pengaruh kesehatan jiwa terhadap akhlak dalam...
TRANSCRIPT
PENGARUH KESEHATAN JIWA TERHADAP
AKHLAK DALAM PEMIKIRAN IBN MISKAWAYH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Akmad Samnuranto
NIM: 1110033100067
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
Jakarta, 17 Oktober 2017
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran akhlak dari salah satu
filosof Muslim yaitu Ibn Miskawayh terutama dalam pembahasan akhlak dan
pengaruhnya bagi kesehatan jiwa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif analisis, yang akan mendeskripsikan secara terperinci terkait
dengan masalah yang hendak diteliti kemudian menganalisis setiap masalah untuk
memperoleh pemahaman secara komprehensif. Sementara teknik dalam
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian pustaka
(library research) dengan menggunakan sumber primer karya Ibn Miskawayh
sendiri, selain itu akan dikomparasikan dengan referensi yang menunjang lainnya.
Salah satu aspek terpenting dari pemikiran Ibn Miskawayh adalah
pemikirannya tentang akhlak. Ibn Miskawayh memandang bahwa akhlak
merupakan sebuah sikap mental yang mendorong seseorang untuk bertindak
sesuatu secara spontan tanpa didahului oleh sikap berpikir dan pertimbangan
terlebih dahulu. Artinya, akhlak tersebut memiliki hubungan secara langsung
dengan sikap mental atau keadaan jiwa seseorang. Ibn Miskawayh memandang
bahwa akhlak tersebut memiliki pengaruh terhadap kesehatan jiwa.
Ibn Miskawayh membagi kesehatan jiwa menjadi dua aspek, pertama
aspek dalam menjaga kesehatan jiwa dan kedua menyembuhkan penyakit hati.
Peran dan pengaruh akhlak merupakan penunjang dari tercapainya kedua aspek
tersebut.
Kata kunci: akhlak, kesehatan jiwa
ii
ABSTRACT
This study is aimed to determine the moral thinking of one of the Muslim
philosopher namely Ibn Miskawayh especially in the discussion of morals and its
effects for mental health. The method of this research is used descriptive -
analysis method, that will describe the research problem specifically refers to the
problem that will be scrutinized, then to analyze each problem to capture
understanding comprehensively. Furthermore, the techniques of collecting data
for this research is literature review (library research) in which used the primary
reference of the work of Ibn Miskawayh himself, in addition it will be compared
to other supported reference.
One of the most important aspects of Ibn Miskawayh's thought is his
thought of morality. Ibn Miskawayh views that morality is a mental attitude that
encourages one to act something spontaneously without preceded by the attitude
of thought and prior consideration. Therefore, morality has a direct relationship
with the mental attitude or state of one's soul. Ibn Miskawayh saw that morality
has an influence on mental health.
Ibn Miskawayh divides mental health into two aspects, first aspect in
maintaining mental health and secondly curing mental disorder. The role and
influence of morals is the support of the achievement of both aspects.
Keywords: morals, mental health
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
skripsi berjudul Pengaruh Kesehatan Jiwa Terhadap Akhlak dalam
Pemikiran Ibn Miskawayh dapat terselesaikan.
Penyelesaian skripsi ini bukan hanya dalam rangka untuk memenuhi salah
satu persyaratan dalam penyelesaian studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, akan tetapi juga merupakan sebuah
ketertarikan penulis terhadap pemikiran Ibn Miskawayh. Namun penelitian ini
tidak akan terselesaikan pula jika tanpa adanya berbagai pihak dalam membantu
baik itu spirit atau materil yang turut memegang andil dalam penyelesaian skripsi
ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada Prof.
Dr. Zainun Kamal, MA. Selaku Dosen Pembimbing penulisan skripsi ini, atas
saran-saran membangun yang diberikan ikut memperkuat dalam pendeskripsian
penelitian ini, juga karena kesabaran beliau pada saat bimbingan yang mungkin
telah mengganggu aktifitas mengajar atau hal-hal yang lain.
Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Dede Rosada, MA. Selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. Kepada Dra. Tien Rahmatin,
MA. Selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam sekaligus Dosen
Pembimbing Akademik (PA) penulis. Kepada Dr. Abdul Hakim Wahid, MA
selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.
iv
Ucapan terima kasih pula kepada segenap dosen Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan dan
memperluas pemikiran juga sudut pandang penulis. Kepada pimpinan dan seluruh
staf Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang
memberi kemudahan pada penulis dengan berbagai kumpulan-kumpulan atau
koleksi buku-buku dan karya-karya ilmiah yang dimiliki.
Salam kasih dan penghormatan yang tak terhingga, penulis haturkan
kepada kedua orang tua, ayahanda Samsuri yang senantiasa selalu berdoa tanpa
henti-hentinya kepada Illahi untuk keselamatan dan kesuksesan anaknya serta
almarhumah ibunda Nurrochmah yang belum sempat melihat anaknya untuk di
wisuda, namun pesan dan doa ibunda alhamdulillah selalu akan terkenang dan
menjadi memori yang indah di hati penulis, semoga kebaikan, pengajaran serta
teladan ibunda menjadi bekal ibunda disana dan kami anak-anakmu. Kepada
beliau berdualah karya ini saya persembahkan. Ucapan terima kasih pula kepada
Ma’de Mar yang telah menjaga dan merawat bahkan mendoakan penulis sampa
saat ini; serta adik-adik tercinta Dewi Nuriyaton, Abdur Rohman, Abdul
Rokhiman, M. Gufron dan adik kriting kami dik Rina yang selalu menjadi
penyemangat, penghibur dan membantu dalam penulisan skripsi ini.
Ucapan terima kasih kepada seluruh sahabat-sahabat Aqidah Filsafat (AF)
2010 secara keseluruhan dan para pejuang terakhir AF 2010 khususnya. Baik
dalam hal bertukar pikiran maupun saling memberi saran dan kritikan yang
membangun. Serta seluruh keluarga besar UKM KSR PMI UIN yang memberikan
pengalaman, kenangan dan kemampuan-kemampuan praktis yang sangat berharga
v
bagi penulis. Dan tak lupa juga kepada seluruh keluarga besar SDN Jombang 03,
baik seluruh dewan guru maupun anak-anak yang mendoakan penulis.
Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya dan setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang turut
membantu dalam perjuangan penulis dengan sengaja maupun kebetulan. Semoga
apa yang mereka beri dicatat sebagai amal saleh dan mendapat balasan yang
berlipat ganda di sisi Allah. Aamiin..
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan
pengetahuan bagi siapapun yang berkesempatan membacanya.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 05 Oktober 2017
Penulis
Akmad Samnuranto
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
، ، ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
ʼ ʼ ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
a a أ
ī ī إي
ū ū أو
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 8
E. Metode Penelitian ................................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 11
BAB II BIOGRAFI IBN MISKAWAYH.......................................................... 13
A. Latar Belakang Keluarga ...................................................................................... 13
B. Karya-karya .......................................................................................................... 16
C. Latar Belakang Pemikiran ..................................................................................... 18
BAB III GAMBARAN UMUM AKHLAK DAN JIWA .................................. 23
A. Definisi Akhlak ..................................................................................................... 23
1. Pengertian Akhlak ............................................................................................. 23
2. Pokok-pokok Keutamaan Akhlak ..................................................................... 26
3. Macam-macam Akhlak ..................................................................................... 33
B. Pengertian Jiwa dan Macam-macamnya ............................................................... 41
C. Hubungan Jiwa dengan Akhlak ............................................................................ 45
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN IBN MISKAWAYH MENGENAI
PENGARUH KESEHATAN JIWA BAGI KARAKTER (AKHLAK) ......... 48
A. Akhlak dan Pengaruhnya ...................................................................................... 53
B. Kesehatan Jiwa ..................................................................................................... 56
C. Upaya Pencapaian Kesehatan Jiwa ....................................................................... 59
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 61
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 61
B. Saran-saran ............................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan jiwa 1 bagi tiap individu, dan usaha untuk mengintegrasikan
kepribadian dalam berbagai level, mulai dari keluarga, sekolah, tempat kerja
hingga masyarakat secara umum telah menjadi fokus perhatian banyak kalangan.
Yang demikian itu adalah karena adanya kesulitan dan persaingan secara terus-
menerus dalam kehidupan masyarakat modern, aktivitas produksi yang tentunya
menuntut adanya perhatian lebih terhadap masalah psikologis, agar seseorang bisa
lebih siap menghadapi kehidupan yang lebih stabil dengan kerelaan, kepuasan,
kebahagiaan serta keberanian untuk hidup dan berusaha secara maksimal untuk
belajar dan bekerja.
Pada abad ini merupakan masa yang diwarnai oleh berbagai faktor yang
bisa memicu terjadinya konflik, kejatuhan dan pertarungan secara kejiwaan
sampai pada tingkat dimana banyak bangsa di dunia, hidup pada titik rawan. Hal
tersebut menyebabkan para tokoh behaviorisme 2 secara umum mengistilahkan
masa ini dengan Masa Kegoncangan.3
Manusia mulai bergerak untuk memikirkan dirinya ketika mereka
menemukan kenyataan bahwa kemampuan untuk mendapatkan keseimbangan diri
1 Dalam konteks ini jiwa memiliki pengertian yang sama dengan mental, nyawa, sukma,
ruh dan semangat. Lihat. DR. Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam
Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1989), cet. VI, h. 3. 2 Behaviorisme atau aliran perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam
psikologi yang berdasar pada proporsisi bahwa semua yang dilakukan organisme – termasuk
tindakan, pikiran atau perasaan – dapat dan dianggap sebagai perilaku. Wikipedia, “Behaviorisme”,
artikel diakses pada 08 Desember 2016 dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Behaviorisme. 3 Sayyid Abdul Hamid Mursi, Jiwa Yang Tenang, penerjemah Sukamdani dan Firdaus,
(Malang: Al-Qayyim, 2004), cet. 1, h. 14.
2
telah hilang, di mana hubungan mereka dengan lingkungan sekitarnya bukan lagi
merupakan hubungan yang penuh cinta dan keamanan, mereka tergerak ketika
merasakan bahaya dari kelalaian dan tidak adanya harmoni dengan lingkungan
dunia material dan juga lingkungan sosial yang mereka hidup didalamnya. Juga
ketika mereka merasakan keterasingan dan keterpisahan satu dengan yang
lainnya. Sehingga pada saat itu mereka sadar atas segala kekurangan mereka.
Mereka merasakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk melakukan evaluasi
diri dengan sungguh-sungguh untuk memahami diri mereka. Sekalipun demikian,
hal itu tidak berarti bahwa manusia dapat langsung memahami dirinya.4
Dalam sejarah kemanusiaan, telah muncul berbagai upaya untuk
memahami pribadi manusia. Akan tetapi usaha manusia untuk memahami pribadi
manusia masih merupakan permulaan. Sebab disana ada sekian banyak faktor
yang menyebabkan mereka tidak bisa memahami diri mereka sendiri. Dari
generasi ke generasi, manusia menganggap dirinya sebagai pusat dari kosmos dan
segala sesuatu harus tunduk untuk kepentingan mereka. Sehingga menyebabkan
mereka tidak mampu melihat permasalahan yang terkait dengan diri dan
kepribadian mereka; secara murni, ilmiah dan objektif tanpa melibatkan
pandangan yang parsial serta semua bentuk kecenderungan subjektif.5
Akhlak dalam hal ini merupakan salah satu yang dapat menjawab
persoalan tersebut. Akhlak juga mampu memberikan pengaruh terhadap berbagai
aspek; baik aspek Tasawuf, Tauhid, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Sebagaimana tujuan dari akhlak adalah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-
4 Sayyid Abdul Hamid Mursi, Jiwa Yang Tenang, h. 15. 5 Sayyid Abdul Hamid Mursi, Jiwa Yang Tenang, h. 17.
3
kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan
cermin yang dapat menerima Nur/cahaya Tuhan. 6 Keterangan tersebut
memberikan petunjuk bahwa akhlak berfungsi memberikan panduan kepada
manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya
menetapkan perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang baik atau yang buruk.
Dari penjelasan di atas; menurut hemat penulis, akhlak dapat
mempengaruhi kesehatan jiwa, baik pengaruh akhlak yang baik maupun akhlak
yang buruk. Tentunya hal itu juga tergantung daya berpikir manusia karena
berdasarkan daya berpikir tersebut, manusia dapat membedakan antara yang benar
dan yang salah, serta baik dan buruk. Manusia yang kemanusiaannya paling
sempurna ialah mereka yang paling benar cara berpikirnya serta paling mulia
usaha dan perbuatannya (akhlak).7
Akhlak atau etika 8 dalam disiplin keislaman telah banyak dibicarakan,
baik oleh para filosof dalam falsafah Islam klasik, para teolog dalam teologi
maupun para sufi dalam tasawuf. Namun pembahasan yang utuh terdapat dalam
bidang falsafah oleh para filosof terutama filosof Muslim.9 Filosof Muslim yang
secara khusus berbicara dalam bidang akhlak (falsafah etika) adalah Abū Bakr
Muḥammad Zakaria al-Razī (250H/864M-313H/925M) dan Ali Aḥmad ibn
Muḥammad ibn Miskawayh, yang dipopulerkan oleh kitabnya Tahdzib al-Akhlaq.
6 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 1996), cet. 1, h. 14. 7 Jalaluddin & Usman Sa’id, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 135. 8 Perbedaan etika dan akhlak menurut Daud Ali,etika dilhat dari sudut pandang kebiasaan
masyarakat sedangkan akhlak dilihat dari sudut pandang agama. Lihat Daud Ali, Pendidikan
Agama, (Jakarta: Rireka Cipta, 2001), h. 170. 9 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaa Akhlak, penerjemah Helmi Hidayat, (Bandung:
Mizan, 1994), cet. 1, h. 11.
4
Walaupun masih ada filosof-filosof lain, seperti Al-Kindī, Ibn Sīna dan lain-lain,
namun secara khusus dalam bidang akhlak mereka telah terwakili oleh kedua
filosof di atas.
