pertanggungjawaban negara terhadap korban human trafficking
DESCRIPTION
Kejahatan Lintas NegaraTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdagangan orang adalah salah satu bentuk kejahatan yang telah berlangsung ratusan
tahun. Karena perbudakan masih menjadi kebiasaan, diskusi awal tentang tindak kejahatan ini
lebih banyak memfokuskan diri pada penjualan orang berkulit putih. Baru pada tahun 1921,
kata perdagangan orang (trafficking) secara resmi diperkenalkan dalam dokumen internasional,
yaitu lewat Konvensi Internasional untuk Menghentikan Perdagangan Perempuan dan Anak.
Pada tahun 1949, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi Internasional
untuk Menghambat Perdagangan Orang dan Eksploitasi dalam Prostitusi dan Lainnya. Konvensi
ini mendiskusikan hubungan antara perdagangan dan prostitusi dan juga tentang consentI atau
persetujuan. Pasal 6 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) , yang diadopsi PBB pada tahun 1979, menyerukan tanggungjawab negara untuk
melindungi perempuan dari perdagangan dan eksploitasi berbentuk prostitusi. Tahun 2000,
PBB mengadopsi Konvensi Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, dimana di dalamnya
memuat tentang Protokol untuk Mencegah, Menghentikan dan Menghukum Tindak
Perdagangan Orang, khususnya terhadap Perempuan dan Anak1
Human trafficking atau perdagangan manusia di Indonesia dinilai sangat
memprihatinkan. Kondisi ini sangat besar terjadi di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Tindak kejahatan tersebut bisa dialami oleh tetangga, saudara atau bahkan anak-anak.
Perdagangan manusia yang terjadi masuk dalam kategori prostitusi yang ikut melibatkan anak-
anak menjadi objek eksploitasi seksual. Menurut PBB, Indonesia sendiri memasuki peringkat ke-
1 Andy Yentryani, Meretas Perdagangan Orang Melalui Media, http://uai.ac.id/2014/07/03/kuliah-umum-perdagangan-orang-dalam-perspektif-psikologi-media-yang-diselenggarakan-oleh-program-studi-psikologi-fakultas-psikologi-universitas-al-azhar-indonesia-di-jakarta-30/ diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.18 wib
1
2 sebagai negara yang paling banyak terjadi perdagangan manusia. Indonesia dicap sebagai
pengirim, penampung dan sekaligus memproduksi aksi kejahatan ini. Sebab maraknya kondisi
ini lantaran himpitan ekonomi yang kian mendesak2.
Perdagangan orang atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang
sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk
perbudakan modern dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus
berkembang secara nasional maupun internasional.
Protokol PBB untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan orang
khususnya Perempuan dan Anak, suplemen Konvensi PBB untuk Melawan Organisasi Kejahatan
Lintas Batas, Perdagangan orang didefenisikan sebagai Perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan,
atau bentuk-bentuk seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-
bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau mamfaat untuk memperoleh ijin dari
orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi
mencakup, paling tidak, eksploitasi pelacuran dari orang lain, atau bentuk lain dari eksploitasi
seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip dengan
perbudakan, atau pengambilan organ tubuh3.
Permasalahan perdagangan orang sulit untuk diperkirakan besarnya. Bukan hanya sifat
dasarnya yang terselubung, tetapi juga karena ketidakseragaman dalam metode pengumpulan
data. Berdasarkan data United Nations Emergency Children’s Fund (UNICEF), angka global anak
yang diperdagangkan tiap tahunnya ada sekitar 1,2 juta dan sekitar 2 juta anak di seluruh dunia
dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri perdagangan anak ini menangguk untung
USD 12 milliar pertahunnya (ILO).
2 Muhamad Iqbal, Maraknya Human Trafficking Yang ter Jadi Di Indonesia, http://www.academia.edu/5442811/MARAKNYA_HUMAN_TRAFFICKING_DI_INDONESIA diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.19 wib3 Azmiati Zuliah, Permasalahan Perdagangan Orang, http://hukum.kompasiana.com/2012/11/05/permasalahan-perdagangan-orang--500681.html diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.25 wib
2
Lemahnya tingkat kesadaran masyarakat juga tentunya akan semakin memicu praktik
trafficking untuk terus berkembang. Dalam hal ini maka selain mendesak pemerintah untuk
teru mengupayakan adanya bentuk formal upaya perlindungan hukum bagi korban trafficking
khususnya tenaga kerja Indonesia dan juga perlu adanya tindakan tegas bagi pelaku.
4Ketua Forum Wanita (Forwa) Sukabumi, Elis Nurbaeti, mengatakan, kasus hilangnya TKI
di Malaysia diduga kuat berawal dari perdagangan manusia atau human trafficking. Mereka
diberangkatkan melalui jalur ilegal. Awalnya, TKI akan diberangkatkan ke Singapura. Namun,
pada kenyataannya dibawa ke Malaysia melalui jalur darat.
