pertanggungjawaban negara terhadap korban human trafficking

35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang adalah salah satu bentuk kejahatan yang telah berlangsung ratusan tahun. Karena perbudakan masih menjadi kebiasaan, diskusi awal tentang tindak kejahatan ini lebih banyak memfokuskan diri pada penjualan orang berkulit putih. Baru pada tahun 1921, kata perdagangan orang (trafficking) secara resmi diperkenalkan dalam dokumen internasional, yaitu lewat Konvensi Internasional untuk Menghentikan Perdagangan Perempuan dan Anak. Pada tahun 1949, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi Internasional untuk Menghambat Perdagangan Orang dan Eksploitasi dalam Prostitusi dan Lainnya. Konvensi ini mendiskusikan hubungan antara perdagangan dan prostitusi dan juga tentang consentI atau persetujuan. Pasal 6 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) , yang diadopsi PBB pada tahun 1979, menyerukan tanggungjawab negara untuk melindungi perempuan dari perdagangan dan eksploitasi berbentuk prostitusi. Tahun 2000, PBB mengadopsi Konvensi Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, dimana di dalamnya memuat 1

Upload: yanels-garsione

Post on 23-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Kejahatan Lintas Negara

TRANSCRIPT

Page 1: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan orang adalah salah satu bentuk kejahatan yang telah berlangsung ratusan

tahun. Karena perbudakan masih menjadi kebiasaan, diskusi awal tentang tindak kejahatan ini

lebih banyak memfokuskan diri pada penjualan orang berkulit putih. Baru pada tahun 1921,

kata perdagangan orang (trafficking) secara resmi diperkenalkan dalam dokumen internasional,

yaitu lewat Konvensi Internasional untuk Menghentikan Perdagangan Perempuan dan Anak.

Pada tahun 1949, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi Internasional

untuk Menghambat Perdagangan Orang dan Eksploitasi dalam Prostitusi dan Lainnya. Konvensi

ini mendiskusikan hubungan antara perdagangan dan prostitusi dan juga tentang consentI atau

persetujuan. Pasal 6 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

(CEDAW) , yang diadopsi PBB pada tahun 1979, menyerukan tanggungjawab negara untuk

melindungi perempuan dari perdagangan dan eksploitasi berbentuk prostitusi. Tahun 2000,

PBB mengadopsi Konvensi Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, dimana di dalamnya

memuat tentang Protokol untuk Mencegah, Menghentikan dan Menghukum Tindak

Perdagangan Orang, khususnya terhadap Perempuan dan Anak1

Human trafficking atau perdagangan manusia di Indonesia dinilai sangat

memprihatinkan. Kondisi ini sangat besar terjadi di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.

Tindak kejahatan tersebut bisa dialami oleh tetangga, saudara atau bahkan anak-anak.

Perdagangan manusia yang terjadi masuk dalam kategori prostitusi yang ikut melibatkan anak-

anak menjadi objek eksploitasi seksual. Menurut PBB, Indonesia sendiri memasuki peringkat ke-

1 Andy Yentryani, Meretas Perdagangan Orang Melalui Media, http://uai.ac.id/2014/07/03/kuliah-umum-perdagangan-orang-dalam-perspektif-psikologi-media-yang-diselenggarakan-oleh-program-studi-psikologi-fakultas-psikologi-universitas-al-azhar-indonesia-di-jakarta-30/ diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.18 wib

1

Page 2: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

2 sebagai negara yang paling banyak terjadi perdagangan manusia. Indonesia dicap sebagai

pengirim, penampung dan sekaligus memproduksi aksi kejahatan ini. Sebab maraknya kondisi

ini lantaran himpitan ekonomi yang kian mendesak2.

Perdagangan orang atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang

sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk

perbudakan modern dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus

berkembang secara nasional maupun internasional.

Protokol PBB untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan orang

khususnya Perempuan dan Anak, suplemen Konvensi PBB untuk Melawan Organisasi Kejahatan

Lintas Batas, Perdagangan orang didefenisikan sebagai Perekrutan, pengiriman, pemindahan,

penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan,

atau bentuk-bentuk seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-

bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau

posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau mamfaat untuk memperoleh ijin dari

orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi

mencakup, paling tidak, eksploitasi pelacuran dari orang lain, atau bentuk lain dari eksploitasi

seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip dengan

perbudakan, atau pengambilan organ tubuh3.

Permasalahan perdagangan orang sulit untuk diperkirakan besarnya. Bukan hanya sifat

dasarnya yang terselubung, tetapi juga karena ketidakseragaman dalam metode pengumpulan

data. Berdasarkan data United Nations Emergency Children’s Fund (UNICEF), angka global anak

yang diperdagangkan tiap tahunnya ada sekitar 1,2 juta dan sekitar 2 juta anak di seluruh dunia

dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri perdagangan anak ini menangguk untung

USD 12 milliar pertahunnya (ILO).

