penatalaksanaan demam pada anak
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Demam telah dikenal sebagai suatu manifestasi penting pada infeksi masa kanak –
kanak sejak zaman dahulu kala. Demam seringkali merupakan gejala pertama yang disadari
orang tua, tanda bahwa anak mereka sakit. Demam juga merupakan salah satu alasan utama
mencari bantuan medis. (3)
Demam pada anak merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua mulai
diruang praktek dokter sampai ke unit gawat darurat (UGD) anak, meliputi 10-30% dari
jumlah kunjungan. Demam membuat orang tua atau pengasuh menjadi risau. Sebagian besar
anak-anak mengalami demam sebagai respon terhadap infeksi virus yang bersifat self limited
dan berlangsung tidak lebih dari 3 hari atau infeksi bakteri yang tidak memerlukan perawatan
di rumah sakit. Akan tetapi sebagian kecil demam tersebut merupakan tanda infeksi yang
serius dan mengancam jiwa seperti pneumonia, meningitis, artritis septik dan sepsis. Hal ini
merupakan tantangan bagi dokter untuk mengidentifikasi penyebab demam tersebut. (1)
Pendekatan penatalaksanaan demam pada anak bersifat age dependent karena infeksi
yang terjadi tergantung dengan maturitas sistem imun di kelompok usia tertentu. Penilaian
awal pada saat anak dibawa ke rumah sakit akan membantu menentukan beratnya penyakit
anak dan urgensi pengobatannya. Berkaitan dengan hal tersebut diatas dalam sari
kepustakaan ini akan di bahas penatalaksanaan demam yang meliputi definisi dan
patofisiologi demam, cara pengukuran, penilaian awal, penatalaksaan demam dan kondisi
khusus akibat demam.(1)
1
BAB II
PENATALAKSANAAN DEMAM PADA ANAK
2.1 Definisi Demam
Menurut kamus kedokteran Stedman’s edisi ke-25, demam adalah peningkatan suhu
tubuh diatas normal (98,6oF/ 37 oC). Sedangkan menurut edisi ke-26 dalam kamus yang sama,
demam merupakan respon fisiologis tubuh terhadap penyakit yang di perantarai oleh sitokin
dan ditandai dengan peningkatan suhu pusat tubuh dan aktivitas kompleks imun. Dalam
protokol Kaiser Permanente Appointment and Advice Call Center definisi demam untuk
semua umur, demam didefinisikan temperatur rektal diatas 38 oC, aksilar diatas 37,5 oC dan
diatas 38,2 oC dengan pengukuran membran timpani , sedangkan demam tinggi bila suhu
tubuh diatas 39,5 oC dan hiperpireksia bila suhu > 41,1 oC.(1)
2.2 Etiologi Demam
Seringkali kita lupa bahwa kuman beredar dalam darah tidak berenang dalam plasma,
tetapi ada dalam lukosit (intraseluler), limfosit atau makrofag. Keberadaan mereka tidak
konstan dari waktu ke waktu, namun hanya dapat bertahan sementara, sebelum menempel
dan berhasil membuat koloni pada jaringan atau dihancurkan atau dieliminasi oleh sel-sel
radang. Bakteremia digunakan sebagai gold standart deteksi kuman penyebab. Ternyata
kuman berada dalam darah dalam waktu terbatas, sehingga hasil biakan kuman todak selalu
positif, terganting pada jumlah darah sampel, jumlah kuman dan virulensi. (2)
2.2.1 Fokus pada Anak dengan Demam
a) Demam dengan fokus yang jelas (overt focus)
Anak dengan demam dengan fokus yang jelas akan mudah dikenali secara klinis.
