pemikiran pendidikan islam menurut buya hamka
TRANSCRIPT
Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Buya Hamka
Dian Rahmi Zul
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
E-mail: [email protected]
Abstrak:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa konsep pemikiran pendidikan Islam menurut Buya Hamka, agar mampu diterapkan pada dunia pendidikan kontemporer yang penuh dengan problem-problem ketimpangan nilai-nilai dan akhlak. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini, yaitu kajian kepustakaan (library research) dengan cara mengumpulkan buku-buku karangan HAMKA sebagai data primer dan buku-buku lainnya yang menulis tentang HAMKA serta karya tulis berupa jurnal, skripsi maupun tesis untuk kemudian dikaji dan dianalisa sampai mendapatkan kesimpulan. Dalam penelitian ini penulis membatasi penelitian hanya membahas dan mengkaji pemikiran-pemikiran HAMKA terhadap Pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa konsep pemikiran Buya Hamka tentang pendidikan Islam adalah menekankan pada upaya maksimal dalam menumbuhkan dan menguatkan pribadi. Dari hasil kajian ini penulis menstrukturkan proses munculnya pemikiran pemikiran HAMKA, sehingga tampak benang merah keterkaitan pemikiran Pendidikan HAMKA dengan Perjalanan Hidupnya. Selanjutnya, penulis melakukan kajian analisis terhadap pemikiran HAMKA yang dihubungkan dengan kondisi saat ini, sehingga penulis menemukan adanya relevansi pemikiran Pendidikan Islam HAMKA dengan kondisi keterkinian dan pada akhirnya bila ini diterapkan akan mampu membawa bangsa ini kepada kehidupan yang jauh lebih baik.
Kata Kunci: HAMKA, Pendidikan, Pendidikan Islam Abstract:
The purpose of this study is to find out what the concept of Islamic education thought according to Buya Hamka, so that it can be applied to the contemporary world of education which is full of problems of unequal values and morals. Qualitative methods are used in this study, namely library research by collecting books written by HAMKA as primary data and other books that write about HAMKA as well as written works in the form of journals, theses and theses to be studied and analyzed to obtain conclusion. In this study, the authors limit the research to only discussing and reviewing HAMKA's thoughts on education, especially Islamic education in Indonesia. Research shows that Buya Hamka's concept of Islamic education emphasizes maximum effort in personal growth and strengthening. From the results of this study, the authors structure the process of the emergence of HAMKA thoughts, so that a common thread appears to be related to HAMKA education thoughts and their life journey. Furthermore, the author conducts an analytical study of HAMKA's thoughts related
102
102
to current conditions, so that the authors find the relevance of HAMKA Islamic Education thoughts to current conditions and in the end if this is implemented it will be able to bring this nation to a much better life. Keywords: HAMKA, Education, Islamic Education
Pendahuluan
Sesungguhnya pendidikan yang kita laksanakan sekarang ini tidaklah terlepas dari
usaha-usaha para tokoh pendidikan yang dahulu telah merintisnya dengan perjuangan yang
sangat berat dan tidak mengenal lelah. Oleh karena itu, bila kita berbicara tentang
pendidikan yang kini berlangsung tidaklah arif bila tidak membicarakan sosok dan tokoh-
tokoh pendidikan tersebut, dengan hanya menerima jerih payah dan karya mereka. Pada
dasarnya cukup banyak tokoh pelaku sejarah yang sangat berjasa dalam dunia pendidikan
di Indonesia.1
Tokoh pendidikan Islam di Indonesia pun sangat banyak, dimana mereka
meninggalkan buah perjuangan dan jasa-jasa mereka yang sampai saat ini dinikmati oleh
masyarakat Islam di Indonesia terutama dalam hal pendidikan Islam. Namun dalam
kesempatan ini hanya satu tokoh yang bisa dikemukakan, dengan tidak mengurangi dan
mengecilkan arti perjuangan dan jasa- jasa tokoh lain. Penulis akan memaparkan pemikiran
pendidikan menurut Hamka.
Sebagai seorang tokoh Islam, pandangan Hamka tentang pendidikan Islam sangat
mendalam. Menurutnya, pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan
menimbulkan serta menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam
berbagai ilmu pengetahuan. Pendidikan tersebut tergabung dalam dua prinsip yang saling
mendukung, yaitu prinsip keberanian dan kemerdekaan berpikir2. Pembahasan berikut
akan menjelaskan mengenai riwayat hidup Hamka, karya-karya Hamka, dan pemikiran
Hamka tentang pendidikan Islam.
Metode
1 Hasbulah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Edisi Revisi, h. 263 2 Hamka, Falsafah Hidup, (Medan: Pustaka Islamiyah, 1980), h. 208.
103
103
Artikel ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research).
Yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengumpulan data pustaka, membaca,
mencatat serta mengolah bahan penelitian. Dan juga menggunakan pendekatan kualitatif,
dimana prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan yang disampaikan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Karena jenis
penelitian ini adalah kepustakaan, maka data- data yang diperoleh itu berupa buku-buku,
dokumen, catatan, artikel dan sumber-sumber lainya dari internet yang terkait dengan
permasalahan yang diangkat penulis.
