preskas

30
BAB I PENDAHULUAN Rhinitis alergi (RA) adalah suatu penyakit hipersensifitas tipe I Gell dan Comb yang diperantai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran dengan keluhan bersin-bersin, hidung beringus serta hidung tersumbat. (Suprihati, 2004) Angka prevalensi Rinitis Alergi masing-masing negara berbeda-beda misalnya Thailand 20%, Singapura 15%, Malaysia 17%, sedangkan Indonesia 15%. Ditinjau dari segi usia Rinitis Alergi tumbuh sejak bayi, terlihat meningkat pada umur 5 – 10 tahun, dengan puncaknya umur 20 tahun, kemudian menurun pada usia 30 tahun. (Sumarman I, 1993) Diagnosis Rinitis Alergi dapat ditegakkan atas dasar keluhan penderita, riwayat keluarga, kelainan mukosa hidung eosinofil usapan mukosa hidung tes provokasi, tes kulit tusuk (prick test), kenaikan IgE. (Burmester GR et. Al, 2006) Di RSUD Dr. Moewardi pemeriksaan untuk penunjang diagnosis Rinitis Alergi dengan pemeriksaan usapan mukosa hidung dan tes kulit tusuk. Tes provokasi tidak dilakukan oleh karena menimbulkan rasa tidak nyaman pada penderita. ( Maesano IA, 2002) Sedangkan pemeriksaan IgE mahal. (Irawati N, Kasakeyan, 2004) 1

Upload: ita-asarmuna

Post on 27-Sep-2015

241 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kasus

TRANSCRIPT

12

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis alergi (RA) adalah suatu penyakit hipersensifitas tipe I Gell dan Comb yang diperantai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran dengan keluhan bersin-bersin, hidung beringus serta hidung tersumbat. (Suprihati, 2004)

Angka prevalensi Rinitis Alergi masing-masing negara berbeda-beda misalnya Thailand 20%, Singapura 15%, Malaysia 17%, sedangkan Indonesia 15%. Ditinjau dari segi usia Rinitis Alergi tumbuh sejak bayi, terlihat meningkat pada umur 5 10 tahun, dengan puncaknya umur 20 tahun, kemudian menurun pada usia 30 tahun. (Sumarman I, 1993)

Diagnosis Rinitis Alergi dapat ditegakkan atas dasar keluhan penderita, riwayat keluarga, kelainan mukosa hidung eosinofil usapan mukosa hidung tes provokasi, tes kulit tusuk (prick test), kenaikan IgE. (Burmester GR et. Al, 2006)

Di RSUD Dr. Moewardi pemeriksaan untuk penunjang diagnosis Rinitis Alergi dengan pemeriksaan usapan mukosa hidung dan tes kulit tusuk. Tes provokasi tidak dilakukan oleh karena menimbulkan rasa tidak nyaman pada penderita. ( Maesano IA, 2002) Sedangkan pemeriksaan IgE mahal. (Irawati N, Kasakeyan, 2004)

Tes kulit tusuk ini pada prinsipnya merupakan reaksi hipersensitifitas tipe I lokal. Bila orang telah tersensitisasi kemudian dilakukan tes tusuk kulit, maka akan timbul reaksi lokal pada kulit akibat pelepasan zat mediator oleh mastosit. (Mygind, Malml, 1985). Kelebihan tes ini adalah cepat dan jarang positif palsu, namun kekurangannya terjadi tes negatif palsu. (Sudjana A,1991) Tes kulit tusuk merupakan tes yang mempunyai nilai diagnosis yang tinggi dibandingkan pemeriksaan lgE. (Sumarman I, 1993)

Pada reaksi alergi terjadi terjadi akumulasi sel inflamasi pada mukosa hidung, (Yuliusson S, et al, 1992) sel-sel inflamasi yang berakumulasi di mukosa hidung adalah sel eosinofil dan sel limfosit (Sumarman I, 1993, Maesano et. al, 2002), dengan kata lain sel eosinofil pada usapan mukosa hidung dipakai penentu biologi alergi. (Barata Wijaya K, 2000)

Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak, bentuk sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu, semua sinus memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sfenoidalis.1,2 Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi 2,3

1. Grup Anterior :

Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior

Ostia di meatus medius

Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring

2. Grup Posterior :

Ethmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis

Ostia di meatus superior

Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sfenoidalis. Sinus maksila dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan sinus sfenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-superior rongga hidung. Sinussinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis tengah.1,4 Sinus frontalis berada di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontalis mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus ini telat berkembang sehingga jarang ditemukan sinusitis pada anak-anak.1,4

Deviasi septum merupakan keadaan yang sering terjadi, bervariasi dari ringan yang tidak mengganggu, hingga deviasi septum berat yang dapat menyebabkan penyempitan hidung sehingga mengganggu fungsi fisiologis hidung dan menyebabkan komplikasi (Nizar dkk., 2007). Studi klinis menunjukkan bahwa prevalensi deviasi septum meningkat seiring dengan usia. Vander Veken menunjukkan bahwa prevalensi deviasi septum pada anak-anak meningkat dari 16% sampai 72% secara linear dari usia 3 hingga 14 tahun, sedangkan Gray melaporkan diantara 2112 orang dewasa, kejadian deviasi septum adalah 79% (Harar dkk., 2004).

Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal (Benninger dkk., 2006; Panduan diseksi cadaver 2009). Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari hari. Di Amerika Serikat menurut National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 2001 sebanyak 12,3 juta kunjungan ke pelayanan kesehatan disebabkan oleh rinosinusitis kronis atau 1,3% total kunjungan pertahun. Sedangkan kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang datang di Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005, adalah 435 penderita.

Di Makassar sendiri, dari 3 rumah sakit pendidikan periode tahun 2003-2007 dilaporkan sebanyak 41,5% penderita rinosinusitis (Panduan diseksi cadaver 2009; File 2006; Rahmi dkk., 2008). Adanya deviasi septum dapat menyebabkan penyempitan pada satu ataupun kedua sisi hidung dan akan terjadi perubahan pola aliran udara pada proses bernafas dan akhirnya mengganggu fungsi organ pernapasan lainnya termasuk sinus paranasal. Perubahan pola aliran udara akibat deviasi septum selain mempengaruhi sinus paranasal juga dapat mempengaruhi fungsi tuba Eustachius. Terdapat beberapa etiologi gangguan fungsi tuba Eustachius. Salah satunya adalah obstruksi mekanik yang dapat terjadi secara intraluminer maupun ekstraluminer.

Obstruksi secara intraluminer seperti pada keadaan alergi atau infeksi dapat menyebabkan edema sepanjang mukosa tuba Eustachius. Sedang obstruksi secara ekstraluminer seperti tumor terutama tumor nasofaring, polip nasi yang ekstensif ,hipertrofi adenoid yang menekan ostium tuba Eustachius, deviasi septum dan rinosinusitis. Namun, dalam literatur yang ada, belum terdapat pandangan yang seragam mengenai pengaruh deviasi septum terhadap pendengaran terutama terhadap fungsi tuba dan telinga tengah (Chmielik 2006; Seibert dkk., 2006; Healy dkk., 2003).

Konka bulosa merupakan pneumatisasi pada konka nasal, dapat terjadi pada semua konka (inferior,media dan superior), terutama terjadi pada konka media karena yang tersering terpapar turbulensi udara (Uygur, 2003). Pneumatisasi pada konka ini merupakan salah satu variasi anatomi sinonasal yang paling sering terjadi. Frekuensi konka bulosa telah dilaporkan oleh berbagai penelitian sebesar 14 53 %. Bolger et al telah mengklasifikasikan pneumatisasi konka bulosa berdasarkan lokasinya menjadi 3 : Lamellar, bulbous, dan extensif (true).4 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CB mungkin memiliki peran dalam etiologi sinusitis, dan beberapa penelitian lain menunjukkan hasil sebaliknya.1,5Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis dikatakan kronik apabila telah berlangsung sekurangnya dalam 12 minggu.6,7 Sinusitis maksilaris kronik adalah sinusitis maksilaris yang telah menimbulkan perubahan histologik pada mukosa sinus maksila, yakni fibrosis dan metaplasi squamosa.8,9 Rinosinusitis Kronik (RSK) menjadi masalah bagi dokter umum dan ahli THT mengingat anatomi dan etiologi yang kompleks. Kelainan secara anatomi menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian rinosinusitis. Kelainan/variasi anatomi menyebabkan efek obstruksi kerhadap kompleks osteomeatal (KOM) dan menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya sinusitis. Konka bulosa merupakan salah satu variasi anatomi yang sering ditemukan pada penderita rinosinusitis kronik. Ketika dua permukaan mukosa bertemu karena bengkak atau gangguan secara anatomi, transpor mukosilia terhambat di daerah yang terjadi kontak10,11.

