proposal eksperimen fixed

106
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER PSIKOLOGI EKSPERIMEN ”PENGARUH BANYAK SEDIKITNYA JUMLAH ANGGOTA TERHADAP TINGKAT SOCIAL LOAFING PADA INDIVIDU” Dosen PJMK: Sami’an, S.Psi. Oleh : Selvina Yusniar 110610132 Lailatul Isro’iyah 110610133 Zulva Rahayu 110610212 Kelas Paralel : C 1

Upload: selvina-yusniar

Post on 14-Jun-2015

2.438 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

it's still a proposal... i just wanna make it real...:-)

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Eksperimen Fixed

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

PSIKOLOGI EKSPERIMEN

”PENGARUH BANYAK SEDIKITNYA JUMLAH ANGGOTA TERHADAP TINGKAT SOCIAL LOAFING PADA INDIVIDU”

Dosen PJMK:

Sami’an, S.Psi.

Oleh :

Selvina Yusniar 110610132

Lailatul Isro’iyah 110610133

Zulva Rahayu 110610212

Kelas Paralel : C

Fakultas Psikologi

Universitas Airlangga

2008

1

Page 2: Proposal Eksperimen Fixed

DAFTAR ISI

Cover………………………………………………………………………....……1

Daftar Isi…………………………………………………………………………..2

Kata Pengantar……………………………………………………………...……..4

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….5

I.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………...6

I.2 Identifikasi Masalah..........................................................................7

I.3 Pembatasan Masalah.......................................................................10

I.4 Perumusan Masalah........................................................................11

I.5 Tujuan Penelitian............................................................................11

I.6 Manfaat Penelitian.........................................................................11

BAB II LANDASAN TEORI..........................................................................13

II.1 Kelompok.....................................................................................14

II.1.1 Pengertian Kelompok..............................................................14

II.1.2 Dinamika Kelompok...............................................................15

II.1.3 Kelompok yang Efektif...........................................................17

II.2 Social Loafing...............................................................................20

II.2.1 Pengertian Social Loafing.......................................................20

II.2.2 Faktor-faktor Penyebab Social

Loafing...................................21

II.2.3 Faktor-faktor yang Dapat Mengurangi Social Loafing...........31

II.2.4 Social Loafing sebagai Penyakit Sosial dan Dampaknya........34

II.2.5 Kemunculan Social Loafing....................................................35

II.3 Variabel-variabel Ekstra................................................................36

II.3.1 Variabel Kontrol......................................................................36

II.3.1.1 Jenis Tugas........................................................................36

II.3.1.2 Gender...............................................................................37

II.3.1.3 Peran Masing-masing Individu.........................................37

II.3.1.4 Budaya Kolektivis atau Individualis.................................38

II.3.1.5 Tujuan Kerja......................................................................38

2

Page 3: Proposal Eksperimen Fixed

II.3.1.6 Standar Hasil

Kerja............................................................39

II.3.2 Variabel Extraneous…………………………………………39

II.3.2.1 Keinginan Atas Keadilan………………………………...39

II.3.2.2 Free Ride………………………………………………...40

II.3.2.3 Sikap Negatif dari Rekan Kerja atas Hasil Kerja Individu40

II.3.2.4 Perbedaan Persepsi tentang Hasil Kerja............................40

II.4 Kerangka Konseptual....................................................................42

II.5 Perumusan Hipotesa......................................................................42

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................43

II.1 Tipe Penelitian...............................................................................44

II.2 Identifikasi Variabel Penelitian.....................................................44

II.3 Definisi Konseptual.......................................................................45

II.4 Definisi Operasional......................................................................45

II.5 Populasi dan Sampel

Penelitian.....................................................47

II.5.1 Populasi Penelitian...............................................................47

II.5.2 Sampel Penelitian.................................................................47

II.6 Desain Penelitian...........................................................................48

II.7 Instrumen Penelitian......................................................................49

II.8 Validitas dan Reliabilitas Alat

Ukur..............................................51

II.8.1 Validitas Alat

Ukur...............................................................51

II.8.2 Reliabilitas Alat Ukur...........................................................51

II.9 Validitas dan Reliabilitas Eksperimen...........................................52

II.9.1 Validitas

Eksperimen............................................................52

II.9.2 Reliabilitas Eksperimen........................................................52

II.10 Analisa Data................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................54

3

Page 4: Proposal Eksperimen Fixed

LAMPIRAN...........................................................................................................55

Form Penilaian Kinerja Individu dalam Kelompok.............................56

Kuesioner Social Loafing.....................................................................57

4

Page 5: Proposal Eksperimen Fixed

KATA PENGANTAR

5

Page 6: Proposal Eksperimen Fixed

BAB I

Pendahuluan

6

Page 7: Proposal Eksperimen Fixed

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Terdapat anggapan bahwa “dua kepala itu lebih baik daripada satu

kepala”. Pernyataan ini bisa diartikan bahwa melakukan sesuatu secara bersama-

sama (secara kelompok) akan lebih baik daripada harus melakukan suatu tugas

secara individu. Hal ini dimungkinkan karena apabila suatu tugas dikerjakan

secara bersama-sama, maka beban kerja individu akan menjadi semakin ringan

karena tanggung jawab tugas ditanggung secara bersama-sama. Inilah yang

menjadi salah satu tujuan dibentuknya kelompok. Dengan bekerja bersama,

diharapkan tujuan kelompok dapat dicapai secara lebih maksimal. Namun,

anggapan “dua kepala itu lebih baik daripada satu kepala” itu bisa memiliki arti

lain. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tidak semua individu dalam

kelompok memberikan kontribusi yang maksimal demi tercapainya tujuan

kelompok tadi. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya partisipasi individu

dalam suatu kegiatan kelompok.

Seringkali dosen memberikan tugas-tugas kepada mahasiswa dalam

bentuk tugas individu maupun tugas kelompok. Tugas kelompok sendiri

merupakan tugas yang harus dikerjakan secara bersama-sama oleh tiap anggota

kelompok. Tugas kelompok biasanya merupakan tugas yang mempunyai beban

yang lebih berat jika dibandingkan dengan tugas individu. Dalam tugas kelompok,

kelompok kerja merupakan sarana yang baik dalam menggabungkan berbagai

talenta dan dapat memberikan solusi inovatif suatu pendekatan yang mapan

(Johanes Papu, 2002). Selain itu, dengan adanya kelompok kerja maka hasil yang

diinginkan dapat terwujud karena dalam kelompok kerja terdapat anggota-anggota

yang mempunyai talenta, minat dan keahlian masing-masing. Sehingga

diharapkan hasil yang diperoleh dapat maksimal karena anggota yang satu dan

yang lain dapat saling melengkapi dan dapat menutupi kekurangan masing-

masing.

7

Page 8: Proposal Eksperimen Fixed

Bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok merupakan suatu hal

yang membuat individu mampu melakukan banyak hal daripada jika individu

bekerja sendirian. Ini merupakan suatu prinsip sinergi di mana suatu kesatuan

adalah lebih baik dibandingkan dengan sejumlah bagian-bagian yang terpisah

(West, 1994: 1). Namun pada kenyataannya, semakin besar jumlah anggota

kelompok maka anggota semakin malas dan menurunkan usahanya untuk

menyelesaikan tugas atau pekerjaannya. Ini terjadi karena ada anggota yang

beranggapan bahwa anggota kelompoknya yang lain sudah cukup banyak dan

mampu untuk menyelesaikan tugas tersebut sehingga anggota tersebut akan

mengurangi kinerjanya. Misalnya pada kelompok presentasi suatu mata kuliah di

mana jumlah anggotanya adalah delapan orang, maka pasti akan ada saja anggota

yang bermalas-malasan karena menganggap tugas kelompok sebagai tugas

bersama dan pasti ada anggota kelompoknya yang lain yang akan mengerjakan

tugas sehingga kontribusi yang ia berikan tidak maksimal.

Berdasarkan kenyataan yang dipaparkan di atas tampak terjadi

kesenjangan antara kenyataan dengan aturan yang seharusnya dilakukan. Aturan

yang dimaksud disini adalah bahwasanya anggota dalam kelompok yang

seharusnya menjalankan (mematuhi) norma-norma dalam berkelompok, malah

melanggar norma tadi. Social loafing ini bukannya terjadi pada orang yang tidak

memahami peraturan berkelompok, tetapi pada individu yang sebenarnya

memahami aturan-aturan (kode etik) dalam berkelompok. Hal inilah yang

melatarbelakangi mengapa eksperimenter memilih fenomena social loafing

sebagai tema yang ingin diteliti lebih lanjut.

I.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Dalam penelitian ini, eksperimenter ingin mengetahui tingkat social

loafing mahasiswa. Untuk benar-benar memahami social loafing kita harus

memahami konsep awal terlebih dahulu, dengan memahami konsep awal kita

akan mendapatkan variabel-variabel yang ikut mempengaruhi terjadinya social

loafing. Dari penelusuran yang dilakukan eksperimenter, ditemukan landasan teori

yang menjadi dasar pemikiran diadakannya eksperimen ini.

8

Page 9: Proposal Eksperimen Fixed

Seperti yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut di Bab Landasan Teori

eksperimenter memperoleh sejumlah variabel yang punya pengaruh social loafing.

Variabel-variabel itu antara lain ada yang berkorelasi positif namun ada juga yang

berkorelasi negatif terhadap social loafing. Variabel yang berkorelasi positif disini

maksudnya variabel itu memiliki arah yang sama bila ‘dirubah’ ataupun

‘berubah’, dengan kata lain searah dengan perubahan social loafing. Bila variabel

itu ditingkatkan, maka social loafing pun akan mengalami peningkatan, begitu

pula bila variabel tadi diturunkan maka social loafing akan mengalami penurunan.

Variabel yang berkorelasi terhadap social loafing antara lain:

1. Ukuran kelompok dikatakan sebagai variabel yang berkorelasi positif

disini karena, dengan memperbesar (menambah, meningkatkan jumlah

anggota) kelompok akan diperoleh peningkatan dalam social loafing.

Demikian pula berlaku bila ukuran kelompok (mengurangi,

menurunkan jumlah anggota) kelompok akan diikuti dengan

penurunan tingkat social loafing.

