pelvic inflammatory disease
DESCRIPTION
ReferatTRANSCRIPT
REFERAT KEPANITERAAN KLINIK
KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
PENYAKIT RADANG PANGGUL
PELVIC INFLAMMATORY DISEASE (PID)
Disusun oleh:
Maissy Wijayanti Chandra, S.Ked
07120090006
Pembimbing:
dr. Jacobus Jeno Wibisono, SpOG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE
2013
PENYAKIT RADANG PANGGUL
PELVIC INFLAMMATORY DISEASE (PID)
1.1 Introduksi
Penyakit Radang Panggul (PRP) atau Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah penyakit
infeksi yang melibatkan organ reproduksi bagian atas (tuba fallopii, ovarium, uterus,
parametrium, dan rongga panggul). Endometritis, parametritis, salpingitis, oophoritis,
abses tubo-ovarian, dan peritonitis termasuk di dalam Penyakit Radang Panggul atau
Pelvic Inflammatory Disease. Akibat sulitnya mendiagnosis penyakit ini secara akurat,
sehingga besarannya sulit diketahui. Banyak wanita yang melaporkan bahwa mereka
mendapatkan penatalaksanaan atau pengobatan untuk PID ketika mereka sebenarnya
tidak mengidap penyakit tersebut, begitu juga sebaliknya.
1.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi dari PID terhalangi oleh gejala-gejala yang berbeda pada setiap kasus,
terutama pada sejumlah kasus “silent” dengan sedikit gejala atau tanpa gejala. Data
demografi menunjukkan bahwa PID merupakan penyakit pada usia muda. Ras
menunjukkan adanya pengaruh tetapi alasan secara biologis maupu sosiologis belum
diketahui. Wanita yang tidak menikah menghadapi resiko lebih besar daripada wanita
yang menikah. Sebagian besar kasus PID berhubungan dengan penyakit menular seksual.
Berhubungan dengan hal ini, pola faktor resiko berhubungan dengan perilaku seksual:
usia muda saat cointarche, frekuensi hubungan seksual yang tinggi, dan jumlah pasangan
seksual yang besar, meningkatkan resiko PID. Di sisi lain, metode barier pada kontrasepsi
menurunkan resiko PID, seperti halnya kontrasepsi oral. Kontrasepsi yang paling umum
dikaitkan dengan resiko PID adalah IUD (intrauterine device). Pencucian vagina
(douching) dan merokok juga turut dikaitkan dengan PID, tetapi belum terbukti secara
kuat.
CDC telah memperkirakan bahwa lebih dari satu juta wanita mengalami satu episode PID
setiap tahunnya. Penyakit ini telah membuat kurang lebih 2.5 juta kunjungan ke dokter
dan 125 000-150 000 opname per tahun. WHO mengestimasi bahwa sekitar 448 juta
kasus baru dari penyakit menular seksual yang dapat diobati terjadi setiap tahun pada
individual dengan usia 15-49 tahun.
1.3 Patofisiologi
Pada kebanyakan kasus, PID dipresumsikan terjadi pada 2 tahap. Tahap pertama adalah
infeksi melalui vagina atau serviks. Infeksi ini sering didapat melalui hubungan seksual
dan mungkin tanpa gejala. Tahap yang kedua adalah naiknya mikroorganisme dari vagina
atau serviks menuju organ reproduksi bagian atas, mengakibatkan infeksi dan inflamasi
pada struktur-struktur tersebut.
Mekanisme yang membuat naiknya mikroorganisme dari organ reproduksi bagian bawah
masih belum jelas. Beberapa studi menyebutkan beberapa faktor mungkin terlibat.
Meskipun lendir servikal memberikan perlindungan fungsional terhadap penyebaran ke
atas, efektifitas dari barier ini mungkin berkurang dengan adanya inflamasi pada vagina
dan perubahan hormon yang terjadi menjelang ovulasi dan menstruasi. Pengobatan
dengan antibiotik pada infeksi menular seksual dapat mengganggu keseimbangan flora
endogen pada organ reproduksi bagian bawah, menyebabkan organisme normal
nonpatogen berkembang berlebihan dan naik. Terbukanya serviks saat menstruasi,
bersama dengan aliran balik retrograde saat menstruasi juga dapat mendukung naiknya
mikroorganisme.
Hubungan seksual berkontribusi pada naiknya infeksi melalui kontraksi ritmik uterus
yang terjadi saat orgasme. Bakteri dapat terbawa juga dengan sperma ke dalam uterus dan
tuba fallopii. Pada organ reproduksi atas, sejumlah mikroba dan faktor host ternyata
mempengaruhi tingkat inflamasi yang terjadi, sehingga turut menentukan jumlah jaringan
parut yang terbentuk. Infeksi tuba fallopii pertama-tama mengenai mukosa, tetapi dengan
cepat menjadi transmural. Inflamasi ini, yang kemungkinan diperantarai oleh sistem
komplemen, dapat meningkat intensitasnya bersama infeksi lain yang menyertai.