Adanya variasi anatomi ini diduga berpengaruh terhadap patensi KOM yang dapat menimbulkan rinosinusitis maksilaris. Penelitian Muhaimeed et al. menyebutkan bahwa patensi osteomeatal ditentukan oleh lebar ostium sinus maksilaris, processus uncinatus, bulla ethmoid, konka media, dan lebar meatusmedia.12Sejauh mana struktur anatomi hidung, terutama konka bulosa berpengaruh terhadap kejadian rinosinusitis maksilaris kronik perlu diketahui untuk menjadi salah satu panduan dalam menentukan rencana terapinya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Rhinitis Alergi

1. Anatomi Mukosa Hidung

a. Mukosa

Mukosa hidung disusun oleh sel kolumner semu berlapis bersilia dengan membrana basalis sebagai pemisah terhadap sub mukosa. Diantara epitel mukosa terdapat sel-sel goblet yang menghasilkan mukus glikoprotein. Pada sub mukosa terdapat kelenjar mukus, serus dan seromukus dimana kelenjar mukus menghasilkan glikoprotein, kelenjar serus menghasilkan lisozim dan laktoferin, endopeptidase dan Si IgA. Sel limfosit pada orang normal terdapat pada membran basalis sedangkan mastosit terdapat pada jaringan ikat mukosa, ujung saraf dan pembuluh darah. (Suprihati W, 1999).

Gambar 1. Mukosa Hidung (Aria, 2002)

Keterangan : Basal sel, goblet sel, columner sel bersilia

b. Pembuluh Darah

Pembuluh darah mukosa hidung menurut fungsinya dibedakan atas : 1. Capacitance vessels menentukan banyak sedikitnya darah tertimbun 2. Exchange vessels untuk pertukaran zat dengan jaringan 3. Ressistance vassels untuk membentuk kecepatan aliran darah. (Mygint N, 1985)

Gambar 2. Pembuluh Darah Mukosa Hidung

c. Persarafan

Persarafan mukosa hidung diatur oleh saraf sensoris oleh saraf V, dan parasimpatis oleh saraf VII, simpatis oleh saraf servikalis superior. (Mygind N, 1985)

2. Definisi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet 1986).

Sedangkan menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impac on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.

3. Patofisiologis Rinitis Alergi

Komponen yang berperan untuk timbulnya reaksi alergi adalah a. Alergen b. IgE c. Mastosit d. Mediator kimia e. Organ sasaran. Ada tiga tahap pada reaksi alergi 1) Tahap sensitisasi, sejak respon imunitas terpapar alergen sampai timbulnya IgE spesifik, 2) Tahap aktifasi, saat alergen menempel dan berikatan dengan IgE pada dinding mastosit atau basofil dan melepaskan mediator kimia, 3) Tahap afektor terjadi pengaruh mediator kimia pada organ sasaran. (Sundaru H, 1993, Barata Wijaya, 2000)