2. Pengadaan evaluasi (kemungkinan dilakukannya evaluasi) dapat

dikatakan sebagai variabel yang berkorelasi negatif. Karena bila

individu menganggap kemungkinan untuk tugas itu dievaluasi adalah

tinggi, maka tingkat social loafing akan menurun (kemungkinan

muncul social loafing kecil), sedangkan bila kemungkinan tugas

tersebut untuk dievaluasi rendah, maka tingkat social loafing akan

mengalami peningkatan (karena individu jadi ‘mengentengkan’ tugas

itu.

3. Persepsi individu mengenai tingkat kepentingan hasil kerja, memiliki

korelasi yang negatif terhadap social loafing. Maksudnya semakin

tinggi tingkat kepentingan hasil kerja, semakin rendah tingkat social

loafing, demikian pula bila tingkat kepentingan hasil kerja semakin

rendah, semakin tinggi tingkat social loafing (hal ini dikarenakan

individu merasa tugas itu terlalu ‘tidak penting’ untuk dilakukan).

4. Keinginan atas keadilan memiliki korelasi positif terhadap tingkat

social loafing. Semakin tinggi keinginan individu akan keadilan,

9

Page 10: Proposal Eksperimen Fixed

semakin tinggi pula tingkat social loafing individu tersebut. Demikian

juga berlaku sebaliknya, semakin rendah tingkat keinginan individu

atas keadilan, semakin rendah tingkat social loafing pada individu

tersebut (dengan kata lain usaha individu akan besar untuk

menyelesaikan tugas).

5. Tingkat keunikan tugas dan peran. Tugas yang unik merefleksikan

peran yang unik. Sebuah teori mengatakan bahwa pemberian tugas dan

peran yang unik akan memperkecil kemungkinan seseorang

melakukan social loafing. Semakin tinggi tingkat keunikan tugas dan

peran individu akan semakin rendah tingkat social loafing individu.

Dapat disimpulkan bahwa tingkat keunikan tugas dan peran

berkorelasi negatif dengan tingkat social loafing.

6. Sikap rekan kerja tentang hasil kerja individu (rekan kerja yang lain)

memiliki korelasi yang positif, dimana semakin positif sikap

(semakin respek) rekan kerja terhadap hasil kerja seseorang, semakin

rendah tingkat social loafing individu tersebut. Demikian pula semakin

rendah (semakin rendah respek individu terhadap hasil kerja individu)

semakin tinggi tingkat social loafing individu (bila rekan kerja

semakin tidak menghargai hasil kerja individu, maka individu akan

menjadi semakin ‘malas’ untuk mengerjakan tugasnya).

7. Jenis kelamin memiliki korelasi, namun arah korelasi masih belum

dapat diketahui. Ada teori yang mengatakan bahwa perempuan lebih

kooperatif dibandingkan laki-laki karena laki-laki umumnya

kompetitif. Sehingga laki-laki dalam tugas kelompok lebih memiliki

kecenderungan besar untuk melakukan social loafing dibandingkan

perempuan. Namun sebaliknya dalam tugas individu, laki-laki justru

memiliki usaha yang lebih besar ketika dia bekerja dalam tugas

individu dibandingkan perempuan.

8. Budaya kolektivis ataukah budaya individualis dimana pembentukan

kelompok pada orang-orang dengan budaya yang kolektivis, maka

individu-individu anggota kelompoknya akan semakin rendah tingkat

10

Page 11: Proposal Eksperimen Fixed

social loafingnya, sedangkan bila kelompok dibentuk dari orang-orang

yang berbudaya individualis, maka anggota-anggota kelompoknya

akan cenderung melakukan social loafing (tingkat social loafing

tinggi). Oleh karena itu pembentukan kelompok hendaknya perlu

mempertimbangkan unsur budaya. Budaya barat diketahui lebih

cenderung pada budaya yang individualis, sedangkan budaya timur,

diketahui cenderung sebagai budaya yang kolektivis. Bila

menggunakan sudut pandang budaya individualis, dapat dikatakan

bahwa tingkat individualis seseorang berkorelasi secara positif

dengan social loafing. Maksudnya semakin tinggi individualisme

seseorang, semakin tinggi tingkat social loafingnya dalam bekerja

kelompok, begitu pula sebaliknya; semakin rendah tingkat

individualisme seseorang akan semakin rendah pula tingkat social

loafing.

9. Kejelasan tujuan kelompok dan standar hasil kerja kelompok, semakin

tinggi kejelasan dan kespesifikan perumusan tujuan kelompok dan

standar hasil kerja kelompok, semakin rendah tingkat social loafing

pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.

Demikian sebaliknya bila semakin tidak jelas dan semakin tidak

spesifik tujuan kelompok dan standar hasil kerja kelompok tersebut,

maka akan semakin tinggi tingkat social loafing individu tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kejelasan tujuan kelompok

dan kejelasan standar hasil kerja sebagai variabel yang berkorelasi

negatif dengan tingkat social loafing.

I.3.PEMBATASAN MASALAH

Dikarenakan segala keterbatasan yang dimiliki eksperimenter, maka tidak

semua variabel yang mempengaruhi Y (dalam hal ini social loafing) akan diteliti

oleh eksperimenter. Sehingga dalam hal ini eksperimenter hanya akan meneliti

pengaruh ukuran kelompok terhadap kemunculan social loafing pada individu

(dalam hal ini mahasiswa fakultas psikologi pengikut mata kuliah psikologi

11

Page 12: Proposal Eksperimen Fixed

humanistik). Eksperimenter memilih variabel itu sebagai variabel bebas yang

utama dikarenakan kemudahan dalam melakukan manipulasi. Selain itu pemilihan

subjek yang terbatas pada mata kuliah psikologi humanistik dikarenakan

berdasarkan pengalaman ekpserimenter yang pernah mengikuti dan mendapatkan

informasi bahwa sebelum-sebelumnyya mata kuliah psikologi humanistik terbiasa

memberikan tugas kelompok secara berkala.

I.4. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan

di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

“Adakah Pengaruh Banyak Sedikitnya Jumlah Anggota Kelompok

Terhadap Tingkat Social Loafing?”

I.5 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan eksperimen ini adalah :

1. Mengetahui Pengaruh Banyak Sedikitnya Jumlah Anggota

Kelompok Terhadap Tingkat Social Loafing.

2. Mengetahui Arah korelasi (Positif atau Negatif) dari Pengaruh

Ukuran Kelompok terhadap Tingkat (Meningkat atau Menurun)

Social Loafing.

3. Mengetahui Sumbangan Relatif dari Variabel ’Ukuran Kelompok’

terhadap Tingkat Social Loafing.

I.6. MANFAAT PENELITIAN

a. Manfaat Teoritis

1. Manfaat teoritris dari penelitian ini adalah diharapkan dapat

menambah wacana (khazanah) bagi pengembangan dunia pendidikan

2. Selain itu dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi dunia

pendidikan khususnya yang berkaitan dengan judul ini, sehingga dapat

diupayakan dalam bentuk usaha-usaha untuk mengatasi dan

12

Page 13: Proposal Eksperimen Fixed

meminimalisir terjadinya dampak negatif akibat pengaruh ukuran

kelompok terhadap munculnya perilaku social loafing.

3. Sebagai referensi untuk pengadaan penelitian lanjutan

4. Sebagai pengokohan maupun anomali akan kebenaran teori maupun

penelitian sebelumnya mengenai fenomena social loafing ini.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

tambahan mengenai pengaruh jumlah anggota kelompok terhadap

tingkat social loafing, serta agar peneliti mengetahui arah

hubungannya. Selain itu agar peneliti dapat mengetahui besar

sumbangan relatif dari “Ukuran Kelompok” terhadap tingkat social

loafing pada individu.

2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

informasi (wawasan) tambahan, khususnya jika pembaca menjadi

salah satu anggota kelompok. Sehingga pembaca mampu untuk

meminimalisir kemunculan social loafing (yang akan berakibat negatif

bila hal itu terjadi dalam kelompok).

3. Diharapkan akan berguna untuk evaluasi dalam dunia pendidikan

(terutama mata kuliah Psikologi Humanistik) mengenai pemberian

tugas kelompok dan ukuran kelompok yang efektif dalam pengerjaan

tugas kelompok tersebut.

13

Page 14: Proposal Eksperimen Fixed

BAB II

Landasan Teoritis

14

Page 15: Proposal Eksperimen Fixed

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 KELOMPOK

11.1.1. Pengertian Kelompok

Individu-individu yang menempati suatu wilayah tertentu

merupakan suatu perkumpulan atau disebut dengan kelompok. Dengan

demikian bahwa kehidupan individu itu tidak terlepas dari kelompok, baik

dalam kehidupan kelompok yang kecil seperti ; keluarga, kelompok kerja,

maupun kehidupan kelompok yang besar seperti ; Masyarakat, bangsa dan

sebagainya

Kelompok ialah dua orang atau lebih yang mempunyai tujuan yang

sama, saling berinteraksi, saling adanya ketergantungan dalam mencapai

tujan bersama, adanya rasa kebersamaan dan memiliki, mempunyai

norma-norma dan nilai-nilai tertentu (http:

//elearning.unej.ac.id/courses/IKU1234b318/document/dinamika_part_II.ppt?

cidReq=IKU1234f841, )

Menurut Hernert Smith, kelompok adalah suatu unit yang terdapat

beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan

kesatuannya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi

(http://www.google.com/search?

q=cache:Ap2VeOH2KwcJ:kawakib06.multiply.com/journal+pengertian).

Pengertian kelompok di atas secara singkat dapat diartikan bahwa

kelompok adalah suatu kumpulan dari orang-orang yang mengadakan

interaksi dengan sesamanya lebih sering daripada mereka mengadakan

interaksi yang bersifat perorangan. Jadi, setiap kelompok, masing-masing

individu mempunyai sikap dan tingkah laku yang sama dengan anggota

kelompok yang lain, sehingga semua anggota kelompok memiliki sikap

dan tingkah laku yang seragam.

15

Page 16: Proposal Eksperimen Fixed

II.1.2. Dinamika Kelompok

Diperlukan pengetahuan yang cukup tentang dinamika atau proses-

proses yang terjadi serta kemampuan kita untuk berperilaku secara efektif

dalam kelompok agar kelompok tetap berjalan secara efektif. Kedua hal

penting ini dapat dipelajari melalui pemahaman tentang dinamika

kelompok.

