overdeterminasi sebagai posibilitas interpelasi
TRANSCRIPT
Overdeterminasi sebagai Posibilitas Interpelasi Diferensial: Suatu Kajian terhadap Marxisme Struktural Louis Althusser
Rizki Baiquni Pratama, Donny Gahral Adian
Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstrak
Teori ideologi Althusser yang telah selalu menginterpelasi individu sebagai subjek kerap dipandang sebagai sebuah pesimisme, hal itu karena subjek dibiarkan tenggelam dalam relasi sosialnya untuk terus melanggengkan kapitalisme. Meskipun demikian, pengertian ideologi yang sangat ekstrim tersebut sebetulnya hanya dapat dipahami secara utuh melalui konsep Althusser sebelumnya, yaitu overdeterminasi, di mana ideologi yang terletak pada dimensi suprastruktur juga dapat mempengaruhi basis. Dengan cara seperti itu maka teori ideologi Althusserian dapat dibaca secara lebih positif, bahwa overdeterminasi memungkinkan untuk menciptakan interpelasi diferensial.
Kata kunci : ideologi, individu, interpelasi, subjek, overdeterminasi, interpelasi diferensial
Abstrack
Althusser's theory of ideology that has always interpellated the individual as a subject is often seen as a pessimism, it is because the subject is allowed to settle in social relation to continue perpetuating capitalism. Nonetheless, the notion of extreme ideology was actually only be fully understood through the concept of the previous Althusser’s, that is overdetermination, where the ideology that is located on the dimensions of the superstructure can also affect the base. In this way the Althusserian theory of ideology can be read more positively, that overdetermination is possible to create differential interpellation.
Keywords : ideology, individual, interpellation, subject, overdetermination, differential interpellation
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
1. Pendahuluan
Louis Pieere Althusser atau yang biasa dikenal sebagai Louis Althusser merupakan
seorang filsuf marxis asal Perancis. Althusser dilahirkan pada 16 oktober 1918 di
Birmandreis, Aljazair dan meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 oktober 1990.
Semasa hidupnya Althusser tercatat sebagai mahasiswa filsafat di École Normale Supérieure
(ENS) Perancis dan pernah menjadi pengajar filsafat pula di dalamnya. Selama Althusser
menjadi seorang pengajar filsafat, ia terlibat aktif dalam berbagai forum diskusi mengenai
marxisme. Selain itu, Althusser juga rutin mempublikasikan gagasan-gagasanya dalam bentuk
esai mengenai marxisme itu sendiri.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang filsuf, Althusser kerapkali dikenal dengan teori
ideologinya. Pemikirannya mengenai ideologi tersebut terangkum dalam sebuah esainya yang
berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation) yang
berada pada bukunya yang berjudul Lenin and Philosophy. Dalam esainya tersebut, Althusser
memandang bahwa ideologi bukanlah kesadaran palsu (false consciousness) yang menutupi
realitas belaka sebagaimana yang dipahami oleh Marx. Sebelumnya menurut Marx sendiri
ideologi itu merupakan klaim-klaim palsu dan menyesatkan, yakni klaim yang mengatakan
sesuatu yang tidak benar.1 Sementara itu dalam pemikiran Althuser, ideologi justru
merupakan sebuah “gambaran” tentang hubungan imajiner antara individu-individu dengan
relasi-relasi sosialnya yang rill tempat mereka tinggal.2
Konsekuensi dari pendefinisian ideologi yang diungkapkan Althusser, maka adalah
mustahil bila kita dapat melepaskan diri dari ideologi sama sekali, sebab kita telah selalu
disituasikan oleh relasi-relasi sosial. Penyituasian tersebut digambarkan oleh Althusser
sebagai proses interpelasi individu sebagai subjek. Di mana interpelasi itu dapat dipahami
sebagai sebuah panggilan imajiner dari aparatus ideologis yang mengarah pada diri setiap
manusia sehingga ia mampu mengerti tentang apa dan siapa dirinya. Aparatus ideologis itu
sendiri merupakan institusi sosial seperti sekolah, keluarga, dan segala macam instrumen
sosial lainnya yang senantiasa hadir merendam manusia secara persuasif.
Sejak Althusser menuliskan teori ideologinya tersebut, ideologi yang dimaksudkannya
merujuk pada ideologi dominan. Sementara itu konteks dari ideologi dominan tersebut adalah
kapitalisme dalam kaitannya dengan relasi-relasi produksi. Singkatnya, salah satu relasi
produksi terpenting adalah tenaga kerja. Aparatus ideologis berfungsi menginterpelasi
1 Lihat E. Doyle Mc.Carthy, Knowledge as Culture: The New Sociology of Knowledge (New York: Routlege, 1996), hlm. 37. 2 Lihat Louis Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi (Yogyakarta:Resist-‐Book, 2007), hlm. 194.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
individu sebagai subjek semata-mata untuk menjadikan relasi-relasi produksi tersebut sebagai
sesuatu yang alamiah, netral, dan sudah begitu semestinya. Dengan cara seperti itu
kapitalisme dapat terus dilangsungkan dalam situasi tersebut.
Dari sini timbul sebuah problem, bahwasanya apabila karakteristik ideologi dalam
kerangka Althusserian yang dengan segala fiturnya itu telah selalu membentuk kesadaran dan
aktifitas manusia. Pertanyaannya masih mungkinkah mewujudkan perubahan sosial dalam
teori ideologi Althusserian yang tampak sangat ekstrim tersebut? Dalam ikhwal pertanyaan
seperti itulah, seorang teoritikus komunikasi John Fiske justru begitu pesimistik terhadap
Althusser. Di situ Fiske melihat bahwa agenda perubahan sosial itu tidak dimungkinkan
dalam kerangka pemikiran Althusser.3
Argumentasi yang disampaikan oleh Fiske sehingga ia jatuh pada pandangan seperti
itu tidak lain akibat dari konsepsi subjek dari Althusser itu sendiri. Di mana subjek dalam
pemikiran Althusser merupakan sesuatu yang telah selalu dibentuk oleh aparatus ideologis.
Terlebih bahwa pada Althusser tidak terdapat tendensi untuk mengemansipasi subjek dari
jerat ideologi sama sekali. Subjek dibiarkan tergeletak begitu saja oleh Althusser mengikuti
arus relasi-relasi sosial. Rasanya sudah tidak ada lagi ruang lagi bagi subjek untuk melakukan
agenda perubahan sosial.
