pptnd makalah fix (kelompok 4a)
DESCRIPTION
PPTNDTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dilihat dari sejarahnya, Indonesia sudah mengalami Sembilan kali pemilihan umum.
Pada pemilu yang diselenggarakan pertama kali di tahun 1955 diikuti oleh 172 partai politik,
dan enam kali pemilu pada masa orde baru dan dua kali di masa reformasi. pemilu pertama
pada masa orde baru yang diikuti sepuluh partai politik kemudian disederhanakan menjadi
dua partai politik dan Golongan karya berdasarkan UU No. 3/ 1975 tentang partai politik dan
Golkar. Setelah reformasi bergulir di tahun 1998 yang mana pintu gerbang kebebasan
berdemokrasi dibuka lebar-lebar, partai politik kembali bermunculan untuk meramaikan
pesta demokrasi. Ada 48 partai peserta pemilu waktu itu dengan ideologi yang tidak beracuan
pada pancasila saja. Kemudian 24 partai politik yang mengikuti pemilu 2004 yang
merupakan pemilu secara langsung pertama kali di Indonesia. Pada pemilu yang terakhir ini
banyak kalangan yang menilai sebagai kemajuan yang luar biasa dalam perjalanan demokrasi
Indonesia, dengan diikuti perubahan yang mendasar pada bangunan sistem politik kita
sebagai konsekuensi dari amandemen terhadap UUD 1945. Salah satunya adalah pemilihan
presiden secara langsung, suatu mukjizat yang luar biasa setelah 32 tahun terbelenggu oleh
rezim totalitarian orde baru. Kemudian pada pemilu 2009 mendatang, sistem multi partai
makin popular.
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang menyertakan banyak partai, tentu
akan membawa dampak pada beragamnya aktivitas politik dari masing – masing partai
politik. Dalam suatu penyelenggaraan kekuasaan pasti didasari proses politik. Proses tersebut
1
berawal dari pihak – pihak yang menginginkan kekuasaan lalu melakukan usaha – usahanya
untuk meraih kekuasaan tersebut. Usaha – usaha tersebut bisa dilakukan secara individu
ataupun kolektif yang mengusung seseorang untuk menduduki jabatan kekuasaan. Ketika
proses melakukan usaha tersebut, tentu mereka melakukan komunikasi – komunikasi politik.
Komunikasi politik yang dilakukan dapat berorientasi pada perolehan dukungan maupun
mencari celah dalam upaya mencapai tujuanya. Komunikasi politik memiliki beberapa
orientasi atau sasaran yakni komunikasi kepada masyarakat sebagai calaon pemilih,
komunikasi kepada pihak – pihak yang berkepentingan untuk diajak berkoalisi atau bahkan
komunikasi kepada penyelenggara negara atau pemerintah. Dalam melakukan komunikasi –
komunikasi tersebut, pihak yang bersangkutan biasa memakai media massa sebagai sarana
untuk berkomunikasi. Hal ini yang menyebabkan informasi yang ada dalam media massa
sering diintervensi oleh kepentingan politik. Dalam banyak hal, segi politik memiliki peranya
tersendiri. Maka dari itu, tidak jarang ketika komunikasi politik dilakukan, akan lebih terlihat
tujuan komunikasi tersebut. Informasi yang ditampilkan tidak lain adalah untuk
mengumpulkan dukungan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses komunikasi politik yang ada di Indonesia?
2. Apakah tujuan dari komunikasi politik ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui proses komunikasi politik di Indonesia agar dapat berjalan dengan
baik.
1
2. Untuk mengetahui tujuan dari komunikasi politik di Indonesia.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah agar pembaca yang membaca tulisan ini nantinya dapat
mengetahui proses dan tujuan komunikasi politik di Indonesia agar dapat berjalan dengan
baik.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LANDASAN TENTANG KOMUNIKASI POLITIK
Kajian komunikasi politik bersifat dimensional dan kasuistik karena berkatian dengan
berbagai macam problem dan kompleksitas permasalahan. Tidak hanya berkisar pada
pembahasan proses komunikasi yang memuat pesan-pesan politik, tetapi juga membahas
bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem politik atau sistem
pemerintahan yang mencakup bahasan-bahasan.