Dinamika kelompok sebenarnya adalah bagian dari ilmu

pengetahuan social yang lebih menekankan perhatiannya pada interaksi

manusia dalam kelompok yang kecil. Pada berbagai referensi, istilah

dinamika kelompok disebut juga dengan proses-proses kelompok (group

processes. Jelas dari terminology ini bahwa pengertian dinamika

kelompok ini menggambarkan semua hal atau proses yang terjadi dalam

kelompok akibat adanya interaksi individu-individu yang ada dalam

kelompok itu.

Studi mengenai interaksi antar individu dalam kelompok oleh para

ahli psikologi telah dimulai sejak awal tahun 1900-an. kemudian oleh Kurt

Lewin dikembangkan lebih dalam. Beliau menekankan bahwa untuk

mempelajari dan memahami tentang dinamika kelompok adalah dengan

dengan cara menerapkannya (Learning By Doing).

Fritz Heider, dalam Teori Keseimbangannya (Balance Theory)

yang membahas mengenai hubungan-hubungan antar pribadi menerangkan

bahwa individu-individu sebagai bagian dari struktur sosial cenderung

untuk menjalin hubungan satu sama lain. Dan menurutnya, salah satu cara

bagaimana suatu kelompok dapat berhubungan adalah dengan menjalin

komunikasi secara terbuka.

Pentingnya dinamika kelompok antara lain sebagai berikut

(http://elearning.unej.ac.id/courses/IKU1234b318/document/dinamika_part_II.ppt

?cidReq=IKU1234f841) :

Dapat mempelajari cara-cara mengambil keputusan

Dapat melihat adanya persepsi yang berbeda diantara anggota

kelompok

16

Page 17: Proposal Eksperimen Fixed

Pengalaman dalam menciptakan kerja kelompok dapat dijadikan dasar

kerjasama antar unit

Mempermudah dalam pengambilan keputusan

Mempermudah dalam mencapai tujuan

Struktur dalam kelompok, pelaksanaanya dipengaruhi oleh sebagai

berikut :

1. Norma

Aturan-aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis

Merupakan standar perilaku kelompok, terbentuk dan berkembang

secara formal dan non-formal

Aturan juga merupakan struktur dalam organisasiyang dapat

menunjukkan perilaku dan dinamika

Terbentuk dalam kelompok yang dinamis

Menurut Muzafer Sherif, norma terbentuk melalui Frame of

Reference and Frame of Reference. Frame of Reference

merupakan norma berpikir, nilai yang digunakan sebagai acuan

untuk bertindak.

Norma dapat berasal dari lingkungan. Namu, norma dapat juga

berasal dari hubungan timbal balik antar anggota (reciprocal antar

anggota)

Informasi-informasi dapat mengubah opini anggota dan terbentuk

norma baru

2. Peran (Role)

Peran (Role) digunakan dalam kaitan posisi (status) tertentu

Role Ambiguity terjadi jika deskripsi tugas tidak jelas sehingga

menyebabkan moral kerja menjadi rendah, meninggalkan

pekerjaan

Role Conflict yaitu pertentangan atau permusuhan karena peran

yang tidak jelas dari berbagai bagian atau orang dalam organisasi

Intra Role Conflict yaitu konflik dalam kelompok karena peran

yang bertentangan antaranggota kelompok

17

Page 18: Proposal Eksperimen Fixed

II.1.3. Kelompok Yang Efektif

Secara umum, ada tiga hal yang menunjukkan efektif atau tidaknya

suatu kelompok, yaitu (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-linda3.pdf.) :

1. Kemampuan kelompok tersebut dalam mencapai tujuannya seoptimal

mungkin

2. Kemampuan kelompok dalam mempertahankan kelompoknya agar

tetap serasi, selaras, dan seimbang

3. Kemampuan kelompok untuk berkembang dan berubah sehingga dapat

terus meningkatkan kinerjanya

Kelompok yang berhasil akan mempunyai kualitas dan pola

interaksi antaranggota yang terintegrasi dengan ketiga kegiatan ini.

Ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dalam upaya

pembentukan kelompok, yaitu (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-

linda3.pdf.):

1. Adanya ketergantungan yang sifatnya positif (Positive

Interdependency)

yaitu suatu keadaan dimana setiap orang dalam kelompok saling

membutuhkan dan merasa berhasil atau tidaknya suatu pekerjaan

merupakan hasil bersama dan tanggung jawab bersama.

ketergantungan positif dapat dilihat dari persepsi positif terhadap

setiap anggota kelompok. selain itu, semua anggota selalu berusaha

agar keuntungan atau keberhasilan yang diperoleh dapat dinikmati oleh

seluruh anggota kelompok. kelompok yang mempunyai

ketergantungan positif yang tinggi akan mempunyai keterikatan atau

kohesi antar anggota yang tinggi pula.

2. Keandalan individu (Individual Accountability)

Keandalan individu dapat dilihat dari penampilan atau performance

seseorang. dalam upaya pembentukan kelompok, hal ini sangat penting

guna mengetahui kemampuan masing – masing anggota sehingga

dapat diidentifikasi yang mana perlu ditingkatkan, sejauhmana

kontribusi yang telah diberikan seseorang pada kelompok, apakah

18

Page 19: Proposal Eksperimen Fixed

kontribusi tersebut sudah sesuai dengan tanggung jawab yang yang

diberikan padanya.

Pengenalan terhadap kemampuan dan kontribusi anggota

kelompok sangat penting karena memungkinkan setiap orang dalam

kelompok mengetahui kontribusi masing-masing dalam kelompok,

memungkinkan saling menolong dalam menyelesaikan tugas-tugas

kelompok, dapat lebih memperjelas fungsi dan tanggung jawab

masing-masing anggota kelompok.

3. Interaksi langsung (Face to Face Interaction)

Interaksi secara langsung merupakan salah satu faktor yang

mempunyai pengaruh besar dalam mengupayakan pengembangan

kelompok yang efektif. dengan adanya interaksi langsung ini, maka

iklim kerja akan menjadi lebih baik dan sebagai dampaknya akan

meningkatkan produktivitas, moral dan efektivitas kerja kelompok

karena komunikasi antar kelompok lebih terbuka. Agar interaksi

langsung ini dapat terwujud, maka dianjurkan jumlah anggota dalam

kelompok tidak terlalu besar.

4. Keterampilan kerjasama (Collaboration Skills)

Kelompok tidak akan mungkin dapat berfungsi secara efektif tanpa

mempunyai keterampilan untuk bekerjasama. keterampilan ini perlu

dimiliki oleh anggota kelompok karena banyak orang yang tidak

menyadari bahwa sebenarnya dalam melaksanakan tugasnya, individu

tersebut merupakan bagian dari kelompok. berbagai studi mengenai

pentingnya kerjasama dalam kelompok menunjukkan bahwa dengan

mengumpulkan orang yang tidak mempunyai keterampilan

bekerjasama walaupun mereka mungkin cukup ahli dalam bidangnya

ternyata dalam menyelesaikan tugas kelompoknya banyak menemui

kesulitan.

5. Proses kelompok (Group Processes).

Proses kelompok merupakan hal penting diketahui dalam usaha

pencapaian hasil kerja kelompok yang optimal. Ada beberapa

19

Page 20: Proposal Eksperimen Fixed

keuntungan yang diperoleh dengan mempelajari proses-proses yang

terjadi dalam kelompok, antara lain dapat diketahui sejauhmana

kelompok sudah berfungsi, alternatif-alternatif strategi yang dapat

diambil dalam upaya perbaikan kerja kelompok.

Karakteristik kelompok yang efektif antara lain adalah

(http://elearning.unej.ac.id/courses/IKU1234b318/document/dinamika_part_II

.ppt?cidReq=IKU1234f841 ):

Komunikasi dua arah

Tujuan kelompok jelas dan diterima oleh anggota

Partisipasi merata antar anggota

Kepemimpinan didasarkan pada kemampuan dan informasi, buka

posisi dan kekuasaan

Kesepakatan diupayakan untuk keputusan yang penting

Kontroversi dan konflik tidak diabaikan, diingkari atau ditekan

Kesejahteraan anggota tidak dikorbankan hanya untuk mencapai

tujuan

Secara berkala anggota membahas efektivitas kelompok dan

mendiskusikan cara memperbaiki fungsinya

Kelompok yang efektif antara lain (Yuwono, dkk. 2005 : 222) :

1. Adanya solidaritas antaranggota

2. Saling batu dan mengisi, anggota berpartisipasi

3. Memperlihatkan kepuasan

4. Kebanyakan keputusan dicapai dengan suatu konsesus dimana menjadi

jelas bahwa setiap anggota dapat menerima, dan menyetujui dan mau

ikut serta

5. Saling mendengarkan dan ada keterbukaan (tidak banyak sikap, main

sembunyi atau malu)

6. Kritik sering terjadi, terus terang dan enak, sedikit tanda serangan

pribadi baik secara terbuka maupun tersembunyi (kritik bersifat

konstruktif)

20

Page 21: Proposal Eksperimen Fixed

Kelompok yang tidak efektif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut

(Yuwono, dkk. 2005 : 223) :

1. Saling tidak menyetujui, sehingga suasana menjadi tegang dan kaku

2. Adanya penolakan-penolakan yang berkepanjangan

3. Tidak mau membantu di antara sesama anggota

4. Menarik diri, sehingga anggota menjadi pasif dan statis

5. Menjatuhkan kawan sendiri karena ingin menonjol sendiri

6. Sikap berjaga-jaga dan saling mencurigai (berprasangka buruk

II.2 TINJAUAN SOCIAL LOAFING

II.2.1. Pengertian Social Loafing

Keyakinan orang-orang terdahulu tentang “many hands make lights

the work”, memiliki dua arti. Pertama, yaitu semakin banyak orang yang

membantu atau terlibat dalam suatu pekerjaan maka hasil yang diperoleh

akan semakin bagus atau meningkat daripada bila dikerjakan seorang diri.

Jadi, semakin banyak individu maka semakin banyak ide dan pemikiran

yang akan mendukung terciptanya hasil yang lebih berkualitas (Greenberg

& Baron, 1997: 266-267). Alasan inilah yang akhirnya membuat kita

sering menggunakan kelompok atau tim untuk meningkatkan

produktivitas, baik kualitas maupun kuantitas.

Kedua, dalam kehidupan sosial keyakinan tersebut diartikan bahwa

manusia dapat lebih mudah memenuhi tujuan-tujuan mereka dengan cara

bekerja bersama-sama (Latané, dkk, 1979: 822). Ketika banyak tangan

yang terlibat, individu tidak harus bekerja keras seperti bila individu

tersebut bekerja sendirian. Namun, sayangnya definisi yang kedua ini bisa

memunculkan arti bahwa ketika banyak orang yang terlibat dalam suatu

pekerjaan, maka mengakibatkan individu akan menjadi lebih malas

daripada bekerja seorang diri.

