
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualLama Pengeringan
Design points above predicted valueDesign points below predicted value1700
360
X1 = A: SuhuX2 = B: Kecepatan
Actual FactorC: RH = 45
0.78
0.82
0.86
0.91
0.9540
45
50
55
60
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
L
am
a P
en
ge
rin
ga
n
A: Suhu
B: Kecepatan
Gambar 28 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon lama pengeringan
Optimasi Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dengan Program
Design Expert 8.0®
Nilai respon-respon yang optimal merupakan tujuan dilakukannya proses
optimasi. Respon paling optimal ditunjukkan dengan nilai desirability
mendekati satu. Tingkat kepentingan variabel respon dapat ditingkatkan dengan
memberikan pembobotan yang disebut importance pada selang 1 (+) hingga
5 (+++++) tergantung tingkat kepentingan yang diinginkan. Tabel 9 menunjukkan
komponen-komponen yang dioptimasi, nilai targetnya, batas minimum dan
maksimumnya, serta tingkat kepentingan (importance) pada tahap optimasi
rancangan perlakuan proses pengeringan dengan program Design Expert 8.0®.
Tabel 9 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance
pada tahapan optimasi rancangan perlakuan proses pengeringan
Nama komponen/respon Goal Batas bawah Batas atas Importance
Suhu in range 40 60 3 (+++)
Kecepatan aliran udara in range 0,78 0,95 3 (+++)
RH in range 30 60 3 (+++) Susut pengeringan in range 3,2443 5,5148 3 (+++)
Kadar brazilin maximize 0,8 5,29 5 (+++++)
L in range 31,34 36,64 3 (+++) oHue in range 18 54 3 (+++)
Lama pengeringan minimize 360 1700 4 (++++)
65
Kadar brazilin dengan range 0,8-5,29mg/g merupakan respon yang
dioptimalkan dengan goal maximize pada tingkat kepentingan (importance)
5 (+++++). Kadar brazilin adalah senyawa penciri pada kayu secang yang
memiliki sifat fungsional. Dengan tingkat kepentingan yang tinggi diharapkan
simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang dihasilkan akan memiliki kadar
brazilin yang tinggi pula. Untuk memenuhi kontrol kualitas kayu secang
berdasarkan senyawa penciri, digunakan brazilin (Hangoluan, 2011).
Respon lama pengeringan dengan range 360-1700 menit merupakan respon
yang dioptimalkan dengan goal minimize pada tingkat kepentingan (importance)
4 (++++). Lama pengeringan diharapkan dapat dilaksanakan secepat mungkin
pada waktu yang minimum sehingga dapat diperoleh efektifitas dan efisiensi
dalam proses pengeringan. Hal ini akan berpengaruh pada besarnya biaya yang
akan dikeluarkan dalam pelaksanaan proses pengeringan. Selain itu, pengurangan
umur ekonomis dari alat yang digunakan juga dapat ditekan sedini mungkin.
Respon susut pengeringan dengan range 3,2443-5,5148% dioptimalkan
dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++).
Respon L hasil pengukuran warna dengan range 30,92-37,01 dioptimalkan
dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++).
Respon oHue hasil pengukuran warna dengan range 33,95-40,08 dioptimalkan
dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++).
Respon susut pengeringan dan hasil analisis warna (L dan oHue) diberikan
targer respon yang in range dengan tingkat kepentingan 3 (+++) karena
pengukuran dari masing-masing respon tersebut dilakukan secara obyektif
menggunakan instrument. Range yang diberikan tersebut diharapkan tidak
menyimpang dan masih mewakili karateristik rancangan perlakuan proses
pengeringan yang dihasilkan.
Setelah tahap analisis respon, selanjutnya dilakukan tahap optimasi dengan
program Design Expert 8.0®
. Pada tahapan ini, program akan memberikan satu
solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum sebagai hasil running
terhadap 29 rancangan yang kemungkinan akan memberikan hasil yang optimum.
Rancangan perlakuan proses pengeringan yang memberikan nilai desirability
66
tinggi yang akan direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0®
sebagai
solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum.
Nilai desirability yang dihasilkan dipengaruhi oleh kompleksitas komponen,
kisaran yang digunakan dalam komponen, jumlah komponen dan respon, serta
target yang ingin dicapai dalam memperoleh rancangan optimum. Kompleksitas
jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah variabel proses
pengeringan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap simplisia kayu
secang (Sappan Lignum) untuk menentukan rancangan perlakuan proses
pengeringan. Jumlah masing-masing variabel proses pengeringan ditentukan
dalam range berbeda-beda yang akan berpengaruh terhadap nilai desirability.
Semakin lebar range nya, maka penentuan rancangan perlakuan optimum dengan
nilai desirability yang tinggi akan semakin sulit. Jumlah komponen dan respon
juga turut mempengaruhi nilai desirability rancangan perlakuan proses
pengeringan optimum. Semakin banyak jumlah komponen dan respon, maka
semakin sulit untuk mencapai keadaan optimum sehingga kemungkinan akan
menghasilkan nilai desirability yang rendah. Nilai masing-masing respon berbeda
targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan. Nilai importance yang besar
+++ hingga +++++ menunjukkan adanya keinginan yang tinggi untuk mencapai
produk optimal yang ideal (sesuai target optimasi). Semakin besar tingkat
kepentingan (importance) dari suatu respon atau komponen, maka semakin sulit
untuk memperoleh rancangan perlakuan proses pengeringan optimum dengan
nilai desirability yang tinggi (Wulandhari. 2007 dalam Susilo, 2011).
Solusi rancangan perlakuan proses pengeringan terpilih yaitu memiliki suhu
pengeringan 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif
(RH) sebesar 30% (Lampiran 14). Rancangan ini memiliki nilai desirability
sebesar 0,709 yang artinya rancangan tersebut akan menghasilkan produk
dengan karateristik yang sesuai dengan target optimasi sebesar 70,9%.
Rancangan perlakuan proses pengeringan ini diprediksikan akan memiliki nilai
susut pengeringan sebesar 4,5195%, kadar brazilin sebesar 3,84mg/g, nilai L
sebesar 34,40, nilai oHue sebesar 37,282, dan lama pengeringan 692,672 menit.
67
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualDesirability
Design Points1.000
0.000
X1 = A: SuhuX2 = B: Kecepatan
Actual FactorC: RH = 30
40 45 50 55 60
0.78
0.82
0.86
0.91
0.95Desirability
A: Suhu
B:
Ke
ce
pa
tan
0.109
0.171
0.2080.208
0.304
0.3540.3540.354
0.354
0.446
0.550
0.600
0.262
0.396
0.396
0.500
0.3310.331
0.286
Prediction 0.709
Grafik contour plot untuk solusi rancangan perlakuan proses pengeringan
terpilih dapat dilihat pada Gambar 29. Contour plot disajikan dengan
menggunakan model prediksi untuk nilai respon susut pengeringan, kadar
brazilin, hasil analisis warna (L dan oHue), dan lama pengeringan. Garis-garis
yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari
ketiga komponen proses pengeringan dengan jumlah berbeda yang menghasilkan
nilai desirability tertentu yang sama. Titik prediksi pada gambar tersebut
menunjukkan kombinasi antara suhu pengeringan 60oC, kecepatan aliran udara
0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) sebesar 30% yang menghasilkan nilai
desirability sebesar 0,709.
