perilaku menyimpang pilkada dki.doc

6
PERILAKU MENYIMPANG TERHADAP PEMILIHAN CALON KEPALA DAERAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI HUKUM A. Pendahulun Pada era reformasi ini, pemerintah atau pemerintah pusat telah melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah. Dalam Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam rangka mensukseskan Pilkada tersebut, dibutuhkan kontribusi masyarakat, yaitu menggunakan hak pilihnya untuk memillih calon kepala daerah yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemerintah Daerah cq. KPUD sebagai fasilitator Pilkada, diharapkan mampu menjamin proses Pilkada berjalan dengan baik, seperti berasaskan Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia), jujur, adil, tidak diskriminatif, bahkan dilarang melakukan intervensi dalam hal mengarahkan, mengintimidasi, mengancam, dan menganjurkan untuk memilih atau mencoblos salah satu calon kepala daerah, termasuk juga dilarang dalam hal berkampanye dengan membawa nama suku, agama, dan ras (SARA). Sebagai anggota masyarakat, mempunyai peran untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) DKI Jakarta tersebut. Adapun masalah yang penting adalah bagaimana menyadarkan masyarakat agar terhindar dari perilaku menyimpang, sehingga tercipta 1

Upload: steven-burns

Post on 26-Sep-2015

221 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

PERILAKU MENYIMPANG TERHADAP PEMILIHAN CALON KEPALA DAERAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI HUKUM

A. Pendahulun

Pada era reformasi ini, pemerintah atau pemerintah pusat telah melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah. Dalam Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam rangka mensukseskan Pilkada tersebut, dibutuhkan kontribusi masyarakat, yaitu menggunakan hak pilihnya untuk memillih calon kepala daerah yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pemerintah Daerah cq. KPUD sebagai fasilitator Pilkada, diharapkan mampu menjamin proses Pilkada berjalan dengan baik, seperti berasaskan Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia), jujur, adil, tidak diskriminatif, bahkan dilarang melakukan intervensi dalam hal mengarahkan, mengintimidasi, mengancam, dan menganjurkan untuk memilih atau mencoblos salah satu calon kepala daerah, termasuk juga dilarang dalam hal berkampanye dengan membawa nama suku, agama, dan ras (SARA).

Sebagai anggota masyarakat, mempunyai peran untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) DKI Jakarta tersebut. Adapun masalah yang penting adalah bagaimana menyadarkan masyarakat agar terhindar dari perilaku menyimpang, sehingga tercipta pemilihan calon kepala daerah berjalan dengan sukses,aman, damai, dan tertib.

B. Rumusan MasalahSebagaimana hal yang sudah diuraikan pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diambil adalah Bagaimana modus perilaku menyimpang dalam Pemilihan Kepala Daerah.C. Tinjauan TeoriPsikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa ruang lingkup antara lain:

Menurut Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40), sebagai berikut:

1. Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.

2. Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.

3. Perilaku menyimpang.

4. Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.

Demikianpun Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi ruang lingkup psikologi hukum, yaitu:

1. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.

2. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah hukum.

3. Akibat-akibat dari pola penyelesaian sengketa tertentu.

Pada negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga membagi penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi dalam hukum (Blackburn 1996, 6; Curt R. Bartol 1983, 20-21; David S. Clark, 2007; Stephenson, 2007; ) dibedakan dari sudut pandang apa yang diistilahkan:

1. Psikologi dalam hukum (psychology in law), mengacu kepenerapan-penerapan spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti tugas psikolog menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata.

2. Psikologi dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal research yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim.

3. Psikologi hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu, perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan kejahatan.

4. Psikologi forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi untuk penyiapan informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).

5. Psikologi hukum pidana (criminal psychology), sumbangan psikologi hukum yang menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen penjatuhan pidana

6. Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum. Kajiannya meliputi wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban, meningkatkan kemampuan untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan datang, dan prospek terhadap peningkatan kemampuan otak manusia.

Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology and law, volume 1 (2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya, adalah

1. Psikologi perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan hak asuh anak seperti apa yang akan mendukung perkembangan kesehatan anak? dapatkah seorang anak yang melakukan tindakan pembunuhan benar-benar memahami sifat dan kondisi tindakannya?

2. Psikologi sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi menggunakan prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat tersangka mengakui tindak kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di dalam tim juri mempengaruhi keputusan yang mereka ambil?

3. Psikologi klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa cukup kompeten untuk menghadapi proses persidangan? Mungkinkah memperediksi bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa kelak akan menjadi orang yang berbahaya?

4. Psikologi kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata? dalam kondisi seperti apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang pernah mereka lihat? Apakah para juri memahami instruksi tim juri dengan cara yang sama seperti yang diinginkan oleh para pengacara dan hakim?

5. Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan suatu tanda dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktifitas psikis manusia.

Berdasarkan hal tersebut menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan dipelajari sikap tindak/perikelakuan yang terdiri atas:

1.Sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi hukum.

2.Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.

Masalah normal dan abnormal merupakan suatu gerak antara dua kutub yang ekstrim. Kedua kutub yang ekstrim tersebut adalah keadaan normal dan keadaan abnormal. Penyimpangan terhadap kedaan normal dalam keadaan tertentu masih dapat diterima, tetapi hal itu sudah menuju pada penyelewengan, maka kecenderungan kaedah abnormalitas semakin kuat, secara skematis perosesnya adalah sebagai berikut:

Pada titik normal, seseorang mematuhi kaidah hukum dan dalam keadaan tertentu dapat disimpangi. Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah faktor-faktor psikologis yang mendorong orang untuk mematuhi kaidah hukum, dilain pihak juga meneliti faktor-faktor yang mungkin mendorong orang untuk melanggar kaedah hukum (Soerjono Soekanto 1989:17-18).

Dalam kaitan substansi psikologi hukum seperti yang dikemukakan di atas, dengan perilaku tim sukses dalam Pilkada DKI Jakarta, maka sangat berkaitan erat karena psikologi hukum mempelajari tentang kondisi psikologi, dasar-dasar kejiwaan, perilaku meyimpang, pengawasan perilaku, penyebab seseorang berperilaku hukum yang normal ataupun abnormal, dan lain sebagainya.

1