peranan orang tua dalam pembinaan …...menyatakan sikap saling bermusuhan dengan disertai...
TRANSCRIPT
PERANAN ORANG TUA DALAM PEMBINAAN
KEBERAGAMAAN ANAK
(Studi Kasus: di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Sosiologi Agama
Oleh
NUR AINI NIM: 102032224691
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H/ 2007 M
PERANAN ORANG TUA DALAM PEMBINAAN
KEBERAGAMAAN ANAK
(Studi Kasus: MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Sosiologi Agama
Oleh:
NURAINI
NIM: 102032224691
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA. Dra. Marzuqoh, MA. NIP. 150 050 741 NIP. 150 270 809
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H/ 2007 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “ Peranan Orang Tua dalam Pembinaan Keberagamaan
Anak (Studi Kasus: di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan)”, telah
diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Maret 2007.
Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Sosiologi Agama.
Jakarta, 07 Maret 2007
SIDANG MUNAQOSYAH
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Drs. Masri Mansoer, M.A. Joharatul Jamilah, M.Si. NIP. 150 244 493 NIP. 150 282 401
Anggota, Penguji I, Penguji II, Prof. Dr. Musyrifah Sunanto Dra. Ida Rasyidah, M.A. NIP. 150 062 829 NIP. 150 242 267 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Ahmad Mubarok, M.A. Dra. Marzuqoh, M.A. NIP. 150 050 741 NIP. 150 270 809
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, yang menjadi hujjah-Nya atas semua
manusia, pemimpin dan imam kita, teladan dan kekasih kita, beserta kerabat dan
sahabat.
Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang
dialami oleh penulis, namun banyak juga pelajaran yang didapat, baik dengan
rintangan maupun dengan kemudahan. Berkat dengan kesungguhan hati dan
motivasi serta bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan tersebut
memberikan hikmah bagi penulis.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada mereka yang telah membimbing serta memberikan pengarahan
kepada penulis dalam suka maupun duka untuk segera menyelesaikan skripsi.
Penulis menyadari bahwa dukungan dan bimbingan semua pihak yang telah
membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis bisa
menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun ucapan terima kasih ingin penulis
sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan
para stafnya yang telah mengarahkan dan melayani seluruh kebutuhan
administratif selama penulis kuliah.
2. Dra.Ida Rosyidah, M.A., Ketua Jurusan Sosiologi Agama dan Ibu Jaharotul
Jamilah, M. Si., Sekretaris Jurusan Sosiologi Agama yang telah memberikan
pengarahan dan mengesahkan judul skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA., dosen pembimbing I dan Dra. Marzuqoh,
MA., dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
membimbing serta mengarahkan dengan sabar dan tekun sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Dr. H. Suwarno Imam, dosen Penasehat Akademik yang telah membantu
memperbaiki judul skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ilmu
pengetahuan selama perkuliahan sebagai bekal penulis untuk masa yang akan
datang.
6. Kepala Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para stafnya
yang telah memberikan bantuan dan kemudahan kepada penulis untuk
mendapat berbagai literatur yang dibutuhkan selama penulisan ini, begitu juga
berbagai perpustakaan lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
7. Kepala Sekolah MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan Drs. Mahyudin
HF beserta para dewan guru dan siswa-siswanya yang telah membantu dan
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di
tempat tersebut.
8. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua Ayahanda
Sobur H. Aziz dan Ibunda Khalifah yang tercinta yang telah memberikan
curahan dengan penuh kasih sayang, do’a dan cinta serta kesabaran kepada
penulis. Jasa-jasa kalian tak akan bisa kubalas dengan apapun. Semoga Allah
SWT membalas semua jerih payah dan jasa-jasanya, sekaligus menyayangi
beliau sebagaimana beliau menyayangiku diwaktu aku kecil. Juga tak lupa
kepada kakak-kakakku Abdul Fakih dan isteri tercinta Tuti Fahrianti,
Mahrojah, Ilham yang telah memberikan semangat dan dukungannya, adik-
adikku yang kusayangi Zulfikar (BSI) dan Abdul Khair/ Oih (UHAMKA),
keponakanku tercinta Syavira Aulia Az-Zahra, Udin (terima kasih atas
bantuannya), rental Asem II (makasih ya Mpo’ Hasanah atas bantuannya),
juga kepada keluarga besar H. A. Aziz, tante, om serta sepupu-sepupuku yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan
inspirasi, semangat dan bantuannya kepada penulis untuk selalu tabah dan
terus maju untuk meraih cita-cita yang didambakan orang tua dan berguna
bagi bangsa.
9. Teman-temanku yang tercinta komponen Sosiologi Agama angkatan 2002,
sahabat-sahabatku Farihah, Eva Nailufar, Ama, Dilah, Ina I, Nurlaila
(UHAMKA) dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu serta
memberikan semangat.
Penulis hanya bisa berharap dan berdo’a semoga Allah SWT membalas segala
jasa dan amal baik mereka dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Jakarta, 8 Agustus 2006
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 8
D. Metodologi Penelitian ............................................................. 9
E. Sistematika Penulisan ............................................................. 15
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Orang Tua
1. Pengertian Peranan............................................................ 17
2. Pengertian Orang Tua ....................................................... 21
3. Tugas-tugas dan Kewajiban Orang Tua............................ 23
B. Pembinaan Keberagamaan Anak
1. Pengertian Pembinaan Keberagamaan Anak .................... 33
2. Ruang Lingkup Pembinaan Keberagamaan Anak ............ 39
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembinaan Keberaga-
maan Anak ........................................................................ 40
BAB III : GAMBARAN UMUM LATAR BELAKANG ORANG TUA
DAN MI AL-IHSAN CIPETE CILANDAK
A. Orang Tua
1. Latar Belakang Pendidikan ............................................... 43
2. Keadaan Ekonomi ............................................................. 44
3. Keadaan Komunitas .......................................................... 44
B. MI Al-Ihsan
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangan MI Al-Ihsan .............. 46
2. Organisasi dan Tujuan....................................................... 48
3. Keadaan Guru, Murid dan Karyawan ............................... 49
4. Sarana dan Prasarana......................................................... 52
BAB IV : PERANAN ORANG TUA DALAM PEMBINAAN
KEBERAGAMAAN ANAK
A. Analisa Sosiologis Peranan Orang Tua
1. Peranan Orang Tua Sebagai Pembimbing ........................ 55
2. Peranan Orang Tua Sebagai Teladan ................................ 56
3. Peranan Orang Tua Sebagai Pengawas ............................. 57
B. Hambatan-hambatan yang dihadapi Orang Tua
dalam Pembinaan Keberagamaan Anak
1. Pendidikan......................................................................... 58
2. Ekonomi ............................................................................ 59
3. Pengawasan....................................................................... 59
4. Keteladanan....................................................................... 59
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 61
B. Saran-saran.............................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 63
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah anugerah Allah yang tidak ternilai harganya, karena itu ia
harus dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Sebagaimana yang disebutkan
dalam sebuah hadits yang artinya bahwa: "seluruh anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah, lalu ayah dan ibunya yang menjadikan Yahudi, Majusi dan Nasrani". Setiap
orang tua seharusnya dapat memberikan kasih dan sayangnya kepada anak dalam
jumlah yang cukup. Namun tidak berarti, karena rasa kasih sayang itu orang tua
membiarkan anak berbuat sesuka hatinya.
Anak juga merupakan rahmat Allah yang diamanahkan kepada kedua
orang tuanya yang membutuhkan pemeliharaan, penjagaan, kasih sayang, dan
perhatian. Kesemuanya itu menjadi tanggung jawab orang tua, guru dan
masyarakat sebagai penanggung jawab pendidikan.1
Orang tua, terutama ibu bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-
anaknya. Jika orang tua ingin mempunyai anak yang saleh, tentu ia tidak hanya
berdiam diri atau berpangku tangan saja, karena anak yang saleh tidak lahir (tidak
datang) dengan begitu saja, tetapi ia lahir karena doa orang tua yang dikabulkan-
Nya, dan karena didikannya yang baik, yang tidak pernah mengenal lelah dan
putus asa.2
1 Mohammad Kasiram, Ilmu Jiwa: Perkembangan Bagian Ilmu Jiwa Anak (Surabaya:
Usaha Nasional, 1983). 2 Susi Dwi Bawarni dan Arifin Mariani, Potret Keluarga Sakinah (Surabaya: Media
Idaman Press, 1993), Cet ke-1, h. 65.
Keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang utama tempat anak
belajar menjadi manusia sosial. Rumah tangga menjadi tempat pertama
perkembangan segi-segi sosial anak, dan di dalam interaksi sosial dengan orang
tuanya yang wajar, anak pun memperoleh perbekalannya yang memungkinkannya
untuk menjadi anggota masyarakat yang berharga kelak, sedangkan apabila
hubungannya dengan orang tuanya kurang baik, maka besar kemungkinannya
bahwa interaksi sosialnya pada umumnya pun berlangsung kurang baik pula.
Salah satu pertanda dari pada hubungan baik antara anak dengan orang tuanya
ialah bahwa anaknya tidak segan-segan untuk menceritakan isi hatinya atau cita-
citanya kepada orang tuanya.3
Keluarga juga merupakan suatu kelompok terkecil ditengah masyarakat,
hendaknya berfungsi sebagai suatu tempat pertama dan utama dalam proses
pendidikan. Anak mengalami pembinaan pribadi pada permulaan di dalam
keluarga. Suasana keluarga dan apa yang dihayati di dalam keluarga sangat
berpengaruh pada perkembangan jiwa anak, oleh sebab itu hubungan antara ayah,
ibu dan anak akan mempunyai pengaruh besar terhadap suasana keluarga pada
umumnya, dan khususnya terhadap perkembangan anak; terutama pada kehidupan
perasaan dan kehidupan sosial. Pentinglah bahwa kasih sayang itu perlu dibina
dalam kehidupan keluarga, sehingga setiap anggota keluarga merasa terpuaskan
kebutuhan akan kasih sayang.4
Orang tua juga perlu diberikan penerangan, agar mereka dapat
mengarahkan anak dan memberikan contoh-contoh yang baik di dalam kehidupan
keluarga. Orang tua juga harus mengubah sikapnya yang menguntungkan bagi
3 Gerungan Dipl, Psikologi Sosial (Bandung: PT Eresco, 1987), Cet ke-10, h. 202. 4 Kartini Kartono, Seri Psikologi Terapan IV: Mengenal Dunia Kanak-kanak (Jakarta:
CV. Rajawali, 1985), Cet ke-1, h. 35.
1
perkembangan anaknya. Mereka harus berusaha untuk memberikan cinta kasih
yang tulus dan perhatian penuh pada anaknya. Hubungan antara ayah dan ibu
harus dibina kembali, agar anak-anak dapat merasakan suasana yang tentram
dalam keluarga, yang dapat tumbuh secara sehat, baik dalam kehidupan pribadi,
jiwa maupun sosialnya.5
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak-
anak ialah faktor keutuhan rumah tangga, yang dimaksudkan dengan keutuhan
keluarga ialah, pertama-tama keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa di
dalam keluarga itu adanya ayah di samping adanya ibu dan anak-anaknya.
Apabila tidak ada ayahnya atau ibunya atau kedua-duanya, maka struktur keluarga
sudah tidak utuh lagi. Juga apabila ayahnya atau ibunya jarang pulang ke rumah
dan berbulan-bulan meninggalkan anaknya karena tugas atau hal-hal lain, dan hal
ini terjadi secara berulang-ulang, maka struktur keluarga itu pun sebenarnya tidak
utuh lagi. Pada akhirnya, apabila orang tuanya hidup bercerai, juga keluarga itu
tidak utuh lagi.
Selain keutuhan dalam struktur keluarga, dimaksudkan pula keutuhan
dalam interaksi keluarga, jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi
sosial yang wajar (harmonis). Apabila orang tuanya sering bercekcok dan
menyatakan sikap saling bermusuhan dengan disertai tindakan-tindakan yang
agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh. Ketidakutuhan keluarga pada
umumnya mempunyai pengaruh yang negatif terhadap perkembangan sosial anak-
anaknya.6
5 Kartono, Seri Psikologi Terapan IV: Mengenal Dunia Kanak-kanak, h. 47. 6 Gerungan Dipl, Psikologi Sosial, h. 185.
Begitu juga dengan keadaan sosiol-ekonomi keluarga tentulah mempunyai
peranan terhadap perkembangan anak-anak, dengan adanya perekonomian yang
cukup dan lingkungan material yang memadai, anak mendapat kesempatan yang
lebih luas untuk memperkembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak
mungkin di peroleh dalam keluarga yang ekonominya terbatas. Hubungan orang
tuanya hidup dalam status sosial-ekonomi serba cukup dan kurang mengalami
tekanan-tekanan fundamental seperti dalam memperoleh nafkah hidup yang
memadai. Orang tua dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendalam kepada
pendidikan anaknya apabila ia tidak disulitkan dengan perkara kebutuhan-
kebutuhan primer kehidupan manusia.
Masalah pencarian nafkah, Islam telah menetapkan bahwa urusan mencari
nafkah adalah kewajiban laki-laki, bukan kewajiban wanita. Tetapi jika ia
berkehendak, maka diperbolehkan seorang wanita untuk bekerja, jika diizikan
oleh suaminya atau ayahnya jika ia belum menikah, sebab hal itu mubah baginya.