Fokus pada anak besar, akibat kemampuan tubuhnya melokalisir radang. Fokus dapat
memberikan dugaan akan kemungkinan peyebab etiologik (kuman) dari kelainan anatomik
tersebut. Infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, enteritis bacterial, abses, merupakan
fokus yang jelas dan pada usia tertentu kumannya dapat diduga. Detritus pada tonsil, furunkel
pada kulit, nanah dari liang telinga, dapat memberikan gambaran kuman yang menyebabkan
infeksi. Pemeriksaan biakan jaringan pada fokus dapat menjelaskan kuman penyebab, fokus
pada bayi kecil dapat disertai bakteremia. (2)
2
b) Demam tanpa fokus yang jelas (occult focus)
Infeksi selain menyebabkan kelainan anatomik juga menyebabkan kelainan
fungsional. Akibat reaksi radang. Fokus yang tidak jelas, gejala klinik disebabkan oleh
mediator yang menyebabkan perubahan faal. Demam tanpa fokus ini pada usia muda makin
tidak jelas gejala klinisnya, karena keterbatasan tubuh merespons infeksi. Selain itu terdapat
gabungan gejala yang menjadi kabur, misalnya pada anak diare dengan parasit malaria dalam
darah, pneumonia pada aanak anemia, kebocoran plasma akibat DHF pada anak dan
sebagainya. Meskipun pada fase lanjutan beberapa penyakit menunjukkan gejala klinis yang
jelas, namun bayi muda belum mampu melokalisir reaksi radang dan menyebabkan reaksi
radang yang sitemik. (2)
c) Demam tanpa penyebab yang jelas (unknown origin)
Demam ini biasanya terdapat pada infeksi yang kronis dan berjalan pelan, tidak
menunjukkan fokus dan tidak terdapat gejala lain yang mecolok, kecuali demam. Reaksi
radang tidak hanya akibat infeksi tetapi akibat kerusakan jaringan dan kematien sel, seperti
pada anak dengan keganasan atau anak dengan penyakit autoimun. Pencarian sumber demam
menjadi semakin rumit dan mahal dan seringkali tidak tuntas akibat ketidakmampuan
teknologi dan finansial. (2)
2.2.2 Kelompok Usia anak dengan Demam
a) Kelompok bayi muda, 0-48 hari
Demam pada usia <28 hari (neonatus) dapat menyulitkan dokter, karena ¾ dari yang
menderita infeksi bakterial tetap baik kondisi klinisnya pada saat pemeriksaan. Infeksi bakteri
terjadi pada 10% dari anak demam usia 1-2 bulan, 13% pada anak dibawah 1 bulan. Pada
bayi dibawah 3 bulan Urinary Tract Infection (UTI) merupakan seprtiga dari seluruh kasus.
Prevalensi bakteremia sekitar 2-3% pada semua bayi demam dengan usia dibawah 2 bulan.
Penilaian resiko infeksi berat dengan menggunakan gejala klinis belum memuaskan.
Probabilitas Serious Bacterial illnes (SBI) pada neonatus dengan demam cukup tinggi,
sehingga rawat inap merupakan indikasi yang aman.(2)
Kriteria Rochestermampu mnegidentifikasi bayi yang kecil kemungkinannya
menderita infeksi bakteri serius, meskipun dirawat dirumah sakit karena kecurigaan sepsis.
Adapun kriteria Rochester adalah sebagai berikut :
Secara umum bayi terlihat sehat
Bayi sebelumnya sehat
- Lahir cukup bulan (usia gestasi ≤ 37 minggu)
3
- Tidak mendapat terapi antimikroba perinatal
- Tidak pernah mendapat terapi hiperbilirubinemia yang tidak terjelaskan
- Tidak pernah mendapat atau tidak sedang mendapat agens antimikroba
- Tidak pernah dirawat di rumah sakit
- Tidak menderita kondisi sakit yang kronis atau yang melatarbelakangi
- Tidak di rumah sakitkan lebih lama daripada ibu
Tidak ada bukti infeksi kulit, jaringan lunak, tulang, sendi atau telinga
Nilai laboratorium
- Hitung sel darah putih perifer 5,0 -15,0 x 109 sel (5.000 – 15.000)
- ≤ 10 leukosit per lapang pandang kecil ( x 40) pada pemeriksaan mikroskop terhadap
sedimen urine yang disentrifugasi
- ≤ 5 leukosit perlapang pandang kecil (x40) pada pemeriksaan mikroskop terhadap
apusan feses (hanya untuk bayi dengan diare) (3)
b) Usia 2-36 bulan
Bayi demam pada usia ini tampilan klinisnya berada di daerah yang “abu-abu”, antara
demam berarti Serious Bacterial ilness (SBI) pada anak muda (dibawah 2 bulan dan demam
berarti infeksi bila ada fokus yang jelas. Penderita dengan resiko tinggi harus MRS dan
mendapat antibiotik. (2)
Anak pada usia ini yang mengalami demam dapat terlihat sehat tetapi menderita
bakteremia akulta (tersembunyi). Sekitar 50% bakteremia okulta disebabkan oleh
S.pneumoniae, 25% oleh H.influenza tipe B (Hib), 7% oleh salmonela spesies dan 6% oleh
meningitidis. Kemungkinan bagi bakteremia okulta untuk memulai pertumbuhan di
meningens dengn hasil berupa meningitis adalah salah satu determinan mayor terapi.