Pada Rinitis Alergi alergen gagal diusir oleh sistem pertahanan hidung seperti bersin, gerakan silia, sekretori IgA maka alergen tersebut bereaksi terhadap sel mastosit den sebagai masuk sel lamina propia. Sel fagosit seperti monosit dan makrofag akan bergerak menuju allergen tersebut dengan mengikatnya dan menghancurkannya. Jika belum juga dapat diatasi alergen tersebut maka akan terjadi interaksi dengan makrofag sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang telah di tempeli oleh Mayor Histocompatibility Complek (MHC) kelas II sehigga alergen tersebut dapat dikenal oleh sel limfosit T sebagai benda asing. Sel limfosit T ini akan menghasilkan Inter Leukin 4 (IL4) yang mempengaruhi sel B berproliferasi menjadi sel plasma yang akan menghasilkan IgE spesifik. Limfosit T ada dua yaitu sel T Helper dan sel T supresor. Dimana pada alergi sel T helper lebih tinggi. Pada IgE ini akan menempel pada muka mastosit atau basofil lebih kurang 1 minggu. Migrasi sel-sel dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi ditentukan oleh molekul adesi, pada Rinitis Alergi diperantarai oleh VCAM-1 (Vaskuler Cell Adhesion Molecule-1) yang merupakan molekul adesi untuk sel eosinofil dan sel basofil. (Schleimer RP et. Al, 1992)

Gambar 3. Mediator yang berperan pada reaksi fase cepat dan lambat.

Semula dikenal alergi tipe I adalah reaksi cepat dengan gejala singkat, saat ini diperkenalkan (1) Reaksi tercepat dan (2) Reaksi fase lambat. (Sundaru, 1993) Pada fase cepat gejala timbul beberapa menit setelah paparan maksimum 30 menit. Reaksi cepat ini ditandai dengan kenaikan kadar histamin, kinin, leukotrin prostaglandin dan Platelet Activiting Faktor (PAF) dengan gejala hidung tersumbat, pilek yang encer, bersin dan gatal. Sedangkan reaksi tipe lambat terjadi 3-11 jam setelah paparan dengan akumulasi lokal dan sel-sel inflamasi yaitu : eosinofil, basofil, neutrofil dan limfosit T dengan gejala hidung tersumbat. (Maesano et. Al, 2002).

Gambar 4. Reaksi Tipe 1

3. Klasifikasi Rhinitis Alergi

Klasifikasi rhinitis alergika berdasarkan rekomendasi WHO initiatife ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Astma) pada tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu

2. Peresisten atau menetap : bila gejala lebih dari 4 hari atau minggu dan lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rhinitis alergika dibagi menjadi :

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolah raga, belajar, bekerja dan hal hal lain yang mengganggu

2. Sedang berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

4. Diagnosis Rhinitis Alergi

a. Anamnesis

Hampir 50 % diagnosis rhinitis alergika dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rhinitis alergika yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang, bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang kadang pada RAFL sebagai akibat dari dilepaskannya histamine. Gejala lain yaitu keluarnya ingus atau rhinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, dan kadang kadang disertai dengan air mata banyak keluar (lakrimasi). Gejala yang timbul biasanya tidak lengkap terutama pada anak. Kadang kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu satunya gejala yang diuratakan oleh pasien.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, atau livit disertai adanya secret yang encer dan banyak. Bila gejala peresisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejela spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadia karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Allergic Shiner). Selain dari itu tampak juga anak tampak menggosok gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan, keadaan ini disebut dengan Allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang didorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut dengan allergic cresse. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance) serta dinding lateral faring menebal, lidan tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

c. Pemeriksaan Penunjang

1. In Vitro

a. Pemeriksaan darah tepi : eosinofil bisa normal atau meningkat. Ditemukan eusinofil dalam jumalah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5 cell / lap) mungkin disebabkan oleh alergi makanan.

b. Pemeriksaan PMN (Poli Mono Nuklear) : jika ditemukan cell PMN, ini menunjukkan adanya infeksi bakteri.

c. Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test), sering kali menunjukkan nilai normal kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria.

d. Pemeriksaan IgE Spesifik dengan RAST (Radio Immuno Stasisorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay Test)

2. In Vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan

5. Penatalaksaan Rhinitis Alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Simptomatis

a. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi - 2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c. Imunoterapi

Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

6. Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).

