pbl 24 celine
TRANSCRIPT
Anemia Hemolitik
Celine Martino / 102011005 / B5 / [email protected]
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna no. 6 Jakarta Barat 11510 – www.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan
sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Pada
prinsipnya anemia hemolitik dapat terjadi karena defek molekular, yaitu hemoglobinopati
atau enzimopati, abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran, serta faktor
lingkungan seperti trauma, mekanik, atau autoantibodi.1
Nilai rujukan WHO
Laki-laki : < 13 g/dl
Wanita : < 12 g/dl
Wanita hamil : < 11 g/dl
Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, differential diagnosis, working
diagnosis, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan, serta
prognosis, tinjauan pustaka ini mencoba untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi
pasien datang dengan keluhan pada skenario 5, yaitu mudah lelah sejak 3 minggu ini, dan
wajahnya terlihat agak pucat. Dengan demikian diambil hipotesis bahwa OS menderita
anemia hemolitik.
Pembahasan
Skenario 5
Seorang wanita, usia 25 tahun, datang keluhan mudah lelah sejak 3 minggu ini, dan
wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan demam, mual, muntah, BAK dan BAB
tidak ada keluhan. Pada pemeriksaan fisik mata ditemukan konjungtiva anemis +/+, sklera
ikterik. Sedangkan pada pemeriksaan fisik lain ditemukan lien SII.
1
A. Anamnesis
Anamnesis atau wawancara medis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan
pasien, baik secara langsung pada pasien yang bersangkutan atau secara tidak langsung
melalui keluarga maupun relasi terdekatnya. Setelah anamnesis, kita dapat merumuskan
masalah-masalah pasien dan dilanjutkan dengan proses pengkajiannya. Kemudian ditetapkan
rencana pengelolaan terhadap pasien, yaitu rencana pemeriksaan untuk diagnosis,
pengobatan, maupun penyuluhannya, dan diikuti dengan pelaksanaan rencana tersebut
beserta evaluasi atau tindak lanjutnya.2
Data anamnesis, terdiri atas beberapa kelompok data penting sebagai berikut:
Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, nama orang tua atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa
dan agama.3
Keluhan Utama. Keluhan utama merupakan bagian paling penting dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Anamnesis ini biasanya memberikan informasi terpenting untuk
mencapai diagnosis banding, dan memberikan wawasan vital mengenai gambaran keluhan
yang menurut pasien paling penting.4 Pada skenario 5, keluhan utama pasien adalah mudah
lelah sejak 3 minggu ini, dan wajahnya terlihat agak pucat.
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS). RPS adalah cerita kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang
berobat.3
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD). RPD penting untuk mencatat secara rinci semua
masalah medis yang pernah timbul sebelumnya dan terapi yang pernah diberikan, seperti
adakah tindakan operasi dan anastesi sebelumnya, kejadian penyakit umum tertentu.4
Riwayat Pribadi dan Sosial. Secara umum menanyakan bagaimana kondisi sosial,
ekonomi dan kebiasaan-kebiasaan pasien seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, dan hal
yang berkaitan. Asupan gizi pasien juga perlu ditanyakan, meliputi jenis makanannya,
kuantitas dan kualitasnya. Begitu pula juga harus menanyakan vaksinasi, pengobatan, tes
skrining, kehamilan, riwayat obat yang pernah dikonsumsi, atau mungkin reaksi alergi yang
dimiliki pasien. Selain itu, harus ditanyakan juga bagaimana lingkungan tempat tinggal
pasien. Sedangkan riwayat sosial penting untuk memahami latar belakang pasien, pengaruh
2
penyakit yang diderita terhadap hidup dan keluarga mereka. Selain itu yang juga perlu
diperhatikan adalah riwayat berpergian (penyakit endemik).4
Riwayat Keluarga. Riwayat keluarga berguna untuk mencari penyakit yang pernah
diderita oleh kerabat pasien karena terdapat kontribusi genetik yang kuat pada berbagai
penyakit.4
B. Pemeriksaan Fisis
Tujuan pemeriksaan fisis umum adalah mendapatkan atau mengidentifikasi keadaan
umum pasien saat diperiksa, dengan penekanan pada tanda-tanda kehidupan (vital sign),
keadaan sakit, keadaaan gizi, dan aktivitas baik dalam keadaan berbaring atau pun berjalan.
Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, pernapasan,
dan suhu tubuh. Derajat kesadaran juga perlu diidentifikasi bersamaan dengan keadaan umum
pasien.2
Kulit. Pada inspeksi kulit, dapat ditemukan tanda anemia, yaitu warna kulit yang
kepucatan, karena kurang kadar hemoglobin dalam sel darah merah. Kepucatan karena
anemia yang telihat pada selaput lendir faring, mulut, bibir, serta konjungtiva, dan kuku lebih
bermakna menyatakan keadaan anemia, dibandingkan warna pucat pada kulit.2
Pada inspeksi kulit, juga dapat ditemukan tanda ikterus, yaitu warna kulit menjadi
kuning, yang bervariasi dari kuning muda sampai kehijauan, disebabkan bertambahnya
pigmen empedu. Lebih mudah terlihat pada sklera atau pada selaput mukosa bibir yang
ditekan degan gelas.2
Abdomen. Pemeriksaan fisis abdomen merupakan bagian dari pemeriksaan fisis
keseluruhan. Tujuan pemeriksaan abdomen adalah medapatkan atau mengidentifikasi tanda
penyakit atau kelainan pada daerah abdomen.2
Pemeriksaan abdomen dikerjakan dalam 4 tahap, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Keempat tahap tersebut sama pentingnya untuk dilakukan dengan seksama,
meskipun informasi paling banyak didapat dengan palpasi dan perkusi.2
Inspeksi abdomen adalah melihat perut bagian depan dan belakang. Informasi yang
perlu didapatkan adalah keadaan simetris, bentuk atau kontur, ukuran, kondisi dinding perut
(kelaianan kulit, vena, umbilicus, striae alba), serta pergerakan dinding perut.2
3
Palpasi dinding perut sangat penting untuk menentukan ada tidaknya kelainan dalam
rongga abdomen. Perlu sekali diperhatikan apakah pasien ada keluhan nyeri atau rasa tidak
enak pada daerah abdomen. Palpasi dilakukan dalam 2 tahap, yaitu palpasi permukaan
(superfisial) untuk orientasi sekaligus memperkenalkan prosedur palpasi pada pasien dan
palpasi dalam (deep palpation) untuk identifikasi kelainan atau rasa nyeri yang tidak
didapatkan pada palpasi superfisial, untuk lebih menegaskan kelainan yang didapat pada
palpasi superfisial, dan yang terpenting adalah untuk palpasi organ secara spesifik, misalnya
palpasi hati, limpa, dan ginjal. Palpasi dalam juga penting pada pasien yang gemuk atau
pasien dengan otot dinding yang tebal.2
Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tak langsung, sama seperti pada perkusi di
rongga toraks, tetapi dengan penekanan yang lebih ringan dan ketokan yang lebih perlahan.
Perkusi abdomen mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk konfirmasi pembesaran hati dan
limpa, menentukan ada tidaknya nyeri ketok, dan diagnosis adanya cairan atau massa padat.2
Auskultasi abdomen bertujuan untuk mendengarkan suara peristaltik dan pembuluh
darah.2
Selain itu pada pemeriksaan abdomen, kita dapat melakukan pemeriksaan asites,
pemeriksaan hati, pemeriksaan limpa, pemeriksaan ginjal, serta pemeriksaan abdomen bagian
bawah (perinemum dan colok dubur).2
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium. Pada pemeriksaan laboratorium akan dijumpai tanda-
tanda peningkatan destruksi eritrosit berupa kadar Hb dan Ht yang menurun, hitung leukosit
dapat meningkat atau normal, hitung trombosit dapat meningkat atau normal, dan jumlah
retikulosit akan meningkat.5
Penurunan kadar hemoglobin sangat bervariasi, mulai dari berat sampai ringan.