Meskipun demikian, menurut saya kemustahilan agenda perubahan sosial dari
kerangka ideologi Althusserian itu sebetulnya hanya akan berlaku apabila tesis fundamental
marxisme, yaitu bangunan metafor masyarakat dibayangkan sebagai basis yang
mendeterminasi suprastruktur. Di mana ideologi sebagai salah satu lantai di samping legal-
politik tunduk secara saklek terhadap basinya yang kapitalistik. Dan di sini perlu dicatat
bahwa sebelum Althusser menulis mengenai teori ideologinya, Althusser telah
mempersoalkan mengenai tesis fundamental basis-suprastruktur tersebut. Di mana Althusser
merekonstruksi relasi yang dipahami oleh para marxis sebagai relasi satu arah menjadi relasi
yang resiprokal, dalam arti bahwa suprastruktur nyatanya menurut Althusser juga dapat
mempengaruhi basisnya secara relatif.
Rekonstruksi terhadap relasi basis-suprastruktur dari Althusser inilah yang seringkali
luput dari para pembaca yang mengkonsumsi pemikiran ideologi Althusser. Untuk itu, dalam
kesempatan ini saya ingin menunjukan bahwa sebetulnya pemikiran ideologi dapat dibaca
3 Sebagaimana yang diungkapan oleh Fiske: “Gramsci’s theory makes social change appear possible, Marx’s makes it inevitable, and Althusser’s improbable.” Lihat John Fiske, Introduction To Communication Studies (London:Routledge, 1990), hlm. 178.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
secara positif, yaitu bahwa karya Althusser yang mengulas mengenai overdeterminasi dan
kaitannya dengan sains sejarah (materialisme historis) patut dipertimbangkan sebelum
membaca pemikiran Althusser mengenai ideologi. Dengan cara seperti itu, saya akan
membuktikan bahwa sebetulnya interpelasi itu tidaklah tunggal hanya untuk kepentingan
kapitalisme belaka, melainkan bahwa ada kemungkinan interpelasi yang anomali terhadap
basisnya akibat bangunan metafor masyarakat yang berupa overdeterminasi.
2. Tinjauan Teoritis
Penelitian ini meletakan pemikiran marxisme struktural Louis Althusser sebagai objek
kajian. Intensi saya adalah untuk memberikan gambaran yang benar-benar utuh terhadap
pemikiran Althusser. Sebabnya lebih dari kapanpun juga, ketika kita membicarakan Althusser
asosiasi kita kerapkali jatuh pada pemikirannya yang terangkum pada kumpulan esai yang
dibukukan olehnya berjudul “Lenin and Philosophy and Other Essays”. Terlebih lagi dalam
kumpulan esai tersebut, hanya satu esai yang benar-benar kita fokuskan yakni “Ideology and
Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation)”. Paradoksnya ketika kita
berfokus pada esai tersebut, perhatian kita ternyata bukan pada bagian pertama dari esai yang
membahas mengenai problem relasi-relasi produksi, melainkan hingga detik ini perhatian kita
mengarah pada bagian kedua esai tersebut yang membahas mengenai teori ideologi dan
peroblem subjektifikasi yang begitu diwarnai oleh psikoanalisa lacanian. Sehingga tidak
mengherankan kesimpulan yang mungkin muncul adalah bahwa Althusser adalah seorang
fatalis karena membiarkan subjek terus tenggelam dalam ideologi yang dibalut dalam
hamparan relasi-relasi sosialnya.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini saya akan sedikit mundur ke belakang setidaknya
pada karya Althusser awal yang berjudul “For Marx” dan “Reading Capital”. Di mana
sebetulnya melalui dua buku tersebut, Althusser yang mulanya hanya pengajar filsafat biasa
menjadi terkenal namanya di tingkat Internasional. Hal itu terjadi karena di dalam bukunya
tersebut, Althusser merekonstruksi sains sejarah marxian dari segala macam serangan
idealisme hegelian mengenai ekonomisme dan humanisme. Dan bila kita membaca buku
tersebut, kita akan mendapat gambaran secara utuh bahwa nyatanya teori ideologi Althusser
sebetulnya tidak lebih dari salah satu teori yang ada pada sains sejarah. Terlebih bahwa di
tangan Althusser, sains sejarah nantinya menjadi semacam senjata bagi kelas proletariat untuk
melakukan revolusi.
Dengan cara mundur ke belakang, kita akan dapat pemahaman secara komprehensif
bahwa dalam marxisme struktural Louis Althusser. Konsep subjek memang hanya tunduk
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
pada struktur. Sementara perubahan sosial akan dilakukan pada struktur itu sendiri yang
menurut Althusser__dalam konteks struktur kapitalisme__secara objektif berisi kontradiksi
yang manifestasinya adalah pertentangan kelas borjuis dan kelas proletariat. Dalam
pengertian Althusser tersebut, maka massa proletariat yang akan membuat perubahan sosial
dengan segenap totalitasnya.
3. Metode Penelitian
Sebagaimana penelitian filsafat pada umumnya, maka langkah pertama dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kepustakaan. Untuk itu saya menggunakan
sumber-sumber primer dari Louis Althhusser. Seperti Lenin and Philosophy and Other
Essays, For Marx, Reading Capital, The Humanist Controversy and Other Writings, Essays
in Self Criticism. Untuk yang saya sebutkan pertama yaitu Lenin and Philosophy and Other
Essays, saya menggunakan buku terjemahan bahasa Indonesia yang diberi judul Filsafat
Sebagai Senjata Revolusi. Meskipun tentu saja, saya tetap menoleh pada versi berbahasa
Inggrisnya agar tidak terjadi salah tafsir. Selain penelusuran kepustakaan primer, saya juga
akan menelusuri kepustakaan sekunder yang berupa pembacan orang lain terhadap pemikiran
Althusser. Hal penting lainnya, saya juga berusaha menelusuri pemikiran seperti apa dan dari
siapa saja yang telah mempengaruhi pemikiran Althusser.
Langkah kedua dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode hermenutika
dari Schleiermacher, utamanya mengenai konsep lingkaran hermeneutis yang ia tawarkan. Di
situ saya menerapkannya dalam bentuk praksis untuk memahami pikiran Althusser. Melalui
lingkaran hermeneutis maka saya akan dapat memahami teks Althusser sebagai proses
rekonstruksi. Dalam arti bahwa kita dapat memahami sesuatu karena kita
mengkomparasikannya dengan sesuatu yang telah kita ketahui. Di mana tindakan memahami
itu saya peroleh dengan cara melihat semua bagian dari teks yang berupa esai-esai Althusser
yang berserakan namun sebetulnya saling berhubungan satu sama lain.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Ideologi dan Reproduksi Masyarakat Kapitalis
Secara garis besar, Althusser memandang bahwa tatanan kapitalisme dilanggengkan
oleh dua aparatus yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu aparatus represif
negara__ARN (repressive state apparatus) dan aparatus ideologis negara__AIN (ideological
state aparatus). Yang pertama, yakni aparatus represif negara merupakan konsep yang
digunakan oleh Althusser untuk mereferensikan mengenai aparatus negara dalam pandangan
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
teoritikus marxis secara umum. Artinya aparatus represif negara dalam hal ini terdiri dari
negara, pemerintah, polisi, milter, hukum, pengadilan ataupun penjara. Cara kerja dari
aparatus represif tersebut menurut Althusser ialah dengan menggunakan jalan kekerasan.