Ibn Miskawayh adalah orang yang representatif dalam bidang akhlak
(falsafah etika) dalam islam. Sungguhpun terpengaruh oleh budaya asing,
terutama yunani, namun usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi
antara pemikiran falsafah dan pemikiran islam, terutama dalam bidang akhlak.10
Ibn Miskawayh adalah seorang pemikir di masa Buwaih. Dalam karyanya Ibn
Miskawayh lebih mengedepankan pendidikan tentang akhlak. Karya Ibn
Miskawayh yang terkenal adalah Tahdzib al-Akhlaq (Menuju Kesempurnaan
Akhlak) yang merupakan sebuah risalah mengenai falsafah etika dalam Islam
abad pertengahan, karya ini sudah lama dikenal dan sudah ditelaah para pakar di
Timur dan Barat, Kitab Tahdzib al-Akhlaq berisi tentang Jiwa, Fitrah manusia,
Kebaikan dan Kebahagiaan, keadilan, cinta, persahabatan dan kesehatan jiwa.
Pemikiran akhlak Ibn Miskawayh diwarnai oleh pemikiran para
pendahulunya dari para filosof Yunani dan Muslim, seperti Plato, Aristoteles,
Galen, kaum Stoa dan lainnya. Namun Ibn Miskawayh meramunya dengan
ajaran-ajaran islam. Disamping itu, Ibn Miskawayh juga banyak dipengaruhi
filosof Muslim, seperti Al-Kindī, Al-Farabi dan Al-Razī.11
Karakteristik pemikiran Ibn Miskawayh dalam pendidikan akhlak secara
umum dimulai dengan pembahasan tentang akhlak (karakter/watak). Menurutnya
akhlak adalah sebagai sesuatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa
10 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 14. 11 Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1995), h. 22.
5
bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Akhlak itu ada
yang bersifat alami dan ada akhlak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan.
Kedua watak tersebut menurut Ibn Miskawayh pada hakekatnya tidak alami.
Walaupun kita diciptakan dengan menerima watak, akan tetapi watak tersebut
dapat diusahakan melalui pendidikan dan pengajaran.12
Usaha-usaha melalui pendidikan dan pengajaran akhlak inilah yang
menjadi titik temu antara akhlak dan kesehatan jiwa dalam pemikiran Ibn
Misakawayh. Menurutnya, pendidikan dan pengajaran pertama-tama harus
dilakukan dengan proses pembiasaan menjalankan tuntunan syari’at, baru
kemudian dikenalkan kepada teori-teori akhlak untuk memperkuat dan mencapai
tingkat keutamaan yang lebih tinggi. Ini dilakukan dengan metode alami, yakni
bertahap sejak pembinaan potensi kebendaan dan kebinatangan (syahwat
kemudian ghadlab) secara total sesuai keempat prinsip keutamaan akhlak, terus
potensi akal sebagai potensi khas manusia sampai ke puncaknya sebagai insan
kamil.13
Selain pembahasan akhlak Ibn Miskawayh juga dalam hal ini
menambahkan bahwa ada empat hal pokok dalam upaya pemeliharaan kesehatan
jiwa. Yakni:
1. Bergaul dengan orang yang sejenis, yakni yang sama-sama pecinta
keutamaan, ilmu yang hakiki dan ma’rifat yang sahih, menjauhi
pencinta kenikmatan yang buruk.14
12 Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-‘Araq, ed. Hasan Tamim, (Beirut :
Manshūrat Dar al-Maktabah al-Hayat, 1938 H), cet.II, h. 62. 13 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 37-42. 14 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 163
6
2. Apabila sudah mencapai tingkat keilmuan tertentu, jangan
membanggakan diri (‘ujub) dengan ilmunya, melainkan harus belajar
terus sebab ilmu tidak terbatas dan di atas setiap yang berilmu ada
Yang Maha Berilmu, dan jangan malas mengamalkan ilmu yang ada
serta mengajarkannya kepada orang lain.
3. Hendaklah senantiasa sadar bahwa kesehatan jiwa itu merupakan
nikmat Allah yang sangat berharga yang tak layak ditukarkan dengan
yang lain.
4. Terus-menerus mencari aib diri sendiri dengan instrospeksi yang serius,
seperti melalui teman atau musuh, malah musuh lebih efektif dalam
membongkar aib ini.
Empat hal pokok di atas dapat ditempuh melalui akhlak yang baik,
tentunya melalui pembiasaan riyadlah dan keseimbangan dalam mengendalikan
jiwa yang memiliki orientasi pada akhlak dan titik pencapainnya. Adapun
pencapaian yang dimaksud adalah persoalan kebajikan. 15 Dengan kata lain
manusia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya di hadapan Allah atau
sebaliknya, seperti hewan, bahkan lebih rendah dari hewan. Dalam kaitan ini,
manusia diberikan oleh Allah kekuatan ikhtiar atau usaha untuk bebas
menggunakan potensi positif dan negatifnya.16
Sebagai makhluk sosial manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti
gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pendidikan ekonomi
15 Seyyed Hossein Nasr dan Olver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, terj.
Mizan, (Bandung: Mizan, 2007), h. 312. 16 A F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental, (Jakarta: Amzah,
2000), Cet. 1, h. 1.
7
dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu
mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim
kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada
masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah
ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu,
doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya
tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.
Setelah membaca dan menganalisa secara terperinci mengenai beberapa
penjelasan akhlak Ibn Miskawayh, sedikit banyak telah memberi asumsi dasar
bahwa akhlak memang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa manusia. Atas latar
belakang pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
tersebut dalam pembahasan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kesehatan Jiwa
Terhadap Akhlak dalam Pemikiran Ibn Miskawayh”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam skripsi ini, penulis membatasi diri pada pembahasan mengenai
pengaruh kesehatan jiwa bagi akhlak dalam pemikiran Ibn Miskawayh. Maka
pandangan-pandangan mengenai masalah - masalah lain tidak akan dibahas dalam
skripsi ini, karena kurang relevan dengan objek studi.
Permasalahan yang akan diangkat adalah seputar pengaruh kesehatan jiwa
bagi akhlak dalam pemikiran Ibn Miskawayh. Agar pembahasan tidak melebar
dan tetap tercakup dalam judul “Pengaruh Kesehatan Jiwa Terhadap Akhlak
8
dalam Pemikiran Ibn Miskawayh”, maka perlu dirumuskan sebagai berikut:
bagaimana hubungan jiwa dengan akhlak, bagaimana kesehatan jiwa dalam
pemikiran Ibn Miskawayh dan upaya pencapaiannya serta bagaimanakah
pengaruh kesehatan jiwa terhadap akhlak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Pembahasan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian yang
komprehensif mengenai pemikiran Ibn Miskawayh, khususnya tentang pengaruh
akhlak terhadap kesehatan jiwa.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk memperkaya ḥazanah literatur Islam, khususnya mengenai
pengaruh akhlak bagi kesehatan jiwa dalam pemikiran Ibn Miskawayh.
2. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang akhlak dan pengaruhnya bagi
kesehatan jiwa dalam pemikiran Ibn Miskawayh.
3. Untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata satu dalam bidang falsafah
islam.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran, penulis menemukan empat karya yang
membahas permasalahan Ibn Miskawayh. Pertama, skripsi Abdurrahman
Zamzami pada Jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 2003 dengan judul “Pemikiran Ibn
Miskawayh Tentang Pendidikan Akhlak dan Peranannya dalam Kehidupan
9
Manusia”. Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana Ibn Miskawayh
memberikan pendidikan akhlak melalui pemikiran dan karya-karya tertulisnya
untuk dapat memahami konsep akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, skripsi Resnamia Nivianti pada Jurusan Pendidikan Agama Islam,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 2011
dengan judul “Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam menurut Ibn
Miskawayh dan Ibn Khaldun”. Skripsi ini menjelaskan tentang sejauh mana
sistem pendidikan di Indonesia khususnya pada mata pelajaran agama yang dapat
berkembang dengan baik melalui perbandingan pemikiran dari kedua tokoh
pendidikan Islam yaitu Ibn Miskawayh dan Ibn Khaldun yang meliputi tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, serta metode pendidikannya.
Ketiga, skripsi Ziyadatul Ilmy pada Program Studi Aqidah dan Filsafat
Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, 2016 dengan judul
“Falsafah Kebahagiaan Ibn Miskawayh”. Skripsi ini menjelaskan mengenai
makna hakiki kebahagiaan, komponen dari kebahagiaan dan tingkatan
kebahagiaan menurut Ibn Miskawayh.
Keempat, skripsi Zulkarnaen pada Program Studi Aqidah dan Filsafat
Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, 2016 dengan judul
“Filsafat Jiwa Menurut Ibn Miskawayh”. Skripsi ini menjelaskan mengenai
konsep jiwa dalam pemikiran Ibn Miskawayh dan pendapat Ibn Miskawayh atas
peranan jiwa dalam kehidupan manusia.
Adapun yang membedakan tulisan yang akan saya tulis adalah tentang
pembahasan Pengaruh Akhlak Bagi Kesehatan Jiwa dalam Pemikiran Ibn
10
Miskawayh. Sehingga dapat lebih dipahami, dan jika memang demikian,
penelitian yang dilakukan oleh penulis menjadi penelitian perdana yang
mengangkat tema ini.
E. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan kajian kepustakaan
(library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada hubungan
dengan tema skripsi. Data-data tersebut diambil dari sumber karya Ibn
Miskawayh sendiri yang terdokumentasikan, antara lain: Tahdzib al-Akhlaq dan
terjemahannya, Menuju Kesempurnaan Akhlaq yang diterjemahkan oleh Helmi
Hidayat. Sementara itu sumber sekundernya diambil dari berbagai buku, jurnal
dan makalah akademik yang membahas masalah yang relevan dengan penelitian
ini.
Penelitian skripsi ini menjelaskan tentang Pengaruh Akhlak Bagi
Kesehatan Jiwa dalam Pemikiran Ibn Miskawayh, jenis penelitian yang
digunakan adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif yang akan dikembangkan
dalam sebuah bentuk metode penelitian akademik (the academik method of
research). Penelitian deskriptif (kualitatif) analisis 17 sangat relevan pada
penelitian studi falsafah terutama dalam penelitian pustaka.18 Penelitian kualitatif
akan menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam tentang pokok
17 Penelitian-penelitian yang termasuk penelitian kualitatif adalah penelitian eksplorasi
(penjelajahan) dan penelitian-penelitian yang bersifat deskriptif yang hasilnya disajikan dalam
bentuk kualitatif. Lihat Imron Arifin (ed.), Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial dan
Keagamaan (Malang: Kalimah Syahadah Press, 1996), h. 13. 18 Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005),
cet., ke-1, h. 6.
11
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Adapun untuk pedoman standar yang penulis pergunakan dalam teknik
penulisan Skripsi ini, mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) tahun 2007 yang telah diterbitkan oleh penerbit
CeQda. Adapun pedoman transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin
tahun 2013.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah bahasan tentang penulisan yang sistematis, maka
penulis menyusun ke dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab,
yaitu:
Bab I, adalah pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah sehingga
mendorong penulis mengangkat judul skripsi tersebut, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II, membahas tentang biografi Ibn Miskawayh. Ada tiga sub
pembahasan yang ditulis dalam biografi Ibn Miskawayh, yaitu latar belakang
keluarga, karya-karya dan latar belakang pemikiran. Latar belakang keluarga dan
pemikiran Ibn Miskawayh sangat penting diketahui untuk melacak pemikirannya
yang lebih mendalam. Dengan mengetahui karya-karyanya secara lebih mendetail,
kita juga dapat melacak pemikiran Ibn Miskawayh secara lebih komprehensif.
Bab III, berisi pembahasan tentang akhlak, jiwa dan hubungan keduanya.
Pembahasan tersebut dimulai dengan teori-teori umum menyangkut akhlak, jiwa
12
dan hubungannya, kemudian diikuti dengan akhlak, jiwa dan hubungan keduanya
dalam perspektif Ibn Miskawayh.
Bab IV, berisi pembahasan tentang analisis pemikiran Ibn Miskawayh
mengenai pengaruh karakter (akhlak) bagi kesehatan jiwa. Dalam bab ini juga
dilakukan analisis secara lebih mendalam mengenai keterkaitan konsepsi Ibn
Miskawayh tentang akhlak dan kesehatan jiwa serta bagaimana keterkaitan dan
pengaruh keduanya.
Bab V, adalah penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah dirumuskan.
Sementara saran-saran adalah berisi beberapa rekomendasi lanjutan tentang
penelitian yang sudah dilakukan serta memberikan beberapa kemungkinan lain
untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengaruh akhlak bagi
kesehatan jiwa dalam pemikiran Ibn Miskawayh.
13
BAB II
BIOGRAFI IBN MISKAWAYH
A. Latar Belakang Keluarga
Ada beberapa perspektif yang berbeda dalam mengkaji biografi Ibn
Miskawayh. Dalam buku Menuju Kesempurnaan Akhlak, bagian kata pengantar
edisi bahasa Inggris1, menyebutkan Tahdzib al-Akhlaq adalah karya Ahmad ibn
Muhammad Miskawaih dan dalam penulisan selanjutnya menggunakan nama
Miskawaih. Hasyimsyah Nasution menjelaskan Ibn Miskawayh memiliki nama
lengkap Abū ‘Ali Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawayh. 2 Berbeda
dengan Hasyimsyah, Muslim Ishak menjelaskan bahwa nama beliau adalah Abū
Ali al-Khozin Ahmad Ibn Muhammad bin Ya’qud dan lebih dikenal nama Ibn
Miskawayh. 3 Penjelasan Muslim mengenai nama Ibn Miskawayh sependapat
dengan Sudarsono.4 Adapula yang menjelaskan nama Ibn Miskawayh adalah Abū
‘Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub Miskawayh al-Khazin ar-Razi al-
Isfahani.5
Secara umum para penulis hanya menuliskan nama Ibn Miskawayh dalam
beberapa literatur cukup disebutkan Ibn Miskawayh atau Miskawayh. Abu Bakar
Atjeh 6 menyebutnya dengan Ibn Miskawayh, sedangkan M.M. Syarief
1 Dterjemahkan oleh Ilyas Hasan dari edisi berbahasa Inggris Tahdzib al-Akhlaq, berjudul
The Refinement of Character, oleh Constantine K. Zurayk, terbitan The American University of
Beirut, Beirut, 1968. 2 Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 56. 3 Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Falsafat Islam dari Barat (Spanyol), (Surabaya, Bina Ilmu,
1980), h. 18. 4 Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 56. 5 Muhsin Lalib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta: Al-Huda,
2005), h. 109. 6 Abu Bakar Atjeh, Sejarah Falsafat Islam, (Semarang: Ramadani, 1970), h. 147.