begaimana sistem itu dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi
berikutnya.Menurut Maswardi Rauf mengatakan bahwa :“Komunikasi politik sebagai objek
kajian ilmu politik karena pesan-pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi
bercirikan politik, yaitu berkaitan dengan kekuasaan politik negara, pemerintah, dan aktivis
komunikator sebagai pelaku kegiatan politik. Komunikasi politik dibagi dalam dua dimensi
yakni : (1) sebuah kegiatan politik : penyampaian pesanpesan yang bercirikan politik oleh
actor-aktor politik kepada pihak lain; (2) kegiatan ilmiah : kegiatan politik dalam sistem
politik.” (Mahi, 2010:36) Sedangkan menurut Golding (1986) mengatakan
bahwa :“Komunikasi politik sebagai pandangan pesimistik yang menceritakan terhadap
muatan politik sebagaimana terdistreibusi dalam berbagai bentuk melalui media massa
terhadap sebagian besar audiens yang didominasi pada berbagai sumber dengan cakupan
kepentingan media itu sendiri, bukan kepentingan warganegara atau proses demokratis.
Terhadap ruang lingkup terbatas bagi para komunikator massa dalam menambahkan unsure-
1
unsur atau bumbu-bumbu politik, karena batasan-batasan yang telah disebutkan atau karena
meningkatkan pengaruh norma-norma objektivitas politik. Pengaruh terlalu kuat dari
tampilan mendapatkan perhatian dalam ketidakseimbangan waktu dan ruang yang ditunjukan
pada prosedur dan personalitas-personalitas dibandingkan dengan masalah-masalah substansi
politik. Dalam pengertian lain komunikasi politik berarti citra rasa mengenai berita-berita
tentang politik serta sebab-sebab utama yang harus dibentuk dalam suatu kombinasi,
sosialisasi melalui media dan struktur sosial.” (Adiyana, 2008:50)
2.2 Teori Kebutuhan.
Teori kebutuhan mengemukakan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan
psikologis, rasa mana dan kepastian, kasih sayang, penghargaan diri, dan katualisasi diri.
Perilaku manusia merefleksikan upaya untuk memenuhi kebutuhan ini. Kecuali jika orang
telah memenuhi kebutuhan pokok tertentu –kebutuhan akan makanan, pakain, rumah, energi,
keturunan, dsb- sedikit seklai kemungkinan bahwa mereka akan berpikir, merasa atau
bertindak secara politis. Orang hanya berbalik kepada politik hanya setelah memenuhi
kebutuhan pokok fisik dan sosial.
Para perumus teori kebutuhan berargumentasi bahwa banyak diantara yang dipelajari
orang tentang politik bergantung pada kepribadian yang diperoleh pada masa kanak-kanak
sementara berusaha memenuhi kebutuhan pokok psikologis dan sosial pada masa dini
usianya.
Tulis Knutson, betapa pentingnya pola kepribadian yang dipelajari anak sebelum
memulai pendidikan formalnya. Sehingga “Kperibadian individu, sebagai mana dibentuk
1
dalam tahun-tahun pertama usianya, akan merupakan sumber yang lebih penting meskipun
kurang tampak dari ‘informasi, nilai, atau perasaanya di hadapkan kepada’ peraturan dasar
yang pokok yang mengerjakan dan menghubungkan seluruh sistem kemanusiaan –sosial,
politik, dan ekonomi –kepada ketimbang sosialisasi yang terjadi bersamaan dan di kemudian
hari terwujudnya yang mempengaruhi dirinya. Ringkasnya, kebutuhan membuat anak itu
menjadi bapak manusia politik.
2.3 Teori psikoanalitik.
Dua variasi yakni personal dan interpesoanal, bagaimana kepribadian mempengaruhi
belajar dan perilaku politik.
Personal. Aliran personal dari teori psikoanalitik adalah tradisi Sigmund Freud. Freud
berpendapat bahwa orang bertindak atas dasar motif yang tak disadarinya maupun atas dasar
pikiran, perasaan dan kecenderungan yang disadari dan sebagaian disadari. Freud
berpendapat tentang proses yang menjadi pokok berfungsinya kepribadian:
(1) Id, yaitu proses orang yang berusaha memaksakan keinginnanya akan hal yang
menyenangkan.
(2) Ego, alat yang digunakan untuk menliai sekitar orang itu, atau realitas.
(3) Superego, yaitu gagasan orang diturunkan (biasanya melalui pengalaman dengan orang
tuanya) tentang apa baik dan buruk itu.
1
Proses id mencari kesenangan dan perasaan benar atau salah, direfleksiakn didalam superego,
sering berselisih. Ego menyeleseikan konflik ini melalui berbagai mekanisme pertahanan.