Mereka kemudian diperjual belikan. Ada yang dipekerjakan menjadi wanita tuna susila
(WTS). Ada juga yang dialokasikan untuk pekerja domestik yang dibayar murah. Pemerintah
dimintanya untuk menindak tegas pelaku perdagangan manusia. Aksi kejahatan ini benar –
benar merendahkan kehormatan warga Indonesia. Elis menegaskan, perdagangan manusia
makin sulit diberantas karena jaringan sindikasinya sangat kuat dan mengakar. Pemerintah dan
aparat seharusnya konsisten menegakkan aturan yang sudah ada dan bukan menjadi bagian
dari sindikasi tersebut.
5Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari
Gumelar mengatakan, “diperkirakan 20 persen dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di
luar negeri menjadi korban perdagangan manusia”. Hampir setiap pekan masyarakat Indonesia
disuguhi berita tenaga kerja Indonesia (TKI) terkait dengan masalah perdagangan orang.
Memang kasus perdagangan orang di Indonesia selalu bertopengkan pengiriman TKI dari
daerah ke daerah lainnya di Indonesia dan pengiriman keluar negeri.
Salah satu contoh Tenaga Kerja Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang
adalah Suliati yang berumur 39 tahun adalah salah satu tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Dukuh
Salak, Desa Tanjung, Kecamatan Pakis aji, Jepara, yang mendapat perlakuan tak manusiawi
4 Erdy Nasrul, TKI Kerap Jadi Korban Perdagangan Orang,http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/09/nbm588-tki-kerap-jadi-korban-perdagangan-manusia diakses pada tanggal 25 November 2014, Jam 15.235 Muliarta, 20 Persen TKI menjadi Korban Perdagangan Manusia, http://www.voaindonesia.com/content/duapuluh-persen-tki-jadi-korban-perdagangan-manusia/1686372.html diakses pada tanggal 26 November 2014, jam 14.35
3
selama bekerja di Malaysia diduga menjadi korban perdagangan manusia. Karena Suliati saat
berangkat ke Malaysia pada 2009 lalu melalui jalur ilegal6. Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut kelompok kami sepakat untuk membahas mengenai “Pertanggungjawaban Negara
Terhadap TKI Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut terbentuklah rumusan-rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban negara terhadap TKI yang menjadi korban tindak
pidana perdagangan manusia?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas makalah Kejahatan Lintas Negara
2. Untuk mengetahui bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap pencegahan tindak
pidana perdagangan manusia.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban negara terhadap TKI yang
menjadi korban tindak pidana perdagangan manusia.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah menambah literatur mengenai
faktor-faktor TKI selalu menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, kebijakan hukum
6 Muhammad Oliez, Suliati TKI Asal Jepara Diduga Korban Perdagangan Manusia ,http://daerah.sindonews.com/read/922463/22/suliati-tki-asal-jepara-diduga-korban-perdagangan-manusia-1415552400 diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.37
4
pidana terhadap pencegahan tindak pidana perdagangan orang dan pertanggungjwaban negara
terhadap TKI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode/cara pengumpulan data atau
informasi melalui : Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
menurut Bahder Johan Nasution, adalah penelitian untuk mengkaji masalah-masalah hukum 7.
Pendekatan Perundang-undangan (Statute approach).
7 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung, Mandar Maju, 2008), hlm. 84.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan sebenarnya serapan kata dari bahas Inggris “Policy”, dan bahasa
Belanda “Politiek”. Istilah Policy dalam Blacks Law Dictionary disebutkan, The general
principles by which gounerment is guided in management of publick off affairs. Sedangkan
menurut Girindro Pringgodigdo bukanlah terjemahan dari Policy, tetapi terjemahan dari
wisdom. Policy diartikan sebagai “kebijaksanaan” sedangkan wisdom diartikan sebagai
”kebijakan”. Namun dalam sehari-hari terjadi kekakcauan, kekeliruan dan kebingungan
(confused) dalam penggunaannya, sehingga orang awam sulit untuk membedakan antara
istilah “kebijaksanaan/policy” dengan “kebijakan/politics/politiek”8.
Dalam bahasa Indonesia, istilah kebijakan berasal dari kata “bijak” yang artinya pandai,
mahir, selalu menggunakan akal budinya. Kata bijak tersebut menjadi “kebijakan”, yaitu
kepandaian; kemahiran; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Menurut
James E. Anderson, kebijaksanaan negara merupakan langkah dan tindakan yang secara
sengaja dilakukan oleh seorang pemeran atau sejumlah pemeran (actors), berkenaan dengan
adanya masalah atau perseolan tertentu yang dihadapi9.
Dari istilah kebijakan tersebut diatas, kemudian dalam ilmu hukum sering digunakan
istilah kebijakan hukum, yang selalu dihubungkan dalam hal memutuskan suatu perkara yang
tidak hanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang
berlaku saja, tetapi selalu dihubungkan dengan kebijaksanaan atas pertimbangan keadilan.