Inflamasi mungkin meluas pada struktur parametrial lain yang tidak terinfeksi, termasuk
usus. Perluasan infeksi dapat melalui perembesan material purulen dari tuba fallopii atau
melalui penyebaran limfatik ke luar dari pelvis sehingga menimbulkan peritonitis akut
dan perihepatitis akut (Sindrome Fitz-Hugh-Curtis).
Gambar 1 – Patofisiologi Penyakit Radang Panggul
Faktor yang berhubungan dengan Kehamilan
PID jarang terjadi pada kehamilan; meski begitu, korioamnionitis dapat terjadi dalam 12
minggu pertama gestasi, sebelum mucous plug memadat dan menutup uterus dari infeksi
ascending. Kematian janin dapat terjadi. Kehamilan yang tengah terjadi mempengaruhi
pemilihan terapi antibiotik pada PID dan kebutuhan diagnostik alternatif untuk
menyingkirkan kehamilan ektopik. Infeksi uterus pada umumnya terbatas pada
endometrium tetapi dapat juga lebih invasif pada uterus yang tengah gravid atau
postpartum.
1.4 Klasifikasi dan Gejala Klinis
PID dapat dipisahkan menjadi “silent” PID dan PID, yang dapat dibagi lagi menjadi akut
dan kronik.
Silent PID
Silent PID bukanlah suatu diagnosis klinis. Kondisi ini dipresumsikan terjadi akibat
infeksi low-grade yang terus-menerus atau multipel pada wanita tanpa gejala. Meski
begitu, Silent PID menjadi satu-satunya diagnosis pada wanita dengan infertilitas akibat
faktor tuba yang kurang memiliki riwayat yang jelas mengenai infeksi organ reproduksi
bagian atas. Kebanyakan dari pasien memiliki antibodi terhadap C trachomatis dan/atau
N gonorrhoeae. Pada laparotomi atau laparoskopi, pasien-pasien ini mungkin memiliki
tanda infeksi tuba sebelumnya, seperti adhesi atau perlengketan, tetapi sebagian besar
bagian tuba tampak normal. Secara internal, terdapat lipatan mukosa yang mendatar,
hilangnya silia secara ekstensif, dan degenerasi sel epitel sekretorik (Patton, 1989).
Penyakit Radang Panggul Akut (Acute Pelvic Inflammatory Disease)
Kriteria diagnosis PID Akut yang direkomendasikan menurut CDC 2006 ditujukan pada
wanita seksual aktif yang beresiko terhadap penyakit menular seksual, memiliki gejala
nyeri pada panggul (pelvis) atau abdomen bawah, dan penyebab lain tidak dapat
ditemukan. Kriteria diagnosis menurut CDC:
Kriteria minimum:
(1) Seksual aktif atau memiliki riwayat penggunaan alat pada serviks atau uterus
(2) Nyeri abdomen bagian bawah
(3) Nyeri tekan adneksa
(4) Nyeri gerak serviks
Kriteria tambahan yang mendukung diagnosis PID:
(1) Suhu oral >38.3 C
(2) Sekret vagina atau serviks mukopurulen
(3) Jumlah leukosit yang tinggi pada pemeriksaan mikroskopik saline sekret serviks
(4) Peningkatan LED atau CRP
(5) Ditemukannya N gonorrhoeae atau C trachomatis
(6) Ditemukannya inflamasi tuba dan/atau pyosalping pada laparoskopi
Gejala yang muncul dapat berupa nyeri abdomen bagian bawah dan/atau nyeri panggul,
duh dari vagina berwarna kekuningan, menoragia, demam, menggigil, anorexia, mual,
muntah, diare, dismenorea, dan dispareunia. Pasien juga mungkin mengalami gejala
infeksi saluran kemih. Sayangnya tidak terdapat satu gejala atau gejala yang berkaitan
dengan temuan fisik yang spesifik untuk diagnosis ini. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan sumber lain pada gejala nyeri panggul akut.
Tabel 1 – Etiologi Nyeri Abdomen Bawah dan Panggul Akut
Pada wanita dengan PID akut, leukorea atau endoservisitis mukopurulen merupakan hal
yang umum dan terdiagnostik secara mikroskopik. Oleh karena itu, uji endoservikal untuk
N gonorrhoeae dan C trachomatis harus dilakukan pada wanita yang diduga mengidap
PID akut. Pada pemeriksaan pelvis bimanual, wanita dengan PID akut biasanya akan
mengalami nyeri tekan pada organ-organ pelvis. Nyeri goyang serviks akan segera
muncul dengan menggerakkan serviks secara cepat ke arah lateral dengan jari pemeriksa.