Mekanisme ini mencakup represi (memaksakan kepercayaan nilai, dan pengharapan
yang mengancam keluar dari kesadaran), pengalihan (mengalihkan reaksi emosional dari satu
objek ke objek yang lain), sublimasi (mencari cara yang dapat diterima untuk
mengungkapkan dorongan yang dengan cara lain tidak diterima), rasionalsasi ( memberikan
alasan yang meragukan untuk membenarkan perilaku atau utnuk menghilangkan
kekecewaan), regresi (kembali kepada perilaku yang tidak dewasa, pembentukan reaksi
(beralih dari satu ekstrem kepada ekstrem yang berlawanan), introjeksi (memungut pendirian
orang lain sebagai pendirian sendiri), atau identifikasi ( meningkatkan rasa kuat, aman dan
atau terjamin dengan mengambil sifat orang lain)
Teori psikoanalitik yang dibawa ke dalam dunia politik ini mengemukakan bahwa
mekanisme pertahanan yang tidak disadari menghalangi belar politik yang adaptif.
Interpersonal. Varian intrepersonal dari teori psikoanalitik sebagian besar berasal dari
karya Harry Stack Sullivan. Dalam kata-kata Sullivan, “Keprinadian adalah pola yang relatif
kekal dari situasi interpersonal yang berulang yang menjadi ciri kehidupan manusia.”
Sullivan menerima pandangan bahwa manusia memiliki kebutuhan biologis sebagai
pembawaan. –kebutuhan akan makanan, air, kehangatan, dan pembuangan yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Tambahnya, bahwa manusia membutuhkan rasa aman dari
pengalaman dengan orang lain yang membangkitkan kecemaan maupun jaminan pemuasan
ketegangan yang bersifat biologis. Dan dalam mengurangi kecemasan dan memuasakan
1
tuntutan bilogis orang sering terbentur pada hubungan sengan oarang lain yang rumit dan
menyimpang.
Dalam keadaan ini orang mengembangkan mekanisme pertahanan, atau apa yang oleh
Sullivan disebut “operasi keamanan”., untuk memelihara rasa aman bersama sesamanya.
Sullivan menekankan empat operasi yaitu:
(1) Sublimasi, yang sama dengan mekanisme pertahanann yang diakui dalam teori Freud.
(2) Obsesionalime, yaitu kecenderungan gagasan atau dorongan untuk tumbuh begitu
mendesak dan mengganggu sehingga individu tidak dapat menghilangkannya dari kesadaran
(dalam beberapa hal, dorongan ini mengambil bentuk verbalime ritualisitk dengan sifat
hampir magis.
(3) Disosiasi, yaitu mekanisme untuk menjaga agar pikiran yang bertentangan tetap terpisah,
(4) Keacuhan selektif dan lawannya, perhatian selektif, atau kebiasaan melihat apa yang kita
ingin melihatnya dan menghindari informasi yang mengancam. disosiasi dan keacuhan
selektif memilki gabungan langsung dengan komunikasi politik dan proses opini.
Selain itu para peneliti sosialisasi politik yang mengambil dari pemikiran Sullivan,
mengemukakan bahwa salah satu cara utama anak-anak memperoleh kepercayaan dan nilai
politik ialah melalui proses pengalihan interpersonal.
2.4 TEORI SIFAT.
1
Teori-teori dalam kategori ini berfokus pada kecenderungan atau predisposisi yang
menentukan cara orang berprilaku. Setiap kepribadian mengandung seperangkat sifat yang
unik dan individual. Oleh karena itu, orang dapat dibandingkan satu sama lain berdasarkan
perbedaan sifat mereka –perbedaan yang diukur dengan skala yang menujukan berapa
banyak sari setiap sifat itu yang dimiliki seseorang.
Contohnya sifat kepribadian yang diukur dengan skala seperti ini meliputi apakah
seseorang mudah menyesuaikan diri atau kaku, emosional atau tenang, cermat atau ceroboh,
konvensional atau eksentrik, mudah cemburu atau tidak, sopan atau kasar, pembosan atau
tekun, lembut atau keras, rendah hati atau sombong, dan lemah atau bersemangat. Sejumlah
ilmuwan sosial menerangkan politik sebagai refleksi sifat kepribadian. Studi lain berusaha
menentukan sifat yang mencakup kepribadian konservatif.
2.5 TEORI TIPE.
Teori ini mengklasifikan orang ke dalam kategori-kategori berdasarkan karakteristik
yang dominan atau tema pokok yang timbul berulangkali dalam perilaku politik mereka.
Meskipun kebanyakan upaya untuk menguraikan kepribadian politik telah menerapkan teori
tipe berfokus pada karakter dan gaya pemimpin politik, di sini perhatian kita adalah pada
mereka yang etlah menggunakan teori tipe untuk memperhitungkan bagaimana khalayak
komunikasi politik belajar menanggapai dengan berbagai cara.