2 Muhamad Iqbal, Maraknya Human Trafficking Yang ter Jadi Di Indonesia, http://www.academia.edu/5442811/MARAKNYA_HUMAN_TRAFFICKING_DI_INDONESIA diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.19 wib3 Azmiati Zuliah, Permasalahan Perdagangan Orang, http://hukum.kompasiana.com/2012/11/05/permasalahan-perdagangan-orang--500681.html diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.25 wib

2

Page 3: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

Lemahnya tingkat kesadaran masyarakat juga tentunya akan semakin memicu praktik

trafficking untuk terus berkembang. Dalam hal ini maka selain mendesak pemerintah untuk

teru mengupayakan adanya bentuk formal upaya perlindungan hukum bagi korban trafficking

khususnya tenaga kerja Indonesia dan juga perlu adanya tindakan tegas bagi pelaku.

4Ketua Forum Wanita (Forwa) Sukabumi, Elis Nurbaeti, mengatakan, kasus hilangnya TKI

di Malaysia diduga kuat berawal dari perdagangan manusia atau human trafficking. Mereka

diberangkatkan melalui jalur ilegal. Awalnya, TKI akan diberangkatkan ke Singapura. Namun,

pada kenyataannya dibawa ke Malaysia melalui jalur darat.

Mereka kemudian diperjual belikan. Ada yang dipekerjakan menjadi wanita tuna susila

(WTS). Ada juga yang dialokasikan untuk pekerja domestik yang dibayar murah. Pemerintah

dimintanya untuk menindak tegas pelaku perdagangan manusia. Aksi kejahatan ini benar –

benar merendahkan kehormatan warga Indonesia. Elis menegaskan, perdagangan manusia

makin sulit diberantas karena jaringan sindikasinya sangat kuat dan mengakar. Pemerintah dan

aparat seharusnya konsisten menegakkan aturan yang sudah ada dan bukan menjadi bagian

dari sindikasi tersebut.

5Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari

Gumelar mengatakan, “diperkirakan 20 persen dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di

luar negeri menjadi korban perdagangan manusia”. Hampir setiap pekan masyarakat Indonesia

disuguhi berita tenaga kerja Indonesia (TKI) terkait dengan masalah perdagangan orang.

Memang kasus perdagangan orang di Indonesia selalu bertopengkan pengiriman TKI dari

daerah ke daerah lainnya di Indonesia dan pengiriman keluar negeri.

Salah satu contoh Tenaga Kerja Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang

adalah Suliati yang berumur 39 tahun adalah salah satu tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Dukuh

Salak, Desa Tanjung, Kecamatan Pakis aji, Jepara, yang mendapat perlakuan tak manusiawi

4 Erdy Nasrul, TKI Kerap Jadi Korban Perdagangan Orang,http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/09/nbm588-tki-kerap-jadi-korban-perdagangan-manusia diakses pada tanggal 25 November 2014, Jam 15.235 Muliarta, 20 Persen TKI menjadi Korban Perdagangan Manusia, http://www.voaindonesia.com/content/duapuluh-persen-tki-jadi-korban-perdagangan-manusia/1686372.html diakses pada tanggal 26 November 2014, jam 14.35

3

Page 4: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

selama bekerja di Malaysia diduga menjadi korban perdagangan manusia. Karena Suliati saat

berangkat ke Malaysia pada 2009 lalu melalui jalur ilegal6. Berdasarkan latar belakang masalah

tersebut kelompok kami sepakat untuk membahas mengenai “Pertanggungjawaban Negara

Terhadap TKI Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut terbentuklah rumusan-rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban negara terhadap TKI yang menjadi korban tindak

pidana perdagangan manusia?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk memenuhi tugas makalah Kejahatan Lintas Negara

2. Untuk mengetahui bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap pencegahan tindak

pidana perdagangan manusia.

3. Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban negara terhadap TKI yang

menjadi korban tindak pidana perdagangan manusia.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah menambah literatur mengenai

faktor-faktor TKI selalu menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, kebijakan hukum

6 Muhammad Oliez, Suliati TKI Asal Jepara Diduga Korban Perdagangan Manusia ,http://daerah.sindonews.com/read/922463/22/suliati-tki-asal-jepara-diduga-korban-perdagangan-manusia-1415552400 diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.37

4

Page 5: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

pidana terhadap pencegahan tindak pidana perdagangan orang dan pertanggungjwaban negara

terhadap TKI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

E. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode/cara pengumpulan data atau

informasi melalui : Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

menurut Bahder Johan Nasution, adalah penelitian untuk mengkaji masalah-masalah hukum 7.

Pendekatan Perundang-undangan (Statute approach).

7 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung, Mandar Maju, 2008), hlm. 84.

5

Page 6: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Istilah kebijakan sebenarnya serapan kata dari bahas Inggris “Policy”, dan bahasa

Belanda “Politiek”. Istilah Policy dalam Blacks Law Dictionary disebutkan, The general

principles by which gounerment is guided in management of publick off affairs. Sedangkan

menurut Girindro Pringgodigdo bukanlah terjemahan dari Policy, tetapi terjemahan dari

wisdom. Policy diartikan sebagai “kebijaksanaan” sedangkan wisdom diartikan sebagai

”kebijakan”. Namun dalam sehari-hari terjadi kekakcauan, kekeliruan dan kebingungan

(confused) dalam penggunaannya, sehingga orang awam sulit untuk membedakan antara

istilah “kebijaksanaan/policy” dengan “kebijakan/politics/politiek”8.