Meskipun S.pneumonia telah menyebabkan lebih dari 80% episode bakteremia okulta, sekitar
50% episode meningitis bakterial pada kelompok usia yang sama disebabkan oleh Hib.
Semenjak vaksin Hib dilisensikan penggunaannya pada bayi, telah terjadi penurunan luar
biasa dalam penyakit invasif yang disebabkan oleh bakteri ini, lebih dari 85% episode
bakteremia okulta disebabkan oleh S.pneumonia. (3)
c) Usia lebih dari 36 bulan
Anak usia diatas 3 tahun dapat memberikan gejala klinis yang lebih jelas, seperti
adanya kelainan anatomi (mis: fokus pada paru) atau kelainan fungsional seperti syok dan
DHF. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium sangat bermanfaat untuk mengambil
4
keputusan memberi atau tidak memberi antibiotik. Masalah khusus adalah pada penderita
Fever Unknown Origin (FUO) dengan fokus maupun gejala gangguan faal idak jelas. (2)
2.3 Patofisisologi Demam
Tujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya pada
set level sekitar 37 oC (dengan variasi diurnal). Berbeda dengan hipertermia pasif, set level
meningkat ketika demam. Oleh karena itu, dalam keadaan ini mekanisme pengaturan suhu
berperan untuk mempertahankan suhu yang meningkat ini. Hal ini tampak jelas ketika
demam meningkat: karena nilai sebenarnya menyimpang dari set level yang tiba-tiba
meningkat, pengeluaran panas akan dikurangi melalui penurunan aliran darah ke kulit
sehingga kulit menjadi dingin (perasaan dingin). Selain itu, produksi panas juga meningkat
karena menggigil (tremor). Keadaan ini berlangsung terus sampai nilai sebenarnya mendekati
set level yang baru.bila demam turun, sekali lagi set level akan turun sehingga sekarang nilai
5
sebenarnya menjadi terlalu tinggi. Pada keadaan ini, aliran darah ke kulit meningkat sehingga
orang tersebut akan merasa kepanasan dan mengeluarkan keringat banyak.(6)
Demam terutama biasa terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut. Pada keadaan ini,
zat yang menimbulkan demam (pirogen) menyebabkan perubahan pada set point. Pirogen
eksogen merupakan bagian dari patogen, diantaranya yang paling efektif adalah kompleks
lipopolisakarida (endotoksin) bakteri gram negatif. Patogen atau pirogen seperti itu
diopsonisasi oleh komplemen dan difagosit oleh makrofag, misalnya sel kupffer di hati.