Seorang wanita diperbolehkan bekerja untuk memperoleh harta; itu adalah
perkara ibadah baginya, bukan merupakan kewajiban, sebab memang tidak ada
beban bagi wanita untuk mencari nafkah. 7
Status sosial-ekonomi bukan merupakan faktor mutlak dalam
perkembangan sosial, sebab hal ini bergantung kepada sikap-sikap orang tuanya
dan bagaimana corak interaksi di dalam keluarga itu. Walaupun status sosial-
ekonomi orang tua memuaskan, tetapi apabila mereka itu, tidak memperhatikan
didikan anaknya atau senantiasa bercekcok, hal itu juga tidak menguntungkan
perkembangan sosial anak-anaknya. Pada akhirnya, perkembangan sosial anak itu
7 Abdurrahman Al-Baghdadi, Emansipasi, Adakah dalam Islam; Suatu Tinjauan Syariat
Islam tentang Kehidupan Wanita (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet ke-9, h. 88.
turut ditentukan pula oleh sikap-sikap anak sendiri terhadap keadaan keluarganya.
Mungkin sekali status sosial-ekonomi orang tua mencukupi, serta corak interaksi
sosial di rumah pun tiada berkekurangan, namun anak itu berkembang dengan
tidak wajar. Perkembangan sosial memang ditentukan oleh saling pengaruh dari
banyak faktor di luar dirinya dan di dalam dirinya, sehingga tidak mudah pula
untuk menentukan faktor manakah yang menyebabkan kesulitan dalam
perkembangan sosial seseorang, yang pada suatu saat mengalami kegagalan.8
Begitu juga dengan norma-norma dan peraturan-peraturan yang
menjamin berlangsungnya interaksi yang wajar ke arah tercapainya tujuan
keluarga yang sesuai dengan Pancasila yaitu mendidik anaknya menjadi manusia
yang bertanggung jawab terhadap Tuhan, terhadap negara dan masyarakatnya, dan
terhadap dirinya sendiri. Dalam usaha supaya anak-anak itu menaati norma-norma
dan peraturan-peraturan yang menuju ke tujuan keluarga itu, kadang-kadang perlu
juga anak itu di hukum; hukuman tersebut dapat merupakan peringatan, kecaman,
pengasingan, dan hukuman-hukuman yang lebih berat lagi. Kiranya tindakan
menghukum itu, di samping tindakan menghargai, merupakan tindakan yang
terlibat dalam tiap-tiap pendidikan yang wajar, dengan catatan bahwa hukuman itu
diberikan secara objektif dan disertai pengertian akan maksudnya, dan bukan
untuk melepaskan kebencian atau kejengkelan terhadap anak. Maka hukuman itu
kadang-kadang perlu untuk mendidik dan menyalurkan tingkah laku anak ke arah
yang sewajarnya. Adanya tindakan hukuman dalam suatu keluarga dapat
merupakan pertanda bahwa orang tua mempunyai perhatian yang sungguh-
sungguh terhadap perkembangan anaknya. Sebaliknya anak yang tak pernah
8 Gerungan Dipl, Psikologi Sosial, h. 181-182.
mengalami hukuman itu mungkin mengalami kelalaian dalam pendidikannya,
sebab anak itu memerlukan bimbingan ke arah perkembangan sosialnya yang
wajar, termasuk perkembangan norma-normanya, juga apabila ia melanggar
norma atau peraturan tersebut.9
Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal
tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik,
melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan
kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu
terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara
timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua atau ibu dan ayah memegang
peranan penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak
seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada disampingnya, oleh karena itu ia
meniru perangai ibunya.10
Berbahagialah anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang
mempunyai pendidikan, beriman dan beramal saleh, dimana keluarga tersebut
memahami ciri-ciri anak pada umur-umur tertentu dan mengetahui keperluan
utama anak pada berbagai tahap umur. Pada umur balita, yang amat diperlukan
oleh anak adalah contoh, pembiasaan dan latihan dan perlakuan yang penuh kasih
sayang yang membawa kepada rasa aman dan tentram dalam kehidupannya yang
masih sangat memerlukan bantuan dan pemeliharaan.
Faktor identifikasi dan meniru pada anak-anak amat penting, sehingga
mereka terbina, terdidik dan belajar dari pengalaman langsung, lebih besar dari
pada informasi atau pengajaran lewat instruksi dan petunjuk dengan kata-kata.
9 Gerungan Dipl, Psikologi Sosial, h. 203-204. 10 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 35.
Karena itulah maka suasana keluarga, ketaatan ibu bapak beribadah dan
berperilaku, sikap dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran Islam, akan
menjadikan anak yang baru lahir dan dibesarkan dalam keluarga baik, beriman
dan berakhlak terpuji.11
Mengingat begitu pentingnya penanaman pendidikan sedini mungkin bagi
anak-anak dalam kehidupannya, maka penulis tertarik untuk membahas masalah
"Peranan Orang Tua dalam Pembinaan Keberagamaan Anak" (Studi Kasus di MI
Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan) sebagai judul karya ilmiah atau skripsi
dengan alasan:
1. Secara umum orang tua dalam mendidik anaknya hanya menyerahkan kepada
sekolah, termasuk juga pendidikan agama. Mereka jarang bahkan tidak pernah
mengawasi pendidikan agama anaknya yang telah diberikan di sekolah,
termasuk memberikan contoh kepada anak dalam kehidupan keberagamaan di
lingkungan keluarganya, seperti tata cara makan, minum, tata cara berpakaian,
tata cara bersikap kepada kedua orang tua, kepada orang lain, seperti kepada
saudara saudaranya, teman-temannya, termasuk juga tata cara beribadah
seperti tata cara berwudhu yang baik yang disertai dengan do'a-do'anya, shalat
lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan.
2. Pendidikan agama yang diberikan di sekolah bukan merupakan jaminan, bahwa
anak atau siswa telah mendapatkan pendidikan agama secara memadai, karena
yang diberikan di sekolah hanya 2 jam pelajaran (80 menit) dalam satu
minggu, belum lagi disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga sehingga
jam pelajaran agama tidak dapat dilaksanakan.
11 Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta: CV.
Ruhama, 1995), Cet ke-2, h.74-75.
3. Pendidikan agama pada anak dapat membentangi dirinya dari pengaruh luar
yang bersifat negatif yang dapat merusak jiwa anak, seperti pengaruh media
elektronik, media cetak dan informasi-informasi dari luar yang diperoleh
dalam kehidupan anak-anak. Berdasarkan latar belakang masalah diatas
penulis membahas skripsi ini dengan judul peranan orang tua dalam
pembinaan keberagamaan anak di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta
selatan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, penulis membatasi
masalah yang diteliti tentang upaya orang tua dalam membina keberagamaan anak
di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan khususnya orang tua kelas VI.
2. Peumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan
permasalahann karya ilmiah atau skripsi sebagai berikut:
- Bagaimana peranan orang tua dalam membina keberagamaan anak di MI Al-
Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan khususnya orang tua kelas VI.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan formal dari penelitian ini adalah sebagai tugas akhir untuk
mendapatkan gelar Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dan adapun yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah untuk
memahami dan menganalisis peranan orang tua dalam membina keberagamaan
anak di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan.
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui peranan orang tua dalam membina keberagamaan anak.
2. Dapat mengetahui bagaimana orang tua dalam menanamkan ajaran agama
pada anak-anak mereka.
3. Sebagai laporan ilmiah kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta untuk mencapai gelar kesarjanaan.
D. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mencoba mengumpulkan bahan-bahan data
yang diperlukan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini dengan
menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode pendekatan
kuantitatif dengan dukungan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk studi kasus yang dapat
memberikan nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik tentang fenomena
individual dan dapat digeneralisasikan ke dalam proposisi teoritis.12
2. Teknik Pengumpulan Data
12 Robert K. Yin, Studi Kasus (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4.
Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan, serta informasi yang
dibutuhkan sebagai bahan dalam rangka penelitian skripsi ini, maka teknik
pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penulis terjun langsung ke
objek penelitian untuk memperoleh data primer. Adapun teknik yang dipakai
dalam penelitian lapangan ini adalah sebagai berikut:
a). Angket atau Kuesioner
Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau
hal-hal yang ia ketahui. Angket dipakai untuk menyebut metode maupun
instrument. Dalam menggunakan metode angket atau kuesioner instrument yang
dipakai adalah angket atau kuesioner. Angket ini dibagikan kepada orang tua yang
dijadikan sebagai responden dan digunakan untuk mendapatkan data dan
informasi yang berhubungan dengan pembinaan orang tua terhadap keberagamaan
anak di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan. Dengan cara menyebarkan
angket ini penulis tidak perlu bertatap muka, juga menghemat waktu dan tenaga.
Selain itu juga responden diberi waktu luang untuk menjawab pertanyaan dan
mengisi jawaban tersebut. Angket yang disebarkan dalam penelitian ini terdiri dari
24 butir pertanyaan dan dengan empat alternatif jawaban, yaitu a, b, c dan d
sehingga responden tinggal memilih antara satu jawaban yang tepat menurutnya
sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi menjadi 3 variabel, variabel
tersebut meliputi: orang tua berperan sebagai pembimbing bagi anaknya, orang
tua berperan sebagai pengawas bagi anaknya dan orang tua berperan sebagai
teladan bagi anaknya. Untuk lebih jelasnya dari beberapa butir pertanyaan tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut:
Variabel Penelitian
No Variabel Jumlah Item Jumlah Jawaban 1. Orang sebagai pembimbing 8 4 2. Orang tua sebagai pengawas 8 4 3. Orang tua sebagai teladan 8 4
b). Wawancara
Interview yang sering juga disebut wawancara atau kuesioner lisan adalah
sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewner) untuk
memperoleh informasi dari terwawancara atau yang diwawancarai (narasumber).
Interview yang digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang,
misalnya untuk mencari data variabel latar belakang murid, orang tua, pendidikan
dan lain-lain.
Dalam pelaksanaannya wawancara dibagi menjadi tiga bagian,
diantaranya:
a).Wawancara bebas (inguided interview), dimana pewawancara bebas
menanyakan apa saja yang diinginkannya, tetapi ia juga harus mengingat akan
data apa yang akan dikumpulkannya. Dalam pelaksanaannya pewawancara
tidak membawa pedoman apa yang akan ditanyakannya.
b). Wawancara terpimpin (guided interview), yaitu wawancara dilakukan dengan
membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci.
c). Wawancara bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan
wawancara terpimpin. Dalam pelaksanaannya, pewawancara hanya membawa
pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan
ditanyakan.13
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode wawancara bebas terpimpin,
yang berarti dalam wawancara ini penulis hanya membawa pedoman yang hanya
merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan. Adapun wawancara
ini ditujukan kepada kepala Madrasah MI Al-Ihsan, para guru dan karyawan yang
menyangkut latar belakang sekolah dari sejak berdirinya hingga saat ini,
wawancara ini juga ditujukan kepada para orang tua guna mengetahui
keberagamaan anak mereka. Wawancara ini dilakukan sebanyak tujuh kali baik
dengan para guru atau pun dengan para orang tua.
c). Metode Kepustakaan (Library Research)
Metode kepustakaan ini digunakan untuk memperoleh data dan informasi
yang berkaitan dengan permasalahan dari berbagai sumber. Metode ini digunakan
untuk mendukung penelitian dengan cara mencari teori-teori yang sudah ada.
3. Populasi dan Sampel
Adapun populasi dan sample dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a). Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin
meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya
merupakan penelitian populasi.14 Populasi yang terdapat pada lapangan penelitian
13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), Cet ke-10, h. 144-145. 14 Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, h. 115.
ini adalah seluruh orang tua kelas I sampai kelas VI MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak,
Jakarta Selatan yang berjumlah 192 orang tua.
b). Sampel
Jika kita hanya akan meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian
tersebut disebut penelitian sampel. Sampel adalah sebagian atau wakil dari
populasi yang diteliti.15 Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sampel purposif (purposive sampling), yaitu sampel yang ditetapkan secara
sengaja oleh peneliti didasarkan atas pertimbangan tertentu, jadi tidak melalui
proses pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam teknik random. Jadi
penelitian ini hanya tertuju kepada orang tua kelas VI yang berjumlah 30 orang
tua dengan alasan bahwa murid kelas VI telah menempuh pendidikan di MI Al-
Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan selama kurang lebih 5 tahun, sehingga para
orang tua mengetahui dengan pasti tentang peranan mereka terhadap putra-
putrinya.
4. Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data
Dalam pengolahan data ini penulis memperoleh data melalui angket,
wawancara dan studi kepustakaan kemudian diolah dan diedit yang selanjutnya
dianalisis dan disimpulkan.