8 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahnya, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hlm.43.9 Ibid., hlm.44
6
Istilah-istilah tersebut, kemudian dalam hukum pidana sering digunakan sebagai
pengertian “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana” , yang merupakan
terjemahan dari “penal policy, criminal law policy atau strafrechts politiek”10.
2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Membahas kebijakan hukum pidana dapat diawali dari sistem, peranan dan fungsi
hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat dimulai dari usaha
dalam membuat dan merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik,
yang tidak dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Usaha untuk melakukan penanggulangan kejahatan dalam hukum pidana, pada
dasarnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, atau bagian dari kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy). Law enforcement policy pada hakikatnya
merupakan bagian internal dari usaha perlindungan masyarakat (social defence). Jadi
kebijakan/politik hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik social
(social policy).
Kebijakan sosial (social policy) merupakan usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam
pengertian social policy, sekaligus tercakup didalamnya social walfare policy dan social
defence policy. Atas dasar itu, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup
bidang hukum pidana materill, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana11.
Kebijakan hukum pidana merupakan upaya untuk mencapai kesejahteraan (social
walfare policy), pada akhirnya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat (social defence policy) dalam pelaksanaan dapat dilakukan melalui berbagai
strategi, sesuai dengan kebijakan pembangunan masyarakat/ social global yang mengacu
pada kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diantaranya yaitu12 :
10 Ibid., hlm.4511 Ibid., hlm.5712 Ibid., hlm.64-65
7
1. Strategi dasar/pokok penanggulangan kejahatan, ialah meniadakan faktor-faktor
penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.
2. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan
integral/sistematik (jangan simplistic dan pragmentair).
3. Perlu memperhatikan beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang sifatnya
transnasional, regional dan internasional, yang berhubungan dengan
kesejahteraan modern.
4. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum.
5. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan managemen
organisasi/managemen data.
6. Perlu disusunnya Guidelines, Basic Principle, Rules, Standard Minimum Rules
(SMR).
7. Perlu ditingkatkan kerja sama internasional dan bantuan teknis, dalam rangka
memperkukuh the rule of law dan management of criminal justice system.
Berdasarkan dimensi di atas, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana
sebenarnya berhubungan dengan pembaruan hukum pidana yang menyeluruh yaitu
meliputi hukum pidana materil (substantif), hukum pidana formal (hukum acara pidana),
dan hukum pelaksanaan pidana (strafvollsrechtkungsgesezt). Ketiga bidang hukum
pidana ini harus besama-sama diperbarui. Pembaruan terhadap salah satu bidang saja,
akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan pembaruan tidak akan
tercapai seluruhnya.
Pelaksanaan kebijakan hukum pidana dapat dilakukan oleh badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan yang dikehendakinya, yang dapat diperkirakan, yang
dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat, dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk kebijakan hukum pidana berarti usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai keadaan dan situasi
pada suatu waktu tertentu dan untuk masa yang akan dating. Atas dasar itu kebijakan
8
hukum pidana akan mempunyai pengaruh untuk mengatur atau mengendalikan
masyarakat guna mencapai tujuan tertentu.
Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang
berhubungan dengan hal-hal13:
1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum
pidana.
2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat.
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum
pidana.
4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan yang lebih besar.
Seperti diketahui salah satu tujuan dari kebijakan hukum pidana adalah untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dengan cara memeberikan keadilan kepada
masyarakat yang merupakan bagian utama dari cita hukum. Tanpa cita hukum, maka
keadilan akan menjadi alat yang berbahaya. Keadilan tersebut tetap harus mengikuti
asas persamaan, yang harus diterima oleh setiap orang, karena iitu rasio dari yang dibagi
harus sama dengan rasio dari orang-orangnya.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam upaya penegakan hukum, bertujuan
untuk perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, berhubungan dengan kepercayaan,
kebenaran, kejujuran dan keadilan, yang dapat dilakukan melalui keseimbangan
penerapan sanksi pidana melalui saran penal dan non penal. Dalam pelaksanaannya
pengenaan sanksi pidana yang berupa penal dan atau non penal itu mempunyai sisi
positif keterbatasan daya kerjanya, yang masing-masing mempunyai sisi positif dan
negatifnya.
B. PENDEKATAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERDAGANGAN ORANG
13 Wisnubroto, Kebijakan hukum pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Tanpa Tahun, hlm. 12.
9
Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud dan sifatnya merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan ketertiban atau tata hukum. Yang dapat mergikan masyarakat,
karenanya harus diberikan sanksi, yang sifatnya berbeda dengan sanksi cabang hukum
yang lain. Oleh karena itu, hukum pidana mempunyai karakteristik yang khusus
disbanding dengan cabang hukum lainnya, yaitu adanya sanksi pidana yang berupa
tindakan (maatregel), yang berupa nestapa yang dikenakan bagi pelaku/pembuat, dan
tujuan akhirnya adalah memperbaiki tindakan/perbuatan dari pelaku/pembuat.
