pembahasan tembakau
TRANSCRIPT
TEMBAKAU
Tembakau merupakan salah satu komoditi tanaman yang banyak ditanam oleh petani
di Indonesia. Peran tembakau bagi masyarakat cukup besar, hal ini disebabkan aktivitas
produksi dan pemasarannya yang melibatkan peran sejumlah masyarakat. Tanaman tembakau
tersebar di seluruh Nusantara dan mempunyai kegunaan yang beragam antara lain sebagai
biopestisida dan insektisida, pengawet bambu petung, pembersih luka dan terutama sebagai
bahan baku pembuatan rokok (Primasari, 2010).
Salah satu tanaman tembakau lokal yang berkembang di Indonesia adalah tembakau
Madura. Tembakau Madura mempunyai mutu spesifik yaitu berupa aroma yang khas,
sehingga tembakau ini sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok sebagai bahan baku utama rokok
maupun sebagai racikan atau campuran rokok kretek untuk meningkatkan mutu (Istiana,
2007).
Ciri tembakau Madura yang khas, menjadikan permintaan akan tembakau Madura
meningkat. Namun ada kendala yang dihadapi dalam produksi tembakau Madura yaitu bibit
tembakau yang diusahakan petani masih heterogen karena tembakau bisa melakukan
penyerbukan secara silang. Hal itu bisa disebabkan oleh tidak ada pengawasan terhadap benih
atau bibit yang dibawa masuk dari luar Madura, dan sistem penangkaran benih belum
standard terkoordinasi. Permasalahan ini bisa teratasi dengan perbanyakan tanaman secara
vegetatif melalui kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu teknik isolasi bagian
tanaman, seperti jaringan, organ atau embrio, lalu dikultur pada medium buatan yang steril
sehingga bagian tanaman tersebut mampu bergenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman
lengkap (Winata, 1987 dalam Zulkarnain, 2009).
Kultur jaringan adalah memperbanyak jaringan pada suatu medium yang sesuai
dengan ruangan yang aseptis dan ruangan yang terkontrol. Umumnya penanaman jaringan ini
ditujukan untuk perbanyakan, maka kultur jaringan dapat disamakan dengan mikropropagasi
(perbanyakan secara mikro).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kultur jaringan, antara lain : genotipe tanaman
donor, suber eksplan (asal sumber eksplan dan umur), medium kultur (komposisi), keadaan
kondisi kultur (kondisi aseptik).
Salah satu kesulitan dalam kultur jaringan tanaman adalah kebutuhan nutrisi untuk
pertumbuhan optimum sangat berbeda pada tiap spesies, sehingga tidak ada media yang dapat
direkomendasikan untuk semua tanaman. Penelitian – penelitian yang intensif pada kultur
jaringan selama 50 tahun terakhir telah banyak mengembangkan media, beberapa diantaranya
telah digunakan secara luas dalam kultur jaringan saat ini. Bahan kimia dalam media
biasanya ditentukan, artinya hanya hara tertentu yang dimasukkan ke dalam media, atau
media dapat juga mengandung bahan tambahan kompleks seperti air kelapa atau jus jeruk
yang mengandung zat pengatur tumbuh.
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur jaringan
secara umum sangat tergantung pada jenis media. Media tumbuh pada kultur jaringan sangat
besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang
dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-macam media kultur jaringan telah ditemukan
sehingga jumlahnya cukup banyak. Nama-nama media tumbuh untuk eksplan ini biasanya
sesuai dengan nama penemunya. Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen
bahan kimia yang hampir sama, hanya agak berbeda dalam besarnya kadar untuk tiap-tiap
persenyawaan.
Media yang digunakan biasanya berupa garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain
itu diperlukan juga bahan tambahan seperti agar-agar, gula, arang aktif, bahan organik dan
lain-lain. Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenis maupun
jumlahnya. Medium yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Medium yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf
agar tidak terjadi kontaminasi dari bakteri maupun cendawan. Komposisi media yang
digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda jenis dan konsentrasinya. Perbedaan
komposisi media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan
yang ditumbuhkan secara invitro.
Formulasi media kultur jaringan pertama kali dibuat berdasarkan komposisi larutan
yang digunakan untuk hidroponik, khususnya komposisi unsur-unsur makronya. Unsur-unsur
hara diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Koposisis media dan perkembangan
formulasinya didasarkan pada jenis jaringan, organ dan tanaman yang digunakan serta
pendekatan dari masing-masing peneliti. Beberapa jenis sensitif terhadap konsentrasi
senyawa makro tinggi atau membutuhkan zat pengatur tertentu untuk pertumbuhannya. Pada
periode tahun 1930an, formulasi media terutama ditujukan untuk menumbuhkan akar, tuber
dan kambium. Media untuk penumbuhan akar yang dikembangkan oleh White 1934, pertama
White menggunakan media yang berisi garam anorganik, yeast ekstrak dan sucrose, tetapi
kemudian yeast ekstrak digantikan dengan 3 macam vitamin B, yaitu pyridoxine, thiamine
dan nicotinic acid.
