preskes paru vidi
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
C. DIAGNOSIS KERJA
1. PPOK Eksaserbasi Akut
2. Susp. ISK
D. MASALAH
- Leukositosis
E. TERAPI
- O2 2 lpm nasal
- Diet Tinggi Protein Rendah Kalori 1700 kkal
- Nebu F : I = 1 = 0,25 mg / 8 jam
- Injeksi Methylprednisolom 62,5 mg / 8 jam
- Injeksi Ceftriaxone 2 gr / 24 jam
- NAC 3x200 mg
F. PLANNING
- UL
- Sputum Mo / Gr / K / R
- Spirometri bila stabil
0
FOLLOW UP PASIEN
A. Pemeriksaan Tanggal 19 Agustus 2015 ( DPH 1 )
S : Sesak nafas berkurang
O : KU : baik, compos mentis
VS : Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Respirasi : 20 x / menit
Suhu : 36,4 ºC
SiO2 : 98 % dengan O2 2 lpm
Kulit :
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), hiperpigmentasi
(-), hipopigmentasi (-).
Kepala :
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut tidak
beruban, tidak rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
Mata :
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor ( 3 mm/ 3 mm ), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
Hidung :
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
Telinga :
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut :
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-).
Leher :
Simetris, trakhea di tengah, JVP tidak menigkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (-).
Thoraks :
1
Asimetris, retraksi (-)
1. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan membesar.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, regular,
bising (-)
2. Paru ( anterior )
Inspeksi statis : Permukaan dada kiri < kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup mulai SIC II
Auskultasi : SDV (+/+mulai SIC II), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Paru ( posterior )
Inspeksi statis : Permukaan dada kiri < kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup mulai SIC II
Auskultasi : SDV (+/+mulai SIC II), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Evaluasi WSD total cairan pleura 2000 cc, bubble (-), emfisema
subcutis (-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada.
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Perkusi : timpani.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas
Oedem ekstremitas (-), Akral dingin (-)
Pemeriksaan Penunjang:
2
1. Foto thorax AP + Lateral
Foto thoraks PA/lateral post WSD
Cor : batas kiri jantung tidak dapat dinilai karena tertutup
perselubungan, CTR tidak dapat dinilai, kesan terdorong ke kanan
Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul di lapang paru kanan.
Sinus costophrenicus kanan anterior posterior normal, kiri anterior
posterior tertutup perselubungan
Retrosterna dan retrocardia space tertutup perselubungan
Hemidiaphragma kanan normal, kiri tertutup perselubungan
Tampak perselubungan homogen di hemithoraks kiri
Trakea kesan terdorong ke kanan
Tak tampak lesi litik/blastik
Tampak terpasang WSD dengan tip distal yang terproyeksi setinggi
VTh 6-7 sisi kiri
Kesimpulan :
Masih tampak gambaran efusi pleura kiri
Terpasang WSD dengan tip distal yang terproyeksi setinggi VTh 6-7
sisi kiri
3
2. BTA cairan pleura
Negatif
Assessment
Efusi pleura sinistra ec dd 1. keganasan primer di paru
2. metastasis ca di paru
3. keganasan efusi pleura
4. pleuritis TB
Plan Terapi
- O2 2 lpm nasal
- Diet TKTP 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- IVFD aminofluid 1 fl/24 jam
- NAC 3x200 mg
Plan Diagnostik :
- Sitologi sputum
- Sitologi cairan pleura
- Sputum BTA + kultur
- BTA cairan pleura + kultur
- Bronkoskopi
- MSCT Thorax dengan kontras (post evakuasi cairan pleura
maksimal)
- Konsul jantung
- Konsul THT
Evaluasi WSD:
- total cairan pleura : 3000 cc
- bubble (-)
- emfisema subcutan (-)
4
- sudah tidak free flowing klem dibuka
Jawaban konsulan:
Diagnosis THT: (19/8/2015)
Observasi hoarsness dd laringitis kronis
Parese plika vocalis
Planning diagnostik: endoskopi 70°
Konsul sub laring-faring THT
B. Pemeriksaan Tanggal 20 Agustus 2015 ( DPH 2 )
S : Sesak berkurang
O : KU : baik, compos mentis
VS : Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
Nadi : 86 x / menit
Respirasi : 20 x / menit
Suhu : 36,5 ºC
SiO2 : 98 % dengan O2 2lpm
Kulit :
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),
hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
Kepala :
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut tidak
beruban, tidak rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
Mata :
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor ( 3 mm/ 3 mm ), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
Hidung :
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
Telinga :
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
5
Mulut :
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-).
Leher :
Simetris, trakhea di tengah, JVP tidak menigkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (-).
Thoraks :
Retraksi (-)
1. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan membesar.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, regular,
bising (-)
2. Paru ( anterior )
Inspeksi statis : Permukaan dada kiri < kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup mulai SIC IV
Auskultasi : SDV (+/+mulai SIC IV), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Paru ( posterior )
Inspeksi statis : Permukaan dada kiri < kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup mulai SIC IV
Auskultasi : SDV (+/+mulai SIC IV), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada.