Penurunan kadar Hb dapat berlangsung cepat, tetapi dapat juga berlangsung perlahan-lahan,
seperti pada anemia hemolitik kronik. Penurunan kadar HB > 1 g/dl dalam waktu seminggu
tanpa disertai perdarahan merupakan suatu petunjuk ke arah anemia hemolitik.6
Masa hidup eritrosit rata-rata adalah 120 hari. Masa hidup eritrosit ini dapat diukur
dengan berbagai cara, tetapi yang paling umum dipakai adalah random labeling with
4
chromium. Pemeriksaan ini sangat memakan waktu dan mahal karena jarang dipakai dalam
praktek klinik, kecuali kasus sulit.6
Retikulosis merupakan keadaan yang menunjukan peningkatan retikulosit. Hitung
retikulosit merupakan pemeriksaan untuk menunjukkan peningkatan eritropoesis yang paling
sering dipakai. Dengan teknik hitung elektronik (misalnya Technicon H-3) maka reliabilitas
pemeriksaan makin meningkat. Angka normal retikulosit 0,5-1,5%, tetapi angka normal yang
lebih teliti adalah 0,3-2,5% pada pria dan 0,8-4,1% pada wanita. Peningkatan retikulosit
sebanding dengan beratnya proses hemolisis. Hanya 1-5% kasus anemia hemolitik kronik
menunjukkan retikulosit normal.6
Petanda kimiawi umur eritrosit. Kadar keratin eritrosit yang muda, 6-9 kali
dibandingkan dengan yang tua. Pemeriksaan semiautomatik menyebabkan pemeriksaan ini
cukup praktis untuk menggantikan hitung retikulosit. Pemeriksaan keratin eritrosit lebih
sensitive dan lebih reliabel dibandingkan dengan hitung retikulosit.
Sediaan Hapus Darah Tepi. Pada pemeriksaan ini akan ditemukan eritrosit
normositik, polikromasi, dijumpai kelainan morfologi eritrosit, dan dapat pula dijumpai
eritrosit berinti. Jumlah leukosit meningkat dengan pergeseran ke kiri.5
Sumsum Tulang. Sumsum tulang hiperseluler dengan peningkatan aktivitas ke-3 seri
sel darah meningkat terutama seri eritrosit. Cadangan besi meningkat dan akan menurun pada
hemolisis intravaskuler.5 Kelainan yang paling sering dijumpai adalah hyperplasia
normoblastik. Pemeriksaan ini bersifat kualitatif dan sangat subyektif. Rasio ME (myeloid :
eritroid) menurun di bawah 1,5 kadang-kadang < 0,5. Normoblast yang meningkat adalah
pada semua tingkatan, berbeda dengan anemia defisiensi besi yang terutama meningkat
adalah late normoblast dan bersifat mikronomoblastik.6
Pemeriksaan Lain. Terjadi peningkatan ekskresi urobilinogen urin dan kadar
bilirubin indirek serum meningkat. Pada hemolisis intravaskuler dapat disertai pula dengan
pernurunan kadar hepatoglobin dan hemopeksin serum, hemoglobinemia, hemoglobinuria,
dan hemosiderinuria.5
Peningkatan katabolisme heme menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum.
Peningkatan ini tergantung dari kecepatan pembentukan dan kecepatan ekskresinya oleh hati.
Oleh karena itu, peningkatan bilirubin serum merupakan indeks yang kurang reliabel. Pada
penelitian 72 kasus sferositosis herediter, 25% menunjukkan bilirubin serum normal dan
5
terjadi peningkatan (1-4,8 mg/dl) pada 75% kasus. Akan tetapi, pada 120 kasus anemia
hemolitik autoimun, ternyata 55% disertai peningkatan bilirubin, dan 45% bilirubin masih
dalam batas normal.6
Haptoglobin serum menurun pada hemolisis intravaskuler dan juga pada hemolisis
ekstravaskuler berat. Hepatoglobin serum diperiksa dengan teknik turbidometrik. Harga
normal adalah 50-100 mg/dl. Haptoglobin meningkat pada keadaan inflamasi.6
Methemalbumin dan hemopeksin dapat diperiksa dengan spektrofotometri dengan
absorpsi pada band 624. Teknik kuantitatif yang lebih sensitive adalah dengan tes Schumm’s.