Peritonitis abdominal dapat teridentifikasi dengan menekan dalam kemudian melepas
secara cepat abdomen pasien dengan tangan. Pada wanita dengan PID dan peritonitis,
umumnya hanya abdomen bagian bawah yang terlibat. Apabila seluruh regio abdomen
terlibat, maka kecurigaan terhadap ruptur abses tubo-ovarian harus ditingkatkan.
Penyakit Radang Panggul Kronis (Chronic Pelvic Inflammatory Disease)
Diagnosis PID kronis diberikan pada wanita yang memiliki riwayat PID akut dan nyeri
panggul. Akurasi diagnosis PID kronis lebih kecil daripada PID akut. Secara realistis,
diagnosis histologis (inflamasi kronis) dibutuhkan sebagai kriteria diagnosis.
1.5 Etiologi
Organisme yang paling banyak ditemukan pada kasus PID akut adalah N gonorrhoeae
dan C trachomatis. C trachomatis adalah bakteri patogen intraselular dan merupakan
organisme predominan pada penyakit menular seksual yang menyebabkan PID. Pada
negara maju, N gonorrhoeae bukan lagi menjadi organism primer yang berhubungan
dengan PID, tetapi menjadi yang kedua setelah C trachomatis. Secara klinis, infeksi
gonore dapat asimptomatik atau bermanifestasi mirip dengan infeksi chlamidia. 10-20%
infeksi chlamidia dan gonore yang tidak diobati akan berlanjut menjadi PID.
Organisme lain yang diketahui turut terlibat dalam PID adalah:
- Gardnella vaginalis
- Mycoplasma hominis
- Mycoplasma genitalium
- Ureaplasma urealyticum
- HSV-2
- Trichomonas vaginalis
- CMV
- Haemophilus influenza
- Streptococcus agalactiae
- Escherichia coli
- Enterococcus
- Peptococcus species
- Organisme anaerob
Faktor resiko untuk PID
(1) Pasangan seksual lebih dari 1
(2) Riwayat penyakit menular seksual sebelumnya
(3) Riwayat kekerasan seksual
(4) Penggunaan vaginal douch yang terlalu sering
(5) Prosedur pembedahan ginekologi seperti biopsi endometrium, kuret, dan histeroskopi
– mengganggu barier servikal
(6) Penggunaan kontrasepsi IUD
1.6 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Asam nukleat, antigen, atau kultur harus dilakukan untuk mendeteksi infeksi klamidia
dan gonokokal. Dari hasil laboratorium yang menunjang diantaranya adalah leukositosis,
peningkatan LED atau CRP, dan adanya temuan mikroskopik atau tes esterase leukosit
pada sekret purulen serviks (mucopus).
Laparoskopi
Pada negara-negara Scandinavia, wanita yang dicurigai mengidap PID akut akan
melakukan laparoskopi untuk kepentingan diagnosis. Hiperemia serosa tuba, edema
dinding tuba, dan eksudat purulen yang terdapat pada ujung fimbriae tuba fallopii dan
adanya pooling pada cul-de-sac telah menegakkan diagnosis. Oleh karena tindakan
tersebut telah menjadi rutinitas klinis, maka Hadgu dkk (1986) membuat kriteria pre-
operatif untuk memprediksi PID akut dan menilai validitasnya dengan mencari ada-
tidaknya penyakit saat laparoskopi. Kriteria termasuk: (1) belum menikah, (2) massa
adneksal, (3) usia < 25 tahun, (4) suhu >380 C, (5) N gonorrhoeae pada serviks, (6) duh
vagina purulen, dan (7) LED ≥ 15 mm/jam. Diagnosis klinis preoperatif pada PID 97%
akurat apabila pasien memenuhi ketujuh kriteria tersebut. Karena mahalnya tindakan
laparoskopi, maka terapi antimikrobial berdasarkan diagnosis klinis pada pasien dengan
riwayat dan temuan fisik sugestif PID akut lebih bijaksana.
Sonografi
Pada pasien dengan nyeri abdomen dan nyeri tekan yang signifikan, akan sulit untuk
menilai organ reproduksi bagian atas melalui pemeriksaan bimanual. Untuk itu, USG
transvaginal dapat dilakukan untuk mengidentifikasi abses tubo-ovarian dan
mengeksklusi penyakit lain sebagai sumber nyeri. Apabila sonografi tidak dapat
menunjukkan diagnosis secara jelas, maka CT Scan dapat dipertimbangkan (Sam, 2002).