6
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Perkusi : timpani.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas
Oedem ekstremitas (-)
Akral dingin (-)
Pemeriksaan Penunjang
Hasil mikroskopis direk sputum: (20 Agustus 2015)
- Pengecatan gram : ditemukan gram positif Coccus , leukosit 0-10/
LPB, epitel 0-2/LPB
- Pengecatan BTA dari sputum :
S :
P : negatif
S :
Assessment
Efusi pleura sinistra ec dd 1. keganasan primer di paru
2. metastasis ca di paru
3. keganasan efusi pleura
4. pleuritis TB
Plan Terapi
- O2 2 lpm nasal
- Diet TKTP 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam
- NAC 3x200 mg
Plan Diagnostik
- Spirometri
7
- Bronchoscopy
- MSCT
- USG Abdomen
Evaluasi WSD
- cairan keluar 1500 cc
- cairan serohemoragik
- undulasi (-)
- bubble (-)
- emfisema subcutan (-)
- total cairan pleura keluar : 4500 cc
Pemeriksaan spirometri: (20/8/2015)
- kapasitas vital : 1150 ml , prediksi 3550 ml
- % KV : 32,39% , prediksi 3550 ml
- kapasitas vital paksa (KVP) : 1620 ml, prediksi 2744 ml
- % KVP : 45,63%
- volume ekspirasi paksa detik 1 (VEP1) : 1440 ml
- % VEP1 (VEP1/Prediksi) : 52,47%
- VEP 1 % ( VEP1/KVP) : 88,88%
Kesan: Retriksi Sedang
C. Pemeriksaan Tanggal 21 Agustus 2015 ( DPH 3 )
S : Sesak berkurang
O : KU : baik, compos mentis
VS : Tekanan darah : 120 / 70 mmHg
Nadi : 82 x / menit
Respirasi : 18 x / menit
Suhu : 36,5 ºC
SiO2 : 96 % dengan O2 3lpm
8
Kulit :
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),
hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
Kepala :
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut tidak
beruban, tidak rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
Mata :
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor ( 3 mm/ 3 mm ), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
Hidung :
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
Telinga :
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut :
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-).
Leher :
Simetris, trakhea di tengah, JVP tidak menigkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (-).
Thoraks :
Retraksi (-)
1. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan membesar.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, regular,
bising (-)
2. Paru ( anterior )
Inspeksi statis : Permukaan dada kiri < kanan
9
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup mulai SIC IV
Auskultasi : SDV (+/+mulai SIC IV), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Paru ( posterior )
Inspeksi statis : Permukaan dada kiri < kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup mulai SIC IV
Auskultasi : SDV (+/+mulai SIC IV), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada.
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Perkusi : timpani.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas
Oedem ekstremitas (-)
Akral dingin (-)
Pemeriksaan Penunjang
Hasil mikroskopis direk sputum: (21 Agustus 2015)
- Pengecatan BTA dari sputum: S:
P: negatif
S: negatif
Assessment
Efusi pleura sinistra ec keganasan di paru
10
Dd 1. metastasis ca di paru
2. pleuritis TB
Plan Terapi
- O2 3 lpm nasal
- Diet TKTP 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam
- NAC 3x200 mg
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura merupakan suatu membran tipis yang menutupi parenkim
paru, mediastinum dan diafragma. Jaringan pleura terdiri dari 2 lapisan
yaitu pleura viseral dan pleura parietal dimana pleura viseral menutupi
seluruh parenkim paru sedangkan pleura parietal menutupi bagian dalam
rongga thorak. Ruangan antara jaringan pleura parietal dan pleura
viseral disebut rongga pleura (1,2,4)
Dalam keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan sekitar
10 – 20 ml yang berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak secara
leluasa saat bernafas. Cairan pleura diproduksi terutama oleh jaringan pleura
parietal yang berasal dari sirkulasi sistemik secara konstan 0,01
ml/kg/jam. Proses reabsorbsi cairan pleura terjadi pada drainase limfatik
melalui stoma pada jaringan pleura parietal. Kapasitas penyerapan oleh
pleura parietal sebesar 0,20 ml/kg/jam (1,2,4,5)
Gambar 1. Skema aliran cairan pleura dalam keadaan normal
12
B. Etiologi efusi pleura
Akumulasi cairan pleura terjadi ketika jumlah rata – rata
pembentukan cairan pleura melebihi jumlah rata – rata absorbsi cairan
pleura. Akumulasi cairan pleura melebihi normal dapat disebabkan oleh
beberapa kelainan antara lain infeksi dan keganasan di paru maupun
organ luar paru (1,2,3,4)
Secara umum penyebab efusi pleura meliputi (1,2,6)
1. Meningkatnya pembentukan cairan pleura
- Meningkatnya cairan interstitial pada paru ; gagal jantung kiri,
pneumonia
- Meningkatnya tekanan intravaskular pada pleura; gagal jantung
kiri, sindroma vena cava superior
- Meningkatnya permeabilitas kapiler pada pleura; inflammasi pada
pleura, meningkatnya kadar vascular endothelial growth factor
- Meningkatnya kadar protein cairan pleura
- Menurunnya tekanan rongga pleura ; atelektasis paru
- Meningkatnya cairan pada rongga peritoneal ; asites
- Gangguan duktus thorasikus
2. Menurunnya penyerapan cairan pleura
- Obstruksi drainase limfatik pleura parietal
- Meningkatnya tekanan pembuluh darah sistemik ; sindroma vena cava
superior
Penyebab efusi pleura dapat disebabkan oleh proses keganasan
baik oleh keganasan pada paru maupun keganasan dari organ luar paru.