Kedua protein ini berada dalam plasma sampai beberapa hari setelah hemolisis.6
Hemoglobinemia timbul akibat destruksi eritrosit 10-20 ml intravaskuler. Keadaan ini
akan member warna merah muda pada plasma. Jika diukur maka kadar hemoglobin bebas
dalam plasma sekitar 50 mg/dl. Jika hemoglobin bebas meningkat menjadi 150-200 mg/dl,
plasma berwarna merah terang dan akan mulai terjadi hemoglobinuria. Hemoglobin bebas
dalam urine dapat diukur dengan reaksi bensidin. Kadar > 100 mg/dl dapat diukur dengan
metode sianmet biasa. Kadar > 1000 mg/dl hanya dijumpai pada kasus anemia hemolitik
intravaskuler. Hemoglobin bebas sedikit meningkat pada anemia imunohemolitik berat.6
Hemoglobinuria dicurigai jika urine berwarna merah, kecoklatan, atau coklat hitam
seperti koka kola (black water), setelah dilakukan setrifugasi untuk menghilangkan eritrosit
intak. Secara kualitatif hemoglobinuria dapat diperiksa dengan Hemastix. Tes ini tidak dapat
membedakan hemoglobinuria dengan mioglobinuria. Untuk membedakannya diperlukan
pemeriksaan elektroforesis.6
Hemosideriuria dapat diperiksa secara kualitatif dengan pencatatan biru Prusia.
Ekskresi besi dalam urine dapat diukur secara spektrofotometri. Ekskresi normal adalah 0,1
mg/hari, pada anemia hemolitik meningkat menjadi 3-11 mg/hari.6
Pemeriksaan ini penting dilakukan guna mencari penyebab anemia hemolitik, antara
lain:5
Daya tahan osmotik eritrosit
Tes denaturasi terhadap alkali
Tes Coombs
Pemeriksaan golongan darah ABO dan rhesus
6
Kadar G6PD dalam eritrosit
Fenomena sickling
Elektroforesis Hb
Ham’s test
Schumm’s test
Heinz body
D. Differential Diagnosis6
1. Anemia pasca perdarahan akut dan fase pemulihan defisiensi yang sedang mendapat
terapi. Disini dapat dibedakan karena tidak adanya ikterus dan kadar hemoglobin
meningkat pada pemeriksaan berikutnya.
2. Anemia karena eritropoesis inefektif sering disertai ikterus akholurik dan hyperplasia
normoblastik sumsum tulang, tetapi disini retikulosit tidak meningkat. Pada kasus
yang meragukan dilakukan pemeriksaan survival eritrosit.
3. Anemia yang disertai dengan perdarahan ke rongga retropenial atau ke jaringan lain
sering kali sulit dibedakan dengan anemia hemolitik. Disini hemoglobin turun dengan
cepat disertai retikulositosis dan ikterus akholurik. Kasus ini hanya dapat dibedakan
kalau dapat dilakukan pemeriksaan yang membuktikan adanya perdarahan ini.
4. Kasus dengan ikterus tanpa anemia seperti pada sindrom Gilbert atau kelainan
katabolisme yang lain perlu dibedakan dengan keadaan hemolitik terkompensasi.
Disini tidak dijumpai kelainan morfologi eritrosit dan retikulosit normal. Pada
keadaan yang meragukan dilakukan pemeriksaan survival eritrosit.
5. Adanya mioglobinuria, seperti pada kerusakan otot yang luas atau crush syndrome
perlu dibedakan dengan hemoglobinuria. Hal ini dapat dibedakan dengan
elektroforesis.
E. Working Diagnosis
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari
sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap
berkurangnya sel eritrosit. Untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel
eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal. Hal
ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan
7
anemia, namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan
terjadi anemia.1
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik tetapi juga
terjadi pada keadaan eritropoesis inefektiv seperti pada anemia megaloblastik dan thalasemia.