Proses ini melepaskan sejumlah sitokin, diantaranya pirogen endogen interleukin 1α, 1β, 6, 8
dan 11, interferon α2 dan γ, tumor necrosis factor TNF α (kahektin) dan TNF β (limfotoksin),
macrophage-inflamatory protein MIP 1 dll. Sitokin in i diduga mencapai organ
sirkumventrikular otak yang tidak memiliki sawar darah otak. Oleh karena itu, sitokin dapat
menyebabkan reaksi demam pada organ-organ ini atau yang berdekatan dengan area pre optik
dan organ vaskulosa lamina terminalis (OVLT) melalui prostaglandin PGE2. Obat penurun
panas (antipiretik bekerja secara efektif didaerah ini. Jadi, asam asetil salisilat, misalnya,
menghambat enzim yang membentuk PGE2 dari asam arakhidonat (siklooksigenase 1 dan 2).(6)
Setelah penyuntikkan lipopolisakarida secara intravena, sitokin yang telah disebutkan
diatas baru ditemukan dalam waktu 30 menit setelah onset demam dan munculnya sitokin
dapat dihambat melalui vagotomi subdiafragma. Tampaknya, pirogen eksogen merangsang
area preoptik dan OVLT juga melalu sebrabut aferen dari abdomen. Terdapat kemungkinan
bahwa zat pembawa sinyal yang dilepaskan oleh sel kuffler di hati merangsang serabut yang
dekat dengan saraf aferen vagus, yang kemudian menjalarkan sinyal pirogen melalui nukleus
solitarius ke kelompok sel noradrenalin A1 dan A2. Selanjutnya, sinyal ini berproyeksi di
traktus noradrenalin ventral ke neuron yang mengatur demam di area preoptik dan OVLT/
noradrenalin yang dilepaskan di daerah tersebut menimbulkan pembentukan PGE2 dan
mengakibatkan demam.proses ini juga melepaskan adiuretin (ADH; efek reseptor V1), α-
melanocyte-stimulating hormone (α-MSH) dan corticotropin-releasing hormone (CRH), yang
mengatasi demam dengan membentuk antipiretik endogen melalui jalur umpan-balik negatif.(6)
Akibat demam yang ditimbulkan oleh demam adalah peningkatan frekuensi denyut
jantung (8-12 menit / oC) dan metabolisme energi. Hal ini menimbulkan rasa lemah, nyeri
sendi dan sakit kepala, peningkatan gelombang tidur lambat (yang berperan dalam perbaikan
6
fungsi otak) dan pada keadaan tertentu bisa menimbulkan gangguan kesadaran dan
persepsi(delirium karena demam) serta kejang.(6)
Kegunaan demam mungkin terdapat dalam hubungannya untuk mengatasi infeksi.
Peningkatan suhu akan menghambat pertumbuhan beberapa patogen, bahkan membunuh
sebagian lainnya. Selain itu, konsentrasi logam dasar di plasma seperti besi, seng dan
tembaga yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri dikurangi. Selanjutnya, sel yang rusak
karena virus juga dimusnahken sehingga replikasi virus dihambat. Karena lasan ini, secara
umum sebaiknya antipiretik hanya digunakan bila demam menyebabkan kejang demam.
Biasanya pada bayi dan anak-anak atau bila demamnya sangat tinggi (>39 oC) sehingga
dikhawatirkan terjadi kejang.(6)
2.4 Langkah Diagnosis
2.4.1 Anamnesis
Beberapa hal yang perlu di tanyakan saat anamnesis, yaitu:
- Riwayat imunisasi
- Adanya paparan terhadap imunisasi
- Nyeri menelan
- Nyeri telinga
- Batuk, sesak nafas
- Muntah, diare
- Nyeri atau menangis saat buang air kecil (2,4)
2.4.2 Pemeriksaan Fisik
Ukur temperatur tubuh anak, demam : ≥ 38 oC rectal. Pemeriksaan fisik pada anak
demam secara kasar dibagi atas status generalis dan evaluasi secara detil yang memfokuskan
pada sumber infeksi. Pemeriksaan status generalis tidak dapat diabaikan karena menentukan
apakah pasien tergolong toksis atau tidak toksis. Penampakan yang toksis mengindikasikan
infeksi serius. McCarthy membuat Yale Observation Scale untuk penilaian anak toksis. Skala
penilaian ini terdiri dari enam kriteria berupa: evaluasi cara menangis, reaksi terhadap orang
tua, variasi keadaan, respon sosial, warna kulit dan status hidrasi. Masing-masing item diberi
nilai 1 (normal), 3 (moderat), 5 (berat).(1,2)
7
Hasil studi prospektif penggunaan skala tersebut diatas, pada anak usia < 2 tahun
sebanyak 312 anak yang mengalami demam, anak yang mempunyai nilai lebih dari 16
ternyata menderita penyakit yang serius. Pemeriksaan penunjang dilakukan pada anak yang
mengalami demam bila secara klinis faktor risiko tampak serta penyebab demam tidak
diketahui secara spesifik.(1)
Perhatikan apakah anak tidak tampak sakit, tampak sakit atau sakit berat / toksik.