Efusi pleura yang disebabkan oleh suatu proses keganasan baik keganasan
primer dipleura maupun diluar pleura disebut efusi pleura maligna.
Beberapa keganasan yang tersering menyebabkan efusi pleura maligna
ini adalah karsinoma paru, karsinoma mammae dan limfoma (1,2,3)
13
C. Analisis Cairan Pleura
Cairan efusi pleura secara klasik dibagi menjadi 2 jenis yaitu
eksudat dan transudat. Efusi pleura transudat timbul bila ada peningkatan
tekanan kapiler, sirkulasi sistemik atau penurunan tekanan onkotik
plasma. Efusi pleura jenis transudat mengandung protein yang rendah.
Efusi pleura eksudat terbentuk saat terjadi perubahan pada pleura atau
kapiler disekitarnya sehingga terbentuk cairan. Cairan eksudat disebabkan
oleh karena adanya kerusakan pada kapiler di pleura dan jaringan
sekitarnya dimana terjadi peningkatan permeabilitas sehingga protein
dapat masuk kedalam rongga pleura. Efusi pleura eksudat biasanya
didapatkan pada kasus keganasan, infeksi atau inflammasi (1)
Untuk membedakan suatu cairan efusi pleura eksudat atau transudat
dipakai kriteria Light dimana cairan efusi pleura eksudat bila memenuhi
minimal satu kriteria dibawah ini :
- Rasio protein cairan pleura dengan protein serum > 0,5
- Rasio lactat dehydrogenase (LDH) cairan pleura dengan LDH serum > 0,6
- Kadar LDH cairan pleura > 2/3 kadar tertinggi LDH serum
14
Gambar 2. Diagnosis banding berdasarkan jenis efusi pleura transudat
dan eksudat
Gambaran kasar cairan efusi pleura sering berguna memberikan
informasi yang penting untuk diagnostik seperti warna, kekeruhan dan
bau. Cairan pleura biasanya jernih, kekuningan, tidak kental dan tidak
berbau. Warna kemerahan mengindikasikan terdapatnya sel eritrosit.
Cairan pleura yang keruh dapat terjadi karena jumlah sel yang
meningkat atau meningkatnya kadar lipid. Cairan pleura yang berbau busuk
menunjukkan terdapatnya infeksi bakteri terutama anaerob, sedangkan bila
berbau urin menunjukkan suatu urinotoraks.
Jumlah sel leukosit membantu untuk membedakan efusi pleura eksudat
atau transudat dimana efusi pleura transudat biasanya memiliki jumlah
sel leukosit dibawah 1.000/mm3, sedangkan pada eksudat jumlah sel
leukosit diatas 1.000/mm3. Pada efusi pleura eksudat, hitung jenis sel
dapat memberikan petunjuk tentang etiologi efusi pleura. Kadar netrofil yang
predominan menunjukkan suatu proses akut seperti parapneumonia efusi.
Cairan pleura dengan PMN yang dominan mengarahkan ke kelainan
yang akut seperti infeksi virus, pleuritis TB akut. Sementara itu pada
cairan dengan sel MN yang dominan menunjukan proses yang kronik
seperti malignan dan TB.
Kadar protein cairan pleura biasanya lebih tinggi pada efusi pleura
eksudat dibanding transudat. Peningkatan protein pada efusi pleura
kadarnya sangat bervariasi tapi tidak dapat digunakan sebagai pedoman
diagnostic penyebabnya. Namun apabila kadar proteinnya melebihi 5 gr%
kemungkinan penyebabnya TB.
15
Kadar glukosa cairan pleura berguna untuk diagnosis banding
pada efusi pleura eksudat karena kadar glukosa yang rendah ( < 60
gr/dl ) mengindikasikan pasien menderita parapneumonia, rheumatoid
disease atau pleuritis TB. Pasien dengan parapneumonia efusi atau
pleuritis TB memiliki gejala yang akut seperti demam, batuk dan nyeri
pleuritik disertai kadar glukosa yang rendah. Sementara itu pada pasien
dengan gejala yang subakut atau kronik dan memiliki kadar glukosa yang
rendah menunjukkan kemungkinan suatu keganasan, reumatoid, TB atau
infeksi bakteri kronik.