Adapun data yang diperoleh melalui angket dianalisa dan diolah data
statistik frekuensi, yaitu memeriksa jawaban-jawaban dari para orang tua lalu
dijumlahkan, diklasifikasikan dan ditabulasikan (dibuat tabel), data yang didapati
15 Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, h. 117.
dari setiap item jawaban akan dibuat satu tabel yang didalamnya langsung dibuat
frekuensi dan menggunakan rumus:
P = F x 100% N
Dimana:
P= Prosentase
F= Frekuensi
N= Jumlah Sampel
100%= Bilangan Tetap
Analisa Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, langkah selanjutnya adalah
menganalisis data. Untuk menganalisis data (suatu cara yang digunakan untuk
menguraikan data agar dapat dipahami), maka penulis melakukan langkah-
langkah sebagai berikut:
1). Editing: Pada tahap ini dilakukan pengecekan pengisian angket atau meneliti
kembali angket yang telah diisi oleh responden, setiap angket harus diteliti
satu persatu mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran pengisian angket
tersebut sehingga meminimalisir dan menghindarkan dari kekeliruan atau
kesalahan dalam mendapatkan informasi sehingga dapat diperoleh data yang
akurat.
2). Koding: Yaitu usaha mengklasifikasikan jawaban responden menurut
macamnya, pada tahap koding ini penulis hanya membuat pertanyaan berupa
pilihan ganda (close question).
3). Tabulating: Yaitu langkah perhitungan jawaban (penyusunan data jawaban
responden) yang telah diberikan skor ke dalam bentuk tabel, dalam penelitian
ini penulis menggunakan persentase untuk semua jawaban.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperjelas penulisan skripsi ini, penulis
membaginya kedalam lima bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Kajian Pustaka, yang berisi tentang studi pustaka mengenai orang tua
dalam pembinaan keberagamaan anak yang terdiri dari pengertian,
tugas-tugas dan kewajiban orang tua dalam membina keberagamaan
anak, ruang lingkup pembinaan keberagamaan anak, dan faktor-faktor
yang mempengaruhi pembinaan keberagamaan anak.
BAB III : Gambaran umum tentang objek penelitian, yang berisi tentang orang tua
mengenai latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi dan keadaan
komunitas, sejarah berdiri dan perkembangan tempat penelitian,
organisasi dan tujuan, keadaan guru, murid dan karyawan serta sarana
dan prasarananya.
BAB IV : Peranan orang tua dalam pembinaan keberagamaan anak di MI Al-
Ihsan, yang berisi tentang peranan orang tua sebagai pembimbing,
peranan orang tua sebagai teladan dan peranan orang tua sebagai
pengawas serta hambatan-hambatan yang dihadapi orang tua dalam
pembinaan keberagamaan anak yang terdiri dari pendidikan, ekonomi,
pengawasan dan keteladanan.
BAB V : Penutup, pada bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan dan
saran-saran.
Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “ Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat “ yang diterbitkan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, (UIN) Press, 2005-2006.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Orang Tua 1. Pengertian Peranan
Dalam kamus Bahasa Indonesia, pengertian "peranan" berasal dari kata
“peran" yang berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang
yang berkedudukan di masyarakat. Kata peran jika mendapat awalan pe- dan
akhiran an- menjadi "peranan" yang mempunyai arti bagian dari tugas utama yang
harus dilaksanakan.1
Dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya, seseorang
diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan
peranan yang dipegangnya. Gross, Mason dan McEachern mendefinisikan
peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang
menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan
imbangan dari norma-norma sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat.
Maksudnya seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh
masyarakat di dalam pekerjaannya, di dalam keluarga dan di dalam peranan-
peranan lainnya.
Di dalam peranan terdapat 2 (dua) macam harapan, yaitu: 1). Harapan-
harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari
pemegang peran, 2). Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), Cet ke-1, h. 667.
terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya
dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.2
Dalam konsep Islam fiqh (al-ahwal al-syakhshiyyah) telah diatur stuktur
dan fungsi anggota keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai peran dan tugas
serta tanggung jawab masing-masing. Seorang laki-laki (suami) sebagai kepala
rumah tangga mempunyai tugas dan bertanggung jawab untuk memberi nafkah
bagi keluarganya (isteri dan anak-anak), sementara perempuan (isteri)
berkewajiban mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anak serta mengurus
masalah-masalah domestik (dalam rumah).3
Seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan
mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mantap sesuai dengan ajaran-ajaran
tradisional (jiwa), maka seorang pemimpin harus dapat memberikan semangat
sehingga pengikut itu kreatif. Sebagai seorang pemimpin di dalam rumah tangga,
seorang ayah juga harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari
keluarga yang dipimpinnya.
Walaupun tidak dinyatakan secara konkret, akan tetapi pada umumnya
anak-anak mengharapkan fungsi-fungsi ideal tersebut di atas terwujud di dalam
kenyataannya. Di dalam proses sosialisasi, seorang ayah harus dapat menanamkan
hal-hal yang kelak dikemudian hari, merupakan modal utama untuk dapat berdiri
sendiri. Misalnya, seorang ayah diharapkan untuk menurunkan nilai/ norma yang
memegang teguh prinsip tanggung jawab terhadap hal-hal yang dilakukan. Nilai
2 David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), h.
99-101. 3 Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam; Agenda Sosio-
Kultural dan Politik Peran Perempuan (Jakarta: el-Kahfi, 2002), Cet ke-1, h. 112.
kejujuran merupakan nilai yang harus diutamakan oleh seorang ayah, dan sikap
untuk senantiasa tidak bergantung kepada orang lain.
Di dalam menanamkan rasa tanggung jawab di dalam diri si anak, bahwa
apabila dia berbuat kesalahan, maka pengakuan harus datang dari dirinya. Artinya,
jangan sampai menunggu bahwa kesalahan tersebut ditunjuk oleh orang lain. Dari
seorang ayah diharapkan suatu kewibawaan, dan semakin meningkat usia si anak,
peranan tersebut berubah menjadi seorang kakek atau sahabat.4
Seperti yang sudah dijelaskan diatas tentang peranan ayah, ada juga
peranan ayah atau pria yang disebutkan dalam buku yang berjudul “Wanita
Indonesia, Konsepsi dan Obsesi”, sebagai berikut:
- pria berperan sebagi bapak atau suami dalam kehidupan rumah tangga.
- pria berperan sebagai pemimpin atau kepala rumah tangga.
- pria berperan sebagai pengambil keputusan utama dalam rumah tangga.
- pria berperan sebagai pengarah atau penunjuk jalan dalam rumah tangga.
- pria berperan sebagai pendidik atau pengajar bagi anggota keluarga di
rumah tangga.
- pria berperan sebagai motor penggerak jalannya rumah tangga sekaligus
berfungsi sebagai mekanisme atau tukang memperbaiki bila terjadi kerusakan
dalam roda rumah tangga.5
Begitu juga dengan peranan ibu pada masa anak-anak besar sekali. Sejak
anak dilahirkan, peranan tersebut tampak dengan nyata sekali. Tugas alami untuk
4 Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga; Tentang Ihwal Keluarga, Remaja dan Anak
(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet ke-2, h. 116. 5 Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Penerbit Kerjasama
antara Lembaga Kajian Agama dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999), Cet ke-1, h. 7-8.
pekerjaan ibu adalah mengurus rumah tangga, menjadi seorang istri, menjadi ibu
dari anak-anaknya, serta menjadi pendidik, pengatur, dan pemelihara rumah
tangga. Ibu adalah pemimpin rumah tangganya dan dia akan dimintai pertanggung
jawaban atas kepemimpinannya itu.6
Kaum suami diposisikan sebagai kepala keluarga karena pada umumnya
mereka yang lebih kuat, sehingga merekalah yang melindungi kaum istri. Dalam
hal ini, tidak berarti mereka harus memiliki semua kekuasaan, melainkan harus
ada kesepakatan atau kerjasama. Suami dan istri yang saling membantu,
menolong dan memikul tanggung jawab bersama merupakan “kata kunci”.
Pada suatu kenyataan yang harus disadari bersama antara suami-istri atau
laki-laki dan perempuan bahwa kepemimpinan sebuah keluarga atau rumah
tangga sebaliknya dilaksanakan bersama-sama, sebab jika hanya satu dari dua,
akan memunculkan kediktatoran.7
Orang tua sebenarnya merupakan kunci motivasi dan keberhasilan anak.
Tidak ada pihak lain yang akan dapat menggantikan peranan orang tua seutuhnya.
Keberhasilan orang tua di dalam menunjang motivasi dan keberhasilan anak
terletak pada eratnya hubungan orang tua dengan anak-anaknya. Orang tua
merupakan tempat anak berlindung dan mendapatkan kedamaian melalui
keserasian antara ketertiban dan ketentraman, dan mempertimbangkan dan
mempertimbangkan pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.8
6 Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim (Jakarta: Gema Insani Press, 1998),
Cet ke-1, h. 127. 7 Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam, h. 29. 8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), Cet ke-
8, h. 413.
2. Pengertian Orang Tua
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata orang tua mempunyai arti
sebagai berikut: 1). Ayah ibu dan kandung, 2). Orang yang dianggap tua (cerdik,
pandai, ahli, dsb), 3). Orang-orang yang dihormati dan disegani dikampung.9
Sedangkan dalam Bahasa Arab, orang tua bisa diistilahkan dengan "al-
Walidain". Kata ini adalah bentuk jamak dari "al-waalid" yang bisa diartikan
bapak kandung. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S.
Al-Isra ayat 23, yang berbunyi:
وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما يبلغن عندك فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما الكبر أحدهما أو آلاهما
قولا آريما "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".10
Pengertian orang tua juga adalah ibu bapak yaitu orang yang melahirkan
(bagi ibu), merawat, mendidik, dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya
dalam aspek kehidupan yang dapat membentuk anak menjadi pribadi-pribadi yang
mampu mensosialisasikan semua itu dalam kehidupan beragama. berbangsa dan
bernegara.
Kedua orang tua melakukan bagian (kewajiban) mereka dalam
membesarkan anak-anak dengan bayaran berupa kesenangan dan kenyamanan
9 Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 629. 10 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an (YPPA), Al-Qur’an dan Terjemahnya
(Jakarta: YPPA, 1971), h. 427.
yang mereka dapatkan. Ayah merasa bahagia menghabiskan uangnya yang
didapatkannya dengan susah payah atas mereka, sementara ibu memberi makan
mereka dari (air susu)nya. Oleh karenanya anak-anak tumbuh besar oleh kerja
keras bersama, cinta dan kasih sayang dari kedua orang tua mereka. Maka dari itu
perlakuan yang terbaik dari anak-anak (untuk mereka) ditekankan dalam al-
Qur’an dan Sunnah. Tetapi hal itu adalah juga suatu fakta yang paling sederhana,
bahwa seorang ibu melakukan lebih banyak pengorbanan dan memikul
penderitaan lebih besar dari pada seorang ayah ketika membesarkan anak-anak.
Ibu memberi makanan dan menjaga mereka dengan mengorbankan
kesenangannya di siang hari dan tidurnya di malam hari, tanpa suatu perasaan
ketamakan (kerakusan) atau tekanan (paksaan), tetapi semata-mata keluar dari
perasaan cinta yang tidak mementingkan diri sendiri dan ikhlas yang belum
pernah terjadi sebelumnya di dalam sejarah manusia. Inilah alasan mengapa al-
Qur’an telah memberi ibu kedudukan lebih penting dan menekankan atas anak-
anak agar lebih penuh perhatian serta bersikap patuh kepadanya jika dibandingkan
dengan ayah.
Fakta menjadi jelas, bahwa ibu mendapat pelayanan, cinta, sikap patuh,
ketaatan dan terima kasih anak-anaknya lebih dari sang ayah. Ini dibenarkan,
karena sang ibu menghadapi penderitaan yang pedih, dan memberikan
pengorbanan yang khusus dalam membesarkan anak-anaknya.11
Hadits Nabi SAW, yang mengatakan bahwa “ibu adalah pengembala di
rumah tangga dan suaminya bertanggung jawab atas gembalaannya”,
sesungguhnya mengisyaratkan kerjasama ibu dan ayah dalam pendidikan anak.
11 Akhlak Husain, Menjadi Orang Tua (Muslim) Terhormat (Surabaya: Risalah Gusti,
2000), h. 23-24.
Hanya saja, terutama dalam lingkungan keluarga yang menuntut ayah lebih berada
di luar rumah untuk mencari nafkah dan ibu lebih banyak di rumah untuk
mengatur urusan rumah dan pengaruh pendidikan yang diberikan ibu lebih besar.
Hal ini karena anak dalam proses tumbuh kembangnya sampai menjadi manusia
yang memikul kewajiban banyak dekat dengan ibunya. Itulah sebabnya mengapa
wanita penting dipersiapkan untuk menjadi ibu yang diharapkan mampu
menjalankan tugas sebagai pendidik.
Tugas-tugas dan Kewajiban Orang Tua
Di masa ini banyak buku-buku bacaan, majalah-majalah yang menjelaskan
teori pendidikan dan ilmu jiwa perkembangan anak untuk membekali orang tua
dalam mendidik anak. Sedangkan di dalam Al-Qur'an/ Hadits banyak dijelaskan
tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua, antara lain
adalah:
a. Menanamkan akidah atau tauhid
b. Memberi nama yang baik kepada anak
c. Menanamkan akhlak yang baik
d. Mendidik anak agar berbakti kepada kedua orang tua
e. Melatih anak mengerjakan shalat
f. Mengajarkan Al-Qur'an
Anak merupakan amanat Allah yang dititipkan kepada kedua orang
tuanya, karena itu anak dilahirkan dalam keadaan suci. Bagaimana kelak jadinya
dikemudian hari, tergantung kedua orang tuanya yang mendidik, membina,
merawat sekaligus mengarahkannya.