7. Sel Yang Berperan Dalam Rinitis Alergi

Pada Rinitis Alergi sel yang berperan antar lain sel eosinofil, makrofag dan limfosit. Sel eosinofil ke jaringan tempat terjadi reaksi jaringan yang diperantarai oleh eosinofil Chemotatic Factor of Anaphylactic (ECFA) yang dilepas oleh mastosit/ basofil, sedangkan pada fase lambat dipengaruhi oleh Platelet Activacting Factor (PAF), yang juga berfungsi untuk degranulasi netrofil dan eosinofil. Untuk meningkatkan adesi pada endotel. (Suprihati, 2004, Patterson K et. al, 1988)

Sinusitis Maxillaris

1. Definisi

Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya, akhiran umum dalam kedokteran itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis Frontalis merupakan infeksi atau peradangan di daerah sinus frontal.

Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).

2. Anatomi dan fisiologi sinus

Sinus frontalis berada di tulang frontalis, berbeda dalam bentuk dan kedalamannya, berbentuk piramida dengan apeks diatas. Terdapat septum diantara kedua sinus, dasar dari kedua sinus frontalis merupakan atap dari orbital. Dinding postero-superior sinus frontalis dibentuk oleh tulang bagian anterior fossa cranial. Saluran berada didasar sinus, jalan melalui duktus fronto-nasal dan melalui meatus medius atau infundibulum ethmoidalis2,6.

Kapasitas sinus frontalis rata-rata 4-7 ml, dengan ukuran 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Perbedaan ukuran antara cavitas kanan dan kiri dapat ditemukan pada orang yang sama. Sinus frontalis biasanya berseptum dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk pada dinding sinus menunjukkan adanya infeksi sinus 1,6 .

Sinus paranasal diperdarahi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina 1,6 .

Fungsi dari sinus paranasal: 1,2

Pengkondisian udara

Sebagai penahan suhu

Meringankan tengkorak

Resonansi suara

Peredam perubahan tekanan udara

Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung

Gambar 1. Sinus paranasalis tampak depan 5

3. Predisposisi

Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti : 4

1) Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.

2) angguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok, polusi udara, atau karena panas dan kering.

3) Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :

a) Atresia atau stenosis koana

b) Deviasi septum

c) Hipertroti konka media

d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik

e) Tumor atau neoplasma

f) Hipertroti adenoid

g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi

h) Benda asing

4) Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek

5) Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal

6) Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan imunosupresi oleh obat.

4. Penyebab 5

Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).

Penyebab sinusitis akut:

o Infeksi virus

Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas (misalnya pilek).

o Bakteri

Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.

o Infeksi jamur

Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.

o Peradangan menahun pada saluran hidung.

Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya pada penderita rinitis vasomotor.

o Penyakit tertentu.

Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).

Penyebab sinusitis kronis:

o Asma

o Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)

o Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.

5. Gejala

Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam hari. Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena. Pada sinusitis frontalis sakit didahi 7,8 .

a. Gejala akut 7 :

Sakit kepala yang berat di dahi, gejalanya memberat jika menunduk dan menekan di area antara kedua mata dekat hidung, gejala akan berkurang jika mengangkat kepala, pilek (rinore), Demam (biasa tetapi tidak selalu muncul), post nasal drip (cairan hidung), memberatnya gejala berhubungan dengan sakit kepala yang berat, pandangan terganggu, perubahan mental yang ringan (dapat mengindikasikan terjadinya penyebaran infeksi ke otak).

b. Gejala kronik 7 :

Persisten dan sakit kepala derajat ringan, riwayat trauma di daerah sinus. Perluasan infeksi ke tempat lain dapat terjadi secara langsung dari ulserasi, nekrosis dinding sinus, atau hematogen. Sekret di hidung dan post nasal drip, rasa tidak nyaman di faring, pendengaran terganggu. Faktor yang menyebabkan sinusitis akut berubah menjadi kronis ialah 4 :

1) Sinusitis akut yang berulang.

2) Gangguan saluran.

3) Pengobatan yang tidak adekuat.

4) Ada penyakit sistemis seperti diabetes melitus dan leukemia.

Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus. Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak dan dari hidung mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau7 .

6. Komplikasi 4

Saat ini komplikasi sinusitis jarang terjadi karena adanya antibiotika spektrum luas. Komplikasi sinusitis biasanya terjadi pada sinusitis akut. Timbulnya komplikasi karena terapi yang tidak adekuat atau terlambat. Harus waspada jika ada gejala seperti di bawah ini :

1) Sakit kepala menyeluruh yang menetap.