14
menyebutnya Miskawayh saja tanpa sebutan Ibn.7 Terlepas dari perbedaan nama
lengkap serta penyebutan, penulis akan menulis nama tokoh yang dikaji dengan
nama Ibn Miskawayh.
Nama Ibn Miskawayh diambil dari kakeknya yang semula beragama
Majusi kemudian masuk Islam. 8 Berbeda dengan pendapat Yaqut 9 bahwa
ayahnyalah yang mula-mula beragama Majusi kemudian memeluk Islam, karena
Ibn Miskawayh sendiri, sebagaimana tercermin pada namanya adalah putra
seorang Muslim, yang bernama Muhammad. 10 Artinya Ibn Miskawayh lahir
dalam keluarga Islam.
Nama aslinya adalah Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub, disebut pula
dengan nama Abū Ali Miskawayh yang diambil dari nama keluarga. Ibn
Miskawayh adalah seorang filosof Islam yang pertama kali membicarakan
masalah akhlak dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq. Ibn Miskawayh menjelaskan
masalah jiwa, penyakit jiwa dan cara penyembuhannya. Selain belajar falsafah,
beliau mempelajari sejarah terutama karya yang berjudul Tarikh at-Tobari dari
Abū Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadī. Ilmu falsafah didapatkan dari Ibn al-
Khammar, 11 sedangkan falsafah Aristoteles dan ilmu kimia dipelajarinya
bersama-sama dengan Abu al-Toyyib al-Razi, selain bidang falsafah Ibn
Miskawayh juga dikenal sebagai tabib.
7 M.M. Syarief, Para Filosof Muslim, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1992), h. 83. 8 Sudarsono, Filsafat Islam, h. 88. 9 Pengarang Kitab Irsyad al-‘Anb ila Ma’rifah al-Adib. 10 Abdurrahman Badawi, Miskawaih, dalam M.M Syarief, Para Filosof Muslim,
(Bandung: Mizan, 1996), cet. VIII, h. 83. 11 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
h. 127.
15
Menurut Ensiklopedia Islam di Indonesia Ibn Miskawayh lahir di kota 320
H. (932 M.) dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H./ Februari 1030 M.12 Ibn
Miskawayh tergolong pejabat dan intelektual yang memperoleh kemajuan pesat di
bawah perlindungan Buwaihiyah (abad ke-4 sampai 5 H/abad ke-10 sampai 11 M)
dan yang memberikan sumbangsih kepada kehidupan intelektual dan kultural
yang kaya dalam periode ini.13
Ibn Miskawayh hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-
450 H./932-1062 M.) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah. Ibn Miskawayh
mempunyai hubungan yang baik dengan orang-orang penting dan penguasa di
zamannya. Berpuluh-puluh tahun ia bekerja sebagai pustakawan pada sejumlah
wazir dan amir Bani Buwaih yakni pada Wazir Hasan bin Muhammad al-Azdari
al-Mahlabi di Bagdad (348-352 H.), Wazir Abu Fadl Muhammad Ibn al-Amid di
Ray (352-360 H.) dan puteranya, Wazir Abu al-Fath Ali bin Muhammad (360-366
H.), pada Amir Adduddaullah bin Buwaih di Bagdad (367-372 H.) dan amir-amir
berikutnya. 14 Ia pernah mendapatkan keperayaan dari salah satu menteri al-
Mahlabi dan diangkat sebagai pengawas perpustakaan, kemudian mendapat
keperayaan pula dari Sulthan ad-Daulah dan diangkat sebagai bendaharawan.
Disinilah ia mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan perpustakaan istana
selama hampir tujuh tahun, sehingga besar kemungkinan disinilah ia mempelajari
falsafah Yunani dari buku-buku yang telah diterjemahkan kedalam bahasa
12 Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 56. 13 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 18. 14 Ensiklopedia Islam di Indonesia, Depag RI-Dirjend Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Proyek Peningkatan Prasara dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 662.
16
Arab.15Karirnya sebagai pustakawan ini tentu memberi kesempatan yang banyak
baginya untuk tekun membaca dan menulis, sehingga ia mampu menghasilkan
karya-karya yang berkualitas.
B. Karya-karya
Pada masanya Ibn Miskawayh mempelajari hampir seluruh bidang
keilmuan yang berkembang, oleh karena itu ada beberapa penulis memberikan
predikat filosof, sastrawan, ahli kedokteran, sejarawan dan fisikawan. Selain
seorang sarjana yang amat luas ilmu pengetahuannya, Ibn Miskawayh juga selalu
tercantum dalam deretan nama-nama para filosof muslim.16 Ibn Miskawayh selain
dikenal sebagai pemikir (filosof), juga terkenal sebagai penulis produktif. Dalam
buku Para Filosof Muslim seperti yang dikutip oleh Yaqut memberikan daftar 13
buah karya Ibn Miskawayh, sebagai berikut:
1. Al-Fauz al-Akbar (membahas hal-hal yang berhubungan dengan tata
pola hidup secara individual dan bermasyarakat).
2. Al-Fauz al-Asghar (membahas hal-hal yang berhubungan dengan tata
pola hidup secara individual dan bermasyarakat).
3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis
pada tahun 369 H./979 M.).
4. ‘Uns al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata
mutiara).
5. Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik).
15 Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Falsafat Islam dari Barat (Spanyol), h. 19. 16 Tim Divisi Data & Informasi CIPSI, Para Pemikir Dalam Tradisi Ilmiah Islam:
Kumpulan Biografi dan Karya Filosof, Saintis dan Teolog Muslim, (Jakarta: CIPSI, 2008), h. 325.
17
6. Al-Mustafa (syair-syair pilihan).
7. Jawidan Khirat (kumpulan ungkapan bijak).
8. Al-Jami’.
9. Al-Siyar (tentang aturan hidup).
10. Tentang Pengobatan Sederhana (mengenai kedokteran).
11. Tentang Komposisi Bajat (mengenai seni memasak).
12. Al-Asyribah (mengenai minuman).
13. Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlak).17
Nomor 2, 3, dan 13 kini masih ada, dan telah diterbitkan. Juga ada lima
daftar lagi yang tak disebut oleh Yaqut dan al-Qifti, yaitu:
1. Risalah fi al-Ladzdzat wa al-‘Anam fi Jauhar al-Nafs (Naskah di
Istanbul, Ragrib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a).
2. Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wa al-‘Aql (dalam Majmu’ah tersebut di
atas, dalam Raghib, di Istanbul).
3. Al-Jawab fi al-Masail al-Tsalats (Naskah di Teheran, Fihrist Maktabat
al-Majlis, II, No. 634(31)).
4. Risalah fi Jawab fi Sual Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Sufi fi
Haqiqah al-‘Aql (Perpustakaan Mashhad di Iran, I, No. 43 (137)).
5. Taharah al-Nafs (Naskah di Koprulu, Istanbul, No. 767).
Muḥammad Baqir Ibn Zain al-‘Abidīn al-Hawanṣari mengatakan bahwa ia
juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Parsi (Raudah al-Jannah,
17 Yaqut, Irsy ad al-‘Arib ila Ma’rifah al-Adib Vol. II, h. 88-96.
18
Teheran, 1287 H./1870 M.18 Mengenai urutan karya-karyanya, kita hanya tahu
dari Ibn Miskawayh sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-
Asgar, dan Tahdzib al-Akhlaq ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.19 Menurut Aḥmad
Amīn sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibn
Miskwayh tidak luput dari kepentingan falsafah dan akhlak. Sehubungan dengan
itu Ibn Miskawayh dikenal sebagai moralis.20
C. Latar Belakang Pemikiran
Dari latar belakang pemkiran Ibn Miskawayh tidak ditemui data sejarah
yang rinci. Namun ditemui keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah terutama
karya yang berjudul Tarikh at-Tobari dari Abū Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadī.
Ilmu falsafah didapatkan dari Ibn al-Khammar, sedangkan falsafah Aristoteles dan
ilmu kimia dipelajarinya bersama-sama dengan Abu al-Toyyib. Karena
keahliaannya dalam berbagai ilmu, Ibn Miskawayh dapat dikelompokkan sebagai
seorang pemikir, moralis, dan sejarawan Parsi paling terkenal.21
Ibn Miskawayh adalah seorang filosof yang representatif dalam bidang
akhlak dalam islam. Sungguhpun terpengaruh oleh budaya asing, terutama Yunani,
namun usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi antara pemikiran
falsafah dan pemikiran islam, terutama dalam bidang akhlak.22 selain itu dalam
pengambilan kesimpulan-kesimpulan dan metode sangat berbeda dengan al-Razi.
18 M.M. Syarief, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), h. 84-85. 19 Ibn Miskawayh, Al-Fauz al-Asgar, h.120. 20 Abuddin Nata, Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Falsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 6. 21 M.M. Syarief, Para Filosof Muslim, h. 84. 22 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, penerjemah Helmi Hidayat, (Bandung:
Mizan, 1994), cet. 1, h. 15.
19
Al-Razi orangnya berani, sangat rasional dan filosofis (walaupun tanpa mengutip
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi), namun Al-Razi yakin bahwa pemikiran
falsafah tidak akan bertentangan dengan agama sedangkan Ibn Miskawayh dalam
mengemukakan pendapat-pendapatnya sering mengutip ayat-ayat Al-Qur’an,
hadis-hadis Nabi, ucapan Imam Ali dan Al-Hasan Al-Bashri, disamping puisi-
puisi arab.23
Selain pendidikan dari guru langsung, Ibn Miskawayh juga menajamkan
pemikirannya secara otodidak. Terutama saat Ibn Miskawayh diberi kepercayaan
untuk mengurusi perpustakaan. Ibn Miskawayh diketahui bekerja sebagai
pustakawan selama sepuluh tahun lamanya. Kesempatan menjadi pustakawan ini
tidak disia-siakan lagi untuk menghilangkan kehausan atas ilmu pengetahuannya.
Terutama saat memeroleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibn al-Amīd,
menteri Rukn al-Daulah.24
Ibn Miskawayh telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya
Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (Pendidikan Budi dan Pembersihan
Akhlak). Sementara itu sumber falsafah Ibn Miskawayh berasal dari falsafah
Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam dan pengalaman pribadi.25
Ibn Miskawayh adalah seorang teoritis dalam hal-hal akhlak, artinya ia
telah mengupas falsafah akhlaqiyyah secara analisa pengetahuan. Hal ini tidaklah
berarti bahwa Ibn Miskawayh tidak berakhlak, hanya saja persoalannya ditinjau
dari segi pengetahuan semata-mata.
23 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 16. 24 Maftufkhin, Filsafat Islam, h. 117-118. 25 Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset,
2005), h. 327-328.
20
Terlepas dari perjalanan hidup Ibn Miskawayh yang minim penjelasan,
penulis mencoba menggali dari segi tahun di masa hidup Ibn Miskawayh. Secara
umum masa hidup Ibn Miskawayh adalah abad ke IX – X. Secara umum pada
abad ke VII hingga XII M. Islam dikuasai oleh Dinasti ‘Abasiyah. ‘Abasiyah
memimpin Islam dalam periode yang cukup lama, yakni dari tahun 750 M. hingga
1030 M. berada dalam kepemimpinan Dinasti ‘Abasyiah.26
Adapun secara khusus Ibn Miskawayh berada dalam kepemimpinan
periode ‘Abasyiah ketiga. Sebab dalam dinasti ‘Abasyiah terbagi menjadi 5
periode kepemimpinan. Periode pertama terjadi pada tahun 750-847 M. periode
kedua 847-945 M. periode ketiga 945-1055 M. Dapat disimpulkan bahwa masa
hidup Ibn Miskawayh berada pada akhir ‘Abasyiah periode kedua dan periode
ketiga.27
Pada periode ‘Abasyiah ketiga juga (334 H./945 M. – 447 H./ 1055 M.)
Dinasti ‘Abasyiah dikuasai oleh Bani Buwaih. Bani Buwaih merupakan tiga
putera Buwaih yang ingin memperbaiki nasib dengan memasuki militer di dalam
pasukan Makan Ibn Kali, salah seorang panglima di Dailam. karir putera Buwaih
dalam bidang militer menjadikan mereka sebagai penguasa yang diberi gelar Amir
al-Umara oleh Khalifah. Bani Buwaih inilah yang kemudian menguasai daerah
Persia. Adapun aliran yang dianut oleh Bani Buwaih ini adalah Syi’ah. Hal
tersebut menjadi patokan bahwa aliran Syiah berkembang pesat di Persia.28
Kondisi Syi’ah sebagai aliran yang dianut Bani Buwaih ini kemudian
berdampak pada Ibn Miskawayh itu sendiri. Seperti yang disampaikan
26 Badri Yatim, Historitografi Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 69. 27 Badri Yatim, Historitografi Islam, h. 70. 28 Badri Yatim, Historitografi Islam, h. 71.