Lactat Dehydrogenase ( LDH ) cairan pleura menggambarkan
permeabilitas membran yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk melihat
tingkat inflammasi dari membran tersebut. Dengan kata lain LDH bisa
dipakai sebagai sarana evaluasi aktifitas penyakitnya, namun LDH tidak
dapat digunakan sebagai pedoman untuk diagnostik penyebabnya. Jika
pada torakosintesis berulang didapatkan peningkatan kadar LDH
menandakan derajat inflammasi pada pleura menjadi progresif jelek dan
sebaliknya.
D. Efusi Pleura Maligna
1. Definisi
Efusi pleura maligna adalah efusi pleura yang secara sitopatologi ditemukan
sel ganas dalam cairan pleura atau secara histopatologi pada jaringan
pleura. Bila tidak ditemukan sel ganas pada cairan pleura atau jaringan
pleura baik secara biopsi pleura maupun torakoskopi maka keadaan ini
dikenal dengan efusi pleura paramaligna (1,3,5,6,7)
2. Patogenesis
Efusi pleura maligna terbanyak disebabkan oleh karsinoma paru,
karsinoma mammae dan limfoma yang berkisar 75 % dari keseluruhan
efusi pleura maligna dimana karsinoma paru menjadi penyebab terbanyak
dari efusi pleura maligna. Karsinoma mammae merupakan penyebab kedua
16
terbanyak dari efusi pleura maligna dimana dari beberapa penelitian
didapatkan bahwa pada pasien dengan karsinoma mammae sekitar 46 – 48
% terdapat efusi pleura maligna. Rentang waktu antara berkembangnya
tumor primer karsinoma mammae dan timbulnya efusi pleura berkisar
antara 2 – 20 tahun. Efusi pleura biasanya terjadi pada ipsilateral dari
posisi tumor (50%) tapi dapat juga kontralateral (40%) dan bilateral
(10%) (1,2,6)
Penyebaran sel kanker ke pleura dapat terjadi secara invasi
langsung sel kanker dari bagian – bagian yang berdekatan dengan pleura
yaitu paru, dinding dada seperti mammae, diafragma dan mediastinum.
Pada kanker mammae efusi pleura maligna ipsilateral terjadi ketika
metastasis melalui saluran limfe dinding dada. Selain itu penyebaran sel
– sel tumor dapat melalui proses embolisasi (2,3,9,10)
Terdapat beberapa mekanisme yang bertanggung jawab untuk timbulnya
efusi pleura pada pasien dengan keganasan baik secara langsung maupun
tidak langsung (1,2,3,7,8,9)
a. Secara langsung
- Metastasis pada pleura dengan peningkatan permeabilitas
- Metastasis pada pleura dengan obstruksi pembuluh limfatik pada pleura
- Keterlibatan kelenjar limfe mediastinum dengan menurunkan drainase
- Gangguan duktus thorasikus
- Obstruksi bronkus
b. Secara tidak langsung
- Hipoproteinemia
- Emboli paru
- Post terapi radiasi
3. Gejala Klinis
Sesak nafas merupakan keluhan tersering pada kasus efusi pleura
maligna pada lebih 50% pasien terutama pada saat beraktivitas dan
17
berkurang saat istirahat. Mekanisme sesak disebabkan terjadinya
penurunan daya kembang paru, penurunan volume paru ipsilateral,
pendorongan mediastinum ke arah kontralateral efusi dan penekanan
diafragma ipsilateral. Keluhan lain adalah nyeri dada, dada terasa penuh,
batuk kering dan batuk darah yang mengindikasikan keganasan
intrabronkial. Gejala tambahan juga dapat terjadi berupa penurunan berat
badan, malaise dan anoreksia. Anamnesis untuk mencari asal tumor, riwayat
kanker dan pembedahan sebelumnya untuk meyakinkan apakah tumor
primer berasal dari intrathoraks atau ekstrathoraks(3,7,8,9)
Pada pemeriksaan klinis tergantung pada jumlah cairan yang terbentuk.
Kelainan pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan pada efusi pleura
yang mencapai volume 300 ml. Kelainan yang dapat ditemukan meliputi
rongga thoraks yang sakit lebih cembung, pergerakan pada bagian yang
sakit berkurang dibandingkan yang sehat, penurunan fremitus, perkusi
redup hingga pekak dan suara nafas yang melemah hingga menghilang
pada paru ipsilateral(3,8)
4. Gambaran Radiologis
Ukuran efusi pleura maligna dapat bervariasi, mulai dari yang sedikit
berupa beberapa milimeter dimana hanya menampakkan sudut kostofrenikus
tumpul hingga ukuran yang luas mengisi seluruh hemithoraks. Gambaran
perselubungan homogen dengan bagian lateral lebih tinggi dibandingkan
bagian medial disertai pendorongan trakea dan mediastinum ke arah
kontralateral merupakan gambaran khas efusi pleura secara radiologis .