Macam-macam media :
1. Media Knop
Dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus,
biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah
seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine,
thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and Roberts).
2. Media White
Dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor bunga
matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi
dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S pada media
untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang
dikembangkan kemudian. Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini
lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain
yang umum digunakan sekarang.
3. Media Knudson dan media Vacin and Went
Media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam
di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya mengandung N
dari Nitrat. Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+
disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan biji
anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm.
Media Nitsch & Nitsch, menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi
untuk mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan
ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang
menurun.
Pertumbuhan sel dari jaringan suatu organ dibandingkan dengan jaringan
tumor tanaman Venca rosea (Catharanthus roseus), menunjukkan bahwa penambahan
ammonium ke dalam media White yang sudah dimodifikasi, mempunyai
pertumbuhan yang lebih baik. Konsentrasi NO3-, NH4
-, K+ dan H2PO4- yang diperoleh,
hampir sama dengan yang dikembangkan oleh Miller.
4. Media Murashige & Skoog (media MS)
Merupakan perbaikan komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam
anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau.
Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk
NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media
Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi
dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM.
Unsur makro lainnya konsentrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur
makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini
sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS paling
banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur pada tahun-tahun sesudah penemuan
media MS, sehingga dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS
tersebut, antara lain media :
a. Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur
makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya
10mM, sedangkan KH2PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM.
Larutan senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh
Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga
digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan 1988) serta Nitsch &
Nitsch (1969 dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur anther.
b. Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam
Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara
mengurangi konsentrasi K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi Ca2
+ nya.
c. Chaturvedi et al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi
NO3-, K+, Ca2
+, Mg2+ dan SO4
-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea
glabra.
Senyawa-senyawa di dalam media MS dapat terjadi pengendapan
persenyawaan, ini terlihat jelas pada media cair. Kebanyakan dari persenyawaan yang
mengendap adalah fosfat dan besi, kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit adalah
Ca, K, N, Zn dan Mn. Senyawa paling sedikit adalah senyawa yang mengandung
unsur C, Mg, H, Si, Mo, S, Ca dan Co. Setelah tujuh hari dibiarkan, maka kira-kira
50% dari Fe dan 13% dari PO4+, mengendap (Dalton et al, 1983). Pengendapan unsur-
unsur tersebut mungkin tidak penting, karena unsur-unsur tersebut masih tersedia bagi
jaringan tanaman dan pengaruh pengendapannya belum diketahui. Untuk mengatasi
pengendapan Fe, Dalton dan grupnya menganjurkan supaya konsentrasi Fe dikurangi
sampai 1/3 dengan EDTA yang tetap.
5. Media Gamborg B5 (media B5)
Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi
nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media
B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media
dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga
digunakan untuk kultur-kultur lain. Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4,
media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih
tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah
1 mM, Ca2+ antara 1-4 mM, sedangkan Mg2
+ antara 0.5-3 mM (Gamborg et al, 1968).
6. Media Schenk & Hildebrant (media SH)
Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman
monokotil dan dikotil. Konsentrasi ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip
dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+,
Mg2+, dan PO4
-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan
jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari
spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14%
kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang
diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas
penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.
7. Media WPM (Woody Plant Medium)
Yang dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan
media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan
khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang
digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan
untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.
8. Media N6
Media N6 mempunyai ciri perbandingan NH₄⁺ dan NO₃⁻ yang jauh
perbandinganya. Amonium yang diberikan dalam bentuk (NH₄)SO₄ hanya sebanyak
363 mg/l, sedangkan KNO₃ 2830 mg/l.
Pada umumnya media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media
perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara esensial
(makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan
macam media dasar. Penamaan resep media dasar pada umumnya diambil dari nama
penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali dalam kultur khusus dan
memperoleh suatu hasil yang penting artinya.
Beberapa media dasar yang banyak digunakan antara lain:
a) Media dasar Murhasige dan skoog (1962) yang dapat digunakan untuk hampir semua
jenis kultur, terutama pada tanaman herbaceous.
b) Media dasar B5 untuk kultur sel kedelai, alfafa, dan legume lain.
c) Media dasar White (1934) yang sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat.
d) Media dasar Vacin dan Went yang biasa digunakan untuk kultur jaringan anggrek.
e) Media dasar Nitsch dan Nitsch yang biasa digunakan dalam kultur tepung sari
(pollen) dan kultur sel.
f) Media dasar schenk dan Hildebrandt (1972) atau media SH yang cocok untuk kultur
jaringan tanaman-tanaman monokotil.
g) Medium khusus tanaman berkayu atau Woody Plant Medium (WPM)
h) Media N6 untuk serealia terutama padi.