Penelitian Max Ringelmann menjelaskan sebuah fenomena yang

disebut dengan social loafing (keengganan sosial). Social loafing, menurut

Ringelmann dalam Ratzburg (2002), berarti penurunan usaha individu atau

21

Page 22: Proposal Eksperimen Fixed

seseorang ketika ia bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan ketika

ia bekerja seorang diri, seiring dengan bertambahnya jumlah anggota

kelompok atau ”ukuran” kelompok tersebut (www.findarticle.com)

bekerja di bawah kapasitas maksimal dan tidak bekerja sekeras ketika

bekerja sendiri (Wheelan, 1994: 102).

Social loafing berada dalam konteks aktivitas kelompok yaitu

produktivitas adalah jumlah keseluruhan dari kerja anggota kelompok

(Tedeschi, dkk, 1982: 337). Oleh karena itu, bertambahnya jumlah

individu dalam kelompok akan memberi kesempatan pada individu untuk

”bersembunyi” dalam kelompok. Semakin besar jumlah individu yang

terlibat dalam penyelesaian tugas kelompok maka akan semakin kecil

kontribusi masing-masing individu (www.findarticles.com).

Definisi social loafing menurut Latané dkk (1979) adalah

kecenderungan anggota kelompok untuk menurunkan usahanya seiring

dengan peningkatan jumlah anggota kelompok seperti yang ditunjukkan

dengan kecenderungan untuk menyia-nyiakan waktu ketika bekerja dalam

kelompok, tidak mengikuti pertemuan, perilaku terlambat, atau gagal

untuk menyelesaikan tugas individualnya

(http://uky.edu/~drlane/capstone/group/socloaf.html, 2000).

Social loafing adalah fenomena dimana individu kurang bekerja

keras atau malas daripada ketika mereka bekerja sendiri, yang diakibatkan

oleh kontribusi individu pada suatu aktivitas kolektif tidak dapat

dievaluasi (Taylor, dkk, 2000:291).

Jadi, social loafing adalah suatu kecenderungan dimana individu

dalam kelompok akan menjadi malas atau menurunkan usahanya dalam

bekerja seiring dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok,

dibandingkan ketika ia bekerja sendiri.

II.2.2. Faktor-faktor Penyebab Social Loafing

Stroebe dan Frey (1982) dalam Wilke & Meertens (1994: 30-31)

mengemukakan bahwa pada social loafing telah terjadi dua penurunan,

22

Page 23: Proposal Eksperimen Fixed

yaitu motivation losses dan coordination losses. Motivation losses adalah

kecenderungan untuk membiarkan orang lain melaksanakan pekerjaan

sementara kontribusi individu tidak dapat diidentifikasi dan bahwa yang

dilihat adalah produk keseluruhan sehingga memberikan kesempatan pada

anggota kelompok untuk tidak memberi sumbangan secara penuh.

Coordination losses yaitu kelompok individu tidak memiliki tujuan atau

sasaran yang sama dan atau mungkin masing-masing individu tidak

mengeluarkan potensinya pada saat yang sama.

Studi lain yang dilakukan oleh Albanese dan Fleet (1985)

menjelaskan adanya kecenderungan manusia untuk memperoleh

keuntungan dari keanggotaan kelompok yang tidak sebanding dengan

upaya menanggung pengorbanan dari keuntungan tersebut.

Kecenderungan untuk lalai dan bekerja di bawah standard andil seseorang

dapat dinetralkan oleh norma-norma keadilan dalam kelompok, namun

juga free rider (orang yang tidak melakukan usaha apapun dalam

penyelesaian tugas kelompok) dapat menghindari pelaksanaan norma

keadilan dalam kelompok atau jika norma-norma tersebut lemah, maka

social loafing dapat berpengaruh secara nyata terhadap efektivitas

kelompok. Bagaimanapun juga, ketika kontribusi setiap anggota dapat

terlihat secara jelas, dan khususnya ketika kontrol terhadap kinerja

individu berjalan, maka perilaku ”free rider” cenderung akan menurun.

Social loafing kebanyakan terjadi dalam kelompok yang baru atau

kelompok yang bersifat temporer, dimana tingkat penggolongannya tidak

tinggi (Miner, 1992: 185). Individu juga cenderung akan melakukan social

loafing ketika bekerja dengan orang-orang yang tidak dikenal dengan baik

(Baron & Byrne, 2000: 492).

Beberapa sebab lain munculnya social loafing menurut Karau dan

Williams (1993) dalam Gedeon (2002):

1. Ukuran kelompok yang lebih besar.

Penelitian Ringelmann (1913), menjelaskan bahwa seiring

bertambahnya jumlah orang dalam sebuah kelompok penarik tali,

23

Page 24: Proposal Eksperimen Fixed

kekuatan total yang digunakan oleh kelompok meningkat, namun

kekuatan rata-rata yang digunakan oleh setiap anggota kelompok

berkurang. Hasil penelitian ini selanjutnya disebut dengan Ringelmann

Effect (lihat Gambar 1). Ringelmann Effect menggambarkan

perbandingan terbalik antara ukuran sebuah tim dan besarnya

kontribusi setiap anggota kelompok pada penyelesaian tugas.

Pada tahun 1973, Bib Latané, Kipling Williams, dan Stephen

Harkins mengadakan studi tentang social loafing (Latané, dkk1979:

822-832). Dalam studi tersebut, partisipan diminta untuk bersorak atau

bertepuk tangan sekeras mungkin semampunya. Setiap individu

melakukannya dalam beberapa kesempatan, kesempatan pertama

individu melakukan sendirian, kedua dengan seorang partisipan yang

lain, dan terakhir dengan lima orang rekan yang lain. Pada setiap

kasus, peneliti merekam suara yang dihasilkan oleh masing-masing

individu. Selanjutnya seluruh subjek memakai headset dan kain

penutup mata sehingga masing-masing individu tidak dapat

mengetahui apa yang dilakukan oleh partisipan lain dalam kelompok.

Hasilnya adalah kelompok melakukan social loafing, yaitu usaha

individu menurun secara drastis seiring bertambahnya jumlah anggota

kelompok (Lihat Gambar 2).

24

Page 25: Proposal Eksperimen Fixed

Penelitian lain yang dilakukan oleh Alan Ingham (1974) (dalam

Ingham dkk, 1974: 371-384; Latané, 1979: 825) terhadap 100 orang

mahasiswa. Subjek diminta untuk menarik tali sekuat mungkin

semampunya. Mata subjek ditutup dan masing-masing dari subjek

mendapatkan informasi bahwa individu akan menarik tali sendirian

atau dengan satu sampai lima orang di belakangnya. Padahal

kenyataannya individu selalu menarik sendirian selama eksperimen

tersebut. Dari penelitian ini, diketahui bahwa ketika mahasiswa yakin

bahwa individu menariknya dengan orang lain, usaha individual subjek

secara signifikan lebih rendah atau berkurang. Individu menggunakan

hanya 82% usaha daripada usaha saat individu menarik seorang diri,

ketika individu mengira ada dua orang yang berada di belakangnya.

25

Page 26: Proposal Eksperimen Fixed

Usaha individu menjadi 78% ketika individu yakin bahwa individu

menarik tali dengaan dibantu lima orang di belakangnya.

2. Individu-individu dapat ”bersembunyi” dalam keramaian dan tidak

mau memikul kesalahan atau kinerja yang buruk atau

ketidakikutsertaannya.

3. Para anggota merasa bahwa input mereka bukan hal yang pokok atau

sangat mendasar bagi sebuah produk kelompok yang berkualitas tinggi

(khususnya ketika ada kelebihan dalam tugas).

4. Individu-individu berharap orang lain menjadi lambat dalam

kelompok, dan oleh karena itu, mengurangi usaha mereka untuk

mencapai keadilan. Sebaliknya, ketika mereka merasa bahwa kinerja

rekan kelompoknya buruk maka mereka akan bekerja lebih keras.

5. Individu tidak melihat hasil kerjanya sebagai sesuatu yang berarti bagi

dirinya sendiri (hanya bekerja demi melunasi kewajiban).

6. Sikap rekan kerja yang negatif terhadap tugas atau hasil kerja individu.

7. Adanya kontrol yang kurang dan tidak ada reward bagi individu dalam

kelompok.

8. Individu secara umum cenderung tidak melihat hasil kolektif sebagai

sesuatu yang penting. Hasil kelompok dianggap sebagai sesuatu yang

tidak penting (lihat Gambar 3).

9. Tugas atau proses tidak menyediakan informasi yang relevan dengan

self-evaluation (evaluasi diri) individu, atas self-image, identitas,

validasi, ddan perasaan berharga, khususnya yang berhubungan

dengan orang lain.

10. Sebagian besar individu bersifat hedonis, yaitu jika individu tahu

bahwa mereka memiliki rekan kerja yang tergolong ”orang yang rajin”

yang dapat melakukan pekerjaan, maka individu tersebut menjadi

malas.

11. Tugas yang berulang-ulang, biasa, atau yang membosankan untuk

dikerjakan.

26

Page 27: Proposal Eksperimen Fixed

Penemuan Latané dkk (1979: 829-830) dalam penelitiannya, ada

tiga penyebab terjadinya social loafing:

1. Atribusi dan keadilan. Hal ini memungkinkan partisipan

mengikutsertakan sebuah proses atribusi yang salah, dalam usaha

pencapaian pembagian kerja yang adil. Ada tiga hal yang mengarahkan

individu untuk mempunyai anggapan yang salah. Pertama, individu

menilai hasil kerja mereka lebih besar daripada rekannya. Kedua,

penurunan kinerja akan menyebabkan hasil kelompok tampak lebih

rendah daripada penjumlahan dari kinerja masing-masing individu.

Ketiga, persepsi terhadap hasil kerja kelompok seharusnya kurang dari

hasil yang sebenarnya. Faktor ini bisa menyebabkan individu percaya

bahwa partisipan yang lain memiliki motivasi yang lebih rendah atau

kurang terampil daripada individu tersebut. Partisipan yang lain

dianggap sebagai orang yang suka melalaikan pekerjaan atau tidak

berkompeten. Jadi, perbedaan dalam persepsi tentang hasil kerja

mungkin diatribusikan secara salah sehingga mengantarkan individu

untuk menurunkan produktivitasnya dalam kelompok karena tidak ada

alasan untuk bekerja keras guna membantu orang yang suka

melalaikan pekerjaan atau orang yang tidak berkompeten tersebut.