21
Hasyimsyah bahwa Ibn Miskawayh mengahabiskan usianya untuk mengabdi
kepada Bani Buwaih. 29 Bahkan oleh Sudarsono disebutkan, Ibn Miskawayh
merupakan pemikir yang menganut aliran Syi’ah.30
Meski dengan kondisi perbedaan paham yang dianut antara Bani Buwaih
sebagai penganut Syi’ah dan Bani Abbas penganut Sunni, tidak menjadi kendala
kedua pemimpin ini untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Para pemimpin
Bani Buwaih juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Buwaih ini juga banyak filosof
yang bermunculan seperti al-Farabi, Ibn Sīna dan salah satunya adalah Ibn
Miskawayh.31
Puncak prestasi kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ‘Adud al-
Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H. Perhatiannya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Ibn
Miskawayh memeroleh kepercayaan untuk menjadi Bendaharawan ‘Adud al-
Daulah dan masa ini jugalah Ibn Miskawayh muncul sebagai seorang filosof,
tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi keberhasilan politik dan kemajuan ilmu
pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan
dilanda kemerosotan akhlak secara umum, baik dikalangan elit, menengah, dan
bawah. Karena itu, hal inilah yang memotivasi Ibn Miskawayh untuk memusatkan
perhatinannya pada etika Islam.32
29 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 56. 30 Sudarsono, Filsafat Islam, h. 89. 31 Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 71. 32 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bntang, 1992), h. 56.
22
Justru di akhir masa hidupnya Ibn Miskawayh menghabiskan umurnya
dengan studi dan menulis. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Ibn Miskawayh juga
memegang jabatan strategis sebagai Bendaharawan. 33 Penjelasan mengenai
biografi Ibn Miskawayh sangat sedikit. Beberapa literatur hanya
menginformasikan hal-hal yang penting. Seperti karya-karya serta keterlibatan Ibn
Miskawayh dalam kondisi politik yang ada. Namun pemikiran Ibn Miskawayh
yang begitu menonjol tidak membuat tokoh ini redup dalam dunia pemikiran,
terutama dalam falsafah.
33 Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 265.
23
BAB III
GAMBARAN UMUM AKHLAK DAN JIWA
A. Definisi Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefiniskan
akhlak, yaitu pendekatan etimologi dan pendekatan terminologi. Dari sudut
etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk
infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan
(wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai),
at-tabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman),
al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).1 Akhlak ialah bentuk
jamak dari khuluq (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku, atau tabi’at. 2 Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun.
Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah
manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. Khuluq
di dalam Kamus Al-Munjid berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat.3 Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata
ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati
melakukan perbuatan. Ethicos kemudian menjadi etika.4
1 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 1996), cet. 1, h. 1. 2 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 11. 3 Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), cet. 2,
h. 1. 4 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah,
2007), cet. 1, h. 3.
24
Pengertian akhlak dari segi istilah, para ahli berbeda pendapat, namun
intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat ahli tersebut
dihimpun sebagai berikut:
a. Ibn Miskawayh yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan
terdahulu misalnya secara singkat mengatakan, bahwa akhlak:
رؤية حا ل للنفس داعية لها الى افعا لها من غير فكر وال
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.5
b. Imam al-Ghazali yang dikenal sebagai Hujjatul Islam (Pembela Islam),
mengatakan akhlak adalah:
ى عنها تصدر اال فعال بسهو لة ويسر من غير حا جة ال راسخة نفس عبا رة عن هيثة فى ال
ورؤية فكر
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan.6
c. Ibrahim Anis dalam Mu’jam al-Wasit mengatakan bahwa akhlak ialah:
حال للنفس راسخة تصدر عنها االعمال من خير او شر من غيرحاجة الى فكر ورؤية
Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan.7
d. Abdul al-Hamid dalam Kitab Dairatul Ma’arif mengatakan akhlak ialah
ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya
5 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 3. 6 Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Dini, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 56. 7 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 4.
25
sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan, dan tentang keburukan yang
harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk
keburukan.
e. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan baik dan buruk.
Contohnya apabila kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut
akhlaqul karīmah dan bila perbuatan itu tidak baik disebut akhlaqul
madzmūmah.8
f. Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak ialah budi pekerti, watak,
kesusilaan, dan kelakuan baik yang merupakan akibat dari sifat jiwa yang
benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.
g. Hamzah Ya’qub mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut:
1) Akhlak ialah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk,
antara terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia
lahir dan batin.
2) Akhlak ialah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang
baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan
menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan
pekerjaan mereka.9
h. Dalam Ensiklopedia Pendidikan dikatakan bahwa akhlak ialah budi
pekerti, watak, kesusilaan (kesusilaan etik dan moral) yaitu kelakuan
8 Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak, h. 2. 9 Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak, h. 5.
26
baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap
Khaliknya dan terhadap sesama manusia.10
Keseluruhan definisi akhlak tersebut di atas nampak tidak ada yang
bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara satu dan lainnya.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi,
dan darinya kita dapat menemukan lima ciri yang terdapat dalam perbuatan
akhlak, yaitu:
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat
dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Kedua,
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul
dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan
dari luar. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima,
sejalan dengan ciri keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik)
adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah,
bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu
pujian.11
2. Pokok-pokok Keutamaan Akhlak
Kesempurnaan manusia sangat terkait dengan keutamaan-keutamaan
(al-Fada’il) atau berfungsinya potensi yang dimiliki manusia sesuai dengan
10 Soegarda Poerbakawaja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h.
9. 11 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 5-7.
27
tuntutan kesempurnaan yang dimiliki manusia. Sebaliknya tidak berfungsinya
potensi jiwa sesuai dengan tuntutan kesempurnaan itu dinamakan keburukan-
keburukan (al-Rada’il). 12 Dengan demikian, keutamaan menuntut adanya
keserasian tertentu dalam hubungan fungsional potensi yang dimiliki manusia.
Ibn Miskawayh dan al-Ghazali berpandangan sama dalam menjadikan doktrin
jalan tengah sebagai dasar keutamaan akhlak. Doktrin tersebut sebenarnya
sudah dikenal para filosof sebelumnya. Seperti Mencius (551-479 SM), yaitu
filosof Cina yang telah menulis buku tentang “The Doctrine of The Mean”
atau doktrin jalan tengah. Juga para filosof Yunani seperti Plato (427-347
SM), Aristoteles (384-322 SM), dan filosof muslim seperti al-Kindī dan Ibn
Sīna.13
Ibn Miskawayh secara umum memberi pengertian jalan tengah (al-
wasat) tersebut dengan adanya sikap seimbang, moderat, harmoni, utama,
mulia atau posisi tengah antara dua ekstrem kelebihan (al-tafrit) dan
kekurangan (al-ifrat). Dalam hal tersebut Ibn Miskawayh mengemukakan
empat keutamaan tertinggi (Ummahah al-Fada’il), yaitu al-hikmah sebagai
keutamaan akal, al-Shaja’ah sebagai keutamaan daya al-Gadab, al-‘Iffah
sebagai keutamaan daya al-Shahwah dan al-’adalah sebagai keseimbangan
daya tersebut.14
Dari kemungkinan untuk mencapai posisi pertengahan al-’adalah, al-
Ghazali berpendapat bahwa hanya Rasul yang dapat mencapai posisi
12 Murad Wahab, dkk, al-Mu’jam al-Falasafi, (Kairo: al-Saqafat al-Jadidat, 1971), h. 161. 13 Nur Hamim, Ulumuha: Jurnal Studi Keislaman, volume 18, nomor 1 (Juni 2014), h. 26. 14 Lihat, Muhammad Ahmad Syarif, Ghazali’s Theory of Virtue, (Albany: State
University of New York Press, 1975), 178-180.
28
pertengahan itu, sedangkan manusia biasa hanya mampu mendekati dan tidak
mampu untuk mencapainya. 15 Akan tetapi Ibn Miskawayh, sebagaimana
Aristoteles dan Al-Farabi secara optimis berpendapat bahwa siapa pun
dengan memperhatikan aturan-aturan tertentu, akan sangat mungkin untuk
memperoleh posisi pertengahan al-’adalah tersebut.16
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Pokok-pokok keutamaan ada
empat, dan setiap pokok keutamaan memiliki cabangnya masing-masing.
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Kebijaksanaan (al-hikmah)
Yang dimaksud dengan hikmah adalah keadaan jiwa manusia yang
dengannya ia dapat membedakan antara yang benar dan salah dalam setiap
perbuatan. Jika sifat hikmah digunakan secara berlebihan dalam tujuan-
tujuan yang buruk, hal itu disebut perbuatan dosa dan kejahatan.
Sedangkan jika digunakan secara berkekurangan maka hal itu disebut
kedunguan.
Ibn Miskawayh menyebut tujuh cabang keutamaan, untuk al-
hikmah yaitu: ketajaman intelegensi atau pandai (al-dzaka), kuat ingatan
(al-dzikru), berpikir (al-ta’aqul), tangkas (sur’at), kejernihan pikiran
(safau al-dzihni), ketajaman dan kekuatan otak (jaudat al-dzihni),
kemampuan mudah belajar (suhūlat al-ta’allum).17
15 Harun Nasution, Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.
26. 16 Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-‘Araq, h. 46. 17 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 46.
29
Dilihat dari urgensi perolehan al-hikmah atau kebijaksanaan dalam
pendidikan akhlak adalah seseorang akan bersikap dan bertindak arif lagi
bijak dalam menyikapi segala persoalan-persoalan hidup yang amat
kompleks, baik atas nama individu yang berhubungan langsung dengan
Al-Khaliq maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Sehingga
ia akan menemui kebahagiaan dalam sikapnya tersebut.
b. Keberanian (al-saja‘ah)
Sedangkan yang dimaksud dengan keberanian, adalah dipatuhinya
akal oleh kekuatan emosi (amarah, ghadab) baik dalam tindakan maupun
keengganananya untuk bertindak. Dan manakala kekuatan emosional
menyimpang dari sifat mederatnya dan lebih cenderung ke arah yang
ekstrim atau berkelebihan, hal itu disebut nekat. Sebaliknya jika itu
cenderung ke arah kekurangan hal itu disebut pengecut.
Keberanian adalah keutamaan dari daya amarah (al-gadab) karena
mendapat bimbingan dari al-hikmah, keutamaan dari jiwa al-natiqah. Dan
sifat ini adalah pertengahan antara pengecut (al-jubn) dan nekad (al-
tahawwur). Selain al-Ghazali dan Ibn Miskawayh, Aristoteles, al-Farabi,
serta Ibnu Sina juga berpendapat demikian.18
Sebagaimana al-hikmah, al-saja‘ah juga memiliki cabang. Ibn
Miskawayh menyebutkan sembilan cabang untuk al-saja‘ah, yaitu: jiwa
besar (kibar al-nafs), keberanian (al-najdad), ketenangan (‘izam al-
himmat), keuletan (al-sabat), kesabaran (al-sabr), kemurahan hati (al-
18 Muhammad Ahmad Syarif, Ghazali’s Theory of Virtue, 44.
30
hilm), menahan diri (‘adam al-taysy), keperkasaan (al-sahamat), dan
senang bekerja (ihtimal al-kadd). 19 Berbeda dengan al-Ghazali dalam
Ihya’ ‘Ulūm al-Din, menyebutkan sepuluh cabang, yaitu: kemuliaan (al-
karam), keberanian (al-najdad), keperkasaan (al-shahamat), jiwa besar
(kibar al-nafs), ketahanan (al-ihtimal), kemurahan hati (al-hilm), tahu diri
(al-waqar), dan kerahaman (al-tawaddu’).20
c. Penyegahan emosional (al-iffah)
Adapun yang dimaksud Iffah atau penyegahan emosional adalah
terdidiknya kekuatan ambisi dan hasrat oleh didikan akal dan syariat. Dan
jika kekuatan ambisi dan hasrat atau keinginan lebih cenderung ke arah
yang lebih menonjol, dengan kata lain sangat berlebihan maka hal itu
disebut kekuatan.
Ibn Miskawayh dan al-Ghazali sepakat meletakkan al-iffah sebagai
pertengahan antara rakus (al-sarah) dan dingin hati (khumūd al-sahwat),
keduanya juga sepakat jika akal dan syara dijadikan barometer dalam
menentukan posisi tengah tersebut.21
Al-iffah sebagai keutamaan daya jiwa al-sahwiyah sangat erat
terkait dengan kebutuhan fisik manusia, seperti makan, minum, berpakaian,
dan seksual. Untuk mengatur kesemuanya ini bagi anak-anak adalah
dengan pembiasaan dan latihan. Kaitannya dengan pendidikan akhlak,
keutamaan ini akan terwujud manakala orang tua juga guru selalu
19 Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-‘Araq, h. 42. 20 Al-Gazalī, Ihya’ ‘Ulūm al-Din, 53. 21 Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-‘Araq, h. 47.
31
mengarahkan dan membimbing sampai akhirnya mereka terbiasa dengan
keutamaan-keutamaan yang dimaksud.
Al-iffah memiliki cabang lebih banyak dari pada dua keutamaan
sebelumnya, yaitu rasa malu (al-haya), ketenangan (al-da’at), sabar (al-
sabr), dermawan (al-sakha’), integritas, puas (al-qana’ah), loyal (al-
damatsah), berdisiplin diri (al-intizam), optimis atau berpengharapan baik
(husn al-huda), kelembutan (al-musalamah), anggun berwibawa (al-
wiqar), dan wara’.22 berbeda dengan Al-Ghazali yang hanya memberikan
tiga cabang untuk al-iffah yang berkenaan dengan keutamaan sosial,23 Ibn
Miskawayh lebih banyak memasukan enam cabang kedermawanan (al-
sakha’) sebagai sifat sosial karena menurut Ibn Miskawayh untuk
mencapai kesempurnaan kebajikan hanya dapat dicapai dengan
bersosialisasi. Sebagaimana kutipan Ibn Miskawayh dalam kitabnya:
“Sudah kami katakan bahwa manusia, di antara seluruh
hewan, tidak dapat mencapai kesempurnaan dengan hidup
menyendiri. Dia harus ditunjang oleh masyarakat, agar
kehidupannya baik dan agar dia mengikuti jalan yang benar.”24
Dari perbedaan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa terlihat
akhlak al-Ghazali bersifat sufistik individual, sedangkan akhlak Ibn
Miskawayh lebih bersifat akhlak sosial.25
d. Keadilan (al-’adalah)
Keseimbangan adalah keadaan jiwa seseorang yang mampu
membatasi gerak kedua kekuatan: emosi dan ambisi serta
22 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 47. 23 Muhammad Ahmad Syarif, Ghazali’s Theory of Virtue,184-185. 24 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 55. 25 Nur Hamim, Ulumuha: Jurnal Studi Keislaman, h. 31.