Komposisi Media Kultur Jaringan
1. Hara anorganik
Ada 12 hara mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman dan beberapa
hara yang dilaporkan mempengaruhi pertumbuhan in vitro. Untuk pertumbuhan
normal dalam kultur jaringan, unsure-unsur penting ini harus dimasukkan dalam
media kultur. Perbandingan 5 media pada Tabel 12.1 memperlihatkan bahwa unsur
esensial ini dimasukkan pada masing-masing media tapi konsentrasinya berbeda
karena diberikan dalam bentuk yang berbeda.
2. Hara organik
Tanaman yang tumbuh dalam kondisi normal bersifat autotrof dan dapat
mensintesa semua kebutuhan bahan organiknya. Meskipun tanaman in vitro dapat
mensintesa senyawa ini, diperkirakan mereka tidak menghasilkan vitamin dalam
jumlah yang cukup untuk pertumbuhan yang sehat dan satu atau lebih vitamin mesti
ditambahkan ke media. Thiamin merupakan vitamin yang penting, selain itu asam
nikotin, piridoksin dan inositol biasanya ditambahkan.
Selain bahan organik tersebut, bahan kompleks seringkali ditambahkan,
termasuk ekstrak ragi, casein hydrolysate, air kelapa, jus jeruk, jaringan pisang, dan
lain – lain. Penambahan bahan kompleks ini menghasilkan media yang tak terdefinisi.
Dengan penelitian yang cukup, semestinya bahan kompleks ini dapat diganti dengan
zat tertentu, mungkin tambahan suatu vitamin atau asam amino.
3. Sumber Karbon
Tanaman dalam kultur jaringan tumbuh secara heterotrof dan karena mereka
tidak cukup mensintesa kebutuhan karbonnya, maka sukrosa harus ditambahkan ke
dalam media. Sumber karbon ini menyediakan energi bagi pertumbuhan tanaman dan
juga sebagai bahan pembangun untuk memproduksi molekul yang lebih besar yang
diperlukan untuk tumbuh.
Biasanya sukrosa pada konsentrasi 1 – 5% digunakan sebagai sumber karbon
tapi sumber karbon lain seperti glukosa, maltosa, galaktosa dan laktosa juga
digunakan. Ketika sukrosa diautoklaf, terjadi hidrolisis untuk menghasilkan glukosa
dan fruktosa yang dapat digunakan lebih efisien oleh tanaman dalam kultur.
4. Agar
Umumnya jaringan dikulturkan pada media padat yang dibuat seperti gel
dengan menggunakan agar atau pengganti agar sperti Gelrite atau Phytagel.
Konsentrasi agar yang digunakan berkisar antara 0.7 – 1.0%. Pada konsentrasi tinggi
agar menjadi sangat keras, sedikit sekali air yang tersedia, sehingga difusi hara ke
tanaman sangat buruk. Agar dengan kualitas tinggi seperti Difco BiTek mahal
harganya tapi lebih murni, tidak mengandung bahan lain yang mungkin mengganggu
pertumbuhan. Pengganti lain seperti gelatin kadang – kadang digunakan pada lab
komersial.
Gel sintetis diketahui dapat menyebabkan hyperhidration (vitrifikasi) yang
merupakan problem fisiologis yang terjadi pada kultur. Untuk mengatasi masalah ini,
produk baru bernaman Agargel telah diproduksi ole Sigma. Produk ini merupakan
campuran agar dan gel sintetis dan menawarkan kelebihan kedua produk sekaligus
mengurangi problem vitrifikasi. Produk ini dapat dibuat di lab dengan mencampurkan
1 g Gelrite (Phytagel) dengan 4 g agar sebagai agen pengental untuk 1 L media.
5. pH
pH media biasanya diatur pada kisaran 5.6 – 5.8 tapi tanaman yang berbeda
mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum. Jika pH lebih
tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH kurang dari 5.2, agar
tidak dapat memadat.
6. Zat Pengatur Tumbuh
Pada media umumnya ditambahkan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur
tumbuh adalah senyawa organik komplek alami yang disintesis oleh tanaman tingkat
tinggi, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
7. Air
Air distilata biasanya digunakan dalam kultur jaringan, dan banyak lab
menggunakan aquabides (air destilata ganda). Beberapa lab, dengan alasan ekonomi,
menggunakan air hujan, tapi ini menyebabkan sulit mengontrol kandungan bahan
organik dan non-organik pada media.
Hormon adalah bahan organik yang disintesa pada jaringan tanaman. Hormon
diperlukan dalam konsentrasi yang rendah untuk mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Banyak molekul sintetis organik yang telah dikenal memiliki
aktivitas serupa hormon. Senyawa sintetis dan hormon yang secara alami ada, dikenal dengan
sebutan zat pengatur tumbuh.
Kultur jaringan merupakan manipulasi pertumbuhan tanaman dalam kondisi yang
terkontrol dengan baik dan auksin serta sitokinin berperan penting dalam manipulasi ini.