Grafik tiga dimensi (3-D) untuk solusi rancangan perlakuan proses
pengeringan terpilih dapat dilihat pada Gambar 30. Grafik tersebut menunjukkan
proyeksi dari grafik contour plot. Area yang rendah pada grafik tiga dimensi
menunjukkan nilai desirability yang rendah, sedangkan area yang tinggi
menunjukkan nilai desirability yang tinggi.
Gambar 29 Grafik contour plot nilai desirability solusi rancangan perlakuan
proses pengeringan optimum
68
Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualDesirability
Design points above predicted value1.000
0.000
X1 = A: SuhuX2 = B: Kecepatan
Actual FactorC: RH = 30
0.78
0.82
0.86
0.91
0.95
40 45
50 55
60
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
D
es
ira
bil
ity
A: Suhu
B: Kecepatan
0.7090.709
Gambar 30 Grafik tiga dimensi nilai desirability solusi rancangan perlakuan
proses pengeringan optimum
Uji Penerimaan Terhadap Produk Secang Celup
Pembuatan produk secang celup dari simplisia kayu secang diperlukan,
dengan harapan dapat dikembangkan pada skala industri yang mempersyaratkan
adanya sentuhan teknologi dalam pembuatan suatu produk, salah satunya yaitu
melalui proses pengeringan. Namun di sisi lain, pengolahan suatu produk
berkhasiat dari tanaman segar tanpa proses pengeringan juga masih cukup
digemari oleh masyarakat sehingga dirasa perlu untuk dijadikan pembanding.
Produk secang celup yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 31.
Secang celup yang akan diujikan kepada panelis, diseduh terlebih dahulu
dengan menggunakan air mendidih (± 240 ml) dan dibiarkan selama ± 3 menit.
Setelah itu, minuman secang hasil seduhan, dituangkan ke dalam gelas plastik
bening berukuran kecil dan diberi kode. Penyajian dilakukan tanpa menambahkan
gula pasir. Sampel yang pertama yaitu secang celup yang dibuat dari simplisia
kayu secang (Sappan Lignum) sebagai hasil pengeringan dengan kode A,
sedangkan produk dari kayu secang segar diberi kode B. Kedua sampel tersebut
yang kemudian diujikan kepada 30 panelis tidak terlatih.
69
Gambar 31 Produk Secang Celup
Panelis yang akan melakukan uji organoleptik dipilih dari beberapa daerah
di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap pengembangan produk secang
celup yang hingga saat ini penggunaannya dalam bentuk stick kayu saja.
Panelis-panelis dipilih secara acak berdasarkan jenis kelamin, tingkatan usia,
pendidikan terakhir, dan pekerjaan. Beberapa panelis juga dipilih dari lokasi
pengambilan sampel kayu secang yaitu di Desa Lonjo’boko Kecamatan Parangloe
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Panelis-panelis tersebut diasumsikan dapat
mewakili masyarakat karena mereka pernah dan bahkan masih sering
mengkonsumsi minuman kayu secang. Hal ini dapat membantu mereka dalam
mengidentifikasi produk secang celup berdasarkan mutu organoleptik rasa,
aroma, dan warna seduhan.
Dalam uji hedonik, panelis diminta tanggapannya untuk membedakan
produk secang celup tentang rasa suka atau tidak suka terhadap hasil seduhan
kedua produk tersebut. Setiap tanggapan yang diberikan oleh panelis disesuaikan
dengan tingkat penerimaan yang disajikan pada form pengujian dengan selang
angka 1 sampai 7. Jika panelis memberikan tanggapan sangat suka terhadap
produk secang celup maka diberi nilai 7, tanggapan suka diberi nilai 6, agak suka
diberi nilai 5, biasa saja diberi nilai 4, agak tidak suka diberi nilai 3, tidak suka
diberi nilai 2, dan tanggapan sangat tidak suka diberi nilai 1. Nilai rata-rata hasil
uji organoleptik produk secang celup A dan B dapat dilihat pada Gambar 32.
70
5.00
5.20
5.40
5.60
5.80
6.00
6.20
6.40
Rasa Aroma Warna
5,67
5,83
6,23
5,605,53
6,17R
era
ta S
en
sori
Parameter Sensori
Secang Celup A (Simplisia
kayu secang)
Secang Celup B (Kayu
secang hasil panen)
Keterangan :
1 = Sangat tidak suka 5 = Agak suka
2 = Tidak suka 6 = Suka
3 = Agak tidak suka 7 = Sangat suka
4 = Biasa saja
Gambar 32 Nilai rata-rata hasil uji organoleptik (hedonic test) terhadap parameter
rasa, aroma, dan warna seduhan pada produk secang celup A dan B
Rasa Seduhan
Pada parameter rasa seduhan, dari 30 panelis, 7 panelis menyatakan sangat
suka, 13 panelis menyatakan suka, 5 panelis menyatakan agak suka, dan 4 panelis
menyatakan biasa saja untuk produk secang celup A. Sedangkan pada rasa
seduhan produk secang celup B, 3 panelis menyatakan sangat suka, 18 panelis
menyatakan suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 6 panelis menyatakan
biasa saja. Nilai rata-rata parameter rasa seduhan pada produk secang celup A
sebesar 5,667 yang menunjukkan tanggapan suka. Sedangkan pada produk secang
celup B sebesar 5,6 juga menunjukkan tanggapan suka terhadap produk yang
disajikan (Gambar 32).
71
Tabel 10 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) parameter rasa seduhan produk
secang celup A dan secang celup B
Sumber keragaman
Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah F hitung
Model 1932,067a 31 62,325 69,695
Panelis 27,933 29 0,963 1,077
Sampel 0,067 1 0,067 0,075
Error 25,933 29 0,894
Total 1958,000 60
* a. R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,973)
Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 10 menunjukkan nilai F-hitung yang
lebih besar dari F-tabel baik pada taraf 5% maupun 1%. Oleh karena itu dapat
dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk tingkat
kesukaan terhadap parameter rasa seduhan pada produk secang celup A dan
secang celup B. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,973 menunjukkan data-data
aktual hasil uji organoleptik terhadap parameter rasa seduhan kedua produk
mencakup dalam model sebesar 97,3%.