Dalam bahasa Indonesia, istilah kebijakan berasal dari kata “bijak” yang artinya pandai,

mahir, selalu menggunakan akal budinya. Kata bijak tersebut menjadi “kebijakan”, yaitu

kepandaian; kemahiran; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar

rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Menurut

James E. Anderson, kebijaksanaan negara merupakan langkah dan tindakan yang secara

sengaja dilakukan oleh seorang pemeran atau sejumlah pemeran (actors), berkenaan dengan

adanya masalah atau perseolan tertentu yang dihadapi9.

Dari istilah kebijakan tersebut diatas, kemudian dalam ilmu hukum sering digunakan

istilah kebijakan hukum, yang selalu dihubungkan dalam hal memutuskan suatu perkara yang

tidak hanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang

berlaku saja, tetapi selalu dihubungkan dengan kebijaksanaan atas pertimbangan keadilan.

8 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahnya, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hlm.43.9 Ibid., hlm.44

6

Page 7: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

Istilah-istilah tersebut, kemudian dalam hukum pidana sering digunakan sebagai

pengertian “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana” , yang merupakan

terjemahan dari “penal policy, criminal law policy atau strafrechts politiek”10.

2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

Membahas kebijakan hukum pidana dapat diawali dari sistem, peranan dan fungsi

hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat dimulai dari usaha

dalam membuat dan merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik,

yang tidak dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Usaha untuk melakukan penanggulangan kejahatan dalam hukum pidana, pada

dasarnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, atau bagian dari kebijakan

penegakan hukum (law enforcement policy). Law enforcement policy pada hakikatnya

merupakan bagian internal dari usaha perlindungan masyarakat (social defence). Jadi

kebijakan/politik hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik social

(social policy).

Kebijakan sosial (social policy) merupakan usaha yang rasional untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam

pengertian social policy, sekaligus tercakup didalamnya social walfare policy dan social

defence policy. Atas dasar itu, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup

bidang hukum pidana materill, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana11.

Kebijakan hukum pidana merupakan upaya untuk mencapai kesejahteraan (social

walfare policy), pada akhirnya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada

masyarakat (social defence policy) dalam pelaksanaan dapat dilakukan melalui berbagai

strategi, sesuai dengan kebijakan pembangunan masyarakat/ social global yang mengacu

pada kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diantaranya yaitu12 :

10 Ibid., hlm.4511 Ibid., hlm.5712 Ibid., hlm.64-65

7

Page 8: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

1. Strategi dasar/pokok penanggulangan kejahatan, ialah meniadakan faktor-faktor

penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.

2. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan

integral/sistematik (jangan simplistic dan pragmentair).

3. Perlu memperhatikan beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang sifatnya

transnasional, regional dan internasional, yang berhubungan dengan

kesejahteraan modern.

4. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum.

5. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan managemen

organisasi/managemen data.

6. Perlu disusunnya Guidelines, Basic Principle, Rules, Standard Minimum Rules

(SMR).

7. Perlu ditingkatkan kerja sama internasional dan bantuan teknis, dalam rangka

memperkukuh the rule of law dan management of criminal justice system.

Berdasarkan dimensi di atas, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana

sebenarnya berhubungan dengan pembaruan hukum pidana yang menyeluruh yaitu

meliputi hukum pidana materil (substantif), hukum pidana formal (hukum acara pidana),

dan hukum pelaksanaan pidana (strafvollsrechtkungsgesezt). Ketiga bidang hukum

pidana ini harus besama-sama diperbarui. Pembaruan terhadap salah satu bidang saja,

akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan pembaruan tidak akan

tercapai seluruhnya.

Pelaksanaan kebijakan hukum pidana dapat dilakukan oleh badan yang berwenang

untuk menetapkan peraturan yang dikehendakinya, yang dapat diperkirakan, yang

dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat, dan

untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk kebijakan hukum pidana berarti usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai keadaan dan situasi

pada suatu waktu tertentu dan untuk masa yang akan dating. Atas dasar itu kebijakan

8

Page 9: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

hukum pidana akan mempunyai pengaruh untuk mengatur atau mengendalikan

masyarakat guna mencapai tujuan tertentu.

Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang

berhubungan dengan hal-hal13:

1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum

pidana.

2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat.

3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum

pidana.

4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam

rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

Seperti diketahui salah satu tujuan dari kebijakan hukum pidana adalah untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat dengan cara memeberikan keadilan kepada

masyarakat yang merupakan bagian utama dari cita hukum. Tanpa cita hukum, maka

keadilan akan menjadi alat yang berbahaya. Keadilan tersebut tetap harus mengikuti

asas persamaan, yang harus diterima oleh setiap orang, karena iitu rasio dari yang dibagi

harus sama dengan rasio dari orang-orangnya.

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam upaya penegakan hukum, bertujuan

untuk perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, berhubungan dengan kepercayaan,

kebenaran, kejujuran dan keadilan, yang dapat dilakukan melalui keseimbangan

penerapan sanksi pidana melalui saran penal dan non penal. Dalam pelaksanaannya

pengenaan sanksi pidana yang berupa penal dan atau non penal itu mempunyai sisi

positif keterbatasan daya kerjanya, yang masing-masing mempunyai sisi positif dan

negatifnya.

B. PENDEKATAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERDAGANGAN ORANG

13 Wisnubroto, Kebijakan hukum pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Tanpa Tahun, hlm. 12.

9

Page 10: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud dan sifatnya merupakan perbuatan yang

bertentangan dengan ketertiban atau tata hukum. Yang dapat mergikan masyarakat,

karenanya harus diberikan sanksi, yang sifatnya berbeda dengan sanksi cabang hukum

yang lain. Oleh karena itu, hukum pidana mempunyai karakteristik yang khusus

disbanding dengan cabang hukum lainnya, yaitu adanya sanksi pidana yang berupa

tindakan (maatregel), yang berupa nestapa yang dikenakan bagi pelaku/pembuat, dan

tujuan akhirnya adalah memperbaiki tindakan/perbuatan dari pelaku/pembuat.

Dewasa ini tindakan terhadap penerapan sanksi pidana telah mengalami reformasi,

yaitu lebih manusiawi dan rasional, karena penerapan sanksi pidana tidak hanya melulu

sebagai penjeraan (deterrent) bagi pelanggar hukum dan calon pelanggar hukum, tetapi

juga merupakan perlindungan kepada masyarakat, perbaikan (reformasi) bagi pelaku,

dengan kata lain tujuan pemberian sanksi pidana bukan hanya penjeraan, tetapi justru

yang lebih utama adalah mencari alternative solusi yang tidak bersifat pemidanaan dalam

membina para pelanggar hukum.

Ada tiga (3) golongan utama teori untuk menjatuhkan pidana/pemidanaan, yaitu :

1. Teori Absolut/Teori Pembalasan (vergeldings theorin).

Teori yang mengenakan sanksi pidana merupakan syarat mutlak dan keharusan.

Hakikat pidana adalah pembalasan. Penganut teori ini adalah Immanuel Kant,

Hegel, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana lainnya, yang mendasarkan teorinya

pada filsafat Katolik dan juga hukum Islam yang mendasarkan pada Kisas dan Al-

Quran.

2. Teori Relatif/Teori Tujuan (doeltheorien)

Teori ini mendasarkan untuk menyelenggarakan terttib masyarakat (prevensi) akibat

dari kejahatan, yang dapat mewujudkan dalam bentuk menakutkan , memeperbaiki

atau membinasakan .

3. Teori Gabungan (verenigingstheorien).

Teori ini gabungan antara pembalasan dan prevensi, yang menitik beratkan

pembalasan dan sekaligus menggabungkan antara unsur pembalasan dan prevensi.

10

Page 11: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

Dilihat dari tujuan hukum pidana, maka penerapan hukum pidana material dan

formal yang menggunakan sarana sanksi, merupakan bagian dari kebijakan hukum

pidana/politik hukum pidana. Menurut Soedarto apabila hukum pidana hendak

digunakan, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik criminal (social

defence planning), yang merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.

Demikian juga kebijakan hukum pidana terhadap perdagangan orang dapat

dilakukan dengan mengacu pada asas legalitas (legality principle), dan asas kesalahan

(culpabilitas). Berdasarkan kedua asas tersebut, maka pengenaan sanksi pidana terhadap

pelaku perdagangan orang dapat dikenakan melalui pemidanaan (straf) dan penindakan

(metregel).

Menurut Dwidja Priyatno, pengenaan sanksi yang mendasarkan pada kedua asas ini

mempunyai karakteristik, yaitu merupakan:

a. Definisi hukum dari kejahatan (legal definition of crime).

b. Pidana harus sesuai dengan kejahatan (let the punishment fit the crime).

c. Doktrin kebebasan kehendak (doctrine of free will).

d. Pidana mati untuk bebrapa tindak pidana (death penalty for some offenses).

e. Tidak ada riset empiris (anecdotal method; no empirical Researcht).

f. Pidana ditentukan secara pasti (definitie sentence).

Kebijakan hukum pidana terhadap perdagangan orang tidak terlepas dari

perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang juga merupakan upaya

perlindungan terhadap korban. Karena itu dalam kebijakan hukum pidana terhadap

perdagangan orang, merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Disatu sisi hukum

pidana harus dapat melindungi korban tindak pidana yang merupakan hakikat dan bagian

dari masalah perlindungan hukum HAM, dan di sisi lain membicarakan perlindungan HAM

dari pelaku tindak pidana.

Kebijakan hukum pidana terhadap perdagangan orang pun juga tidak dapat terlepas

dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Criminal justice system adalah

11

Page 12: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi

berarti suatu usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas

toleransi masyarakat.

Secara umum, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan:

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakan, dan yang bersalah dipidana, dan

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

kejahatannya.

C. PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA TERHADAP TKI YANG MENJADI KORBAN TINDAK

PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA

Tanggung jawab negara tidak dapat dilepaskan dari tujuan berdirinya suatu negara, seperti

telah ditetapkan dalam Pembukaan UUDNRI 1945 alenia IV tujuan negara Indonesia adalah

melindungi segenap bangsa Indonesia dan melindungi tumpah darah Indonesia dan memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa , dan ikut serta melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka

disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara

Indonesia , yang terbentuk dalam dalam suatu susunan negara Negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan

yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Jika terjadi korban serta mengambil upaya dalam penanganan dan pemulihan korban

perdagangan orang . Dari paparan diatas atas empat (4) dimensi pertanggung jawaban negara

terhadap korban perdagangan orang yaitu; (1) Pencegahan terjadinya perdagangan orang, (2)

penanganan korban, (3). Pemulihan korban, (4). reitegrasi korban .