Hormon eritropoetin akan merangsang terjadinya hiperplasia eritroid (eritropoetin-induced
eritroid hyperplasia) dan ini akan diikuti dengan pembentukan sel eritrosit sampai 10 x lipat
dari normal. Anemia terjadi bila serangan hemolisis yang akut tidak diikuti dengan
kemampuan yang cukup dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai
kompensasi, bila sumsum tulang mampu mengatasi keadaan tersebut di atas sehingga tidak
terjadi anemia, keadaan ini disebut dengan istilah anemia hemolitik kompensata.1
F. Etiologi
Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan penting untuk
terjadinya anemi hemolitik yaitu:
Faktor Intrinsik (Intra Korpuskuler). Biasanya merupakan kelainan bawaan,
diantaranya yaitu: kelainan membran, kelainan molekul hemoglobin, kelainan salah satu
enzim yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit. Sebagai contoh, bila darah yang sesuai
ditransfusikan pada pasien dengan kelainan intra korpuskuler maka sel eritrosit tersebut akan
hidup secara normal, sebaliknya bila sel eritrosit dengan kelainan dengan kelainan intra
korpuskuler tersebut ditransfusikan pada orang normal, maka sel eritrosit tersebut akan
mudah hancur atau lisis.7
Faktor Ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler). Biasanya merupakan kelainan yang
didapat (aquaired) dan selalu disebabkan oleh faktor imun dan non imun. Bila eritrosit
normal di transfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel eritrosit tersebut menjadi
lebih cepat, sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra korpuskuler di
transfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan normal.7
Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan anemia hemolitik,
ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia dengan umur eritrosit yang pendek namun
tidak digolongkan kedalam anemia hemolitik, diantaranya yaitu: leukemia, limfoma
malignum, gagal ginjal kronik, penyakit liver kronik, rheumatoid artheritis, anemia
megaloblastik.7
8
G. Epidemiologi
Kebanyakan jenis anemia hemolitik sama-sama sering terjadi pada pria maupun
wanita dan dapat terjadi di usia berapapun. Orang-orang dari semua ras dapat
mengembangkan anemia hemolitik.7
H. Patofisiologi
Proses hemolisis akan menimbulkan, sebagai berikut:
Penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Hemolisis
dapat terjadi perlahan-lahan sehingga dapat diatasi oleh mekanisme kompensasi tubuh, tetapi
dapat juga terjadi tiba-tiba sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin. Tergantung
derajat hemolisis, apabila derajat hemolisis ringan sampai sedang maka sumsum tulang masih
dapat melakukan kompensasi 6 sampai 8 kali normal sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan
ini disebut sebagai keadaan hemolitik terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan
tetapi, apabila derajat hemolisis berat, maka mekanisme kompensasi tidak dapat mengatasi
hal tersebut, sehingga terjadi anemia hemolitik. Derajat penurunan hemoglobin dapat
bervariasi dari ringan sampai sedang. Penurunan hemoglobin dapat terjadi perlahan-lahan,
tetapi sering sekali sangat cepat (lebih dari 2 g/dl dalam waktu satu mingu).6
Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh. Hemolisis berdasarkan
tempatnya dibagi menjadi dua, yaitu:
Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan hemolisis
intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendothelial (RES)
terutama pada lien, hepar, dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme
oxygenase. Lisis terjadi karena kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen antibodi),
presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien
dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksik akan memberi kesempatan
destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme fragmentasi.6
9
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan dikembalikan ke protein
pool, serta besi yang dikembalikan ke makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan dipakai
kembali, sedangkan protoporfin akan menghasilkan gas Co dan bilirubin. Bilirubin dalam
darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam hati
menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga meningkatkan
sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urine.6
Sebagai hemoglobin akan lepas ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar
haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah pada hemolisis intravaskuler.6
Hemolisis intravaskuler. Pemecahan eritrosit intravaskuler menyebabkan lepasnya
hemoglobin bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin
(suatu globin alfa) sehingga kadar haptoglobin plasma akan menurun. Kompleks
hemoglobin-haptoglobin akan dibersihkan oleh hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila
kapasitas haptoglobin dilampui makan akan terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma yang
disebut sebagai hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi
methemoglobin sehingga terjadi methemoglobinemia. Heme juga diikat oleh hemopeksin
kemudian ditangkat oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebas akan keluar melalui urine sehingga
terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika
epitel mengalami deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urine (hemosiderinuria),
yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronik.6
Pemecahan eritrosit intravaskuler akan melepaskan banyak LDH yang terdapat dalam
eritrosit sehingga serum LDH akan meningkat.6
Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoesis. Destruksi eritrosit
dalam darah tepi akan merangsang mekanisme biofeedback (melalui eritropoetin) sehingga
sumsum tulang meningkatkan eritropoesis. Sumsum tulang normal dapat meningkatkan
10
kemampuan eritropoesisnya 6-8 kali lipat. Peningkatan ini ditandai oleh peningkatan jumlah
eritroblast (normoblast) dalam sumsum tulang sehingga terjadi hiperplasia normoblastik.