Sesuai dengan ajaran Islam, pendidikan anak merupakan tanggung jawab
kedua orang tua, dan hasil ataupun buah dari pendidikan anak tersebut kelak
diakhirat nanti, kedua orang tuanya akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah
SWT. Dalam hal ini tugas-tugas dan kewajiban orang tua terhadap anaknya antara
lain adalah:
a. Menanamkan akidah atau tauhid
Kewajiban pokok manusia adalah taat kepada Allah, karena itu sebagai
orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan akidah tauhid, yaitu menanamkan
keimanan kepada Allah SWT. Tuhan Maha Tunggal dan Maha Berkuasa atas
segala-galanya yang wajib disembah, menyembah selain Allah adalah perbuatan
syirik.12 Sebagaimana yang dijelaskan Allah melalui firman-Nya;
وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يابني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
" Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia
memberi pelajaran kepadanya: " Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS. Luqman/ 31: 13).13
Menanamkan ajaran tauhid kepada anak sejak kecil adalah kewajiban
paling utama bagi orang tua. Tauhid dalam bentuknya yang murni merupakan
akidah (keyakinan yang kuat dalam jiwa) yang akan menjadi " way of life " (asas
hidup). Bukan hanya sekedar ucapan yang terlontar lewat mulut atau hanya
menempel dihati, akan tetapi akidah tauhid meronai seluruh hidup dan kehidupan
seseorang. Tauhid yang benar akan tercermin dalam syariat yang benar dan akhlak
yang mulia. Efeknya yang pertama antara lain menerapkan syariat Allah sebagai
12 M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), Cet ke-9, h. 82.
13 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an (YPPA), Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 654.
pokok hukum yang mendominasi hidup dan kehidupan manusia. Jika tidak, maka
akidah tauhid berarti belum tegak dalam dirinya, sebab hanya dengan tauhid jiwa
itu akan tegak. Sebaliknya, tauhid (akidah) seseorang itu belum dianggap tegak
jika pengaruhnya tidak dapat direalisasikan dalam seluruh aspek kehidupan.14
Untuk dapat mengajarkan tauhid pada anak-anak, terlebih dahulu orang
tua harus mengetahui pentingnya pendidikan tauhid agar tidak lengah
menanamkan ajaran ini kepada anak-anak. Orang tua juga harus lebih dahulu
wajib mengetahui keyakinan dan perbuatan-perbuatan syirik, kufur dan munafik.
Jika orang tua sendiri tidak tahu makna keyakinan syirik dan kafir, maka
keyakinan tauhid sudah tentu tidak akan dapat ia ajarkan kepada anaknya.
Upaya untuk mengajarkan tauhid atau akidah kepada anak dapat ditempuh
dengan praktis adalah sebagai berikut: mengajarkan ayat-ayat Al-Qur'an yang
menerangkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini, memberikan pendidikan
keimanan yaitu mengajarkan anak beriman kepada Allah, beriman kepada
Malaikat, beriman kepada Kitab, beriman kepada hari akhir, beriman kepada
takdir dan beriman kepada perkara-perkara yang ghaib.
Pendidikan keimanan adalah mengajarkan kepada seorang anak sejak
mulai anak dapat berfikir tentang rukun iman serta membiasakan anak untuk
melaksanakan rukun Islam dan mengajarkan pula tentang syariat Islam sejak masa
tamyiz atau usia sekolah.
Wajib bagi orang tua atau pendidik untuk menumbuhkan dalam jiwa
seorang anak kefahaman tentang keimanan, sebagai dasar bagi pendidikan Islam.
Dengan demikian akan terjalinlah akidah yang benar dengan ibadah yang sesuai.
14 Bawarni dan Mariani, Potret Keluarga Sakinah, h. 69.
Maka anak hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya dan Al-Qur'an sebagai
imannya serta Rasulullah SAW sebagai tokoh dan pemimpin yang wajib
diteladani.15
Selain langkah menanamkan tauhid, orang tua harus menjauhkan anak-
anak dari bacaan-bacaan, kaset-kaset serta film-film yang potensial merusak
akidah, akhlak dan kesehatan jiwa anak. Melihat betapa banyaknya ajaran yang
sesat, pikiran yang bertentangan dengan akidah tauhid, maka orang tua wajib
membimbing anak-anaknya dalam memilih buku bacaan, kaset, nyanyian atau
ceritera dan film sejarah atau pun ilmu pengetahuan. Karena pada zaman modern
ini sarana kemusyrikan, kekafiran dan kemunafikan jauh lebih banyak dibanding
sarana pendidikan tauhid. Juga perlu diperhatikan oleh para orang tua pola pikir
kafir dan musyrik agar anak-anak dapat diselamatkan dari pengaruh berfikir kufur
dan syirik.16
b. Memberi nama yang baik kepada anak
Ada dua kewajiban orang tua yang mutlak harus diberikan kepada putra-
putrinya yang baru lahir, adalah memberikan nama yang baik dan memberikan
kasih sayang. Rasulullah SAW menerangkan hadits yang artinya berbunyi "
sebagian dari pada kewajiban ayah terhadap anaknya ialah beri dia nama yang
baik, ajari dia menulis dan kawinkan dia apabila ia baligh " (HR. Ibnu Najjar).
Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya adalah
memberikan nama yang baik karena nama merupakan segala sesuatu yang berarti
baik bagi sang anak. Karena nama mengandung sebuah makna dan harapan dari
kedua orang tuanya. Untuk itu, hendaknya orang tua memberikan nama yang
15 Salwa Shahab, Membina Muslim Sejati (Gresik: Karya Indonesia, 1989), Cet ke-1, h. 24.
16 Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak, h. 86.
mempunyai harapan baik di hari depannya, sehingga menjadi motivasi bagi sang
anak dalam mengarungi bahtera kehidupan. Selain mengandung makna dan
harapan orang tua, nama sangat berarti untuk kepentingan diri sendiri, karena
nama merupakan predikat dan identitas seseorang.
Nama yang diberikan orang tuanya seringkali menentukan kehormatannya,
dengan nama itu dapat menunjukkan identitas keluarganya, bangsa dan agama.
Para ahli ilmu jiwa anak-anak maupun ahli pendidikan anak menyadari
pentingnya nama dalam pembentukan konsep jati diri. Secara tidak sadar orang
akan didorong untuk memenuhi citra (image, gambaran) yang terkandung dalam
namanya. Teori labelling (penamaan) menjelaskan, kemungkinan seseorang
menjadi jahat karena masyarakat menamainya sebagai penjahat. Untuk itu Islam
mengajarkan kepada umatnya “berilah nama yang baik kepada anak-anakmu"
karena nama mengandung unsur doa dan harapan dimasa yang akan datang.17
Nama seseorang juga tidak hanya terpakai semasa ia hidup di dunia ini,
tetapi terus terpakai sampai di alam akhirat. Dihadapan Allah kelak, ketika kita
semua menghadapi panggilan dan perhitungan amal kita, nama yang kita pakai di
dunia inilah yang akan disebut untuk memanggil diri kita. Karena itu, hendaklah
para orang tua memberi nama yang baik lagi indah kepada anak-anaknya, nama
yang mengandung pujian atau doa dan harapan atau semangat keluhuran.18
c. Menanamkan akhlak yang baik
Setiap orang tua ingin membina anaknya agar menjadi orang yang baik,
mempunyai kepribadian yang kuat, sikap mental yang sehat dan akhlak yang
17 Maimunah Hasan, Membangun Kreativitas Anak secara Islami (Yogyakarta: Bintang
Cemerlang, 2001), h. 10-11. 18 Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak , h. 47-49.
terpuji. Semuanya itu dapat di usahakan melalui pendidikan, baik yang formil (di
sekolah) maupun yang informal (di rumah).19
Orang tua berkewajiban membiasakan anak-anaknya berakhlak Islam, dan
setiap orang tua juga harus tahu seluk beluk agama Islam agar ia dapat
mengajarkannya kepada anak-anaknya. Adapun yang harus diajarkan orang tua
kepada anaknya tentang pendidikan akhlak antara lain adalah: orang tua harus
senantiasa tanggap terhadap perilaku anaknya yang tidak sesuai dengan Islam.
Jadi, orang tualah yang harus istiqamah menjaga akhlak Islam supaya anak-
anaknya dapat mencontoh dan melakukan akhlak yang baik, bila hendak masuk
rumah mengucapkan salam, hendak bepergian pamit dan minta izin kepada kedua
orang tua, berdo'a sebelum dan sesudah tidur dan menjauhkan diri dari hal-hal
kotor.20
Adapun tujuan dari pendidikan akhlak antara lain adalah membentuk
putera-puteri berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, berkemauan
keras, beradab sopan santun, baik tingkah lakunya, manis tutur bahasanya, jujur
dalam segala perbuatannya, suci murni hatinya. 21
d. Mendidik anak agar berbakti kepada kedua orang tua
AI-Qur'an telah mengisahkan derita sengsara seorang ibu dalam
mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak-anaknya. Begitu pula
betapa beratnya dan susahnya seorang bapak berusaha mencari nafkah untuk istri
dan anak-anaknya.
19 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), Cet ke-15, h.
56. 20 Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak, h. 80-81. 21 H. Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: PT. Hidakarya
Agung, 1990), Cet ke-3, h. 22.
Semua pengorbanan ini mengharuskan seseorang untuk memikirkan dan
merasakan betapa perlunya membalas budi kebaikan ibu dan bapak.22 Dalam hal
ini Allah berfirman dalam Q.S. Al-Luqman/ 31:14
ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في
ي ولوالديك إلي المصيرعامين أن اشكر ل"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua
orang tua ibu bapak; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapinya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu".23
Kewajiban taat kepada kedua orang tua menempati urutan kedua setelah
Allah, karena itu sang ibu wajib mengajarkan kepada putera-puterinya agar
berbakti kepada kedua orang tuanya sejak kecil agar tidak menjadi orang lalai,
yang melupakan budi jasa orang tuanya. Banyak terjadi, anak-anak acuh bahkan
melawan orang tuanya. Ini tidak lain disebabkan kelalaian orang tuanya sebagai
pendidik yang pertama.24
Islam memberikan tuntunan berbuat baik dan bertindak yang beradab
kepada ibu bapak, antara lain:
_ orang tua harus mengajarkan kepada anaknya bahwa keridhaan Allah terletak
pada keridhaan orang tua.
- berbakti kepada orang tua harus didahulukan dari pada jihad di jalan Allah SWT,
berdo'a untuk orang tua setelah mereka wafat dan menghormati teman mereka
itu termasuk pengabdian kepada kedua orang tua.
22 M. Thalib, Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1996), Cet ke-1, h. 161-162. 23 Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur’an (YPPA), Al-Qur’an dan
Terjemahnya, h. 654. 24 Bawarni dan Mariani, Potret Keluarga Sakinah, h. 71.
- berbakti kepada ibu harus didahulukan dari pada berbakti kepada bapak. Islam
mendahulukan berbakti kepada ibu ketimbang kepada ayah karena sebab
berikut: karena ibu lebih banyak memperhatikan anak, mulai hamil, melahirkan,
menyusui, megurus, merawat dan mendidik anaknya dari pada ayah.
- tatakrama berbakti kepada kedua orang tua. Kewajiban para pendidik adalah
mengajari anak-anak akan sopan santun bertingkah laku terhadap orang tua
mereka yang urutannya adalah sebagai berikut: anak-anak tidak berjalan di depan
orang tua mereka, tidak memanggil mereka dengan nama mereka, tidak
membantah nasehat mereka, berbicara dengan lemah lembut dengan muka manis
dan tutur kata yang baik, minta izin bila hendak bepergian serta tidak membantah
perintah mereka.25
Orang tua harus mendidik dan mengajarkan perilaku hormat kepada orang
tua tersebut diatas secara bertahap dan konsisten. Bila anak-anak tidak mematuhi
ketentuan tersebut, maka pertama-pertama mereka harus diperingatkan dan
dinasehati.
Mendidik anak memang tidak hanya bisa dengan nasehat semata-mata.
Karena itu, berbagai metode pendidikan dan pengajaran harus dicoba diterapkan
oleh orang tua sampai memperoleh hasil yang diinginkan sejalan dengan
ketentuan syariat. Tujuan orang tua mendidik anak agar mereka berlaku beradab
kepada orang tua dan supaya mereka tidak durhaka kepada ibu bapaknya. Karena
perbuatan durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar.26
25 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak: Pendidikan Anak menurut Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), Cet ke-2, h. 41.
26 Thalib, Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih, h. 163.
e. Melatih dan mengajarkan anak shalat
Cara paling tepat mendidik anak-anak mengenal Allah adalah melatih anak
mengerjakan shalat, dengan cara ini para orang tua membiasakan anak-anak untuk
bersujud, walaupun mereka belum mengerti kepada siapa dan untuk apa mereka
bersujud. Tetapi minimal anak-anak dapat menghayati bahwa dia bersama orang
tuanya bersujud bersama-sama. Sekalipun ia tidak tahu untuk siapa dan untuk apa
orang tuanya bersujud pula, namun dengan begitu sudah tertanam dihati anak
bahwa yang paling tinggi diatas dirinya bukanlah orang tuanya. Inilah yang paling
penting tertanam dihati anak, bahwa orang tua masih tunduk kepada orang lain.