Dewasa ini tindakan terhadap penerapan sanksi pidana telah mengalami reformasi,
yaitu lebih manusiawi dan rasional, karena penerapan sanksi pidana tidak hanya melulu
sebagai penjeraan (deterrent) bagi pelanggar hukum dan calon pelanggar hukum, tetapi
juga merupakan perlindungan kepada masyarakat, perbaikan (reformasi) bagi pelaku,
dengan kata lain tujuan pemberian sanksi pidana bukan hanya penjeraan, tetapi justru
yang lebih utama adalah mencari alternative solusi yang tidak bersifat pemidanaan dalam
membina para pelanggar hukum.
Ada tiga (3) golongan utama teori untuk menjatuhkan pidana/pemidanaan, yaitu :
1. Teori Absolut/Teori Pembalasan (vergeldings theorin).
Teori yang mengenakan sanksi pidana merupakan syarat mutlak dan keharusan.
Hakikat pidana adalah pembalasan. Penganut teori ini adalah Immanuel Kant,
Hegel, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana lainnya, yang mendasarkan teorinya
pada filsafat Katolik dan juga hukum Islam yang mendasarkan pada Kisas dan Al-
Quran.
2. Teori Relatif/Teori Tujuan (doeltheorien)
Teori ini mendasarkan untuk menyelenggarakan terttib masyarakat (prevensi) akibat
dari kejahatan, yang dapat mewujudkan dalam bentuk menakutkan , memeperbaiki
atau membinasakan .
3. Teori Gabungan (verenigingstheorien).
Teori ini gabungan antara pembalasan dan prevensi, yang menitik beratkan
pembalasan dan sekaligus menggabungkan antara unsur pembalasan dan prevensi.
10
Dilihat dari tujuan hukum pidana, maka penerapan hukum pidana material dan
formal yang menggunakan sarana sanksi, merupakan bagian dari kebijakan hukum
pidana/politik hukum pidana. Menurut Soedarto apabila hukum pidana hendak
digunakan, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik criminal (social
defence planning), yang merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
Demikian juga kebijakan hukum pidana terhadap perdagangan orang dapat
dilakukan dengan mengacu pada asas legalitas (legality principle), dan asas kesalahan
(culpabilitas). Berdasarkan kedua asas tersebut, maka pengenaan sanksi pidana terhadap
pelaku perdagangan orang dapat dikenakan melalui pemidanaan (straf) dan penindakan
(metregel).
Menurut Dwidja Priyatno, pengenaan sanksi yang mendasarkan pada kedua asas ini
mempunyai karakteristik, yaitu merupakan:
a. Definisi hukum dari kejahatan (legal definition of crime).
b. Pidana harus sesuai dengan kejahatan (let the punishment fit the crime).
c. Doktrin kebebasan kehendak (doctrine of free will).
d. Pidana mati untuk bebrapa tindak pidana (death penalty for some offenses).
e. Tidak ada riset empiris (anecdotal method; no empirical Researcht).
f. Pidana ditentukan secara pasti (definitie sentence).
Kebijakan hukum pidana terhadap perdagangan orang tidak terlepas dari
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang juga merupakan upaya
perlindungan terhadap korban. Karena itu dalam kebijakan hukum pidana terhadap
perdagangan orang, merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Disatu sisi hukum
pidana harus dapat melindungi korban tindak pidana yang merupakan hakikat dan bagian
dari masalah perlindungan hukum HAM, dan di sisi lain membicarakan perlindungan HAM
dari pelaku tindak pidana.
Kebijakan hukum pidana terhadap perdagangan orang pun juga tidak dapat terlepas
dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Criminal justice system adalah
11
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi
berarti suatu usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat.
Secara umum, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakan, dan yang bersalah dipidana, dan
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
kejahatannya.
C. PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA TERHADAP TKI YANG MENJADI KORBAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA
Tanggung jawab negara tidak dapat dilepaskan dari tujuan berdirinya suatu negara, seperti
telah ditetapkan dalam Pembukaan UUDNRI 1945 alenia IV tujuan negara Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan melindungi tumpah darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa , dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara
Indonesia , yang terbentuk dalam dalam suatu susunan negara Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Jika terjadi korban serta mengambil upaya dalam penanganan dan pemulihan korban
perdagangan orang . Dari paparan diatas atas empat (4) dimensi pertanggung jawaban negara
terhadap korban perdagangan orang yaitu; (1) Pencegahan terjadinya perdagangan orang, (2)
penanganan korban, (3). Pemulihan korban, (4). reitegrasi korban .
12
Langkah-langkah kongkret memperbaiki Penyebab utama perdagangan orang yang
berkorelasi berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh negara yakni :
1. Faktor Ekonomi
Kondisi kemiskinan dan minimnya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk
indonesia memilih alternatif untuk melakukan migrasi di dalam dan ke luar negeri guna
mencari kerja dengan tujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka beserta
keluarga. Selain itu perubahan pola kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi
yang mengutamakan ekonomi berbasis industri daripada ekonomi berbasis agraris.