Hasil dan Pembahasan
1. Biografi Singkat Buya HAMKA3
Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), dilahirkan di daerah Sungai Batang,
Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M./13 Muharam 1326
H dari kalangan family yang taat beragama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah
atau sering disebut Haji Rasul. Haji Rasul adalah seorang ulama yang pernah mengenyam
pendidikan agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum mudo dan tokoh Muhammadiyah
di Minangkabau.
Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat
beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada
akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang
menganut sistem adat keibuan (suku ibu/matrilineal). Oleh karna itu, dalam silsilah
Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.
Secara formal, alur pendidikan yang dienyam oleh Hamka tidak terlalu tinggi. Pada
usia 8-15 tahun, beliau mulai mengenyam pendidikan agama di sekolah Diniyyah School dan
Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Diantara gurunya adalah Syekh Ibrahim
Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, Sutan Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy.
3 Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008
104
104
Pelaksanaan pendidikan saat itu masih bersifat tradisional dengan penggunaan
sistem halaqoh. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru masuk dan dikenal di Sumatera
Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat itu sistim klasikal yang dikenal tersebut
belum memiliki bangku, meja, kapur dan papan tulis. Materi pendidikan yang diajarkan
masih berkisar pada pengajian kitabkitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh,
dan yang sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek
hafalan, cenderung mirip dengan sistem pendidikan tradisional.
Hamka adalah salah satu tokoh pembaharu Minangkabau yang berupaya mengubah
dinamika umat dan mujaddid yang unik. walaupun hanya sebagai produk pendidikan lama
karena lahir dipeadaban pendidikan yang masih sederhana, namun beliau merupakan
seorang intelektual yang memiliki wawasan menyeluruh dan visioner. Hal ini nampak pada
pembaharuan pendidikan Islam yang ia perkenalkan melalui Masjid Al-Azhar yang ia kelola
atas permintaan pihak yayasan melalui Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim. Hamka
menjadikan Masjid Al-Azhar bukan hanya sebagai institusi keagamaan, tetapi juga sebagai
lembaga sosial, yaitu:
1. Lembaga Pendidikan (Mulai TK Islam sampai Perguruan Tinggi Islam).
2. Badan Pemuda. Secara berkala, badan ini menyelenggarakan kegiatan pesantren kilat,
seminar, diskusi, olah raga, dan kesenian.
3. Badan Kesehatan. Badan ini menyelenggarakan dua kegiatan, yaitu; poliklinik gigi dan
poliklinik umum yang melayani pengobatan untuk para siswa, jemaah masjid, maupun
masyarakat umum.
4. Akademi, Kursus, dan Bimbingan Masyarakat.
Di antara kegiatan badan ini adalah mendirikan Akademi Bahasa Arab, Kursus Agama
Islam, membaca Al-Qur’an, manasik haji, dan pendidikan kader muballigh. Di masjid tersebut
pula, atas permintaan Hamka, dibangun perkantoran, aula, dan ruang-ruang belajar untuk
difungsikan sebagai media pendidikan dan sosial. Ia telah mengubah wajah Islam yang
sering kali dianggap ’marginal’ menjadi suatu agama yang sangat ’berharga’. Ia hendak
menggeser persepsi ’kumal’ terhadap kiyai dalam wacana yang eksklusif, menjadi
pandangan yang insklusif, respek dan bersahaja. Bahkan, beberapa elit pemikir dewasa ini
merupakan orang- orang yang pernah dibesarkan oleh Masjid Al-Azhar. Beberapa
105
105
diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Habib Abdullah, Jimly Assidiqy, Syafii Anwar, Wahid
Zaini, dan lain-lain.
Beberapa pandangan buya Hamka terkait pendidikan adalah, bahwa pendidikan
sekolah tak semestinya terlepas dari pendidikan di rumah. Karena menurutnya, alur
hubungan antara sekolah dan rumah, yaitu antara orang tua dan guru harus ada dan
konsern. Untuk mendukung hal ini, Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai tempat
bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk membicarakan perkembangan peserta
didik. Dengan adanya sholat jamaah di masjid, maka antara guru, orang tua dan murid bisa
berkomunikasi secara langsung. ”Kalaulah rumahnya berjauhan, akan bertemu pada hari
Jum’at”, begitu tutur Hamka.4 Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka telah puang ke rahmatullah.
Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.
Hamka bukan saja sebagai pujangga, wartawan, ulama, dan budayawan, tapi juga seorang
pemikir pendidikan yang pemikirannya masih relevan dan baik untuk diberlakukan dengan
zaman sekarang.
2. Karya-karya Hamka
Dalam kehidupan Hamka, menulis merupakan karir yang sangat menonjol, tidak
sedikit karangan-karangannya menghiasi sekaligus mengisi kehidupan masyarakat. Secara
garis besar karangan-karangannya berkisar mengenai masalah agama, filsafat, budaya,
sejarah dan sastra, yang di tulis semenjak berusia 17 tahun hingga menjelang akhir hayatnya
(dari tahun 1925 sampai tahun 1975). Karya-karya kepengarangannya pada tahun 1925-
1935 yaitu: Khatibul Ummah, yang terdiri dari 3 jilid. Merupakan kitab yang dicetak dengan
huruf Arab, yang jadi momen awal kiprahnya sebagai penulis, Pembela Islam (Tarikh
Sayyidina Abu Bakar), tahun 1929, Adat Minangkabau dan Agama Islam, tahun 1929,
Ringkasan Tarikh Umat Islam (berisikan sejarah Nabi Muhammad Saw, sejarah Khalifah
Empat, Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah), tahun 1929, Majalah Kemauan Zaman, tahun
1925, Kepentingan Melakukan Tablig, tahun 1929, Hikmah Isra’ dan Mi’raj, Arkanul Islam,
4 Mohammad, Herry. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Islami. 2006.
106
106
tahun 1932, Majalah Tentara (4 nomor), Makasar tahun 1932, Majalah al-Mahadi (9 nomor),
Makasar, tahun 19325 dan Mati Mengandung Malu, Tahun 1934.