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi cairan dengan volume sekitar 150 – 200
ml atau lebih. Apabila jumlah cairan kurang dari 300 ml maka posisi
lateral dekubitus akan membantu memastikan keberadaan cairan.
Pemeriksaan ultrasonografi thoraks lebih sensitif dibandingkin foto
thoraks karena mampu mendeteksi cairan yang lebih sedikit ( 5 – 50 ml ).
Pemeriksaan lain seperti CT scan dan MRI dapat digunakan untuk menilai
efusi pleura sekaligus menilai kelainan pada parenkim paru, mediastinum
18
dan dinding dada. Selain itu CT scan dan MRI juga berperan dalam
menentukan staging dari penyakit keganasan (1,2,3)
Gambar 3. Gambaran efusi pleura dengan bagian lateral lebih tinggi
dibanding bagian medial
5. Analisis Cairan Efusi Pleura Maligna
Gambaran cairan pleura maligna dapat berwarna serous,
serohemoragik atau hemoragik. Adanya cairan pleura yang hemoragik
dengan hitung eritrosit > 100.000/mm3 menunjukkan suatu penyakit pleura
karena keganasan. Hanya sekitar 30 – 50 % efusi pleura keganasan yang
memiliki cairan tidak kemerahan dan hitung eritrosit yang kurang dari
10.000/mm3. Timbulnya cairan efusi pleura yang hemoragik disebabkan oleh
invasi langsung sel tumor ke pembuluh darah, bendungan pada vena,
angiogenesis yang diinduksi oleh tumor dan meningkatnya permeabilitas
kapiler. Cairan efusi pleura maligna hampir selalu eksudat, namun efusi
pleura maligna juga dapat berupa transudat sekitar < 5 %. Timbulnya
19
efusi pleura transudat berhubungan dengan atelektasis atau obstruksi
limfatik pada stadium awal (1,2,3,6,10)
Hitung leukosit cairan pleura pada efusi pleura maligna bervariasi
dimana jumlah leukosit biasanya antara 1.000 dan 10.000/mm3. Sel yang
predominan pada hitung jenis sel efusi pleura maligna adalah sel – sel
mononuclear sekitar 85 % dengan jumlah sel limfosit sekitar 45 %,
sedangkan sel - sel polimononuclear sekitar 15 %. (1)
Kadar glukosa cairan pleura biasanya kurang dari 60 mg/dl atau rasio
glukosa pada cairan pleura dibanding glukosa serum < 0,5. Hal ini karena
gangguan transfer glukosa dari darah ke cairan pleura dan meningkatnya
penggunaan glukosa oleh tumor. Rendahnya kadar glukosa pada cairan
pleura berhubungan dengan luasnya penyebaran tumor pada rongga
pleura. Penyebaran tumor yang luas sehingga pada pemeriksaan sitologi
cairan pleura dan biopsi pleura memiliki angka kepositifan yang lebih
tinggi. Oleh karena penyebaran tumor yang luas, pasien dengan kadar
glukosa cairan pleura yang rendah memiliki prognosis yang jelek.
Sekitar sepertiga pasien dengan efusi pleura maligna memiliki pH
cairan pleura dibawah 7,3 dimana berkisar antara 6,95 – 7,29. Penyebab
rendahnya kadar pH pada efusi pleura maligna berhubungan dengan
kombinasi produksi asam oleh cairan pleura dan blokade pergerakan CO2
keluar dari rongga pleura. Pasien dengan pH cairan pleura yang rendah
memiliki tingkat kepositifan sitologi cairan pleura dan biopsi pleura
yang lebih tinggi dan harapan hidup yang lebih pendek dibanding
pasien efusi pleura maligna dengan pH cairan pleura > 7,3(1,2,3)
Terjadi peningkatan konsentrasi amilase dalam cairan efusi pleura pada 10
% pasien dengan efusi pleura maligna. Biasanya tumor primer pada
pasien – pasien ini bukan pada pankreas. Dari suatu penelitian didapatkan
bahwa kadar amilase yang sangat tinggi pada pasien dengan efusi
pleura maligna (>600IU/L) dapat berperan sebagai faktor prognostik yang
jelek (2,5,7,10)
20
6. Diagnosis
Diagnosis efusi pleura maligna ditegakkan dengan pemeriksaan sitologi
cairan pleura dimana ditemukannya sel – sel ganas atau pemeriksaan biopsi
jaringan pleura. Secara umum tingkat kepositifan pemeriksaan sitologi
cairan pleura lebih tinggi dibandingkan biopsi jaringan pleura dalam
mendiagnosis efusi pleura maligna karena metastasis di pleura cenderung
bersifat fokal. Tingkat kepositifan pemeriksaan sitologi cairan pleura berkisar
40 – 87 %, sedangkan biopsi jaringan pleura 39 – 75 %. Pemeriksaan
torakoskopi medik atau Video-assisted Thoracic Surgery (VATS) yang
merupakan pemeriksaan invasif, memiliki tingkat kesensitifan yang lebih
tinggi walaupun stadium metastasis masih awal. Pemeriksaan penunjang
lainnya seperti uji immunohistokimia dan tumor marker pada cairan
pleura. Pemeriksaan uji immunohistokimia dan tumor marker berguna