Dalam teori ini berdasarkan perbedaan dalam pengaruh orang tua terhadap kepribadian
seseorang terbadi pada beberapa tipe golongan, diantaranya:
1
(1) Golongan Inaktif adalah sesorang yang berpartisipasi dalam organisasi politik atau sosial
di suatu tempat, mereka sama memiliki tipe asuhan orang tua yang sama. Orang tua mereka
mengkhawatirkan kesehatan, konformitas, dan kepatuhan akan tuntutan orang tua.
(2) Golongan kovensionalis terdiri dari anggota perkumpulan laki-laki dan perempuan.
Orang yang relatif sedikit keterlibatannya dalam politik dan merupakan stereotif “Orang
Biasa” yang konvensional, orang tua yang konvensional pada umumnya setia kepada nilai
sosial tradisional seperti tanggung jawaban, konformitas, prestasi, dan kepatuhan serta
menuntut perilaku yang patut secara sosial dari anak-anak mereka. Oarang tua ini
menggunakan hukuman fisik fisik dan psikologis dalam mendidik anak-anak mereka.
(3) Golongan konstruktivis bekerja pada proyek pelayanan sosial, tetapi jarang menjadi
peserta protes yang terorganisasi; orang tua mereka menekankan disiplin, prestasi, dan
keandalan, pengungkapan diri yang terbatas, dan menggunakan hukuman nonfisik. Mereka
lebih diakrabi anak-anak mereka ketimbang orang tua golongan konvensionalis.
(4) Golongan aktivis mengajukan protes ataus kekecewaan mereka terhadap kejelekan
masyarakat yang dipersepsi dan juga turut dalam proyek pelayanan masyarakat untuk
memperbaiki keburukan itu, orang tua mereka mendorong anak-anak merela untuk
independen dan bertanggungjawab, mendiring ekspresi diri berupa jenis agresi fisik, dan
keurang menekan disiplin jika dibandingkan dengan kelompok yang diuraikan diatas. Namun
mereka mengenang hubungan dengan orang tua sebagai hubungan yang kaku.
(5) Golongan penyingkin (disenter) adalah yang hanya terlibat dalam protes-protes
terorganisasi. Orang tua golongan ini tidak konsisten dalam melaksanakan pendidikan anak.
1
Mereka serba membolehkan (permisif) dalam bidang tertentu,d an sangat ketast (restriktif)
dalam bidang lain, mereka kurang menekankan indenpedensi dan kedewasaan yang dini
dibandingkan dengan orang tua yang lain, namun menuntut prestasi melalui persaingan.
Golongan pengingkar jauh lebih cenderung unturk memprotes sebagai bentuk
pemberontakan terhadap orang tua daripada dalam golongan yang lain.
Kebaikan atau kekurangan tipologi seperti itu di sini bukan pokok masalah,
melainkan hanya contoh tentang bagaimana para sarjana kadang-kadang mencoba
menerangkan politik sebagai refleksi kepribadian. Berbeda dengan teori sifat, pandangan tipe
bukan menujukan kecenderungan yang menentukan perilaku, melainkan berfokus pada
konsfigurasi perilaku yang memisahkan orang terhadap satu sama lain. Namun, baik dalam
teori sifat maupun teori tipe, masa kanak-kanak mempengaruhi permainan peran utama
dalam memberi bentuk kepada pengungkapan politik. Tema bahwa manusia politik itu
dilahirkan dari anak, sekali lagi terjadi.
2.6 TEORI FENOMENOLOGIS.
Teori fenomenologis adalah pandangan bahwa peran kepribadian dalam perilaku
(termasuk kepribadiandalam politik) paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan
langsung orang –yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memeprhatikan dan
memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka.
Oleh sebab itu, teori fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunia
secara subjektif –sensasi, perasaan, dan fantasi yang terlibat- adalah titik tolak untuk meneliti
bagaimana orang menanggapi berbagai objek.
1
Dua garis uatam berpikir merefleksikan pendekatan fenomenalogis yaitu:
(1) Teori Gestalt tentang persepsi. Penganut teori ini berargumentasi bahwa aspek utama
kepribadian ialah bagaimana orang menyusun pengalaman ke dalam pola atau konsfigurasi.
Mereka menekankan prinsip kesederhanaan dalam menyusun persepsi.