32
mengendalikannya dalam keaktifan dan ketidak aktifan, supaya sejalan
dengan nilai-nilai hikmah. Jika sifat keseimbangan telah hilang maka tak
ada lagi ujung yang berlebihan atau yang berkekurangan. Yang ada
hanyalah sifat yang sama sekali berlawanan dengannya, yaitu kezaliman.
Dari sifat moderat dan keseimbangan tersebut timbul semua unsur akhlak
yang baik.
Al-‘adalah akan terwujud pada diri seseorang manakala adanya
integritas dan keserasian antara tiga keutamaan jiwa al-hikmah, al-saja‘ah
dan al-iffah. Oleh karenanya Al-Ghazali berpendapat bahwa al-‘adalah
tidak memiliki cabang, hanya yang ada satu lawan dari keadilan adalah
ketidakadilan (al-jawr). Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibn Miskawayh
berpendapat bahwa keadilan adalah pertengahan antara aniaya (al-zulūm)
dan teraniaya (inzilam) juga memiliki cabang-cabang, yaitu bersahabat (al-
shadaqat), baik dalam bekerjasama (husn al-sharikah), kearifan dalam
memutuskan persoalan (husn al-qada’), cinta (tawadud) dan beribadah (al-
‘ibadah). Ibn Miskawayh membangun teori etikanya merujuk kepada
pernyataan-pernyataan moral al-Qur’an dan al-Sunnah dengan ketelitian
abstraksi dan analisis dengan menggunakan metode-metode dan kategori-
kategori filsafat. Oleh karenanya, menurut Madjid Fakhry, konsep etika
Ibnu Maskawayh adalah etika moralitas skriptual.26
26 Nur Hamim, Ulumuha: Jurnal Studi Keislaman, h. 32.
33
Ekstrim Kekurangan
(al-tafrit)
Posisi Tengah
(al-wasat)
Ekstrim Kelebihan
(al-ifrat)
Kedunguan Kebijaksanaan
(al-hikmah) Kelancangan
Pengecut Keberanian (al-shaja‘ah) Nekat
Dingin hati Penyegahan emosional
(al-iffah) Rakus
Teraniaya Keadilan (al-’adalah) Aniaya
3. Macam-macam Akhlak
Dalam Islam akhlak dibagi menjadi dua macam, yaitu akhlaqul
karimah (akhlak terpuji) ialah akhlak yang baik dan benar menurut syariat
Islam, dan akhlaqul madzmūmah (akhlak tercela) ialah akhlak yang tidak baik
dan tidak benar menurut syariat Islam.27
a. Akhlaqul Karimah (Akhlak Terpuji)
Akhlak yang mulia dilihat dari segi hubungan manusia dengan
Tuhan, dan manusia dibagi tiga bagian, yaitu:
1) Akhlak baik terhadap Allah
Titik total akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Berikut ini adalah
beberapa alasan mengapa manusia harus berakhlak baik terhadap
Allah SWT.
a) Karena Allah telah menciptakan manusia dengan segala
keistimewaan dan kesempurnaan. Sebagai yang diciptakan
sudah sepantasnya manusia berterima kasih kepada yang
menciptakannya.
27 Barmawi Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1993), h. 196.
34
b) Karena Allah telah memberikan perlengkapan panca indera
hati nurani dan naluri kepada manusia. Semua potensi
jasmani dan rohani ini amat tinggi nilainya, karena dengan
potensi tersebut manusia dapat melakukan berbagai
aktifitas dalam berbagai bidang kehidupan yang membawa
kepada kejayaannya.
c) Karena Allah menyediakan berbagai bahan dan sarana
kehidupan yang terdapat di bumi, seperti tumbuhan, air,
udara, binatang, dan lain sebagainya. Semua itu tunduk
kepada kemauan manusia, dan sikap untuk di manfaatkan.28
Akhlak baik terhadap Allah, secara garis besar meliputi:
(1) Bertaubat, sikap yang menyesali perbuatan buruk yang
pernah dilakukannya dan berusaha menjauhi serta
melakukan perbuatan baik.
(2) Bersabar, sikap yang betah/menahan diri pada kesulitan
yang dihadapinya.
(3) Bersyukur, sikap yang selalu ingin memanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, nikmat yang telah diberikan
oleh Allah kepadanya.
(4) Bertawakal, menyerahkan segala urusan kepada Allah
setelah berbuat semaksimal mungkin.
28 Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat & Tasawuf,
(Jakarta: CV Karya Mulia, 2005), h. 49-53.
35
(5) Ikhlas, sikap menjauhkan diri dari riya ketika
mengerjakan amal baik.
(6) Bersikap takut, sikap jiwa yang sedang menunggu
sesuatu yang tidak disenangi dari Allah.29
Dalam kehidupan sehari-hari manusia harus bersyukur
kepada Allah dan berakhlak baik kepada Allah. Begitupun para
remaja agar selalu berprasangka baik kepada Allah dan selalu
mengingat Allah dimanapun mereka berada agar tidak terpedaya
dengan kehidupan dunia.
2) Akhlak baik terhadap diri sendiri
Berakhlak yang baik pada diri sendiri dapat diartikan
menghargai, menghormati, menyayangi, dan menjaga diri sendiri
dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebagai
ciptaan dan amanah Allah yang di pertanggung jawabkan dengan
sebaik-baiknya. Untuk menjalankan perintah Allah dan bimbingan
Nabi Muhammad SAW maka setiap umat islam harus berakhlak
dan bersikap sebagai berikut:
a) Hindarkan minuman keras beracun/keras
b) Hindarkan perbuatan yang tidak baik
c) Memelihara kesucian jiwa
d) Pemaaf dan pemohon maaf
e) Sikap sederhana dan jujur
29 Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat & Tasawuf,
h. 70.
36
f) Hindarkan perbuatan tercela30
3) Akhlak baik terhadap sesama manusia
Manusia sebagai makhluk sosial yang kelanjutan
eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung
pada orang lain. Untuk itu, ia perlu bekerja sama dan saling tolong
menolong dengan orang lain, karena itu perlunya menciptakan
suasana yang baik satu sama yang lain, berakhlak yang baik dengan
sesama manusia diantaranya mengiringi jenazah, mengabulkan
undangan, dan mengunjungi orang sakit.31
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia sebagai makhluk
sosial yang selalu membutuhkan orang lain, untuk itu berbuat baik
terhadap sesama merupakan hal terpenting dalam kehidupan
bermasyarakat, saling berhargai dan saling menghormati akan
menciptakan keharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Sejalan dengan penjelasan di atas Ibn Miskawayh
mengatakan realisasi akhlak melalui interaksi sosial sesama
manusia, merupakan syarat agar seseorang mendapatkan kebajikan
tertinggi (al-‘adalah) atau keseimbangan akhlak, oleh hal sebab itu,
Ibn Miskawayh mengkritik cara hidup kerahiban dan pemencilan
diri.32
30 Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat & Tasawuf,
h. 55-56. 31 Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat & Tasawuf,
h. 57. 32 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 54.
37
b. Akhlaqul Madzmūmah (Akhlak Tercela)
Akhlaqul Madzmūmah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat yang
tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut, mata,
telinga dan sebagainya. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat
yang tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.33
1) Maksiat-maksiat lahir
a) Maksiat lisan
(1) Berkata yang tidak memberikan manfaat baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain
(2) Berlebih-lebihan dalam percakapan, sekalipun yang
dipercakapkan tersebut berguna
(3) Berbicara hal yang batil
(4) Berdebat dan berbantah yang hanya mencari menangnya
sendiri tanpa menghormati orang lain
(5) Berkata kotor, mencaci maki atau mengungkapkan kata
laknat baik kepada manusia, binatang, maupun benda-
benda lainnya
(6) Menghina, menertawakan atau merendahkan orang lain
(7) Berkata dusta.34
33 Asep Umar Ismail, wiwi st sajarah, dan sururin, Tasawuf, (Jakarta: Pusat Studi Wanita
(PSW) UIN jakarta, 2005), h. 30. 34 Asep Umar Ismail, wiwi st sajarah, dan sururin, Tasawuf, h. 31.
38
b) Maksiat Telinga
Diantara maksiat telinga adalah mendengarkan
pembicaraan suatu golongan yang mereka itu tidak senang kalau
pembicaraanya di dengar oleh orang lain. Juga mendengarkan
bunyi-bunyian yang dapat melalaikan untuk ibadah kepada
Allah, atau suara apapun yang diharamkan, seperti suara orang
yang mengumpat, mengadu domba, dan lain sebagainya, kecuali
mendengarnya itu karena terpaksa atau tidak sengaja, sedang ia
sendiri membenci kemungkaran-kemungkaran tersebut.
c) Maksiat mata
Maksiat mata ialah melihat hal-hal yang di haramkan
oleh Allah dan Rasul-Nya seperti seorang laki-laki melihat aurat
perempuan, dan sebaliknya seorang perempuan melihat aurat
laki-laki.
d) Maksiat tangan
Maksiat tangan ialah menggunakan tangan untuk
menggunakan hal-hal yang haram, atau sesuatu yang dilarang
oleh agama islam, seperti mencuri, merampok, merampas dan
lain sebagainya.
2) Maksiat batin
a) Marah
b) Rasa mendongkol
c) Dengki
39
d) Sombong35
Demikian penjabaran tentang Akhlaqul Madzmūmah yang
perlu kita hindari dalam kehidupan sehari-hari agar kita menjadi
muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam konsep Ibn
Miskawayh Akhlaqul Madzmūmah didapat manusia karena manusia
berada pada ekstrim kelebihan (al-ifrat).
Segala tindakan dan perbuatan manusia yang memiliki corak berbeda
antara satu dengan yang lainnya, diakibatkan karena adanya faktor dari dalam diri
(internal) seperti naluri/insting, dan faktor dari luar diri (eksternal) seperti adat/
kebiasaan, aspek wirotsah/ keturunan dan milieu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak adalah:
a. Insting/naluri, insting merupakan seperangkat tabiat yang di bawa manusia
sejak lahir, para psikolog menjelaskan bahwa insting berfungsi sebagai
motivator penggerak yang mendorong lahirnya tingkah laku.
b. Adat/kebiasaan, adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang di
lakukan secar terus menerus, dan berulang-ulang dalam bentuk yang sama
sehingga menjadi kebiasaan.
c. Keturunan, dalam hal ini secara langsung atau tidak langsung sangat
mempengaruhi pembentukan sikap dan tingkah lalu seseorang.36
Menurut Abuddin Nata, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
akhlak ada tiga, yaitu:
35 Asep Umar Ismail, wiwi st sajarah, dan sururin, Tasawuf, h. 58-59. 36 AR. Zahruddin dan Hasanuddin sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), cet. I, h. 93-100.
40
a. Aliran Natifisme
Menurut aliran ini bahwa faktor yang lain berpengaruh terhadap
pembentukan diri seseorang adalah faktor bawaan dari dalam yang
bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika
seseorang sudah memiliki pembawaan dan kecenderungan kepada yang
baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.
b. Aliran Empirisme
Aliran ini berpendapat bahwa faktor yang paling berpengaruh
terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu
lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.
Jika pembinaan dan pendidikan yang di berikan kepada anak itu baik,
maka baiklah anak itu.
c. Aliran Konvergensi
Aliran ini berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor
internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan
dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam
lingkungan sosial.37
Dari ketiga aliran ini, aliran yang ketiga yaitu aliran konvergensi yang
sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari al-Qur’an surat al-Nahl
ayat 78:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.38
37 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2000), Cet,
III,h.165. 38 Al-Qur’an dan terjemahnya (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 276.
41
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa setiap manusia yang dilahirkan
memiliki potensi untuk dididik, yaitu melalui pendengaran, penglihatan dan juga
hati. Anugerah yang sudah diberikan Allah SWT harus disyukuri dengan cara
mengisinya dengan ajaran dan pendidikan.
B. Pengertian Jiwa dan Macam-macamnya
Jiwa merupakan salah satu persoalan yang menjadi objek kajian dalam
falsafah. Secara khusus pembahasan mengenai jiwa lebih banyak ditemukan
dalam falsafah Islam. Dalam falsafah barat kebanyakan membahas manusia
sebagai esensi yang tidak terbagikan lagi. Sehingga membahas manusia tentu
secara umum. Akan tetapi dalam pandangan falsafah Islam, jiwa merupakan
substansi yang berdiri sendiri. Sehingga menjadi kajian sendiri dalam falsafah.39
Dalam kamus Al-Munawwir Versi Indonesia-Arab, kata jiwa berasal dari
kata النفس (al-Nafs) yang secara harfiah bias diterjemahkan sebagai diri atau secara
lebih sederhana bisa diterjemahkan dengan jiwa.40 Sementara dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata jiwa memiliki arti seluruh kehidupan batin
manusia (yang terjadi dari perasaaan, pikiran, angan-angan dan sebagainya).41 Al-
Qur’an memberikan apresiasi yang sangat besar bagi kajian jiwa (nafs) manusia.
Hal ini bisa dilihat ada sekitar 279 kali al-Qur’an menyebutkan kata jiwa (nafs).
Dalam al-Qur’an kata jiwa mengandung makna yang beragam (lafz al-musytaraq).