Yang kedua, yakni aparatus ideologis negara merupakan sebuah aparatus yang bekerja secara
ideologis, yang berwujud institusi-institusi publik maupun privat seperti sekolah, media,
agama dan lain sebagainya yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat.
Dalam hal ini Althusser membaca tatanan kapitalisme sebagai sebuah formasi sosial
pada konteks reproduki relasi-relasi produksi. Di situ Althusser menemukan bahwa aparatus
represif negara melaksanakan daya represifnya dengan menciptakan kondisi-kondisi politik
bagi dimungkinkanya relasi-relasi produksi. Sementara melalui aparatus ideologis negara,
reproduksi relasi-relasi produksi dimungkinkan karena ideologi mampu memberikan
semacam ‘ketersediaan kultural’ agar seseorang dapat tunduk pada ideologi dominan tersebut.
Dengan begitu tercipta suatu naturalisasi terhadap relasi produksi sehingga menjadi nampak
alamiah dan seolah sudah kodratnya demikian. Selebihnya, dalam membicarakan reproduksi
relasi-relasi produksi tersebut, Althusser menaruh porsi yang sangat besar pada aparatus
ideologis negara dan terutama mengenai ideologi itu sendiri.
Lebih lanjut, di antara banyaknya aparatus ideologis yang merendam masyarakat,
Althusser melihat bahwa wahana terbaik dalam menundukan seseorang pada konteks
feodalistik Eropa masa lalu adalah gereja dan keluarga. Keduanya mampu membimbing
masyarakat untuk mengamankan moda produksi kala itu. Sedangkan untuk konteks saat ini,
Althusser berpandangan bahwa peran gereja telah digantikan sedemikian rupa oleh institusi
pendidikan. Sehingga pasangan yang begitu serasi dan dominan adalah sekolah dan keluarga.
Di dalam sekolah misalnya, seseorang diajarkan setiap hari untuk mengenyam ilmu yang
dimaterialkan dalam bentuk ijazah-ijazah. Sekolah kemudian menciptakan tenaga kerja yang
siap pakai. Sementara di dalam keluarga, seorang anak misalnya dituntut oleh orangtuanya
untuk menjadi anak yang bermanfaat dan dapat memperbaiki keadaan ekonomi keluarga.
Akhirnya si anak memiliki cita-cita untuk mejadi seorang direktur perusahaan multinasional
di masa depan. Kesemuanya itu dilakukan tanpa paksaan dan terasa begitu alamiah.
Kapitalisme pun dapat terus dilanggengkan dalam kondisi yang seperti itu.
Dalam bahasa yang lebih spesifik, menurut Althusser ideologi itu telah bercokol di
setiap sudut kehidupan manusia. Dunia seorang manusia merupakan dunia yang terbingkai
oleh struktur. Dalam kapitalisme, maka struktur yang membingkai manusia tidak lain adalah
struktur eksploitatif yang memiliki watak menindas. Akan tetapi dengan adanya ideologi,
manusia mempercayai begitu saja bahwa segala struktur yang tengah mengitarinya sebagai
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
sesuatu yang tampak alamiah dan sudah sewajarnya seperti itu, sehingga manusia pun enggan
menanyakan ulang mengenai struktur tersebut. Manusia menjalani tujuan dari struktur
tersebut secara mekanis. Kalaupun manusia merasa bebas dalam kehidupannya, itu tidak lain
sekadar efek samping agar manusia seolah-olah memiliki tanggungjawab. Dengan begitu
manusia akan memiliki kewajiban untuk melayani kepentingan struktur yang mengitarinya
tanpa terbebani sama sekali.
Ketidaksadaran manusia sebagai efek dari ideologi dalam pandangan Althusser
tersebut pada dasarnya dipinjam olehnya dari penafsiran Lacan terhadap psikoanalisa
Freudian, tentu itu tidak mengherankan mengingat bahwa Althusser juga sangat mengagumi
psikoanalisa, bahkan Althusser menulis esai yang cukup panjang yang berjudul Freud and
Lacan di tahun 1964. Untuk itu perlu dipahami bahwa apa yang psikoanalisis dari teori
ideologi Althusserian adalah mengenai problem ketidaksadaran dan kaitannya dengan subjek.
Sebagaimana yang dapat kita telusuri, Lacan merupakan seorang psikoanalis yang
secara panjang lebar membahas mengenai terbentuknya subjek. Proyek utamanya berbicara
seputar narcissism, the image, the ideal dan menjawab bagaimana kepribadian mampu
melampaui batas tubuh dan dikonstitusi oleh kompleksitas jaringan sosial4 Dalam kaitannya
dengan hal tersebut, formulasi Lacan yang paling awal adalah teorinya mengenai fase cermin
(mirror phase). Di mana Lacan bermula pada anggapan bahwa semua manusia lahir secara
prematur. Dalam pengertian yang seperti itu, Lacan melihat bahwa seorang bayi yang berusia
6-18 bulan belumlah dapat mengenali perbedaan antara diri dan objek seluarnya. Untuk itu
pemahaman si bayi mengenai identitasnya diperoleh melalui cermin. Melalui cermin, bayi
melihat kenampakan dirinya sendiri. Di situ si bayi akan mengidentifikasi dirinya dengan
membandingkan pantulan dirinya sendiri di cermin itu sebagai sesuatu yang lain.
Konteks psikoanalisa Lacanian inilah yang menggiring Althusser untuk masuk pada
problem subjektifikasi. Dari sini subjektifikasi di artikulasikan oleh Althusser sebagai
penciptaan individu sebagai subjek. Dalam hal ini subjektifasi dilakukan oleh aparatus
ideologis, sehingga subjektifasi tidak lain adalah proses pencerminan atas subjek yang
diharapkan dan diidealkan oleh aparatus ideologis itu sendiri. Di mana setiap subjek yang
terbentuk akan menyesuaikan diri, berpatisipasi, dan bertindak patuh terhadapnya. Sementara
itu ideologi sebagai cara kerja aparatus ideologis berfungsi untuk menjalankan subjektifikasi.
Dalam skema yang seperti itu, seorang teortikus komunikasi, yaitu John Fiske yang
telah mengenalkan teori ideologi Althusser untuk kajian media memandang bahwa terdapat
4 Lihat Darian Leader & Judy Groves, Introduction Lacan (Cambridge: Icon Books, 2000), hlm. 13.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
problem akan bagaimana melakukan perubahan sosial dalam kerangka pemikiran Althusser.