Kebanyakan eksplan menghasilkan sejumlah (endogenus) auksin dan sitokinin. Dalam kultur
jaringan, tambahan (exogenous) zat pengatur tumbuh diberikan untuk memperoleh efek
pertumbuhan. Sebagai panduan umum, auksin atau sitokinin atau keduanya ditambahkan ke
dalam kultur untuk memperoleh respon pertumbuhan.
Hormon tumbuhan adalah suatu senyawa organik yang disintesis dalam satu bagian
tumbuhan dan diangkut ke bagian lain, yang dalam konsentrasi yang sangat rendah dapat
mengakibatkan respon fisiologi.
Hormon tumbuhan (phytohormones) secara fisiologi adalah penyampai pesan antar
sel yang dibutuhkan untuk mengontrol seluruh daur hidup tumbuhan, diantaranya
perkecambahan, perakaran, pertumbuhan, pembungaan dan pembuahan. Sebagai tambahan,
hormon tumbuhan dihasilkan sebagai respon terhadap berbagai faktor lingkungan kelebihan
nutrisi, kondisi kekeringan, cahaya, suhu dan stress baik secara kimia maupun fisik. Oleh
karena itu ketersediaan hormon sangat dipengaruhi oleh musim dan lingkungan.
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organic komplek alami yang disintesis oleh
tanaman tingkat tinggi, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah
sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis
dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh
yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah
perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level zat
pengatur tumbuh endogen sel. Level zat pengatur tumbuh endogen ini kemudian merupakan
trigerring factor untuk proses-proses yang tumbuh dan morfogenesis. Selain auksin dan
sitokinin, gliberelin dan persenyawaan-persenyawaan lain juga ditambahkan dalam kasus-
kasus tertentu.
Pada umumnya dikenal lima kelompok hormon tumbuhan: auxins, cytokinins,
gibberellins, abscisic acid and ethylene. Namun demikian menurut perkembangan riset
terbaru ditemukan molekul aktif yang termasuk zat pengatur tumbuh dari golongan
polyamines seperti putrescine or spermidine.
1. Auksin
Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang kalus,
suspensi sel dan organ. Pemilihan jenis auksin dan konsentrasi, tergantung dari : Tipe
pertumbuhan yang dikehendaki, level auksin endogen, kemampuan jaringan
mensintesa auksin dan golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan.
Auksin alamiah adalah Indola Acetic Acid (IAA), Level auksin dalam eksplan,
tergantung dari bagian tanaman yang diambil dan jenis tanamannya. Selain itu juga
dipengaruhi oleh musim dan umur tanamannya. Dalam kultur in vitro ada sel-sel yang
dapat tumbuh dan berkembang tanpa auksin seperti sel-sel tumor. Sel-Sel ini disebut
sel-sel yang habituated.
Pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan tanaman diduga melalui dua
cara :
a. Menginduksi sekresi ion H+ keluar sel melalui dinding sel. Pengasaman
dinding sel menyebabkan K+ diambil dan pengambilan ini mengurangi
potensial air dalam sel. Akibatnya air masuk ke dalam sel dan sel membesar.
b. Mempengaruhi metabolisme RNA yang berarti metabolisme protein, mungkin
melalui transkripsi molekul RNA.
c. Memacu terjadinya dominansi apikal.
d. Dalam jumlah sedikit memacu pertumbuhan akar.
2. Sitokinin
Golongan sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini sangat penting
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Seperti juga auksin, sitokinin
ada yang alamiah dan sintetis. Sitokinin yang pertama ditemukan, adalah kinetin yang
diisolasi oleh. Skoog dalam laboratorium Botany di University of Wisconsin. Kinetin
diperoleh dari DNA ikan Herring yang diautoklaf dalam larutan yang asam.
Persenyawaan dari DNA tersebut sewaktu ditambahkan ke dalam media untuk
tembakau, ternyata merangsang pembelahan sel dan differensiasi sel. Persenyawaan
tersebut kemudian dinamakan kinetin. Fungsi sitokinin terhadap tanaman antara lain
adalah:
a. Memacu terbentuknya organogenesis dan morfogenesis.
b. Memacu terjadinya pembelahan sel.
c. Kombinasi antara auxin dan sitokinin akan memacu pertumbuhan kalus.
3. Giberelin
Penggunaan giberilin dalam kultur jaringan tanaman, kadang-kadang
membantu morfogenesis. Tetapi dalam kultur kalus dimana pertumbuhan sudah cepat
hanya dengan auksin dan sitokinin, maka penambahan giberelin sering menghambat.
Pada umumnya giberelin terutama GA3 menghambat perakaran.