39 Skripsi atas judul “Filsafat Jiwa Ibn Miskawayh” Program Studi Aqidah Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 23. 40 A. W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir Versi Indonesia-Arab,
cet. I (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h. 366. 41 Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 586.
42
Terkadang lafaz nafs bermakna manusia (insan), “Takutlah kalian kepada hari di
mana seorang manusia (nafs) tidak bisa membela manusia (nafs) yang lainnya
sedikit pun. 42 “Sesungguhnya orang yang membunuh seorang manusia (nafs)
bukan karena membunuh manusia (nafs) yang lainnya, atau melakukan kerusakan
di muka bumi, seolah-olah dia membunuh seluruh manusia (nafs).43 Kata nafs
juga menunjukkan makna Zat Tuhan, “Aku pilih engkau untuk Zat (nafs)-Ku.44
Juga bermakna hakikat jiwa manusia yang terdiri dari tubuh dan ruh, “Dan kalau
Kami menghendaki, niscaya kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk.”45
Dan “Allah tidak membebani seseorang (jiwa) melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.”46 Selain itu jiwa ditujukan pula maknanya kepada diri manusia
yang memiliki kecenderungan, “Maka, hawa nafsu Qabil menjadikannya
menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka
jadilah ia seorang di antara orang yang merugi.”47 Dan beberapa makna lain
yang secara umum dijelaskan dalam al-Qur’an.48
Dalam kamus falsafah, jiwa berasal dari kata soul mengacu kepada pelaku,
pengendalian atau prinsip vital pada manusia. Secara definisi jiwa dalam manusia
mengacu pada substansi immaterial yang selalu tetap ada di tengah-tengah
perubahan kehidupan.49 Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar, jiwa berasal dari
42 QS. Al-Baqarah [2]: 28. 43 QS. Al-Ma’idah [5]: 32. 44 QS. Taha [20]: 41. 45 QS. al-Sajdah [11]: 13. 46 QS. al-Baqarah [2]: 286. 47 QS. al-Ma’idah[5]: 30. 48 Muhammad Izzudin Taufiq, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), h. 74. 49 Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 379.
43
bahasa arab, yakni nafs atau rūh. Arti umum dari jiwa adalah unsur immateri yang
terdapat dalam diri manusia.50
Kebersamaan antara jiwa dan badan setidaknya menjadi analisa sulit bagi
para filosof. Aristoteles mencoba memecahkan persoalan jiwa dan badan. Jiwa
dalam pandangan Aristoteles merupakan forma dari tubuh yang memiliki
potensialitas kehidupan. Secara tidak langsung pandangannya berarti badan
adalah wadah, sedangkan jiwa adalah isi. Jiwa merupakan substansi, sedangkan
substansi adalah sesuatu yang aktual. Dengan demikian jiwa merupakan
aktualitas dari badan manusia itu sendiri.51
Pandangan Aristoteles menunjukkan bahwa jiwa merupakan substansi
yang berbeda dengan material. Pandangan Aristoteles sebenarnya tidak terpisah
dari pemikiran ide-ide Plato. Hal ini dapat dibaca dalam pemikiran metafisika
Aristoteles. Aristoteles menjelaskan adanya “form” dan “materi” sebagai analisis
dari ide-ide Plato. Dari forma dan materi inilah kajian jiwa dapat dipahami secara
otonom.52 Sehingga secara otonom jiwa dapat dikaji secara khusus dalam falsafah.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa jiwa merupakan satu objek yang
dikaji secara praktis dalam falsafah. Kajian jiwa tentu berada dalam kajian
metafisika, sebab objeknya bukan objek materi, namun objeknya bersifat formal.
Keberadaan jiwa tidak hanya terdapat dalam diri manusia, akan tetapi dalam
50 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Press, 2005), h. 35. 51 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2007), h. 229. 52 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, h. 222-224.
44
praktisnya membahas jiwa berarti membahas unsur terpenting dalam diri
manusia.53
Menurut Ibn Miskawayh dalam diri manusia mempunyai 3 (tiga) macam
daya, yaitu:
1. Daya bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah) sebagai daya terendah.
2. Daya berani (al-Nafs al-Sabū'iyyah) sebagai daya pertengahan.
3. Daya berfikir (al-Nafs al-Nathiqah) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu
mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa
manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
1. al-Nafs al-Bahimiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada
kejahatan atau keburukan.
2. al-Nafs al-Sabū'iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan
dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
3. al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada
kebaikan.
Sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, Ibn Miskawayh memahami
bahwa unsur ruhani berupa daya bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah) dan daya
berani (al-Nafs al-Sabū'iyyah) berasal dari unsur materi, sedangkan daya berpikir
(al-Nafs al-Nathiqah) berasal dari ruh Tuhan. Oleh karena itu unsur yang berasal
53 Zulkarnaen, “Filsafat Jiwa Menurut Ibn Miskawayh”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 26.
45
dari materi akan hancur bersama hancurnya badan sedangkan unsur (al-Nafs al-
Nathiqah) yang berasal dari ruh Tuhan tidak akan mengalami kehancuran.54
Hubungan jiwa al-Nafs al-Bahimiyyah (bernafsu) dan jiwa al-Nafs al-
Sabū'iyyah (berani) dengan jasad pada hakikatnya saling mempengaruhi. Kuat
atau lemahnya, sehat atau sakitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat atau
lemahnya, sehat atau sakitnya kedua macam jiwa tersebut. Dengan kata lain,
kedua macam jiwa ini dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna kalau
tidak menggunakan alat bendawi atau badani yang terdapat dalam tubuh manusia.
Oleh karena itu Ibn Miskawayh melihat bahwa manusia terdiri dari unsur jasad
dan ruhani yang saling berhubungan.55
C. Hubungan Jiwa dengan Akhlak
Hubungan jiwa dengan jasad pada hakikatnya saling mempengaruhi, kuat
atau lemah, sehat atau sakitnya tubuh tergantung dari kuat dan sehatnya jiwa.
Akhlak ialah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam
jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik,
disebut akhlak yang mulia (Akhlaqul Karimah), atau perbuatan buruk, disebut
akhlak yang tercela (Akhlaqul Madzmūmah) sesuai dengan pembinaanya. 56
Sejalan dengan pemikiran Ibn Miskawayh,
“bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan.”57
54 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2000), h. 27. 55 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, h. 7-8. 56 Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak, h. 1. 57 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 56
46
Jadi pada hakikatnya khuluq atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang
telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah
berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan
tanpa memerlukan pemikiran. Khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat yang telah
meresap dan terpatri dalam jiwa, karena seandainya ada seseorang yang
mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk suatu hajat dan
secara tiba-tiba, maka bukanlah orang yang demikian ini disebut orang yang
dermawan sebagai pantulan dari kepribadiannya.58
Ibn Miskawayh tidak membedakan antara jiwa dengan akal. Keberadaan
jiwa dan akal itu satu. Akal hanyalah merupakan daya dari daya-daya jiwa dan
merupakan manisfestasi dari adanya jiwa.59 Pada prinsipnya tema jiwa mengacu
unsur immateri dalam diri manusia. Ilah Holillah dalam Jurnal Adzikra
menjelaskan hakikat manusia terdiri dari dua unsur, yakni unsur jasmani dan
unsur rohani. 60 Dalam persoalan jasmani membahas hal-hal yang berkaitan
dengan material atau fisik. Akan tetapi dalam unsur ruhani inilah tema jiwa
menjadi pembahasan yang panjang dalam falsafah. Hubungan antara jasmani dan
ruhani dalam manusia memang tidak bisa dipisahkan, akan tetapi dapat dibedakan
satu sama lain. Selain itu sebagian filosof berpendapat bahwa jiwa merupakan
substansi utama manusia. Tanpa adanya jiwa maka manusia tidak bisa berbuat
apa-apa.61
58 Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak, h. 3. 59 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 57. 60 Ilah Holilah, “Hakikat Manusia dalam Islam”, Adzikra Vol. 01, no. 02, (Juli-Desember):
2010, h.35. 61 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, h. 35.
47
Perbedaan dan kesamaan jasmani dan ruhani seperti yang djelaskan
Driyakara. Badan manusia bukan sekedar materi belaka, melainkan sesuatu yang
seutuhnya bersatu dengan jiwa. Dengan kata lain manusia hidup tidak hanya
dengan badan, namun juga berkat atau didukung dengan substansi jiwa. Akan
tetapi meskipun jiwa bergantung pada materi, jiwa bukanlah sesuatu yang
material. Dengan demikian jiwa merupakan unsur yang berdiri sendiri.62
Akhlak dan jiwa memang sesuatu yang berbeda namun keduanya saling
melengkapi, dimana jiwa merupakan bagian immateri yang berdiri sendiri dari
badan sedangkan akhlak merupakan manifestasi dari badan yang terlihat. jiwa
yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan
melahirkan perbuatan dan sikap yang tenang pula. Sebaliknya jiwa yang kotor,
banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang
jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.63
62 Driyakara, Karya Lengkap Driyakara, (Jakarta: Gramedia Jakarta, 2006), h. 14. 63 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 33.
48
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN IBN MISKAWAYH MENGENAI PENGARUH
KESEHATAN JIWA BAGI KARAKTER (AKHLAK)
Ibn Miskawayh mengartikan Karakter1 (khuluq) sebagai sesuatu keadaan
jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau
dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini ada dua jenis. Yang pertama,
alamiah dan bertolak dari watak. Misalnya pada orang yang gampang sekali
marah karena hal yang paling kecil, atau yang takut menghadapi insiden yang
paling sepele atau yang lainnya.
Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya
kejadiaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian,
melalui praktik terus-menerus, menjadi karakter.2 Tetapi kemudian ia menyetujui
pendapat bahwa tiada satupun khuluq manusia yang alamiah tetapi juga tak dapat
disebut bukan alamiah. Sebab, kita dicetak untuk menerima suatu khuluq dan
berubah-ubah dengan pendidikan dan pergaulan, cepat ataupun lambat.
Sesudah mengemukakan pandangan Stoika, Galen, Aristoteles dan
lainnya, Ibn Miskawayh menyatakan bahwa setiap khuluq bisa berubah,
sedangkan tiada sesuatu yang dapat berubah merupakan bawaan. Sebagaimana
silogisme Ibn Miskawayh dalam bukunya, yaitu:
“Setiap karakter dapat berubah. Apa pun yang bisa berubah, itu tidak
alami. Kalau begitu tidak ada karakter yang alami. Kedua premis itu betul
dan konklusi slogismenya pun sesuai dengan contoh kedua dari bentuk
yang pertama”3
1 Karakter merupakan istilah yang dipakai Ibn Miskawayh untuk menamakan akhlak
karena tingkatan manusia dalam menerima tatanan moral yang baik. Lihat Ibn Miskawaih, Menuju
Kesempurnaan Akhlak, h. 59. 2 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 56. 3 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 58.
49
Terlihat jelas bahwa konsep Ibn Miskawayh mengenai karakter atau
akhlak, baik dalam keadaan jiwa yang pertama maupun yang kedua sama-sama
dapat diubah dengan kebiasaan dan latihan. Selain itu akhlak merupakan
kehendak dan kebiasaan manusia yang menimbulkan kekuatan-kekuatan besar
untuk melakukan sesuatu. Kehendak merupakan keinginan yang ada pada diri
manusia setelah dibimbing. Sedangkan pembiasaan adalah perbuatan yang
diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Perbuatan dilakukan atas dasar
kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari luar.4
Jadi, orang yang baik akhlaknya adalah orang yang tetap
kecenderungannya kepada yang baik, dan orang yang buruk akhlaknya adalah
orang yang tetap kecenderungannya kepada yang buruk.
Kebenaran pendapat ini dibuktikan oleh fakta empirik di mana pendidikan
dan lingkungan berpengaruh pada akhlak anak, dan oleh adanya syari’at sebagai
siasat Allah atas hamba-Nya. Namun manusia bertingkat-tingkat dalam menerima
pengaruh didikan itu. Ibn Miskawayh tidak akan menyusun filsafat akhlaknya,
jika ia sendiri berpandangan bahwa akhlak manusia bersifat bawaan yang tidak
dapat diubah. Dari sini Ibn Miskawayh membicarakan pendidikan akhlak.
Pendidikan akhlak pertama-tama harus dilakukan dengan proses
pembiasaan menjalankan tuntunan syari’at di bawah bimbingan orang tua, baru
kemudian dikenalkan kepada teori-teori akhlak untuk memperkuat dan mencapai
tingkat keutamaan yang lebih tinggi. Ini dilakukan dengan metode alami, yakni
4 Robiatul Adawiyah, “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih”, (Skripsi S1 UIN
Syarif Hdayatullah Jakarta, 2017), h. 13.
50
bertahap sejak pembinaan potensi kebendaan dan kebinatangan (syahwat
kemudian ghadlab) secara total sesuai keempat prinsip fadlilah, terus potensi
akal sebagai potensi khas manusia sampai ke puncaknya sebagai insan kamil.5
Potensi yang pertama kali muncul dari potensi akal pada manusia
mumayiz dan kemudian akil-baligh adalah haya’ (malu) atas terbitnya perbuatan
buruk dan dengan mendasari sistematika pendidikan anak sejak penanaman cinta
kebaikan dan keterhormatan (karamah) serta kebencian akan keburukan, dengan
pujian dan celaan, pembiasaan dan hafalan cerita dan syair-syair baik, sampai
kepada pendidikan dan pembiasaan untuk mempertahankan jiwa anak tetap lurus.
Seperti akhlak makan-minum, tidur, berpakaian, olah raga, cara berjalan, duduk
dan sebagainya.