Di dalam bukunya Introduction To Communication Studies, pertama-tama Fiske
mengelaborasi pemikiran-pemikiran mengenai ideologi dari pemikir marxis secara umum.
Dari situ Fiske lalu melihat bahwa dalam tradisi marxis, perubahan sosial a’la Marx tidak
dapat dielakan (inevitable), sementara pada Gramsci perubahan sosial adalah mungkin
(possible), dan pada Althusser perubahan sosial adalah mustahil (improbable). Bagi Fiske,
perubahan sosial dari Marx tidak terelakan karena tujuannya yang ingin membebaskan
manusia dari ideologi dengan sains yang bermuara pada hadirnya kontradiksi pada moda
produksi kapitalis. Sementara itu pada Gramsci, perubahan sosial bahkan lebih dimungkinkan
karena adanya ideologi yang menjadi hegemoni tandingan (counter hegemony), dan itu dapat
menghantam formasi sosial kapitalis secara langsung. Sebaliknya pada Althusser, perubahan
sosial menjadi mustahil karena manusia setiap detiknya selalu terendam oleh fomasi sosial
utamanya melalui aparatus ideologis, sehingga di tangan Fiske, teori ideologi Althusser
nampak jatuh pada suatu pesimisme belaka.
4.2 Overdeterminasi sebagai relasi Baru Basis-Suprastruktur
Apabila kita membaca teori ideologi Althusser seperti itu, tentu komentar dan
kesimpulan yang akan kita dapatkan adalah seperti halnya Fiske, bahwa Althusser telah gagal
dalam menyediakan agenda perubahan sosial. Akan tetapi, kita juga harus mengingat bahwa
sebelum Althusser menuliskan teori ideologinya yang sangat ekstrim tersebut, Althusser telah
menuliskan sebuah karya lainnya, utamanya yang terpenting adalah For Marx dan Reading
Capital. Di mana dua buah karya tersebut mengurai mengenai kespesifikasikan capital dan
kaitannya dengan sains dan filsafat marxis. Di mana sains marxis, yaitu sains sejarah
merupakan sains yang mengkaji formasi sosial, sementara filssafat marxis bertugas menjadi
dasar epistemologis bagi produksi pengetahuan sains.
Perlu dicatat bahwa dalam Reading Capital dan utamanya dalam For Marx, Althusser
mempersoalkan mengenai tesis fundamental basis-suprastruktur. Hal ini menjadi penting
karena dalam tafsir umum terhadap marxisme, tesis fundamental terhadap bangunan metafor
masyarakat itu kerap digambarkan sebagai basis yang mendeterminasi suprastruktur. Dalam
artian bahwa moda produksi (ekonomi) menentukan segala macam aspek suprastruktur yang
ada di atasnya seperti sosial, politik, budaya dan lain sebagainya. Untuk itu Althusser
merekonstruksi relasi satu arah yang kerap dipahami sebagai basis mendeterminasi
suprastruktur menjadi relasi yang resiprokal, dalam arti bahwa menurut Althusser antara basis
maupun suprastruktur memiliki problematika dan logika di internalnya masing-masing.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
Pandangan baru terhadap relasi basis-suprastruktur dari Althusser itu pertama-tama
dijajaki olehnya dengan kembali pada capital Marx, dalam arti Althusser hendak mencari apa
yang sebetulnya ada di dalam pikiran Marx yang sesungguhnya, yaitu suatu authentic
principles dari Marx itu sendiri.5 Dan dalam misi pencarian tersebut, Althusser mengklaim
bahwa tesis dasar marxisme mengenai basis yang mendeterminasi suprastruktur adalah keliru.
Sebabnya bila memahami marxisme seperti itu, maka menurut Althusser kita akan terjebak
pada suatu idealisme hegelian. Padahal, menurut Althusser intensi Marx adalah lepas dari
seluruh pengaruh hegelianisme.
Althusser sendiri melihat bahwa yang menjadi titik tolak dari pandangan determinasi
satu arah bersumber pada tafsiran umum terhadap Marx mengenai “membalikan Hegel”
(Inverting Hegel). Perlu dipahami sebelumnya bahwa dalam Hegel proses pikiran (process of
thought) itu dilalui via otonomi subjek di bawah ide yang merepresentasikan fenomena
eksternal.6 Sementara itu bagi Marx ide itu tak berarti apa-apa melainkan justru yang material
itulah yang diterjemahkan dalam kepala manusia. Skema pembalikan itu tentu juga kian akrab
bagi pemahaman umum kita tatkala setiap dari kita menyebut Marx, maka seketika terlintas
mengenai Hegel. Kita pun biasa memaknai dialektika Marx sebagai sekadar pemadatan dari
idealisme hegelian ke dalam bentuk material.
Sementara itu, menurut Althusser momen lepasnya Marx dari pengaruh Hegel melalui
‘pembalikan’ justru jangan ditafsirkan sebagai apa yang lebih esensial dari apa, bukan lagi
pada mana yang lebih esensial di antara ekonomi atau idea, melainkan bahwa sebetulnya
kecenderungan Marx sudah sejak awal tidak menempatkan basis (ekonomi) sebagai esensi
absolut. Dalam pengertian bahwa pembalikan semmacam itu tetaplah terjebak dalam sebuah
dialektika hegelian (exact mirror image of the Hegelian dialectic), bahwa seolah-olah ada
suatu esensi yang menggerakan fenomena.7
Untuk menunjukan kesalahpahaman dari tesis dasar tersebut, Althusser kian
menengok sejarah yang memperlihatkan bahwa betapa pada abad pertengahan, religiositas
yang mewujud pada tubuh kekuasaan Gereja itu nyatanya lebih kuat daripada ekonomi itu
sendiri, tetapi justru melalui situasi seperti itu pelanggengan sistem feodal tetap terjadi.
Sehingga menurut Althusser, antara basis dan suprastruktur itu dapat saling mempengaruhi,
5 Ibid., 109. 6 Althusser, For Marx, hlm. 89. 7 Mengenai hal ini Althusser mengatakan bahwa tafsir umum melihat: “While for Hegel, the politico-‐ideological was the essence of the economic, for Marx, the economic will be the essence of the politico-‐ideologi-‐cal.” Artinya bagi Althusser bila Marx ditafsirkan demikian, maka Marx menjadi tetap seperti Hegel, dalam artian sama-‐sama percaya pada suatu esensialisme. Ibid., 108.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
inilah yang kemudian disebut oleh Althusser sebagai overdeterminasi. Konsekuensinya
suprastruktur seperti politik, ideologi, hukum dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi
basis secara relatif. Di situ suprastruktur memiliki suatu konsistensi internalnya sendiri yang
tidak selalu harus tunduk terhadap basis.
