pengembangan lembar kerja siswa (lks) melalui …digilib.unila.ac.id/58410/3/3. tesis full tanpa bab...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) MELALUI
PENDEKATAN PMRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS SISWA SMA
OLEH :
LELY FEBRIANTI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Magister Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
ABSTRAK
PENGEMBANGAN LEMBAR KEGIATAN SISWA (LKS) MELALUI
PENDEKATAN PMRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS SISWA SMA.
Oleh
Lely Febrianti
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengembangkan LKS pada materi matriks
dengan pendekatan PMRI sehingga memenuhi kriteria kevalidan, (2)
mengembangkan LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI sehingga
memenuhi kriteria keefektifan, (3) mengembangkan LKS pada materi matriks
dengan pendekatan PMRI sehingga memenuhi kriteria kepraktisan, (4)
mengembangkan LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI untuk siswa
SMA sehingga mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Penelitan ini merupakan penelitian pengembangan dengan model
pengembangan Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation
(ADDIE). Pada tahap analisis, peneliti melakukan analisis kurikulum dan analisis
karakteristik siswa. Pada tahap desain, peneliti melakukan perancangan garis
besar isi LKS, mengumpulkan buku referensi, menentukan spesifikasi LKS, serta
menyusun instrumen penilaian LKS. Pada tahap pengembangan peneliti
mengembangkan LKS sesuai dengan desain awal, menilai kualitas LKS, dan
melakukan revisi awal. Pada tahap implementasi, LKS diujicobakan dalam
pembelajaran di kelas XII IPA 3 SMA Negeri 1 Sidomulyo. Pada tahap evaluasi,
dilakukan evaluasi terhadap LKS yang telah diujicobakan.
Penelitian ini menghasilkan LKS matematika matriks dengan pendekatan
PMRI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) berdasarkan penilaian kualitas
LKS oleh dosen ahli, LKS yang dikembangkan dinyatakan valid dengan skor rata-
rata 4,13 yang termasuk dalam kategori valid, (2) berdasarkan hasil post-test,
LKS yang dikembangkan dinyatakan efektif dengan ketuntasan hasil belajar yaitu
71% dan nilai rata-rata kelas 77,61 yang termasuk dalam kategori baik, dan (3)
berdasarkan angket respon siswa, LKS yang dikembangkan dinyatakan praktis
dengan skor rata-rata 4,22 yang termasuk dalam kategori sangat baik.
Kata kunci: LKS, matriks, PMRI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT yang atas rahmat
dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Melalui Pendekatan PMRI Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA”
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini tidak terlepas dari dukungan,
bantuan, serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd, sebagai dosen pembimbing akademis dan
dosen pembimbing I yang telah sabar dan ikhlas memberikan bimbingan,
arahan, dan motivasi dalam penyusunan tesis ini.
2. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd. sebagai dosen pembimbing II dalam
penyusunan tesis ini.
3. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd. sebagai dosen pembahas dalam
penyusunan tesis ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Magister Pendidikan Matematika Universitas
Lampung yang telah menyampaikan banyak ilmu yang bermanfaat.
5. Suamiku Almarhum Mas Jahuri yang selalu support semasa hidupnya, semoga
apa yang kuperjuangkan ini Allah SWT memberikan ganjaran pahala yang
menjadi amal jariahmu.
6. Anak-anakku tercinta, Mas Fikri, Kakak Fawziya, Dede Faiza dan kedua
orang tua, yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material
demi terealisasinya tesis ini.
7. Teman-teman Jurusan Magister Pendidikan Matematika Universitas Lampung
2014 yang telah memberikan bantuan dan semangat dalam menyelesaikan
tesis ini.
8. Semua pihak yang telah membantu sehingga tesis ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis menyadari adanya keterbatasan pengetahuan, kemampuan, dan
pengalaman. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat dan Allah SWT memberikan balasan
kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.
Lampung, Mei 2019
Lely Febrianti
NPM. 1423021031
i
SANWACANA
Puji dan syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT yang atas rahmat
dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Melalui Pendekatan PMRI Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA”
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini tidak terlepas dari dukungan,
bantuan, serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd, sebagai dosen pembimbing akademis dan
dosen pembimbing I yang telah sabar dan ikhlas memberikan bimbingan,
arahan, dan motivasi dalam penyusunan tesis ini.
2. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd. sebagai dosen pembimbing II yang telah
sabar dan ikhlas memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi dalam
penyusunan tesis ini.
3. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd. sebagai dosen pembahas yang telah sabar
dan ikhlas memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi dalam penyusunan
tesis ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Magister Pendidikan Matematika Universitas
Lampung yang telah menyampaikan banyak ilmu yang bermanfaat.
ii
5. Suamiku Almarhum Mas Jahuri yang selalu support semasa hidupnya, semoga
apa yang kuperjuangkan ini Allah SWT memberikan ganjaran pahala yang
menjadi amal jariahmu.
6. Anak-anakku tercinta, Mas Fikri, Kakak Fawziya, Dede Faiza dan kedua
orang tua, yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material
demi terealisasinya tesis ini.
7. Teman-teman Jurusan Magister Pendidikan Matematika Universitas Lampung
2014 yang telah memberikan bantuan dan semangat dalam menyelesaikan
tesis ini.
8. Semua pihak yang telah membantu sehingga tesis ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis menyadari adanya keterbatasan pengetahuan, kemampuan, dan
pengalaman. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat dan Allah SWT memberikan balasan
kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.
Lampung, Mei 2019
Lely Febrianti
NPM. 1423021031
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 9
C. Batasan Masalah 10
D. Rumusan Masalah 10
E. Tujuan Penelitian 10
F. Manfaat Penelitian 11
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 14
A. Pengertian Matematika 14
B. Pembelajaran Matematika 16
C. Lembar Kerja Siswa (LKS) 18
1. Pengertian LKS 18
2. Fungsi LKS 19
3. Tujuan LKS 20
4. Manfaat LKS 20
5. Unsur-unsur LKS 21
6. Jenis-jenis LKS 21
7. Langkah-langkah Penyusunan LKS 23
8. Pengembangan LKS Dengan Pendekatan PMRI 25
D. Berpikir 27
1. Pengertian Berpikir 27
2. Jenis-Jenis Berpikir 27
3. Tingkatan Berpikir 28
E. Berpikir Kritis 29
1. Pengertian Berpikir Kritis 29
2. Ciri-Ciri Berpikir Kritis 30
3. Indikator Berpikir Kritis 31
F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) 34
1. Sejarah PMRI 34
2. Prinsip RME (PMRI) 35
3. Karakteristik PMRI 37
4. Ice berg Pembelajaran Matematika Realistik 38
iv
5. Kelemahan dan Keunggulan PMRI 41
G. Model ADDIE 43
1. Tahapan Model ADDIE 43
2. Kelebihan dan Kelemahan Model ADDIE 50
H. Materi Matriks Kelas XII SMA 51
I. Penelitian Yang Relevan 53
J. Kerangka Berpikir 55
BAB III.METODE PENELITIAN 57
A. Jenis Penelitian 57
B. Waktu Dan Tempat Penelitian 57
C. Prosedur Pengembangan 57
D. Objek dan Subjek Penelitian 65
E. Variabel Penelitian 66
F. Jenis dan Sumber Data 66
G. Instrumen Penelitian 66
H. Teknik Pengumpulan Data 69
I. Teknik Analisis Data 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis 32
Tabel 2. Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar Matriks SMA 52
Tabel 3. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif 67
Tabel 4. Kriteria Skor Instrumen Penilaian oleh Ahli 67
Tabel 5. Kriteria Ketuntasan Tes Hasil Belajar Klasikal 67
Tabel 6. Pedoman Kriteria Angket Respon Siswa 70
Tabel 7. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif 71
Tabel 8. Kriteria Angket Respon Siswa 71
Tabel 9. Penyajian Materi LKS 75
Tabel 10. Rekapitulasi Penilaian LKS 86
Tabel 11. Jadwal Pelaksanaan Uji Coba LKS 88
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram alur langkah-langkah penyusunan LKS 24
Gambar 2. Hirarki Berpikir 29
Gambar 3. Gunung es (ice berg) 38
Gambar 4. Iceberg Pembelajaran Perkalian Frans Moerlands 39
Gambar 5. Iceberg Pembelajaran Matriks 41
Gambar 6. Hubungan dan prosedur kelima elemen dalam model ADDIE 43
Gambar 7. Model ADDIE 49
Gambar 8. Peta Konsep Matriks 53
Gambar 9. Diagram Alur Kerangka Berpikir 56
Gambar 10. Proses pengembangan LKS dengan metode ADDIE 58
Gambar 11. Tampilan Sampul LKS 79
Gambar 12. Tampilan Halaman Pengenalan 81
Gambar 13. Uraian Materi Diawali dengan Masalah Realistik 83
Gambar 14. Salah Satu Tampilan Soal Pada Lembar Kerja 84
Gambar 15. Salah Satu Tampilan Evaluasi Kegiatan Belajar 84
Gambar 16. Kolom Kompetensi Dasar yang Sudah di Revisi 86
Gambar 17. Perbaikan Ruang Menjawab Siswa 87
Gambar 18. Perbaikan Uraian Materi Minor 93
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Silabus Pembelajaran Matematika Matriks SMA.
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Lampiran 3. Kisi-kisi Angket Penilaian LKS Matematika Pada Materi Matriks
Dengan Pendekatan PMRI Untuk Siswa SMA Untuk Ahli Materi.
Lampiran 4. Deskripsi Butir Angket Penilaian LKS Matematika Pada Materi
Matriks Dengan Pendekatan PMRI Untuk Siswa SMA Untuk Ahli
Materi.
Lampiran 5. Angket Penilaian LKS Matematika Pada Materi Matriks Dengan
Pendekatan PMRI Untuk Siswa SMA Untuk Ahli Materi.
Lampiran 6. Kisi-kisi Angket Penilaian LKS Matematika Pada Materi Matriks
Dengan Pendekatan PMRI Untuk SMA Untuk Ahli Media.
Lampiran 7. Deskripsi Butir Angket Penilaian LKS Matematika Pada Materi
Matriks Dengan Pendekatan PMRI Untuk Siswa SMA Untuk Ahli
Media.
Lampiran 8. Angket Penilaian LKS Matematika Pada Materi Matriks Dengan
Pendekatan PMRI Untuk Siswa SMA Untuk Ahli Media.
Lampiran 9. Kisi-kisi Tes Hasil Belajar.
Lampiran 10. Tes Hasil Belajar (Post Test).
Lampiran 11. Rubrik Penilaian Tes Hasil Belajar (Post Test).
viii
Lampiran 12. Kisi-kisi Angket Respon Siswa.
Lampiran 13. Angket Respon Siswa.
Lampiran 14. Skoring Angket Penilaian Modul Untuk Ali Materi.
Lampiran 14. Skoring Angket Penilaian Modul Untuk Ali Media.
Lampiran 15. Penyekoran Tes Hasil Belajar (Post Test).
Lampiran 16. Penyekoran Angket Respon Siswa.
Lampiran 17. LKS Matematika Pada Materi Matriks Dengan Pendekatan PMRI
Untuk Siswa SMA.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa diperoleh melalui
pendidikan. Sedangkan kualitas pendidikan sangat menentukan maju mundurnya
suatu bangsa. Ini berarti masalah kualitas pendidikan merupakan masalah yang
sangat penting dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Tujuan
pendidikan itu sendiri adalah untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri
siswa. Dengan pendidikan yang baik tentunya dapat meningkatkan derajat dan
kualitas hidup siswa. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3
yang menyatakan:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan guna berkembangnya
potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi Warga Negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Tercapainya tujuan pendidikan salah satunya tergantung pada peran guru.
Guru diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan salah satunya dengan
menggunakan berbagai macam metode pembelajaran yang sesuai dengan situasi
dan kondisi dimana dia mengajar.
2
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 tahun 2007
yang mengatur tentang Standar Proses Pembelajaran, dimana peraturan tersebut
menyatakan proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologi siswa.
Inti pokok dari pembelajaran adalah siswa yang belajar, dimana siswa akan
mengalami perubahan dan peningkatan kemampuan. Kemampuan siswa dapat
dilihat dari minat siswa, keaktifan siswa, kreatifitas siswa, kemandirian siswa, dan
kemampuan siswa dalam pembelajaran.
Pembelajaran matematika bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar dapat
mempelajari matematika sebagai pola pikir dalam kehidupan sehari-hari dan
matematika sebagai ilmu, sehingga pelajaran matematika merupakan pelajaran
yang diajarkan disemua jenjang pendidikan, dimulai dari jenjang pendidikan usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Dalam dunia ilmiah, berpikir adalah hal yang biasa digunakan terutama
berpikir yang terarah seperti berpikir kritis. Berpikir kritis adalah hal yang sangat
diperlukan, baik dalam mempelajari informasi yang didapat maupun melihat
sejauh mana informasi tersebut dapat dipercaya. Kemampuan berpikir kritis tidak
hanya sangat penting dalam dunia ilmiah tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari
seperti dalam pekerjaan dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan
lainnya terutama dalam menghadapi perubahan zaman yang terus berkembang.