Membiasakan tidak berbohong dan tidak bersumpah, sedikit bicara dan
akhlak percakapan, menaati orang tua dan guru dan mengendalikan diri. Bila ini
tercapai, diteruskan dengan pembiasaan riyadlah. Bila anak tumbuh menyalahi
perjalanan dan didikan ini, tak dapat diharapkan akan selamat, dan usaha-usaha
perbaikan dan pelurusannya tidak berguna lagi, sebab ia sudah menjadi binatang
buas yang tak dapat dididik, kecuali dengan cara perlahan dan kembali ke jalan
yang benar dengan taubat, bergaul dengan orang baik-baik dan ahli hikmah serta
berfilsafat. Walaupun hal terakhir ini lebih sulit, seperti dialami Ibn Miskawayh
sendiri, namun ia lebih baik ketimbang terus bergelimang dalam kebatilan.6
Ibn Miskawayh tidak membedakan antara jiwa dengan akal. Keberadaan
jiwa dan akal itu satu. Akal hanyalah merupakan daya dari daya-daya jiwa dan
5 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 37-42. 6 Ibn Miskawaih, (Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq), h. 66-68 & Ibn Miskawaih,
(Menuju Kesempurnaan Akhlak), terj. Helmi Hidayat, h. 74-76.
51
merupakan manisfestasi dari adanya jiwa.7 Jiwa mengetahui sesuatu dari esensi
dan substansinya sendiri yaitu akal. Sehingga bisa dikatakan bahwa akal yang
berfikir serta obyek yang dipikirkan itu setali tiga uang, dan tidak ada sesuatu
yang lain di dalamnya.8 Jiwa mempunyai tiga kekuatan dalam diri manusia yaitu
kekuatan berfikir, kekuatan marah, dan kekuatan yang menimbulkan syahwat.
Jiwa memiliki kecenderungan pada sesuatu yang bukan jasad. substansi
jiwa ini lebih tinggi dan lebih mulia dibanding dengan substansi benda-benda
jasad. Akhlak merupakan sikap mental yang mendorong untuk berbuat tanpa pikir
dan pertimbangan, ia terdiri dari baik dan buruk.
Kebaikan ada dalam obyek, namun kebaikan yang dalam obyek dapat
dipandang oleh manusia dengan kaca mata yang berbeda-beda, karena berlainan
alat dan cara memandang kebaikan tersebut. Kebaikan terbagi menjadi tiga
macam, mulia, terpuji, dan bermanfaat. Makna kebaikan merupakan titik tengah
karena letaknya di antara dua kehinaan dan pada posisi yang paling jauh dari dua
kehinaan itu. Maka jika kebaikan itu bergeser sedikit saja dari posisinya ke posisi
yang lebih rendah, maka kebaikan itu mendekati salah satu kehinaan, dan
berkurang nilainya sebab dekatnya ia dari kehinaan. 9 Adapun jiwa itu sendiri
mempunyai tiga kekuatan, kekuatan berfikir, kekuatan marah dan kekuatan
syahwat.
Akhlak buruk masih ada hubungannya dengan daya dan kekuatan jiwa,
arif, sederhana, berani dan adil dengan lawannya, bodoh, rakus, pengecut dan
dhalim. Kearifan merupakan titik tengah antara bodoh dan dungu, sifat bodoh
7 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 57. 8 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 58. 9 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 39.
52
timbul karena penggunaan daya berfikir pada sesuatu yang tidak baik. Sedangkan
dungu adalah sengaja menyingkirkan dan mengabaikan daya berfikir. Pandai titik
tengah antara jelek mental dan kebodohan, ini timbul karena kondisi mental yang
berlebihan, sedang satunya bersifat kekurangan. Kondisi mental yang demikian
akan muncul ketidakjujuran.
Kesederhanaan bertitik tengah pada keinginan hawa nafsu dan
mengabaikan hawa nafsu. Keinginan hawa nafsu menenggelamkan diri dalam
kenikmatan tubuh sedangkan mengabaikan hawa nafsu tidak mencari kenikmatan
absah yang memang dibutuhkan oleh tubuh agar tubuh berfungsi normal dan
dibolehkan oleh syariat dan akal. Salah satu sifat keutamaan sederhana adalah
rendah hati di mana titik tengah antara kehinaan yaitu tak tahu malu dan terlalu
malu.
Berani merupakan titik tengah antara dua kehinaan, pengecut dan
sembrono. Pengecut takut terhadap apa yang semestinya tidak ditakuti. Sedang
sembrono berani dalam hal yang tidak semestinya dia berani. Dermawan titik
tengah antara boros dan royal atau kikir. Boros memberikan apa yang tidak boleh
diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya sedangkan kikir tidak
memberikan apa yang seharusnya diberikan pada orang berhak menerimanya.
Adil titik tengah antara berbuat dholim dan didholimi. Orang berbuat dhalim bila
dia peroleh banyak dari sumber dan cara yang salah. Orang didhalimi kalau dia
tuntut dan memberikan respon pada orang yang salah dengan cara yang salah.
Atas penjelasan diatas itulah dapat dipahami bahwa akhlak dapat selalu
berubah-rubah dan bertingkat-tingkat dari yang terendah hingga yang tertinggi
53
seperti tingkat yang paling rendah nafsu kebinatangan, tingkat tengah-tengah
nafsu binatang buas, dan tingkat yang tertinggi nafsu yang cerdas. Dengan tiga
tingkatan manusia berdasarkan faktor pembawaan dan tiga kekuatan jiwa manusia
yang bertingkat-tingkat, maka kemungkinan manusia mengalami perubahan-
perubahan khuluq, maka dengan term inilah diperlukan adanya aturan syariat,
nasehat, dan berbagai macam pendidikan. Juga dengan itu semua dimungkinkan
manusia dengan akalnya dapat memilih dan membedakan antara yang baik dan
yang buruk.
Atas jabaran di atas itu, penulisan selanjutnya akan membahas lebih
mendalam mengenai akhlak baik dan buruk beserta pengaruhnya serta pengaruh
akhlak bagi kesehatan jiwa.
A. Akhlak dan Pengaruhnya
Ibn Miskawayh memandang manusia terdiri dari dua substansi; pertama,
substansi yang berupa tubuh sebagai wawasan materi, dan kedua, jiwa (al-nafs),
yaitu substansi yang tidak berdimensi sebagai wawasan imateri dan inilah yang
menjadi esensi manusia.10 Al-Ghazali dalam buku falsafahnya ma’arij al-quds
berpandangan sama dengan Ibn Miskawayh,11 akan tetapi dalam buku tasawuf
mi’raj al-salikin menggambarkan manusia terdiri dari al-nafs, al-rūh dan al-
jism.12 Dalam bahasan akhlak al-Ghazali mengistilahkan wawasan imateri dengan
tiga istilah al-rūh, al-nafs dan al-jism. Namun demikian, esensi manusia tetap.
10 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 35. 11 Al-Gazalī, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs, (Kairo: Maktabah al-Jundidat,
1968), 19-24. 12 Al-Gazalī, Mi’yar al-‘Ilm, ed. Sulayman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1960), 291.
54
Setelah itu baik Ibn Miskawayh maupun Al-Ghazali membagi jiwa (al-
nafs) menjadi tiga bagian, Ibn Miskawayh membahasakan tiga bagian tersebut
dengan fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah), fakultas amarah (al-quwwah al-
gadabiyyah), dan fakultas nafsu syahwat (al-quwwah al-shahwiyah).13 al-quwwah
al-natiqah (fakultas rasional) menduduki posisi yang tertinggi. Karena fakultas
tersebut menjadi ciri khas seorang manusia.
Pada dasarnya banyak sekali tingkatan manusia yang suka pada tatanan
moral yang baik atau akhlak yang baik dan kesukaan itu timbul karena jiwa yang
dimilikinya itu baik dan bajik serta rindu pada ilmu yang sejati. Selain itu agar
jiwa yang dimiliki tetap baik, maka seseorang harus bergaul dan berakhlak baik
pula. Sebagaimana yang dikatakan Ibn Miskawayh:
“Kalau jiwa itu baik dan bajik, ia suka mencari kebajikan dan ingin
memilikinya, rindu pada ilmu-ilmu yang hakiki serta pengetahuan yang
sahih, maka pemiliknya harus bergaul dengan orang-orang yang seperti
dirinya, dan jangan sekali-kali bersahabat atau bergaul dengan orang selain
mereka.”14
Dalam kutipan itu Ibn Miskawayh menganjurkan agar manusia bergaul
dengan manusia yang sama kecenderungannya, tentunya kecenderungan akan hal
baik dan bajik, agar jiwa yang sebagai substansi kedua manusia tidak kotor oleh
akhlak yang buruk. Hal ini sesuai dengan apa yang dkatakan Ibn Miskawayh:
“Jangan bergaul dengan orang keji yang suka pada kenikmatan-
kenikmatan buruk, suka berbuat dosa, bangga dan tenggelam dalam dosa.
Jangan hiraukan kata-kata mereka. Jangan baca syair-syair mereka. Jangan
merasa senang duduk bersama mereka. Sebab, dengan bersama mereka
atau mendengarkan kata-kata mereka, itu hanya akan mengotori jiwa
sedemikian sehingga tak dapat dibersihkan dengan apapun, kecuali dalam
jangka waktu yang panjang dan dengan perawatan yang sulit.”15
13 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 43-45. 14 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 163. 15 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 163.
55
Akhlak buruk masih ada hubungannya dengan daya dan kekuatan jiwa,
arif, sederhana, berani dan adil dengan lawannya, bodoh, rakus, pengecut dan
dhalim. Kearifan merupakan titik tengah antara bodoh dan dungu, sifat bodoh
timbul karena penggunaan daya berfikir pada sesuatu yang tidak baik. Sedangkan
dungu adalah sengaja menyingkirkan dan mengabaikan daya berfikir. Pandai titik
tengah antara jelek mental dan kebodohan, ini timbul karena kondisi mental yang
berlebihan, sedang satunya bersifat kekurangan. Kondisi mental yang demikian
akan muncul ketidakjujuran.
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki
keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan
manusia juga sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Dari faktor
pembawaan, manusia berada dalam tiga tingkatan yaitu: manusia yang baik
menurut tabiatnya, mereka ini tidak akan berubah menjadi manusia jahat. Manusia
yang jahat menurut tabiatnya, mereka ini tidak akan menjadi baik karena memang
pembawaannya sudah jahat. Manusia yang tidak termasuk golongan pertama dan
yang kedua golongan ini dapat menjadi baik dan menjadi jahat karena faktor
pendidikan yang diterimanya dan faktor lingkungan. Sedangkan untuk
membentuk akhlak mulia dilakukan dengan setapak demi setapak dengan cara
alami mengikuti proses alami disesuaikan dengan kekuatan semenjak lahir,
kemudian memperbaharuinya.
56
B. Kesehatan Jiwa
Kesehatan jiwa ialah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaiaan diri antara manusia
dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan serta
bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di
akhirat. Dengan rumusan lain kesehatan jiwa ialah suatu ilmu yang berpautan
dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, yang mencakup semua bidang
hubungan manusia, baik hubungan dengan diri sendiri, maupun hubungan dengan
orang lain, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta hubungan dengan
Tuhan.16
Dengan masuknya aspek agama, seperti keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan dalam kesehatan mental, pengertiannya menjadi terasa luas, karena sudah
mencakup aspek kehidupan manusia. Aspek agama dalam perumusan kesehatan
mental sudah seharusnya dimasukkan, karena agama memiliki peranan yang besar
dalam kehidupan manusia. Agama merupakan salah satu kebutuhan psikis
manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap orang yang merindukan ketentraman dan
kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia akan keimanan dan ketakwaan kepada
Allah tidak akan terpenuhi terkecuali dengan agama.
Memahami masalah kesehatan jiwa secara luas adalah penting di zaman
ini. Walaupun kemajuan ilmu, teknologi, dan industri dapat memberkan
kemudahan dan kesenangan kepada manusia tetapi semuanya itu belum dapat
menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan jiwa. Hal ini disebabkan oleh kemajuan
16 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran,
(Jakarta: IAIN, 1984),h. 4.
57
yang membawa perubahan dalam kehidupan sosial dan budaya manusia dan sudah
barang tentu mempengaruhi kehidupan jiwa. Semakin maju kebudayaan dan
peradaban, Semakin komplek pula masalah dan kebutuhan hidup manusia. Agama
membimbing manusia untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.17
Kesehatan jiwa yang terganggu berpengaruh buruk terhadap kesejahteraan
dan kebahagiaan. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh gangguan atau penyakit
mental tersebut antara lain dapat dilihat dari perasaan, fikiran, tingkah laku, dan
kesehatan badan. Dari segi perasaan, gejalanya antara lain menunjukan rasa
gelisah, iri, dengki, sedih, risau, kecewa, putus asa, bimbang, dan rasa marah. Dari
segi fikiran dan dan kecerdasan gejalanya antara lain menunjukan sifat lupa dan
tak mampu mengkosentrasikan fikiran kepada suatu pekerjaan karena kemampuan
berfikir menurun. Dari segi tingkah laku, antara lain, sering menunjukan kelakuan
yang tidak terpuji, seperti suka mengganggu lingkungan, mengambil milik orang
lain, menyakiti, dan memfitnah. Apabila keadaan buruk tersebut berlarut-larut,
dan tidak dapat menemukan penyembuhan, besar kemungkinan si penderita akan
mengalami psikomatik, yakni penyakit jasmani yang disebabkan oleh kegangguan
kejiwaan, seperti hipertensi (darah tinggi), lumpuh, gangguan pencernaan, dan
lemah syaraf.18
Masalah gangguan kejiwaan banyak pula dibicarakan dalam tazkiyat al-
nafs, yang diistilahkan Al-Ghazalī dengan penyakit jiwa (amrad al-qulub atau
17 A F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental, (Jakarta: Amzah,
2000), Cet. 1, h. 78. 18 Istghfarotur Rahmaniyah, “Konsep Jiwa dan Pendidikan Etika Islam Perspektif Ibn
Miskawaih”, (Skripsi S1 Fakultas Tarbiah, UIN Malik Ibrahim Malang, 2009), h. 48.