12

Page 13: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

Langkah-langkah kongkret memperbaiki Penyebab utama perdagangan orang yang

berkorelasi berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh negara yakni :

1. Faktor Ekonomi

Kondisi kemiskinan dan minimnya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk

indonesia memilih alternatif untuk melakukan migrasi di dalam dan ke luar negeri guna

mencari kerja dengan tujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka beserta

keluarga. Selain itu perubahan pola kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi

yang mengutamakan ekonomi berbasis industri daripada ekonomi berbasis agraris.

2. Faktor pendidikan

Meminimalisir pemahaman tentang kentalnya budaya patriarki merupakan salah faktor

penyebab terjadinya perdagangan orang, Budaya patriarki adalah suatu budaya yang

menganggap bahwa anak-anak laki-laki memiliki kelebihan dan keutamaan dibandingkan

dengan anak-anak perempuan terutama dalam hubungannya dengan akses pada harta

keluarga dan pendidikan.Faktor sosial budaya berpengaruh thd kebijakan yang akhirnya

memarginalkan perempuan.

3. Mencegah peluang usaha seluas-luasnya sehingga bisnis perdagangan orang bisnis yang

paling mudah karena tidak memerlukan modal besar, cukup kelihaian dalam merayu calon

korban atau menjerat korban dalam perangkap utang piutang, tetapi mendatangkan

keuntungan yang sangat besar. Sehingga banyak orang tergiur untuk malakukan bisnis

memperdagangkan orang. Bisnis ini terutama di bisnis industri seks, pengantin pesanan,

kawin kontrak dalam penempatan TKI, serta peredaran narkoba dan obat-obat terlarang,

4. Administrasi kependudukan negara Indonesia mengalami degradasi nilai dimana maraknya

pemalsuan identitas yang dilakukan secara sadar untuk mempermudah mencari pekerjaan.

Pemalsuan identitas ini menyangkut usia, status, pendidikan serta alamat/ tempat tinggal.

Tanggung jawab negara dalam perdagangan orang tidak hanya terbatas pada upaya

bagaimana mencegah perdagangan orang tetapi dalam perspektif hukum administrasi adalah

berkorelasi dgn pelayan publik yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya.

bagaimana negara melaksanakan pelayanan publik yang prima bagi rakyatnya, serta bagaimana

masyarakat mengakses pelayanan publik tersebut, salah satunya adalah informasi yang lengkap

13

Page 14: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perdagangan orang. Kerangka hukum

pertangung jawaban Negara terhadap korban perdagangan orang :

1. UU. No. 21 Th. 2007

2 UU. No. 7 Th. 1984. Ttg Ratif Konv. CEDAW

3. UU. No. 6 Th.2011. Ttg Keimigrasian

4. UU. No. 39 Th. 1999. Ttg Hak Asasi Manusia.

5. UU. No. 39 Th. 2004. Ttg PPTKILN

6. UU. No. 13 Th. 2006. Ttg Perlindungan Saksi Dan Korban.

7. UU. No .23 Th .2002. Ttg Perlindungan Anak.

8. UU. No. 13 Th. 2003. Ttg Ketenagakerjaan.

9. UU. No. 36 Th. 2009. Ttg Kesehatan.

Tujuan umum dari peraturan perundang-undangan tersebut diatas adalah melindungi

seluruh warga negara indonesia serta penghormatan dan Perlindungan terhadap hak asasi

manusia. Tujuan secara khusus adalah mencegah terjadinya perdagangan orang dimana secara

tegas dirumuskan dalam UU No 21 Tahun 2007, sedangkan persoalan perlindungan anak dan

pencegahan perdagangan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2004, UU No 39 tahun 2004

mengatur mekanisme penempatan TKI di LN, karena UU PTKI LN merupakan ladang munculnya

perdagangan orang. UU NO 9 tahun 2009 keimigrasian yang mengatur tentang lalu lintasmigrasi

dari dan ke luar negeri.

Ketidak selarasan dari peraturan perundang-undangan yang ada adalah definisi yang tidak

sama ttg perdagangan orang terutama juga yang berkaitan dengan perdagangan anak. UU

PTPPO & UU PA) Konteks Tanggung Jawab negara terhadap korban perdagangan orang dalam

UU No. 21 tahun 2007 tidak tergambar secara jelas, terutama yang berkaitan luput dari

perlindungan anak, persetujuan korban bukan alasan pembenar perbuatan perdagangan orang

serta norma repatriasi yang masih hampa. Disamping itu UU PTPPO tidak disertai dgn aturan

pelaksana dan dalam implementasinya tidak dapat berdiri sendiri karena masih bergantung

pada peraturan lain yang terkait.

14

Page 15: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

Konsep tanggung jawab negara terhadap korban perdagangan orang adalah konsep

tanggug jawab yang bersifat pelayanan pasif karena bersifat umum yaitu dalam bentuk

perlindungan terhadap korban tindak pidana pada umumnya, sedangkan perdagangan orang

adalah kejahatan khusus yang bersifat transnasional yang kental dengan dimensi kejahatan

kemanusiaan, sehingga perlu adanya pembaharuan konsep tanggung jawab negara adalah

konsep yang tanggung jawab yang lebih berperspektif korban dengan mengedepankan keadilan

dan hak asasi manusia.