Selain karya-karya yang tersebut di atas masih banyak lagi karya dan tulisannya yang
berbentuk sajak-sajak, cerita-cerita perjalanan serta berbagai tema dalam surat kabar dan
majalah-majalah. Adapun hasil karya yang dihasilkan beliau dari tahun 1935 sampai tahun
1942 yaitu sebagai berikut: Di bawah Lindungan Ka’bah; Balai Pustaka, 1936, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck; Balai Pustaka, 1937, Di Dalam Lembah kehidupan; Balai Pustaka, 1939,
dan Merantau Ke Deli. Keempat karangan Hamka tersebut dalam bentuk roman, yang
memiliki isi dan gaya bahasa yang tinggi. Para pembaca karya-karyanya pada umumnya
sangat terpukau oleh corak gaya bahasa yang ditampilkannya. Karya-karya itu banyak
dipengaruhi oleh sastrawan Mesir Musthafa Luthfi al-Manfaluthi, yaitu: Margaretta Gauthie
(terjemahan) (1940), Tuan Diretur (1939), Dijemput Mamaknya (1939), Keadilan Ilahi
(1939), Tasawuf Modern (1939), Falsafah Hidup (1939), Lembaga Hidup (1940. Lembaga
Budi (1940), Agama dan Perempuan (1939), dan Pedoman Muballig Islam (1937). Buku
novel yang ditulis atau terjemahkan menjadi buah bibir di kalangan pemuda-pemudi pada
masa itu. Bahkan menjadi kritik tajam bagi sebagian para ulama tradisional. “Haji atau ulama
roman?”, begitu kritik yang ditujukan kepadanya. Karena para ulama tradisional pada saat
itu kurang dapat menerima jika seorang ulama menulis tentang percintaan dan roman6 .
Adapun salah satu karya terbesar lainnya adalah Tafsir Alquran Al Azhar. Tafisr ini
merupakan satu karya monumental yang memperlihatkan kedalaman ilmunya dalam bidang
tafsir. Buku ini terdiri dari 30 jilid yang ditulis pada tahun 1966, saat beliau berada dalam
tahanan pada masa pemerintahan Soekarno7 .
5 0Kedua majalah tersebut (Majalah Tentata dan al-Mahadi) itu merupakan hasil tulisan penanya yang mendapat tempat dalam majalah setelah Hamka mengajukan karangannya kepada A. Hasan, M. Sabirin dan M. Nasir. Setelah beliau diangkat menjadi muballig oleh Pengurus Besar Muhammadiyah pada bulan Desember 1931. Lihat Mohammad Damami, Tasawuf Positif, h. 59 6 Alvia Harafit Lasmar’ati, Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah Ulama Sekaligus Sastrawan Besar, 15 Juli 2006 dalam http://riwayat-hamka.blogspot.com/ diunduh tanggal 28 Maret 2021 7 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. I, h. 105. Dalam kitabnya ini Hamka melakukan pembahasan tafsirnya dengan menggunakan pendekatan ilmiah, keilmuan, filsafat, kesusastraan, hukum, sejarah, budaya, sosial kemasyarakatan, tasawuf, hadis, dan menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Selain itu di dalam tafsirnya Hamka juga sering memaparkan pendapat-pendapat para mufassir sebelumnya, untuk memperkuat gagasan-gagasannya, namun tak jarang ia menampilkan pula pendapat-pendapat yang bertentangan, di sinilah kita melihat kepiawaian Hamka dalam meracik tafsirnya, Ketika ada perdebatan-perdebatan yang tajam
107
107
3. Pemikiran Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidikan Islam
Ada beberapa istilah bahasa Arab yang mengacu kepada makna pendidikan dalam
Islam diantaranya adalah tarbiyah, ta’dib, ta’lim dan tahzib. Kata tarbiyah yang berasal dari
kata ر yang berarti mengembangkan, menumbuhkan; bertambah.8 Dalam hal ini bisa
diterjemahkan dengan mendidik sesuai dengan potensi yang ada atau menumbuhkan
potensi yang ada yang sesuai dengan fitrah manusia. Adapun Syed Muhammad al-Naquib al-
Attas tidak setuju dengan istilah tarbiyah yang menjadi padanan kata pendidikan dalam
Islam. Menurutnya ta’dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat bagi konsepsi
pendidikan Islam, yang mencakup tarbiyah dan ta’lim.9
Konsep tarbiyah lebih menonjolkan kasih sayang, sedangkan ta’dib lebih
menonjolkan pengetahuan (ilm) daripada kasih sayang. Ahmad Fu’ad al-Ahwani
menyatakan bahwa dahulu seorang guru disebut dengan mu’addib yang bermakna menjadi
teladan, sekarang diistilahkan dengan murabbi.10 Tampaknya ada pergeseran istilah dalam
hal ini, namun al-Ahwani tidak menyebutkan kapan perubahan itu terjadi, apabila
perubahan itu terjadi hanya pada masa modern ini maka sinyalemen al-Attas mungkin ada
benarnya.