Tidak ada metode spesifik untuk mendeteksi kemungkinan infeksi fokal yang tersembunyi.
a) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Setiap pemeriksaan urinalisis positif dianggap sebagai tersangka ISK yang merupakan
indikasi untuk memulai pengobatan dengan antibiotik. Diagnosis pasti ditegakkan bila hasil
biakan urine positif. Pada pemeriksaan urinalisis terdapat nitrit (+), leukosit esterase (+). Pada
pemeriksaan mikroskopik terdapat leukosit > 10/lpb atau bakteri, atau pewarnaan gram (+).(4)
b) Pneumonia
Pneumonia bakterial bila demam 39 oC atau leukosit >20.000. pada anak dengan suhu
39 oC disertai hitung jenis leukosit tidak terlalu tinggi, tidak disertai distress respirasi, takipne,
ronki atau suara napas melemah maka kemungkinan pneumonia disingkirkan. Pneumonia
oleh virus paling banyak dijumpai pada umur 2 tahun pertama. Foto dada sering kali tidak
terlalu membantu dalam menentukan diagnosis pneumonia. Penumonia dan bakteremia
jarang terjadi bersamaan. (4)
8
c) Gastroenteritis (GE) Bakterial
Umumnya ditandai dengan muntah dan diare, penyebab terbanyak rotavirus. Buang
air besar darah lendir biasanya karena GE bakterial. (4)
d) Meningitis
Bayi atau anak tampak sakit berat, pemeriksaan fisik didapatkan letargik, kaku kuduk
dan muntah. Diagnosis ditegakkan dengan pungsi lumbal. (4)
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
a) Bila anak terlihat sakit berat diperlukan pemeriksaan laboratorium termasuk darah
lengkap, urinalisis dan biakan urin
b) Leukosit > 15.000 meningkatkan resiko bakteremia menjadi 3-5%, bila > 20.000 resiko
menjadi 8-10%
c) Untuk mendeteksi bakteremia tersembunyi hitung neutrofil absolut lebih sensitif dari
hitung leukosit absolut
d) Hitung absolut neutrofil >10.000 meningkatkan resiko bakteriemia menjadi 8-10%
e) Pemeriksaan biakan darah dianjurkan karena 6-10% anak dengan bakteremia dapat
berkembang menjadi infeksi bakteri yang berat, terutama pada anak yang terlihat sakit
berat.(4)
2.5 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan. Pada
tingkat tertentu demam merupakan bagian dari pertahanan tubuh antara lain daya fagositosis
meningkat dan viabilitas kuman menurun, tetapi dapat juga merugikan jika demam terlalu
tinggi (> 39 oC) karena anak menjadi gelisah, nafsu makan dan minum berkurang, tidak dapat
tidur dan menimbulkan kejang demam. Semua anak dengan demam harus diperiksa apakah
ada tanda atau gejala yang melatar belakanginya dan hal ini harus ditangani sebagaimana
mestinya.(5)
Hasil penelitian ternyata 80% orangtua mempunyai fobia demam. Orang tua mengira
bahwa bila tidak diobati, demam anaknya akan semakin tinggi. Kepercayaan tersebut tidak
terbukti berdasarkan fakta. Karena konsep yang salah ini banyak orang tua mengobati demam
ringan yang sebetulnya tidak perlu diobati. Demam < 39 oC pada anak yang sebelumnya
sehat pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bila suhu naik > 39 oC, anak cenderung
tidak nyaman dan pemberian obat-obatan penurun panas sering membuat anak merasa lebih
9
baik. Pada dasarnya menurunkan demam pada anak dapat dilakukan secara fisik, obat-obatan
maupun kombinasi keduanya.(1)
2.5.1 Secara Fisik
a) Anak demam ditempatkan dalam ruangan bersuhu normal dengan ventilasi yang baik
b) Pakaian anak diusahakan tidak tebal, melainkan berpakaian tipis