Begitu pentingnya shalat sebagai jalan menjadikan manusia tunduk kepada
Allah SWT, maka Nabi Ibrahim memohon kepada Allah SWT agar dirinya dan
keturunannya dijadikan sebagai orang -orang yang tetap menegakkan shalat. Hal
ini tercantum dalam Q.S. Ibrahim/ 14: 40
رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذريتي ربنا وتقبل دعاء " Hai Tuhanku, jadikanlah aku yang paling mendirikan shalat dan (begitu
juga) anak cucuku; Hai Tuhan kami, kabulkanlah do'a ku!".27
Orang tua harus menyadari bahwa shalatlah yang merupakan pilar utama
untuk mengisi jiwa anak-anak dalam berakidah tauhid, sebab itu Rasulullah SAW
memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik anak-anaknya mengerjakan
shalat ketika berumur 7 tahun.
Adapun orang yang mempunyai kewajiban melatih anak-anak
mengerjakan shalat sudah tentu ia harus lebih dahulu mengerti tentang cara shalat
yang benar menurut tuntunan hadits-hadits Rasulullah. Jangan sampai
27 Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur’an (YPPA), Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 386.
mengerjakan shalat dengan semaunya tanpa dasar hadits Rasulullah atau hanya
berpegang teguh pada nasehat kiayi atau buku-buku tuntunan shalat yang tidak
ada dasarnya.28
f. Mengajarkan Al-Qur'an
Selain mengajarkan shalat kepada anak, hendaklah mereka juga diajarkan
mengaji (melatih membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar), agar ketika dewasa
tidak mengalami kesulitan dan tidak menyesal, karena Al-Qur'an merupakan
pedoman pokok Islam. Sudah logis orang Islam dapat membaca dan memahami
Al-Qur'an. Mengajarkan anak membaca Al-Qur'an adalah sumber dari segala
sumber hukum seorang muslim, karena itu sudah sepantasnyalah jika seorang
muslim dapat membaca dan memahami isinya, kemudian mengamalkan perintah
di dalamya.29 Setiap orang dapat dikatakan benar dalam menjalankan kewajiban
agama Islam jika ia dapat membaca dan memahami Al-Qur'an dalam bahasa
aslinya, bukan lewat transkip atau terjemahan. Oleh sebab itu, setiap muslim
wajib mempelajari bahasa Arab yang kata-katanya dipergunakan dalam Al-
Qur'an, minimal sebanyak kata-kata yang terpakai dalam Al-Qur'an atau Hadits-
hadits Rasulullah.
Sebagai umat Islam anak-anak wajib diajari membaca Al-Qur'an minimal
mengenal huruf-huruf dan cara membacanya, karena sejak umur tujuh tahun orang
tua wajib mendidik anak-anaknya mengerjakan shalat. Sedangkan do'a dan bacaan
shalat sebagian diambil dari ayat Al-Qur'an dan yang lain dari Hadits-hadits
Rasulullah. Oleh sebab itu, logislah setiap orang tua muslim mengajarkan
28 Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak, h. 88-89. 29 Bawarni dan Mariani, Potret Keluarga Sakinah, h. 72.
membaca dan menulis Al-Qur'an guna memenuhi kewajiban beribadah kepada
Allah, seperti shalat.
Cara-cara orang tua mengajarkan anak-anaknya membaca Al-Qur’an
adalah sebagai berikut:
- mengajarkannya sendiri dan cara ini yang terbaik, karena orang tua sekaligus
dapat lebih akrab dengan anak-anaknya dan mengetahui sendiri tingkat
kemampuan anak-anaknya. Ini berarti orang tualah yang wajib terlebih dahulu
dapat membaca Al-Qur'an dan memahami ayat-ayat yang dibacanya.
- menyerahkan kepada guru mengaji Al-Qur'an atau memasukkan anak-anak di
sekolah-sekolah yang mengajarkan baca tulis Al-Qur'an.
- dengan alat yang lebih canggih, dapat mengajarkan Al-Qur'an lewat video
casette jika orang tua mampu menyediakan peralatan semacam ini. Tetapi cara
pertamalah yang terbaik.
Setiap orang tua harus menyadari bahwa mengajarkan Al-Qur'an kepada
anak-anak adalah suatu kewajiban mutlak, sebab bagaimana anak-anak dapat
mengerti ayatnya jika mereka tidak mengerti Al-Qur'an. Selain itu untuk
kepentingan bacaan dalam shalat, anak-anak pun wajib mengetahui dapat
membaca surat Al-Fatihah atau surat-surat lain yang menjadi keperluan, muslim
dalam shalat. Dengan adanya tuntunan kewajiban shalat sehingga orang tua wajib
melatih anaknya sejak umur tujuh tahun mengerjakan shalat, maka mutlak orang
tua harus mengajarkan Al-Qur’an kepada anaknya.30
30 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet
ke-1, h. 87-88.
B. Pembinaan Keberagamaan Anak
1. Pengertian Pembinaan Keberagamaan Anak
Kata pembinaan berasal dari kata “bina” yang berarti bangun, bentuk.31
Jika mendapat awalan me- menjadi " membina " yang mempunyai arti
mengusahakan supaya lebih baik (maju, sempurna, dsb). Pembinaan itu sendiri
berarti usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna untuk
memperoleh hasil yang lebih baik.32 Pembinaan dalam kamus Bahasa Indonesia
kontemporer adalah “proses membina, membangun, atau menyempurnakan,
upaya mendapat hasil yang lebih baik”.
Keberagamaan adalah pembicaraan mengenai pengalaman atau fenomena
yang menyangkut hubungan antar agama dan penganutnya, atau suatu keadaan
yang ada di dalam diri seseorang (penganut agama) yang mendorongnya untuk
bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.33
Kata keberagamaan berasal dari kata “Beragama”. Kata beragama dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu, antara lain:
1. Menganut (memeluk) agama.
2. Beribadah, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama),
misalnya ia berasal dari keluarga yang taat beragama.34
Nurkholis Majid mengemukakan tentang pengertian agama. Menurut
beliau agama merupakan fitrah munazalah (fitrah yang diturunkan) yang diberikan
Allah untuk menguatkan fitrah yang ada pada manusia secara alami. Agama dapat
31 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta:
Modern English, 1991), h. 205. 32 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 117. 33 Djamaludin Ancok, Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 76. 34 J.S. Badudu Sota Mohammad Zein, Kamus Bahasa Indonesia ( Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), Cet ke-1, h. 11
dikatakan sebagai kelanjutan natur manusia sendiri dan merupakan wujud nyata
dari kecenderungan yang dialaminya.
Fitrah beragama dalam diri manusia merupakan naluri yang menggerakkan
hatinya untuk melakukan perbuatan " suci " yang di ilhami oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Fitrah manusia mempunyai sifat suci, yang dengan nalurinya
tersebut ia secara terbuka menerima kehadiran Tuhan Yang Maha Esa.35
Selanjutnya Mohammad Djamaluddin, mendefinisikan keberagamaan
sebagai manifestasi seberapa jauh individu penganut agama meyakini,
memahami, menghayati dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam
semua aspek kehidupan.36
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang
berkaitan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas
yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan
seseorang meliputi berbagai macam sisi dimensi, dengan demikian agama adalah
sebuah sistem yang berdimensi banyak.
Agama, dalam pengertian Glock & Stark adalah sistem simbol, sistem
keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku keterlembagaan, yang semuanya itu
berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi.
Menurut Glock & Stark, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu:
dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan/ praktek agama (ritualistik),
35 Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet ke-1, h. 20. 36 Mohammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi (Yogyakarta:
UGM Press, 1995), h. 44.
dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan
dimensi pengetahuan agama (intelektual).37
Keberagamaan menurut penulis adalah bagaimana seseorang itu
berperilaku dalam agama, ia memahami dan mengamalkan ajaran agamanya
sesuai dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Anak-anak mulai mengenal Tuhan, melalui bahasa. Dari kata-kata orang
yang ada dilingkungannya, yang pada permulaannya diterimanya secara acuh tak
acuh saja. Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa
kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan
ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia akan
ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang tuanya.
Lambat laun tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam
pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis. Maka Tuhan
bagi anak-anak pada permulaan, merupakan nama dari sesuatu yang asing, yang
tidak dikenalnya dan diragukan kebaikan niatnya.38
Perkembangan agama pada masa anak, melalui pengalaman hidupnya
sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingkungan.
Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama, (sesuai dengan ajaran agama),
akan semakin banyak unsur agama, sikap, tindakan, kelakuan dan caranya
menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.39
37 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam atas
Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), Cet ke-1, h. 77. 38 Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 35-36. 39 Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 55.
Pembinaan keberagamaan anak adalah pembinaan agama pada anak yang
dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat
sehingga anak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan mengamalkan
ajaran agama.
Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama
pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada
anak-anak turnbuh mengikuti pola “ideas concept on authority" . Idea keagamaan
pada anak hampir sepenuhnya authoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada
diri mereka dipengaruhi oleh unsur dari luar dari mereka. Hal tersebut dapat
dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang
berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang
dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu
hingga kemashalatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak
sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan
kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang
mereka pelajari dari orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah
untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun ajaran itu belum mereka
sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.40
Dalam Islam penyemaian rasa agama dimulai sejak pertemuan ibu dan
bapak yang membuahkan janin dalam kandungan, yang dimulai dengan do'a
kepada Allah, agar janinnya kelak lahir dan besar menjadi anak saleh. Begitu si
anak lahir, dibisikkan ditelinganya kalimah adzan dan iqamah, dengan harapan
40 Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1993),
Cet ke-2, h. 35.
kata-kata thaiyibah itulah hendaknya yang pertama kali didengar oleh anak,
kemudian ia akan berulang kali mendengar.
Agama bukan ibadah saja, agama mengatur seluruh segi kehidupan.
Semua penampilan ibu dan bapak dalam kehidupan sehari-hari yang disaksikan
dan dialami oleh anak bernafaskan agama, disamping latihan dan pembiasaan
tentang agama, perlu dilaksanakan sejak si anak kecil, sesuai dengan pertumbuhan
dan perkembangan jiwanya.41
Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman
dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Apabila seseorang
yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, maka pada
dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya.
Lain halnya dengan orang yang di waktu kecilnya mempunyai pengalaman-
pengalaman agama, misalnya ibu-bapaknya orang yang tahu beragama,
lingkungan sosial dan kawan-kawannya juga hidup menjalakan agama, ditambah
pula dengan pendidikan agama secara sengaja di rumah, sekolah dan masyarakat.
Maka orang-orang itu akan dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada
hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi
larangan-larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup
beragama.42
Anak mengenal Tuhan, juga melalui ucapan ibunya di waktu ia kecil. Apa
pun yang dikatakan ibunya tentang Tuhan, akan diterimanya dan dibawanya
sampai dewasa.
41 Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, h. 64. 42 Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 35.
Dalam memperkenalkan sifat-sifat Allah kepada anak, hendaklah
didahulukan sifat-sifat Allah yang mendekatkan hatinya kepada Allah, misalnya:
Penyayang, Pengasih, Adil dan lain sebagainya. Dan hendaklah si anak dijauhkan
dari perasaan yang mendorongnya kepada prasangka buruk kepada Tuhan seperti
sifat keras, jahat, kejam dan sebagainya.
Perlu diketahui, bahwa kualitas hubungan anak dan orang tuanya, akan
mempengaruhi keyakinan beragamanya dikemudian hari. Apabila ia merasa
disayang dan diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap
agama dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika yang terjadi
sebaliknya, maka ia menjauhi apa yang diharapkan oarng tuanya, mungkin ia
tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, tidak shalat, tidak puasa
dan sebagainya.43
2. Ruang Lingkup Pembinaan Keberagamaan Anak
Ruang lingkup keberagamaan anak sejalan dengan isi pendidikan agama
Islam di Sekolah Dasar, yang menjadi materi pelajaran pendidikan agama Islam di
sekolah, meliputi empat unsur pokok, yaitu:
1. Keimanan adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, dari padanya timbul
perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.
2. Akhlak adalah perbuatan yang biasa dilakukan tanpa memerlukan pikiran.
3. Ibadah yaitu menyerahkan diri kepada Allah dan selalu mengikuti perintah-Nya
dan menuruti yang dikehendakiNya.
43 Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, h. 65.
4. Al-Qur'an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai pedoman hidup manusia.44
Ruang lingkup bahan pelajaran diatas, merupakan usaha untuk
mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:
1. Hubungan manusia dengan Allah SWT.
2. Hubungan manusia dengan manusia.
3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
4. Hubungan manusia dengan makhluk lain dan alam lingkungannya.45
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan Keberagamaan anak
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi dalam membina keberagamaan
anak, seperti yang dikemukakan oleh Mahyudin dalam bukunya " Konsep Dasar
Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur'an " yang diringkas sebagai berikut:
1). Faktor Pembawaan Naluriah (garizah atau instink)
Sebagai makhluk biologis, ada faktor bawaan sejak lahir yang menjadi
pendorong perbuatan setiap manusia, faktor itu disebut naluri. Naluri tidak pernah
berubah sejak manusia itu lahir, akan tetapi pengaruh negatifnya bisa dikendalikan
oleh faktor pendidikan, latihan atau pembiasaan. Karena faktor naluri ini sangat
terkait dengan nafsu (ammarah dan mutmainah), maka dapat membawa manusia
kepada kehancuran moral, dan dapat pula menyebabkan manusia mencapai
tingkat yang lebih tinggi.46
44 Departemen Agama RI, Panduan Guru Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), tahun 2003. 45 Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 (Jakarta:
Puskur-Dit. PGTK S, 2003), h. 318. 46 Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk
Penerapannya dalam Hadits (Jakarta: CV. Kalam Mulia, 2000), h. 25.