Biopsi Endometrial
Pada wanita dengan kecurigaan PID, biopsi endometrial direkomendasikan untuk
mendiagnosis endometritis. Leukosit polimorfonuklear pada permukaan endometrium
berhubungan dengan endometritis akut, sedangkan sel-sel plasma pada endometrium
ditemukan pada endometritis kronis.
1.7 Diagnosis
PID harus terdiagnosis dan ditangani secara empiris pada wanita seksual aktif dengan usia
muda dan wanita dengan faktor resiko dan memiliki gejala nyeri gerak serviks, nyeri
tekan uterus dan adneksa. CDC memperingatkan bahwa PID jarang terjadi pada pasien
tanpa sekret mukopurulen dari serviks atau leukosit pada preparat basah vagina. Temuan
abnormal lain yang membantu diagnosis yaitu demam, peningkatan LED, peningkatan
CRP, dan adanya riwayat infeksi gonokokal atau klamidia pada serviks.
1.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi adalah mengeliminasi bakteri, meredakan gejala, dan mencegah
kelanjutan penyakit (sequele). Kerusakan dan oklusi tuba akibat inflamasi dapat
menyebabkan infertilitas. Resiko untuk terjadinya kehamilan ektopik pun turut meningkat
6-10 kali lipat. Nyeri panggul kronis (15-20%), infeksi berulang (20-25%), dan
pembentukan abses (5-15%) merupakan kelanjutan lainnya. Namun, wanita dengan gejala
ringan biasanya tidak memeriksakan diri selama beberapa hari sampai minggu. Kriteria
mengenai kapan seseorang harus dirawat pun masih kontroversi.
Tabel 2 – Indikasi Opname dalam Penatalaksanaan PID
Pengobatan Peroral
Pada wanita dengan gejala klinis ringan hingga sedang, penanganan rawat jalan dan rawat
inap memberikan hasil yang tidak berbeda. Pengobatan peroral juga dapat digunakan
pada pasien HIV dan PID.
Tabel 3 – Terapi Spesifik yang direkomendasikan CDC untuk PID
Pengobatan Parenteral
Pasien apapun yang memenuhi indikasi opname harus dirawat di RS untuk mendapatkan
penanganan parenteral dalam 24 jam.
Tabel 4 – Penanganan Perenteral yang direkomendasikan untuk PID
Untuk wanita dengan abses, beberapa dokter menambahkan clindamycin peroral (450 mg
setiap 6 jam) atau metronidazole untuk melengkapi terapi. Penanganan pada pasien
dengan abses harus beserta terapi antimikroba parenteral hingga pasien bebas demam
minimal selama 24 jam, tetapi lebih baik pada 48-72 jam. Meskipun rekomendasi
sebelumnya termasuk histerektomi dan adenexectomi, antibiotik yang ada saat ini telah
mengurangi kebutuhan tindakan bedah. Bila pengobatan dengan antibiotik gagal, insisi
abses sendiri biasanya cukup membantu.
1.9 Prognosis
Tiga komplikasi utama dari PID adalah:
- Nyeri panggul kronik
Nyeri panggul kronik terjadi pada kurang lebih 25% pasien dengan riwayat PID.
Nyeri ini mungkin berhubungan dengan perubahan-perubahan secara siklik pada
menstruasi, tetapi dapat juga disebabkan oleh perlengketan atau hidrosalping.
- Infertilitas
Infeksi dan inflamasi dapat menyebabkan perlengketan di dalam lumen tuba. Wanita-
wanita dengan infertilitas karena faktor tuba, 50% tidak memiliki riwayat PID tetapi
memiliki jaringan parut pada tuba fallopii dan memiliki antibodi C trachomatis. Laju
infertilitas meningkat sesuai jumlah episode infeksi.
- Kehamilan Ektopik
Resiko kehamilan ektopik menngkat 15-50% pada wanita dengan riwayat PID.
Kehamilan ektopik merupakan akibat langsung dari kerusakan tuba fallopii.
Infeksi yang disebabkan oleh C trachomatis menyebabkan sequele dalam jangka waktu
lebih panjang dikarenakan infeksi klamida menunjukkan gejala-gejala klinis yang lebih
sedikit sehingga terdiagnosis lebih lambat.
DAFTAR PUSTAKA
Crossman SH. The Challenge of Pelvic Inflammatory Disease. Am Fam Physician. 2006
Mar 1; 73(5):859-864.
Eschenbach D. Treatment of Pelvic Inflammatory Disease. Clin Infect Dis. 2007; 44(7): 961-
963.
Hacker, Gambone, Hobel. 2010. Hacker and Moore’s Essentials of Obstetrics and
Gynecology 5th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Schorge, Schaffer, et al. 2008. Williams Gynecology. US: McGraw-Hill Companies.