Peningkatan normoblast terjadi pada semua tingkatan, baik normoblast basofilik, normoblast
polikromatofilik, ataupun normoblast asidofilik atau ortokromatik. Normoblast sering
dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi normoblastemia. Sel eritrosit muda yang masih
menggandung sisa inti (RNA) disebut sebagai retikulosit, akan dilepaskan ke darah tepi
sehingga terjadi retikulositosis dalam darah tepi. Sel-sel eritrosit warnanya tidak merata (ada
sel yang lebih gelap) disebut sebagai polikromasia. Produksi sistem lain dalam sumsum
tulang sering ikut terpacu sehingga terjadi leukositosis dan trombositosis ringan.6
I. Gejala Klinis
Gejala klinis anemia hemolitik sangat bervariasi disebabkan oleh perjalanan penyakit
(akut atau kronik) dan tempat kejadian hemolisis (intravaskuler atau ekstravaskuler) sehingga
pada umumnya dilihat dari gejala kliniknya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2
golongan besar, yaitu anemia hemolitik kronik herediter-familier dan anemia hemolitik akut
didapat (acquired).6
Kedua jenis hemolisis ini mempunyai gambaran klinik yang berbeda, dimana anemia
hemolitik kronik herediter-familier didominiasi oleh gejala akibat hemolisis ekstravaskuler
yang berlangsung perlahan-lahan, sedangkan pada anemia hemolitik akut didapat terjadi
hemolisis ekstravaskuler masif atau hemolisis intravaskuler (mutually exclusive). Gejala
klinik anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 3, yaitu:6
Gejala umum anemia (anemic syndrome)
Gejala hemolisis baik ekstravaskuler maupun intravaskuler
Gejala penyakit dasar (penyebab) masing-masing anemia hemolitik tersebut
Gejala umum anemia. Seperti pada semua anemia lainnya, gejala umum anemia
akan timbul jika hemoglobin turun < 7-8 g/dl. Makin berat penurunan kadar hemoglobin
makin berat gejala yang timbul. Di samping itu, beratnya gejala juga ditentukam oleh
kecepatan penurunan kadar hemoglobin. Pada anemia hemolitik akut dimana penurunan
11
hemoglobin terjadi cepat pada umumnya gejala lebih menyolok dibandingkan dengan pada
anemia hemolitik kronik.6
Gejala hemolitik.