Selain itu, jika individu berpikir bahwa rekan kerja yang lain bermalas-

27

Page 28: Proposal Eksperimen Fixed

malasan, bila dipandang dari prinsip keadilan, maka individu tersebut

sebaiknya mengurangi usahanya pula (Jackson & Harkins, 1985;

dalam Deaux & Wrightsman, 1988: 417).

2. Pembuatan tujuan yang kurang maksimal. Partisipan mendefinisikan

kembali pekerjaannya dan mengadopsi sebuah tujuan, namun hanya

untuk mencapai hasil yang sama dengan atau kurang dari standard

yang telah terdefinisi dengan baik.

3. Memperkecil kemungkinan antara input dan hasil. Partisipan merasa

bahwa mungkin input dan outputnya berkurang ketika bekerja dalam

kelompok. Menurut Davis (1969), individu dapat ”bersembunyi dalam

keramaian” dan menghindari dampak negatif dari berkurangnya input

dan output tersebut, atau individu merasa ”hilang dalam keramaian”

dan tidak mampu untuk memperoleh pembagian yang adil atas dampak

positif dari bekerja keras.

Green mengemukakan tiga hal yang menjelaskan tentang ”loafing”

(Hodson, 2001: 92):

1. Keadaan output, anggota kelompok mengira rekan yang lain bermalas-

malasan dan begitu juga individu itu sendiri untuk menghindari

kemungkinan menjadi seseorang yang akan mengerjakan seluruh

tugas.

2. Ketakutan akan evaluasi, anggota kelompok mungkin tidak dikenal

dan oleh karena itu tidak akan diminta untuk menjelaskan kinerja antar

anggota kelompok. Tidak ada yang memonitor kinerja individu dan

tidak ada yang dapat bertanggung jawab. Hal ini mungkin karena tugas

tersebut tergolong membosankan atau memiliki tujuan yang kurang

nyata.

3. Pencapaian standar, anggota kelompok tidak memiliki indikasi

standard hasil pekerjaan yang diinginkan. Jika kriteria penyelesaian

tugas tidak jelas, maka kemungkinan akan terjadi loafing (bermalas-

malasan).

28

Page 29: Proposal Eksperimen Fixed

Kecenderungan seseorang untuk melakukan social loafing juga

dipicu oleh beberapa faktor di bawah ini (Forsyth, 1999: 289-290):

a. Anonimitas dan penurunan evaluasi. Individu mengerjakan tugas-tugas

yang mudah seringkali bekerja lebih keras ketika seorang observer

yang mengevaluasi melihat kerja individu, namun ketika kontribusi

individu tersembunyi (anonimitas) dari evaluasi orang lain maka ia

sering mengurangi usahanya. Social loafing muncul ketika individu

mengetahui dan menyadari bahwa kontribusi uniknya tidak dapat

dievaluasi oleh yang lain (Carl, 2003). Sosik dkk, menjelaskan tentang

anonimitas yang juga mengakibatkan penerimaan kelompok yang

rendah dan menurunkan tingkat kepuasan atas pekerjaan, seingga

dapat menimbulkan social loafing.

(http://www.gv.psu.edu/content140.htm).

b. Tugas-tugas kolektif sebagai dilema sosial. Anggota kelompok

mempunyai dilema antara membantu kelompok untuk mencapai

tujuan-tujuannya dengan keinginannya untuk konsentrasi pada tujuan

personalnya. Sehingga melakukan free-ride (bekerja dibawah

pembagian kerja, walau masih ada pembagian yang sama dalam

reward kelompok). Free-ride meningkat ketika anggota kelompok

takut bila rekan kerja mereka juga bersembunyi.

c. Ilusi tentang produktivitas. Kecenderungan individu untuk merasa

yakin bahwa kelompoknya telah bekerja secara efektif.

Social loafing juga berkaitan dengan jenis kelamin dan budaya

tempat tinggal individu tersebut. Dalam penelitian Karau & Williams

(1993), diperoleh hasil bahwa pekerja yang berjenis kelamin perempuan

memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk melakukan social loafing

daripada yang berjenis kelamin laki-laki. Orang yang hidup dalam

kebudayaan timur (kebudayaan kolektivis) kecil kemungkinan akan

melakukan social loafing daripada orang yang hidup dalam kebudayaan

barat (budaya individualis).

(http://loki.lokislabs.org/weblog/archives/2003/09/10/social_loafing_free_

29

Page 30: Proposal Eksperimen Fixed

riding_and_online_communities.php). pengaruh budaya negara terhadap

social loafing juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Farah

(1993), yang menunjukkan bahwa kinerja pelajar yang berasal dari

Yordania lebih baik ketika bekerja secara kolektif daripada bekerja

sendirian. (http://www.highbeam.com).

Pendapat Karau & William tersebut, didukung oleh Earley (1989)

dalam penelitiannya yang membandingkan antara orang Amerika (budaya

individualis) dan orang Cina (budaya kolektivis) menunjukkan bahwa

(http://amadeus.management.mcgill.ca/~mark.mortensen/orgweb/summari

es/gsb/content/Earley.html):

a. Social loafing terjadi pada orang-orang Amerika (individualistik),

bukan orang Cina (kolektivis).

b. Orang-orang dalam budaya kolektivis akan memunculkan kinerja yang

lebih baik ketika bekerja dalam kelompok daripada ketika bekerja

sendiri.

c. Pembagian tanggung jawab memiliki dampak yang berbeda

berdasarkan budaya: orang yang individualis bekerja lebih baik dalam

kondisi pembagian tanggung jawab kerja yang rendah, terutama bila

hasil kerjanya bisa dinilai dan dihitung. Orang yang kolektivis bekerja

lebih baik ketika dalam kondisi pembagian tanggung jawab kerjanya

tinggi dan memiliki level rendah pada penilaian hasil kerja.

Pengaruh budaya yang begitu besar pada social loafing,

mendorong McFarlin (2001), memberi saran kepada perusahaan-

perusahaan bisnis yang berlevel internasional yang ingin mengurangi efek

dari social loafing, untuk mempertimbangkan perbedaan budaya dan latar

belakang di kalangan pekerja

(http://dayton.bizjournals.com/dayton/stories/2001/07/09/smallb3.html).

Liden dkk (2004) mengemukakan bahwa social loafing bisa terjadi

pada dua level. Pertama, adalah level individu, social loafing diakibatkan

oleh meningkatnya ketergantungan tugas antar individu, ketidakjelasan

tugas, dan ketidakadilan dalam pembagian tugas. Kedua, pada level

30

Page 31: Proposal Eksperimen Fixed

kelompok, social loafing disebabkan oleh meningkatnya ukuran kelompok

dan menurunnya kohesivitas

(http://www.journalofmanagement.org/2004_journal_abstracts.php).

Ketidakadilan distribusi kerja memiliki hubungan terbalik dengan

kepuasan kerja. Semakin tidak adil distribusi kerjanya maka pekerja

semakin memiliki kepuasan kerja yang negatif, maka besar kemungkinan

individu tersebut memunculkan social loafing(Dillon’s 2001).

Besarnya ukuran kelompok yang ideal ditentukan oleh jenis dan

tujuan kelompok (Katzenbach dan Smith 1999; Speck 2002). Untuk

kelompok mahasiswa, ukuran yang ideal adalah 4 sampai 7 orang

(Cockriel 2001). Hasil riset menunjukkan bahwa semakin besar ukuran

sebuah kelompok maka semakin besar pula kecenderungan terjadinya

social loafing. Social impact theory (Latane & Nida 1980) menjelaskan

bahwa social loafing terjadi pada kelompok yang jumlah anggotanya

cukup besar, alasannya karena ada banyak orang terlibat dalam suatu

pekerjaan, sehingga anggota kelompok kurang memiliki tanggungjawab

individu. Semakin besar kelompok, semakin sulit memonitor dan

mengevaluasi pekerjaan tiap individu. Seseorang akan memberikan hasil

maksimal jika dievaluasi secara perorangan, sementara jika semakin besar

jumlah orang dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan, maka kontribusi

setiap individu juga akan semakin kecil.

Jadi, secara singkat dapat dirumuskan faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya social loafing:

1. Jumlah anggota yang besar,

2. Tidak memungkinkannya dilakukan evaluasi,

3. Perbedaan persepsi tentang hasil kerja yang diatribusikan secara salah

sehingga mengantarkan dirinya untuk menurunkan usaha,

4. Keinginan atas keadilan,

5. Tugas yang berulang-ulang, biasa, atau membosankan,

6. Free-ride yaitu kecenderungan untuk mendompleng pada rekan kerja

yang dianggap lebih mampu,

31

Page 32: Proposal Eksperimen Fixed

7. Adanya sikap negatif dari rekan kerja atas hasil ekrja individu,

8. Individu menganggap hasil kerja dan hasil kelompok tidak penting,

9. Tujuan yang kurang jelas, serta

10. Tidak adanya standard hasil kerja yang jelas sehingga bekerja

hanyalah sekedar memenuhi kewajiban

11. Jenis kelamin,

12. Budaya kolektivis ataukah individualis

II.2.3. Faktor-Faktor yang Dapat Mengurangi Social Loafing

Dari penjelasan tentang penyebab munculnya social loafing,

memungkinkan untuk membuat strategi untuk menghindari social loafing.

Menurut Green (1991) dalam Hodson (2001: 91), keterlibatan personal,

tugas yang bermakna, kompetisi dalam kelompok, dan memungkinkannya

identifikasi kinerja per individu akan membantu dalam upaya menghindari

terjadinya social loafing.

Penelitian Ringelmann dalam Ratzburg (2002) menghasilkan

beberapa pernyataan tentang faktor-faktor yang dapat mengurangi

kemungkinan terjadinya social loafing (www.findarticles.com). Faktor-

faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Umpan balik kerja (Job feedback)

Pekerjaan yang dilakukan secara nyata dapat memberikan umpan balik

pada individu, sehingga individu menerima pujian atau kesalahan atas

hasil kerja yang telah mereka berikan pada kelompok.