untuk membedakan suatu efusi pleura ganas atau tidak (1,3,8,9)
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan efusi pleura maligna adalah untuk
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Langkah awal adalah
menentukan lokasi dari lesi primer, namun tersering lokasi lesi primer
sudah diketahui saat suatu efusi pleura terdeteksi. Hal ini alasannya untuk
menentukan pemberian kemoterapi karena kemoterapi merupakan terapi
definitif berdasarkan kanker primer sebagai penyebab efusi pleura
maligna. Beberapa efusi pleura maligna respon terhadap pemberian
kemoterapi sistemik, tetapi banyak juga pasien yang memerlukan
tindakan intervensi lokal untuk menghilangkan gejala seperti
torakosintesis, pleurodesis, shunt peritoneal dan pleurektomi. Jika proses
keganasan sensitif dengan kemoterapi seperti karsinoma sel kecil dan
limfoma, pengobatan kemoterapi akan dapat mengontrol efusi pleura (1,3,7)
Penatalaksanaan pada efusi pleura maligna meliputi (1,3,8,10) :
a. Observasi
21
Pada pasien dengan efusi pleura maligna yang sedikit dan tanpa gejala
maka tidak diperlukan tindakan, cukup dilakukan observasi saja. Namun
bila dalam masa observasi terjadi pertambahan cairan sehingga
menimbulkan keluhan maka dibutuhkan tindakan untuk mengeluarkan
cairan.
b. Torakosintesis
Tindakan torakosintesis dilakukan untuk mengurangi keluhan sesak
secara cepat dimana tindakan ini dapat dilakukan secara berulang. Namun
jika terjadi rekurensi yang cepat maka dipertimbangkan untuk dilakukan
tindakan pleurodesis. Pada kasus – kasus dengan kondisi pasien secara
umum jelek maka tindakan torakosintesis berulang menjadi pilihan.
c. Chest tube drainase
Pemasangan chest tube berguna untuk drainase cairan sehingga
mengurangi keluhan sesak nafas. Selain itu chest tube juga diperlukan untuk
tindakan pleurodesis .
d. Indwelling pleural catheter
Kateter indwelling dipasang pada pasien dengan efusi pleura maligna
yang berulang dan tidak perlu berulang datang ke rumah sakit karena
drainase dapat dilakukan sendiri oleh pasien. Pemasangan kateter
indwelling ini direkomendasikan untuk pasien yang memiliki produksi
cairan efusi pleura lebih dari 1000 ml per minggu.
e. Pleurodesis
Pleurodesis merupakan suatu tindakan untuk melengketkan pleura visceral
dan pleura parietal dengan membuat peradangan steril sehingga
membentuk jaringan fibrotik dengan menggunakan bahan sclerosing.
Berbagai bahan dapat digunakan untuk tindakan pleurodesis seperti talc,
tetrasiklin, doksisiklin dan bleomisin. Penggunaan bleomisin untuk
pleurodesis pada efusi pleura maligna secara signifikan lebih baik
dibanding tetrasiklin dan talc karena bleomisin juga berfungsi sebagai anti
neoplastik. Selain bleomisin, bahan antineoplastik lain yang dapat
digunakan sebagai bahan pleurodesis seperti nitrogen mustard dan
22
mitoxantrone(1,3). Tindakan memasukkan bahan untuk pleurodesis dapat
melalui chest tube atau torakoskopi, namun melalui VATS lebih efektif
dan aman. Berdasarkan review terhadap beberapa penelitian disimpulkan
bahwa pleurodesis merupakan pilihan terapi yang optimal untuk efusi
pleura maligna dengan angka keberhasilan tinggi dan angka mortality rendah
f. Pleuroperitonial Shunt
Pleuroperitonial shunt merupakan tindakan pilihan pada pasien dengan
gagal pleurodesis, namun tindakan ini terutama untuk pasien dengan
efusi khilous. Meskipun tindakan ini lebih invasif dimana cairan khilous
dari rongga pleura dialirkan ke dalam rongga abdomen supaya cairan dapat
diserap sehingga kehilangan protein dapat diminimalkan.
g. Pleurektomi
Pleurektomi merupakan tindakan membuang pleura parietal dimana tindakan
ini dapat digunakan untuk mengontrol efusi pleura maligna. Pleurektomi
dilakukan pada 2 keadaan yaitu : Pasien yang sedang menjalani
torakotomi diagnostic dimana jika ditemukan keganasan maka
pleurektomi parietal berguna untuk mencegah efusi berulang. Selain itu juga
dilakukan pada pasien dengan efusi pleura persisten dan paru ipsi lateral
mengalami “trapped lung” dimana paru tidak kembang sehingga pleurodesis
dikontraindikasikan.
h. Simptomatis
Dua keluhan utama yang berhubungan dengan efusi pleura maligna yaitu
sesak nafas dan nyeri dada. Terapi simptomatis untuk sesak nafas dapat
diberikan oksigen, sedangkan nyeri dada dapat diberikan analgetik.