Ikterus. Ikterus timbul karena peningkatan bilirubin indirek (unconjugated bilirubin)
dalam darah sehingga ikterus bersifat acholuric jaundice, bahwa dalam urine tidak dijumpai
bilirubin. Ikterus dapat hanya ringan, tetapi dapat juga berat terutama pada anemia hemolitik
pada bayi baru lahir sehingga dapat menimbulkan "kern icterus". Ikterus tidak disertai rasa
gatal.6
Splenomegali dan hepatomegali. Splenomegalu hampir selalu dijumpai pada anemia
hemolitik kronik familier-herediter, kecuali pada anemia sel sabit (sickle cell disease) dimana
limpa mengecil karena terjadinya infark. Splenomegali pada umumnya ringan sampai sedang,
tetapi kadang-kadang dapat besar sekali.6
Hepatomegali lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan splenomegali karena
makrofag dalam limpa lebih aktif dibandingkan dengan makrofag pada hati.6
Kholelithiasis. Kholelithiasis merupakan salah satu gejala prominen pada anemia
hemolitik kronik familier-herediter. Batu yang terbentuk disebut black pigment stone, terdiri
dari cross link polymer dari bilirubinat. Sekitar 40-80% batu ini bersifat radioopak. Batu
empedu paling sering dijumpai pada sferositosis herediter, dan juga sering pada anemia sel
sabit yang bervariasi antara 8-55%.6
Ulkus pada kaki. Ulkus pada kaki dapat dijumpai pada anemia sel sabit dan
sferositosis herediter, dapat juga dijumpai pada anemia hemolitik kronik familier-herediter
yang lain. Pada anemia sel sabit prevalensinya sekitar 5%. Ulkus terjadi di sebelah proksimal
malleolus medialis dan lateralis dan sering bersifat bilateral.6
Kelainan tulang. Apabila proses hemolisis terjadi pada saat fase pertumbuhan maka
ekspansi sumsum tulang menimbulkan kelainan tulang seperti: tower-shaped skull, penebalan
tulang frontalis dan parietalis. Kelainan ini paling sering terjadi pada thalasemia major
sehingga menimbulkan bentuk muka yang khusus seperti thalassemic face. Pada foto rontgen
terlihat sebagai hair-on-end appearance.6
Krisis. Pada anemia hemolitik kronik sering terjadi penurunan kadar hemoglobin
secara tiba-tiba yang disebut krisis. Krisis pada anemia hemolitik dapat berupa:6
12
Krisis aplastik: krisis yang paling sering dijumpai, yang menimbulkan kegagalan
hemopoesis transien. Sebagian besar dihubungkan dengan infeksi parvovirus tipe
B19. Krisis aplastik ditandai oleh penurunan hemoglobin secara drastis, kadang-
kadang disertao leukopenia dan trombositopenia ringan, dan retikulositopenia.
Krisis hemolitik: terjadinhemolisis masif sehingga menimbulkan penurunan
hemoglobin secara tiba-tiba, disertai retikulositosis dan pembesaran limpa.
Krisis megaloblastik: krisis yang timbul karena relatif kekurangan asam folat karena
kebutuhan akibat eritropoesis yang sangat meningkat.
Anemia hemolitik akut didapat.
Anemia hemolitik akut didapat, seperti reaksi transfusi atau penderita anemia
defisiensi G6PD yang mendapat obat oksidan, dimana terjadi hemolisis intravaskuler massif
maka gejalanya menyerupai acute febrile illness. Gejala yang timbul berupa syok dan gagal
ginjal akut, nyeri pinggang dan perut, sakit kepala, malaise, kramp perut, sehingga gejalanya
menyerupai gejala abdomen akut. Syok kemudian timbul disertai prostration, oliguria sampai
anuria. Kelaianan fisik berupa pucat, ikterus, takikardia, dan gejala anemia berat. Adanya
hemoglobinuria ditandai oleh kecing yang berwarna kehitaman.6
Anemia hemolitik autoimun, ditandai oleh hemolisis ekstravaskuler, sering disertai
oleh anemia berat dengan gejala acute febril illness, ikterus, dan splenomegali.6
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena
reaksi toksik-imunologik yang didapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison,
prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat
diberikan obat-obat sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid.7
K. Prognosis
Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi sering
kali dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya.7
Kesimpulan
13
Melalui tinjauan pustaka diatas telah dipaparkan apa yang menimbulkan keluhan
pasien pada skenario 5, yaitu mudah lelah sejak 3 minggu ini, dan wajahnya terlihat agak
pucat. Dengan demikian diambil hipotesis bahwa OS menderita anemia hemolitik. Anemia
hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena meningkatnya penghancuran
dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam
memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel
eritrosit. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, differential diagnosis,
working diagnosis, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan, serta
prognosis, tinjauan pustaka ini mencoba untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi
sehingga pasien datang dengan keluhan tersebut, dan bagaimana cara diagnosis serta terapi
yang benar dan baik.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Ilmu penyakit dalam.
Jakarta: EGC; 2009.h.1157-8.
2. Markum HMS. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Interna Publishing;
2011.h.11-25, 47-8, 58, 127, 133-53.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddim J, Restuti RD. Telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007.h.139-53.
4. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.h.181-3.
5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2009.h.122-31.
6. Bakta IM. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: EGC; 2007.h.50-70.
7. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC; 2009.
14