Untuk memperkuat argumentasinya mengenai overdeterminasi tersebut, Althusser
berhutang budi terhadap gagasan yang ditulis oleh Mao Tse-Tung berjudul On Contradiction.
Singkatnya, Althusser menanggapi tulisan Mao itu ke dalam tiga konsep yang menurutnya
luar biasa. (1) distingsi antara kontradiksi pokok dan kontradiksi sekunder, (2) distingsi antara
aspek pokok dan aspek sekunder dari tiap-tiap kontradiksi, (3) perkembangan tak seimbang
(uneven development) dari kontradiksi.8
Selebihnya perhatian Althusser difokuskan pada konsep ketiga yakni mengenai
perkembangan tak seimbang dari kontradiksi. Dengan cara berfokus pada konsep yang ketiga,
kespesifikasikan dari relasi antar kontradiksi tersebut dapat terlihat dengan jernih.
Bahwasanya relasi antar kontradiksi ternyata tidak statis dan seimbang, melainkan dinamis
dan selalu tidak seimbang. Sebabnya antara kontradiksi pokok dengan kontradiksi sekunder
dapat bertukar peran. Pun aspek-aspek di dalam kontradiksi pokok maupun pada kontradiksi
sekunder itu sendiri juga dapat bertukar peran.9
Elaborasi Althusser terhadap tulisan Mao tersebut sebetulnya dapat dipahami dari
konteksnya, yaitu sudut pandang problem ‘pembalikan’ yang menyibak inti rasional dalam
cangkang mistis (the rational kernel within the mystical shell). Dan sebagaimana komentar
yang disampaikan oleh seorang komentator pemikiran Althusser yang bernama Callinicos,
bahwa inti rasional dalam cangkang mistis dari Marx yang dikutip oleh Althusser itu
sebetulnya sedang merujuk pada konsepsi dasar dari sejarah yang dimotori oleh kontradiksi
internal di dalamnya.10 Latar berlakang mengenai kontradiksi internal itulah yang sebetulnya
sedang digarap dan ingin dienyahkan oleh Althusser melalui elaborasinya terhadap Mao. Hal
ini dilakukan Althusser karena menurutnya apabila kita mempertahankan kontradiksi internal
belaka, maka itu persis seperti dialektikanya hegelian. Di mana dialektika hegelian itu adalah
sesuatu hal yang harus dihindari karena tidak dapat memproduksi pengetahuan dan hanya
berputar-putar di dalam penciptaan diri konsep belaka.
Dalam kaitannya dengan kontradiksi internal, maka adalah perlu membicarakan relasi
internal yang dipahami sebagai sebab internal perubahan. Dalam pengertian yang seperti itu,
8 Althusser, For Marx, hlm. 194. 9 Ibid., 211. 10 Lihat Alex Callinicos, Althusser's Marxism (London: Pluto Press, 1976), hlm. 40.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
Mao memandang bahwa pada materialisme maka sebab internal saja tidak cukup, melainkan
baginya perlu untuk mempertimbangkan adanya sebab eksternal.11 Untuk itu Mao selanjutnya
mengerahkan pikirannya untuk meneliti mengenai adanya sebab-sebab tersebut dalam
kaitannya dengan perubahan. Sebuah ilustrasi sederhana pun sekiranya telah diberikan oleh
Mao agar kita dapat mengerti alur pikirnya secara lebih mudah. Di mana Mao mencontohkan
bahwa dengan suhu yang cocok, telur berubah menjadi anak ayam, tetapi suhu tak mungkin
mengubah batu menjadi anak ayam, karena dasar masing-masing berbeda.12
Dengan cara seperti itu, sebab internal adalah syarat utama bagi perubahan, misalnya
telur ayam pasti melahirkan anak ayam. Sementara itu sebab eksternal akan memainkan
peranannya dengan cara mengkonstitusi sebab internal tersebut. Seperti halnya pada suhu
tertentu maka telur ayam akan menetas menjadi anak ayam, namun satu hal yang paling pasti,
suhu memang tidak akan pernah sekalipun mengkonstitusi telur ayam untuk menetas menjadi
batu. Atau paling tidak bila suhu di luar sedang tidak bersahabat maka yang paling mungkin
hanyalah telur ayam menjadi busuk namun tetap disebut sebagai telur ayam.
Sementara itu, bila kita kembali berbicara mengenai relasi internal, maka relasi
internal itulah yang sebetulnya merupakan kontradiksi. Dalam pengertian bahwa setiap
kontradiksi selalu memiliki relasi internal yang bersifat antagonistik. Di sisi lain, Mao juga
memandang bahwa dalam alam dunia ini terdapat keragaman kontradiksi. Dengan suatu
asumsi bahwa ditengah keragaman kontradiksi terdapat kontradiksi yang dominan, yakni
suatu kontradiksi yang kehadirannya akan mempengaruhi kontradiksi-kontradiksi lainnya.
Kontradiksi dominan itulah yang tidak lain merupakan kontradiksi pokok. Sementara
kontradiksi lainnya yang tidak dominan disebut sebagai kontradiksi sekunder. Sebagai contoh
kontradiksi pokok yang ada pada kapitalisme adalah pertentangan antara borjuis dan proletar.
Kontradiksi lainnya yang bersifat sekunder adalah kontradiksi antara proletar dan petani
borjuis kecil.
Berangkat dari elaborasinya terhadap Mao itulah Althusser mengaitkannya secara
lebih eksplisit dengan mengatakan bahwa suprastruktur dapat mendeterminasi balik dengan
otonomi relatifnya terhadap basis. Relatifnya otonomi suprastruktur tersebut sekiranya telah
menghidupkan kembali visi kontradiksi pokok Mao dengan mempertimbangkan adanya tukar
11 Perlu dicatat bahwa dalam terjemahan Indonesia, istilah sebab internal dan eksternal tersebut dibahasakan sebagai ‘sebab dalam’ dan ‘sebab luar’. Saya di sini menggantinya dengan ‘sebab internal’ dan ‘sebab eksternal’ agar koherensi penelitian saya ini tidak kacau secara linguistik. Lihat uraian Mao Tse-‐Tsung, Tentang Kontradiksi, 1937. Buku terjemahan Mao tersebut saya dapatkan pada https://www.scribd.com/doc/229749578/Mao-‐Tentang-‐Kontradiksi 12 Ibid., 4
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
peran antara aspek pokok dan sekunder. Dengan kata lain, dalam proyek purifikasi
marxismenya tersebut, Althusser dapat kita pandang tengah mengelaborasi Mao sebagai jalan
keluar agar kontradiksi internal jangan sampai disalah-artikan sebagai kontradiksinya
hegelian. Atau dalam bahasa yang lebih spesifik, Althusser berusaha melihat inti rasional dari
cangkang mistis tanpa terjebak pada pemahaman akan kontradiksi internal belaka, terhindar
dari kausalitas mekanis sehingga terhindar pula dari adanya esensi yang menggerakan
fenomena.