Kemampuan berpikir kritis perlu diajarkan kepada semua siswa mulai dari
3
sekolah dasar untuk menjadikan siswa sebagai pemikir yang handal, terarah dan
tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungannya. Matematika merupakan mata
pelajaran yang dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan
berpikir kritisnya dalam upaya mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan
zaman.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun
2006 bahwa penalaran merupakan salah satu kemampuan yang menjadi tujuan
dalam mempelajari matematika. Seseorang yang ingin melakukan pemecahan
masalah atau penalaran terhadap matematika harus memahami konsep matematika
dengan baik. Proses berpikir logis dan kritis yang diberikan matematika, akan
dapat dimanfaatkan siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Kita menyadari walaupun matematika merupakan hal yang penting bagi
kehidupan dan perkembangan peradaban manusia, serta pelajaran matematika
juga diajarkan diseluruh dunia, tetapi pada kenyataannya sampai saat ini masih
banyak manusia terutama para siswa di negeri ini yang mengalami kesulitan
dalam pembelajaran matematika. Mata pelajaran matematika yang idealnya
merupakan mata pelajaran yang logis dan bermanfaat, selama ini justru kurang
disenangi oleh siswa karena siswa terlanjur menganggap matematika sebagai mata
pelajaran yang abstrak dan sulit dipahami.
Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah lanjutan, mata pelajaran
matematika banyak memuat konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sukar
dipelajari. Juga memuat banyak rumus-rumus dan hitungan-hitungan dalam
pemecahan masalah yang rumit. Hal inilah yang menimbukan kesan atau
anggapan pada siswa bahwa pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sulit
4
dipelajari dan kurang diminati, terutama bagi sekelompok siswa yang mempunyai
kemampuan rendah.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka dalam mempelajari suatu
konsep/prinsip-prinsip matematika diperlukan pengalaman siswa atau melalui
media-media nyata (konkret) yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dimana
media alat peraga yang dapat digunakan sebagai jembatan bagi siswa untuk
berpikir abstrak. Haeruman (2008:2) menyatakan:
Pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu
berupa media, dan alat peraga yang memperjelas apa yang akan
disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti
oleh siswa.
Dalam kurikulum KTSP, seorang pengajar matematika harus mengetahui
seberapa besar tingkat kemampuan setiap siswanya yang diajar. Para siswa
diberikan porsi terbanyak untuk saling berinteraksi dengan guru dan sesama
teman dalam menemukan konsep matematika, sementara guru bertindak sebagai
motivator dan mediator. Untuk itulah maka peran guru harus maksimal dalam
membimbing siswa belajar matematika. Artinya, guru perlu mendalami berbagai
cara mengajar yang mampu membangkitkan minat, motivasi, dan aktivitas belajar
siswa.
Salah satu cara yang dapat diterapkan guru adalah memanfaatkan bahan
ajar, alat peraga dan model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa dalam
proses pembelajaran. Guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran dituntut
untuk mempunyai kemampuan mengelola dan mengembangkan bahan ajar
sebagai salah satu sumber belajar khususnya yang berupa bahan ajar bentuk cetak.
Sebagai fasilitator sudah selayaknya guru dapat memfasilitasi siswa agar
dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Salah satu caranya adalah dengan
5
media pembelajaran. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 pasal 20
mengisyaratkan bahwa guru diharapkan mengembangkan materi pembelajaran.
Peraturan pemerintah ini kemudian dipertegas dengan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41 tahun 2007 tentang Standar
Proses, yang antara lain mengatur tentang perencanaan proses pembelajaran yang
mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk mengembangkan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Salah satu elemen dalam RPP adalah
media pembelajaran. Salah satu media pembelajaran yang dapat memfasilitasi
siswa untuk mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya adalah lembar kegiatan
siswa atau LKS. LKS memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi
secara mandiri, runtut, dan sistematis sehingga mampu menguasai semua
kompetensi secara utuh dan terpadu. LKS sangat dibutuhkan siswa untuk dapat
mengerti dan memahami konsep matematika yang dirasa sulit menjadi terasa lebih
mudah. Sehingga kehadiran LKS ini merupakan salah satu solusi yang
diharapkan dapat membantu pemahaman siswa terhadap pembelajaran
matematika.
LKS yang dikembangkan tersebut diharapkan dibuat sendiri oleh guru
karena guru berhubungan langsung dengan siswa dan mengetahui tingkat
kemampuan siswanya. Guru seharusnya mengupayakan, merencanakan, dan
menyusun sendiri LKS yang dibutuhkan dalam pembelajaran matematikanya.
Dengan adanya upaya seorang guru membuat LKS sendiri maka LKS yang
diciptakan dapat menarik, efektif, sesuai dengan kebutuhan siswa.
Banyak upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan, khususnya pendidikan matematika. Satu di antara upaya tersebut
6
adalah penggunaan beragam pendekatan pembelajaran matematika, satu di antara
pendekatan pembelajaran matematika di sekolah adalah Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia (PMRI).
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan satu di
antara pendekatan pembelajaran matematika di Indonesia. Pendekatan
pembelajaran matematika ini diadopsi dari teori pembelajaran matematika yang
dikembangkan oleh Hans Freudenthal di Belanda dalam kurun waktu 1970-an.
PMRI dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2000-an oleh sebuah tim yaitu tim
PMRI yang dimotori oleh Prof. RK Sembiring dan kawan-kawan. Pertama kali
diujicobakan pada 2001 di enam Sekolah Dasar dan empat Madrasah Ibtidaiyah.
Selanjutnya secara bertahap berkembang sampai saat ini ke seluruh Indonesia atas
peran perguruan tinggi di Indonesia (Wijaya, 2012).
PMRI dapat dimaknai sebagai teori pembelajaran yang diawali pada hal-hal
nyata atau yang dekat atau pernah dialami siswa, berinteraksi dengan
berkolaborasi, berargumentasi bersama teman sekelas sehingga akhirnya
menemukan sendiri dan akhirnya menggunakan matematika dalam kehidupan
sehari-hari.
Peran guru dalam PMRI hanya sebagai fasilitator, moderator dan evaluator.
Hadi (2005) menjelaskan beberapa peran guru dalam pembelajaran matemtika
menggunakan pendekatan PMRI, guru sebagai fasilitator belajar, pembangun
pembelajaran yang interaktif dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada
siswa untuk aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif
membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil, serta guru tidak terpaku pada
7
materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum
dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
Dalam Wijaya (2012) setidaknya ada dua hal mengapa PMRI perlu
diterapkan dan dikembangkan dalam pembelajaran matematika di Indonesia.
Alasan pertama, dalam tes literasi PISA (Programme for International Student
Assessment) yaitu sebuah studi internasional tentang prestasi literasi membaca,
matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun, kemampuan matematika
siswa Indonesia memperoleh hasil yang rendah. Pada tahun 2000 Indonesia
menempati posisi 39 dari 41 negara yang tergabung dalam Organization for
Economic Cooperation and Development . Tahun 2003 menempati posisi 38 dari
40 negara, tahun 2006 menempati posisi 50 dari 57 negara, tahun 2009 pada
posisi 61 dari 65 negara, dan pada tahun 2012 Indonesia menempati urutan ke 64
dari 65 negara. Lebih mencengangkan lagi jika dilihat lebih detil, yaitu 43,5%
siswa Indonesia tidak mampu menyelesaikan soal PISA yang paling sederhana
dan hanya 33,1% siswa Indonesia yang mampu menyelesaikan soal kontekstual
yang diberikan secara eksplisit serta semua data yang dibutuhkan untuk
mengerjakan soal diberikan dengan tepat. Alasan kedua adalah berdasarkan teori
pembelajaran yang dikembangkan Freudenthal (dalam Wijaya, 2012:20)
matematika adalah aktivitas manusia, matematika bukan hanya sebagai produk
pengetahuan jadi melainkan suatu bentuk aktivitas atau proses berfikir matematis.
Proses pembelajaran matematika bagi siswa akan terjadi jika bermakna bagi
siswa. Aktivitas yang dimaksudkan adalah aktivitas siswa menemukan kembali
matematika (the students reinvent the mathematics). Dengan demikian penerapan
8
PMRI menjadi penting guna menjadikan pembelajaran matematika lebih
bermakna bagi siswa.
Dengan dua alasan tersebut di atas, PMRI menjadi alternatif pendekatan
pembelajaran yang sangat disarankan dalam proses pembelajaran matematika.
Apalagi sejak diterapkannya Kurikulum 2013 yang proses pembelajarannya
diwajibkan menggunakan pendekatan ilmiah yang dalam langkah-langkah
kegiatannya seiring-sejalan dengan PMRI, yaitu dimulai hal-hal kongkrit
kemudian secara bertahap menuju pengetahuan formal atau abstrak.
Matriks merupakan salah satu materi yang diajarkan pada siswa SMA.
Banyak sekali aplikasi matriks dalam pemecahan masalah di kehidupan sehari-
hari, misalnya untuk menyelesaikan sistem persamaan linier, transformasi
geometri, program komputer, dan lain-lain.
Materi matriks SMA mencakup pengertian matriks, operasi dan sifat
matriks, matriks persegi, determinan dan invers matriks, dan penerapan matrik
pada sistem persamaan linier. Ternyata diantara materi matriks tersebut, ada 2
materi yang menurut siswa cukup rumit. Materi yang pertama adalah perkalian
dua matriks, alasannya adalah seringnya terjadi kesalahan dalam melakukan
proses penghitungan perkalian dua buah matriks persegi maupun matriks non
persegi, siswa sering bingung menempatkan hasil perkalian suatu elemen matriks
dengan elemen yang lain apabila matriksnya sudah mempunyai ordo yang besar,
dan siswa kurang teliti dalam proses menghitung perkalian dua buah matriks.
Materi kedua yang membuat siswa mengalami kesulitan terletak pada materi
mencari kesamaan matriks serta invers matriks.
9
Berdasarkan pemikiran diatas dan untuk membantu guru dalam
menanamkan konsep matematika maka perlu dikembangkan LKS konsep matriks
untuk siswa SMA. Peneliti ingin menghadirkan LKS yang diharapkan mampu
menarik perhatian siswa dalam proses pembelajaran sehingga mereka dapat
dengan mudah dan mampu menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan
konsep matriks. Peneliti mengambil judul penelitian Pengembangan Lembar
Kegiatan Siswa (LKS) Melalui Pendekatan PMRI Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, teridentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Prestasi hasil belajar siswa pada pelajaran matematika tergolong rendah.
2. Masih terbatasnya bahan ajar terutama LKS yang memfasilitasi siswa untuk
mengonstruksi pengetahuannya, khususnya melalui pendekatan PMRI.
3. Pola pembelajaran yang mampu mengaktifkan siswa belum sepenuhnya
dilakukan guru sehingga sebagian siswa cenderung pasif selama proses
pembelajaran berlangsung.
4. Siswa masih kesulitan dalam menyelesaikan persoalan matematika yang
berkaitan dengan matriks.
5. Kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah karena pembelajaran yang
dilakukan guru belum mampu memfasilitasi siswa untuk berpikir kritis.
10
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini diambil standar kompetensi “Menggunakan konsep
matriks, vektor, dan transformasi dalam pemecahan masalah”, dengan kompetensi
dasar “Menggunakan sifat-sifat dan operasi matriks untuk menunjukkan bahwa
suatu matriks persegi merupakan invers dari matriks persegi lain” yang berada di
SMA.
Penelitian ini dibatasi pada pengembangan LKS pada materi matriks dengan
pendekatan PMRI untuk siswa SMA dengan model pengembangan Analysis,
Design, Development, Implementation, dan Evaluation (ADDIE).
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI yang
dikembangkan memenuhi kriteria kevalidan?
2. Apakah LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI yang
dikembangkan memenuhi kriteria keefektifan?
3. Apakah LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI yang
dikembangkan memenuhi kriteria kepraktisan?
4. Apakah LKS yang dikembangkan mampu meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
11
1. Mengembangkan LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI sehingga
memenuhi kriteria kevalidan.
2. Mengembangkan LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI sehingga
memenuhi kriteria keefektifan.
3. Mengembangkan LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI sehingga
memenuhi kriteria kepraktisan.
4. Mengembangkan LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI untuk
siswa SMA sehingga mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Meningkatkan kualitas pembelajaran matematika.
b. Mengembangkan profesionalisme dan kreatifitas guru untuk meningkatkan
apa yang telah dilakukan oleh guru selama ini.
c. Menghasilkan proses penelitian yang mempunyai banyak manfaat bagi
subjek maupun peneliti.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
Dengan menggunakan LKS sebagai sumber belajar matematika
diharapkan siswa dapat:
1) Mengembangkan kemampuan berpikir kritis secara mandiri.
2) Meningkatkan kepercayaan diri sehingga mampu memahami konsep
matematika melalui pendekatan PMRI dengan baik.
12
3) Meningkatkan motivasi belajar sehingga mampu meningkatkan prestasi
belajar.
4) Menghubungkan pengetahuan yang telah dipunyai dengan pengetahuan
baru yang didapat dari LKS, sehingga siswalah yang menemukan
pengetahuannya sendiri atau dapat dikatakan sebagai pembelajaran
berpusat kepada siswa (Student Centered Learning).
5) Memberikan pengalaman baru sehingga kegiatan belajar mengajar
matematika menjadi lebih menyenangkan.
b. Bagi Guru
Dengan menggunakan LKS sebagai sumber belajar matematika
diharapkan:
1) Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam
melaksanakan pembelajaran matematika dan mengembangkan
pembelajaran matematika.