Selanjutnya akan diuraikan tentang pengertian pendidikan Islam menurut tinjauan
para ahli, antara lain sebagai berikut: Zakiah Daradjat berpendapat bahwa pendidikan Islam
adalah pembentukan kepribadian muslim.11 Yūsuf al-Qardhāwiy, berpendapat bahwa
pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya: akal dan hatinya, rohani dan
jasmaninya, serta akhlak dan keterampilannya.12 Adapun Muhammad ‘Athiyah al-Abrāsyi
mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak, akan tetapi tidak
dan berlarut-berlarut, ia berusaha mengkompromikan berbagai pandangan yang paradoks tersebut. Resensi Tafsir Al Azhar dalam http://diaz2000.multiply.com/journal/item/91 diunduh tanggal 28 Maret 2021 8 Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi alBilad al-‘Arabiyah, (Kairo: Alam al-Kutub, t.t.), h. 17 9 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam (Bandung: Mizan, 1984), h. 74-75 10 Ahmad Fu`ad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, Cetakan II (t.tp.: Dar al-Ma’arif, 1967), h. 13 11 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1983), h. 27 12 Yūsuf al-Qardhāwiy, Al-Tarbiyat al-Islāmiyat wa Madrasat Hasan al-Banna, Penerjemah: H. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 39
108
108
mengabaikan dalam mempersiapkan hidup seseorang tentang usaha dan rezekinya; karena
itu mencakup pula pendidikan jasmani, hati, keterampilan, bahasa, dan lain-lain.13
Ahmad Fu’ād alAhwāniy berpendapat bahwa pendidikan Islam sejak pada mulanya
lahirnya Islam adalah pendidikan agama, akhlak, amal, dan jasmani; tanpa mengabaikan
salah satu di antaranya. Hal ini disebabkan karena pendidikan Islam bertujuan untuk
mendidik dan membersihkan jiwa, mencerdaskan akal, dan memperkuat jasmani. Pada
umumnya definisi atau pendapat para ahli di atas tidaklah berbeda, walaupun
pengungkapan pendapat mereka berbeda-beda.
Pada intinya mereka berpendapat bahwa pendidikan Islam itu adalah pendidikan
yang didasarkan kepada ajaran Islam yang pada pokoknya bersumber pada Alquran dan
hadis Nabi Muhammad Saw., yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat.
b. Tujuan Pendidikan Islam
Para ahli pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam mengkategorikan tujuan
pendidikan Islam itu menjadi empat macam, yaitu: tujuan umum, tujuan akhir, tujuan
sementara, dan tujuan operasional. 14 Tujuan ilmu pendidikan Islam merupakan kerangka
tujuan pendidikan Islam yang selaras dengan tujuan hidup manusia muslim. Oleh sebab itu
tujuan ini harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi di mana pendidikan Islam itu
dilaksanakan. Tujuan yang punya kaitan dengan situasi dan kondisi ini disebut juga dengan
tujuan khusus,15 misalnya tujuan pendidikan Islam di Indonesia harus dikaitkan dengan
falsafah hidup bangsa Indonesia Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-garis
Besar Haluan Negara.
Insan Kamil dengan pola taqwa yang merupakan tujuan umum pendidikan Islam bisa
dijabarkan pada setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi, dan kondisi. Meskipun bobot
tujuan umum berbeda namun tetap mempunyai kerangka yang sama. Tujuan pendidikan
Islam di tingkat anak-anak misalnya punya kerangka yang sama dengan tujuan pendidikan
13 Lihat, Muhammad ‘Athiyat al-Abrāsyiy, Al-Tarbiyat al-Islamiyat wa Falāsifatuhā (Mishr: ‘Īsā al-Bābiy al-Halabiy, 1975), h. 3. 14Zakiah Daradjat, op. cit., h. 29 – 32. 15 Sofyani, Ilmu Pendidikan Islam, (Banjarmasin: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari, 1987), h. 23.
109
109
Islam di tingkat remaja namun punya bobot yang berbeda. Jika dihubungkan dengan
pendidikan formal baik sekolah atau madrasah, maka tujuan tersebut di atas disebut dengan
tujuan kurikuler yang selanjutnya dikembangkan dalam tujuan instruksional.
4. Konsep Pendidikan Islam Menurut Buya Hamka
Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam menurut Buya Hamka
Rumusan hakikat pendidikan menurut Buya Hamka menekankan pada pembentukan
karakter individu dengan warnawarna yang Islami atau dalam karya tulisannya disebut
dengan istilah pribadi. Pribadi yang mapan dengan segala potensi manusia untuk
mewujudkan manusia yang seutuhnya sesuai dengan jalan hidup seorang muslim.
Buya Hamka dalam memandang hakikat pendidikan Islam adalah sebuah upaya
untuk menumbuh-kembangkan segala potensi manusia, yaitu meliputi akal, budi, cita-cita
dan bentuk fisik agar terwujud pribadi yang baik serta dapat tercermin dalam sikap dan
perilaku sehari-hari sesuai dengan panduan jalan hidup Islami. Kemudian, tujuan
pendidikan Islam menurut Buya Hamka jika melihat tulisan-tulisannya pada buku Falsafah
Hidup dan Pribadi Hebat, adalah supaya anak-anak (peserta didik) disingkirkan dari
perasaan menganiaya orang lain (kekerasan yang kuat terhadap yang lemah).