2. Faktor pendidikan
Meminimalisir pemahaman tentang kentalnya budaya patriarki merupakan salah faktor
penyebab terjadinya perdagangan orang, Budaya patriarki adalah suatu budaya yang
menganggap bahwa anak-anak laki-laki memiliki kelebihan dan keutamaan dibandingkan
dengan anak-anak perempuan terutama dalam hubungannya dengan akses pada harta
keluarga dan pendidikan.Faktor sosial budaya berpengaruh thd kebijakan yang akhirnya
memarginalkan perempuan.
3. Mencegah peluang usaha seluas-luasnya sehingga bisnis perdagangan orang bisnis yang
paling mudah karena tidak memerlukan modal besar, cukup kelihaian dalam merayu calon
korban atau menjerat korban dalam perangkap utang piutang, tetapi mendatangkan
keuntungan yang sangat besar. Sehingga banyak orang tergiur untuk malakukan bisnis
memperdagangkan orang. Bisnis ini terutama di bisnis industri seks, pengantin pesanan,
kawin kontrak dalam penempatan TKI, serta peredaran narkoba dan obat-obat terlarang,
4. Administrasi kependudukan negara Indonesia mengalami degradasi nilai dimana maraknya
pemalsuan identitas yang dilakukan secara sadar untuk mempermudah mencari pekerjaan.
Pemalsuan identitas ini menyangkut usia, status, pendidikan serta alamat/ tempat tinggal.
Tanggung jawab negara dalam perdagangan orang tidak hanya terbatas pada upaya
bagaimana mencegah perdagangan orang tetapi dalam perspektif hukum administrasi adalah
berkorelasi dgn pelayan publik yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya.
bagaimana negara melaksanakan pelayanan publik yang prima bagi rakyatnya, serta bagaimana
masyarakat mengakses pelayanan publik tersebut, salah satunya adalah informasi yang lengkap
13
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perdagangan orang. Kerangka hukum
pertangung jawaban Negara terhadap korban perdagangan orang :
1. UU. No. 21 Th. 2007
2 UU. No. 7 Th. 1984. Ttg Ratif Konv. CEDAW
3. UU. No. 6 Th.2011. Ttg Keimigrasian
4. UU. No. 39 Th. 1999. Ttg Hak Asasi Manusia.
5. UU. No. 39 Th. 2004. Ttg PPTKILN
6. UU. No. 13 Th. 2006. Ttg Perlindungan Saksi Dan Korban.
7. UU. No .23 Th .2002. Ttg Perlindungan Anak.
8. UU. No. 13 Th. 2003. Ttg Ketenagakerjaan.
9. UU. No. 36 Th. 2009. Ttg Kesehatan.
Tujuan umum dari peraturan perundang-undangan tersebut diatas adalah melindungi
seluruh warga negara indonesia serta penghormatan dan Perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Tujuan secara khusus adalah mencegah terjadinya perdagangan orang dimana secara
tegas dirumuskan dalam UU No 21 Tahun 2007, sedangkan persoalan perlindungan anak dan
pencegahan perdagangan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2004, UU No 39 tahun 2004
mengatur mekanisme penempatan TKI di LN, karena UU PTKI LN merupakan ladang munculnya
perdagangan orang. UU NO 9 tahun 2009 keimigrasian yang mengatur tentang lalu lintasmigrasi
dari dan ke luar negeri.
Ketidak selarasan dari peraturan perundang-undangan yang ada adalah definisi yang tidak
sama ttg perdagangan orang terutama juga yang berkaitan dengan perdagangan anak. UU
PTPPO & UU PA) Konteks Tanggung Jawab negara terhadap korban perdagangan orang dalam
UU No. 21 tahun 2007 tidak tergambar secara jelas, terutama yang berkaitan luput dari
perlindungan anak, persetujuan korban bukan alasan pembenar perbuatan perdagangan orang
serta norma repatriasi yang masih hampa. Disamping itu UU PTPPO tidak disertai dgn aturan
pelaksana dan dalam implementasinya tidak dapat berdiri sendiri karena masih bergantung
pada peraturan lain yang terkait.
14
Konsep tanggung jawab negara terhadap korban perdagangan orang adalah konsep
tanggug jawab yang bersifat pelayanan pasif karena bersifat umum yaitu dalam bentuk
perlindungan terhadap korban tindak pidana pada umumnya, sedangkan perdagangan orang
adalah kejahatan khusus yang bersifat transnasional yang kental dengan dimensi kejahatan
kemanusiaan, sehingga perlu adanya pembaharuan konsep tanggung jawab negara adalah
konsep yang tanggung jawab yang lebih berperspektif korban dengan mengedepankan keadilan
dan hak asasi manusia.