2) Dapat meningkatkan kreatifitas guru dalam memilih media
pembelajaran yang lebih tepat sehingga proses belajar mengajar
matematika dirasakan lebih menarik dan menyenangkan.
c. Bagi Sekolah
Dengan menggunakan LKS sebagai sumber belajar matematika
diharapkan:
1) Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perbaikan proses
pembelajaran di sekolah.
2) Dapat dijadikan motivasi dalam penyediaan alat peraga yang lebih
bervariasi untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah tersebut.
13
d. Bagi Peneliti
1) Mendapatkan pengalaman yang berharga dalam suatu penelitian.
2) Meningkatkan kreativitas dalam membuat buku panduan belajar yang
disesuaikan dengan materi yang berlaku dan dapat menarik minat siswa
dalam mempelajarinya
3) Dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang strategi pembelajaran
matematika yang lebih efektif dan menyenangkan.
II. KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Matematika
Pengertian matematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan,hubungan antara
bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah
bilangan. Sedangkan hakikat matematika menurut Soedjadi (2000), yaitu
memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang
deduktif.
Paling (1991:1) bahwa matematika banyak digunakan untuk menemukan
jawaban terhadap pertanyaan dan masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-
hari dalam perdagangan dan profesi. Hal ini memberikan gambaran bahwa
matematika diperlukan orang untuk menyelesaikan berbagai permasalahan baik
yang terkait dengan bidang ilmu lain maupun yang terkait dengan permasalahan
yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Terlepas dari berbagai pendapat mengenai definisi matematika, dapat ditarik
ciri-ciri atau karakteristik yang sama. Menurut Soedjadi, (2000:13-19) beberapa
karakteristik matematika tersebut adalah:
15
a. Memiliki objek kajian abstrak.
Dalam matematika objek dasar yang dipelajari adalah abstrak. Objek-objek itu
merupakan objek pikiran. Objek dasar tersebut meliputi fakta, konsep, operasi
atau relasi, dan prinsip.
b. Bertumpu pada kesepakatan.
Dalam matematika kesepakatan merupakan tumpuan yang amat penting.
Kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma dan konsep primitif.
Aksioma diperlukan sehingga menghindarkan berputar-putar dalam
pembuktian. Sedangkan konsep primitif diperlukan untuk menghindarkan
berputar-putar dalam pendefinisian.
c. Berpola pikir deduktif.
Pola pikir sederhana dapat dikatakan sebagai pemikiran yang berpangkal dari
hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat
khusus.
d. Memiliki simbol yang kosong dari arti.
Matematika menggunakan banyak simbol, baik berupa huruf maupun bukan
huruf. Rangkaian simbol dalam matematika dapat membentuk model
matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan,
bangun geometrik tertentu, dan sebagainya.
e. Memperhatikan semesta pembicaraan.
Berkaitan dengan kosongnya simbol-simbol dan tanda-tanda dalam matematika
di atas, menunjukkan bahwa dalam menggunakan matematika diperlukan
kejelasan dalam lingkup apa model tersebut dipakai. Bila lingkupnya bilangan,
16
maka simbol-simbol diartikan bilangan. Bila lingkup pembicaraannya adalah
transformasi, maka simbol-simbol diartikan sebagai suatu transformasi.
Menyimak berbagai pendefinisian di atas, maka matematika meskipun
sebagai ilmu abstrak tetapi banyak memberikan manfaat bagi yang
mempelajarinya, sebab matematika merupakan suatu tempat tumbuhnya ilmu
yang berfungsi sebagai alat untuk berpikir, berkomunikasi, berkreasi, berekreasi,
dan alat untuk memecahkan berbagai masalah dengan menggunakan unsur-unsur
logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, dan generalisasi dalam memecahkan
masalah matematika dan masalah dalam bidang ilmu lainnya.
B. Pembelajaran Matematika
Hudojo (2005:80) berpendapat bahwa pembelajaran matematika akan
efektif apabila penyampaian materi disesuaikan dengan kemampuan berpikir dan
kesiapan siswa dalam berpikir. Hal ini dikarenakan struktur kognitif siswa
mengacu pada organisasi pengetahuan atau pengalaman yang telah dikuasai siswa
yang memungkinkan siswa dapat menangkap ide-ide atau konsep-konsep baru.
Istilah belajar memiliki keterkaitan dengan pembelajaran (Sugihartono,
2007:73-74). Dalam proses pendidikan, belajar dan pembelajaran saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Perbedaan antara belajar
dan pembelajaran terletak pada penekanannya. Belajar lebih menekankan pada
bahasan tentang siswa dan proses yang menyertai dalam rangka perubahan
tingkah lakunya. Sedangkan pembelajaran lebih menekankan pada guru dalam
upayanya menfasilitasi siswa untuk dapat belajar.
17
Menurut Suherman, dkk. (2003:68-69) ada beberapa karakteristik
pembelajaran matematika di sekolah, yaitu:
a. Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap).
Materi pembelajaran diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal
konkrit ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke
konsep yang lebih sukar.
b. Pembelajaran matematika mengikuti metoda spiral.
Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep atau materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Materi yang baru selalu dikaitkan dengan materi
yang telah dipelajari. Pengulangan konsep dapat dilakukan dengan cara
memperluas dan memperdalam materi pembelajaran matematika.
c. Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif.
Matematika adalah ilmu deduktif. Matematika tersusun secara deduktif
aksiomatik yaitu sekumpulan unsur atau elemen yang terkait satu sama lainnya
dan mempunyai tujuan tertentu. Namun demikian, perlu pendekatan yang
sesuai dengan kondisi siswa. Misalnya, sesuai dengan tahap perkembangan
intelektual siswa SMA, maka dalam pembelajaran matematika belum
sepenuhnya menggunakan pendekatan deduktif namun masih dikombinasikan
dengan induktif (metode hipotetiko deduktif)
d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.
Kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi,
tidak bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu
pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang
terdahulu yang telah diterima kebenarannya.
18
Berdasarkan kajian teori tersebut, pembelajaran matematika dalam
penelitian ini adalah rangkaian proses mempelajari matematika yang bertujuan
untuk membantu melatih pola pikir siswa agar dapat memecahkan masalah
dengan kritis, logis, dan tepat.
C. Lembar Kerja Siswa (LKS)
1. Pengertian LKS
LKS merupakan singkatan dari Lembar Kerja Siswa. Lembar Kerja
Siswa (LKS) menurut Majid (2012:176) yakni berupa lembaran-lembaran
tugas yang harus dikerjakan oleh siswa. LKS biasanya berisikan petunjuk
bagi siswa untuk melakukan kegiatan. Ini bertujuan untuk menuntun siswa
melakukan kegiatan aktif selama proses pembelajaran.
Trianto (2012:111), LKS merupakan panduan bagi siswa untuk
melakukan kegiatan mendasar untuk memaksimalkan pemahaman sesuai
indikator pencapaian hasil belajar. LKS berisi sekumpulan kegiatan yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperluas pemahamannya
terhadap materi yang dipelajari sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai.
Berdasarkan uraian para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
LKS merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kertas yang
berisi materi, ringkasan, dan petunjuk-petunjuk/panduan pelaksanaan tugas
atau kegiatan- kegiatan yang terarah dan aktif yang harus dikerjakan oleh
siswa untuk memahami materi yang dipelajari dan memecahkan masalah
tersebut dengan yang mengacu pada kompetensi yang harus dicapai. LKS
19
dapat dijadikan penuntun bagi siswa dalam melakukan kegiatan
pembelajaran.
Selama ini guru-guru cenderung menggunakan LKS yang
diperjualbelikan tanpa mengetahui terlebih dahulu seberapa relevan,
menarik, efisien dan efektif keterkaitan antara LKS tersebut dengan
kemampuan belajar siswanya. Guru kurang berusaha mengupayakan,
merencanakan, dan menyusun sendiri LKS yang dibutuhkan. Dengan
adanya upaya seorang guru membuat LKS sendiri maka LKS yang
diciptakan dapat menarik, efektif, sesuai dengan kebutuhan siswanya. Oleh
karena itu, maka perlu ada pengembangan LKS yang valid, praktis, dan
efektif untuk meningkatkan hasil belajar dan mempermudah pembelajaran.
2. Fungsi LKS
Prastowo (2011:205) berpendapat bahwa Lembar Kerja siswa atau
LKS memiliki beberapa fungsi dalam kegiatan pembelajaran. Fungsi-fungsi
tersebut adalah (1) sebagai bahan ajar yang bisa meminimalkan peran
pendidik, namun lebih mengaktifkan siswa; (2) sebagai bahan ajar yang
mempermudah siswa untuk memahami materi yang disampaikan; (3)
sebagai bahan ajar yang ringkas dan kaya tugas untuk berlatih; (4)
memudahkan pelaksanaan pengajaran kepada siswa.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka secara umum fungsi LKS
adalah sebagai media yang berfungsi membantu siswa untuk meningkatkan
pemahamannya terhadap materi melalui urutan langkah yang telah
20
dirancang sebelumnya dan siswa dapat mengekspresikan kemampuannya
dalam memecahkan masalah.
3. Tujuan LKS
Dijelaskan oleh Prastowo (2011:206) bahwa terdapat empat poin
penting yang menjadi tujuan penyusunan LKS, yaitu sebagai berikut (1)
menyajikan bahan ajar yang memudahkan siswa untuk memberi interaksi
dengan materi yang diberikan; (2) menyajikan tugas-tugas yang
meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan; (3)
melatih kemandirian belajar siswa; (3) memudahkan pendidik dalam
memberikan tugas kepada siswa.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan mengenai
tujuan dari penyusunan LKS dalam kegiatan pembelajaran adalah
menyajikan urutan langkah-langkah yang berguna untuk memahami isi
materi secara urut dan mencapai tujuan pembelajaran yang dimaksud serta
meningkatkan pemahaman diri akan materi pembelajaran.
4. Manfaat LKS
Prastowo (2011:208) berpendapat tentang manfaat penggunaan LKS
bagi kegiatan pembelajaran sebagai berikut (1) membantu siswa dalam
mengembangkan konsep; (2) melatih siswa dalam menemukan dan
mengembangkan keterampilan proses; (3) melatih siswa untuk memecahkan
masalah dan berpikir kritis; (4) sebagai pedoman guru dan siswa dalam
melaksanakan proses pembelajaran; (5) membantu siswa memperoleh
21
catatan tentang materi yang dipelajari melalui kegiatan belajar, (6)
membantu siswa menambah informasi tentang konsep yang dipelajari
melalui kegiatan belajar secara sistematis.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa manfaat LKS lebih banyak
dirasakan untuk siswa. Ini karena siswa merasa terbantu dengan adanya
perangkat pembelajaran LKS. Selain itu, LKS juga dijadikan sebagai
pedoman langkah untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran.
5. Unsur-unsur LKS
Prastowo (2011: 208) berpendapat dilihat dari segi formatnya, LKS
minimal memenuhi delapan unsur, yaitu (1) judul; (2) kompetensi dasar
yang akan dicapai; (3) waktu penyelesaian; (4) peralatan/bahan yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas; (5) informasi singkat; (6) langkah
kerja; (7) tugas yang harus dilaksanakan; (8) laporan yang harus dikerjakan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-
unsur pada LKS merupakan aspek penting yang harus ada dalam menyusun
LKS. Hal ini berguna agar LKS yang disusun tidak menyalahi aturan dan
mudah dimengerti oleh siswa.
6. Jenis-jenis LKS
Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan oleh Prastowo (2011:
209-211) terdapat lima jenis bentuk LKS, yakni:
22
a) LKS yang membantu siswa menemukan suatu konsep
Jenis LKS ini memuat kegiatan apa yang harus dilakukan siswa,
meliputi kegiatan mengamati dan menganalisis. LKS jenis ini
merumuskan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh siswa yang
bertujuan untuk membantu siswa menemukan konsep yang akan mereka
bangun.
b) LKS yang membantu siswa menerapkan dan mengintegrasikan berbagai
konsep yang telah ditemukan .
Jenis LKS ini digunakan setelah siswa berhasil menemukan
konsep. LKS jenis ini bertujuan agar siswa dilatih untuk menerapkan
konsep yang telah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
c) LKS yang berfungsi sebagai penuntun belajar
LKS jenis ini bertujuan untuk membantu siswa menghafal dan
memahami materi pembelajaran yang terdapat dalam buku.
d) LKS yang berfungsi sebagai penguatan
LKS jenis ini mengandung penguatan yang bertujuan membantu
siswa menghafal dan memahami isi materi pembelajaran yang terdapat di
dalam buku atau literatur terkait.
e) LKS yang berfungsi sebagai petunjuk praktikum
LKS jenis ini mengandung langkah-langkah atau petunjuk
praktikum yang harus dilakukan sebagai kegiatan pembelajaran. Dalam
LKS jenis ini, petunjuk praktikum menjadi salah satu isi (content) dari
LKS.
23
7. Langkah-langkah Penyusunan LKS
LKS yang dibuat dengan kreatif dan inovatif akan memberikan
kemudahan bagi siswa dalam mengerjakannya sehingga menciptakan proses
pembelajaran yang menyenangkan dan siswa akan lebih tertantang untuk
membuka lembar demi lembar halamannya.