Dengan harapan pendidikan mampu menanamkan rasa bahwa diri sendiri (peserta
didik) ini ialah anggota masyarakat dan tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat atau
menjadikan sebagai orang masyarakat. Selanjutnya, pendidikan sejati mampu membentuk
anak-anak berkhidmat kepada akal dan ilmunya, bukan kepada hawa dan nafsunya, serta
bukan kepada orang yang menguasainya (menggagahi dia).
Cara Pelaksanaan Pendidikan Islam menurut Buya Hamka
Buya Hamka membagi dua kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap individu dalam
pembentukan pribadi itu, yaitu berfikir dan bekerja. Berfikir itu artinya mampu menyusun
teori yang benar dan bekerja mampu menerapkan teori tersebut dalam proses kerja secara
maksimal dengan benar pula. Lebih lanjut menurut Buya Hamka proses atau cara
pelaksanaan pendidikan Islam demi menuju kesempurnaan pribadi yang diberikan Tuhan
110
110
terdiri dari dua kegiatan penting yaitu melatih berfikir dan melatih bekerja secara saling
berkaitan dan menyeluruh. Selanjutnya, secara lebih rinci kedua kegiatan itu Buya Hamka
menjelaskan, yang masuk dalam kelompok melatih berfikir adalah proses pendidikan
dilakukan dengan diawali mengetahui bakat anak, menuntun kebebasan berfikir anak
(dengan keteladanan), mengajak mereka berdiskusi (musyawarah), mengajarkan mereka
ilmu-ilmu (agama dan sains secara terpadu) agar mereka dapat berkhidmat pada akal dan
jiwanya. Kemudian yang masuk dalam kelompok melatih bekerja adalah mengajarkan
kepada anak-anak kemandirian, tidak memaksa, dan mengajarkan sikap tanggung jawab
kepada mereka (tidak terlalu dimanjakan).
Manfaat Pendidikan Islam menurut Buya Hamka
Manfaat pendidikan Islam menurut Buya Hamka adalah untuk mempersiapkan anak-
anak didik yang tangguh (mental maupun ilmu pengetahuan) dalam menghadapi tantangan
zaman yang akan semakin berat. Secara eksplisit untuk menyiapkan generasi-generasi yang
cakap dalam segala bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, kesehatan, teknologi,
pendidikan, dll) dalam rangka mengisi dan mempertahankan kemerdekaan negara, agar
tidak menjadi budak di negeri yang kaya. Dengan ungkapan lain pendidikan mampu
bermanfaat dalam menciptakan manusia-manusia yang mandiri (manusia yang merdeka).
Untuk membahas pendidikan Islam Menurut HAMKA, maka kita akan membagi
pembahasannya sesuai dengan bagian-bagian pendidikan yang telah disebutkan
sebelumnya, yaitu Tujuan pendidikan, Kurikulum, Pendidik, materi pembelajaran dan
peserta didik.
1. Tujuan Pendidikan
Secara umum, tujuan pendidikan Islam menurut Hamka memiliki dua dimensi
yang fundamental, yaitu untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk
mencapai tujuan ini, manusia harus memaksimalkan segala potensi yang
dimilikinya untuk beribadah dengan sebaik-baiknya, karena esensi beribadah
bukan hanya pada orientasi keakhiratan semata. Namun pada akhirnya, segala
proses pendidikan yang dilaksanakan dan dirasakan oleh peserta didik, bertujuan
untuk menjadikan peserta didik sebagai Abdi Allah yang baik.
111
111
2. Kurikulum
Secara eksplisit, pandangan HAMKA terhadap kurikulum sebenarnya belum
banyak ditemukan, karena pemikirannya lebih mengarah pada keadaan pendidik
dan peserta didik. Namun, menurut HAMKA, kurikulum merupakan suatu hal
yang dangat penting dalam pendidikan Islam. Kaitannya dengan ini, Menurut
Hamka, keberadaan adat dalam sebuah kelompok sosial dan kebijakan politik
negara, cukup memberikan pengaruh bagi proses perkembangan kepribadian
peserta didik pada masa selanjutnya. Oleh sebab itu, seluruh sistem sosial di mana
peserta didik itu berada harus bersifat kondusif dan proporsional untuk
menopang perkembangan pergerakan fitrah atau identitas keberagaman yang
dimiliki setiap anak didik. Masyarakat maupun negara semestinya melihat adat
dan kebijakan pemerintahan sebagai sesuatu yang tidak kaku, serta menghargai
setiap pendapat sebagai sebuah entitas yang beragam. Sikap yang demikian akan
menumbuhkan dinamika berfikir kritis dan menghargai kemerdekaan yang
dimiliki setiap orang, tanpa menyinggung kemerdekaan yang lainnya (Hamka,
1962: 190) hal inilah yang menurutnya, pantas dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan Islam, dimana kita mengajarkan pada peserta didik mengenai
bagaimana menghargaikeragaman, dan juga keberagaman.