4.3 Massa sebagai Agen Perubahan Sosial
Berbicara mengenai marxisme secara umum tentu tidak akan lengkap bila kita tidak
menyinggung mengenai kelas sosial maupun perjuangan kelas. Terlebih mengingat bahwa
pada konsepsi Althusser, dua term tersebut merupakan fondasi teoritik dari sains sejarah itu
sendiri. Dalam pengertian seperti itu, Althusser dengan mengamini Marx memandang bahwa
masyarakat dapat dianalisis pada satuan kelas-kelas sosial yang terdiri dari kelas borjuis dan
kelas proletar. Di mana relasi yang terjalin antara kelas borjuis dan kelas proletar itu adalah
relasi antagonistik dan tidak terdamaikan sama sekali. Antagonisme itu sendiri bermula
karena adanya suatu eksploitasi yang dilakukan oleh kelas borjuis terhadap kelas proletar.
Menurut Althusser, muara dari adanya kelas sosial tersebut adalah adanya perjuangan
kelas dari proletar. Perjuangan kelas proletariat dalam pandangan Althusser sendiri
merupakan sesuatu yang objektif dan merupakan keniscayaan dari moda kapitalistik yang
eksploitatif. Untuk itu, Althusser mengkalim bahwa ada semacam ‘naluri kelas’ yang dimiliki
oleh borjuis maupun proletar. Untuk yang disebutkan pertama memiliki ‘naluri kelas’ yang
borjuis, sementara yang disebutkan kedua memiliki ‘naluri kelas’ yang proletariat.13
Bagi Althusser sendiri, para borjuasi senantiasa dibutakan oleh ideologi borjuisnya,
sehingga dengan cara apapun borjuasi menutupi adanya eksploitasi yang tengah dilakukan
olehnya. Sementara itu, kaum proletar menurut Althusser memang sedikit banyak tenggelam
dalam imaji-imaji ideologi borjuis, namun Althusser menunjukan bahwa kaum proletar tidak
akan gagal dalam melihat eksploitasi yang tengah menimpanya. Hal itu dapat terjadi karena
kaum proletarlah yang setiap harinya menjalani eksploitasi tersebut, sehingga pada galibnya
kaum proletar memiliki prasangka bahwa dirinya sedang ditindas.
13 Althusser, Filsafat sebagai Senjata Revolusi, hlm. 115.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
Dalam kaitannya dengan sejarah, Althusser memandang bahwa hanya massa yang
dapat membuat sejarah.14 Pertanyaanya kemudian massa yang seperti apa yang dimaksudkan
oleh Althusser? Bagi Althusser massa yang akan membuat sejarah merujuk pada massa yang
tertindas, yakni kelas-kelas sosial, strata sosial, kategori-kategori sosial yang tertindas, bersatu
dalam kelas tertindas yang mampu menyatukan mereka dalam suatu gerakan melawan kelas-
kelas dominan yang memegang kekuasan negara15
Oleh karenanya, kita perlu meluruskan bahwa di dalam kerangka pemikiran Althusser,
secara tegas dibedakan antara subjek dan massa. Apabila subjek itu lebih merupakan entitas
dari manusia-manusia yang partikular seperti Haryo sebagai subjek, Kardi sebagai subjek dan
lain sebagainya. Massa merupakan unikum manusia yang disatukan oleh kondisi dan
pengalaman bersama akan ketertindasan tersebut. Sementara itu pada konteks kapitalisme,
massa proletariatlah yang akan membuat sejarah.16 Di mana muasal dari penindasan yang
dialami oleh proletariat adalah akibat corak produksi yang eksploitatif.
Lebih lanjut, dengan adanya otonomi relatif dari suprastruktur kemudian
mengindikasikan bahwa aparatus ideologis yang ditentukan oleh basisnya, pada suatu waktu
juga dapat mempengaruhi basisnya itu sendiri. Artikulasi dari otonomi relatifnya itu paling
jelas dapat kita lihat pada hadirnya partai komunis. Dalam kaitannya dengan hal itu, apa yang
tengah dilakukan Althusser sebetulnya adalah menggarisbawahi kembali mengenai arti
pentingnya organisasi buruh seperti peran partai yang dapat mengorganisir buruh itu sendiri
berdasarkan teori-teori ilmiah dari sains sejarah.
Apabila kita berbicara subjek, maka yang nampak adalah tindakan subjek yang
dideterminir oleh aparatus ideologis. Akan tetapi, nyatanya menurut Althusser bukanlah
subjek yang membuat perubahan sosial, melainkan massa yang akan bertindak berdasarkan
keterangan-keterangan dari sains sejarah dengan memanfaatkan aparatus ideologis itu sendiri.
Di mana partai dalam hal ini merupakan wujud organisasi massa yang merupakan bagian dari
aparatus ideologis dan terletak pada dimensi suprastruktur.
4.4 Interpelasi Diferensial
Di dalam penelitian ini saya hendak menawarkan suatu konsep baru agar seluruh
bangunan teoritik Althusserian mengenai sains sejarah dapat kita baca secara positif, yaitu
sebuah konsep yang saya sebut sebagai ‘interpelasi diferensial’. Berangkat dari pembacaan
14 Althusser, Essays in Self Critism, hlm. 44. 15 Ibid. 16 Ibid., 47.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
yang saya lakukan terhadap teks-teks Althusser, istilah tersebut tentu tidak akan pernah kita
temui sama sekali. Meskipun begitu, saya merasa bahwa kecenderungan dari bangunan
teoritik Althusserian dapat disederhanakan melalui konsep tersebut. Hanya saja ia memang
tidak menyampaikannya secara eksplisit
Pertanyaanya kemudian, mengapa interpelasi diferensial yang terjadi dalam kerangka
pemikiran Althusser? Jawaban dari pertanyaan ini dapat kita jawab dengan mudah,
bahwasasnya alur bepikir Althusser sejatinya tidak mengizinkan subjek untuk melakukan
resistensi sama sekali, satu-satunya agensi adalah proletariat yang memiliki cita rasa bersama
akan ketertindasan, sehingga interpelasi diferensial berarti segala macam interpelasi yang
dilakukan oleh aparatus ideologis untuk memanggil dan menguatkan prasangka dan ‘naluri
kelas’ yang dimiliki oleh proletariat untuk menjalankan revolusi.