2. Tugas-tugas yang unik dan menantang (Skill variety)

Hal ini sesuai dengan teori motivasi yang membahas tentang

karakteristik pekerjaan. Secara umum, telah ditunjukkan bahwa

manusia termotivasi oleh pekerjaan yang menarik (variasi, signifikan,

dan unik). Jika termotivasi, maka manusia cenderung tidak akan

melakukan social loafing.

3. Tugas-tugas yang penting (Task significance)

32

Page 33: Proposal Eksperimen Fixed

Hal ini juga berkaitan denga teori Hackman dan Oldham yang

mengemukakan bahwa task significance (penting tidaknya suatu

pekerjaan; tingkat dimana pekerjaan tersebut berpengaruh pada

kelangsungan hidup orang lain, organisasi, dan lingkungan sekitar)

meningkatkan motivasi bekerja.

4. Keterlibatan individu

Kemungkinan terjadinya social loafing akan berkurang jika individu

merasa ikut terlibat dalam kesuksesan penyelesaian tugas kelompok.

5. Output teridentifikasi

Individu cenderung tidak akan melakukan social loafing ketika secara

personal individu memperoleh keuntungan dari hasil kelompok dan

memperoleh reward atas kerja yang telah dilakukannya.

6. Motivasi berprestasi yang tinggi

Motivasi kerja yang tinggi, akan menurunkan kemungkinan seseorang

karyawan menjadi seorang yang melakukan social loafing.

Hal-hal yang dapat mengurangi kemungkinan munculnya social

loafing di atas tidak berbeda jauh dengan faktor-faktor sebagai berikut

(Forsyth, 1999:291-294):

1. Meningkatkan keterlibatan personal. Social loafing tidak akan terjadi

dengan meningkatkan andil setiap anggota dalam hasil kelompok.

2. Tugas-tugas tersebut sangat berarti dan adanya compensation effect

yaitu individu mengira bahwa kemampuan rekan kerjanya kecil atau

lebih rendah dibanding kemampuan individu tersebut.

3. Minimalisasi free-ride. Kemalasan akan berkurang jika kontribusi

individu bersifat unik dan mendasar bagi kesuksesan kelompok, serta

membuat kelompok yang berukuran lebih kecil. Selain itu, ketika

anggota yakin bahwa orang lain dan dirinya sendiri mampu dan

bersedia untuk memberikan kontribusinya pada kelompok.

4. Klasifikasi tujuan kelompok. Anggota tidak akan malas ketika

mempunyai standard yang jelas sehingga dapat digunakan untuk

33

Page 34: Proposal Eksperimen Fixed

mengevaluasi kualitas hasil kerja individu dan kelompok. Selain itu,

tujuan yang jelas akan merangsang proses peningkatan produksi.

5. Membuat standard yang tinggi. Pembuatan tujuan yang optimis dari

kesuksesan kelompok menantang anggota untuk bekerja lebih keras

dan memperbaiki kinerjanya.

6. Meningkatkan collective efficacy. Kemalasan akan berkurang jika

individu memiliki harapan-harapan yang tinggi atas kesuksesan

kelompok dan individu merasa bahwa tujuan yang dicari tersebut

adalah satu hal yang berharga.

7. Meningkatkan persatuan. Kemalasan akan berkurang pada orang-orang

yang lebih kolektivis, daripda orang-orang yang lebih tertarik dalam

mengejar tujuan-tujuan individualnya.

Baron dan Byrne (2000) memberikan beberapa solusi untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya social loafing (Baron & Byrne,

2000: 492):

a. Kelompok dapat merencanakan cara untuk membuat hasil kerja dan

usaha masing-masing individu dalam kelompok secara pasti dapat

diidentifikasi.

b. Kelompok dapat meningkatkan komitmen anggota untuk penyelesaian

tugas dengan sukses.

c. Kelompok meningkatkan tingkat pentingnya atau nila dari tugas secara

jelas.

d. Individu memandang kontribusinya pada tugas kelompok sebagai

sesuatu yang unik daripada hanya duplikasi dari orang lain.

Penggunaan reward dan hukuman dalam proses mengurangi

munculnya social loafing juga bisa digunakan. Memberikan reward pada

individu yang telah memberikan kontribusinya dan kinerja yang baik pada

hasil kelompok akan membuat individu merasa dihargai dan terdorong

untuk bekerja lebih keras. Disamping itu, ancaman hukuman juga bisa

diberdayakan karena pada kenyataanya kunci dari social loafing adalah

pelaku social loafing (social loafer) tidak merasa takut dan tidak merasa

34

Page 35: Proposal Eksperimen Fixed

khawatir dievaluasi

(http://www.changingminds.org/explanations/theories/social_loafing.htm).

Namun pada penelitian lain yang dilakukan oleh Jill Kunishina dan Kasi

Welte (2003) menunjukkan hasil yang sebaliknya. Ancaman hukuman

hanya bersifat meningkaykan produktivitas, tetapi tidak mengurangi

terjadinya social loafing

(http://www.jyi.org/volumes/volume10/issue3/articles/ kunishima.html).

Jadi, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya social loafing

adalah memberikan kesempatan pada anggota kelompok untuk turut

merasa memiliki (belongingness) kelompok dan terlibat secara aktif dalam

kelompok; memastikan bahwa pekerjaan yang diemban oleh pekerja

bersifat unik dan menantang; dan pekerjaan tersebut berpengaruh pada

kelangsungan hidup individu itu sendiri, organisasi dan lingkungan sekitar.

II.2.4. Social Loafing sebagai Penyakit Sosial dan Dampaknya

Meskipun beberapa orang tetap berpikir bahwa ilmu pengetahuan

sebaiknya bebas nilai, Latané dkk (1979) harus mengakui bahwa social

loafing dapat digolongkan sebagai salah satu penyakit sosial. Disebut

”penyakit” karena social loafing dapat berakibat negatif pada individunya,

lembaga sosialnya, dan masyarakatnya. Social loafing menghasilkan suatu

pengurangan dalam segala bidang, misalnya ketidakakuratan dalam analisa

pekerjaan (Morgeson & Campion, 1997: 627-655). Dikatakan ”sosial”

karena social loafing dihasilkan dari adanya kehadiran atau tindakan orang

lain. (Latané, dkk, 1979: 831-832).

Dampak adanya fenomena social loafing bagi kelompok adalah

akan membuat rendahnya prestasi kelompok (West, 1994: 5). Eksperimen

pertama yang dilakukan oleh Latané dkk menjelaskan bahwa akibat dari

munculnya social loafing adalah menurunnya produk kelompok karena

ketidakefisienan kelompok tersebut (www.faculty.babson.edu). Dalam

kelompok brainstorming, menurunnya produk ditandai dengan

menurunnya jumlah ide yang dihasilkan oleh kelompok (Basden dkk,

35

Page 36: Proposal Eksperimen Fixed

1997: 1176-1189). Hal ini jelas akan mempengaruhi keefektifan kerja

kelompok, yang mana diharapkan bahwa dengan kerja kelompok akan

menghasilkan output yang lebih besar dan mencapai hasil yang diinginkan

daripada individu bekerja sendirian.

Studi electronic brainstorming (EBS) yang dilakukan oleh

Shepperd dkk (1996), menunjukkan bahwa social loafing dapat

mengurangi produktivitas EBS kelompok, yang pada akhirnya akan

mengakibatkan menurunnya kualitas ide kelompok. Hal ini dapat diatasi

dengan menggunakan teknik fasilitasi dari social comparison

(http://jmis.bentley.edu/articles/v12_n3_p155).

Dampak social loafing bagi individu secara personal ditunjukkan

pada fakta yang diperoleh dari eksperimen yang dilakukan oleh Mulvey,

Bowes-Sperry, dan Klein (1998) dalam William Welter (2000). Hasil

penelitian yang dilakukan terhadap 51 partisipan yang tergolong dalam

kelompok pekerja keras (hardworking) dan kelompok pekerja yang

”enggan Kesimpulannya adalah social loafing merupakan suatu penyakit

sosial yang muncul karena adanya kehadiran orang lain dan akan

menimbulkan pengaruh yang negatif bagi individu, organisasi dan

lingkungan sekitarnya.

II.2.5. Kemunculan Social Loafing

Merujuk pada definisi social loafing yang telah dibahas

sebelumnya, maka bisa disimpulkan bahwa kemunculan social loafing

adalah muncul atau timbulnya perilaku malas atau penurunan usaha yang

dilakukan” (loafer) adalah kelompok dengan pekerja yang ”enggan”

memiliki kepuasan individu yang lebih rendah daripada kelompok pekerja

keras. Begitu juga pada produktivitas individunya, hasilnya adalah

kelompok pekerja yang ”enggan” memiliki produktivitas yang lebih

rendah dibandingkan kelompok pekerja keras.

Kemunculan tersebut bisa berupa seperti perilaku-perilaku menyia-

nyiakan waktu ketika kinerjanya diperlukan oleh kelompok, perilaku

36

Page 37: Proposal Eksperimen Fixed

terlambat, tidak mengikuti pertemuan atau bersikap pasif dalam diskusi,

atau gagal menyelesaikan tugas-tugasnya

(http://www.uky.edu/~drlane/capstone/group/socloaf.html, 2000).

Munculnya perilaku social loafing seperti bersikap pasif dalam

diskusi mengakibatkan semakin sedikit ide-ide yang diproduksi karena

adanya dorongan untuk membiarkan orang lain (yang dianggap lebih

mampu) bekerja untuk memenuhi produk kelompok dan ketakutan atas

evaluasi negatif dari rekan yang lain (Wike & Meertens, 1994:40).

II.3 VARIABEL-VARIABEL EXTRA

II.3.1 Variabel Kontrol

II.3.1.1 Jenis Tugas

Jenis tugas telah diketahui sebagai salah satu faktor yang ikut

mempengaruhi kemunculan social loafing. Tugas kelompok yang dapat

dikategorikan sebagai tugas yang sulit (unik dan menantang) akan lebih

kecil memunculkan social loafing pada individu-individu anggotanya.

Sebaliknya, tugas yang membosankan dan diberikan secara berulang-ulang

akan semakin mendukung munculnya social loafing pada individu.

Kontrol yang dilakukan oleh eksperimenter terhadap variabel jenis tugas

ini adalah dengan menyamakan jenis tugas pada masing-masing individu.