Minuman kayu secang yang dikonsumsi masyarakat memiliki rasa yang
sama dengan air mineral atau hampir dikatakan netral / tidak berasa. Rasa pada
produk secang celup hasil seduhan secara umum menurut panelis memiliki rasa
yang sama dengan minuman kayu secang yang biasa mereka konsumsi. Namun
beberapa panelis memberikan tanggapan terhadap rasa seduhan produk secang
celup A yang berbeda dengan produk secang celup B. Mereka menyatakan bahwa
secang celup B memiliki rasa hasil seduhan yang lebih sepat seperti teh,
dibandingkan dengan secang celup A yang memiliki rasa netral.
Perbedaan rasa seduhan yang timbul dari dua produk secang celup yang
disajikan diduga disebabkan karena adanya pengaruh proses pengeringan terhadap
salah satu produk. Pengeringan menyebabkan terjadinya oksidasi komponen
kimia penyebab rasa sepat pada kayu secang sehingga rasa yang dihasilkan setelah
penyeduhan cenderung netral. Sedangkan untuk produk secang celup yang
dihasilkan dari kayu secang segar hasil panen tanpa proses pengeringan, memiliki
rasa sepat yang diduga berasal dari komponen kimia penyebab rasa yang masih
terikat pada kayu secang. Eksperimen kecil dilakukan terhadap produk secang
celup yang menurut panelis memiliki rasa yang sepat dengan menambahkan
72
gula pasir yang diaduk secara merata. Panelis menyatakan bahwa dengan
menambahkan gula pasir, rasa yang dihasilkan dari secang celup sama dengan
rasa teh pada umumnya.
Produk secang celup yang dihasilkan pada penelitian kali ini memiliki rasa
yang netral juga diduga karena tidak dipengaruhi oleh bahan tambahan lainnya
seperti produk teh dari kayu secang yang diperdagangkan di Pulau Jawa. Produk
yang telah dipasarkan di Pulau Jawa diproduksi dengan komposisi bahan yang
lebih variatif. Bahannya tidak hanya berasal kayu secang saja tetapi dari bahan
lainnya seperti jahe, kapulaga, daun jeruk purut, cengkeh, dan kayu manis.
Aroma Seduhan
Pada parameter aroma seduhan, dari 30 panelis, 4 panelis menyatakan
sangat suka, 20 panelis menyatakan suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 3
panelis menyatakan biasa saja untuk produk secang celup A. Sedangkan pada
aroma seduhan produk secang celup B, 3 panelis menyatakan sangat suka, 17
panelis menyatakan suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 7 panelis
menyatakan biasa saja. Nilai rata-rata parameter aroma seduhan pada produk
secang celup A sebesar 5,833 yang menunjukkan tanggapan suka. Sedangkan
pada produk secang celup B sebesar 5,533 juga menunjukkan tanggapan suka
terhadap produk yang disajikan (Gambar 32).
Tabel 11 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) parameter aroma seduhan produk
secang celup A dan secang celup B
Sumber
keragaman Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah F hitung
Model 1968,850a 31 63,511 114,045
Panelis 29,483 29 1,017 1,826
Sampel 1,350 1 1,350 2,424
Error 16,150 29 0,557
Total 1985,000 60
* a. R Squared = ,992 (Adjusted R Squared = ,983)
Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 11 menunjukkan nilai F-hitung yang
lebih besar dari F-tabel baik pada taraf 5% maupun 1%. Oleh karena itu dapat
dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk tingkat
kesukaan terhadap parameter aroma seduhan pada produk secang celup A dan
secang celup B. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,983 menunjukkan data-data
73
aktual hasil uji organoleptik terhadap parameter aroma seduhan kedua produk
mencakup dalam model sebesar 98,3%.
Aroma pada minuman kayu secang yang sering dikonsumsi oleh masyarakat
cenderung netral. Hasil pengujian organoleptik pun menunjukkan bahwa kedua
produk secang celup hasil seduhan secara umum menurut panelis memiliki aroma
yang sama dengan minuman kayu secang yang biasa mereka konsumsi. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara aroma produk secang celup A yang dihasilkan
dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan produk secang celup B yang
dihasilkan dari kayu secang segar tanpa proses pengeringan. Namun, pengujian
kepada panelis tidak terlatih menunjukkan bahwa kedua produk secang celup
dapat diterima dengan baik dengan nilai tingkat penerimaan 6 (suka).
Warna Seduhan
Pada parameter warna seduhan, dari 30 panelis, 13 panelis menyatakan
sangat suka, 14 panelis menyatakan suka, dan 3 panelis menyatakan biasa
saja untuk produk secang celup A. Sedangkan pada warna seduhan produk
secang celup B, 12 panelis menyatakan sangat suka, 13 panelis menyatakan
suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 2 panelis menyatakan biasa saja.
Nilai rata-rata parameter warna seduhan pada produk secang celup A sebesar
6,233 yang menunjukkan tanggapan suka. Sedangkan pada produk secang
celup B sebesar 6,167 juga menunjukkan tanggapan suka terhadap produk
yang disajikan (Gambar 32).
Tabel 12 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) parameter warna seduhan produk
secang celup A dan secang celup B
Sumber keragaman
Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah F hitung
Model 2334,067a 31 75,292 121,755
Panelis 27,600 29 0,952 1,539
Sampel 0,067 1 0,067 0,108
Error 17,933 29 0,618
Total 2352,000 60
* a. R Squared = ,992 (Adjusted R Squared = ,984)
74
Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 12 menunjukkan nilai F-hitung yang
lebih besar dari F-tabel baik pada taraf 5% maupun 1%. Oleh karena itu dapat
dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk tingkat
kesukaan terhadap parameter warna seduhan pada produk secang celup A dan
secang celup B. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,984 menunjukkan data-data
aktual hasil uji organoleptik terhadap parameter warna seduhan kedua produk
mencakup dalam model sebesar 98,4%.
Minuman kayu secang yang sering dikonsumsi oleh masyarakat cenderung
berwarna merah muda. Hal ini disebabkan karena pembuatan minuman kayu
secang dengan volume air rebusan yang lebih banyak dibandingkan dengan
volume kayu secang yang digunakan dalam perebusan. Selain itu, penggunaan
kayu secang secara berulang-ulang hingga warna merahnya hilang, menjadi
penyebab warna minuman kayu secang yang dikonsumsi masyarakat kurang
menarik. Penggunaan secara berulang-ulang dilakukan masyarakat untuk
menghemat penggunaan kayu secang mengingat keberadaannya yang sudah
langka untuk diperoleh.
Hasil seduhan pada kedua produk secang celup memiliki warna merah yang
menarik. Para panelis menunjukkan ketertarikan yang cukup tinggi terhadap
warna secang celup ketika pertama kali disajikan. Mereka menganggap warna
tersebut akan memberikan nilai jual (selling point) tersendiri untuk produk secang
celup yang dihasilkan. Warna pada produk kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh bahan baku berupa inti kayu secang yang menunjukkan warna merah
ketika selesai dipanen. Warna merah tersebut juga tetap bertahan setelah
proses pengeringan hingga menghasilkan simplisia kayu secang (Sappan Lignum).
Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian tahap II yang memiliki nilai
pengukuran oHue berkisar antara 33,95 - 40,08 (Red).
Beberapa panelis memiliki tanggapan yang berbeda terhadap warna produk
secang celup A dan secang celup B hasil seduhan. Mereka beranggapan bahwa
warna secang celup B yang dihasilkan dari kayu secang segar tanpa pengeringan
lebih pekat dibandingkan dengan warna secang celup A yang dihasilkan dari
simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Hal ini diduga disebabkan oleh kadar
75
brazilin dalam kayu secang yang teroksidasi oleh proses pengeringan dan
membentuk senyawa brazilein yang berwarna merah.
Pada produk secang celup A yang mengalami proses pengeringan dengan
suhu tertentu, diduga telah menimbulkan energi kinetik yang sangat tinggi
sehingga laju degradasi pigmen brazilein pun menjadi besar. Sedangkan pada
produk secang celup B yang walaupun tidak melalui proses pengeringan, namun
kontak dengan sinar matahari juga menyebabkan terjadinya oksidasi brazilin
menjadi brazilein. Kontak dengan sinar matahari yang diusahakan tidak terlalu
lama setelah pemanenan, diduga tidak menyebabkan oksidasi komponen brazilin
secara keseluruhan, dan baru teroksidasi sempurna ketika proses penyeduhan
menggunakan air mendidih (100oC). Brazilin memiliki kestabilan pigmen yang
akan menurun seiring dengan peningkatan pH. Air yang digunakan dalam
penyeduhan yang memiliki pH netral akan menyebabkan degradasi pigmen yang
lebih cepat. Brazilin (C16H14O5) merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi
jika teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna merah
kecoklatan dan dapat larut dalam air. Brazilin akan cepat membentuk warna
merah jika terkena sinar matahari (Kim et al. 1997 dalam Holinesti, 2007).
Pigmen kayu secang sangat tergantung pada pH. Pada pH 2 dan pH 4 warna
yang muncul adalah kuning, pada pH 5 dan pH 6 warna yang muncul adalah
coklat kemerahan. Sedangkan pada pH 7 akan muncul warna merah keunguan
(Maharani, 2003).
76
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Bagian batang tanaman secang dengan ukuran besar paling optimum
untuk dipanen. Inti kayu secang untuk pembuatan simplisia diperoleh dengan
terlebih dahulu menghilangkan bagian duri, kulit luar, dan kambium dari
kayu secang hasil panen.
2. Kayu secang dari daerah dataran tinggi (Desa Lonjo’boko, Kecamatan
Malino, Kabupaten Gowa) dengan bentuk potongan stick memiliki
kandungan brazilin paling tinggi sebesar 79,87mg/g.
3. Solusi optimum menggunakan program Design Expert 8.0® untuk proses
pengeringan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) adalah suhu
pengeringan 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, kelembaban relatif (RH)
sebesar 30%, dan nilai desirability sebesar 0,709.
4. Produk secang celup yang dihasilkan dari simplisia kayu secang
(Sappan Lignum) maupun dari kayu secang segar hasil pemanenan
menunjukkan tingkat penerimaan panelis yang sama yaitu suka terhadap
parameter rasa, aroma, dan warna seduhan.
Saran
Model perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan sebagai solusi
optimum pada pengeringan simplisia kayu secang sebaiknya dilanjutkan kepada
tahap verifikasi. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui seberapa jauh ketepatan
model yang dihasilkan terhadap nilai dari respon-respon yang diharapkan.
Kayu secang memiliki manfaat yang besar dalam bidang farmakologi.
Kandungan senyawa metabolit sekundernya seperti brazilin perlu menjadi
perhatian tersendiri ketika pemanenan dan penangan pasca panen kayu secang
karena sifatnya yang tidak stabil terhadap kondisi lingkungan. Untuk
penelitian selanjutnya sebaiknya tidak ada waktu tunggu yang terlalu lama
antara pemanenan sampai pelaksanaan proses pengeringan kayu secang
menjadi simplisia. Selain itu, penggunaan alat panen yakni parang sebaiknya dari
bahan stainless steel yang tidak mengalami korosi. Hal ini dapat menghambat
terjadinya proses oksidasi senyawa brazilin pada kayu secang.
77
Kayu secang dipercaya memiliki manfaat sebagai bahan pengawet.
Minuman kayu secang yang dikonsumsi oleh masyarakat dan disimpan dengan
inti kayu secang yang tetap berada di dalam minuman tersebut, akan tahan jika
disimpan selama 2 hari tanpa menimbulkan bau tengik. Penelitian lebih lanjut
diharapkan dapat dilakukan untuk mengetahui senyawa-senyawa kimia dalam
kayu secang yang bermanfaat sebagai pengawet tersebut.
78
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Design expert 7 user’s guide. [e-book]. http://www.statease.com.
23 Maret 2012.
Anonim, 2011a. Detil Data Caesalpinia sappan L. http://www.proseanet.org.
21 September 2011.
Anonim, 2011b. Caesalpinia sappan L. http://docs.google.com. 21 September
2011.
American Society for Testing and Materials. Annual Book of Standard American
Society for Testing and Material. Philadelphia. Race st.
Badan Pusat Statistik. 2011. Luas Lahan Menurut Penggunaan (Land Area by
Utilization) 2009. Katalog BPS : 3311004.
Batubara, Irmanida. et al. 2010. Brazilin Content, Antioxidative and Lipase
Inhibition Effects of Sappandwood (Caesalpinia sappan) from Indonesia.
USA. Journal of Chemistry and Chemical Engineering, ISSN 1934-7375,
Volume 4. No.10 (Serial No.35): 50-55.
British Standard. 1957. Methods of Testing Small Clear Speciemens of Timber
BS 373. Inggris. British Standard.
Budiarso, E. 1997. Pengaruh Kerapatan dan Struktur Anatomi Kayu Terhadap
Sifat Pengeringan Kayu. Frontir No. 21 : 81 – 94. Samarinda. Universitas
Mulawarman.
Chrysanty., Kezhia. 2009. Karateristik Pengeringan Lapisan Tipis dan Mutu
Simplisia Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe). [Skripsi]. Bogor.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985. Cara Pembuatan Simplisia.
Hangoluan, Boris Yesaya Manumpak. 2011. Pengembangan Metode Isolasi
Brazilin dari Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) [Skripsi]. Bogor.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Haryono, J. 1985. Tanaman Obat Indonesia.Direktorat Jendral Pengawasan Obat
dan Makanan. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hutching, JB. 1999. Food Color and Appearance. 2nd
ed. Gaitersburg: Aspen
Publishing Inc.