3. Pendidik
Seperti halnya dengan kurikulum, Hamka tidak merumuskan pengertian pendidik
secara spesifik, namun pendapatnya mengenai hal ini dapat terbaca dari ia
mengungkapkan pendapatnya tentang tugas seorang pendidik, yaitu sosok yang
membantu menyiapkan serta membawa peserta didik, guna memiliki
pengetahuan yang mumpuni, berahlak yang baik, serta memiliki manfaat dalam
kehidupannya ditengah masyarakat. Hal ini juga di aminkan oleh beberapa orang
pemuka pendidikan bangsa ini, seperti Ki Hajar Dewantara, M. Syafei, Dr. Sutomo
dan lain-lain. Dr. Sutomo sempat berpendapat agar sistem pondok secara dahulu
dihidupkan kembali. Diadakan seorang pemimpin, pembimbing pendidikan;
kaitannya dengan ini, penulis menyebut pendidik untuk jangan sampai murid-
murid itu hanya menjadi orang pintar, tetapi tidak berguna untuk masyarakat
bangsanya. Karna pendidikan adalah untuk membentuk watak pribadi. Manusia
112
112
yang telah lahir ke dunia ini supaya menjadi seorang yang memiliki manfaat
dalam kehidupan bermasyarakat, juga agar peserta didik bisa mengetahui
mengenai suatu hal yang berkaitan dengan baik dan buruk16
Dari batasan di atas, terlihat demikian kompleksnya tugas dan tanggungjawab
yang dibebankan kepada pendidik. Hal ini menjadikan seorang pendidik, bukan
hanya dituntut untuk memliki ilmu yang luas, namun mereka pula hendaknya
merupakan seorang yang beriman, berakhlak mulia, sungguh-sungguh dalam
melaksanakan tugasnya sebagai bagian dari amanat yang diberikan Allah
kepadanya dan mesti dilaksanakan secara baik. Pentingnya pendidik yang
berkepribadian karimah, disebabkan karena tugasnya yang suci dan mulia
Eksistensinya bukan hanya sekedar melakukan proses transformasi sejumlah
informasi ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih dari itu adalah berupaya
membentuk karakter atau kepribadian peserta didik, sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam. Pendidik yang tidak memiliki kepribadian sebagai seorang pendidik,
tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Kondisi ini akan
mengakibatkan peserta didik tidak bisa memahami secara penuh mengenai apa
yang diajarkan oleh pendidik.
Kaitannya dengan pendidik, Hamka mengkalisifikasikan pendidik dalam tiga
unsur utama, yaitu: orang tua, guru dan masyarakat.
a. Orang tua
Orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anak, tempat pertama
bagi anak untuk mengenal hal-hal disekelilingnya. Tugas dan kewajiban orang
tualah dalam memberi nafkah, tempat berlindung, dan memberi pengarahan
kepada anak sesuai dengan masa perkembangannya.
Sejalan dengan ajaran Islam, Menurut Hamka, anak-anak umur 7 tahun
hendaklah disuruh sembahyang, umur 10 tahun paksa supaya jangan
ditinggalkannya, sembahyang di awal waktu dengan segera, kalau dapat
hendaklah dengan hati tunduk (thau’an). Kalau hati ragu hendaklah paksa pula
16 Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni. 1962.
113
113
hati itu (karhan). Inilah yang bernama sugesti menurut ilmu jiwa zaman sekarang.
Mudah-mudahan lantaran tiap hari telah diadakan pengaruh demikian, jalan itu
akhirnya akan terbuka juga.
Hamka juga menegaskan bahwa kewajiban ibu dan bapak mendidik anak
jangan serta merta diberikan kepada gutu yang ada di sekolah saja. Karena waktu
yang dimiliki oleh anak disekolah, tidak sama dengan waktu yang dimilikinya
dirumah. Tiap-tiap anak mesti mendapat didikan dan pengajaran, yang anak didik
terima disekolah hanya ajaran, sedangkan didikan lebih banyak didapatkannya
dirumah..
Berdasar pada uraian ini, orang tua menurut Hamka memegang peran penting
dalam tumbuh kembang anak, bahkan perannya tidak dapat tergantikan.
Walaupun disekolah atau di lembaga pendidikan tertentu anak bisa diawasi oleh
gurunya, namun perhatian serta kasih sayang orang tua tetap tidak akan terganti,
karna anak merupakan darah daging mereka sendiri, merekalah seharusnya yang
lebih tau, paham dan bisa mengarahkan tingkah dan karakter anaknya, dari anak
tersebut kecil hingga dewasanya.
b. Guru
Menurut Hamka, didikan di sekolah memiliki hubungan yang sangat erat
dengan didikan di rumah. Seyogyanya, terdapat hubungan yang harmonis di antara
orang tua murid dengan guru. suatu waktu, guru dan orang tua bisa saling datang
mengunjungi dan bertukar pendapat mengenai pendidikan anak didik. Tentu saja di
dalam didikan secara Islam, akan mudah melakukan ini, yang biasa disebut dengan
silaturahim. Sebab kalau rumah guru berdekatan dengan rumah orang tua murid,
sekurangnya sekali sehari, diantara Maghrib dan Isya, guru dan orang tua murid itu
akan bertemu di surau, dan kalau rumahnya berjauhan, akan bertemu di di Jum’at.