Tatkala naluri manusia cenderung kepada perbuatan buruk, maka akal dan
tuntunan agama dapat mengendalikannya. Tetapi tatkala naluri itu cenderung
kepada perbuatan baik, maka akal dan tuntunan agama yang dapat memberikan
jalan seluas-luasnya untuk meningkatkan intensitas perbuatan itu. Disinilah
perlunya manusia memiliki agama sebagai pengendali dan menuntun dalam
hidupnya.47
2). Faktor Sifat-sifat Keturunan dan Pendidikan
Sifat-sifat keturunan dari orang tua kepada keturunannya ada dua, yaitu
sifat langsung dari kedua orang tua kepada anaknya, dan sifat tidak langsung yang
tidak turun kepada anaknya, tetapi bisa turun kepada cucunya atau anaknya. 48
Disamping adanya sifat bawaan anak sejak lahir (naluri dan sifat
keturunan), sebagai potensi dasar untuk mempengaruhi perbuatan manusia ada
juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya, yaitu pendidikan dan tuntunan
agama. Semakin besar pengaruh faktor pendidikan dan tuntunan agama kepada
manusia, semakin kecil pula kemungkinan warisan sifat-sifat buruk orang tua
dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya. Dengan demikian peranan orang tua
menjadi sangat penting dalam membentuk anaknya menjadi manusia yang
beragama, berilmu dan berakhlak.
3). Faktor Lingkungan dan Adat Kebiasaan
Pertumbuhan dan perkembangan manusia, ditentukan oleh faktor dari luar
dirinya, yaitu faktor pengalaman yang disengaja maupun yang tidak. Pengalaman
47 Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk
Penerapannya dalam Hadits, h. 26. 48 Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk
Penerapannya dalam Hadits, h. 27.
yang disengaja termasuk pendidikan dan latihan, sedangkan yang tidak disengaja
termasuk lingkungan alam dan lingkungan sosialnya (adat kebiasaan).49
Ketika manusia lahir di lingkungan yang baik, maka pengaruhnya kepada
pembentukan perilaku/ akhlaknya juga baik. Bila ia lahir di lingkungan yang
kurang baik, maka akhlaknya juga menjadi tidak baik. Tuntunan agama sangat
diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan akhlak manusia.
4). Faktor Agama
Agama sebagai suatu sistem kepercayaan, maka ia harus selalu menjadi
pegangan dalam spiritual yang membentuk ajaran keimanan dan ketakwaannya,
yang akan menjadi motivasi dan pengendali dalam setiap sikap dan perilaku hidup
manusia.50
Tatkala manusia itu mendapatkan kesenangan maka ia tidak takabur dan
sombong, tetapi ia harus bersyukur kepada zat yang memberikan kesenangan
yaitu Allah. Ketika ia ditimpa kesusahan sebagai suatu cobaan hidupnya maka ia
tidak putus asa, tetapi ia harus bersabar menerima ketentuan Allah dan berusaha
menghindarinya.
49 Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 28.
50 Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 29.
BAB III
GAMBARAN UMUM LATAR BELAKANG ORANG TUA DAN
MI AL-IHSAN
A. Orang Tua
Untuk mengetahui sejauh mana peranan orang tua di rumah, sedikit akan
disinggung mengenai latar belakang orang tua, dilihat dari tingkat pendidikan,
ekonomi dan juga dari komunitas atau kehidupan sosialnya.
1. Latar Belakang Pendidikan
Setelah penulis teliti tentang latar belakang pendidikan orang tua ternyata
sebagian besar para orang tua tersebut dapat mengenyam pendidikan baik dari
tingkat sekolah dasar (SD), tingkat menengah bawah (SLTP), tingkat atas (SLTA)
maupun perguruan tinggi (PT). Adapun jumlah para orang tua yang lulus
perguruan tinggi (PT) kurang lebih 20 %, lulusan SLTA 30 %, lulusan SLTP 20
% dan sisanya adalah lulusan sekolah dasar (SD). Tingkat pendidikan yang tinggi
inilah yang menunjang keberhasilan mereka dalam mendidik putera-puterinya
menjadi generasi yang mempunyai imtaq dan iptek.
Dengan banyaknya orang tua yang berpendidikan SLTP, SLTA dan
bahkan perguruan tinggi maka dari mereka ada yang berprofesi sebagai guru,
wiraswasta dan tentu saja sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai pegawai
di suatu perusahaan, ada juga dari mereka yang bekerja sebagai buruh seperti:
buruh supir, tukang bangunan dan lain-lain, menjadi guru mengaji di daerah
lingkungan mereka dan menjadi ibu rumah tangga bagi putera-puteri mereka. 1
2. Keadaan Ekonomi
Pola perekonomian orang tua MI Al-Ihsan dapat dilihat melalui mata
pencaharian. Apabila dilihat berdasarkan sumber mata pencaharian orang tua yang
berada di lingkungan MI Al-Ihsan, pada umumnya mereka berprofesi sebagai
guru sekolah, wiraswasta, pegawai, buruh, dan ada juga yang berprofesi sebagai
guru mengaji di rumah mereka.
Mata pencaharian orang tua selain berprofesi seperti yang disebutkan
diatas, ada juga sebagian orang tua yang mempunyai pekerjaan tambahan dengan
berdagang atau membuka warung sembako di rumah-rumah. Pekerjaan ini
biasanya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga, warung-warung tersebut biasanya
dibuat di depan rumah mereka dengan memanfaatkan sebuah ruangan yang ada di
rumah mereka. Dengan melihat berbagai macam mata pencaharian orang tua
murid diatas maka dapat disimpulkan bahwa keadaan ekonominya dalam taraf
menengah kebawah atau mapan. Dominasi terkuat adalah mereka para buruh,
pedagang atau wiraswasta sedangkan guru dan pegawai hanya beberapa orang
saja.2
3. Keadaan Komunitas
Manusia adalah makhluk sosial atau yang hidup bermasyarakat, ini tidak
dapat dipungkiri lagi. Baik jauh di puncak gunung, di tengah lautan belantara,
manusia itu akan mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu
kehidupan sosial masyarakat atau orang tua MI Al-Ihsan satu sama lain saling
1 Laporan tentang Latar Belakang Pendidikan Orang Tua MI Al-Ihsan. Jakarta, 12 Juni 2006.
2 Laporan tentang Keadaan Ekonomi Orang Tua MI Al-Ihsan. Jakarta, 12 Juni 2006.
membantu dan rasa saling membutuhkan. Manusia tidak dapat hidup menyendiri,
karena manusia memerlukan hubungan satu dengan yang lainnya, mereka
memerlukan sarana penunjang perkembangan hidupnya. Akan tetapi yang pasti
seluruh umat manusia di dunia ini hidup bermasyarakat baik dari golongan kecil
maupun golongan besar.
Pada umummnya kehidupan masyarakat atau orang tua MI Al-Ihsan
dikenal sebagai masyarakat religius (taat beragama). Mereka terdiri dari 80 %
pribumi (asli betawi) dan 20 % non pribumi (masyarakat pendatang). Mereka
merupakan keluarga besar yang mempunyai hubungan kekerabatan atau
persaudaraan.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka satu sama lain selalu menjaga tali
silaturrahmi antara tetangga dan berusaha untuk berbuat baik. Hal ini penulis
rasakan bahwa setiap masyarakat yang penulis jumpai begitu ramah, sopan dan
menerima dengan tangan terbuka terhadap tamu atau tetangga yang datang
kerumahnya.
Di daerah lingkungan MI Al-Ihsan terlihat juga, suatu pola hidup yang
tentram, tenang, rukun dan harmonis. Kerjasama, gotong-royong, sikap saling
tolong-menolong dan hormat menghormati masih melekat kuat pada jiwa setiap
masyarakat. Semua hal yang baik ini dilakukan pada setiap aktivitasnya.
Sistem gotong royong dan kerjasama yang mereka lakukan juga sudah
melekat kuat pada jiwa setiap masyarakat, misalnya saja bila ada warga
masyarakat yang mempunyai rencana untuk membersihkan lingkungan atau pun
kerja bakti lainnya, mereka akan melakukannya dengan senang hati. Begitu juga
apabila ada hari-hari besar Islam seperti Isra Mi'raj, Maulid Nabi, dan lain-lain
mereka akan saling membantu mempersiapkan segala macam untuk acara
tersebut. Bila ada suatu masalah, masyarakat tersebut berusaha menyelesaikan
masalah tersebut dengan cara musyawarah. Mereka disebut sebagai masyarakat
yang saling berkaitan satu sama lain, berkelompok dan bersosialisasi.3
B. MI Al-Ihsan
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangan MI Al-Ihsan
Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan merupakan lembaga pendidikan yang
berada di bawah naungan Yayasan Al-Ihsan Cipete Selatan-Cilandak, Jakarta
Selatan dan juga berada di bawah naungan Departemen Agama (DEPAG).
Madrasah Ibtidaiyah ini mulai didirikan pada tanggal 20 Juli 1998 yang berlokasi
di jalan H. Abu No. 28 A Cipete Selatan-Cilandak, Jakarta Selatan.
Awal berdiri Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan ini adalah tanah pemberian
dari keluarga besar H. Mahbub, yang kemudian di wakafkan kepada Yayasan Al-
Ihsan yang selanjutnya Yayasan Al-Ihsan mempunyai gagasan untuk mendirikan
sebuah lembaga formal. Sedangkan Yayasan Al-Ihsan itu masing-masing
mempunyai pengurus yang memegang jabatan sendiri-sendiri. Atas prakarsa
tersebut kemudian didirikan sebuah lembaga formal yaitu Madrasah Ibtidaiyah
Al-Ihsan yang setara dengan Sekolah Dasar (SD) yang diketuai oleh Bapak Drs.
Mahyudin HF sebagai kepala sekolah.
Di madrasah ini ada juga sekolah Raudhatul Athfal atau Taman Kanak-
kanak (TK) Islam Al-Ihsan. Adapun luas sekolah adalah 500 M, lapangan bola
200 M, taman bermain 100 M, serta luas mesjid adalah 1000 M. Sekolah ini
3 Laporan tentang Keadaan Komunitas Orang Tua MI Al-Ihsan. Jakarta, 13 Juni 2006.
terdiri dari 9 lokal ruang belajar, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang
komputer, perpustakaan, kamar kecil guru dan murid, mesjid, lapangan sekolah,
serta lapangan olah raga. Gedung sekolah adalah bangunan permanen dengan 2
lantai. Lantai dasar atau lantai 1 adalah untuk sekolah TK sedangkan lantai 2
untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI). Lokasi sekolah ini tidak jauh dari kendaraan
umum, lapangan parkir kendaraan baik roda dua (motor) maupun kendaraan roda
empat (mobil) cukup luas. Alat-alat bermain yang disediakan baik untuk TK
maupun MI Al-Ihsan juga lengkap. Waktu belajar dilaksanakan pada pagi hari.
MI tersebut sejak didirikannya pada tahun 1998 sampai sekarang berstatus
Terakreditasi B. Semua buku umum pegangan siswa penerbitnya adalah PT.
Airlangga dan buku pelajaran agama penerbitnya adalah PT. Toha Putra.
MI Al-Ihsan memiliki visi, misi dan tujuan. Adapun visinya adalah
Unggul, Inovatif, Terampil dan berwawasan IPTEK dan IMTAQ.
a). Unggul dalam; bidang akademis, bidang olah raga, bidang sikap dan
keterampilan dan kreativitas berdasarkan imtaq.
b). Inovatif; kaya akan ide pembaharuan, peka terhadap perkembangan dan
berorientasi ke masa depan.
c). Terampil; mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, mampu
menguasai dasar-dasar bahasa Arab dan Inggris, mampu mengamalkan wudhu
dan shalat dengan baik dan mampu membaca Al-Qur'an dengan baik.
d). Berwawasan Iptek; berfikir kreatif, berfikir objektif dan rasional berdasarkan
Imtaq dan peka perkembangan Iptek yang berdasarkan Imtaq.
Menumbuh kembangkan semangat belajar dan beramal, menumbuh
kembangkan beraktivitas, mengembangkan kreativitas dalam bidang Intra dan
Ekstra, dan menumbuhkan Life Skill (Rencana Hidup) adalah merupakan misi
dari MI Al-Ihsan.
Ada dua tujuan yang terdapat pada MI Al-Ihsan yaitu, Tujuan Akademik
dan Tujuan Non Akademik, Tujuan Akademiknya yaitu: Meningkatkan prestasi
anak didik dan Output siswa yang dapat bersaing. Tujuan Non Akademiknya
yaitu: Meningkatkan kepribadian yang Islami, meningkatkan kemampuan baca
Al-Qur'an, meningkatkan kemampuan Ibadah Shalat dan meningkatkan
kemampuan bidang Seni (Marawis, Drum Band, dan Qosidah).