Interpelasi dalam hal ini berarti juga merupakan sesuatu yang netral dan dan akan
selalu dibutuhkan pada setiap masyarakat. Dalam konteks formasi sosial kapitalis yang berisi
antagonisme kelas, maka interpelasi di satu sisi akan berguna untuk melanggenkan status quo,
namun di sisi lain interpelasi juga memiliki daya revolusionernya tersendiri. Apabila aparatus
ideologis pada masyarakat kapitalis menginterpelasi individu sebagai subjek untuk
mengafirmasi relasi-relasi produksi yang sebetulnya penuh penindasan, maka aparatus
ideologis seperti partai komunis pada masyarakat kapitalispun dapat pula menginterpelasi
proletariat; individu sebagai subjek untuk memperkuat prasangka secara saintifik bahwa
dirinya memang tengah ditindas. Dari situ interpelasi diferensial dapat saya terjemahkan
sebagai upaya pemanggilan imajiner subjek yang berbeda bila dibandingkan dengan
pemanggilan imajiner subjek secara umum.
Dengan adanya overdeterminasi yang memungkinkan terjadinya otonomi relatif
terhadap suprastruktur, yang dalam hal ini adalah aparatus ideologis, maka perubahan sosial
menjadi mungkin. Resistensi tetap dapat dilangsungkan pada formasi sosial kapitalis
sekalipun yang secara ekstrim telah menjadikan individu sebagai subjek. Dalam bahasa lebih
yang sederhana, interpelasi diferensial merupakan interpelasi tandingan. Di mana massa
proletariat sebagai agen perubahan sosial akan memanfaatkan cara kerja dari interpelasi itu
sendiri. Dari sini dapat kita dengungkan ungkapan penutup bahwa ‘there is an alternative!’
5. Kesimpulan
Secara garis besar, penelitian ini ditujukan untuk menjawab satu hal yang cukup
krusial, yakni mungkinkah terjadinya perubahan sosial dalam kerangka pemikiran Althusser?
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
Dengan berangkat dari seluruh paparan yang saya berikan, maka jawaban yang dapat saya
katakan adalah ‘mungkin!’. Dalam segala kemungkinannya itu, satu hal yang paling pasti
adalah kita tidak mungkin dapat membaca Althusser tanpa mengaitkannya pada konteks, serta
mengaitkannya pada seluruh esai-esai yang dituliskan olehnya, karena bagaimanapun
Althusser memang lebih tertarik menuliskan pikiran-pikirannya dalam bentuk esai. Di situlah
letak kesederhanaan dari seorang Althusser beserta keterbatasannya, sehingga hanya berfokus
pada salah satu esainya saja berarti mereduksi kekayaan dari kompleksitas pemikiran
Althusser itu sendiri.
Pada mulanya, problem utama yang sedang diangkat dalam penelitian ini sebetulnya
berangkat dari sebuah esai yang berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes
towards an Investigation). Di dalam esai tersebut Althusser membangun konsepsi ideologi
yang telah selalu menginterpelasi individu sebagai subjek. Dalam skema yang seperti itu,
sepintas bahwa subjek tidak dapat melakukan resistensi sama sekali terhadap dimensi
sosialnya. Ideologi menjadi begitu maha kuasa terhadap subjek, dan subjek itu sendiri tunduk
dan patuh terhadap ideologi dominan, dalam hal ini ideologi dominan yang dimaksudkan
Althusser adalah kapitalisme. Hal itu kemudian kian dikaitkan dengan apa yang disebut
sebagai reproduksi relasi-relasi produksi, di mana hal tersebut diamankan secara ideologis
oleh berbagai macam aparatus ideologis negara yang berupa institusi-institusi sosial,
tujuannya melanggengkan tatanan masyarakat kapitalis, status quo pun terjadi.
Meskipun demikian, tesis akan kemustahilan perubahan sosial dari kerangka
pemikiran ideologi Althusser sebetulnya hanya akan terjadi apabila bangunan metafor
masyarakat dideskripsikan secara deterministik. Dalam artian hal itu hanya akan berlaku jika
formasi sosial berisi pandangan mengenai basis yang mendeterminasi suprastruktur. Di mana
basis (moda produksi kapitalistik) mendeterminasi seperangkat suprastruktur yang ada di
atasnya untuk melayani dan mengamankan kepentingan basisnya. Bila yang terjadi seperti itu,
maka interpelasi yang dilakukan berbagai macam aparatus ideologis terhadap individu untuk
menjadikannya subjek semata-mata hanya untuk mengafirmasi tatanan kapitalisme itu sendiri.
Berangkat dari problem tersebut, penelitian ini kemudian menelusuri secara lebih
mendalam akan rumitnya pemikiran Althusser, hingga tiba pada suatu titik awal bahwa di
dalam karya awal Althusser, utamanya For Marx dengan esainya Overdetermination and
Contradiction. Althusser telah merumuskan mengenai overdeterminasi yang isinya
menyatakan bahwa suprastruktur memiliki otonomi relatif tersendiri terhadap basisnya, di
saat yang sama basis diletakan sebagai pokok penentu dalam hal akhir. Konsep
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
overdeterminasi itulah yang sekiranya luput diperhatikan oleh Fiske, maupun khalayak lain
yang sedang membaca pemikiran ideologi Althusser.
Untuk itu apabila kita berbicara mengenai teori ideologi Althusser dengan nada yang
pesimistik seperti Fiske, maka sebetulnya nada pesimisme tersebut telah lenyap tatkala
konsep interpelasi bertemu overdeterminasi. Di mana kehadiran konsep interpelasi itu sendiri
memiliki selisih tiga tahun bila dibandingkan dengan konsep overdeterminasi pada saat kedua
konsep tersebut diterbikan oleh Althusser di Perancis. Dengan hadirnya dua konsep tersebut,
agenda perubahan sosial di dalam kerangka pemikiran Althusser menjadi mungkin. Hal ini
karena overdeterminasi menyisakan ruang bagi suprastruktur seperti aparatus ideologis untuk
tidak tunduk terhadap basisnya, konsekuensinya interpelasi yang dilakukan pun dapat berbeda
dengan interpelasi yang diidealkan oleh basisnya tersebut. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, konsistensi internal yang dimiliki oleh suprastruktur maupun basis mengakibatkan
determinasi yang saling resiprokal.
Berbicara mengenai subjek, maka dalam pemikiran Althusser subjek itu pada galibnya
memang hanya menjadi hamba dari seluruh konstruksi sosial yang ada, namun itu bukan
berarti tindakan agensi menjadi mustahil, bagaimanapun Althusser justru melihat bahwa
perubahan sosial itu hanya dapat dilakukan oleh massa, yakni kumpulan orang-orang paling
lemah dan selalu tertindas yang lahir dari kontradiksi basis kapitalistik itu sendiri. Massa
dalam pemikiran Althusser kemudian diatribusikan pada massa proletariat, di mana
menurutnya proletariat tidak akan pernah gagal untuk memiliki prasangka bahwa dalam
tatanan kapitalisme dirinya sedang ditindas.