(2) Teori medan. Teori ini berargumentasi bahwa kepribadian (pola perilaku yang kekal dan
diperoleh dengan belajar) saja tidak dapat menerangkan bagaimana orang berprilaku. Setiap
orang memilki ruang hidup yang tersusun dari medan gaya. Dalam bertindak, individu
mendekati atau menghindari gaya dan objek dalam ruang hidupnya sebagaiaman ia
memahami gaya itu saat bertindak.
Pengalaman yang lalu tentu bisa merupakan gaya di dalam medan itu, tetapi tidak
menentukan bagaimana orang akan bertindak terhadap objek dalam situasi tertentu. Teori
medan. Menolak gagasan bahwa penyebab tindakan manusia terletak pada masalah yang
sudah lama dari setiap individu; sebaliknya, bidang pada saat sekarang adalah produk dari
bidang tersebut menurut keadaanya pada masa yang baru saja lewat pengalaman masa lalu
jauh turut membentuk bidang masa sekarang secara tidak langsung dengan perjalanan waktu,
tetapi pengalaman yang segera memberikan keterangan yang lebih pasti tentang mengapa
orang berperilaku seperti apa yang dilakukannya dalam bidang masa sekarang.
Teori bidang mencakup dua gagasan yang mempunyai relevansi khusus dengan
politik, yang pertama ialha bahwa belajar politik merupakan proses kumulatif, bahwa
pengalaman yang sedang dialaminya membantu seseorang mendiferensiasikan kepercayaan,
nilai dan pengharapan yang difus yang dipungutnya pada msa kanak-kanak. Manusia politik
1
mengajari anak masa lalu dengan melibatkan diri ke dalam pengalaman yang baru yang
sebelumnya tidak diperhitungkan.
1
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK
Komunikasi Politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor
politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan
pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru.
Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan
"yang diperintah".
3.2 PROSES KOMUNIKASI POLITIK
Proses komunikasi politik sama dengan proses komunikasi pada umumnya (komunikasi tatap
muka dan komunikasi bermedia) dengan alur dan komponen:
1. Komunikator/Sender – Pengirim pesan
2. Encoding – Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan
3. Message – Pesan
4. Media – Saluran
5. Decoding – Proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol
6. Komunikan/Receiver – Penerima pesan
1
7. Feed Back – Umpan balik, respon.
3.3 SALURAN KOMUNIKASI POLITIK
1. Komunikasi Massa – komunikasi ‘satu-kepada-banyak’, komunikasi melalui media massa.
2. Komunikasi Tatap Muka –dalam rapat umum, konferensi pers, etc.— dan Komunikasi
Berperantara –ada perantara antara komunikator dan khalayak seperti TV.
3. Komunikasi Interpersonal – komunikasi ‘satu-kepada-satu’ –e.g. door to door visit, temui
publik, etc. atau Komunikasi Berperantara –e.g. pasang sambungan langsung ’hotline’ buat
publik.
4. Komunikasi Organisasi – gabungan komunikasi ‘satu-kepada-satu’ dan ‘satu-kepada-
banyak’: Komunikasi Tatap Muka e.g. diskusi tatap muka dengan bawahan/staf, etc. dan
Komunikasi Berperantara e.g. pengedaran memorandum, sidang, konvensi, buletin,
newsletter, lokakarya, etc.
3.4 BENTUK – BENTUK KOMUNIKASI POLITIK
A. Komunikator Politik
Menurut Nimmo, salah satu ciri komunikasi ialah bahwa orang jarang dapat
menghindari dan keturutsertaan. Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain pun
memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua adalah komunikator, begitu
1
pula siapa pun yang dalam setting politik adalah komunikator politik (2000:28). Meskipun
mengakui bahwa setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa
relatif sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya serta tetap dan
sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya bertukar pesan politik; mereka adalah
pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga
negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka berbicara
dan berbuat.
Sebagai pendukung pengertian yang lebih besar terhadap peran komunikator politik
dalam proses opini, Leonard W. Dood dalam Nimmo (2000:30) menyarankan jenis-jenis hal
yang patut diketahui mengenai mereka: ”Komunikator dapat dianalisis sebagai dirinya
sendiri. Sikapnya terhadap khalayak potensialnya, martabat yang diberikannya kepada
mereka sebagai manusia, dapat mempengaruhi komunikasi yang dihasilkannya; jadi jika ia
mengira mereka itu bodoh, ia akan menyesuaikan nada pesannya dengan tingkat yang sama
rendahnya. Ia sendiri memiki kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dikonseptualkan
sesuai dengan kemampuan akalnya, pengalamannya sebagai komunikator dengan khalayak
yang serupa atau yang tak serupa, dan peran yang dimainkan di dalam kepribadiannya oleh
motif untuk berkomukasi.