Prastowo (2011:211-215) menjelaskan langkah-langkah dalam
menyusun LKS agar menjadi LKS yang inovatif dan kreatif. Berikut ini
adalah langkah-langkah penyusunan LKS:
a) Melakukan analisis kurikulum
Sebelum membuat LKS langkah awalnya menganalisa kurikulum.
Analisa kurikulum dimaksudkan untuk menentukan materi-materi yang
akan dibuat bahan ajar LKS. Analisis ini dilakukan dengan cara melihat
materi pokok, pengalaman belajar, serta materi yang akan diajarkan.
Selanjutnya memperhatikan kompetensi yang mesti dimiliki oleh siswa.
b) Menyusun peta kebutuhan LKS
Peta LKS sangat diperlukan untuk mengetahui jumlah LKS yang
harus ditulis serta melihat urutan LKS-nya. Urutan ini dibutuhkan dalam
menentukan prioritas penulisan.
c) Menentukan judul-judul LKS
Judul LKS ditentukan atas dasar kompetensi-kompetensi dasar,
materi-materi pokok, pengalaman belajar yang terdapat dalam kurikulum.
Satu kompetesi dasar bisa dijadikan satu judul jika cakupan kompetensi
tersebut tidak terlalu besar. Bila kompetensi dasar itu terlalu besar, maka
24
harus dipikirkan kembali apakah kompetensi dasar itu perlu dipecah,
kemudian dijadikan ke dalam beberapa judul LKS.
d) Penulisan LKS
Untuk menulis LKS ada beberapa langkah yang harus dilakukan.
Langkah-langkah penyusunan LKS menurut Prastowo (2011:212) diatas
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alur langkah-langkah penyusunan LKS
(Prastowo, 2011:212)
25
8. Pengembangan LKS dengan pendekatan PMRI
Menurut Nieveen (dalam Khabihah, 2006:43) bahwa suatu material
dikatakan berkualitas, jika memenuhi aspek-aspek antara lain (1) validitas
(validity), (2) kepraktisan (practicaly), (3) keefektifan (effectiveness). LKS
yang dikembangkan dikatakan baik jika memenuhi kriteria valid, praktis,
dan efektif.
1) Kevalidan
Menurut Kamus Bahasa Indonesia untuk pelajar (2011:599) valid
adalah menurut cara yang semestinya, sesuai dengan semestinya, berlaku,
sahih. Validitas adalah sifat benar menurut bahan bukti yang ada, logika
berpikir, atau kekuatan hokum. Sedangkan validasi adalah proses untuk
menilai apakah produk baru secara rasional lebih baik dan efektif dengan
cara meminta penilaian ahli yang berpengalaman (Putra, 2011:126). .
Berdasarkan berbagai uraian istilah di atas tentang pengertian valid,
validasi, dan validitas maka penulis menyimpulkan bahwa perangkat
pembelajaran valid adalah perangkat pembelajaran yang dihasilkan
sesuai dengan semestinya, komponen-komponen yang dirancang
haruslah sesuai dengan struktur isi pengetahuan yang ingin dicapai (valid
sesuai isi), komponen harus berhubungan satu sama lain secara konsisten
(valid sesuai konstruk). Dalam penelitian ini, kevalidan LKS didasarkan
menurut penilaian para ahli/validator.
2) Kepraktisan
Menurut Maizora (2011:30) bahwa praktis jika pengguna tidak
kesulitan baik dari segi penyajian materi maupun penggunaan materi
26
pembelajaran. Kepraktisan berarti harus memenuhi kebutuhan pengguna.
Penggunaannya dalam pelajaran, produk/bahan dikatakan praktis jika
guru dan siswa dapat menggunakan produk/bahan untuk melaksanakan
pembelajaran tanpa terlalu banyak masalah dan tidak kesulitan baik dari
segi penyajian materi maupun penggunaan materi pembelajaran.
Dalam penelitian ini, LKS yang dikembangkan dikatakan praktis
jika para ahli/validator secara teoritis dan praktisi (guru) menyatakan
bahwa LKS yang dikembangkan dapat diterapkan dan digunakan di
lapangan dengan sedikit revisi atau tanpa revisi.
3) Keefektifan
Rodiawati (2013:30) berpendapat bahwa perangkat pembelajaran
dikatakan efektif, jika penggunaannya pada pembelajaran telah mencapai
indikator efektifitas. Indikator efektifitas dalam penelitian ini meliputi (1)
aktifitas siswa efektif; (2) aktifitas guru efektif; (3) respon siswa efektif;
(4) hasil belajar siswa efektif. Jika keempat indikator berada dalam
kategori efektif, atau sangat efektif, maka perangkat pembelajaran
dikatakan efektif.
Hal senada juga diungkapkan oleh Mulyasa (2007:254) dimana
LKS yang dikembangkan dikatakan efektif jika hasil belajar siswa
setelah mengikuti tes tuntas secara klasikal atau lebih besar sama dengan
85% dari jumlah siswa yang ada di kelas tersebut Siswa dikatakan tuntas
jika mendapatkan nilai lebih besar atau sama dengan Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) yang ditetapkan oleh sekolah.
27
Dalam penelitian ini, LKS yang dikembangkan dikatakan efektif
jika hasil belajar siswa tuntas dan respon siswa terhadap LKS yang
dikembangkan positif.
D. Berpikir
1. Pengertian Berpikir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berpikir artinya
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan
sesuatu. Proses berpikir itu pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu
pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan
kesimpulan.
Menurut Reason dalam Wina Sanjaya (2006:228) berpikir (thinking)
adalah proses mental seseorang yang lebih dari sekadar mengingat
(remembering) dan memahami (comprehending).
Sedangkan menurut Tatag (2005) berpikir merupakan suatu kegiatan
mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah
atau situasi yang harus dipecahkan.
2. Jenis-jenis Berpikir
Menurut Reason dalam Wina Sanjaya (2006) berpikir sebagai suatu
kemampuan mental seseorang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis,
antara lain berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif.
28
a) Berpikir logis
Kemampuan berpikir siswa untuk menarik kesimpulan yang sah
menurut aturan logika dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu
benar (valid) sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang
sudah diketahui.
b) Berpikir analitis
Kemampuan berpikir siswa untuk menguraikan, merinci, dan
menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami
suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis,
bukan berdasar perasaan atau tebakan.
c) Berpikir sistematis
Kemampuan berpikir siswa untuk mengerjakan atau menyelesaikan
suatu tugas sesuai dengan urutan, tahapan, langkah-langkah, atau
perencanaan yang tepat, efektif, dan efisien.
Ketiga jenis berpikir tersebut saling berkaitan. Seseorang untuk dapat
dikatakan berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis agar
memahami informasi yang digunakan. Kemudian, untuk dapat berpikir
analitis diperlukan kemampuan berpikir logis dalam mengambil kesimpulan
terhadap suatu situasi.
3. Tingkatan Berpikir
Secara hirarkis, tingkat berpikir menurut Krulik dan Rudnik (1996)
disajikan pada Gambar 2.
29
Gambar 2. Hirarki Berpikir (Krulik dan Rudnik,1996)
Krulik dan Rudnik (1996) menyebutkan bahwa seseorang dalam
berpikir dimulai ingatan (recall), berpikir dasar (basic thinking), berpikir
kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir
yang tingkatnya di atas ingatan (recall) dinamakan penalaran (reasoning).
Sementara berpikir yang tingkatnya di atas berpikir dasar dinamakan
berpikir tingkat tinggi (high order thinking).
E. Berpikir Kritis
1. Pengertian Berpikir Kritis
Swartz dan Perkins dalam Hassoubah (2004:86) menyatakan bahwa
berpikir kritis berarti (1) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis
terhadap apa yang akan diterima atau apa yang akan dilakukan dengan
alasan yang logis; (2) memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir
kritis dalam membuat keputusan; (3) menerapkan berbagai strategi yang
tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan serta menerapkan
30
standar tersebut; (4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat
dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang mendukung suatu penilaian.
Ennis (1996) memberikan sebuah definisi berpikir kritis adalah
berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Sedangkan menurut Johnson (2009:183) berpikir kritis merupakan
sebuah proses terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental
seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk,
menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah.
2. Ciri-ciri Berpikir Kritis
Sementara itu Nickerson yang dikutip Lipman (2003:59) seorang ahli
dalam berpikir kritis menyampaikan ciri-ciri orang yang berpikir kritis
dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap, dan kebiasaan dalam bertindak.
Ciri-ciri tersebut adalah:
a) Menggunakan fakta-fakta secara mahir dan jujur;
b) Mengorganisasi pikiran dan mengartikulasikannya dengan jelas, logis
atau masuk akal;
c) Mengidentifikasi kecukupan data;
d) Mencoba untuk mengantisipasi kemungkinan konsekuensi dan berbagai
kegiatan;
e) Memahami ide sesuai dengan tingkat keyakinannya;
f) Dapat belajar secara independen dan mempunyai perhatian;
31
g) Menerapkan teknik pemecahan masalah dalam domain lain dari yang
sudah dipelajarinya;
h) Dapat menyusun representasi masalah secara informal ke dalam cara
formal seperti matematika yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah;
i) Mempertanyakan suatu pandangan dan mempertanyakan implikasi dari
suatu pandangan;
j) Sensitif terhadap perbedaan antara validitas dan intensitas dari suatu
kepercayaan dengan validitas dan intensitas yang dipegangnya;
k) Mengenali kemungkinan keliru dari suatu pendapat dan kemungkinan
bias dalam pendapat.
3. Indikator Berpikir Kritis
Ennis (1996) mengidentifikasikan berpikir kritis menjadi 12 indikator
yang dikelompokkannya dalam 5 besar aktivitas yang tertera pada Tabel 1.
32
Tabel 1. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
No Kelompok Indikator Sub Indikator
1 Memberikan
penjelasan
sederhana
Memfokuskan pertanyaan Mengidentifikasi atau
merumuskan pertanyaan
Mengidentifikasi atau
merumuskan kriteria untuk
mempertimbangkan
kemungkinan jawaban
Menjaga kondisi berpikir
Menganalisis argumen Mengidentifikasi kesimpulan
Mengidentifikasi kalimat-
kalimat pertanyaan
Mengidentifikasi kalimat-
kalimat bukan pertanyaan
Mengidentifikasi dan
menangani suatu
ketidaktepatan
Melihat struktur dari suatu
argumen
Membuat ringkasan
Bertanya dan menjawab
pertanyaan klarifikasi dan
pertanyaan yang
menantang
Memberikan penjelasan
sederhana
Menyebutkan contoh
2 Membangun
keterampilan
dasar
Mempertimbangkan
apakah sumber dapat
dipercaya atau tidak
Mempertimbangkan keahlian
Mempertimbangkan
kemenarikan konflik
Mempertimbangkan
kesesuaian sumber
Mempertimbangkan reputasi
Mempertimbangkan
penggunaan prosedur yang
tepat
Mempertimbangkan risiko
untuk reputasi
Kemampuan untuk
memberikan alasan
Kebiasaan berhati-hati
Mengobservasi dan
mempertimbangkan hasil
observasi
Mengurangi dugaan
Menggunakan waktu yang
singkat antara observasi dan
laporan
Melaporkan hasil observasi
Merekam hasil observasi
Menggunakan bukti-bukti
yang benar
Menggunakan akses yang baik
Penguatan
Mempertanggungjawabkan
hasil observasi
33
No Kelompok Indikator Sub Indikator
3 Menyimpulkan Mendeduksi dan
mempertimbangkan
deduksi
Siklus logika Euler
Mengkondisikan logika
Menyatakan tafsiran
Menginduksi dan
mempertimbangkan hasil
induksi
Mengemukakan hal yang
umum
Mengemukakan kesimpulan
dan hipotesis
Mengemukakan hipotesis
Merancang eksperimen
Menarik kesimpulan sesuai
fakta
Menarik kesimpulan dari hasil
menyelidiki
Membuat dan mengkaji
nilai-nilai hasil
pertimbangan
Membuat dan menentukan
hasil pertimbangan
berdasarkan latar belakang
fakta-fakta
Membuat dan menentukan
hasil pertimbangan
berdasarkan akibat
Membuat dan menentukan
hasil pertimbangan
berdasarkan penerapan fakta
Membuat dan menentukan
hasil pertimbangan
keseimbangan dan masalah
4 Memberikan
penjelasan
lanjut
Mendefinisikan istilah dan
mempertimbangkan
definisi
Membuat bentuk definisi
Strategi membuat definisi
bertindak dengan memberikan
penjelasan lanjut
mengidentifikasi dan
menangani ketidakbenaran yg
disengaja
Membuat isi definisi
Mengidentifikasi asumsi Penjelasan bukan pernyataan
Mengonstruksi argument
5 Mengatur
strategi dan
taktik
Menentukan tindakan Menentukan tindakan
Mengungkap masalah
Memilih kriteria untuk
mempertimbangkan solusi
yang mungkin
Merumuskan solusi alternatif
Menentukan tindakan
sementara
Mengulang kembali
Mengamati penerapannya
Berinteraksi dengan orang
lain Menggunakan argumen
Menggunakan strategi logika
Menggunakan strategi retorika
Menunjukkan posisi, orasi,
atau tulisan
Sumber : Ennis (1996)
34
Dari pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berpikir kritis adalah kemampuan untuk merefleksikan masalah secara mendalam,
mempertahankan agar pikiran tetap terbuka bagi berbagai pendekatan dan
perspektif yang berbeda, berpikir secara reflektif ketimbang hanya menerima ide-
ide dari luar tanpa adanya pemahaman serta evaluasi yang signifikan, serta dalam
berpendapat harus didukung dengan konsep yang berupa fakta.