79
Holinesti, Rahmi., 2007. Studi Pemanfaatan Pigmen Brazilein Kayu Secang
(Caesalpinia sappan L.) sebagai Pewarna Alami serta Stabilitasnya
pada Model Pangan. [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Jokopriyambodo, Wahyu. 2003. Laporan Akhir Penelitian : Standarisasi Tanaman
Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) di Tawangmangu (Penentuan
Umur Panen dan Waktu Tenggang Antara Panen Sampai Proses
Pengeringan). Balai Penelitian Tanaman Obat, Badan Litbang Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Katno, Drs. 1999. Laporan Penelitian Pengaruh Penyimpanan Terhadap Angka
Jamur dan Angka Lempeng Total Tiga Simplisia Nabati. Tawangmangu.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi. Balai Penelitian Tanaman
Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Lim, D.K., U. Choi, and D.H. Shin. 1997. Antioxidative Activity of Some Solvent
Extract from Caesalpinia sappan Linn. Korean J. Food Sci. Technology.
28(1) : 77-82.
Ma’arif MS, Machfud, Sukron M. 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses
Pangan. Bogor. PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Maharani, Kartika. 2003. Stabilitas Pigmen Brazilin pada Kayu Secang
(Caesalpinia sappan L.). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Materia Medika Indonesia.1977. Jilid I. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Materia Medika Indonesia. 1995. Jilid VI. Jakarta. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Priatni, Ageng., dan Tatik Purwanti. 2007. Kondisi Optimum Ekstraksi Teh
Secang. Jurnal Riset Teknologi Industri Volume 1.No. 1.
Ritrum Center. 2011. Simplisia 1. http://bhumihusadacilacap.blogspot.com.
14 Oktober 2011.
Sanusi, M. 1989. Isolasi dan Identifikasi Zat Warna Kayu Sappang. Balai Industri
Ujung Pandang.
Sastroamidjojo, S. 1997. Obat Rakyat Indonesia. Jakarta. Dian Rakyat.
Sembiring, Bagem Br. 2007. Teknologi Penyiapan Simplisia Terstandar Tanaman
Obat. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (BALITTRO). Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Volume 13. Nomor 2.
80
Soetarno, S. & Soediro I. S. 1997. Standarisasi Mutu Simplisia dan Ekstrak Bahan
Obat Tradisional. Bandung. Jurusan Farmasi FMIPA ITB dalam Buku
Peringatan 50 Tahun Pendidikan Farmasi ITB.
Sucipto., Tito. 2009. Pengeringan Kayu Secara Umum. Departemen Kehutanan.
Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Sudarmadji, Slamet., Bambang Haryono, Suhardi. 1997. Analisa Bahan Makanan
dan Pertanian. Yogyakarta. Liberty.
Suhartati, T. 1983. Isolasi Zat Warna dari Tumbuhan Caesalpinia sappan Linn.
[Skripsi]. Bandung. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung.
Sukaton, Edi,. 1999. Analisis Kandungan Zat Ekstraktif yang Larut Dalam Air
Dingin, Air Panas dan NaOH 1% dari Kayu Karet (Hevea brasiliensis
Muell. Arg) Bagian Batang dan Cabang. Frontir No. 26 : 0216 – 1516.
Samarinda. Universitas Mulawarman.
Sundari, D., Widowati. L., Winarno, MW. 1998. Informasi Khasiat, Keamanan
dan Fitokimia dan Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.). Warta
Tumbuhan Obat Indonesia 4(3) : 1-3.
Susilo., Eliana. 2011. Optimasi Formula Minuman Fungsional Berbasis Kunyit
(Curcuma domestica Val.), Asam Jawa (Tamarindus indica Linn.), dan Jahe
(Zingiber officinale var. Amarum) dengan Metode Desain Campuran
(Mixture Design). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Sutjipto, Drs. 1995. Penelitian Pengeringan Tiga Bahan Tanaman Obat yang
Mengandung Minyak Atsiri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi.
Tawangmangu. Balai Penelitian Tanaman Obat. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Tjitrosoepomo, Gembong. 2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta).
Yogyakarta. Gadjah Mada Univesity Press.
Wicaksono, Britanto Dani., Enos Tangke Arung, Ferry Sandra. 2008. Aktivitas
Antikanker dari Kayu Secang. Artikel CDK 162/Vol.35 No.3/Mei-Juni.
Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama.
81
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji kadar brazilin kayu secang (mg/g) berdasarkan pengaruh
jenis dataran dan bentuk potongan
Perlakuan Ulangan Total
Rata-
rata Dataran Potongan 1 2 3
Tinggi
Gelondongan 79,00 77,14 78,69 234,83 78,28
Stick 79,42 80,96 79,25 239,63 79,88
Serutan 66,79 69,36 62,64 198,79 66,26
Rendah
Gelondongan 27,66 28,38 28,17 84,21 28,07
Stick 51,70 52,94 52,96 157,6 52,53
Serutan 8,40 7,96 7,35 23,71 7,90
Lampiran 2 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis potongan terhadap kadar
brazilin kayu secang
Potongan N Subset
1 2 3
3 6 37,0833
1 6 53,1733
2 6 66,2050
Sig, 1,000 1,000 1,000
82
Lampiran 3 Rekapitulasi data uji kadar air rancangan perlakuan proses
pengeringan Kode
Sampel Ulangan Berat Awal Berat Akhir
Kadar Air
(%BK) Rata-Rata
1 A 1,2104 1,103 9,737
9,669 B 0,8779 0,801 9,600
2 A 2,6885 2,448 9,824
9,213 B 0,7461 0,687 8,603
3 A 1,0771 0,98 9,908
9,339 B 1,2106 1,113 8,769