c) Memberikan minuman yang banyak karena kebutuhan air meningkat
d) Memberikan kompres. (5)
2.5.2. Medikamentosa
a) Anak yang tidak tampak sakit, tidak perlu dirawat dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan
lab serta tidak perlu diberikan antibiotik. (2)
b) Apabila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, laboratorium menunjukkan hasil resiko
tinggi untuk terjadinya bakteremia tersembunyi maka dapat diberikan antibiotik setelah
pengambilan sediaan untuk biakan (catatan : terutama bila hitung leukosit > 15.000 dan
hitung total neutrofilabsolut > 10.000).(2)
c) Pemberian antibiotik secara empirik harus memperhitungkan kemungkinan terjadinya
peningkatan resistensi bakteri. Secara empirik antibiotik pilihan adalah omoxicilline : 60-
100 mg/kgBB/hari dan ceftriaxon 50-75 mg/kgBB/hr (maks 2 gr/hr). Bila didapatkan
alergi dari kedua obat tersebut, maka dapat dipilih obat lain sesuai hasil uji resistensidan
bila perlu dapat dikonsulkan kepada konsultan infeksi dan penyakit tropis.(2)
d) Bila kultur darah positif dan demam menetap 5 hari, maka perlu dilakukan pemeriksaan
ulang untuk kemungkinan bakteremia oleh fokal infeksi yang tidak terdeteksi sebelumnya
(misal meningitis) (2)
e) Antipiretik
Pemberian obat antipiretik merupakan pilihan pertama dalam menurunkan demam
dan sangat berguna khususnya pada pasien berisiko, yaitu anak dengan kelainan
kardiopulmonal kronis, kelainan metabolik, penyakit neurologis dan pada anak yang berisiko
kejang demam. Obat-obat anti inflamasi, analgetik dan antipiretik terdiri dari golongan yang
bermacam-macam dan sering berbeda dalam susunan kimianya tetapi mempunyai kesamaan
dalam efek pengobatannya. Tujuannya menurunkan set point hipotalamus melalui
pencegahan pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat enzim cyclooxygenase. (1)
Asetaminofen merupakan derivat para-aminofenol yang bekerja menekan
pembentukan prostaglandin yang disintesis dalam susunan saraf pusat. Dosis terapeutik
antara 10-15 mgr/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis maksimal 90
10
mgr/kbBB/hari. Pada umumnya dosis ini dapat ditoleransi dengan baik. Dosis besar jangka
lama dapat menyebabkan intoksikasi dan kerusakkan hepar. Pemberiannya dapat secara per
oral maupun rektal. (1)
Turunan asam propionat seperti ibuprofen juga bekerja menekan pembentukan
prostaglandin. Obat ini bersifat antipiretik, analgetik dan antiinflamasi. Efek samping yang
timbul berupa mual, perut kembung dan perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin.
Efek samping hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan anemia aplastik. Efek
terhadap ginjal berupa gagal ginjal akut (terutama bila dikombinasikan dengan
asetaminopen). Dosis terapeutik yaitu 5-10 mgr/kgBB/kali tiap 6 sampai 8 jam. (1)
Metamizole (antalgin) bekerja menekan pembentukkan prostaglandin. Mempunyai
efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi. Efek samping pemberiannya berupa
agranulositosis, anemia aplastik dan perdarahan saluran cerna. Dosis terapeutik 10
mgr/kgBB/kali tiap 6-8 jam dan tidak dianjurkan untuk anak kurang dari 6 bulan.
Pemberiannya secara per oral, intramuskular atau intravena. (1)
Asam mefenamat suatu obat golongan fenamat. Khasiat analgetiknya lebih kuat
dibandingkan sebagai antipiretik. Efek sampingnya berupa dispepsia dan anemia hemolitik.