Berdasar pada anjuran Doob, jelas bahwa komukator atau para komunikator harus
diidentifikasi dan kedudukan mereka di dalam masyarakat harus ditetapkan. Untuk keperluan
ini Nimmo (2000:30) mengidentifikasi tiga kategori politikus, yaitu yang bertindak sebagai
komunikator pilitik, komunikator profesional dalam politik, dan aktivis atau komunikator
paruh waktu (part time)
1
B. Politikus Sebagai Komunikator Politik
Kelompok pertama ini adalah orang yang bercita-cita untuk memegang jabatan
pemerintah dan memegang pemerintah yang harus berkomunikasi tentang politik dan disebut
dengan politikus, tak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau jabatan karier, baik jabatan
eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Pekerjaan mereka adalah aspek aspek utama dalam
kegiatan ini. Meskipun politikus melayani beraneka tujuan dengan berkomunkasi, ada dua
hal yang menonjol. Daniel katz (dalam Nimmo,2000:30) menunjukkan bahwa pemimpin
politik mengarahkan pengaruhnya ke dua arah, yaitu mempengaruhi alokasi ganjaran dan
mengubah struktur sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian.
Dalam kewenangannya yang pertama politikus itu berkomunikasi sebagai wakil suatu
kelompok; pesan-pesan politikus itu mengajukan dan melindungi tujuan kepentingan politik,
artinya komunikator politik mewakili kepentingan kelompoknya. Sebaliknya, politikus yang
bertindak sebagai ideologi tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan
kelompoknya, ia lebih menyibukkan diri untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas,
mengusahakan reformasi dan bahkan mendukung perubahan revolusioner.
Termasuk dalam kelompok ini, politikus yang tidak memegang jabatan dalam
pemerintah, mereka juga komunikator politik mengenai masalah yang lingkupnya nasional
dan internasional, masalah yang jangkauannya berganda dan sempit.
Jadi banyak jenis politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, namun untuk
mudahnya kita klasifikasikan mereka sebagai politikus (1) berada di dalam atau di luar
1
jabatan pemerintah, (2) berpandangan nasional atau sub nasional, dan (3) berurusan dengan
masalah berganda atau masalah tunggal.
C. Profesional Sebagai Komunikator Politik
Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil
sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama:
munculnya media massa yang melintasi batas-batas rasial, etnis, pekerjaan, wilayah, dan
kelas untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional; dan perkembangan serta-merta
media khusus yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan
(Nimmo, 2002:33).
Seorang komunikator profesional, menurut James Carey (dalam Nimmo, 2000:33)
adalah seorang makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat
suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain dan berbeda
tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional menghubungkan golongan
elit dalam organisasi atau kominitas mana pun dengan khalayak umum; secara horizontal ia
menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada tingkat struktur sosial yang
sama.
Bagaimanapun, karena menjadi komunikator profesional, bukan politikus, profesional
yang berkomunikasi menempatkan dirinya terpisah dari tipe-tipe komunikator politik yang
lain, terutama aktivis politik.
1
3.5 TUJUAN KOMUNIKASI POLITIK
a. Citra Politik, karena menurut Robert (1977) (Arifin, 2003:105) bahwa komunikasi tidak
secara langsung menimbulkan pendapat dan perilaku tertentu, tetapi cenderung
mempengaruhi cara khalayak mengorganisasikan citranya tentang lingkungan, citra (image)
adalah gambaran seseorang (figure) yang tersusun melalui persespsi yang bermakna melalui
kepercayaan, nilai dan pengharapan. Menurut Dan Nimmo (2000:6-7) citra politik terjalin
melalui pikiran dan perasaan secara subjektif yang akan memberikan penilaian dan
pemahaman terhadap peristiwa politik tertentu.
b. Pendapat Umum, yang diterjemahkan dari bahasa inggris public opinion dikenal pada awal
abad ke-18 menurut Alquin menganggap bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan “voxpopuli,
voxdei”, William Albig (Arifin, 2003:116) pendapat umum adalah hasil interaksi antara
orang-orang dalam suatu kelompok, sedang Whyte menyebutkan sebagai suatu sikap rakyat
mengenai suatu masalah yang menyangkut kepentingan umum sehingga bisa dicirikan
sebagai :
(a) pendapat, sikap, perasaan, ramalan, pendirian dan harapan-harapan dari individu,
kelompok dalam masyarakat tentang masalah yang berhubungan dengan kepentingan umum
atau persoalan sosial;
(b) hasil interaksi, diskus, atau penilaian sosial antar individu berdasarkan pertukaran pikiran
secara sadar dan rasional;
(c) pendapat umum akan dapat dikembangkan, dirubah dan dibentuk oleh media massa; (d)
bisa dilakukan pada penganut paham demokratis.