Berangkat dari hal tersebut, saya menyimpulkan bahwa dalam kaitannya dengan
overdeterminasi dan interpelasi, yang terjadi adalah interpelasi diferensial, yaitu suatu
pemanggilan subjek yang berbeda bila dibandingkan dengan pemanggilan subjek secara
umum. Hal ini erat kaitannya dengan suprastruktur yang memiliki otonomi relatifnya
tersendiri seperti pada partai komunis yang dapat mengorganisir massa untuk melakukan
revolusi, hanya terhadap massa interpelasi diferensial dapat berlaku. Di mana partai komunis
akan memberikan keterangan saintifik kepada proletariat untuk menyibak realitas
sebagaimana mestinya. Apabila kita kembangkan lagi, tidak hanya partai komunis saja yang
dapat memperkuat prasangka proletariat, melainkan segala macam suprastruktur lainnya
seperti film, musik, teater dan lain sebagainya juga dapat menginterpelasi proletariat untuk
melakukan resistensi. Dengan demikian, overdeterminasi telah membuka ruang bagi
terjadinya interpelasi diferensial sehingga perubahan sosial dimungkinkan dalam kerangka
pemikiran Althusser.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
6. Daftar Pustaka
Buku Primer :
Althusser, Louis . Essays in Self Critisism. Prepared © for the Internet by David J.
Romagnolo. 2003.
. ., dan Étienne Balibar, Reading Capital part 1-3. Prepared © for the Internet
by David J. Romagnolo. 2002.
. Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta:Resist-Book.2007.
. For Marx. London: Verso.1997.
. Lenin and Philosophy and Other Essays. London:Monthly Review Press.
1971.
. . The Humanist Controversy and Other Writings. London:Verso. 2003.
Buku Sekunder :
Adian, Dony Gahral. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Idoelogi Kontemprer. Depok:
Koekoesan. 2011.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.
Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Perancis. Jakarta:Gramedia. 1985.
. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta:Kanisius. 1979.
Bracher, Mark, et al, Lacanian Theory of Discourse: Subject, Structure, and Society. New
York: New York University Press. 1994.
Callinicos, Alex, Althusser's Marxism. London: Pluto Press. 1976.
C.Downling, William. Jameson, Althusser, Marx: an Introduction to The Political
Unconscious. New York: Cornell University Press. 1984.
D.Scrift, Alan. Twentieth-Century French Philosophy: Key Theme and Thinkers.
Oxford:Blackwell Publishing. 2006.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
E.Palmer, Richard. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1969.
Fiske, John. Introduction To Communication Studies. London:Routledge. 1990.
Hardiman, Fransisco Budi. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan.
Yogyakarta:Kanisius. 1990.
Hargens, Boni. Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam
Perspektif Postmarxis-Postmodern Ernesto Laclalu dan Chantal Mouffe. Jakarta:Parhesia.
2006.
Kolakowski, Leszek. Main Current of Marxism vol III: The Breakdown. Oxford: Clarendon.
1978.
Leader, Darian., dan Judy Groves, Introduction Lacan, Cambridge:Icon Books, 2000.
Mandel, Ernest. The Marxist Theory of the State. New York:Pathfinder Press. 1971.
McCarthy, E. Doyle. Knowledge as Culture: The New Sociology of Knowledge. New York:
Routlege. 1996.
McLellan, David. Ideologi Tanpa Akhir. Bantul: Kreasi Wacana. 2014.
Njoto. Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Jakarta: Harian Rakjat. 1962.
Saeng, Valentinus. Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta:
Gramedia. 2012.
Shindunata. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Gramedia. 1982.
Suroso, Suar. Marxisme Subuah Kajian: Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah. Jakarta: Hasta
Mitra. 2009.
Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Mrxisme Dari Lenin
Sampai Tan Malaka. Jakarta:Gramedia. 2005.
Takwin, Bagus. Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga
Bordieu. Yogyakarta:Jalasutra. 2003.
Zeleny, Jindrich. Logika Marx. Hasta Mitra. 2004.
Skripsi/Tesis :
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
Ahmad. Pemikiran Politik Hegel Tentang Negara: Fasisme atau Demokrasi. Tesis pada
Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI. 2003.
Budiman, Krisna. Dolar Amerika Serikat sebagai Alat Hegemoni (1944—2000): Tinjauan
Filosofis tentang Ekonomi Polotik Global. Skripsi pada Program Sarjana Ilmu Filsafat FIB
UI. 2010.
Hikmawan, M.Dian. Kajian Fenomenologi Terhadap Ideologi: Afektivitas Dan Historisitas
Sebagai Syarat Yang Memungkinkan Terjadinya Interpelasi. Skripsi pada Program Sarjana
Ilmu Filsafat FIB UI. 2013.
Artikel Online:
Marx, Karl. Preface a Contribution to the Critique of Political Economy. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1859/critique-pol-economy/preface-abs.htm
Harman, Chris. Base and Superstructure. https://www.marxists.org/archive/harman/1986/xx/base-
super.html
Pendahuluan Manifesto Partai Komunis, https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-
engels/1848/manifesto/manpend.htm#in48
Makalah :
Awang A.R, Hashim. Strukturalisme:Satu Tinjauan dari Segi Teori dan Aplikasi. Universiti
Malaya.
Thomas, Christophe. Introduction to Differential Calculus. University of Sydney. 1997.
Spade, Paul Vincent. Jean-Paul Sartre’s Being and Nothingness. Class Lecture Notes. 1995.
Jurnal :
B.Smith, Steven. Ideology and Interpretation: The Case of Althusser. Poetics Today. Vol. 10,
No. 3, Autumn. 1989.
Burawo, Hael. Marxism As Science: Historical Challenges And Theoretical Growth dalam
American Sociological Review, Vol. 55, December. 1990.
Goldstein, Philip. Althusserian Thory: From Scientific Truth to Institutional History, Studies
in 20th Century Literature, Vol. 18, No. 1 Winter. 1994.
Poster, Mark. Althusser on History Without Man. Political Theory, Vol. 2, No. 4 Nov., 1974.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015
R. Cressey, Donald. The Differential Association Theory And Compulsive Crimes, Journal of
Criminal Law and Criminology Vol 45. 1954.
Karangan Anonim/Tidak Terpublikasikan :
Anonim. The Polemic of The General Line of The International Communist Movement,
Peking:Foreign Languages Press. 1965.
Tse-Tsung, Mao. Tentang Kontradiksi. 1937.
Lenin, Vladimir Illyich. The State and Revolution: The Marxist Theory of State and the Task
of the Proletariat in the Revolution.
Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015