Dosis pemberiannya 20 mgr/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Pemberiannya secara per oral dan
tidak boleh diberikan anak usia kurang dari 6 bulan.(1)
2.5.3 Indikasi Rawat
Anak dengan resiko rendah dan orang tua yang kooperatif dapat berobat jalan dengan
pengamatan setiap hari sampai demam turun. Bila anak terlihat sakit berat diperlukan
pemeriksaan laboratorium termasuk darah lengkap, urinalisis dan biakan urine. Demam
sebagai indikator bakteremia tersembunyi : 39-39,4 oC = < 2%, 39,4 – 40 oC = 2-3% , 40-40,5 oC = 3-4%, >40,5 oC = 4-5%. (2,4)
11
2.5.4 Algoritma Tatalaksana demam pada Anak
12
2.6 Keadaan Khusus Akibat Demam
2.6.1 Hipereksia
Hiperpireksia adalah keadaan suhu tubuh di atas 41,1oC. Hiperpereksia sangat
berbahaya pada tubuh karena dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolisme, fisiologi
dan akhirnya kerusakan susunan saraf pusat.3 Pada awalnya anak tampak menjadi gelisah
disertai nyerikepala, pusing, kejang serta akhirnya tidak sadar. Keadaan koma terjadi bila
suhu > 43oC dan kematian terjadi dalam beberapa jam bila suhu 43oC sampai 45oC.
Penatalaksanaan pasien hiperpireksia berupa:
a) Monitoring tanda vital, asupan dan pengeluaran.
b) Pakaian anak di lepas
c) Berikan oksigen
d) Berikan anti konvulsan bila ada kejang
e) Berikan antipiretik. Asetaminofen dapat diberikan per oral atau rektal. Tidak boleh
memberikan derivat fenilbutazon seperti antalgin.
f) Berikan kompres es pada punggung anak
g) Bila timbul keadaan menggigil dapat diberikan chlorpromazine 0,5-1 mgr/kgBB (I.V).
h) Untuk menurunkan suhu organ dalam: berikan cairan NaCl 0,9% dingin melalui
nasogastric tube ke lambung. Dapat juga per enema.
i) Bila timbul hiperpireksia maligna dapat diberikan dantrolen (1 mgr/kgBB I.V.),
maksimal 10 mgr/kgBB.(1)
2.6.2 Kejang Demam
Kejang demam merupakan keadaan yang umum ditemukan pada anak khususnya usia
6 bulan sampai 5 tahun. Insidensinya di Amerika sekitar 2-4% dari seluruh kelainan
neurologis pada anak. Walaupun 30% dari seluruh kasus kejang pada anak adalah kejang
demam tetapi masih banyak penyebab lain dari kejang sehingga kejang demam tidak dapat
didiagnosis sembarangan, karena penyebab lain demam dan kejang yang serius seperti
meningitis harus disingkirkan. Banyak klinisi yang mengobati demam dengan pemberian
parasetamol untuk mencegah kejang demam. Dari penelitian pada 104 anak, dimana satu
kelompok diberikan profilaksis parasetamol dan kelompok lain diberikan parasetamol secara
sporadis didapatkan hasil pemberian parasetamol profilaksis tidak efektif bila dibandingkan
kelompok lainnya dalam mencegah kejang demam yang rekuren. Sedangkan penelitian Uhari
dkk. menunjukkan pemberian asetaminofen dan diazepam per oral menunjukkan hasil yang
baik dalam mencegah rekurensi kejang demam.(1)
13
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Kania N, 2007, Penatalaksanaan Demam Pada Anak, di akses dari
http://www..unpad.ac.id-penatalaksanaan_demam_pada_anak.pdf
2. Ismoedijanto, Kaspan MF, 2008, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSU dr Soetomo hal 84-93, FK airlangga, surabaya
3. Grossman M, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 1 hal 584-592, EGC, Jakarta
4. Pudjiadi A, Hegar B dkk, 2010, Pedoman Pelayanan Medis IDAI jilid 1, PP IDAI,
Jakarta
5. WHO, 2008, Pelayanan Kesehatan Anak di RS, DepKes RI, Jakarta
6. Silbernagi S, 2007, Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi hal 20-21, EGC, Jakarta
14