1
c. Partisipasi Politik, menurut Kevin R Hardwick sebagai perhatian dari warga negara yang
berupaya menyampaikan kepentingan – kepentingannya terhadap pejabat publik; sedang
Meriam Budiardjo (dalam faturohman dan sobari, 2002:185) mengartikan sebagai kegiatan
seseorang atau kelompok untuk ikut serta aktif dalam memilih pimpinan negara dan secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Atau menurut Samuel P
Huntngton sebagai kegiatan warga negara yang bertindak secara pribadi atau kolektif dengan
maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, secara spontan atau
terorganisasi, mantap atau sporadic secara damai atau kekerasan, legal atau illegal dan efektif
atau tidak efektif. Bisa berupa :
(a) Agregasi kepentingan (interest aggregation fungtion), pada fungsi init erdapat proses
penggabungan kepentingan, untuk kemudian dirumuskan dan disalurkan kepada pemegang
kekuasaan atau pemerintah yang memegang kekuasaan dan yang berwenang untuk dijadikan
kebijakan public,
(b) Fungsi artikulasi kepentingan (interest articulation fungtion), pada fungsi ini terjadi
proses sintesis aspirasi individu-individu sebagai anggota kelompok berupa ide, pendapat
yang kemudian dijadikan pola dan program politik.
d. Sosialisasi Politik, menurut David Easton dan Jack Dennis sebagai suatu proses
perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi – orientasi politik dan pola-pola
tingkah laku. Kemudian Robinson oleh Alexis S Tan (Harun dan Sumarno, 2006:82)
merupakan proses perubahan perilaku yang berhubungan erat dengan proses belajar
pemahaman terhadap peristiwa politik.
1
e. Pendidikan Politik, adalah sebagai usaha menanamkan, merubah atau mempertahankan
sistem nilai politik atau orientasi politik dengan mengaktifkan proses sikap, perilaku, sistem
berfikir, pandangan seseorang atau kelompok, baikkader, simpatisan, dan masyarakat umum,
yang dilakukan oleh politikus. Professional dan aktivis (sebagai komunikator politik) atau
oleh lembaga (organisasi) seperti partai politik.
f. Rekrutmen Politik, yaitu suatu usaha untuk mengajak kepada individu-individu masuk ke
dalam orientasi dan nilai politik, yang pada akhirnya secara kongkrit menjadikan anggota
politik baik simpatisan sampai kader politik dan pengurus organisasi politik.
3.6 Komunikasi Politik sebagai Bagian Partisipasi Politik
Partisipasi politik memang mengarah pada kegiatan warga negara dalam berperan aktif
dalam setiap aktivitas politik dalam rangka penyelenggaraan kehidupan bernegara. Aktivitas
warga negara tersebut bisa saja mempengaruhi pengambilan serta pelaksanaan kebijakan
yang diambil oleh pemerintah. Dalam hubunganya dengan partisipasi politik, partai politik
memiliki peran sebagai pembuka kesempatan, mendorong, dan mengajak para anggota partai
nya serta segenap masyarakat agar mereka ikut menyuarakan aspirasi bersama partai untuk
mempengaruhi proses politik. Hal ini semakin mempertegas bahwa partai politik adalah
wadah partisipasi politik dan bersama masyarakat dan pemangku kepentingan melakukan
komunikasi – komunikasi politik.
Komunikasi yang menyuarakan aspirasi partai politik pada hakekatnya adalah
penjelmaan dari aspirasi masyarakat luas. Namun demikian sering disalah gunakan untuk
1
mencari pencitraan oleh oknum – oknum partai politik yang menjadikan aspirasi masyarakat
sebgai salah satu misi mereka. Selanjutnya misi tersebut dijadikan alat untuk menghimpun
dukungan dengan latar belakang suara rakyat namun tujuan utamanya adalah memperoleh
kekuasaan.
Ketika partai politik bertindak sebagai aktor politik maka saat itu partai politik juga
bertindak sebagai pemaduan kepentingan. Dengan adanya beragam kepentingan yang berasal
dari rakyat, maka tidak heran jika terbentuk banyak partai politik di Indonesia. Berdasar dari
kenyataan tersebut, arah gerak partai tentu akan menentukan dukungan masyarakat yang
akan masuk dalam partai tersebut. Sehingga memang sering terjadi koalisi – koalisi partai
politik dalam proses politik yang bertujuan untuk memadukan misi partai politik sehingga
pola pemerintahan akan sesuai dengan arah gerak partai politik.