2) Muntah.

3) Kejang.

4) Panas tinggi atau menggigil.

5) Udema atau bertambahnya pembengkakan di daerah dahi atau kelompak mata.

6) Penglihatan kabur, diplopia, atau sakit di daerah retrobulber yang menetap.

7) Tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial.

Komplikasi yang dapat ditemukan :

1. Penyebaran ke arah mata: Pada anak-anak komplikasi yang paling sering ialah ke arah mata sebagai perluasan infeksi dari sinus

2. Osteomyelitis dan sub-periostal abses: Sering disebabkan oleh sinusitis frontalis, kadang-kadang oleh sinusitis maksilaris yang asalnya gigi molar.

3. Komplikasi ke arah kranial:

Meningitis

Abses ekstradural dan subdural.

Abses otak.

Trombosis sinus kavernosus.

7. Pemeriksaan

a. Inspeksi

Yang diperhatikan adalah pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut1

b. Palpasi

Pada sinusitis frontalis terdapat nyeri tekan pada dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita1

c. Perkusi

Dengan perkusi pada lokasi sinus frontalis yang terinfeksi akan memberikan rasa nyeri yang hebat 8

d. Transluminasi (Diaphanoscopia)

Transluminasi pada daerah atap dari orbita jika memberikan gambaran yang terang menunjukkan sinus frontalis berkembang dengan baik dan normal, namun jika gambarannya gelap menunjukkan sinus tidak berkembang atau adanya pus, mukosa yang menebal ataupun terdapatnya neoplasma 1,3.

e. Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis frontalis adalah sebagai berikut 9 ;

1. Posisi Caldwell

Posisi ini didapt dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 derajat karniokaudal dengan titik keluarnya nasion.

Gambar 2. Posisi Caldwell 10

2. Posisi Waters Posisi ini yang paling sering digunakan.

Maksud dari posisi ini adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 derajat dengan film.proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan pandangan terhadap semua sinus paranasal.

Gambar 3. Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka 11

Gambar 4. Posisi Waters 10

3. Posisi lateral Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

Gambar 5. Posisi lateral10

f. CT-SCAN 1

Lebih akurat untuk melihat kelainan sinus, namun harganya lebih mahal.

8. Pengobatan

Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala, memberantas infeksi, dan menghilangkan penyebab. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara konservatif dan pembedahan.

Pengobatan konservatif terdiri dari 4 :

1. Istirahat yang cukup dan udara di sekitarnya harus bersih dengan kelembaban yang ideal 45- 55%.

2. Antibiotika yang adekuat paling sedikit selama 2 minggu.

3. Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri.

4. Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih daripada 5 hari karena dapat terjadi rebound congestion dan rinitis medikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat timbul rasa nyeri, rasa terbakar, dan rasa kering karena atrofi mukosa dan kerusakan silia

5. Antihistamin jika tersangka ada faktor alergi.

6. Kortikosterioid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang agak parah.

Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit yang kronis, otitis media kronika, bronkitis kronis, atau ada komplikasi seperti abses orbita atau komplikasi abses intracranial4.

Prinsip operasi sinus ialah untuk memperbaiki saluran saluran sinus paranasalis yaitu dengan cara membebaskan muara sinus dari sumbatan. Operasi dapat dilakukan dengan alat sinoskopi (1-"ESS = functional endoscopic sinus surgery)4

Teknologi balloon sinuplasty digunakan sebagai perawatan sinusitis, Teknologi ini, sama dengan Balloon Angioplasty untuk jantung, menggunakan kateter balon sinus yang kecil dan lentur (fleksibel) untuk membuka sumbatan saluran sinus, memulihkan saluran pembuangan sinus yang normal dan fungsi-fungsinya. Ketika balon mengembang, ia akan secara perlahan mengubah struktur dan memperlebar dinding-dinding dari saluran tersebut tanpa merusak jalur sinus. Menurut dr Huang metode ini sangat ideal untuk mengatasi masalah pada sinus frontal 12 .

1