pandangan 5 agama terhadap euthanasia
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

EUTHANASIA DALAM PANDANGAN 5 AGAMA
Pengertian Euthanasia
1. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau
gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis,
euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah,
euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa
seseorang.
2. euthanasia merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara
menyuntikkan zat tertentu atau dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini
muncul akibat terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara
eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan
legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan mati
seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi.
3. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Tuhan di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat
penenang.
c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri & keluarganya.
4. Menurut Philo (50-20 SM) Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceaserum mengatakan bahwa
Euthanasia “mati cepat tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk
penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi
kematian dengan pertolongan dokter.
Macam euthanasia

Aktif
Euthanasia aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya.
Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia
tertentu untuk mempercepat proses kematiannya.
Pasif
Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu
seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan
kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan
alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup
alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah
berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator
(alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan
pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum
(membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi
memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak
sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah.
Auto euthanasia,
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis &
dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto
euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki
dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya.
euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter
sering disamakan dengan pembunuhan.
Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau
penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk
oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan
karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan

untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
Sejarah Euthanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunaniyaitu “eu” (= baik) and “thanatos” (maut, kematian)
yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan
istilah “eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri”
ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan.
Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah
Amerika Serikat dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai
diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan
pula oleh beberapa negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa
dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di
Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif,
walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika
maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang
bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan
Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua
yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk
“pembunuhan berdasarkan belas kasihan”.

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu
“program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderitan
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka
tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak diberlakukan
juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era
tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi
terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan
oleh cacat genetika.
Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala
Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam
sungai Gangga.
Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah
berlaku sejak tahun 1933
Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang
sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai
kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di
Amerika Serikat.
Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah
Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan
eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya.
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia
pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja
yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau
mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan
seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke
dalam tubuh pasien.
Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang
termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa
penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan
tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada
dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.
Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan
operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara
pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian
morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini
seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
mengintervensi dalam bentuk apapun terhadap hak mutlak tersebut tanpa sebuah alasan yang
kuat.
Menurut agama Islam sendiri euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi
diperbolehkannya atau tidak diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena
alasan-alasan tertentu.
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat.

Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni :
Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien.
Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan.
Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya Firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif.
Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” (QS Al-
Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan
lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
”Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam
keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah
1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau
senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat
penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali
Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR
Bukhari dan Muslim).
Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag
dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena
itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat
pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-
tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum
berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi
Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi)
bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak
terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam
hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan
Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat
kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau,
kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata
lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada
Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits
pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah),
bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum
berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini
memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah
dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum
(1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati
organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat
bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut
adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak
tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien.

Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat
mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia
pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah
mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan
tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili,
1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika
pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-
Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523). Menurut MUI (Majlis Ulama’ Indonesia)
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak
diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain.
Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia) mengatakan,
euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi
ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat
peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya
dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya
secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak
diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak
terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang

ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan.
Hubungan Eutahanasia dengan Jarimah
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian
tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah. Sebagaimana diketahui bahwa suatu
perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah.
Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang
dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah,
sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak
terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah
sebagai berikut:
Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur
ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan
dalam nash.
Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.
Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini
berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf
dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh.
Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu
dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur
jarimah pencurian, zina dan sebagainya.
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:
Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu
dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan
terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.
Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena
adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.

Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi
euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan.
Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan
apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang
dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya
dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum
sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena
perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:
Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal
Ada kesengajaan membunuh
Ikhtiyar (bebas dari paksaan)
Pembunuh bukan anggota keluarga korban
Jarimah dilakukan secara langsung.
Euthanasia Menurut Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan
ahimsa. Karma merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau
tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah menjadi penghalang
“moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari
penganut ajaran Hindu. Ahimsa merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti
siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa
perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh
karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia merupakan suatu kesempatan yang
sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan
kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan
masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana
tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan

(Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup
hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka
rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia
dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum
selesai dijalaninya kembali lagi dari awal
Euthanasia Menurut Agama Budha
Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha
karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan
kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh atau
mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih
sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin akan melakukan
perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidup
merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu
akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu selalu ingin
berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi tentunya niat yang luhur ini
diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat. Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan
mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh.
Sesungguhnya orang yang ‘membunuh karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran
kebencian karena ia sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita
sakit itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari
penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengorbanan
orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana ke mari yang nantinya
harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal semacam itu.
Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut: “Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu,
pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia
pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”. Dari sabda
Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan
meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang

yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia
akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran
yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di alam yang
menyedihkan. Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak menjelang saat
kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa kehidupan
lampau. Ada orang yang sakit parah itu meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada
umumnya orang yang sedang menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau,
gelisah, dan takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini berarti
kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan.
Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik
Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai
penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran
moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII tidak hanya
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga
menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, Paus Yohanes Paulus II
prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae”
(No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya
kematian’. Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar penjelasan ajaran
Gereja Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: Pertama,
Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup
adalah kudus. Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan
dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan
hidup di surga. Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan
merupakan penolakan terhadap rencana Allah.
Eutanasia secara harfiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa
penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan menurut hakikatnya atau dengan maksud
sengaja mendatangkan kematian, dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio
de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja

melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti
membiarkan kelaparan atau kehausan. Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai
“membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan
untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri
penderitaan. Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat
hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak
dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).
Pasien atau wali dalam kasus pasien tidak sadarkan diri berhak menolak secara tulus atau
mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tidak lagi menjawab situasi nyata pasien,
tidak menawarkan manfaat yang proporsional, tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal
akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau
sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila
kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-
bentuk perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban
berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan
dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan
kesehatan biasa.
Sebagai contoh ada orang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke
seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan
koma. ia makan lewat selang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal
pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan
dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat
memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses
kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi
sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-
nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara
sengaja.
Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-
beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ”
penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga
kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu
perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana
perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab
moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan
mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga
dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan
harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh
diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan
kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga
adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
Contoh Kasus Nyata euthanasia
Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Euthanasia Pasif
Muhammad Atqa – detikNewsJakarta – Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan
diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi

ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk
kategori euthanasia pasif. “Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau
orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah
merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara,” kata
Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti
diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah
berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya
(Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan
hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran
tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran,
pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan
untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga
dalam hukum “Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan
disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang
lagi,” sambung dr Marius. Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi
karena tidak punya harapan hidup? “Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah,
profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti
sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak
untuk memilih,” demikian dr Marius.