Pertanggungjawaban negara terhadap korban tindak pidana perdagangan manusia :

a) Pembukaan UUDNRI Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa tujuan pembentukan Negara

Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencedarkan kehidupan bangsa, dan ikut

serta melaksanakan ketertiban dunia.

b) Bab X A UUDNRI Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28 I ayat (4) menyebutkan

bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah

tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Itulah tanggung jawab dan kewaiban

negara terhadap warga negaranya.

c) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

- Bab II. Asas-asas dasar, pasal 8 : “Perlindungan, pemajuan, penegakan hak asasi

manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah” .

- Bab V. Kewajian dan Tanggung Jawab Pemerintah, pasal 71: “ Pemerintah wajib dan

bertanggung jawab menghormati , melindungi, menegakan, dan memajukan hak hak

asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan

lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara

Republik Indonesia. Pasal 72,” Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagai

dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah-langkah implementasi yang efektif dalam

bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan

bidang lain.”

Dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM), masalah kepentingan korban tindak kejahatan

merupakan bagian dari persoalan hak asasi manusia pada umumnya. Prinsip Universal

15

Page 16: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

sebagaimana termuat dalam The Universal Declaration of Human Right (10 Desember 1948)

dan The International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966)14 mengakui

bahwa semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan

hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap tindakan pelanggaran

hak-hak asasi yang di jamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.15

Dalam Pasal 9 ayat (5) dari Covenant di atas di gariskan prinsip ganti rugi yang

menggariskan bahwa ” anyone who has been the victim of the unlawful arrest or detention shall

have enforceable right to compensation”. Rumusan-rumusan diatas kemudian didukung dengan

Konvensi Menentang Tindak Pidana Terorganisir Antarnegara (United Nations Convention

Against Transnational Organized Crime,2002), yang dalam Pasal 25 memberikan prinsip bahwa

Negara negara hendaknya mengambil langkah-langkah tepat dalam bentuk sarana-sarana

memberikan bantuan serta perlindungan kepada korban dari pelanggaran yang tercakup dalam

konvensi.16

Ada beberapa bentuk perlindungan yaitu restitusi, rehabilitasi dan reintegrasi17. Pada

dasarnya perlindungan korban untuk mengatasi dampak yang dirasakan korban sebagai akibat

dilakukannya tindak pidana terhadap tindak kejahatan kepada mereka. Dari uraian diatas jelas

bahwa hak-hak korban perdagangan orang adalah inklusif sebagai hak-hak korban tindak

pidana, sehingga dalam upaya penanganan korban perdagangan orang selaras dengan

ketentuan yang berlaku, walaupun pada prisnsipnya UU PTPPO perspektifnya lebih

menekankan pada penghukuman pelaku dan pemberatan hukuman terhadap pelaku

perdagangan orang. Sedangkan hak-hak korban pada UU PTPPO lebih menekankan pada

mekanisme perlindungan terhadap saksi dan korban serta proses korban mendapatkan hak-

haknya sebagai korban perdagangan orang.

14 The International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966), dikutip dari Soeparman,Parman, Haji, Op. Cit, hal. 51

15 The Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, Desember, 10 Th 1948, (Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia) di kutip dari Soeparman, Parman, Haji, Ibid.

16 Soeparman, Parman, Haji, Ibid17 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung :Alumni 1992) hlm.

78.

16

Page 17: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

Setelah lahirnya UU No.21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana

perdagangan orang (PTPPO), pemerintah telah lebih memfokuskan diri untuk memberikan

perlindungan terhadap korban perdagangan orang. Sebagaimana yang termuat dalam BAB V

tentang perlindungan saksi dan korban dari pasal 43 sampai dengan pasal 55, yang mana dalam

pasal-pasal tersebut menguraikan tentang hak-hak dari korban dan juga model perlindungan

yang dapat diberikan kepada korban kejahatan perdagangan orang.

Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan dapat

juga diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, untuk lebih mendalami bentuk

perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan orang, maka terdapat beberapa bentuk

atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban adalah Pemberian Restitusi dan

Kompensasi Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak

memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan

kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau

psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti rugi terkandung dua manfaat yaitu

untuk memenuhi kerugian materil dan segala biaya yang telah dikeluatkan dan merupakan

pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban

mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan

sebagai suatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.

Menurut Gelaway yang merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian yaitu18 :

1. meringankan penderitaan korban;

2. sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan;

3. sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana

4. mempermudah proses peradilan

5. dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas

dendam.

18 http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2008/12/oleh-oktarinaz-maulidi-bab-i.html diakses pada tanggal 28 November 2014, jam 18.00 wib

17

Page 18: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

Pengertian restitusi menurut Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada

pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil

dan/atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya. Pembebanan Restitusi kepada

pelaku adalah lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan

oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang

diderita korban. Di Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya

dan restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak

menentukan dan merumuskan secara tegas mengenai ukuran besar atau indikator jumlah

restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan.

Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan korban

tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. Ganti kerugian oleh negara

tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara bertanggung

jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya. Menurut Stephen

Schafer, antara restitusi dan kompensasi memliki perbedaan tersebut di lihat dari sudut sifat

dan juga siapa yang akan membayarnya.

Rehabilitasi adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikhis dan social. Menurut

Stephen Schafer, perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi lebih bersifat

pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku atau merupakan

wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat keperdataan, yang

timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk

pertanggungjawaban masyarakat atau negara.

a. Selain perlindungan yang dimaksud dalam UU No.21 tahun 2007, undang-undang

tersebut juga memberikan hak-hak kepada korban kejahatan perdagangan orang yang

berupa : Hak kerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan

keluarganya sampai derajat kedua. (Pasal 44) Kerahasiaan identitas merupakan

perlindungan keamanan pribadi korban dan ancaman fisik maupun psikologis dari

18

Page 19: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

oranglain . Dengan kerahasiaan identitas korban ini menghindari penggunaan identitas

korban seperti tentang sejarah pribadi, pekerjaan sekarang dan masa lalu, sebagai

alasan untuk menggugurkan tuntutan korban atau untuk memutuskan tidak dituntut

para pelaku kejahatan. Selain itu juga kerahasiaan identitas dan sejarah korban tidak

boleh menjadi catatan publik secara terbuka sehingga dapat mempersulit yang

bersangkutan untuk melaksanakan dan memenuhi hak-haknya sebagai manusia,

perempuan atau anak kecuali jika diizinkan identitasnya dipublikasikan oleh korban.

b. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa

dan/atauhartanya (Pasal 47) Perlindungan keamanan dari ancaman terhadap diri, jiwa

dan/atau harta sangat diperlukan oleh korban, karena kerentanan korban yang

diperlukan kesaksiannya, dapat diteror dan diintimidasi dan lain-lain telah membuat

korban tidak berminat untuk melaporkan informasi penting yang diketahuinya. Jika

perlu korban ditempatkan dalam suatu tempat yang dirahasiakan atau disebut rumah

aman. Perlindungan terhadap korban diberikan baik sebelum, selama maupun sesudah

proses pemeriksaan perkara.

c. Hak untuk mendapat restitusi (Pasal 48) Setiap korban atau ahli warisnya berhak

memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas 1) kehilangan kekayaan atau

penghasilan, 2) penderitaan, 3) biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau

psikologis dan/atau 4) kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan

orang. Kerugian lain dimaksud ketentuan ini adalah kehilangan harta milik; biaya

transportasi dasar; biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses

hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Restitusi tersebut diberikan

dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pemberian restitusi

dilaksanakan dilaksanakan dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal pemberian restitusi berupa ganti

kerugian dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Jika pelaku

tidak mampu membayar restitusi maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti

paling lama satu tahun.

19

Page 20: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

d. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan

reintegrasi sosial dari pemerintah. (Pasal 51) Dalam penjelasan undang-undang tersebut

bahwa rehabilitasi kesehatan maksudnya adalah pemulihan kondisi semula baik fisik

maupun psikhis. Rehabilitasi sosial maksudnya adalah pemulihan dari gangguan

terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat

melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam

masyarakat. Reintegrasi sosial maksudnya adalah penyatuan kembali korban tindak

pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau penggantian keluarga yang

dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Adapun hak

atas pemulangan harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar

menginginkan pulang dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut.

Pemerintah dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggungjawab dalam bidang

kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial dan dapat dilaksanakan

secara bersama-sama antar penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi dan

kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal. Untuk

mendapatkan hak memperoleh rehabilitasi dapay dimintakan oleh korban atau kuasa

hukum dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian

e. Korban yang berada di luar negeri berhak dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas

biaya negara. (Pasal 54) Korban yang berada di luar negeri akan diberikan bantuan

untuk dipulangkan melalui perwakilan di luar negeri yaitu kedutaan besar, konsulat

jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau

kekonsuleran lainnya dengan biaya negara. Secara garis besar aturan-aturan tentang

tindak pidana perdagangan orang sudah sesuai dengan kovensi yang sudah diratifikasi

walaupun belum sempurna.

20

Page 21: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

BAB III

PENUTUP

Membahas kebijakan hukum pidana dapat diawali dari sistem, peranan dan fungsi hukum

atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat dimulai dari usaha dalam

membuat dan merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik, yang tidak

dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Usaha untuk melakukan penanggulangan kejahatan dalam hukum pidana, pada dasarnya

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, atau bagian dari kebijakan penegakan hukum

(law enforcement policy). Law enforcement policy pada hakikatnya merupakan bagian internal

dari usaha perlindungan masyarakat (social defence). Jadi kebijakan/politik hukum pidana

merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik social (social policy).

Maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya berhubungan dengan

pembaruan hukum pidana yang menyeluruh yaitu meliputi hukum pidana materil (substantif),

hukum pidana formal (hukum acara pidana), dan hukum pelaksanaan pidana

(strafvollsrechtkungsgesezt). Ketiga bidang hukum pidana ini harus besama-sama diperbarui.