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan aspek dan indikator
kemampuan berpikir kritis matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(1) focus: merumuskan pokok-pokok permasalahan (menuliskan yang diketahui
dan ditanyakan dari soal), (2) clarity: menjelaskan istilah yang digunakan
(mengubah pernyataan dalam bentuk simbol matematis dan memberikan
penjelasannya), (3) inference: membuat simpulan dari penyelesaian suatu
masalah.
F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
1. Sejarah PMRI
PMRI singkatan dari Pendidikan Matematika Realistik Indonesia lahir
sebagai adaptasi dari RME (Realistic Mathematics Education). Pada saat
ini PMRI berada pada taraf pengembangan. Upaya pengembangan PMRI
didukung langsung oleh ahli RME dari Belanda yakni dari APS dan
Freudental Institute. Nama Freudenthal Institute diambil dari nama tokoh
utama RME yakni Prof. Dr. Hans Freudenthal yang mempunyai keahlian
dalam bidang matematika (murni), pendidikan, dan penulis. Gagasan RME
35
pada saat itu merupakan ujud dari ketidakpuasan terhadap implementasi
Matematika modern di sekolah-sekolah.
PMRI yang diharapkan akan tumbuh di Indonesia tentu tidak sama
persis dengan RME yang berkembang di Belanda. Berbagai unsur lokal,
terutama dalam hal konteks bahasa, sosial dan budaya, merupakan hal yang
sangat diperhatikan. Sebagai bentuk adaptasi dari RME, PMRI tetap
menyerap landasan filosofis dan karakteristik tentang pembelajaran
matematika seperti halnya yang ada dalam RME. Selain itu, sesuai dengan
ciri Indonesia sebagai negara demokrasi maka PMRI juga menerapkan
Democratic Teaching, (R.K. Sembiring, 2003), yang akan melatih siswa
bagaimana sebaiknya dalam berpendapat dan bertukar pikiran.
2. Prinsip RME (PMRI)
Menurut Gravemeijer (1994: 82-83), terdapat tiga prinsip utama dari RME
yaitu:
a) Guided-reinvention (penemuan kembali secara terbimbing).
Prinsip ini diartikan bahwa siswa sebaiknya diberikan kesempatan untuk
mengalami sendiri proses yang sama saat konsep matematika ditemukan
dengan bimbingan guru.
b) Didactical phenomenology (fenomenologi didaktis).
Situasi yang diberikan kepada siswa sebaiknya memuat fenomena sehari-
hari. Situasi ini diharapkan dapat mendorong siswa untuk mencapai
tingkat matematika formal dalam pembelajaran. Siswa diharapkan
menggunakan matematisasi horizontal dan vertikal.
36
c) Self-developed model (Mengembangkan model sendiri).
Self-developed model digunakan sebagai jembatan bagi siswa dari
matematika informal ke formal matematika. Pada saat siswa mengerjakan
masalah kontekstual, siswa perlu mengembangkan sendiri model-model
atau cara-cara menyelesaikan masalah.
Menurut Van Heuvel Panhuizen, ada enam prinsip RME sebagaimana
dikutip Shadiq (2010:10) sebagai berikut:
a) Prinsip aktivitas, yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Siswa
harus aktif secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika.
b) Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan
masalah-masalah yang realistik atau dapat dibayangkan oleh siswa.
c) Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati
berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi
suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui
skematisasi memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar
sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara
formal.
d) Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika
tidak boleh dipandang sebgai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin
satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-
materi secara lebih baik.
e) Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial.
Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya
dalam menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi,
37
dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya
menemukan serta menanggapinya.
f) Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk
menemukan pengetahuan matematika secara terbimbing
3. Karakteristik PMRI
Karakteristik PMRI menurut Marpaung (2005) adalah :
a) Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia).
b) Pembelajaran dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual /realistik.
c) Berikan kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara
sendiri.
d) Guru berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
e) Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar).
f) Pembelajaran tidak perlu selalu di kelas.
g) Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, dimana salah satu
ciri penting PMRI adalah interaksi dan negosiasi.
h) Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur
kognitif sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan model).
i) Guru bertindak sebagai fasilitator.
j) Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan
dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan–pertanyaan.
Berdasarkan karakteristik PMRI diatas dapat disimpulkan bahwa
dalam pembelajaran matematika realistik, diharapkan terjadi hubungan yang
baik antara guru dan siswa. Perasaan dekat siswa terhadap gurunya
38
membuat siswa berani untuk berekspresi sehingga pembelajaran dapat lebih
aktif. Siswa yang merasa dihargai akan mudah menyampaikan ide atau
pendapatnya dalam suatu pembelajaran. Siswa yang dihargai keberadaannya
akan menumbuhkan semangat yang positif sehingga dapat meningkatkan
prestasi belajarnya. Dalam membangun proses belajar yang positif
diperlukan kolaborasi dari beberapa aspek yang perlu dimiliki guru,
diantaranya adalah rasa menghargai, rasa percaya, optimis dan
intentionality.
4. Ice berg Pembelajaran Matematika Realistik
Frans Moerlands sebagaimana dikutip Sugiman (2011:8-9)
mendeskripsikan pembelajaran matematika realistik dalam ide gunung es
(ice berg) yang mengapung di tengah laut seperti Gambar 3.
Gambar 3. Gunung es (ice berg)
Sugiman (2011:8-9)
39
Bagian gunung es yang tampak pada permukaan hanya ujung
gunungnya sedangkan di bagian bawahnya masih terdapat bagian gunung
yang lebih besar. Demikian pula dengan matematika, yang tampak di
permukaan hanya abstraknya (bentuk formal matematika) berupa rumus-
rumus dan konsep-konsep yang masih abstrak bagi siswa. Adapun bagian
bawah yang lebih besar harus diungkap agar siswa dapat membangun
sendiri pengetahuan matematikanya berdasarkan pengalaman nyata atau
realistik.
Frans Moerlands dalam Sugiman (2011:8-9) mengemukakan contoh
ide penerapan gunung es (iceberg) dalam pembelajaran matematika seperti
terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Iceberg Pembelajaran Perkalian Frans Moerlands
(Sugiman, 2011)
40
Dalam model gunung es diatas terdapat empat tingkatan aktivitas,
yaitu :
1) Mathematical world orientation (orientasi lingkungan secara matematis)
Pada tingkatan ini, siswa dibiasakan menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Pengembangan pemahaman matematika dilakukan
dengan memberikan kegiatan matematis yang berkaitan dengan konteks
real.
2) Materials model’s (model alat peraga)
Pada tingkatan ini, siswa memanipulasi alat peraga untuk
memahami konsep matematika. Hal ini bertujuan untuk mengeksplorasi
kemampuan siswa dalam bekerja secara matematis.
3) Building stones (pembuatan pondasi)
Pada tingkatan ini, aktivitas siswa mulai diarahkan pada
pemahaman matematis, dimana penggunaan lambang bilangan sudah
tampak dalam menyelesaikan masalah matematika.
4) Formal notation (matematika formal)
Pada tingkatan ini, siswa diibaratkan telah mencapai puncak
gunung es dimana siswa sudah mampu menyelesaikan masalah dengan
menggunakan matematika formal. Kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika telah ditopang oleh ketiga
kemampuan sebelumnya.
Dari model gunung es yang dikemukakan oleh Frans Moerlands
dalam Sugiman (2011:8-9), pada penelitian ini dapat dikembangkan model
gunung es dalam pembelajaran matriks pada Gambar 5.
41
Gambar 5. Iceberg Pembelajaran Matriks
5. Kelemahan dan Keunggulan PMRI
Berdasarkan karakteristiknya, PMRI memiliki beberapa keunggulan
dan kelemahan. Keunggulan PMRI diantaranya adalah (1) siswa lebih
mudah menangkap materi pembelajaran, karena pembelajaran menggunakan
masalah-masalah nyata atau kontekstual; (2) materi pembelajaran akan lebih
lama melekat pada pikiran siswa, karena siswa menyusun pengetahuannya
sendiri; (3) siswa menjadi lebih kritis dan kreatif.
Sedangkan untuk kelemahan dari PMRI, diantaranya adalah waktu
pembelajaran PMRI memerlukan waktu yang lama baik dari persiapan
sampai pelaksanaan dan tidak semua materi dapat menggunakan PMRI.
42
Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek
berikut (Sutarto Hadi, 2005: 37-38).
1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah atau persoalan yang
“real” atau nyata bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat
pengetahuannya, sehingga siswa terlibat dalam pelajaran secara
bermakna.
2) Permasalahan yang diberikan diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam pelajaran.
3) Siswa mengembangkan model-model simbolik terhadap persoalan yang
diberikan.
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif. Siswa menjelaskan dan
memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami
jawaban temannya, menyatakan persetujuan maupun pertidaksetujuan
terhadap jawaban teman, dan melakukan refleksi terhadap hasil
pelajaran.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan melalui proses belajar
yang diawali dari permasalahan nyata, menggunakan hasil konstruksi pemikiran
siswa, serta sesuai dengan prinsip dan karakteristik PMRI maka siswa dapat
menguasai konsep matematika secara menyeluruh serta mendapatkan
kebermaknaan dalam pembelajaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap sikap dan
hasil belajar siswa sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa.
43
G. Model ADDIE
Model ini ditemukan oleh Pusat Pendidikan Teknologi di Universitas Negeri
Florida pada tahun 1975 dan dikembangkan oleh Reiser dan Molenda tahun
1990an yang memiliki lima elemen utama terdiri dari lima tahap sesuai dengan
namanya yang merupakan singkatan dari Analysis (Analisis), Design (Desain),
Development (Pengembangan), Implementation (Implementasi), dan Evaluation.
Model ADDIE dapat digunakan sebagai model dalam mengembangkan bahan ajar
maupun metode pembelajaran. Hubungan dan prosedur kelima elemen dalam
model ADDIE tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 (Prawiradilaga, 2009).
Gambar 6. Hubungan dan prosedur kelima elemen dalam model ADDIE.
(Prawiradilaga, 2009).
1. Tahapan Model ADDIE
Model pembelajaran ADDIE merupakan suatu proses pengembangan desain
instruksional yang memiliki lima fase yaitu analisis, desain, depelopment
(pengembangan), implementasi dan evaluasi.
Evaluate
Develop
Analyze
Implement Design
44
a. Tahap Analisis
Analisis merupakan tahap pertama yang harus dilakukan oleh
seorang pengembang pembelajaran. Fadli (2012) menyatakan ada tiga
segmen yang harus dianalisis yaitu siswa, pembelajaran, serta media
untuk menyampaikan bahan ajarnya. Langkah-langkah dalam tahapan
analisis ini setidaknya adalah menganalisis siswa, menentukan materi
ajar, menentukan standar kompetensi (goal) yang akan dicapai, dan
menentukan media yang akan digunakan.
Menurut Alik (2010) langkah analisis melalui dua tahap sebagai berikut:
1. Analisis Kinerja
Analisis kinerja dilakukan untuk mengetahui dan mengklarifikasi
apakah masalah kinerja yang dihadapi memerlukan solusi berupa
penyelenggaraan program pembelajaran atau perbaikan manajemen.
2. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan langkah yang diperlukan untuk
menentukan kemampuan-kemampuan atau kompetensi yang perlu
dipelajari oleh siswa untuk meningkatkan kinerja atau prestasi belajar.
b. Tahap Desain
Pendesainan dilakukan berdasarkan apa yang telah dirumuskan
dalam tahapan analisis. Menurut Fadli (2012) langkah-langkah dalam
tahapan desain adalah membuat silabus yang di dalamnya termasuk
memilih standar kompetensi (goal) yang telah dibuat dalam tahapan
analisis, menentukan kompetensi dasar, menentukan indikator
keberhasilan, memilih bentuk penilaian, menentukan sumber atau bahan-
45
bahan belajar, menerapkan strategi pembelajaran, membuat storyboard,
dan mendesain antar muka.
Menurut Alik (2010) pada saat melakukan langkah ini perlu dibuat
pertanyaan-pertanyaan kunci diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan dan kompetensi khusus apa yang harus dimilki oleh
siswa setelah menyelesaikan program pembelajaran?
2. Indikator apa yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan
siswa dalam mengikuti program pembelajaran?
3. Peralatan atau kondisi bagaimana yang diperlukan oleh siswa agar
dapat melakukan unjuk kompetensi – pengetahuan, keterampilan, dan
sikap setelah mengikuti program pembelajaran?
4. Bahan ajar dan kegiatan seperti apa yang dapat digunakan dalam
mendukung program pembelajaran?
c. Tahap Pengembangan
Tahapan ini merupakan tahapan produksi dimana segala sesuatu
yang telah dibuat dalam tahapan desain menjadi nyata. Langkah
pengembangan meliputi kegiatan membuat, membeli, dan memodifikasi
bahan ajar. Dengan kata lain mencakup kegiatan memilih, menentukan
metode, media serta strategi pembelajaran yang sesuai untuk digunakan
dalam menyampaikan materi atau substansi program (Alik, 2010).