Sejak didirikannya sampai sekarang MI Al-Ihsan mengalami
perkembangan yang cukup pesat karena adanya kerjasama antara guru dan para
orang tua serta dukungan dan bantuan orang tua murid yang cukup tinggi terhadap
perkembangan MI Al-Ihsan sehingga sekolah ini dapat berjalan dengan baik dan
lancar. 4
C. Organisasi dan Tujuan Struktur Organisasi
Struktur Organisasi
Agar pelaksanaan tugas sekolah berjalan dengan baik dan lancar, maka
dibutuhkan komponen-komponen yang saling mendukung satu sama lain.
Kegiatan antara komponen tersebut dapat dipahami dan dijadikan pedoman dalam
bekerjasama jika dituangkan dalam struktur organisasi. Adapun struktur
organisasi MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan terlihat bahwa dalam
melaksanakan tugasnya kepala sekolah bekerjasama dan bertanggung jawab
kepada Ketua yayasan Al-Ihsan yaitu Ust. H. Bukhori Kholid atau menjadi
4 Wawancara Pribadi dengan Drs. Mahyudin HF, Kep-Sek MI Al-Ihsan. Jakarta, 14 Juni
2006.
manager di Yayasan Al-Ihsan tersebut. Dan kepala sekolah juga bekerjasama
dengan BP 3 dan dibantu oleh pembantu sekolah yang terdiri dari Bendahara dan
Kaur Tata Usaha, kepala sekolah juga dibantu oleh pembantu bidang Kurikulum,
bidang Kesiswaan, bidang Humas, bidang B & P dan para dewan guru dan
sejumlah seksi-seksinya, Struktur organisasi ini diambil dalam program kerjasama
MI Al-Ihsan Cipete Selatan tahun 2005-2006.5 Untuk lebih jelasnya bagan
organisasi ini dapat dilihat pada lampiran.
Tujuan Berdirinya
Tujuan berdirinya MI Al-Ihsan Cipete Selatan ini sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan
kewajiban belajar yang bisa menjadikan manusia unggul, inovatif, terampil dan
berwawasan dalam IPTEK dan IMTAQ dan juga menjadikan manusia berakhlak
mulia serta berbudi luhur.6
D. Keadaan Guru, Murid dan Karyawan Keadaan Guru
Keadaan Guru
Berdasarkan hasil survey dilokasi penelitian, diperoleh data bahwa jumlah
pengajar yang ada di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan pada tahun
ajaran 2005-2006 berjumlah 15 orang yang terdiri dari 13 orang guru tetap dan 2
orang guru PNS . Jenjang pendidikan, golongan dan bidang studi yang dipegang
oleh tenaga pengajar cukup tinggi ada yang Strata satu (SI), Sarjana Muda,
5 Wawancara Pribadi dengan Dahlia, SAg, Guru MI Al-Ihsan. Jakarta, 14 Juni 2006. 6 Wawancara Pribadi dengan Tasu’ah, SAg, Guru MI Al-Ihsan. Jakarta, 15 Juni 2006.
Diploma dua dan tiga, dan ada juga yang lulusan dari SLTA. Untuk lebih jelasnya
terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Keadaan Guru Tahun Ajaran 2005-2006
No Nama Guru L/P
Pendidikan Terakhir/Jurusan
Jabatan
1 Drs. Mahyudin HF L S 1/ Dakwah Kep-Sek
2 Dahlia, SAg P S 1/ Tarbiyah Guru
3 Neneng R., SAg P S 1/ Tarbiyah Guru
4 Tasu’ah, SAg P D III/ Tarbiyah Guru
5 Mundhiroh, SAg P S 1/ Tarbiyah Guru
6 Dra. Umronah P S 1/ Dakwah Guru
7 Atikah Lestari P D II/ Dakwah Guru
8 H. Ahfaz, HZ L D III/ Dakwah Guru
9 Syafi’I, SGO L D III/ Olah Raga Guru
10 A. Syafi’I A., SE L S 1/ Akuntansi Guru
11 Siti Hilwani P S 1/ Dakwah Guru
12 Mulyadi L S 1/ Akuntansi Guru
13 Siti Maruwah, SE P S 1/ Manajemen Guru
14 Heru L SLTA Guru
15 Arman L SLTA Guru
Dari tabel tersebut terlihat terdapat 15 guru di MI Al-Ihsan Cipete-
Cilandak, Jakarta Selatan, dengan perincian: kepala sekolah, guru dengan masing-
masing bidang studi yang dipegang, guru olah raga dan guru pramuka. Adapun
yang lulusan SI 9 orang, D II 1 orang, D III 3 orang lulusan SLTA 2 orang.
Adapun jurusan yang diambil oleh para guru sewaktu mereka kuliah adalah
jurusan Dakwah, Tarbiyah, Manajemen, Akuntansi dan Olah Raga.7
Keadaan Karyawan
Dalam suatu lembaga pendidikan tidak hanya membutuhkan tenaga
pendidik saja, akan tetapi memerlukan bantuan tenaga pengawas, seperti tenaga
Tata Usaha (TU) dan penjaga sekolah. Karyawan di MI Al-Ihsan berjumlah 2
orang, 1 orang sebagai staf TU yang bernama Abdul Rasyid dan 1 orang sebagai
pembantu umum yang mengurusi kebersihan lingkungan sekolah sekaligus
penjaga sekolah yang bernama Sulaiman lulusan SLTP.8
Keadaan Murid
Jumlah murid MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan pada tahun
ajaran 2005-2006 berjumlah 192 murid, yang terdiri dari kelas I 35 orang, kelas II
36 orang, kelas III 36 orang, kelas IV 32 orang, kelas V 23 orang dan kelas VI 30
orang. Dari kelas I sampai kelas VI masing-masing memiliki satu kelas.9 Kegiatan
yang dilaksanakan oleh murid-murid ialah antara lain Pramuka, Musik Marawis,
Qosidah, Drum Band, dan kegiatan keagamaan. Untuk lebih jelasnya tentang
keadaan siswa terlihat pada tabel berikut:
7 Laporan Keadaan Guru MI Al-Ihsan. Jakarta, 15 Juni 2006. 8 Laporan Keadaan Karyawan MI Al-Ihsan. Jakarta, 15 Juni 2006. 9 Laporan Keadaan Murid MI Al-Ihsan. Jakarta, 15 Juni 2006.
Tabel 2
Keadaan Murid
Tahun Ajaran 2005-2006
No Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah
1 I 18 17 35
2 II 19 17 36
3 III 20 16 36
4 IV 17 15 32
5 V 12 11 23
6 VI 15 15 30
Jumlah 101 91 192
Dari tabel tersebut menunjukkan jumlah siswa laki-laki MI Al-Ihsan lebih
banyak dibanding siswa perempuan. Dan perbandingannya tidak terlalu jauh
antara siswa laki-laki dan perempuan. Dari kelas I sanipai kelas VI masing-
masing dibagi menjadi satu kelas.
E. Sarana dan Prasarana
Berdasarkan hasil survey diperoleh data bahwa MI Al-Ihsan memiliki
sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, baik berupa fisik bangunan
seperti gedung dan tempat belajar maupun nonfisik seperti kurikulum, metode
pendidikan dan suasana dalam belajar.
Sarana fisik bangunan yang ada di MI Al-Ihsan seperti gedung sekolah,
ruang belajar atau kelas, ruang kantor, ruang perpustakaan dan ruang lain-lain
yang merupakan sarana belajar yang terus menerus mengalami kemajuan yang
pesat, terbukti dengan gedung sekolah yang megah dan permanen yang memiliki
2 lantai dan dilengkapi dengan sarana belajar yang baik.10 Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3
Keadaan Sarana dan Prasarana
Tahun Ajaran 2005-2006
No Nama Jumlah Keadaan
1 Ruang Belajar 9 Baik
2 Ruang Kep-Sek 1 Baik
3 Ruang Guru 1 Baik
4 Ruang TU 1 Baik
5 Perpustakaan 1 Baik
6 Ruang UKS 1 Baik
7 Mesjid 1 Baik
8 Kamar Kecil Guru 1 Baik
9 Kamar Kecil Maulid 1 Baik
10 Ruang Aula 1 Baik
11 Ruang Komputer 1 Baik
12 Lapangan Upacara 1 Baik
13 Lapangan Kasti/ Sepak Bola 1 Baik
14 Kantin 1 Baik
15 Gudang 1 Baik
10 Laporan Keadaan Sarana dan Prasarana MI Al-Ihsan. Jakarta, 16 Juni 2006.
Dari tabel diatas terlihat terdapat sarana dan prasarana di MI Al-Ihsan
yang terdiri dari 9 ruang belajar, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1 ruang
TU, 1 Perpustakaan, 1 ruang UKS, 1 mesjid, 1 kamar kecil guru, 1 kamar kecil
murid, I ruang aula, 1 ruang komputer, 1 lapangan upacara, 1 lapangan sepak
bola, 1 kantin dan 1 buah gudang.
Demikianlah sarana dan prasarana yang ada di MI Al-Ihsan Cipete-
Cilandak, Jakarta Selatan yang telah banyak membantu dalam kegiatan belajar
mengajar.
BAB IV
PERANAN ORANG TUA DALAM PEMBINAAN KEBERAGAMAAN
ANAK DI MI AL-IHSAN
A. Analisa Sosiologis Peranan Orang Tua
Untuk mengetahui peranan orang tua sebagai pembimbing, orang tua
sebagai teladan dan orang tua sebagai pengawas dalam membina keberagamaan
anak di MI Al-Ihsan penulis mengajukan pada tiap variabel dengan memberikan 8
item pertanyaan, yang diberikan kepada jumlah responden yang telah ditentukan
dalam sampel yaitu 30 orang tua MI Al-Ihsan. Penulis memberi skor pada tiap
item jawaban yang seluruhnya berjumlah 24 pertanyaan. Untuk jawaban A=4,
untuk jawaban B=3, untuk jawaban C=2, dan untuk jawaban D=l.
1. Orang Tua Sebagai Pembimbing
Tabel 4
Persentase Rata-rata Jawaban Mengenai
Orang Tua Sebagai Pembimbing
No Alternatif Jawaban P 1 Sangat penting 52,5 % 2 Penting 28,75 % 3 Biasa-biasa saja 16,25 % 4 Tidak penting 2,5 %
100 % Sumber Data: Angket Penelitian 2006
Dari tabel diatas dapat diketahui, bahwa rata-rata sebagian besar orang tua,
tepatnya sekitar 52,5 % orang tua menyatakan sangat penting dalam membimbing
anak-anak mereka supaya mereka lebih terarah dan terdidik dengan baik,
sementara sebagian kecil yaitu sekitar 2,5 % orang tua menyatakan tidak penting
dalam membimbing anak-anak mereka. Diantara bimbingan yang diberikan orang
tua kepada anak-anaknya antara lain adalah melatih anak mengerjakan shalat,
belajar membaca al-Qur’an, latihan berpuasa di bulan Ramadhan. Menurut
penulis, bimbingan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya sudah baik
terbukti dengan angka yang sangat tinggi yang menyatakan orang tua sangat
penting dalam membimbing anak-anaknya dengan begitu perhatian orang tua
sudah baik.
2. Orang Tua Sebagai Teladan
Tabel 5
Persentase Rata-rata Jawaban Mengenai
Orang Tua Sebagai Teladan
No Alternatif Jawaban P 1 Selalu dilaksanakan 12,9 % 2 Sering dilaksanakan 44,2 % 3 Kadang-kadang 22,1 % 4 Tidak pernah 20,8 % 100 %
Sumber Data: Angket Penelitian 2006
Dari tabel diatas dapat diketahui, bahwa rata-rata sebagian besar orang tua,
tepatnya sekitar 44,2 % orang tua menyatakan sering memberikan keteladanan
kepada anak-anaknya, sementara sebagian kecil yaitu sekitar 12,9 % orang tua
menyatakan selalu memberikan keteladanannya. Keteladanan yang diberikan
orang tua kepada anak-anak mereka antara lain adalah shalat berjamaah, membaca
al-Qur’an, berpuasa di bulan Ramadhan. Menurut penulis, keteladanan yang
diberikan orang tua kepada anak-anaknya baik yaitu dengan mengajak anak-
anaknya untuk shalat berjamaah, mengaji, dengan begitu orang tua juga sudah
memperhatikan anak-anaknya dengan baik.
3. Orang Tua Sebagai Pengawas
Tabel 6
Persentase Rata-rata Jawaban Mengenai
Orang Tua Sebagai Pengawas
No Alternatif Jawaban P 1 Sangat perlu 26,25 % 2 Perlu 27,5 % 3 Kurang perlu 33,75 % 4 Tidak perlu 12,5 % 100 %
Sumber Data: Angket Penelitian 2006
Dari tabel diatas dapat diketahui, bahwa rata-rata sebagian besar orang tua,
tepatnya sekitar 33,75 % orang tua menyatakan kurang perlu dalam memberikan
pengawasan kepada anak-anaknya, sementara sebagian sebagian kecil yaitu
sekitar 12,5 % orang tua menyatakan tidak perlu dalam memberikan pengawasan.
Diantara pengawasan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya antara lain
adalah memotivasi anak dalam kegiatan keagamaan, menegur dan menasehati
anak, menjauhkan anak dari kata-kata kotor dan keji. Menurut penulis,
pengawasan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya kurang baik karena
kebanyakan orang tua menyatakan kurang perlu dalam mengawasi anak-anaknya
sehingga mereka kurang mengontrol anak-anaknya dan kurangnya tanggung
jawab mereka.