58
asqam al-nufus), seperti yang terdapat dalam rub’ al-muhlikat.19 Orang yang sakit
jiwanya adalah orang yang tidak memiliki sikap keseimbangan dalam berakhlak,
dalam hal ini doktrin jalan tengah Ibn Miskawayh.
Sebaiknya orang yang sehat jiwanya adalah orang yang bersikap seimbang
dalam berakhlak. Orang yang sakit jiwanya adalah buruk akhlaknya seperti,
bersifat nifak (munafik), memperturutkan hawa nafsu, berlebih-lebihan dalam
berbicara, marah, iri, dengki, cinta dunia, cinta harta, bakhil, jah (mencari
popularitas), ria, takabur, sombong, dan gurur.20
Kesehatan jiwa Ibn Miskawayh yakni menjaga kesehatannya selagi sehat,
dan memulihkannya kalau sakit. Oleh karenanya Kalau jiwa itu baik dan bajik, ia
suka mencari kebajikan dan ingin memilikinya, rindu pada ilmu-ilmu yang hakiki
serta pengetahuan yang sahih, maka pemiliknya harus bergaul dengan orang-
orang seperti dirinya, dan jangan sekali-kali bersahabat atau bergaul dengan orang
selain mereka. Jangan bergaul dengan orang keji yang suka pada kenikmatan-
kenikmatan buruk, suka berbuat dosa, bangga dan tenggelam dalam dosa. Jangan
hiraukan kata-kata mereka. Jangan baca syair-syair mereka. Jangan merasa senang
duduk bersama mereka. Sebab, dengan bersama mereka atau mendengarkan kata-
kata mereka, itu hanya akan mengotori jiwa sedemikian sehingga tak dapat
dibersihkan dengan apapun, kecuali dalam jangka waktu yang panjang dan
dengan perawatan yang sulit, Bahkan hal ini bisa menjadi sebab bagi rusaknya
19 A F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental, h. 82. 20 A F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental, h. 82.
59
seseorang yang bajik dan bijak, atau tergodanya seorang alim dan bisa membawa
kepada keburukan.21
C. Upaya Pencapaian Kesehatan Jiwa
Keseimbangan dalam berakhlak merupakan metode seseorang untuk
memiliki jiwa yang sehat. Keseimbangan atau doktin jalan tengah Ibn Miskawayh
merupakan pokok keutamaan akhlak. Seseorang yang telah mencapai posisi
pertengahan al-’adalah akan mendapatkan kebajikan yang paling sempurna dan
paling dekat dengan sesuatu yang mempunyai kemuliaan serta tingkatan paling
tinggi. Sebagaimana yang dikatakan Ibn Miskawayh:
“karena merupakan titik tengah dari ekstrem-ekstrem, dan sikap
untuk memperbaiki kekurangan dan kelebihan, merupakan kebajikan
paling sempurna dan paling dekat dengan kesatuan. Adapun kesatuan
adalah sesuatu yang mempunyai kemuliaan dan tingkat paling tinggi.”22
Dalam hal ini Ibn Miskawaih juga menambahkan bahwa ada empat hal
pokok dalam upaya pemeliharaan kesehatan jiwa. Pertama, bergaul dengan orang
yang sejenis, yakni yang sama-sama pecinta keutamaan, ilmu yang hakiki dan
ma’rifat yang sahih, menjauhi pencinta kenikmatan yang buruk. Kedua, bila
sudah mencapai tingkat keilmuan tertentu, jangan membanggakan diri (‘ujub)
dengan ilmunya, melainkan harus belajar terus sebab ilmu tidak terbatas dan di
atas setiap yang berilmu ada Yang Maha Berilmu, dan jangan malas
mengamalkan ilmu yang ada serta mengajarkannya kepada orang lain. Ketiga,
hendaklah senantiasa sadar bahwa kesehatan jiwa itu merupakan nikmat Allah
21 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 163. 22 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaa Akhlak, h. 115.
60
yang sangat berharga yang tak layak ditukarkan dengan yang lain. Keempat,
terus-terusan mencari aib diri sendiri dengan instrospeksi yang serius, seperti
melalui teman atau musuh, malah musuh lebih efektif dalam membongkar aib ini.
Ada tiga langkah (metode) yang ditempuh manusia dalam mencapai
kesehatan yakni, yakni pengobatan (kuratif), pencegahan (preventif), dan
pembinaan (konstruktif). 23 Langkah pengobatan dalam kesehatan jiwa adalah
usaha-usaha yang di tempuh untuk menyembuhkan dan merawat orang yang
mengalami gangguan dan sakit kejiwaan sehingga dapat menjadi sehat dan wajar
kembali.
Langkah pencegahan dalam kesehatan mental adalah metode yang
digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna
meniadakan atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian,
manusia dapat menjaga dirinya dan orang lain dari kemungkinan guncangan batin
dan ketidaktentraman hati.
Langkah penbinaan, ditujukan untuk menjaga kondisi mental yang sudah
baik termasuk mengikuti cara yang ditempuh manusia untuk meningkatkan rasa
gembira, bahagia, dan kemampuan segala potensi yang ada seoptimal mungkin
seperti memperkuat ingatan, fantasi, kemauan, dan kepribadiannya.
23 A F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental, h. 85.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keseluruhan penjelasan, ada dua hal yang menjadi kesimpulan dalam
penelitian ini, sebagai jawaban atas perumusan masalah yang telah dikemukakan.
Yakni bagaimana pengaruh kesehatan jiwa bagi akhlak dalam pemikiran Ibn
Miskawayh.
Ibn Miskawayh memandang bahwa akhlak merupakan sebuah sikap
mental yang mendorong seseorang untuk bertindak sesuatu secara spontan tanpa
didahului oleh sikap berpikir dan pertimbangan terlebih dahulu. Artinya, akhlak
tersebut memiliki hubungan secara langsung dengan sikap mental atau keadaan
jiwa seseorang. Akhlak juga dapat berubah-ubah sesuai keadaan jiwa, baik akhlak
terpuji maupun akhlak tercela. Akhlak terpuji timbul dari adanya kesepadanan dan
keseimbangan ketiga keutamaan jiwa. Sedangkan Akhlak Tercela timbul dari
kelebihan salah satu jiwa. Akhlak berada pada diri dan fitrah bagi manusia, akhlak
juga merupakan cerminan dari jiwa manusia.
Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya,
akan melahirkan perbuatan dan sikap yang tenang pula. Sebaliknya jiwa yang
kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan
yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
Kesehatan jiwa ialah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaiaan diri antara manusia
dengan dirinya dan lingkungannya. Kesehatan jiwa dalam pandangan Ibn
62
Miskawayh yakni menjaga kesehatan jiwa selagi sehat, dan memulihkannya kalau
sakit. Doktrin jalan tengah merupakan metode untuk mencapai kesehatan jiwa.
Ibn Miskawaih juga menambahkan bahwa ada empat hal pokok dalam
upaya pemeliharaan kesehatan jiwa. Yakni:
1. Bergaul dengan orang yang sejenis, yakni yang sama-sama pecinta
keutamaan, ilmu yang hakiki dan ma’rifat yang sahih, menjauhi
pencinta kenikmatan yang buruk.
2. Apabila sudah mencapai tingkat keilmuan tertentu, jangan
membanggakan diri (‘ujub) dengan ilmunya, melainkan harus belajar
terus sebab ilmu tidak terbatas dan di atas setiap yang berilmu ada
Yang Maha Berilmu, dan jangan malas mengamalkan ilmu yang ada
serta mengajarkannya kepada orang lain.
3. Hendaklah senantiasa sadar bahwa kesehatan jiwa itu merupakan
nikmat Allah yang sangat berharga yang tak layak ditukarkan dengan
yang lain.
4. Terus-menerus mencari aib diri sendiri dengan instrospeksi yang serius,
seperti melalui teman atau musuh, malah musuh lebih efektif dalam
membongkar aib ini.
63
B. Saran-saran
Kontribusi Ibn Miskawayh bagi pemahaman akhlak yang religius
sekaligus rasional, layak untuk dipertimbangan sebagai suatu kajian yang perlu
diteruskan. Akhlak dan pengaruhnya bagi kesehatan jiwa diharapkan dapat
diimplementasikan dalam pikiran dan kehidupan kita.
Penulis menyadari bahwa masih banyak yang harus diekplorasi dari
pemikiran Ibn Miskawayh. Untuk itu kiranya diperlukan penelitian lebih lanjut
dengan lebih baik terhadap sumber data atau subjek penelitian agar hasil yang
diperoleh dapat lebih baik.
64
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. cet. 1. Jakarta:
Amzah. 2007.
Adawiyah, Robiatul. “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih”. Skripsi S1
Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hdayatullah Jakarta. 2017.
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bntang, 1992).
Al-Gazalī. Ihya ‘Ulum al-Dini. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
. Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs. Kairo: Maktabah al-
Jundidat. 1968.
. Mi’yar al-‘Ilm. ed. Sulayman Dunya. Kairo: Dar al-Ma’arif. 1960.
Ali, Daud. Pendidikan Agama. Jakarta: Rireka Cipta. 2001.
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam.
Al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta: al-Huda. 2005.
Ardani, Moh. Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat &
Tasawuf. Jakarta: CV Karya Mulia. 2005.
As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. cet. 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
1994.
Atjeh, Abu Bakar. Sejarah Falsafah Islam. Semarang: Ramadani. 1970.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.
Bakhtiar, Amsal. Tema-tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Press. 2005.
Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental Peranannya dalam Pendidikan dan
Pengajaran. Jakarta: IAIN. 1984.
65
Driyakara. Karya Lengkap Driyakara. Jakarta: Gramedia Jakarta. 2006.
Ensiklopedia Islam di Indonesia, Depag RI-Dirjend Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Proyek Peningkatan Prasara dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN. Jakarta: Djambatan. 1992.
Fakhry, Madjid. Sejarah Filsafat Islam.
. Etika Dalam Islam. terj. Zakiyuddin Baidhawy. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1995.
Hamim, Nur. “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu
Miskawaih dan Al-Ghazali”. Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman Vol. 18.
nomor 1. (Juni 2014). h. 26.
Holilah, Ilah. “Hakikat Manusia dalam Islam”. Adzikra Vol. 01. no. 02. (Juli-
Desember): 2010. h. 35.
Imron Arifin (ed.). Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan.
Malang: Kalimah Syahadah Press. 1996.
Ishak, Muslim. Tokoh-tokoh Falsafah Islam dari Barat (Spanyol). Surabaya: Bina
Ilmu. 1980.
Ismail, Asep Umar, Wiwi st sajarah, dan Sururin. Tasawuf. Jakarta: Pusat Studi
Wanita (PSW) UIN Jakarta. 2005.
Jaelani, A F. Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental. cet. 1.
Jakarta: Amzah. 2000.
Jalaluddin & Sa’id, Usman. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.
66
Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. cet. 1.Yogyakarta:
Paradigma. 2005.
Kartono, DR. Kartini. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam. cet.
VI. Bandung: Mandar Maju. 1989.
Lalib, Muhsin. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. Jakarta: Al-
Huda. 2005.
Ma’luf, Louis. Munjid. Beirut: al-Maktabah al-Katulikiyah, t.t.
Maftufkhin, Filsafat Islam.
Miskawaih, Ibn. Al-Fauz al-Asgar.
. Menuju Kesempurnaa Akhlak. cet. 1. Penerjemah Helmi Hidayat.
Bandung: Mizan. 1994.
. Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-‘Araq, ed. Hasan Tamim. cet. II.
Beirut : Manshūrat Dar al-Maktabah al-Hayat. 1938 H.
Muhaimin. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Fajar Interpratama
Offset. 2005.
Munawwir, A.W. dan Fairuz, Muhammad. Kamus Al-Munawwir Versi Indonesia-
Arab. cet. I. Surabaya: Pustaka Progressif. 2007.
Mursi, Sayyid Abdul Hamid. Jiwa Yang Tenang. penerjemah Sukamdani dan
Firdaus. Malang: Al-Qayyim. 2004. cet. 1.
Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 1997.
Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Olver. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam.
terj. Mizan. Bandung: Mizan. 2007.
67
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistitisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
1987.
Nasution, Hasymsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. cet. III. Jakarta: PT Raja Grafindo persada. 2000.
. Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Falsafah Pendidikan
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2000.
Poerbakawaja, Soegarda. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung. 1976.
Rahmaniyah, Istighfarotur. “Konsep Jiwa dan Pendidikan Etika Islam Perspektif
Ibn Miskawaih”. Skripsi S1 Fakultas Tarbiah. UIN Malik Ibrahim Malang.
2009.
Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: PustakaPelajar. 2007.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005.
Syarief, M.M. Para Filosof Muslim. cet. VIII. Bandung: Mizan. 1996.
. Para Filosof Muslim. terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan. 1992.
Syarif, Muhammad Ahmad. Ghazali’s Theory of Virtue. Albany: State University
of New York Press. 1975.
Taufiq, Muhammad Izzudin. Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam.
Jakarta: Gema Insani Press. 2006.
Tim Divisi Data & Informasi CIPSI. Para Pemikir Dalam Tradisi Ilmiah Islam:
Kumpulan Biografi dan Karya Filosof, Saintis dan Teolog Muslim. Jakarta:
CIPSI. 2008.
68
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 2005.
Umary, Barmawi. Materi Akhlak. Solo: Ramadhani. 1993.
Wahab, Murad dkk, al-Mu’jam al-Falasafi. Kairo: al-Saqafat al-Jadidat. 1971.
Yaqut. Irsy ad al-‘Arib ila Ma’rifah al-Adib. Vol. II. h. 88-96.
Yatim, Badri. Historitografi Islam. Ciputat: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Zahruddin, AR. dan Sinaga, Hasanuddin. Pengantar Studi Akhlak. cet. I. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2004.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers.
2012.
Zulkarnaen. “Filsafat Jiwa Menurut Ibn Miskawayh”. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016.
08 Desember 2016 dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Behaviorisme