Menurut Alik (2010) dalam melakukan langkah pengembangan,
ada dua tujuan penting yang perlu dicapai, antara lain sebagai berikut:
46
1. Memproduksi, membeli, atau merevisi bahan ajar yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan sebelumnya.
2. Memilih media atau kombinasi media terbaik yang akan digunakan
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Masih menurut Alik (2010) pada saat melakukan langkah
pengembangan, seorang perancang perlu membuat pertanyaan-
pertanyaan kunci sebagai berikut:
1. Bahan ajar seperti apa yang harus dibeli untuk dapat digunakan dalam
mencapai tujuan pembelajaran?
2. Bahan ajar seperti apa yang harus disiapkan untuk memenuhi
kebutuhan siswa yang unik dan spesifik?
3. Bahan ajar seperti apa yang harus dibeli dan dimodifikasi sehingga
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan siswa yang unik dan
spesifik?
4. Bagaimana kombinasi media yang diperlukan dalam
menyelenggarakan program pembelajaran?
d. Tahap Implementasi
Implementasi atau penyampaian materi pembelajaran merupakan
langkah keempat dari model desain sistem pembelajaran ADDIE.
Menurut Alik (2010) tujuan utama dari langkah ini antara lain sebagai
berikut:
1. Membimbing siswa untuk mencapai tujuan atau kompetensi.
47
2. Menjamin terjadinya pemecahan masalah/ solusi untuk mengatasi
kesenjangan hasil belajar yang dihadapi oleh siswa.
3. Memastikan bahwa pada akhir program pembelajaran, siswa perlu
memilki kompetensi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang
diperlukan.
Pada tahapan ini sistem pembelajaran sudah siap untuk digunakan
oleh siswa. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah
mempersiapkan dan memasarkannya ke target siswa (Fadli, 2012).
Menurut Alik (2010) pertanyaan-pertanyaan kunci yang harus
dicari jawabannya oleh seorang perancang program pembelajaran pada
saat melakukan langkah implementasi yaitu sebagai berikut:
1. Metode pembelajaran seperti apa yang paling efektif utnuk digunakan
dalam penyampaian bahan atau materi pembelajaran?
2. Upaya atau strategi seperti apa yang dapat dilakukan untuk menarik
dan memelihara minat siswa agar tetap mampu memusatkan perhatian
terhadap penyampaian materi atau substansi pembelajaran yang
disampaikan?
e. Tahap Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari model pembelajaran
ADDIE. Evaluasi adalah sebuah proses yang dilakukan untuk
memberikan nilai terhadap program pembelajaran. Menurut Alik (2010)
evaluasi terhadap program pembelajaran bertujuan untuk mengetahui
beberapa hal, sebagai berikut:
1. Sikap siswa terhadap kegiatan pembelajaran secara keseluruhan.
48
2. Peningkatan kompetensi dalam diri siswa, yang merupakan dampak
dari keikutsertaan dalam program pembelajaran.
3. Keuntungan yang dirasakan oleh sekolah akibat adanya peningkatan
kompetensi siswa setelah mengikuti program pembelajaran.
Menurut Fadli (2012) pertanyaan-pertanyaan kunci yang dapat
diajukan dalam tahapan evaluasi adalah:
1. Apakah tujuan belajar tercapai oleh siswa?;
2. Bagaimana perasaan siswa selama proses belajar? Suka atau tidak
suka?
3. Adakah elemen belajar yang bekerja dengan baik atau tidak baik?;
4. Apa yang harus ditingkatkan?;
5. Apakah informsi dan atau pesan yang disampaikan cukup jelas dan
mudah untuk dimengerti?;
6. Apakah pembelajaran menarik, penting, dan memotivasi?
Menurut Alik (2010) beberapa pertanyaan penting yang harus
dikemukakan perancang program pembelajaran dalam melakukan
langkah-langkah evaluasi, antara lain sebagai berikut:
1. Apakah siswa menyukai program pembelajaran yang mereka ikuti
selama ini?
2. Seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh siswa dalam mengikuti
program pembelajaran?
3. Seberapa jauh siswa dapat belajar tentang materi atau substansi
pembelajaran?
49
4. Seberapa besar siswa mampu mengaplikasikan pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap yang telah dipelajari?
5. Seberapa besar kontribusi program pembelajaran yang dilaksanakan
terhadap prestasi belajar siswa?
Menurut Pribadi (2009:127) prosedur pengembangan LKS dengan model
pengembangan ADDIE beserta komponennya dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Model ADDIE
A Analysis
Analisis kebutuhan untuk menentukan
masalah dan solusi yang tepat dan
menentukan kompetensi siswa
I
D Design
Menentukan kompetensi khusus, metode,
bahan ajar, dan strategi pembelajaran.
D Development
Memproduksi program dan bahan ajar yang
akan digunakan dalam program
pembelajaran
I Implementation
Melaksanakan program pembelajaran
dengan menerapkan desain atau spesifikasi
program pembelajaran
E Evaluation
Analisis kebutuhan untuk menentukan
masalah dan solusi yang tepat dan
menentukan kompetensi siswa
I
50
2. Kelebihan dan Kelemahan Model Desain ADDIE
Menurut Gusmayani (2012) semua suatu desain pembelajaran mempunyai
kelebihan dan kelemahan. Beberapa kelebihan dan kelemahan model desain
pembelajaran ADDIE sebagai berikut:
a. Kelebihan Model Desain ADDIE
Kelebihan model desain pembelajaran ADDIE sebagai berikut:
1. Lebih dinamis dan fleksibel sebab seorang guru dapat menyesuaikan
metode pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang di ajarkan.
2. Lebih simpel, sederhana, mudah dipelajari, strukturnya yang sistematis,
menghemat waktu dan biaya namun tepat sasaran.
3. Dalam tahap analisis yaitu mengenalisis peserta didik untuk
mempermudah menentukan metode pembelajaran dan terdapat beberapa
fase (1) Siapa dan bagaimana kerakteristik siswanya? (2) Bagaimana
perilaku siswa? (3) Jenis kendala belajar. (4) Pertimbangan strategi
pembelajaran.
4. Seorang guru dapat lebih leluasa menuangkan ide-ide kreatifnya dan
pemikirannya dalam menentukan strategi pembelajaran untuk
meningkatkan motivasi siswa.
b. Kelemahan Model Desain ADDIE
Kelemahan model desain ini adalah dalam tahap analisis memerlukan
waktu yang lama. Dalam tahap analisis ini pendesain/ pendidik diharapkan
mampu menganalisis dua komponen dari siswa terlebih dahulu dengan
membagi analisis menjadi dua yaitu analisis kinerja dan alisis kebutuhan.
Dua komponen analisis ini yang nantinya akan mempengaruhi lamanya
51
proses menganalisis siswa sebelum tahap pembelajaran dilaksanakan. Dua
komponen ini merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi
tahap mendesain pembelajaran yang selanjutnya.
H. Materi Matriks SMA
Pelajaran matematika mengenai matriks biasanya diajarkan pada siswa-
siswi yang duduk di bangku SMA Kelas XII pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Kelas XI pada Kurikulum 2013. Matriks pertama kali
diperkenalkan oleh Arthur Cayley (1821-1895) pada tahun 1859 di Inggris dalam
sebuah studi persamaan linier dan transformasi linier. Namun pada awalnya,
matriks hanya dianggap sebagai suatu permainan karena tidak bisa diaplikasikan.
Baru pada tahun 1925, matriks digunakan untuk mekanika kuantum. Selanjutnya
matriks mengalami perkembangan yang pesat dan digunakan diberbagai bidang
termasuk matematika (Kurnianingsih, dkk, 2007:114).
Matriks merupakan penemuan dalam matematika yang memudahkan
seseorang dalam pengolahan data. Dengan mempelajari matriks, memudahkan
siswa membuat analisa-analisa yang mencakup hubungan variabel-variabel dari
suatu persoalan. Selain itu, siswa dapat memperoleh kecakapan berpikir rasional
dan berpikir kritis dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari, serta memperoleh
keterampilan yang menunjang kecakapan keahlian siswa.
Di tingkat SMA, materi prasyarat untuk mempelajari materi matriks adalah
materi sistem persamaan linier, sedangkan materi matriks meliputi pokok bahasan
pengertian matriks, notasi dan ordo suatu matriks, jenis-jenis matriks, operasi
52
aljabar pada matriks, serta determinan matriks dan invers matriks. Standar
kompetensi dan kompetensi dasar materi matriks dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar Matriks SMA
STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR
3. Menggunakan konsep matriks, vektor,
dan transformasi dalam pemecahan
masalah.
3.1 Menggunakan sifat-sifat dan
operasi matriks untuk menunjukkan
bahwa suatu matriks persegi
merupakan invers dari matriks
persegi lain
3.2 Menentukan determinan dan invers
matriks 2 x 2
3.3 Menggunakan determinan dan
invers dalam penyelesaian sistem
persamaan linear dua variabel
Sumber: BNSP (2006)
Dari SK dan KD di atas dapat disusun peta konsep matriks yang disajikan
pada gambar 6 di bawah ini. Selanjutnya, materi matriks dijabarkan secara lebih
mendalam dalam LKS yang dikembangkan oleh peneliti.
Peta konsep matriks yang menjadi salah satu acuan dalam penelitian ini.
dijabarkan pada Gambar 8.
53
Gambar 8. Peta Konsep Matriks
I. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Arwanto dari
Universitas Pasundan dalam tesisnya yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran
Kontekstual (Di SMP Muhammadiyah I Kota Cirebon)” pada tahun 2013.
Hasilnya pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan kemampuan berpikir
kritis dan kreatif matematis siswa Sekolah Menengah Pertama berdasarkan
pengolahan dan analisis data kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang
mendapat pembelajaran kontekstual 29.09 lebih tinggi daripada siswa yang
mendapatkan konvensional yakni 21.35.
54
Penelitian lain yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh
Hasratuddin Siregar seorang Dosen pada Jurusan Matematika FMIPA UNIMED
Medan dalam jurnalnya yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik” pada tahun 2010.
Dalam penelitian ini analisis data dengan menggunakan teknik deskriptif
kualitatif, Mann-Whitney U, uji-T, ANOVA dan uji Post Hoc. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 1) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir
kritis siswa antara yang diberi pendekatan matematika realistik dengan
pembelajaran biasa, 2) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis
siswa berdasarkan peringkat sekolah, 3) terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan gender, 4) tidak terdapat interaksi
antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah terhadap peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa, 5) tidak terdapat interaksi antara pendekatan
pembelajaran dengan gender terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis
siswa, dan 6) siswa memiliki respon yang positif terhadap pembelajaran
matematika realistik. Dapat disimpulkan secara umum, melalui pembelajaran
matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Penelitian selanjutnya yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh
Wahyhu Prasetyo dari Universitas Negeri Surabaya dalam jurnalnya yang
berjudul “Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Dengan Pendekatan
PMR Pada Materi Lingkaran Di Kelas VIII SMPN 2 Kepohbaru Bojonegoro”
pada tahun 2012. Pada penelitian pengembangan ini dihasilkan Lembar Kegiatan
Siswa yang memenuhi kriteria valid (rata-rata kevalidan 4,02), praktis (ahli dan
praktisi menyatakan bahwa LKS yang di kembangkan dapat digunakan dengan
55
sedikit revisi), dan efektif (rata-rata persentase respon positif siswa adalah
82,99%, sedangkan rata-rata skor teshasil belajar siswa adalah 86,36%)
Kesimpulan dari hasil pengembangannya adalah LKS dengan pendekatan PMR
pada materi lingkaran yang memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif.
J. Kerangka Berpikir
LKS merupakan faktor yang menunjang proses pembelajaran siswa.
Ketersediaan LKS akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran yang
diharapkan. Selain itu, LKS yang ada seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan
dan karakteristik siswa. Dengan adanya LKS yang dikembangkan dengan
pendekatan PMRI diharapkan siswa, khususnya siswa SMA, lebih mudah dalam
memahami konsep matematika yang abstrak. Dengan demikian, siswa akan mulai
tertarik mempelajari matematika dan mendapatkan kebermaknaan dalam
pembelajarannya sehingga pada akhirnya prestasi belajar matematika siswa akan
meningkat. Pada Gambar 9 digambarkan diagram alur kerangka berpikir dalam
penelitian ini.
56
Gambar 9. Diagram Alur Kerangka Berpikir
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research &
Development) dengan tujuan untuk mengembangkan LKS dengan pendekatan
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) pada pokok bahasan matriks,
dengan model pengembangan ADDIE, yang meliputi tahap Analysis (analisis),
Design, (perancangan), Development (pengembangan), Implementation
(implementasi), dan Evaluation (evaluasi).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sidomulyo yang terletak
di Jalan Muria No. 101 Desa Seloretno Kecamatan Sidomulyo Kabupaten
Lampung Selatan Provinsi Lampung. Waktu penelitian akan dilaksanakan pada
semester genap tahun ajaran 2016/2017.