Seperti diketahui salah satu tujuan dari kebijakan hukum pidana adalah untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat dengan cara memeberikan keadilan kepada masyarakat yang

merupakan bagian utama dari cita hukum. Tanpa cita hukum, maka keadilan akan menjadi alat

yang berbahaya. Keadilan tersebut tetap harus mengikuti asas persamaan, yang harus diterima

oleh setiap orang, karena iitu rasio dari yang dibagi harus sama dengan rasio dari orang-

orangnya.

Demikian juga kebijakan hukum pidana terhadap perdagangan orang dapat dilakukan

dengan mengacu pada asas legalitas (legality principle), dan asas kesalahan (culpabilitas).

Berdasarkan kedua asas tersebut, maka pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku perdagangan

orang dapa dikenakan melalui pemidanaan (straf) dan penindakan (metregel).

Bentuk tanggung jawab negara terhadap korban selama ini adalah pemberian ganti rugi,

restitusi dan pelayanan lain dengan merujuk pada UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

21

Page 22: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

saksi. Dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang ,

penghargaan atas hak asasi manusia belum sepenuhnya dapat diwujudkan bahkan ada

kecenderungan untuk mengabaikan pihak korban, termasuk keluarganya karena lemahnya

korban dalam mempertahankan kedaulatan harga diri akibat rendahnya pendidikan,

kemiskinan dan tidak meratanya pembangunan

hak korban menuntut pertanggung jawaban negara adalah :

a) Negara sebagai entitas yang dibentuk berdasarkan kesepakatan warganya untuk

diamanatkan sebagai pelindung warga negara dan orang-orang yang berada dalam

negara sesuai dengan tujuan dibentuknya negara.

b) Hak-hak korban perdagangan orang implementasinya merujuk pada UU Perlindungan

Saksi Dan Korban UU yang mengatur tentang korban kejahatan pada umumnya, padahal

korban perdagangan orang merupakan korban yang sangat spesifik dan perlu

penanganan khusus

c) Aspek viktimologi terhadap Kepentingan Korban Perdagangan Orang, pada umumnya

korban perdagangan orang sering diabaikan karena undang-undang lebih focus kepada

pelaku, korban sering dikategorikan sebagai bagian yang menyebabkan timbulnya

kejahatan, demikian pula dari kacamata victimologis yaitu pendekatan yang dilakukan

lebih ditekankan pada kepentingan korban

Upaya perlindungan korban terhadap perdagangan perempuan ada beberapa bentuk

perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu pemberian restitusi, kompensasi,

rehabilitasi, layanan konseling, bantuan hukum dan pemberian informasi.

22

Page 23: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

DAFTAR PUSTAKA

Literatur :

Buku :

Henny Nuraeny (2013). Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahnya. Jakarta Timur: Sinar Grafika.

Muladi dan Barda Nawawi Arif (1992). Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Nasuiton, Bahder Johan (2008). Metode Penelitian Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Wisnubroto. Kebijakan hukum pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer.

Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.

Jurnal :

Any Suryani.H. (2013). Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Perdagangan Orang

(Trafficking) Dari Perspektif Hak Asasi Manusia. From http://hukum.ub.ac.id/wp-

content/uploads/2013/04/Jurnal-Any-Suryani.doc diakses pada tanggal 25 November

2014, Jam 14.15 wib.

Internet :

Andy Yentryani (2014). Meretas Perdagangan Orang Melalui Media. From

http://uai.ac.id/2014/07/03/kuliah-umum-perdagangan-orang-dalam-perspektif-

psikologi-media-yang-diselenggarakan-oleh-program-studi-psikologi-fakultas-psikologi-

universitas-al-azhar-indonesia-di-jakarta-30/ diakses pada tanggal 25 November 2014,

jam 15.18 wib.

Azmiati Zuliah (2012). Permasalahan Perdagangan Orang. From

http://hukum.kompasiana.com/2012/11/05/permasalahan-perdagangan-orang--

500681.html diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.25 wib.

Erdy Nasrul (2014). TKI Kerap Jadi Korban Perdagangan. From

Orang,http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/09/nbm588-tki-kerap-

23

Page 24: Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Human Trafficking

jadi-korban-perdagangan-manusia diakses pada tanggal 25 November 2014, Jam 15.23

wib.

Muhamad Iqbal. Maraknya Human Trafficking Yang terjadi Di Indonesia. From

http://www.academia.edu/5442811/MARAKNYA_HUMAN_TRAFFICKING_DI_INDONESIA

diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.19 wib.

Muliarta. 20 Persen TKI menjadi Korban Perdagangan Manusia. From

http://www.voaindonesia.com/content/duapuluh-persen-tki-jadi-korban-perdagangan-

manusia/1686372.html diakses pada tanggal 26 November 2014, jam 14.35 wib.

Muhammad Oliez. Suliati TKI Asal Jepara Diduga Korban Perdagangan Manusia. From

http://daerah.sindonews.com/read/922463/22/suliati-tki-asal-jepara-diduga-korban-

perdagangan-manusia-1415552400 diakses pada tanggal 25 November 2014, jam 15.37

wib.

Oktarinaz Maulidi (2008). Upaya Perlindungan Bagi Korban Kejahatan Human Trafficking. From

http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2008/12/oleh-oktarinaz-maulidi-bab-i.html

diakses pada tanggal 28 November 2014, jam 18.00 wib.

Undang-Undang :

The International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966)

The Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, Desember, 10 Th

1948, (Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia)

24