Pertanggungjawaban negara terhadap korban tindak pidana perdagangan manusia :
a) Pembukaan UUDNRI Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa tujuan pembentukan Negara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencedarkan kehidupan bangsa, dan ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia.
b) Bab X A UUDNRI Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28 I ayat (4) menyebutkan
bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Itulah tanggung jawab dan kewaiban
negara terhadap warga negaranya.
c) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Bab II. Asas-asas dasar, pasal 8 : “Perlindungan, pemajuan, penegakan hak asasi
manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah” .
- Bab V. Kewajian dan Tanggung Jawab Pemerintah, pasal 71: “ Pemerintah wajib dan
bertanggung jawab menghormati , melindungi, menegakan, dan memajukan hak hak
asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan
lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara
Republik Indonesia. Pasal 72,” Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagai
dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah-langkah implementasi yang efektif dalam
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan
bidang lain.”
Dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM), masalah kepentingan korban tindak kejahatan
merupakan bagian dari persoalan hak asasi manusia pada umumnya. Prinsip Universal
15
sebagaimana termuat dalam The Universal Declaration of Human Right (10 Desember 1948)
dan The International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966)14 mengakui
bahwa semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap tindakan pelanggaran
hak-hak asasi yang di jamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.15
Dalam Pasal 9 ayat (5) dari Covenant di atas di gariskan prinsip ganti rugi yang
menggariskan bahwa ” anyone who has been the victim of the unlawful arrest or detention shall
have enforceable right to compensation”. Rumusan-rumusan diatas kemudian didukung dengan
Konvensi Menentang Tindak Pidana Terorganisir Antarnegara (United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime,2002), yang dalam Pasal 25 memberikan prinsip bahwa
Negara negara hendaknya mengambil langkah-langkah tepat dalam bentuk sarana-sarana
memberikan bantuan serta perlindungan kepada korban dari pelanggaran yang tercakup dalam
konvensi.16
Ada beberapa bentuk perlindungan yaitu restitusi, rehabilitasi dan reintegrasi17. Pada
dasarnya perlindungan korban untuk mengatasi dampak yang dirasakan korban sebagai akibat
dilakukannya tindak pidana terhadap tindak kejahatan kepada mereka. Dari uraian diatas jelas
bahwa hak-hak korban perdagangan orang adalah inklusif sebagai hak-hak korban tindak
pidana, sehingga dalam upaya penanganan korban perdagangan orang selaras dengan
ketentuan yang berlaku, walaupun pada prisnsipnya UU PTPPO perspektifnya lebih
menekankan pada penghukuman pelaku dan pemberatan hukuman terhadap pelaku
perdagangan orang. Sedangkan hak-hak korban pada UU PTPPO lebih menekankan pada
mekanisme perlindungan terhadap saksi dan korban serta proses korban mendapatkan hak-
haknya sebagai korban perdagangan orang.
14 The International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966), dikutip dari Soeparman,Parman, Haji, Op. Cit, hal. 51
15 The Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, Desember, 10 Th 1948, (Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia) di kutip dari Soeparman, Parman, Haji, Ibid.
16 Soeparman, Parman, Haji, Ibid17 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung :Alumni 1992) hlm.
78.
16
Setelah lahirnya UU No.21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang (PTPPO), pemerintah telah lebih memfokuskan diri untuk memberikan
perlindungan terhadap korban perdagangan orang. Sebagaimana yang termuat dalam BAB V
tentang perlindungan saksi dan korban dari pasal 43 sampai dengan pasal 55, yang mana dalam
pasal-pasal tersebut menguraikan tentang hak-hak dari korban dan juga model perlindungan
yang dapat diberikan kepada korban kejahatan perdagangan orang.
Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan dapat
juga diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, untuk lebih mendalami bentuk
perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan orang, maka terdapat beberapa bentuk
atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban adalah Pemberian Restitusi dan
Kompensasi Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan
kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau
psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti rugi terkandung dua manfaat yaitu
untuk memenuhi kerugian materil dan segala biaya yang telah dikeluatkan dan merupakan
pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban
mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan
sebagai suatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.
Menurut Gelaway yang merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian yaitu18 :
1. meringankan penderitaan korban;
2. sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan;
3. sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana
4. mempermudah proses peradilan
5. dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas
dendam.
18 http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2008/12/oleh-oktarinaz-maulidi-bab-i.html diakses pada tanggal 28 November 2014, jam 18.00 wib
17
Pengertian restitusi menurut Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada
pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil
dan/atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya. Pembebanan Restitusi kepada
pelaku adalah lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan
oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang
diderita korban. Di Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya
dan restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak
menentukan dan merumuskan secara tegas mengenai ukuran besar atau indikator jumlah
restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan.
Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan korban
tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. Ganti kerugian oleh negara
tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara bertanggung
jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya. Menurut Stephen
Schafer, antara restitusi dan kompensasi memliki perbedaan tersebut di lihat dari sudut sifat
dan juga siapa yang akan membayarnya.