C. Prosedur Pengembangan
Dalam prosedur pengembangan pada penelitian ini digunakan desain
penelitian dalam mengembangkan LKS adalah model pengembangan ADDIE
yang disajikan pada Gambar 10.
58
Analysis
Design
Tidak
Develop
Ya
Implementation
Tidak
Ya
Evaluation
Gambar 10. Proses pengembangan LKS dengan metode ADDIE
1. Penulisan draft
2. Pengembangan instrumen penilaian
dan angket respon siswa
3. Revisi dan validasi produk
VALID
Menyiapkan
buku referensi Instrumen
penilaian
Kerangka
LKS
(Outline)
Sistematika
LKS
Revisi akhir dan pengolahan
data
ANALISIS AWAL-AKHIR
Analisis kurikulum
Analisis karakteristik siswa
Alat Evaluasi/Penilaian
Uji coba Pembelajaran
Praktis
Efektif
Uji coba lebih luas
Produk Akhir
59
Langkah-langkah pengembangan LKS model pengembangan ADDIE
pada materi matriks untuk siswa SMA dilakukan melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Tahap Analisis (Analysis).
Tujuan analisis adalah untuk mendefinisikan secara jelas rincian dari
program. Tahap analisis diperlukan untuk mendapatkan suatu bahan ajar
yang sesuai dengan kurikulum, penyajiannya sistematis, dan dapat
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Adapun pada tahap analisis
ini peneliti melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Analisis kurikulum.
Analisis kurikulum dilakukan dengan mengkaji kurikulum yang
digunakan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
yang digunakan di SMA Negeri 1 Sidomulyo. Hal ini dimaksudkan agar
bahan ajar yang dikembangkan ini, dapat digunakan oleh berbagai
sekolah dan tidak terpatok pada kurikulum sekolah tertentu. Hal-hal yang
dianalisis dalam kurikulum meliputi analisis standar kompetensi (SK),
kompetensi dasar (KD) yang diharapkan, dan indikator yang harus
dicapai oleh siswa pada pokok bahasan matriks.
b. Analisis karakteristik siswa
Kemudian analisis karakteristik siswa yang bertujuan untuk
mengidentifikasi karakteristik siswa sesuai dengan jenjang
pendidikannya. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi
langsung dan wawancara dengan guru. Hal ini dianggap penting untuk
mengetahui tingkat kemampuan siswa, motivasi serta aspek-aspek
60
lainnya. Melalui analisis karakteristik siswa, peneliti dapat menentukan
pendekatan yang tepat untuk digunakan dalam proses pembelajaran.
2. Tahap Perancangan (Design)
Tahap selanjutnya adalah tahap perencanaan (design). Tujuan tahap
perancangan adalah untuk mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan
dalam pengembangan LKS. Pada tahap ini dilakukan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
a. Menyiapkan buku referensi yang berkaitan dengan materi matriks.
Kegiatan ini meliputi mempersiapkan buku-buku referensi yang
akan digunakan dalam proses penyusunan LKS yang terdiri atas buku
matematika yang berkaitan dengan materi matriks, baik buku SMA,
SMK, maupun buku penujang yang lain.
b. Penyusunan kerangka LKS/peta kebutuhan LKS
Kegiatan ini meliputi penyusunan gambaran keseluruhan isi materi
matriks untuk siswa SMA jurusan IPA berdasarkan SK dan KD yang
tertera di silabus.
c. Penentuan sistematika/desain LKS
Pada kegiatan ini dilakukan penentuan sistematika yang memuat
urutan strategi penyajian materi dalam LKS dan jenis visualisasi atau
desain yang akan digunakan.
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam mendesain LKS
adalah sebagai berikut:
a. Perumusan kompetensi dasar yang berasal dari standar isi 2006.
b. Perancangan dari aspek media
61
c. Penyusunan topik materi
d. Menentukan bentuk evaluasi
d. Penyusunan instrumen penelitian
Pada kegiatan ini dilakukan perancangan instrumen penelitian yang
meliputi meliputi angket penilaian untuk ahli materi dan ahli media, tes
hasil belajar (post-test), dan angket respon siswa.
3. Tahap Pengembangan (Develop)
Setelah rancangan penelitian dibuat di tahap perencanaan (design),
selanjutnya rancangan tersebut dituangkan dalam langkah penyusunan
instrumen penelitian dan penyusunan LKS. Tujuan tahap pengembangan
adalah untuk mengembangkan LKS guna mencapai tujuan pembelajaran
yang telah dirumuskan sebelumnya. Secara rinci, langkah-langkah yang
dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut.
a. Mengembangkan LKS dengan pendekatan PMRI sesuai dengan hasil
perancangan.
b. Menilai kualitas LKS (validasi LKS) sebelum diujicobakan dalam
pembelajaran di sekolah.
c. Melakukan revisi awal setelah penilaian kualitas LKS.
4. Tahap Implementasi (Implementation)
Tahap implementasi merupakan langkah realisasi dari tahap
perancangan dan pengembangan. Pada tahap ini, peneliti
mengimplementasikan hal yang terkait dengan pengembangan LKS yaitu
mengujicobakan LKS pada materi matriks yang dikembangkan dalam
kegiatan pembelajaran matematika di sekolah.
62
Di akhir kegiatan pembelajaran materi matriks, siswa diberi tes hasil
belajar guna memperoleh data nilai hasil tes yang mengukur keefektifan
LKS. Sedang hasil angket respon siswa dan guru digunakan untuk
mengukur kepraktisan LKS dan bisa menjadi acuan untuk penyempurnaan
LKS.
5. Tahap Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan proses yang dilakukan untuk memberikan nilai
terhadap produk. Pada tahap ini akan dilakukan kegiatan evaluasi tentang
kualitas produk hasil pengembangan bahan ajar berdasarkan hasil angket
respon guru dan siswa serta pendapat dari ahli. Setelah diujicobakan dan
memperoleh data berupa masukan dari siswa, ahli media, ahli materi dan
guru, serta data tambahan dari lembar observasi dan catatan lapangan. LKS
yang sudah dikembangkan diperbaiki sehingga menjadi LKS yang valid,
praktis, dan efektif sehingga layak pakai dalam pembelajaran.
D. Objek dan Subjek Penelitian
Objek penelitian ini adalah LKS pendekatan PMRI pada materi matriks
untuk siswa SMA yang telah dikembangkan. Sedangkan subjek penelitian adalah
siswa SMA Negeri 1 Sidomulyo tahun pelajaran 2016/2017 dengan sampel uji
coba diambil satu kelas yaitu kelas XII IPA 3 sebanyak 31 siswa.
E. Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengembangan LKS matriks,
63
dan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis
matematika siswa.
F. Jenis dan Sumber Data
Data kuantitatif dalam penelitian ini berupa angka yang diperoleh dari
pengisian instrumen penilaian oleh ahli materi, ahli media, dan guru matematika,
nilai tes hasil belajar siswa serta angka yang diperoleh dari pengisian angket
respon siswa.
Data kualitatif dalam penilaian ini berupa hasil dari pengisian lembar
observasi oleh observer, saran dan masukan dari ahli materi, ahli media, dan guru
matematika serta catatan selama pelaksanaan uji coba di lapangan.
G. Instrumen Penelitian
Beberapa instrumen akan digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data
pada penelitian ini, antara lain:
1. Instrumen untuk mengukur kevalidan LKS
a. Lembar penilaian ahli media
Dari ahli media kita memperoleh penilaian dan masukan terkait
pengembangan LKS terutama dari segi media. Instrumen penilaiannya
yang berbentuk lembar penilaian ini merupakan angket yang mencakup
pertanyaan-pertanyaan mengenai aspek bahasa, aspek penyajian, serta
aspek kegrafikaan.
Angket berbentuk check list dengan menggunakan skala Likert
yang terdiri dari 5 kategori, yaitu skor 5 (sangat baik/sesuai), skor 4
64
(baik), skor 3 (cukup), skor 2 (kurang sesuai), dan skor 1 (sangat tidak
baik/sangat tidak sesuai).
b. Lembar penilaian ahli materi
Dari ahli materi kita memperoleh penilaian dan masukan terkait
pengembangan LKS terutama dari segi materi. Instrumen penilaiannya
yang berbentuk lembar penilaian ini merupakan angket mencakup
pertanyaan-pertanyaan mengenai aspek kompetensi, aspek isi materi,
serta aspek kesesuaian LKS dengan pendekatan PMRI.
Angket berbentuk check list dengan menggunakan skala Likert
yang terdiri dari 5 kategori, yaitu skor 5 (sangat baik/sesuai), skor 4
(baik), skor 3 (cukup), skor 2 (kurang sesuai), dan skor 1 (sangat tidak
baik/sangat tidak sesuai).
2. Instrumen untuk mengukur kepraktisan LKS
a. Lembar penilaian guru matematika
Dari guru matematika kita memperoleh tanggapan terhadap aspek-
aspek yang terdapat dalam LKS yang dikembangkan. Instrumen
penilaian oleh guru matematika berupa angket, dimana instrumen ini
didalamnya terkandung pernyataan-pernyataan ditinjau dari aspek
kompetensi, aspek isi materi, aspek kesesuaian LKS dengan pendekatan
PMRI, aspek bahasa, aspek penyajian, aspek kegrafikaan, dan aspek
keterbantuan.
Instrumen penilaian oleh guru matematika ini berupa angket skala
Likert dengan lima skala ukur dengan ketentuan sebagai berikut, ‘STS’
menunjukkan kriteria sangat tidak setuju, ‘TS’ menunjukkan kriteria
65
tidak setuju, ‘N’ menunjukkan kriteria netral, ‘S’ menunjukkan kriteria
setuju, sementara ‘SS’ menunjukkan kriteria sangat setuju. Hal ini
sebagai bahan pertimbangan revisi untuk memperbaiki LKS.
b. Angket respon siswa
Angket respon siswa berisi pernyataan-pernyataan yang mewakili
respon siswa setelah menggunakan LKS yang dikembangkan peneliti.
Adapun tujuan dari penggunaan angket respon siswa adalah untuk
mengetahui respon siswa dalam penggunaan LKS selama pembelajaran
materi matriks.
Angket ini berisi pernyataan-pernyataan yang meliputi 5 aspek
yaitu aspek isi materi, aspek pendekatan pemecahan masalah, aspek
bahasa, aspek penyajian, dan aspek kegrafikaan.
Angket respon siswa berupa angket skala Likert dengan lima skala
ukur dengan ketentuan sebagai berikut, ‘STS’ menunjukkan kriteria
sangat tidak setuju, ‘TS’ menunjukkan kriteria tidak setuju, ‘N’
menunjukkan kriteria netral, ‘S’ menunjukkan kriteria setuju, sementara
‘SS’ menunjukkan kriteria sangat setuju.
3. Instrumen untuk mengukur keefektifan LKS
Untuk mengukur keefektifan modul digunakan instrumen berupa tes
hasil belajar (post-test). Tes hasil belajar digunakan untuk mengetahui
tingkat pemahaman siswa tentang materi matriks setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan LKS yang dikembangkan. Selain itu,
tes ini juga sekaligus mengukur kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini
selaras dengan tujuan dikembangkannya LKS ini yaitu untuk
66
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Oleh karena itu, soal-
soal yang digunakan dalam tes hasil belajar ini adalah soal-soal yang
menuntut pemikiran kritis dari siswa.
Data yang diperoleh dari tes hasil belajar ini digunakan untuk
mengetahui kualitas LKS ditinjau dari segi keefektifan penggunaan LKS.
Soal-soal yang diberikan dalam tes ini keseluruhan merupakan soal esai.
H. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi data
kuantitatif yang berbentuk angka-angka dan data kualitatif yang diyatakan dalam
kata-kata. Sedangkan data yang diperoleh dalam penelitian akan dianalisis secara
deskriptif. Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisis untuk mengevaluasi
lembar kegiatan siswa yang dikembangkan. Adapun analisisnya adalah sebagai
berikut:
1. Analisis data kuantitatif
Data kuantitatif berupa angket penilaian modul, tes hasil belajar (post-
test), dan angket respon siswa. Berikut langkah-langkah untuk menganalisis
data.
a. Angket Penilaian LKS
1) Data lembar penilaian terhadap LKS PMRI pada materi matriks
dianalisis untuk mengetahui kevalidan produk. Data angket penilaian
diolah setelah ahli materi, ahli media, dan guru memberikan penilaian.
Menghitung skor rata-rata untuk tiap aspek penilaian dari seluruh
validator dengan menggunakan acuan berikut:
67
∑
Keterangan:
= rata-rata perolehan skor
∑ = jumlah skor yang diperoleh
= banyaknya butir pertanyaan
2) Setelah diperoleh skor rata-rata, skor tersebut diubah ke dalam kriteria
kualitatif dengan mengacu pada pedoman di Tabel 3.
Tabel 3. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif
No. Rentang skor (i) kuantitatif Nilai Kriteria 1. A Sangat valid
2. ( ) ( ) B Valid
3. ( ) ( ) C Cukup valid
4. ( ) ( ) D Kurang valid
5. E Tidak valid
Eko Putro Widyoko (2009: 238)
Keterangan:
= skor rata-rata
Mi =
(skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
SBi =
(skor maksimal ideal – skor minimal ideal)
Skor maksimal ideal = skor tertinggi
Skor minimal ideal = skor terendah
Mi = rata-rata ideal
SBi = simpangan baku ideal
Skor maksimal ideal pada instrumen penilaian ahli materi, ahli
media, dan guru adalah 5, sedangkan skor minimal idealnya yaitu 1.