4 A 0,7686 0,713 7,798
8,506 B 1,7485 1,601 9,213
5 A 1,1912 1,1 8,291
9,089 B 2,4384 2,219 9,887
6 A 1,8236 1,686 8,161
8,147 B 1,1754 1,087 8,132
7 A 1,3529 1,238 9,281
9,542 B 1,0541 0,96 9,802
8 A 2,109 1,924 9,615
9,491 B 1,5191 1,389 9,366
9 A 1,135 1,047 8,405
9,070 B 1,5791 1,439 9,736
10 A 1,3859 1,27 9,126
9,077 B 1,0434 0,957 9,028
11 A 0,8188 0,746 9,759
9,840 B 0,8453 0,769 9,922
12 A 1,4773 1,355 9,026
8,751 B 0,8537 0,787 8,475
13 A 1,9052 1,75 8,869
9,221 B 1,5702 1,433 9,574
14 A 1,7668 1,615 9,399
9,265 B 1,5071 1,381 9,131
15 A 1,3726 1,26 8,937
8,955 B 1,8166 1,667 8,974
83
Lampiran 4 Rekapitulasi data uji susut pengeringan rancangan perlakuan proses pengeringan
Kode
Sampel Ulangan
Berat
Sampel (gr)
Berat Petri Kosong (gr) Berat petri kosong + simplisia (gr) (menit ke-) Susut
Pengeringan (%) Rata-rata
0 Menit 30 menit 0 30 60 90 120 150 180
1 A 10,0169 105,578 105,5704 115,5616 115,3749 115,2986 115,2473 115,1966 115,1688 - 3,9315
4,6862 B 10,0058 103,6348 103,6271 113,605 113,3583 113,2100 113,1364 113,0914 113,0621 - 5,4410
2 A 10,0131 100,2126 100,2133 110,1944 110,0242 109,9679 109,8742 109,8159 109,7747 - 4,2049
4,6668 B 10,0044 103,5684 103,5599 113,5449 113,3567 113,1906 113,117 113,0554 113,0328 - 5,1287
3 A 10,041 98,9869 98,9764 109,4548 109,2528 109,1231 109,0579 108,9867 108,945 - 4,8652 4,7646
B 10,0266 100,2179 100,2076 110,229 110,0214 109,8668 109,8257 109,788 109,7616 - 4,6640
4 A 10,0236 103,6384 103,6316 113,6267 113,4956 113,4118 113,322 113,2658 113,2389 - 3,8799
4,5465 B 10,0062 105,58 105,5704 115,5643 115,2887 115,1857 115,1193 115,0669 115,0433 - 5,2132
5 A 10,0126 100,9051 100,8969 110,8883 110,7441 110,6603 110,6203 110,5847 110,5487 - 3,3989
3,2443 B 10,0156 99,0644 99,0563 109,0478 108,9671 108,9232 108,859 108,7836 108,7391 - 3,0896
6 A 10,0163 102,7975 102,791 112,7788 112,6222 112,5335 112,475 112,4418 112,4175 - 3,6174
4,3529 B 10,0056 100,4374 100,4298 110,4211 110,1926 110,07 110,0022 109,9497 109,9127 - 5,0884
7 A 10,0126 103,5685 103,5617 113,5453 113,3799 113,3082 113,1971 113,1725 113,1518 - 3,9415
4,4936 B 10,0085 99,062 99,0555 109,0443 108,7995 108,6817 108,6045 108,5786 108,5403 - 5,0457
8 A 10,0152 104,4614 104,4605 114,4324 114,2295 114,1491 114,076 114,0466 114,0163 - 4,1727
4,6767 B 10,0068 104,4677 104,4596 114,4583 114,2583 114,1418 114,0424 113,9739 113,9403 - 5,1807
9 A 10,0051 102,7705 102,7586 112,7466 112,4704 112,4077 112,3523 112,3018 112,2508 - 4,9640
5,5148 B 10,0033 98,7682 98,7567 108,7327 108,3506 108,246 108,2002 108,1578 108,1276 - 6,0656
10 A 10,0304 99,7231 99,7167 109,7284 109,5695 109,5065 109,4386 109,4032 109,3741 - 3,5389
4,4631 B 10,0038 100,9034 100,8955 110,8802 110,6447 110,4857 110,448 110,3804 110,3423 - 5,3872
11 A 10,0135 98,9879 98,9807 108,9328 108,7514 108,6538 108,5618 108,5514 108,4648 - 4,7025
5,1349 B 10,0048 104,2606 104,2498 114,2296 113,9762 113,9011 113,8069 113,7285 113,674 - 5,5672
12 A 10,0119 104,2598 104,2577 114,241 114,115 114,0355 113,9775 113,9261 113,8993 - 3,4227
4,5804 B 10,0056 100,4128 100,4075 110,3953 110,0938 109,9852 109,8876 109,8223 109,8222 - 5,7380
13 A 10,0185 98,7675 98,7641 108,7496 108,5835 108,5299 108,4639 108,4218 108,3732 - 3,7695
3,5392 B 10,0236 102,77 102,7623 112,7535 112,6485 112,5786 112,5205 112,4553 112,4229 - 3,3089
84
Lampiran 4 Rekapitulasi data uji susut pengeringan rancangan perlakuan proses pengeringan (lanjutan)
14 A 10,022 100,4179 100,4102 110,4084 110,2646 110,1963 110,102 110,0616 110,0305 - 3,7797
4,4028 B 10,0044 99,7201 99,7123 109,6984 109,5209 109,3572 109,3087 109,2351 109,1965 - 5,0260
15 A 10,0149 100,4387 100,4302 110,4025 110,2102 110,164 110,0925 110,0366 110,0009 - 4,0272
4,7250 B 10,0067 102,7959 102,7898 112,7847 112,6069 112,418 112,3533 112,2901 112,2427 - 5,4228
85
Lampiran 5 Rekapitulasi data uji warna rancangan perlakuan proses pengeringan
Kode
Sampel Ulangan L a b
Rata-rata oHue
L a b
1 A 35,4 16,19 12,42
34,74 18,37 13,865 37,04 B 34,08 20,55 15,31
2 A 34,94 18,55 13,28
34,52 19,03 13,26 34,87 B 34,1 19,51 13,24
3 A 34,29 17,34 11,38
32,815 15,59 10,545 34,07 B 31,34 13,84 9,71
4 A 33,17 15,64 12,44
35,85 16,48 13,87 40,88 B 38,53 17,32 15,3
5 A 33,19 20,8 11,95
30,915 17,33 13,04 36,96 B 28,64 13,86 10,47
6 A 35,21 22,53 15,55
35,47 20,265 15,56 37,52 B 35,73 18 15,57
7 A 31,9 16,95 13,48
33,71 18,86 14,965 38,43 B 35,52 20,77 16,45
8 A 35,18 15,95 13,36
37,005 18,1 16,21 41,85 B 38,83 20,25 19,06
9 A 31,84 15,34 10,39
31,955 16,18 10,895 33,95 B 32,07 17,02 11,4
10 A 34,44 17,55 14,41
33,29 17,245 13,145 37,32 B 32,14 16,94 11,88
11 A 34,61 19,94 14,15
34,655 18,585 13,59 36,18 B 34,7 17,23 13,03
12 A 33,71 19,01 14,39
32,93 16,995 13,17 37,77 B 32,15 14,98 11,95
13 A 34,6 19,55 14,13
33,74 18,03 12,845 35,47 B 32,88 16,51 11,56
14 A 34,99 19,9 13,99
35,9 19,695 14,5 36,36 B 36,81 19,49 15,01
15 A 36,95 23,25 16,39