Rehabilitasi adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikhis dan social. Menurut
Stephen Schafer, perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi lebih bersifat
pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku atau merupakan
wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat keperdataan, yang
timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk
pertanggungjawaban masyarakat atau negara.
a. Selain perlindungan yang dimaksud dalam UU No.21 tahun 2007, undang-undang
tersebut juga memberikan hak-hak kepada korban kejahatan perdagangan orang yang
berupa : Hak kerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan
keluarganya sampai derajat kedua. (Pasal 44) Kerahasiaan identitas merupakan
perlindungan keamanan pribadi korban dan ancaman fisik maupun psikologis dari
18
oranglain . Dengan kerahasiaan identitas korban ini menghindari penggunaan identitas
korban seperti tentang sejarah pribadi, pekerjaan sekarang dan masa lalu, sebagai
alasan untuk menggugurkan tuntutan korban atau untuk memutuskan tidak dituntut
para pelaku kejahatan. Selain itu juga kerahasiaan identitas dan sejarah korban tidak
boleh menjadi catatan publik secara terbuka sehingga dapat mempersulit yang
bersangkutan untuk melaksanakan dan memenuhi hak-haknya sebagai manusia,
perempuan atau anak kecuali jika diizinkan identitasnya dipublikasikan oleh korban.
b. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa
dan/atauhartanya (Pasal 47) Perlindungan keamanan dari ancaman terhadap diri, jiwa
dan/atau harta sangat diperlukan oleh korban, karena kerentanan korban yang
diperlukan kesaksiannya, dapat diteror dan diintimidasi dan lain-lain telah membuat
korban tidak berminat untuk melaporkan informasi penting yang diketahuinya. Jika
perlu korban ditempatkan dalam suatu tempat yang dirahasiakan atau disebut rumah
aman. Perlindungan terhadap korban diberikan baik sebelum, selama maupun sesudah
proses pemeriksaan perkara.
c. Hak untuk mendapat restitusi (Pasal 48) Setiap korban atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas 1) kehilangan kekayaan atau
penghasilan, 2) penderitaan, 3) biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau
psikologis dan/atau 4) kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan
orang. Kerugian lain dimaksud ketentuan ini adalah kehilangan harta milik; biaya
transportasi dasar; biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses
hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Restitusi tersebut diberikan
dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pemberian restitusi
dilaksanakan dilaksanakan dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal pemberian restitusi berupa ganti
kerugian dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Jika pelaku
tidak mampu membayar restitusi maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti
paling lama satu tahun.
19
d. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan
reintegrasi sosial dari pemerintah. (Pasal 51) Dalam penjelasan undang-undang tersebut
bahwa rehabilitasi kesehatan maksudnya adalah pemulihan kondisi semula baik fisik
maupun psikhis. Rehabilitasi sosial maksudnya adalah pemulihan dari gangguan
terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat
melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Reintegrasi sosial maksudnya adalah penyatuan kembali korban tindak
pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau penggantian keluarga yang
dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Adapun hak
atas pemulangan harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar
menginginkan pulang dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut.
Pemerintah dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggungjawab dalam bidang
kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial dan dapat dilaksanakan
secara bersama-sama antar penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal. Untuk
mendapatkan hak memperoleh rehabilitasi dapay dimintakan oleh korban atau kuasa
hukum dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian
e. Korban yang berada di luar negeri berhak dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas
biaya negara. (Pasal 54) Korban yang berada di luar negeri akan diberikan bantuan
untuk dipulangkan melalui perwakilan di luar negeri yaitu kedutaan besar, konsulat
jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau
kekonsuleran lainnya dengan biaya negara. Secara garis besar aturan-aturan tentang
tindak pidana perdagangan orang sudah sesuai dengan kovensi yang sudah diratifikasi
walaupun belum sempurna.
20
BAB III
PENUTUP
Membahas kebijakan hukum pidana dapat diawali dari sistem, peranan dan fungsi hukum
atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat dimulai dari usaha dalam
membuat dan merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik, yang tidak
dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Usaha untuk melakukan penanggulangan kejahatan dalam hukum pidana, pada dasarnya
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, atau bagian dari kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy). Law enforcement policy pada hakikatnya merupakan bagian internal
dari usaha perlindungan masyarakat (social defence). Jadi kebijakan/politik hukum pidana
merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik social (social policy).
Maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya berhubungan dengan
pembaruan hukum pidana yang menyeluruh yaitu meliputi hukum pidana materil (substantif),
hukum pidana formal (hukum acara pidana), dan hukum pelaksanaan pidana
(strafvollsrechtkungsgesezt). Ketiga bidang hukum pidana ini harus besama-sama diperbarui.
Seperti diketahui salah satu tujuan dari kebijakan hukum pidana adalah untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat dengan cara memeberikan keadilan kepada masyarakat yang
merupakan bagian utama dari cita hukum. Tanpa cita hukum, maka keadilan akan menjadi alat
yang berbahaya. Keadilan tersebut tetap harus mengikuti asas persamaan, yang harus diterima
oleh setiap orang, karena iitu rasio dari yang dibagi harus sama dengan rasio dari orang-
orangnya.