8. Prognosis
Prognosis pasien dengan efusi pleura maligna biasanya tidak bagus.
Faktor paling penting yang mempengaruhi perkiraan harapan hidup pada
pasien dengan efusi pleura maligna adalah sumber dari tumor. Faktor
lain yang berhubungan dengan prognosis yang jelek adalah kadar pH
cairan pleura yang kurang dari 7,20, kadar glukosa cairan pleura < 60 mg/dl
23
atau LDH cairan pleura lebih dari 2 kali nilai normal LDH serum.
Semua faktor prognosis jelek ini mencerminkan penyebaran tumor yang
lebih luas pada rongga pleura (1,3)
24
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan sesak nafas
sejak ±2 bulan SMRS. Sesak dapat dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan
ekstrinsik paru, sehingga diperlukan tahapan untuk menegakkan diagnosis pada
pasien ini. Dari anamnesis didapatkan bahwa sesak dirasakan terus menerus,
semakin lama semakin memberat. Keluhan ini dirasakan memberat apabila pasien
beraktivitas serta tidak berkurang dengan istirahat. Pasien sulit tidur karena
ampeg, nyaman tidur dengan menggunakan 2-3 bantal dan posisi miring ke kiri.
Pasien juga mengeluh batuk sejak ±6 bulan SMRS dan semakin lama bertambah
berat sejak ±2 bulan SMRS. Batuk terkadang disertai dahak berwarna putih
kental, darah (-), suara serak (+) sejak 1,5 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, RR 24
x/menit, nadi 98x/menit, suhu 36,5oC per aksiler, saturasi O2 99% dengan O2 2
lpm. Pada pemeriksaan lapang paru anterior maupun posterior didapatkan
permukaan dada kiri < kanan, pengembangan dada kiri < kanan, fremitus taktil
kiri < kanan, perkusi sonor di lapang paru kanan dan redup mulai SIC II di lapang
paru kiri, auskultasi didapatkan SDV + di lapang paru kanan dan SDV + menurun
mulai SIC II di lapang paru kiri. Cor dalam batas normal.
Berdasarkan anamnesis, pasien telah mengalami keluhan sesak yang
sebelumnya telah didahului oleh batuk sejak ±6 bulan, sehingga menunjukkan
bahwa pasien mengalami suatu penyakit kronis. Pemeriksaan fisik menunjukkan
bahwa ditemukan dinding thorak yang asimetris dan redup saat di perkusi pada
hemithorak sinistra, menunjukkan bahwa rongga thorak berisi massa padat yang
dapat berasal dari jaringan atau rongga thorak terisi cairan. Dari auskultasi
didapatkan bahwa SDV menurun. Sedangkan pemeriksaan jantung menunjukkan
tidak ada kelainan.
Untuk melanjutkan penegakan diagnosis sesak nafas dibutuhkan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologis thorak dan EKG.
Pemeriksaan radiologis thorak dapat menunjukkan kelainan apa yang terjadi di
25
dalam rongga thorak, sedangkan EKG dapat menunjukkan kelainan yang terjadi
jantung. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin
untuk membantu memberikan informasi dan menyingkirkan diagnosis banding
lain seperti anemia.
Pada pemeriksaan radiologis foto thoraks tampak gambaran efusi pleura
kiri. Pada pasien ini hasil EKG tidak didapatkan kelainan jantung sehingga sesak
yang dirasakan pada pasien tidak disebabkan oleh suatu kelainan pada jantung.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (Hb 12.8 g/dl), leukositosis
(AL 14.7 x 103/µl), peningkatan eosinofil (5.30 %), penurunan limfosit (10.40%).
Dari hasil radiologis ditemukan adanya sudut sinus costophrenicus yang
tumpul, menunjukkan adanya gambaran efusi pleura. Selain itu ditemukan adanya
gambaran perselubungan di hemithorak sinistra. Dari hasil tersebut, diperlukan
pemeriksaan proof pungsi cairan pleura untuk mengetahui penyebab dari efusi
pleura tersebut.
Berdasar dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka pasien didiagnosis dengan Efusi Pleura. Pleura adalah membran serosa yang
licin, mengkilat, tipis dan transparan. Membran ini membungkus jaringan paru.
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam
kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan
transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml.
Cairan pleura dapat dibedakan menjadi transudat dan eksudat. Perbedaan
Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura :
26
Pada pasien ini dilakukan analisis cairan pleura dan didapatkan hasil
sebagai berikut :
Hasil yang didapat sesuai dengan teori yakni cairan yang terdapat pada
pleura merupakan cairan eksudat. Eksudat merupakan cairan yang terbentuk
melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein
berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Terjadinya perubahan
permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein
yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening.
Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis)
akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura, sehingga
menimbulkan eksudat.