B. Hambatan-hambatan yang dihadapi Orang Tua dalam Pembinaan
Keberagamaan Anak
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari beberapa responden yang
berhasil diwawancarai, terungkap bahwa faktor penghambat yang dihadapi orang
tua dalam usaha membina keberagamaan anak adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan
a). Orang Tua
- Faktor penghambat yang dihadapi orang tua dalam hal pendidikan terdapat pada
orang tua itu sendiri. Orang tua hanya menginginkan anaknya sekolah sampai
sekolah dasar (SD) saja khususnya untuk anak perempuan, karena jika ia
sekolah tinggi-tinggi maka kelak ia hanya akan menjadi ibu rumah tangga,
karena para orang tua juga dulunya hanya tamatan SD / SR.1
b). Ekonomi
-Faktor ekonomi juga menjadi penghambat orang tua dalam membina
keberagamaan anak dikarenakan ekonomi orang tua yang terbatas sehingga
tidak adanya pemasukan.2
c). Lingkungan
- Lingkungan yang tidak mendukung juga menjadi faktor penghambat orang tua
dalam membina anak-anak mereka.3
1 Wawancara Pribadi dengan Siran, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta, 20 Juni
2006. 2 Wawancara Pribadi dengan Asmat, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta, 21 Juni
2006. 3 Wawancara Pribadi dengan Abdul Qodir, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta, 22
Juni 2006.
2. Ekonomi
- Hambatan orang tua juga terdapat pada masalah mata pencaharian, karena
sebagian besar mata pencaharian orang tua adalah buruh, baik buruh bangunan
atau pun buruh supir, pedagang atau wiraswasta sehingga tidak adanya
penghasilan yang tetap dari orang tua.
- Kurangnya pemasukan atau pendapat orang tua sehingga tidak terpenuhinya
kebutuhan hidup yang tinggi dalam sehari-harinya.
- Tidak adanya keterbukaan antara orang tua dan anak dalam masalah ekonomi
atau pendapatan orang tua. Intinya orang tua tidak menjelaskan pendapatannya
sehari-hari kepada anak-anak mereka.4
3. Pengawasan
- Kurang objektif antara orang tua dan anak
- Kurang adanya tanggung jawab orang tua di luar sekolah, misalnya saja orang
tua tidak menanyakan bagaimana sekolah anaknya hari ini, tidak menanyakan
pekerjaan sekolah (PR), dan lain-lain.
- Kurangnya pengontrolan orang tua terhadap anak di rumah khususnya dalam
bidang keagamaan, misalnya orang tua jarang memerintahkan anaknya untuk
shalat, mengaji dan lain-lain.5
4. Keteladanan
- Keteladanan orang tua terhadap anaknya baik, tetapi kurang disadari nilai-nilai
agama terhadap anak tersebut. Misalnya; orang tua menyuruh anak shalat
4 Wawancara Pribadi dengan H. Syamsuddin, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta
23 Juni 2006. 5 Wawancara Pribadi dengan H. Khaeruddin, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta,
23 Juni 2006.
berjamaah di mesjd/musholla tetapi orang tuanya sendiri tidak melaksanakannya
secara jamaah, orang tua menyuruh anaknya mengaji dirumah tetapi orang
tuanya sendiri tidak mengaji, dan lain-lain.6
6 Wawancara Pribadi dengan H. Sahlani, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta, 24 Juni 2006.
DAFTAR PUSTAKA
Al Baghdadi, Abdurrahman. Emansipasi, Adakah dalam Islam; Suatu Tinjauan
Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Jakarta:Gema Insani Press, 1997. Cet ke-9.
Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Cet ke-1. Ancok, Djamaluddin. Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Ancok, Djamaluddin dan Suroso, Fuad Nashori. Psikologi Islam: Solusi Islam
atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994. Cet ke-1.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 1996. Cet ke-10. Bawarni, Susi Dwi dan Mariani, Arifin. Potret Keluarga Sakinah. Media Idaman
Press, 1993. Cet ke-1. Berry, David. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali, 1981. Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. ---------------------- Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996. Cet ke-15. --------------------- Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV.
Ruhama, 1995. Cet ke-2. Departemen Agama RI. Panduan Guru Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Cet ke-1. Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004. Jakarta:
Pus Kur-Dit PGTK SD, 2003. Djamaluddin, Mohammad. Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi. Yogyakarta:
UGM Press, 1995. Gerungan, W.A. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresco, 1987. Cet ke-10.
Hasan, Maimunah. Membangun Kreativitas Anak secara Islami. Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001.
Husain, Akhlak. Menjadi Orang Tua (Muslim) Terhormat. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Istiadah. Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Kerjasama
antara Lembaga Kajian Agama dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas
Perempuan, 1999. Cet ke-1.
Jalaluddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia,
1993. Cet ke-2. Kartono, Kartini. Seri Psikologi Terapan IV: Mengenal Dunia Kanak-kanak.
Jakarta: CV. Rajawali, 1985. Cet ke-1. Kasiram, Mohammad. Ilmu Jiwa: Perkembangan Bagian Ilmu Jiwa Anak.
Surabaya: Usaha Nasional, 1983. Laporan tentang Latar Belakang Pendidikan Orang Tua MI Al-Ihsan. Jakarta, 12
Juni 2006. Laporan tentang Keadaan Ekonomi Orang Tua MI Al-Ihsan. Jakarta, 12 Juni
2006. Laporan tentang Keadaan Komunitas Orang Tua MI Al-Ihsan. Jakarta, 13 Juni
2006. Laporan keadaan Guru MI Al-Ihsan. Jakarta, 15 Juni 2006. Laporan keadaan Karyawan MI Al-Ihsan. Jakarta, 15 Juni 2006. Laporan keadaan Murid MI Al-Ihsan. Jakarta, 15 Juni 2006. Laporan keadaan Sarana dan Prasarana MI Al-Ihsan. Jakarta, 16 Juni 2006. Mahyudin. Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk
Penerapannya dalam Hadits. Jakarta: CV. Kalam Mulia, 2000. Salim, Peter dan Salim, Yenny. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Modern English, 1991. Shahab, Salwa. Membina Muslim Sejati. Gresik: Penerbit Karya Indonesia, 1989.
Cet ke-1.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Keluarga: Tentang Ihwal Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Cet ke-2.
----------------------- Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 1987. Cet
ke-8. Subhan, Zaitunah. Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam: Agenda Sosial-
Kultural dan Politik Peran Perempuan. Jakarta: el-Kahfi, 2002. Cet ke-1. Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Cet ke-1. Syahatah, Husein. Ekonomi Rumah Tangga Muslim. Jakarta: Gema Insani Press,
1998. Cet ke-1. Thalib, M. Pedoman Mendidik Anak menjadi Shalih. Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1996. Cet ke-1. ------------ 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak. Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1995. Cet ke-9. Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Sosial Anak: Pendidikan Anak menurut
Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992. Cet ke-2. Wawancara Pribadi dengan Drs. Mahyudin HF Kepala Sekolah MI Al-Ihsan.
Jakarta, tanggal 20 Juni 2006. Wawancara Pribadi dengan Dahlia, SAg, Guru MI Al-Ihsan. Jakarta, tangga 14
Juni 2006.
Wawancara Pribadi dengan Tasu’ah, SAg, Guru MI Al-Ihsan. Jakarta, 15 Juni
2006.
Wawancara Pribadi dengan Siran, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta, 20
Juni 2006.
Wawancara Pribadi dengan Asmat, Orang Tua kelas VI MI AL-Ihsan. Jakarta, 21
Juni 2006.
Wawancara Pribadi dengan Abdul Qodir, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan.
Jakarta, 22 Juni 2006.
Wawancara Pribadi dengan H. Syamsuddin, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta:23 Juni 2006.
Wawancara Pribadi dengan H. Khaeruddin, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan.
Jakarta, 23 Juni 2006. Wawancara Pribadi dengan H. Sahlani, Orang Tua kelas VI MI Al-Ihsan. Jakarta,
24 Juni 2006. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an (YPPA). Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Jakarta: YPPA, 1971. Yin, Robert K. Studi Kasus. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Yunus, H. Mahmud. Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: PT.
Hidakarya Agung, 1990. Cet ke-3. Zein, J.S. Badudu Sota Mohammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994. Cet ke-1.
ANGKET
“Peranan Orang Tua Dalam Pembinaan Keberagamaan Anak
(Studi Kasus: di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan)”
Petunjuk Pengisian
1. Bacalah dengan baik setiap pertanyaan dan alternatif jawabannya.
2. Jawablah pertanyaan tersebut dengan memilih salah satu alternatif
jawaban yang ada dengan memberikan tanda (X).
3. Angket ini tidak mengurangi nilai prestasi anak Anda.
4. Tidak perlu mencantumkan nama dan identitas lainnya.
5. Naskah ini harus segera dikembalikan setelah diisi.
A. Pertanyaan Orang Tua Sebagai Pembimbing
1. Pendapat Anda tentang pentingnya pendidikan agama bagi kehidupan anak
kita:
a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja
b. Penting d. Tidak penting
2. Pendapat Anda tentang melatih anak dalam mengerjakan shalat di rumah:
a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja
b. Penting d. Tidak penting
3. Membiasakan anak belajar membaca Al-Qur’an di rumah:
a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja
b. Penting d. Tidak penting
4. Bimbingan/ latihan berpuasa pada bulan Ramadhan bagi anak-anak kita:
a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja
b. Penting d. Tidak penting
5. Membiasakan anak bersikap sopan santun kepada orang tua, orang yang lebih
tua, guru dan sebagainya:
a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja
b. Penting d. Tidak penting
6. Membiasakan anak bila hendak keluar dan masuk rumah mengucapkan salam,
pamit dan minta izin kepada kedua orang tua jika hendak bepergian:
a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja
b. Penting d. Tidak penting
7. Kisah para Nabi/ Rasul dan kisah-kisah umat terdahulu merupakan contoh bagi
kita, anak diajak bercerita tentang kisah-kisah tersebut:
a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja
b. Penting d. Tidak penting
8. Tolong-menolong sesama teman dan infaq shadaqoh untuk kebaikan
merupakan akhlak terpuji. Anak diperintahkan berbuat yang demikian:
a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja
b. Penting d. Tidak penting
B. Pertanyaan Orang Tua Sebagai Teladan
1. Mengerjakan shalat berjamaah di rumah bersama keluarga:
a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang
b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah
2. Membaca Al-Qur’an sehabis shalat Maghrib di rumah bersama keluarga:
a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang
b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah
3. Memberikan hadiah/ pujian bagi anak yang berprestasi di sekolah, maupun di
lingkungan masyarakat:
a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang
b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah
4. Berpuasa di bulan Ramadhan bersama anak-anak sekeluarga:
a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang
b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah
5. Berkata sopan santun, penuh kasih sayang terhadap anak di rumah:
a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang
b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah
6. Tolong-menolong, saling menghormati, saling mengasihi dan saling
menyayangi antar anggota keluarga dibiasakan pada kehidupan sehari-hari:
a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang
b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah
7. Bersikap jujur, adil & bijaksana terhadap anak-anak di rumah, dalam
kehidupan sehari-hari:
a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang
b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah
8. Keikutsertaan anak dalam kunjungan silaturrahmi ke rumah famili:
a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang
b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah
C. Pertanyaan Orang Tua Sebagai Pengawas
1. Jika perintah Anda tidak dilaksanakan anak, apakah perlu adanya hukuman:
a. Sangat perlu c. Kurang perlu
b. Perlu d. Tidak perlu
2. Memotivasi anak untuk aktif dalam kegiatan keagamaan seperti Maulid Nabi,
Isra Mi’raj, Muharram dan Nuzulul Qur’an:
a. Sangat perlu c. Kurang perlu
b. Perlu d. Tidak perlu
3. Pendapat Anda tentang kerjasama orang tua dengan guru sekolah/ TPA yang
berhubungan dengan akhlak dan prestasi anak:
a. Sangat perlu c. Kurang perlu
b. Perlu d. Tidak perlu
4. Memberikan hukuman bagi anak yang tidak mau berpuasa pada bulan
Ramadhan tanpa adanya alasan sakit atau bepergian jauh:
a. Sangat perlu c. Kurang perlu
b. Perlu d. Tidak perlu
5. Mengingatkan anak untuk berdo’a sebelum/ sesudah makan, tidur & bangun
tidur, berpakaian, masuk & keluar rumah dan sebagainya:
a. Sangat perlu c. Kurang perlu
b. Perlu d. Tidak perlu
6. Menegur dan menasehati anak yang berbuat kesalahan:
a. Sangat perlu c. Kurang perlu
b. Perlu d. Tidak perlu
7. Memberikan hukuman yang mendidik bagi anak kurang lebih usia 10 tahun
yang meninggalkan shalat dan tidak mau mengaji:
a. Sangat perlu c. Kurang perlu
b. Perlu d. Tidak perlu
8. Menjaga lisan anak dari kata-kata kotor & keji & menjauhkan dari teman-
temannya yang berperilaku buruk, buku-buku bacaan, majalah, brosur-brosur
yang sifatnya membahayakan iman:
a. Sangat perlu c. Kurang perlu
b. Perlu d. Tidak perlu