Pengaruh positif giberelin ditemukan dalam kultur bit gula, dimana GA3
merangsang pembentukan pucuk dari potongan inflorescence (Coumans et al., (1982
dalam Gunawan 1988). Pertumbuhan kultur pucuk kentang juga baik bila 0.10-0.10
mg/l GA3 dikombinasikan dengan 0.5-5.0 mg/l kinetin (Goodwin et al., (1980 dalam
Gunawan 1988). Berat molekul GA3 346.38. Secara umum fungsi geberelin antara
lain adalah :
a. Mematahkan dormansi
b. Memacu perkecambahan.
c. Memacu terjadinya proses imbibisi.
4. Abscisic acid
Asam Abscisat (ABA) adalah penghambat pertumbuhan merupakan lawan
dari gibberellins: hormon ini memaksa dormansi, mencegah biji dari perkecambahan
dan menyebabkan rontoknya daun, bunga dan buah. Secara alami tingginya
konsentrasi asam abscisat ini dipicu oleh adanya stress oleh lingkungan misalnya
kekeringan.
5. Ethylene
Ethylene adalah hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan Auxin,
Gibberellin, dan Cytokinin. Dalam keadaan normal ethylene akan berbentuk gas dan
struktur kimianya sangat sederhana sekali. Di alam ethilene akan berperan apabila
terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman. hormon ini akan berperan
pada proses pematangan buah dalam fase climacteric.
Penelitian terhadap ethylene, pertama kali dilakukan oleh Neljubow (1901)
dan Kriedermann (1975), hasilnya menunjukan gas ethylene dapat membuat
perubahan pada akar tanaman. Hasil penelitian Zimmerman et al (1931) menunjukan
bahwa ethylene dapat mendukung terjadinya abscission pada daun, namun menurut
Rodriquez (1932), zat tersebut dapat mendukung proses pembungaan pada tanaman
nanas.
Penelitian lain telah membuktikan tentang adanya kerja sama antara auxin dan
ethylene dalam pembengkakan (swelling) dan perakaran dengan cara mengaplikasikan
auxin pada jaringan setelah ethylene berperan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
kehadiran auxin dapat menstimulasi produksi ethylene.
6. Polyamines
Polyamines mempunyai peranan besar dalam proses genetis yang paling
mendasar seperti sintesis DNA dan ekspresi genetika. Spermine dan spermidine
berikatan dengan rantai phosphate dari asam nukleat. Interaksi ini kebanyakkan
didasarkan pada interaksi ion elektrostatik antara muatan positif kelompok
ammonium dari polyamine dan muatan negatif dari phosphat.
Polyamine adalah kunci dari migrasi sel, perkembangbiakan dan diferensiasi
pada tanaman dan hewan. Level metabolis dari polyamine dan prekursor asam amino
adalah sangat penting untuk dijaga, oleh karena itu biosynthesis dan degradasinya
harus diatur secara ketat.
Polyamine mewakili kelompok hormon pertumbuhan tanaman, namun mereka
juga memberikan efek pada kulit, pertumbuhan rambut, kesuburan, depot lemak,
integritas pankreatis dan pertumbuhan regenerasi dalam mamalia. Sebagai tambahan,
spermine merupakan senyawa penting yang banyak digunakan untuk mengendapkan
DNA dalam biologi molekuler. Spermidine menstimulasi aktivitas dari T4
polynucleotida kinase and T7 RNA polymerase dan ini kemudian digunakan sebagai
protokol dalam pemanfaatan enzim
Zat Pengatur Tumbuh Yang Tidak Umum
a) Beberapa persenyawaan yang mempunyai sifat mengatur pertumbuhan dan
perkembangan jaringan tanaman misalnya: glyphosate (n-phosphonomethyl glycine)
dapat digunakan untuk merangsang pucuk dalam kasus alfalfa bila ditambahkan
bersama-sama auksin dan sitokinin (Winata dan Harvey, (1980 dalam Gunawan
1988).
o Adenine
o Sering ditambahkan pd media untuk merangsang pertumbuhan tunas
b) Karbon aktif
o Digunakan dengang konsentrasi 0.2 – 3% dlm media.
o Berperan dalam induksi akar
o Menyerap senyawa
Tanaman transgenik adalah tanaman yang telah disisipi atau memiliki gen asing dari
spesies tanaman yang berbeda atau makhluk hidup lainnya. Penggabungan gen asing ini
bertujuan untuk mendapatkan tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, misalnya
pembuatan tanaman yang tahan suhu tinggi, suhu rendah, kekeringan, resisten terhadap
organisme pengganggu tanaman, serta kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi dari tanaman
alami. Sebagian besar rekayasa atau modifikasi sifat tanaman dilakukan untuk mengatasi
kebutuhan pangan penduduk dunia yang semakin meningkat dan juga permasalahan
kekurangan gizi manusia sehingga pembuatan tanaman transgenik juga menjadi bagian dari
pemuliaan tanaman. Hadirnya tanaman transgenik menimbulkan kontroversi masyarakat
dunia karena sebagian masyarakat khawatir apabila tanaman tersebut akan mengganggu
keseimbangan lingkungan (ekologi), membahayakan kesehatan manusia, dan memengaruhi
perekonomian global.