Efusi pleura eksudat dapat disebabkan oleh :
27
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-
6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise,
mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan
dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-
lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan
metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat
juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya
cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis
perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga
pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang
disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang
yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris,
penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,
mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan
ukuran jantung yang tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan
adalah sesak dan nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali
28
dengan cepat walaupun dilakukan torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena :
Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi
kebocoran kapiler.
Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif
intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura
tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup
tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura
dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,
abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai
predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna
purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini
dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada
empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4
indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi
parapneumonik:
Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik
yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.
29
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik
Untuk menentukan penyebab Efusi Pleura pada pasien ini masih
dibutuhkan pemeriksaan sitologi cairan pleura dan histologi biopsi pleura. Selain
itu diperlukan pemeriksaan seperti sitologi sputum, sputum BTA + kultur, BTA
cairan pleura + kultur, bronkoskopi, dan MSCT Thorax dengan kontras (post
evakuasi cairan pleura maksimal).
Terapi yang diberikan pada pasien dengan Efusi Pleura yakni : Terapi
penyakit dasarnya (Antibiotika), Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic),
Torakosentesis, Pemasangan WSD dan Pleurodesis. Tatalaksana pada pasien ini
saat datang di IGD yakni O2 2 lpm nasal, Diet TKTP 1700 kkal, IVFD NaCl 0,9%
20 tpm, IVFD aminofluid 1 fl/24 jam, NAC 3x200 mg. Tatalaksana lebih lanjut
dibutuhkan setelah pasien terdiagnosis secara pasti penyebab Efusi Pleura yang
terjadi.
30
BAB V
PENUTUP
Efusi pleura merupakan penyakit saluran pernapasan. Penyakit ini bukan
merupakan suatu disease entity tetapi merupakan suatu gejala penyakit yang
serius yang dapat mengancam jiwa penderita (WHO).
Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang,
salah satunya di Indonesia. Hal ini lebih banyak diakibatkan oleh infeksi
tuberkolosis. Bila di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh
gagal jantung kongestif, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di Amerika efusi
pleura menyerang 1,3 juta org/th. Di Indonesia TB Paru adalah peyebab utama
efusi pleura, disusul oleh keganasan. 2/3 efusi pleura maligna mengenai wanita.
Efusi pleura yang disebabkan karena TB lebih banyak mengenai pria. Mortalitas
dan morbiditas efusi pleura ditentukan berdasarkan penyebab, tingkat keparahan
dan jenis biochemical dalam cairan pleura.
Secara geografis penyakit ini terdapat diseluruh dunia bahkan menjadi
masalah utama di negara – negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan di Indonesia. Penyakit efusi pleura
dapat ditemukan sepanjang tahun dan jarang dijumpai secara sporadis tetapi lebih
sering bersifat epidemikk di suatu daerah.
Pengetahuan yang dalam tentang efusi pleura dan segalanya merupakan
pedoman dalam menentukan diagnose serta pemberian terapi yang tepat guna
mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat efusi pleura.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Light RW. 2007. Pleural diseases 5th edition. Lippincott williams &
wilkins, Tennesse.
2. Broaddus VC, Robinson BW. 2010. Tumors of pleura. In Maser RJ,
Broaddus VC, Martin TR ed.Textbook of respiratory medicine.
Elsevier, Philadelphia.
3. Sahn SA. Malignant pleural effusion. In Fishman AP, Elias JA,
Fishman JA et al. Ed Fishman’s pulmonary diseases and disorders.
The McGraw-Hill companies, Philadelphia 2008 p.1505-1515
4. Rahman NM, Wang NS. 2008. Anatomy of the pleura. In Light RW, Lee
YC. Ed Textbook of pleural diseases second edition. Hadder &
Stoughton ltd, London p.13-23
5. Hood Alsagaff, Abdul Mukty. 2008. Dasar – dasar ilmu penyakit paru.
Airlangga university press surabaya,p.143-54
6. Light RW. The Undiagnosed pleural effusion. Clin chest med, 2006 p.309-
319
7. Slamet hariadi. 2010. Efusi pleura. Dalam Jusuf wibisono, Winariani,
Slamet hariadi. Editor Buku ajar ilmu penyakit paru 2010.
Departemen ilmu penyakit paru FK Unair RS.Dr.Soetomo, p.111-21
8. Temmasung R Pakki. 2008. Efusi pleura ganas. Dalam Alvin kosasih,
Agus dwisusanto, Temmasung R pakki, Tintin martini. Editor
Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan paru. PDPI cabang Banten,
p 55-63
9. Sahn SA. Pleural disease. In ACCP pulmonary medicine board review
25th edition. Northbrook, 2009, p.513-46
10. Ngurah rai. Efusi pleura maligna: Diagnosis dan penatalaksanaan terkini. J
Peny dalam. 2009;10:208-17
11. Bahar A. 1998. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam Soeparman, Sukaton U,
Waspadji S, et al. Editor. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 785-97.
32