Kesempurnaan didikan anak itu dapat dibicarakan dengan baik.
Kepandaian orang tua mendidik anak, adalah menjadi penolong guru. Jika
tugas mendidik hanya dilimpahkan kepada guru maka hasil akan tidak maksimal.
Pengaruh keadaan sekeliling, pengaruh pekerjaan, kepandaian dan pendidikan orang
114
114
tua di zaman dahulu, pun besar kepada anaknya. ”Air itu turun dari cucuran atap”,
demikian kata pepatah. Hal itu dapat dibuktikan; jika ayahnya bodoh, sontok
pikirannya, hal itupun menurun kepada anaknya, demikian juga jika ayahnya orang
pintar, maka kepintaran itu akan turun kepada anaknya. Di sinilah gunanya guru.
Hamka optimis bahwa anak yang berasal dari keturunan orang bodoh dan
terbelakang bisa menjadi pandai dan maju jika diajar dan dididik oleh guru yang baik.
Adapun pendidik yang baik, menurut Hamka harus memenuhi syarat
sekaligus kewajiban sebagai seorang pendidik, yaitu;
1) Berlaku adil dan obyektif pada setiap peserta didiknya.
2) Memelihara martabatnya dengan akhlak al-karimah, berpenampilan menarik,
berpakaian rapi, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela. Sikap yang
demikian akan menjadi contoh yang efektif untuk diteladani peserta didiknya.
3) Menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Berikan
kepada peserta didik ilmu pengetahuan dan nasihat yang berguna bagi bekal
kehidupannya di tengah-tengah masyarakat.
4) Hormati keberadaan peserta didik sebagai manusia yang dinamis dengan
memberikan kemerdekaan kepada mereka untuk berpikir, berkreasi, berpendapat,
dan menemukan berbagai kesimpulan lain.
5) Memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan tempat dan waktu, sesuai dengan
kemampuan intelektual dan perkembangan jiwa mereka.
6) Tidak menjadikan upah atau gaji sebagai alasan utama dalam mengajar peserta
didik. Menurut Hamka, tidaklah salah bekerja untuk mencari upah. Tetapi bila usaha
itu sudah cari upah semata-mata, sehingga tidak ada lagi rasa tanggung jawab kepada
baik atau buruknya pekerjaan, alamat semuanya akan rusak dan akhirnya celaka.
Orang yang bekerja hanya semata-mata memandang upah, tidaklah dapat dipercaya.
Dia membaguskan pekerjaan dan membereskan buah tangannya bukan karna ingin
kebagusan, tetapi karna ingin upah. Jika upah sudah diturunkan, pekerjaannya sudah
dibatalkanya, sehingga mutunya menjadi mundur.
115
115
7) Menanamkan keberanian budi dalam diri peserta didik. Keberanian budi, ialah
berani menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri kebenarannya; tidak takut
gagal,
c. Masyarakat
Peserta didik merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa
berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada di sekitarnya. Sifat dasar
ini membuat interdependensi antar peserta didik dengan manusia lain dalam
komunitasnya tak bisa dihindarkan. Eksistensinya saling bekerja sama dan saling
memengaruhi antara satu dengan yang lain. Melalui bentuk komunitas masyarakat
yang harmonis, menegakkan nilai akhlak, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran
agama, akan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang tentram. Kondisi dan model
masyarakat yang demikian, merupakan prototipe masyarakat ideal bagi
terlaksananya pendidikan yang efektif dan dinamis. Oleh karna itu, dalam
memformulasi sistim pendidikan, diperlukan pendekatan psikologis-sosiologis.
Pendekatan yang dilakukan hendaknya mengakomodir dan menyeleksi sistim nilai
sosial (adat) dimana pendidikan itu dilaksanakan dengan sebaik- baiknya. Dengan
pendekatan ini pendidikan akan mampu memainkan perannya sebagai agent of
change dan agent of social culture.
Hamka menyebut peserta didik sebagai bunga masyarakat yang kelak akan
mekar atau akan menjadi tubuh dari masyarakat, oleh karna itu tiap anggota
masyarakat bertanggung jawab menjaga dan melindunginya dari segala sesuatu yang
dapat menghambat kemajuan kecerdasannya.
Menurut Hamka, akhlak peserta didik dapat dikatakan sebagai cerminan dari
bentuk akhlak masyarakat di mana ia berada. Hal ini karena kehidupan setiap
anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sosial, merupakan miniatur
kebudayaan yang akan dilihat dan kemudian dicontoh oleh setiap peserta didik.
Eksistensi masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh
alternatif bagi memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Setiap anggota
masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya
116
116
proses pendidikan yang efektif. Kesemua unsur yang ada hendaknya senantiasa
bekerja sama secara timbal balik sebagai alat sosial-kontrol bagi pendidikan17.
4. Materi Pembelajaran
Pengembangan akal (filsafat) dan rasa (agama) adalah dua jenis orientasi materi
pendidikan dan Menurut HAMKA, kedua orientasi materi tersebut penting dan saling
mengisi antara satu dengan yang lain. Dalam konteks pendidikan Islam, maka
penyampaian materi bahan ajar seyogyanya selalu mengkaitkan semua bidang
keilmuan ke aspek spiritual keagamaan. Jangan terjadi dikotomi diantaranya, karena
dikotomi keilmuan dari aspek sipitual akan menghasilkan generasi Materialistik yang
bahkan mungkin tidak bermoral (sekuler) atau sebaliknya menghasilkan generasi
yang menafikan dinamika peradaban dunia kekinian (tradisional ortodoks).