Seleksi genetik untuk pemuliaan tanaman (perbaikan kualitas/sifat tanaman) telah
dilakukan sejak tahun 8000 SM ketika praktik pertanian dimulai di Mesopotamia. Secara
konvensional, pemuliaan tanaman dilakukan dengan memanfaatkan proses seleksi dan
persilangan tanaman. Kedua proses tersebut memakan waktu yang cukup lama dan hasil yang
didapat tidak menentu karena bergantung dari mutasi alamiah secara acak. Contoh hasil
pemuliaan tanaman konvensional adalah durian montong yang memiliki perbedaan sifat
dengan tetuanya, yaitu durian liar. Hal ini dikarenakan manusia telah menyilangkan atau
mengawinkan durian liar dengan varietas lain untuk mendapatkan durian dengan sifat unggul
seperti durian montong.
Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri
Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya ke
dalam tanaman. Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang
disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia.
Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan
peningkatan tanaman terus dilakukan manusia. Tanaman transgenik pertama yang berhasil
diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai. Keduanya diluncurkan pertama kali di
Amerika Serikat pada tahun 1996. Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta hektar tanah pertanian
di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia merupakan
kedelai transgenik.
Pembuatan tanaman transgenik
Untuk membuat suatu tanaman transgenik, pertama-tama dilakukan identifikasi atau
pencarian gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan). Gen yang
diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan, cendawan, atau bakteri. Setelah gen yang
diinginkan didapat maka dilakukan perbanyakan gen yang disebut dengan istilah kloning gen.
Pada tahapan kloning gen, DNA asing akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen
pembawa DNA), contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen). Kemudian,
vektor kloning akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga DNA dapat diperbanyak seiring
dengan perkembangbiakan bakteri tersebut. Apabila gen yang diinginkan telah diperbanyak
dalam jumlah yang cukup maka akan dilakukan transfer gen asing tersebut ke dalam sel
tumbuhan yang berasal dari bagian tertentu, salah satunya adalah bagian daun. [11] Transfer
gen ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode senjata gen, metode
transformasi DNA yang diperantarai bakteri Agrobacterium tumefaciens, dan elektroporasi
(metode transfer DNA dengan bantuan listrik).
Metode senjata gen atau penembakan mikro-proyektil.
Metode ini sering digunakan pada spesies jagung dan padi. Untuk
melakukannya, digunakan senjata yang dapat menembakkan mikro-proyektil
berkecepatan tinggi ke dalam sel tanaman. Mikro-proyektil tersebut akan
mengantarkan DNA untuk masuk ke dalam sel tanaman. Penggunaan senjata gen
memberikan hasil yang bersih dan aman, meskipun ada kemungkinan terjadi
kerusakan sel selama penembakan berlangsung.
Metode transformasi yang diperantarai oleh Agrobacterium tumefaciens.
Bakteri Agrobacterium tumefaciens dapat menginfeksi tanaman secara alami
karena memiliki plasmid Ti, suatu vektor (pembawa DNA) untuk menyisipkan gen
asing. Di dalam plasmid Ti terdapat gen yang menyandikan sifat virulensi untuk
menyebabkan penyakit tanaman tertentu. Gen asing yang ingin dimasukkan ke dalam
tanaman dapat disisipkan di dalam plasmid Ti. Selanjutnya, A. tumefaciens secara
langsung dapat memindahkan gen pada plasmid tersebut ke dalam genom (DNA)
tanaman. Setelah DNA asing menyatu dengan DNA tanaman maka sifat-sifat yang
diinginkan dapat diekspresikan tumbuhan.
Metode elektroporasi.
Pada metode elektroporasi ini, sel tanaman yang akan menerima gen asing
harus mengalami pelepasan dinding sel hingga menjadi protoplas (sel yang
kehilangan dinding sel).[13] Selanjutnya sel diberi kejutan listrik dengan voltase tinggi
untuk membuka pori-pori membran sel tanaman sehingga DNA asing dapat masuk ke
dalam sel dan bersatu (terintegrasi) dengan DNA kromosom tanaman. Kemudian,
dilakukan proses pengembalian dinding sel tanaman.
Setelah proses transfer DNA selesai, dilakukan seleksi sel daun untuk mendapatkan
sel yang berhasil disisipi gen asing. Hasil seleksi ditumbuhkan menjadi kalus (sekumpulan
sel yang belum terdiferensiasi) hingga nantinya terbentuk akar dan tunas. Apabila telah
terbentuk tanaman muda (plantlet), maka dapat dilakukan pemindahan ke tanah dan sifat baru
tanaman dapat diamati.
Budidaya Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)
Penanaman dan penggunaan tembakau di Indonesia sudah dikenal sejak lama.