Sebagian perilaku – perilaku partai politik tersebut dipublikasikan lewat media massa.
Jadi media massa menjadi instrument terpenting dalam rangka komunikasi politik baik.
Madia massa yang bebas akan mendukung pula opini – opini publik yang selanjutnya dapat
menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks penyelenggaraan
Pemilu baik legislatif maupun eksekutif, media massa memegang peranan penting dalam
upaya komunikasi politik dari para kandidat kepada masyarakat atau pemilih.
Jadi dalam konteks komunikasi politik, pemilu merupakan bentuk komunikasi dua
arah antara partai dan kandidat politik dengan rakyat (pemilih). Kedua entitas tersebut
mempersuasi para calon pemilih dengan cara menawarkan program politik bahwa mereka
sangat layak dipilih untuk memimpin pemerintahan ke depan. Saat itulah esensi dari
komunikasi politik dalam hal mencari dukungan suara akan terlihat. Para kandidat bertarung
untuk memperebutkan suara rakyat dengan mengkomunikasikan tujuan mereka pada calon
1
pemilih agar pemilih yang sepaham dengan visi misi mereka akan memilih calon kandidat
yang sesuai. Dalam rangka menumbuhkan gairah partisipasi politik masyarakat agar
komunikasi politik kandidat tidak sia – sia, sering kali para calon kandidat tersebut
menggunakan bantuan public figure sebagai calon kandidat mereka yang sudah sangat akrab
atau sering muncul di media.
1
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 KESIMPULAN
Bahwa setiap teori dari komunikasi politik memang memiliki pendapat serta sudut
pandang yang berebeda. Namun demikian, inti dari komunikasi politik yakni penyampaian
informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada
pemerintah. Fungsi partai politik dalam kaitanya dengan hal tersebut adalah sebagai media
komunikasi atau mediator komunikasi yang menyampaikan segala keputusan dan penjelasan
dari pemerintah kepada masyarakat.
Namun tidak menutup kemungkinan adanya manipulasi informasi dari pihak
pememgang kekuasaan atau penguasa secara politik dalam menyampaikan informasi –
informasi tersebut kepada maysarakat. Manipulasi tersebut dilakukan dalam rangka
memepertahankan kekuasaanya. Masyarakat yang membutuhkan informasi akan bertidak
lebih kritis dalam menanggapai isu – isu atau informasi yang dihembuskan oleh mediator
komunikasi politik. Sikap kritis itu bertujuan untuk menentukan sikap mereka kepada pihak
yang bersangkutan atas informasi tersebut.
Dalam konteks pemilu, komunikasi politik Indonesia sudah banyak perubahan. Ini
terbukti dengan adanya mekanisme memilih langsung para kandidat politik, di zaman Orde
Baru hal ini tidak pernah terjadi. Bahkan komunikasi politik pemilu, khususnya kampanye
politik, mengalami revolusi yaitu yang dahulu memakai cara-cara konvensional dalam
mempersuasi pemilih, kini menggunakan konsep amerikanisasi kampanye politik, yang pada
1
akhirnya menciptakan politisi selibiriti. Sangat disayangkan kemajuan tersebut ternyata tidak
diiringi dengan kegiatan kampanye permanen oleh para kandidat politik terpilih atau partai
politik, dimana belum terbuktinya janji-janji kampanye yang akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan bahkan rakyat dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan ekonomi,
karena pejabat terpilih tidak berdaya terhadap mekanisme pasar (internasional). Inilah
menjadi penyebab utama yang mengakibatkan semakin rendahnya partisipasi politik pemilih
(rakyat).
Dalam konteks demokrasi, komunikasi politik adalah cerminan dari sebagian
partisipasi politik. Dalam bentuk apapun interaksi yang terjadi dalam komunikasi politik
akan dianggap sah dan benar. Kecuali jika terdapat peraturan tertentu yang melarang
sebagian bentuk komunikasi politik, maka aka nada tidakan yang sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
1
DAFTAR PUSTAKA
Subakti, Ramlan. 1992. Memahami ilmu politik. Jakarta : Grasindo.
Budiarjo, Miriram. 2008. Dasar – Dasar Ilmu Politik . Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Soladity : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, komunikasi dan ekologi Manusia Vol I 2007
oleh Zahri Nasution.
Jurnal Komunikasi Politik dan Demokratis di Indonesia : Dari Konsolidasi Menuju
Pematangan. Edisi II 2005 oleh Idham Holik.