34,4 20,22 14,955 36,49 B 31,85 17,19 13,52
86
Lampiran 6 Rekapitulasi data uji kadar brazilin rancangan perlakuan proses
pengeringan
Kode Sampel Berat serbuk simplisia (gr) Kadar brazilin (mg/g)
F1 10,0268 0,84
F2 10,0202 0,90
F3 10,0259 0,87
F4 10,0261 0,93
F5 10,0184 1,84
F6 10,0245 3,60
F7 10,0196 1,31
F8 10,0163 0,80
F9 10,0237 1,06
F10 10,0219 1,20
F11 10,0183 1,72
F12 10,027 3,61
F13 10,0254 2,16
F14 10,0265 1,25
F15 10,017 5,29
87
Lampiran 7 Kromatogram KCKT rancangan perlakuan proses pengeringan dengan
(a) suhu 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, RH 45%, dan (b) standar
brazilin pada kayu secang
(a)
(b)
88
Lampiran 8 ANOVA dan persamaan polinomial respon susut pengeringan
Response 2 SusutPengeringan
ANOVA for Response Surface Mean Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F Model 0,000 0
Residual 4,18 14 0,30
Lack of Fit 4,18 12 0,35 129,83 0,0077 significant Pure Error 5,363E-003 2 2,681E-003
Cor Total 4,18 14
Std, Dev, 0,55 R-Squared 0,0000
Mean 4,52 Adj R-Squared 0,0000
C,V, % 12,09 Pred R-Squared -0,1480
PRESS 4,80 Adeq Precision
Final Equation in Terms of Actual Factors:
SusutPengeringan =
+4,51945
89
Lampiran 9 ANOVA dan persamaan polinomial respon kadar brazilin
Response 3 Brazilin
ANOVA for Response Surface Reduced Quadratic Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F Model 15,06 3 5,02 5,77 0,0127 significant
A-Suhu 2,68 1 2,68 3,08 0,1070
B-Kecepatan 4,61 1 4,61 5,29 0,0420 A2 7,77 1 7,77 8,94 0,0123
Residual 9,57 11 0,87
Lack of Fit 9,57 9 1,06 1181,07 0,0008 significant Pure Error 1,800E-003 2 9,000E-004
Cor Total 24,63 14
Std, Dev, 0,93 R-Squared 0,6115
Mean 1,83 Adj R-Squared 0,5055
C,V, % 51,10 Pred R-Squared 0,1685
PRESS 20,48 Adeq Precision 7,349
Final Equation in Terms of Actual Factors:
Brazilin =
+41,95925
-1,38516 * Suhu
-8,92647 * Kecepatan
+0,014430 * Suhu2
90
Lampiran 10 ANOVA dan persamaan polinomial respon L
Response 4 L
ANOVA for Response Surface Mean Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F
Model 0,000 0
Residual 37,42 14 2,67
Lack of Fit 34,92 12 2,91 2,33 0,3398 not significant
Pure Error 2,50 2 1,25
Cor Total 37,42 14
Std, Dev, 1,63 R-Squared 0,0000
Mean 34,40 Adj R-Squared 0,0000
C,V, % 4,75 Pred R-Squared -0,1480
PRESS 42,96 Adeq Precision
Final Equation in Terms of Actual Factors:
L =
+34,39533
91
Lampiran 11 ANOVA dan persamaan polinomial respon oHue
Response 7 Hue
ANOVA for Response Surface Mean Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F Model 0,000 0
Residual 48,55 14 3,47
Lack of Fit 45,98 12 3,83 2,98 0,2789 not significant
Pure Error 2,57 2 1,29
Cor Total 48,55 14
Std, Dev, 1,86 R-Squared 0,0000
Mean 37,28 Adj R-Squared 0,0000
C,V, % 5,00 Pred R-Squared -0,1480
PRESS 55,73 Adeq Precision
Final Equation in Terms of Actual Factors:
Hue =
+37,28200
92
Lampiran 12 ANOVA dan persamaan polinomial respon lama pengeringan
Response 8 Lama Pengeringan
ANOVA for Response Surface Reduced 2FI Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F
Model 1,828E+006 4 4,570E+005 7,35 0,0050 significant
A-Suhu 3,081E+005 1 3,081E+005 4,95 0,0502
B-Kecepatan 1,985E+005 1 1,985E+005 3,19 0,1044 C-RH 4,095E+005 1 4,095E+005 6,58 0,0281
AB 9,120E+005 1 9,120E+005 14,66 0,0033
Residual 6,220E+005 10 62199,33 Lack of Fit 4,870E+005 8 60874,17 0,90 0,6242 not significant
Pure Error 1,350E+005 2 67500,00
Cor Total 2,450E+006 14
Std, Dev, 249,40 R-Squared 0,7461
Mean 1042,67 Adj R-Squared 0,6446
C,V, % 23,92 Pred R-Squared 0,2792
PRESS 1,766E+006 Adeq Precision 9,358
Final Equation in Terms of Actual Factors:
Lama Pengeringan =
+25281,78431
-466,30147 * Suhu
-29941,17647 * Kecepatan
+15,08333 * RH
+561,76471 * Suhu * Kecepatan
93
Lampiran 13 Rekapitulasi data running perlakuan proses pengeringan untuk
mendapatkan rancangan optimum
Suhu Kecepatan RH
60 0,86 30
40 0,95 45
60 0,86 60 40 0,86 30
40 0,86 60
50 0,78 30 40 0,78 45
50 0,95 60
50 0,86 45 60 0,78 45
50 0,95 30
60 0,95 45
50 0,78 60 50 0,82 57
60 0,90 36
58 0,92 41 59 0,85 58
57 0,88 54
47 0,85 51 51 0,93 41
48 0,85 47
48 0,92 40
59 0,93 34 43 0,92 39
60 0,78 49
58 0,83 59 56 0,93 49
56 0,80 52
47 0,94 40
54 0,81 54 53 0,81 40
56 0,92 32
54 0,92 31 56 0,88 34
59 0,79 59
43 0,89 43 46 0,92 53
53 0,91 38
53 0,87 35
45 0,91 39 56 0,80 36
60 0,86 35
54 0,79 43
94
Lampiran 14 Solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum yang dihasilkan dalam tahapan optimasi
Number Suhu Kecepatan RH SusutPengeringan Brazilin L o
Hue Lama Pengeringan Desirability
(oC) (m/s) (%) (%) (mg/g) (menit)
1 60 0,78 30 4,5195 3,84 34,40 37,282 692,672 0,709 Selected
2 60 0,78 30 4,5195 3,84 34,40 37,282 699,88 0,707
3 60 0,78 30 4,5195 3,83 34,40 37,282 697,054 0,706 4 60 0,78 32 4,5195 3,84 34,40 37,282 715,563 0,702
5 60 0,78 33 4,5195 3,84 34,40 37,282 731,515 0,697
6 60 0,78 34 4,5195 3,84 34,40 37,282 751,392 0,690 7 60 0,78 34 4,5195 3,82 34,40 37,282 753,205 0,688
8 60 0,78 36 4,5195 3,84 34,40 37,282 786,536 0,679