Yakni dengan pemberian tugas dengan tingkat yang ’tidak sulit’ atau

dengan kata lain mudah dan jumlah yang banyak sehingga memungkinkan

untuk dibagikan pada tiap anggota. Yang dimaksud ’mudah’ disini adalah

bahwa soal dalam tugas itu meminta jawaban yang semuanya tersedia

pada buku yang menjadi referansi mata kuliah itu. Tipe tugas yang

diberikan ini (mudah dan jumlah banyak) digunakan dalam eksperimen

karena social loafing potensial terjadi pada pengerjaan tugas-tugas yang

membosankan (tidak menantang dan tidak unik). Dengan penyamaan tipe

ini diharapkan agar tidak mempengaruhi hasil pengukuran antara

perlakuan pertama dengan hasil pengukuran pada perlakuan kedua.

37

Page 38: Proposal Eksperimen Fixed

II.3.1.2 Gender

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Karau dan Willams (1993)

menunjukkan bahwa gender ikut mempengaruhi tingkat social loafing. Hal

penelitian itu memperlihatkan bahwa wanita memiliki kemungkinan yang

lebih kecil untuk melakukan social loafing dibandingkan laki-laki. Hal ini

mungkin menjelaskan teori yang mengatakan bahwa wanita adalah

individu yang kooperatif dan laki-laki adalah indiviu yang kompetitif.

Sehingga wanita bila bekerja dalam kelompok akan lebih efektif

dibandingkan bila laki-laki digabungkan menjadi kelompok. Sebaliknya

laki-laki akan bekerja keras bila bekerja dalam menyelesaikan tugas

individu dimana kebutuhan aktualisasi akan dapat tercapai dalam

penyelesaian tugas individu. Bentuk kontrol yang dilakukan eksperimenter

yakni dengan memberikan perlakuan hanya kepada populasi jenis kelamin

laki-laki dimana social loafing lebih banyak muncul pada anggota

kelompok yang berjenis kelamin laki-laki.

II.3.1.3 Peran masing-masing individu

Social loafing kemungkinan besar terjadi pada kelompok yang

masing-masing anggotanya tidak jelas perannya. Ataupun perannya

bukanlah peran yang sifatnya menentukan (vital) dalam kelompok.

Individu yang memiliki peran hanya sebatas ’anggota’ akan lebih mungkin

melakukan social loafing dibandingkan dengan individu yang menjadi

wakil koordinator. Jadi peran yang unik dan vital akan memperkecil

kemungkinan individu melakukan social loafing. Bentuk kontrol yang

dilakukan eksperimenter terhadap variabel ini adalah berupa penyamaan

peran tiap anggota. Karena perilaku social loafing ini memiliki peluang

lebih besar akan muncul pada individu bila individu tersebut memiliki

peran yang tidak atau kurang vital (kurang unik ataupun kurang penting)

terhadap. Yakni setiap anggota kelompok memiliki peran sebagai

’anggota’, dengan kata lain tidak ada yang berperan sebagai koordinator,

38

Page 39: Proposal Eksperimen Fixed

leader, sekretaris, bendahara, pengatur strategi, manajer ataupun peran-

peran lain yang lebih vital dalam sebuah organisasi.

II.3.1.4 Budaya Kolektivis atau Individualis

Sebuah teori mengatakan bahwa individu-individu yang menganut

budaya individualis memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan

social loafing. Sebaliknya individu-individu penganut budaya kolektivis

diketahui akan bekerja lebih baik dalam tugas itu dilakukan bersama-sama.

Individu-individu penganut budaya individualis cenderung berusaha lebih

keras dalam tugas individu dibandingkan tugas kelompok. Begitu pula

sebaliknya yang terjadi pada individu-individu yang menganut budaya

kolektivis, performa mereka akan lebih maksimal dalam pengerjaan tugas

kelompok. Bentuk kontrol yang dilakukan oleh eksperimenter adalah

bentuk tidak langsung, yakni karena kemudahan (dekat dan murah), maka

eksperimen ini menggunakan subjek orang-orang Indonesia (budaya

Timur, menganut paham kolektivisme). Diasumsikan setiap orang

menganut paham yang sama. Sehingga dapat disamakan persepsi setiap

subjek mengenai kelompok.

II.3.1.5 Tujuan Kerja

Setiap kelompok yang dibentuk akan mempunyai tujuan. Bahkan

kelompok yang kegiatannya hanya bergosip pun itu sebenarnya

mempunyai tujuan. Walaupun tujuannya memang tidak jelas. Hal inilah

yang ikut berpengaruh pada intensi individu sebagai anggota kelompok.

Kelompok yang dibentuk tanpa tujuan yang jelas, akan lebih besar

kemungkinan individunya melakukan social loafing. Dengan menetapkan

tujuan yang jelas dan spesifik (terlebih bila kesepakatan itu tertulis dan

disepakati setiap anggota) maka kemungkinan terjadinya social loafing

akan semakin kecil. Bentuk kontrol kami adalah memberikan tujuan dalam

instruksi diawal perkuliahan sebelum pemberian tugas.

39

Page 40: Proposal Eksperimen Fixed

II.3.1.6 Standar Hasil Kerja

Kelompok yang tidak memiliki standar hasil kerja yang jelas akan

memicu individu-individu anggota kelompoknya untuk melakukan social

loafing. elompok yang tidak mengetahui apalagi tidak mempunyai standar

hasil kerja yang jelas, maka individu cenderung akan melakukan kerja

yang asal-asalan (tidak maksimal). Hal ini dikarenakan individu tidak

mempunyai target yang hendak dicapai. Jadi kerjanya hanya menggunakan

prinsip ’asal selesai’. Bentuk kontrol yang dilakukan eksperimenter serupa

dengan bentuk kontrol pada variabel tugas, yakni dengan memberikan

standar hasil kerja secara tertulis.

II.3.2 Variabel Extraneous

II.3.2.1 Keinginan Atas Keadilan

Keinginan atas keadilan memungkinkan partisipan

mengikutsertakan sebuah proses atribusi yang salah, dalam usaha

pencapaian pembagian kerja yang adil. Hal ini dapat terjadi ketika

individu menilai hasil kerja mereka lebih besar daripada rekannya,

penurunan kinerja akan menyebabkan hasil kelompok tampak lebih rendah

daripada penjumlahan dari kinerja masing-masing individu, serta persepsi

terhadap hasil kerja kelompok seharusnya kurang dari hasil yang

sebenarnya. Faktor ini bisa menyebabkan individu percaya bahwa

partisipan yang lain memiliki motivasi yang lebih rendah atau kurang

terampil daripada individu tersebut. Partisipan yang lain dianggap sebagai

orang yang suka melalaikan pekerjaan atau tidak berkompeten (Latané

dkk,1979: 829-830). Selain itu, jika individu berpikir bahwa rekan kerja

yang lain bermalas-malasan, bila dipandang dari prinsip keadilan, maka

individu tersebut sebaiknya mengurangi usahanya pula (Jackson &

Harkins, 1985; dalam Deaux & Wrightsman, 1988: 417).

40

Page 41: Proposal Eksperimen Fixed

II.3.2.2 Free Ride (Mendompleng)

Free ride yaitu kecenderungan seseorang untuk mendompleng

rekan kerjanya yang dianggap lebih mampu sehingga individu tersebut

tidak melakukan usaha apapun dalam penyelesaian tugas kelompok. Social

loafing dapat berpengaruh nyata terhadap efektivitas kelompok jika Free

rider (orang yang mendompleng) dapat menghindari pelaksanaan norma

keadilan dalam kelompok atau jika norma-norma tersebut lemah.

Bagaimanapun juga, ketika kontribusi setiap anggota dapat terlihat secara

jelas, dan khususnya ketika kontrol terhadap kinerja individu berjalan,

maka perilaku ”free rider” cenderung akan menurun (Albanese dan Fleet,

1985). Minimalisasi free-ride akan berkurang jika kontribusi individu

bersifat unik dan mendasar bagi kesuksesan kelompok, serta membuat

kelompok yang berukuran lebih kecil. Selain itu, ketika anggota yakin

bahwa orang lain dan dirinya sendiri mampu dan bersedia untuk

memberikan kontribusinya pada kelompok (Forsyth, 1999:291-294).

II.3.2.3 Sikap negatif dari rekan kerja atas hasil kerja individu

Sikap negatif seperti tidak menghargai pendapat atau hasil tugas

yang dikerjakan oleh anggota lain muncul ketika ada satu atau dua anggota

yang merasa kemampuannya lebih superior dibanding yang lain di dalam

sebuah kelompok. Hasil kerja anggota lain yang dianggap kurang superior

tidak diperhatikan sehingga anggota yang kurang superior merasa inferior

lantas muncullah social loafing karena mereka menganggap tenaga atau

sumbangsih mereka tidak dibutuhkan dalam kelompok.

II.3.2.4 Perbedaan persepsi tentang hasil kerja

Persepsi masing-masing anggota terhadap hasil kerjanya maupun hasil

kerja orang lain berbeda-beda. Jika ada anggota kelompok yang menganggap hasil

kerjanya sangat diperlukan atau dibutuhkan kelompok, maka ia akan termotivasi

untuk mengerjakan dengan baik segala tugas yang diberikan kepadanya maka

kemungkinan muncul social loafing akan sangat kecil. Sebaliknya, jika ada

41

Page 42: Proposal Eksperimen Fixed

anggota yang menganggap atau merasa hasil kerjanya tidak akan diperhatikan

atau ditimbang oleh kelompoknya maka motivasinya dalam mengerjakan tugas-

tugas yang diberikan kepadanya akan berkurang (motivation losses), kemudian

muncullah perilaku social loafing yang muncul melalui perilakunya yang

menurunkan usahanya dalam mengerjakan tugas karena dianggap percuma

bersusah-susah mengerjakan tapi hasil kerjanya tidak akan digubris oleh

kelompok.

42

Page 43: Proposal Eksperimen Fixed

II.4 KERANGKA KONSEPTUAL

II.5 PERUMUSAN HIPOTESA

Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Hipotesa Alternatif

”Ada pengaruh banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok terhadap

tingkat social loafing”.

Hipotesis Nihil

”Tidak ada pengaruh banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok

terhadap tingkat social loafing.”

BUDAYA INDIVIDUALIS

UKURAN KELOMPOK

KEMUNGKINANADANYA

EVALUASI

GENDERTIINGKAT

KEUNIKAN TUGAS

TUJUAN & STANDAR

KERJA

PERSEPSI INDIVIDU TENTANG

KEPENTINGAN HASIL KERJA

KEINGINAN ATAS

KEADILAN

SIKAP REKAN KERJA ATAS

HASIL KERJA INDIVIDU

SOCIAL LOAFING

+

+

+

+

+

-

-

??