Dengan memperhatikan hal tersebut, maka Tabel 4 di atas dapat
dikembangkan sebagai berikut.
68
Tabel 4. Kriteria Skor Instrumen Penilaian oleh Ahli
No. Rentang skor (i) kuantitatif Nilai Kriteria kualitatif
1. ,2 A Sangat valid
2. ,2 B Valid
3. C Cukup valid
4. D Kurang valid
5. E Tidak valid
LKS yang dikembangkan dinyatakan memiliki derajat validitas
yang baik jika minimal tingkat validitas yang dicapai adalah kategori
valid.
b. Data tes hasil belajar (post-test)
Data yang berasal dari post test akan dianalisis secara kuantitatif
untuk mengetahui nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar. Berikut
pedoman penyekoran dan penilaian post test.
1) Setiap butir soal post-test mempunyai bobot skor yang berbeda sesuai
dengan tingkat kesukaran dari masing-masing soal. Perolehan skor
maksimal untuk setiap butir soal post-test adalah sebagai berikut.
Nomor soal 1 2 3 4 5 6 Total
Skor maksimal 10 15 10 20 30 15 100
2) Setelah diperoleh data nilai tes hasil belajar, selanjutnya data tersebut
dicari rata-ratanya dengan menggunakan rumus berikut:
∑
Keterangan:
= rata-rata perolehan skor
∑ = jumlah skor yang diperoleh
= banyaknya siswa
69
3) Setelah memperoleh data rata-rata nilai tes hasil belajar, maka data
tersebut dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yang sudah ditetapkan di SMAN 1 Sidomulyo. Dalam hal ini KKM
yang ditetapkan adalah 75. Jika rata-rata klasikal lebih besar atau
sama dengan KKM maka LKS yang dikembangkan berada pada
kriteria baik.
4) Setelah menentukan data rata-rata nilai tes hasil belajar, harus
ditentukan pula ketuntasan tes hasil belajar secara klasikal agar
memperoleh tentang keefektifan LKS yang dikembangkan.
Persentase banyaknya siswa yang tuntas dihitung dengan rumus :
Siswa dikatakan tuntas belajarnya jika nilai uji kompetensi KD 1
dan nilai uji kompetensi KD 2 masing-masing lebih besar atau sama
dengan 75. Setelah diperoleh persentase banyaknya siswa yang tuntas,
selanjutnya persentase tersebut diubah ke kriteria kualitatif
berdasarkan pedoman pada Tabel 5.
Tabel 5. Kriteria Ketuntasan Tes Hasil Belajar Klasikal
No. Persentase (%) Kategori
1. Sangat baik
2. Baik
3. Cukup baik
4. Kurang baik
5. Tidak baik
(Eko Putro Widyoko, 2009: 259)
Keterangan : ketuntasan tes hasil belajar
70
LKS yang dikembangkan dinyatakan efektif apabila minimal tingkat
ketuntasan tes hasil belajar pada post-test yang dicapai adalah kategori
baik.
c. Angket respon siswa
Aspek kepraktisan modul yang dikembangkan dilihat dari hasil analisis
angket respon siswa. Angket respon siswa berbentuk check-list dengan
menggunakan skala Likert yang terdiri dari lima kategori yaitu sangat
setuju (SS), setuju (S), ragu (R), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju
(STS) dengan pedoman rincian skor sebagai berikut
Tabel 6. Pedoman Penyekoran Angket Respon Siswa
No. Kategori Skor
1. Sangat baik 5
2. Baik 4
3. Cukup baik 3
4. Kurang baik 2
5. Tidak baik 1
Langkah-langkah untuk menentukan kepraktisan modul adalah sebagai
berikut.
1) Data skor yang diperoleh dari angket respon siswa dihitung rata-rata
dengan menggunakan cara
∑
Keterangan:
= skor rata-rata
∑ = jumlah skor jawaban
= banyaknya butir pertanyaan
71
2) Selanjutnya, rata-rata skor yang diperoleh kemudian dikonversikan
menjadi data kualitatif skala lima seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif
No. Rentang skor (i) kuantitatif Nilai Kriteria 1. A Sangat valid
2. ( ) ( ) B Valid
3. ( ) ( ) C Cukup valid
4. ( ) ( ) D Kurang valid
5. E Tidak valid
Eko Putro Widyoko (2009: 238)
Keterangan:
= skor rata-rata
Mi =
(skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
SBi =
(skor maksimal ideal – skor minimal ideal)
Skor maksimal ideal = skor tertinggi
Skor minimal ideal = skor terendah
Mi = rata-rata ideal
SBi = simpangan baku ideal
3) Tabel 6 dikembangkan dengan skor maksimal ideal adalah lima dan
skor minimal ideal adalah satu. Tabel pengembangan disajikan dalam
Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Kriteria Hasil Angket Respon Siswa
No. Rentang skor (i) kuantitatif Nilai Kriteria kualitatif
1. ,2 A Sangat baik
2. ,2 B Baik
3. C Cukup baik
4. D Kurang baik
5. E Tidak baik
= rata-rata perolehan skor
Modul yang dikembangkan dinyatakan praktis apabila minimal
kriteria respon siswa yang dicapai adalah kategori baik.
72
2. Analisis data kualitatif
Data kualitatif diperoleh dari catatan di lapangan saat uji coba dan
masukan dari siswa pada angket respon siswa. Data tersebut dianalisis
secara deskriptif kualitatif dan beberapa diantaranya digunakan untuk
perbaikan pada tahap revisi. Data-data tersebut dianalisis untuk selanjutnya
digunakan sebagai pertimbangan perbaikan LKS.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap LKS yang
dikembangkan, maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Pengembangan LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI untuk
siswa SMA menerapkan model pengembangan ADDIE yang terdiri dari lima
tahap, yaitu : (1) Analysis (analisis), (2) Design (perancangan), (3)
Development (pengembangan), (4) Implementation (implementasi), dan (5)
Evaluation (evaluasi).
2. Kualitas LKS pada materi matriks dengan pendekatan PMRI untuk siswa
SMA yang telah dikembangkan adalah sebagai berikut.
a. Ditinjau dari aspek kevalidan, yaitu penilaian oleh ahli materi dan ahli
media, LKS yang dikembangkan peneliti memperoleh skor rata-rata 4,13
yang termasuk dalam kategori valid. Dapat disimpulkan bahwa LKS yang
dikembangkan valid yaitu telah sesuai dengan standar buku teks pelajaran
dari BSNP serta memiliki derajat validitas yang baik.
b. Ditinjau dari aspek keefektifan, yaitu dari tes hasil belajar (post-test)
diperoleh rata-rata kelas yaitu 77,61 dan ketuntasan tes hasil belajar yaitu
71% yang termasuk dalam kategori baik. Dapat disimpulkan LKS yang
97
dikembangkan telah efektif digunakan dalam pembelajaran matematika di
sekolah yaitu LKS yang dikembangkan memberikan hasil yang baik.
c. Ditinjau dari aspek kepraktisan, yaitu dari hasil angket respon siswa
diperoleh skor rata-rata 4,22 yang termasuk dalam kategori sangat baik.
Dapat disimpulkan bahwa LKS yang dikembangkan praktis yaitu LKS
mudah digunakan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
B. Saran
Saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut.
1. LKS matematika materi matriks dengan pendekatan PMRI dapat digunakan
sebagai salah satu pilihan bahan ajar untuk siswa SMA.
2. LKS matematika materi matriks dengan pendekatan PMRI layak
disempurnakan baik dari segi materi maupun desain tampilannya.
3. Perlu dikembangkan bahan ajar lain dengan pendekatan PMRI baik berbentuk
modul, buku siswa, handout, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Nurhayati. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika
Berorientasi Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based
Instruction). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Alik. 2010. Model ADDIE. From http://alik3505.blogspot.com/2010/10/model-
addie.html. Diunduh pada hari Kamis, 14/10/2016 pukul 22.10 WIB
Amri, Sofan dan Khoiru Ahmadi. 2010. Konstruksi Pengembangan Pembelajaran.
Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Arwanto. 2013. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif
Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kontekstual (Di SMP
Muhammadiyah I Kota Cirebon). Universitas Pasundan Bandung.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. Kamus Bahasa Indonesia
Untuk Pelajar. Jakarta.
Beyer, B.K. 1987. Practical Strategies for the Teaching of Thinking. Boston:
Allyn and Bacon Inc.
BSNP. 2006. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan SD/MI. Jakarta:
Kemendiknas.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta.
Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran dan Standar
Sarana dan Prasarana Sekolah Menengah Kejuruan Madrasah Aliyah
SMA/ MA/ SMK/ MAK. Jakarta: Depdiknas.
Eko Putro Widoyoko. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ennis, R. 1996. Critical Thinking. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.
99
Fadli. 2012. Model Pengembangan Pembelajaran. From:
http://fadlibae.wordpress.com/2012/01/31/model-pengembangan-
pembelajaran/. Diunduh pada hari Kamis, 14/10/2016 pukul 22.15 WIB.
Gusmayani, Indri. 2012. Model Desain Pembelajaran. From http://indri-
gusmayani14.blogspot.com/2012/11/lhmb-model-desain-pembelajaran-
addie.html Diunduh 22/03/2017 pukul 22.27 WIB.
Hadi. 2005. Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip.
Hamalik, Oemar. 1999. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasratuddin. 2010. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP
Melalui Pendekatan Matematika Realistik. FMIPA UNIMED Medan.
Hassoubah, Izhab Zaleha. 2004. Developing Creatif and Critical Thinking Skill
(Cara Berpikir Kreatif dan Kritis). Nuansa: Bandung.
Heruman. 2008. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran
Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.
Johnson, Elaine B. 2009. Contextual Teaching and Learning: what it is and why
it’s here to stay (Ibnu Setiawan. Terjemahan). Bandung: MLC.
Khabibah, Siti. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan
Soal Terbuka untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa SD. Disertasi tidak
dipublikasikan. Surabaya. UNESA.
Krulik, J.K & Rudnick, J.A. 1996. The New Source Book Teaching Reasoning
and Problem Solving in Junior and Senior High School. Massachusets:
Allyn & Bacon.
Kurnianingsih, Sri dkk. 2007. Matematika SMA dan MA untuk Kelas XII.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lipman, M. 200). Thinking in Education. New York: Cambridge University Press.
Maizora, Syafdi. 2011. Pengembangan Web Pembelajaran Kalkulus Diferensial
Pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Bengkulu.
Tesis tidak diterbitkan. Padang : Program Pascasarjana Universitas Negeri
Padang.
Majid, A. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
100
Marpaung, Y. 2005. Karakteristik PMRI (Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia). Makalah mata kuliah Problematika Pembelajaran Matematika,
Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana UNS Surakarta.
Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nieveen, Nienke. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. Belanda: Kluwer
Academic Publisher.
Paling, D. 1991. Teaching mathematics in Primary School. New York: Oxford
University Press.
Pannen, Paulina dan Purwanto. 2005. Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: PAU–PPAI
Universitas Terbuka.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang Standar
Proses. (Online) (Tersedia di
http://www.slideshare.net/iwansukma/standarprosespermen412007, diakses
pada 20 November 2015).
Permendiknas. 2009. Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika.
Prasetyo, Wahyhu. 2012. Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Dengan
Pendekatan PMR Pada Materi Lingkaran Di Kelas VIII SMPN 2
Kepohbaru Bojonegoro. Universitas Negeri Surabaya.
Prastowo, Andi. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.
Yogyakarta: Diva Press.
Prawiradilaga, Dewi Salma. 2009. Prinsip Desain Pembelajaran, Kencana
Prenada Media Group.
Pribadi, Benny A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian
Rakyat
Putra, Nusa. 2011. Research and Development. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Rahayu, Yuni. 2009. Modul Pengembangan Perangkat Pembelajaran Depdiknas.
Surabaya: UNESA.
Rays, Robert E., et al. 1998. Helping Children Learn Mathematics. Boston:
Allyn and Bacon.
101
Rodiawati, Atik. 2013. Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
Matematika berbasis Learning Cycle 5E pada Pokok Bahasan Garis dan
Sudut di Kelas VII SMP. Skripsi tidak diterbitkan. Bengkulu: UNIB
Shadiq, Fajar. 2010. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik di
SMP. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan di Indonesia Konstatasi Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Sudjana, Nana. 1987. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru Algesindo.
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sugiman. 2011. Peningkatan Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan
Pendekatan Matematika Realistik. Makalah. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Malang: IMSTEP JICA.
Sungkono, dkk. 2003. Pengembangan Bahan Ajar. Yogyakarta: FIP UNY.
Surya, Hendra. 2011. Strategi Jitu Mencapai Kesuksesan Belajar. Jakarta: PT
Gramedia.
Tatag, Yuli Eko S. 2005. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa.
Surabaya: FMIPA Universitas Negeri Surabaya.
Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi dan
Implementasinya dalam KTSP. Jakarta : Bumi Aksara.
Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif
Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Zulkardi. 2002. Developing A Learning Environment On Realistic Mathematics
Education For Indonesia Student Teachers. Tesis tidak dipublikasikan.
Enschede : University of Twente.