9 60 0,79 30 4,5195 3,71 34,40 37,282 746,789 0,676
10 60 0,78 39 4,5195 3,84 34,40 37,282 835,112 0,662 11 60 0,78 41 4,5195 3,84 34,40 37,282 854,242 0,656
12 60 0,78 43 4,5195 3,84 34,40 37,282 893,151 0,642
13 60 0,81 30 4,5195 3,56 34,40 37,282 808,091 0,637 14 60 0,78 45 4,5195 3,84 34,40 37,282 924,239 0,631
15 60 0,78 46 4,5195 3,84 34,40 37,282 938,062 0,626
16 60 0,78 48 4,5195 3,84 34,40 37,282 965,28 0,616 17 60 0,82 30 4,5195 3,45 34,40 37,282 856,37 0,607
18 60 0,78 52 4,5195 3,84 34,40 37,282 1023,45 0,594
19 60 0,85 30 4,5195 3,24 34,40 37,282 943,135 0,553
20 60 0,86 30 4,5195 3,16 34,40 37,282 979,106 0,531 21 60 0,87 30 4,5195 3,02 34,40 37,282 1035,75 0,495
22 40 0,84 30 4,5195 2,14 34,40 37,282 803,913 0,427
23 40 0,84 30 4,5195 2,17 34,40 37,282 826,475 0,427 24 40 0,84 30 4,5195 2,14 34,40 37,282 803,595 0,427
25 40 0,83 30 4,5195 2,24 34,40 37,282 889,3 0,425
26 40 0,84 30 4,5195 2,15 34,40 37,282 820,249 0,425
27 40 0,85 32 4,5195 2,07 34,40 37,282 765,679 0,422 28 40 0,84 38 4,5195 2,13 34,40 37,282 912,903 0,402
29 40 0,78 30 4,5195 2,66 34,40 37,282 1240,29 0,381
95
Lampiran 15 Simplisia kayu secang (Sappan Lignum) sebagai hasil dari proses
pengeringan
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
Perlakuan 4 Perlakuan 5 Perlakuan 6
Perlakuan 7 Perlakuan 8 Perlakuan 9
Perlakuan 10 Perlakuan 11 Perlakuan 12
96
Lampiran 15 Simplisia kayu secang (Sappan Lignum) sebagai hasil dari proses
pengeringan (lanjutan)
Perlakuan 13 Perlakuan 14 Perlakuan 15
97
Lampiran 16 Formulir pengujian organoleptik (hedonic test)
Nama Panelis :
Tanggal Penyajian :
Produk : Secang Celup
Petunjuk :
1. Amatilah Rasa Seduhan, Aroma Seduhan, dan Warna Seduhan serta keseluruhan
penampakan dari masing-masing sampel yang ada di hadapan anda,
2. Nyatakan penilaian Anda pada kolom yang tersedia dengan memberikan
tanda (√),
3. Cicipilah setiap sampel yang ada dan nyatakanlah penilaian Anda. Setelah
pencicipan satu sampel, netralkan mulut Anda dengan air,
4. Penilaian sampel dilakukan dengan cara mencicipi satu per satu sampel
kemudian nyatakanlah penilaian Anda,
Parameter Penilaian Kode Sampel
Secang Celup A Secang Celup B
Rasa seduhan
Sangat suka
Suka
Agak suka
Biasa saja
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Aroma seduhan
Sangat suka
Suka
Agak suka
Biasa saja
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Warna seduhan
Sangat suka
Suka
Agak suka
Biasa saja
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
98
Lampiran 17 Hasil uji organoletik (hedonic test) produk Secang Celup dari simplisia kayu secang (secang celup A) dan kayu secang
segar hasil pemanenan (secang celup B)
No Nama Panelis Usia Pendidikan
Terakhir Pekerjaan Suku
Rasa Aroma Warna
A B A B A B
1 Hj. Saing 52 SMA Petani Makassar 7 4 6 4 6 4
2 Nurmiati 42 SMP Petani Makassar 4 6 4 6 4 6
3 Dg. Siba 70 - Petani Makassar 6 4 6 4 4 6
4 Rismawati 22 S1 Guru Makassar 4 6 6 4 4 6
5 Syamsiah 48 SD Petani Makassar 6 4 6 4 6 6
6 Lukman 50 S1 PNS Makassar 7 6 6 5 7 6
7 Muliyati 25 SMP Petani Makassar 6 4 6 4 6 6
8 Baharuddin 30 SD Petani Makassar 4 6 5 6 6 6
9 Muslina 37 SMA IRT Makassar 6 6 6 6 7 7
10 Rahmatia 62 SD IRT Makassar 7 6 6 6 7 7
11 Dg. Situru 37 SMA Wiraswasta Makassar 5 5 6 6 7 7
12 Dg. Bajia 98 - IRT Makassar 6 6 6 6 7 7
13 Syamsuddin 56 SMA Sekdes Makassar 7 6 6 7 7 7
14 Hj. Lumawati 61 SMA IRT Makassar 7 7 6 6 7 7
15 Dg. Mati 87 - IRT Makassar 6 6 6 6 7 7
16 Rachmawati, S,Sos 28 S1 Manajer LKM Makassar 5 6 7 6 6 6
17 Murlindah, S,Pi 29 S1 Pegawai Swasta Makassar 5 5 4 4 7 7
18 Ma'niah Dg. Kebo' 60 SD IRT Makassar 6 4 4 4 7 4
19 Muis Dg. Rumbu 42 SMA Wiraswasta Makassar 4 4 5 5 6 6
20 Nurhayati, SP 46 S1 PNS Bugis 6 6 7 7 7 7
21 Dg. Mansyur 54 SD Petani Makassar 6 6 6 6 6 7
22 Dg. Rossi 50 SD IRT Makassar 6 7 6 7 6 7
23 Suriyani 33 SMP IRT Makassar 5 6 5 6 6 5
99
Lampiran 17 Hasil uji organoleptik (hedonic test) produk Secang Celup dari simplisia kayu secang hasil pengeringan
(secang celup A) dan kayu secang segar hasil pemanenan (secang celup B) (lanjutan)
24 Ismail, S,Pi 50 S1 PNS Makassar 7 6 7 6 7 5
25 Andi Sappe 47 S1 PNS Bugis 6 6 6 6 6 5
26 Mintje 52 S1 PNS Bugis 6 5 7 5 7 6
27 Rabainah 83 - Petani Makassar 4 6 6 6 6 6
28 Mariati Dg. Ratang 63 SD IRT Makassar 5 6 6 6 6 6
29 Nuhun Dg. Sese 63 SD Petani Makassar 6 7 6 6 6 7
30 Hj. Hartati 46 SMA IRT Bugis 5 6 6 6 6 6
Rata-Rata 5,667 5,600 5,833 5,533 6,233 6,167
Keterangan :
1 = Sangat tidak suka
2 = Tidak suka
3 = Agak tidak suka
4 = Biasa saja
5 = Agak suka
6 = Suka
7 = Sangat suka
100
Lampiran 18 Gambar alat yang digunakan dalam penelitian
Gambar 33 Mesin pengering berakuisisi tampak depan
Gambar 34 Flow controller mesin pengering berakuisisi
Display LCD
Ruang
terkondisi
Saklar
Timbangan
digital
Humidifier
Flow Controller
101
Lampiran 18 Gambar alat yang digunakan dalam penelitian (lanjutan)
Gambar 35 Anemometer
Gambar 36 Cutting mill