Komoditi tembakau mempunyai arti yang cukup penting, tidak hanya sebagai sumber
pendapatan bagi para petani, tetapi juga bagi NegaraTanaman Tembakau merupakan tanaman
semusim, tetapi di dunia pertanian termasuk dalam golongan tanaman perkebunan dan tidak
termasuk golongan tanaman pangan.
Tembakau (daunnya) digunakan sebagai bahan pembuatan ro kok. Usaha Pertanian
tembakau merupakan usaha padat karya. Meskipun luas areal perkebunan tembakau di
Indonesia, diperkirakan hanya sekitar 207.020 hektar, namun jika dibandingkan dengan
pertanian padi, pertanian tembakau memerlukan tenaga kerja hampir tiga kali lipat. Seperti
juga ada kegiatan pertanian lainnya, untukmendapatkan produksi tembakau dengan mutu
yang baik, banyak faktor yang harusdiperhatikan. Selain faktor tanah, iklim, pemupukan dan
cara panen.
Nicotiana tobacum dibudidayakan umumnya karena memiliki arti ekonomi penting.
Spesies yang sering dibudidayakan adalah Nicotiana tobacum dan Nicotiana rustika.
Nicotiana tobacum, daun mahkota bunganya memiliki warna merah muda sampai merah,
mahkota bunga berbentuk terompet panjang, habitusnya piramidal, daunnya berbentuk
lonjong dan pada ujung runcing, kedudukan daun pada batang tegak, tingginya 1,2 m.
Nicotiana rustika, daun mahkota bunganya berwarna kuning, bentuk mahkota bunga seperti
terompet berukuran pendek dan sedikit bergelombang, habitusnya silindris, bentuk daun bulat
yang pada ujungnya tumpul, kedudukan daun pada batang agak terkulai.
1. Akar
Tanaman tembakau merupakan tanaman berakar tunggang yang tumbuh tegak
ke pusat bumi. Akar tunggangnya dapat menembus tanah kedalaman 50- 75 cm,
sedangkan akar serabutnya menyebar ke samping. Selain itu, tanaman tembakau juga
memiliki bulubulu akar. perakaran akan berkembang baik jika tanahnya gembur,
mudah menyerap air,dan subur.
2. Batang
Tanaman Tembakau memiliki bentuk batang agak bulat, agak lunak tetapi
kuat, makin keujung, makin kecil. Ruas-ruas batang mengalami penebalan yang
ditumbuhi daun, batang tanaman bercabang atau sedikit bercabang. Pada setiap ruas
batang selain ditumbuhi daun, juga ditumbuhi tunas ketiak daun, diameter batang
sekitar 5 cm.
3. Daun
Daun tanaman tembakau berbentuk bulat lonjong (oval) atau bulat, tergantung
pada varietasnya. Daun yang berbentuk bulat lonjong ujungnya meruncing, sedangkan
yang berbentuk bulat, ujungnya tumpul. Daun memiliki tulang-tulang menyirip,
bagian tepi daun agak bergelombang dan licin. Lapisan atas daun terdiri atas lapisan
palisade parenchyma dan spongy parenchyma pada bagian bawah. Jumlah daun dalam
satu tanaman sekitar 28- 32 helai
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman tembakau pada umumnya tidak menghendaki iklim yang kering ataupun
iklim yang sangat basah. Angin kencang yang sering melanda lokasi tanaman tembakau dapat
merusak tanaman (tanaman roboh) dan juga berpengaruh terhadap mengering dan
mengerasnya tanah yang dapat menyebabkan berkurangnya kandungan oksigen di dalam
tanah. Untuk tanaman tembakau dataran rendah, curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun,
sedangkan untuk tembakau dataran tinggi, curah hujan ratarata 1.500-3.500 mm/tahun.
Penyinaran cahaya matahari yang kurang dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman
kurang baik sehingga produktivitasnya rendah. Oleh karena itu lokasi untuk tanaman
tembakau sebaiknya dipilih di tempat terbuka dan waktu tanam disesuaikan dengan jenisnya.
Suhu udara yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tembakau berkisar antara 21-32,30C.
Tanaman tembakau dapat tumbuh pada dataran rendah ataupun di dataran tinggi bergantung
pada varietasnya. Ketinggian tempat yang paling cocok untuk pertumbuhan
tanaman tembakau adalah 0 - 900 mdpl.
Penanaman
Penanaman, untuk jenis tembakau musim kemarau (VO) ditanam antara Maret-Juni,
dan tembakau musim penghujan (NO) ditanaman antara Agustus-September. Jarak tanam
sangat tergantung pada keadaan tanah dan jenis tembakau yang ditanam, Untuk tembakau
NO jarak tanamnya 90 x 45 cm dan tembakau NO jarak tanamannya 90 -100 cm x 70 cm
(Anonim, 2011). Lubang tanam disesuaikan dengan jarak tanam dibuat dengan kedalaman
10-15 cm basahi terlebih dahulu tanahnya agar bibit dapat berdiri dengan tegak. Benamkan
bibit sedalam akar leher, waktu tanam lebih baik dilakukan pada pagi hari atau sore hari
(Maulidiana, 2008).
Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan pada pertanaman tembakau meliputi penyiraman,
penyulaman, pembumbunan, pemupukan, pemangkasan, dan pemetikan (Anonim, 2011):
Pengairan
Tembakau musim kemarau (VO) membutuhkan air secukupnya (sekitar 100 mm
perbulan) selama pertumbuhannya (3 bulan), namun pada saat panen tidak dikehendaki hujan
sama sekali, agar dihasilkan mutu yang baik. Tembakau musim penghujan (NO)
membutuhkan air secukupnya (90 mm perbulan) pada saat panen. Hal ini agar diperoleh mutu
yang baik (daun tipis, rata, lebar, elastis dan berwarna cerah). Peramalan iklim (saat tanam
dan panen) perlu dilakukan guna meminimalisir kegagalan penanaman.
Pada bibit tembakau, penyiraman dilakukan tiap hari (pagi dan sore) sampai tanaman
cukup kuat. Pengairan diberikan secukupnya pada tanaman. Pada saat tembakau berumur 7-
25 hari dilakukan penyiraman dengan frekuensi 3-4 liter per tanaman. Pada umur 25-30 hari
frekuensi penyiraman 4 liter per tanaman. Pada umur 45 hari setelah tanam pertumbuhan
akan sangat cepat oleh karea itu diperlukan penyiraman 5 liter per tanaman setiap 3 hari.
Setela tanaman berumur 65 hari sampai panen, tidak diperlukan penyiraman lagi kecuali
cuaca sangat kering (Warintek, 2007).
Penyulaman
Penyulamam dilakukan setelah seminggu ditanam. Bibit yang kurang baik dapat
diganti dengan cara dicabut dan diganti dengan bibit baru yang berumur sama.
Pembumbunan tanah pada guludan, untuk merangsang perakaran yang baik.
Penyiangan
Penyiangan dapat dilakukan setiap 3 minggu. Dapat dilakukan menggunakan tangan
dengan cara mencabut gulmanya atau dengan menggunakan herbisida.
Pemupukan
Penggunaan pupuk yang tepat, baik berupa pupuk organik dan anorganik (N, P dan
K). Dosis pupuk yang diterapkan sangat beragam tergantung pada tanah, teknologi, jenis
tembakau dan kemampuan pendanaan. Beberapa contoh dosis pupuk yang diterapkan untuk
tanaman tembakau sebagai berikut (Anonim, 2010).
Tembakau Virginia PT. BAT Klaten : 76,5 kg N/ha, 82,5 kg P2O5/ha dan 217 kg
K2O/ha.
Tembakau Cerutu Vorstenlanden PT. Perkebunan Nusantara X Klaten : 400 kg
SP36/ha, 550 KNO3/ha, 700 kg CaS/ha. Pupuk tersebut diberikan 3 kali (starter,
pemupukan I dan pemupukan II) dalam bentuk cair. Pupuk Starter terdiri dari SP36
dan KNO3 masing-masing dengan dosis 400 dan 200 kg/ha. Pemupukan I terdiri dari
CaS dan CaCO3 masing-masing dengan dosis 350 dan 200 kg/ha serta pemupukan II
350 CaS/ha dan 150 KNO3/ha. Konsentrasi SP36 dalam larutan adalah 0,25 kg/ha,
KNO3 pada starter 0,125 kg/liter CaS dan KNO3 pada pemupukan I masing-masing
0,22 dan 0,125 kg/liter, sedang untuk pemupukan II 0,22 kg/liter CaS dan 0,09 kg/liter
KNO3.
Pemangkasan
Pemangkasan hanya dilakukan pada jenis tembakau VO, dilakukan begitu kuncup
bungan mulai keluar (80 %) dan dilakukan dengan tangan dengan cara dipetik. Pada tanaman
tembakau dikenal 2 macam pemangkasan yaitu : topping (pangkas pucuk) dan suckering atau
pembuangan tunas samping (wiwil). Pangkas pucuk maupun wiwil pada tanaman tembakau
bertujuan untuk menghentikan pengangkutan bahan makanan ke mahkota bunga atau
kekuncup tunas sehingga hasil fotosintesis dapat terakumulasi pada daun sehingga diperoleh
produksi krosok dan kualitasnya yang tinggi. Pangkas pucuk dan wiwil biasanya dilakukan
secara manual. Pangkasan pucuk dilakukan pada saat button stage atau saat daun berjumlah
20 helai di atas daun bibit. Pangkasan wiwil dilakukan 3 sampai 5 hari sekali pada saat
panjang tunas samping sekitar 7 cm. Wiwil dilakukan sampai panen berakhir. Pangkasan
wiwil saat ini sudah dapat dilakukan dengan bahan kimia (sucrisida) Hyline 715. Penggunaan
sucrisida memberikan hasil yang lebih baik (Anonim, 2010).