Pembagian Materi Pendidikan menurut pemikiran HAMKA dibagi atas 5 bagian,
yaitu: Ilmu-ilmu Agama (Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadist, Akhlak, dll), Ilmu-Ilmu Umum
(Sejarah, Filsafat, Ilmu Bumi, Ilmu Falak, Biologi, Ilmu Jiwa), Ilmu Kemasyarakatan
(sosiologi, ilmu pemerintahan, dll), Ketrampilan Praktis (berenang, berkuda, Olah
Raga, dan lain-lain) dan Ilmu Kesenian (musik, menggambar, menyanyi, melukis, dan
lain-lain).
5. Peserta didik
Peserta didik merupakan orang yang secara akal budi masih kosong dan harus
siap menampung, serta mengelola apasaja yang diajarkan oleh pendidiknya untuk
kebaikan hidupnya kedepan. Menurut Buya Hamka tugas dan tanggung jawab anak
didik adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan potensi dan
anugrah yang dimilikinya serta seperangkat ilmu pengetahuan sesuai dengan nilai-
nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT melaui fitrah-Nya.
Sebagai seorang yang berupaya mencari ilmu pengetahuan maka peserta didik
dituntut untuk18:
17 Ramayulis. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Quantum Teaching. 2005 18 Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008
117
117
a. Jangan mudah putus asa.
b. Jangan mudah lalai, selalu mawas diri.
c. Jangan merasa terhalang karena faktor usia, karena pendidikan tidak mengenal
batas usia.
d. Berusaha agar tingkah lakudan ahlaksnya sesuai dengan ilmu yang dimiliki.
e. Memperindah tulisan agar mudah dibaca.
f. Sabar, bisa mengendalikan diri dan meneguhkan hati.
g. Mempererrat hubungan dengan guru.
h. Khusyu, tekun dan rajin.
i. Berbuat baik kepada orang tua dan abdikan ilmu untuk masalah umat.
j. Jangan menjawab sesuatu yang tidak bermanfaat.
k. Menganalisa fenomena alam semesta secara seksama dan bertafakur.
5. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Hamka di Masa Sekarang
Jika ditinjau lebih lanjut, pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam sebenarnya
masih relevan dan mumpuni untuk dijadikan acuan pendidikan pada masa sekarang, jika
di rekonstruksi dengan baik. Salah satu contoh dalam hal tujuan pendidikan menurut
Hamka, menilik keadaan masa sekarang yang serba mudah dengan keberadaan
teknologi, memungkinkan munculnya manusia-manusia yang kurang bersyukur dan
cenderung merasa puas dengan keaadaan yang serba mudah. Padahal sejatinya, manusia
harus diajarkan untuk selalu bersyukur dengan kemudahan yang ada. Selain itu, mulai
berkembangnya budaya hedonis, hura-hura, ingin selalu terlihat menonjol,
memungkinkan generasi muda Islam terjangkit budaya semacam ini, sehingga butuh
treatment khusus untuk mengembalikkan mereka pada jalan yang benar. Lewat
rekonstruksi pemikiran Hamka inilah, terutama pada tujuan pendidikan Islamnya, kita
bisa membawa kembali peserta didik kita untuk memaksimalkan potensi keilmuannya
118
118
pada arah yang baik, yaitu untuk menjadi hamba Allah yang taat, bersikap rendah hati,
tawadhu, namun dengan tetap mengikuti perkembangan teknologi yang ada.
Simpulan
Pemikiran pendidikan Islam menurut Hamka adalah dimana bimbingan keagamaan
orang tua terhadap anak yaitu: membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak,
tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal tuhannya, memperhalus
akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Sebab, tujuan pendidikan
adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Karena itu, dalam materi pendidikan
harus mencakup tiga hal berikut: ilmu, amal, akhlak dan keadilan. Dapat dikatakan bahwa
pendidikan Islam menurut Hamka, baik tentang pendidikan baik dari urgensinya, maknanya,
materinya, dan tujuannya dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha
membimbing dan memberikan keimuan bedasarkan ajaran agama Islam terhadap anak
didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan agama
Islam.
REFERENSI
Al-Ahwani, Ahmad Fu`ad, Al-Tarbiyah fi al-Islam, Cetakan II (t.tp.: Dar al-Ma’arif,
1967)
al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam (Bandung:
Mizan, 1984)
Al-Qardhāwiy, Yūsuf, Al-Tarbiyat al-Islāmiyat wa Madrasat Hasan al-Banna, Penerjemah: H. Bustami A. Gani dan Ahmad, Zainal Abidin, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Proyek Pembinaan
119
119
Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1983)
Hamka. 2015. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika Penerbit.
Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni. 1962.
Hasbulah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Edisi Revisi
Mursi, Muhammad Munir, Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi
al Bilad al-‘Arabiyah, (Kairo: Alam al-Kutub, t.t.)
Mohammad, Herry. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema
Islami. 2006.
Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008
Ramayulis. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Quantum Teaching. 2005
Sofyani, Ilmu Pendidikan Islam, (Banjarmasin: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari, 1987)
120
120