Demikian juga kebijakan hukum pidana terhadap perdagangan orang dapat dilakukan
dengan mengacu pada asas legalitas (legality principle), dan asas kesalahan (culpabilitas).
Berdasarkan kedua asas tersebut, maka pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku perdagangan
orang dapa dikenakan melalui pemidanaan (straf) dan penindakan (metregel).
Bentuk tanggung jawab negara terhadap korban selama ini adalah pemberian ganti rugi,
restitusi dan pelayanan lain dengan merujuk pada UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
21
saksi. Dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang ,
penghargaan atas hak asasi manusia belum sepenuhnya dapat diwujudkan bahkan ada
kecenderungan untuk mengabaikan pihak korban, termasuk keluarganya karena lemahnya
korban dalam mempertahankan kedaulatan harga diri akibat rendahnya pendidikan,
kemiskinan dan tidak meratanya pembangunan
hak korban menuntut pertanggung jawaban negara adalah :
a) Negara sebagai entitas yang dibentuk berdasarkan kesepakatan warganya untuk
diamanatkan sebagai pelindung warga negara dan orang-orang yang berada dalam
negara sesuai dengan tujuan dibentuknya negara.
b) Hak-hak korban perdagangan orang implementasinya merujuk pada UU Perlindungan
Saksi Dan Korban UU yang mengatur tentang korban kejahatan pada umumnya, padahal
korban perdagangan orang merupakan korban yang sangat spesifik dan perlu
penanganan khusus
c) Aspek viktimologi terhadap Kepentingan Korban Perdagangan Orang, pada umumnya
korban perdagangan orang sering diabaikan karena undang-undang lebih focus kepada
pelaku, korban sering dikategorikan sebagai bagian yang menyebabkan timbulnya
kejahatan, demikian pula dari kacamata victimologis yaitu pendekatan yang dilakukan
lebih ditekankan pada kepentingan korban
Upaya perlindungan korban terhadap perdagangan perempuan ada beberapa bentuk
perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu pemberian restitusi, kompensasi,
rehabilitasi, layanan konseling, bantuan hukum dan pemberian informasi.
22
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Buku :
Henny Nuraeny (2013). Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahnya. Jakarta Timur: Sinar Grafika.
Muladi dan Barda Nawawi Arif (1992). Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Nasuiton, Bahder Johan (2008). Metode Penelitian Hukum. Bandung: Mandar Maju.
Wisnubroto. Kebijakan hukum pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.
Jurnal :
Any Suryani.H. (2013). Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Perdagangan Orang
(Trafficking) Dari Perspektif Hak Asasi Manusia. From http://hukum.ub.ac.id/wp-
content/uploads/2013/04/Jurnal-Any-Suryani.doc diakses pada tanggal 25 November
2014, Jam 14.15 wib.
Internet :
Andy Yentryani (2014). Meretas Perdagangan Orang Melalui Media. From
http://uai.ac.id/2014/07/03/kuliah-umum-perdagangan-orang-dalam-perspektif-
psikologi-media-yang-diselenggarakan-oleh-program-studi-psikologi-fakultas-psikologi-
universitas-al-azhar-indonesia-di-jakarta-30/ diakses pada tanggal 25 November 2014,
jam 15.18 wib.
Azmiati Zuliah (2012). Permasalahan Perdagangan Orang. From
http://hukum.kompasiana.com/2012/11/05/permasalahan-perdagangan-orang--
500681.html diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.25 wib.
Erdy Nasrul (2014). TKI Kerap Jadi Korban Perdagangan. From
Orang,http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/09/nbm588-tki-kerap-
23
jadi-korban-perdagangan-manusia diakses pada tanggal 25 November 2014, Jam 15.23
wib.
Muhamad Iqbal. Maraknya Human Trafficking Yang terjadi Di Indonesia. From
http://www.academia.edu/5442811/MARAKNYA_HUMAN_TRAFFICKING_DI_INDONESIA
diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.19 wib.
Muliarta. 20 Persen TKI menjadi Korban Perdagangan Manusia. From
http://www.voaindonesia.com/content/duapuluh-persen-tki-jadi-korban-perdagangan-
manusia/1686372.html diakses pada tanggal 26 November 2014, jam 14.35 wib.
Muhammad Oliez. Suliati TKI Asal Jepara Diduga Korban Perdagangan Manusia. From
http://daerah.sindonews.com/read/922463/22/suliati-tki-asal-jepara-diduga-korban-
perdagangan-manusia-1415552400 diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.37
wib.
Oktarinaz Maulidi (2008). Upaya Perlindungan Bagi Korban Kejahatan Human Trafficking. From
http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2008/12/oleh-oktarinaz-maulidi-bab-i.html
diakses pada tanggal 28 November 2014, jam 18.00 wib.
Undang-Undang :
The International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966)
The Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, Desember, 10 Th
1948, (Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia)
24