43

Page 44: Proposal Eksperimen Fixed

BAB III

Metode Penelitian

44

Page 45: Proposal Eksperimen Fixed

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TIPE PENELITIAN

Tipe penelitian yang akan dilaksanakan ialah Quasi Experiment yang

mana dalam Quasi Experiment ini tidak semua variable ekstra dapat dikontrol.

Hal ini disebabkan karena bidang yang diteliti termasuk dalam bidang sosial. Jelas

bahwa dalam bidang sosial, lebih banyak dilakukan penelitian lapangan. Pada

kenyataannya banyak hal yang tidak dapat diprediksikan maupun masih belum

tergali, atau dapat disebut “misterius”. Seringkali terjadi ketimpangan bila kita

melakukan penelitian true eksperimen untuk meneliti masyarakat. Sehingga

diperlukan penelitian yang memungkinkan kita untuk meneliti dalam keadaan

yang sebenarnya (tanpa manipulasi lingkungan, jadi peneliti hanya memanipulasi

variabel-variabel tertentu yang secara langsung berkaitan dengan variabel Y)

III.2. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel adalah segala hal yang bila diukur dalam objek yang berbeda

pada kondisi yang berbeda pula, bisa menghasilkan pengukuran yang berbeda

(Reaves, 1992 :71). Dengan kata lain, variable merupakan konsep yang telah

operasional, yaitu dapat diamati dan diukur. Adapun variable yang digunakan

dalam penelitian ini adalah variable bebas (X) dan variable tergantung (Y).

variable bebas (X) adalah variable yang merupakan penyebab. Sedangkan variable

tergantung (Y) ialah variable yang merupakan akibat dari adanya variable bebas

(Zainuddin, 2000 :23-25).

Klasifikasi variable dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variable bebas (X) : banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok

Variable tergantung (Y) : Perilaku social loafing

Ada variabel yang dapat dikontrol yang disebut variabel kontrol. Antara

lain :

1. Jumlah anggota

2. Jenis tugas

45

Page 46: Proposal Eksperimen Fixed

3. Jenis kelamin

4. Peran masing-masing individu

5. Budaya kolektif dan individualisu

6. Tujuan kerja

7. Standar hasil kerja

Sedangkan variabel ekstra yang tidak dapat dikontrol atau disebut

extranoues variabel, antara lain :

1. Keinginan atas keadilan

2. Free Ride (Mendompleng)

3. Sikap negatif dari rekan kerja atas hasil kerja individu

4. Perbedaan persepsi tentang hasil kerja

III.3. DEFINISI KONSEPTUAL

Social loafing adalah penurunan usaha individu atau seseorang ketika ia

bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan ketika ia bekerja seorang diri,

seiring dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok atau ”ukuran” kelompok

tersebut. Semakin banyak jumlah anggota dalam suatu kelompok, semakin besar

tingkat social loafing. Hal ini bisa jadi dikarenakan individu merasa bahwa di

dalam kelompoknya ada yang sudah pintar dan mampu untuk mengerjakan tugas,

sehingga dia jadi ’malas’ untuk melakukan tugasnya. Selain itu dia juga

menganggap bahwa bila banyak tangan yang bekerja, maka tugasnya akan

semakin mudah sehingga dia mengandalkan usaha teman-temannya yang lain

sudah cukup untuk menyelesaikan semua tugas-tugas.

III.4. DEFINISI OPERASIONAL

Demi memudahkan dalam mengamati dan mengukur variable – variable

yang ada dalam penelitian ini, maka perlu disusun definisi operasionalnya.

Definisi operasional berguna untuk menentukan alat atau instrument yang akan

digunakan dalam pengumpulan data (Zainuddin, 2000 :24). Oleh karena kedua

variable dalam penelitian ini tidak dapat diamati dan diukur secara fisik, maka

aspek – aspek dari variable tersebut kemudian dipecah kembali menjadi indicator

46

Page 47: Proposal Eksperimen Fixed

– indikator. Indikator adalah sifat yang digunakan sebagai petunjuk kualitas dan

kuantitas ciri yang akan diukur tersebut.

1. Ukuran kelompok

Besarnya ukuran kelompok yang ideal ditentukan oleh jenis dan

tujuan kelompok (Katzenbach dan Smith 1999; Speck 2002). Untuk

kelompok mahasiswa, ukuran yang ideal adalah 4 sampai 7 orang

(Cockriel 2001).

2. Kemunculan social loafing

Social loafing adalah kecenderungan menurunnya usaha individu

atau seseoarang ketika bekerja dengan kelompok dibandingkan dengan

ketika ia bekerja sendiri, seiring dengan bertambahnya jumlah kelompok

tersebut. Pengukuran social loafing juga menggunakan kuesioner dengan

skala likert yang terdiri atas 85 items pernyataan dan ditunjukkan dalam

skor kuantitatif. Skala yang memiliki empat alternative jawaban yaitu SS

(Setuju Sekali), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS(Sangat Tidak Setuju).

Ini memiliki skor setiap itemnya yang berkisar antara nilai 1 (sebagai nilai

minimal) hingga niali 4 (sebagai nilai maksimal). Semakin tinggi skor

yang diperoleh subjek, maka semakin besar kecenderungan anggota

kelompok untuk melakukan social loafing, dan sebaliknya, semakin

rendah yang diperoleh, maka semakin kecil kecenderungannya untuk

melakukan social loafing.

Indikator yang digunakan dalam operasionalisasi kemunculan

social loafing adalah sebagai berikut :

1. Individu menurunkan motivasi atau usahanya, meliputi individu malas

atau menurunkan usahanya dalam mengerjakan tugas; tidak

bersungguh – sungguh bekerja; bekerja asal – asalan; belajar sekedar

memenuhi kewajiban, tidak lebih; pekerjaannya tidak diselesaikan

dengan sempurna; dan lain – lain.

2. Bersikap pasif, meliputi tidak ikut serta dalam menyumbangkan ide;

memilih untuk diam; bekerja sekedar ikut-ikutan dengan rekan lain;

47

Page 48: Proposal Eksperimen Fixed

bekerja berdasarkan instruksi saja, tidak memiliki inisiatif; dan

sebagainya.

3. Mendompleng (free ride) meliputi bergantung dengan rekan kerja lain;

mengikuti saja gagasan yang diberikan lain yang lebih dominan;

mengikuti rekan yang lebih dominan dan lebih mampu; dan lain-lain.

4. Pelepasan atau pelebaran tanggung jawab meliputi mengharapkan

pekerjaannya akan diselesaikan oleh rekan kerja lain; meminta orang

lain untuk menyelesaikan pekerjaaannya; melimpahkan sebagian

tanggung jawabnya pada rekan kerja lain; membagi pekerjaannya

dengan rekan kerja lain; dan sebagainya.

5. Self adjustment, meliputi memandang dirinya kurang mampu atau

kurang terampil daripada orang lain.

III.5. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

III.5.1 POPULASI PENELITIAN

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang

sama (Zainuddin, 2000: 76). Dalam penelitian ini, ciri-ciri populasi yang

ingin diteliti adalah semua mahasiswa psikologi Universitas Airlangga

pengikut mata kuliah Psikologi Humanistik. Pemilihan populasi ini

didasarkan pada alasan bahwa :

Lokasi penelitian, merupakan tempat ditemukannya permasalahan

penelitian yaitu di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga khususnya

mahasiswa pengikut mata kuliah Psikologi Humanistik.

Jumlah populasi mencukupi, sehingga tingkat keterwakilan (representatif)

dapat terpenuhi.

III.5.2 SAMPEL PENELITIAN

Sampel adalah kelompok yang lebih kecil yang dipilih sebagai

contoh atau perwakilan dari populasi yang akan diukur (Reavers, 1992:

97). Sampel juga merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya

akan diberlakukan kepada populasi, karenanya sampel yang diambil dari

48

Page 49: Proposal Eksperimen Fixed

populasi harus betul-betul representasif atau mewakili

(Sugijono,1999 :73).

Sebuah sampel harus dipilih sedemikian rupa sehingga setiap

satuan elementer mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk

dipilih dan besarnya peluang tersebut tidak boleh sama dengan nol, dan

pengambilan sampel harus menggunakan metode yang tepat sesuai dengan

ciri-ciri populasi dan tujuan penelitian.

Teknik sampling adalah prosedur untuk mendapatkan sampel yang

representative. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Simple

Random Sampling (Sampel Acak Sederhana). Dikatakan sederhana karena

pengambilan sampel anggota populasi dilakukan secara tanpa

memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Hal demikian dapat

dilakukan bila anggota populasi dianggap “homogen”.

Dalam penelitian ini, dilakukan pengambilan sampel dari populasi kasar

yaitu mahasiswa psikologi Universitas Airlangga pengikut mata kuliah

Psikologi Humanistik dalam kelas besar yang berjumlah 100 mahasiswa.

Dari 100 mahasiswa ini diperoleh 80 mahasiswa yang memenuhi kriteria

yang telah ditetapkan eksperimenter yang akan menjadi populasi bersih

(untuk melakukan kontrol terhadap variabel-variabel ekstra). Kemudian

dilakukan sampling dengan teknik Simple Random Sampling, yakni

dengan cara memilih mahasiswa berdasarkan nomor urut genap (dari

daftar 80 mahasiswa tadi). Dari pengambilan sampel tersebut, ditemukan

40 orang yang telah memenuhi semua criteria yang ditetapkan

eksperimenter. Sehingga 40 orang ini yang akan menjadi subjek

eksperimen.

III.6 DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan dalam eksperimen ini ialah The

Time Series Experiment Design. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel

dilakukan secara random, dan dilakukan pre-test terdahulu sebanyak empat

kali dengan maksud agar dapat diketahui konsistensi dan kejelasan keadaan

49

Page 50: Proposal Eksperimen Fixed

kelompok sebelum diberi perlakuan. Bilamana selama dilakukan pre-test

sebanyak empat kali, dan menghasilkan nilai yang berbeda, artinya

kelompok tersebut keadaannya labil, tidak menentu, tidak konsisten.

Perlakuan baru dapat dilaksanakan bilamana keadaan kelompok sudah

stabil. Penelitian jenis ini hanya membutuhkan satu kelompok sehingga

tidak memerlukan kelompok kontrol. Besarnya nilai pre-test yang baik

adalah O1=O2=O3=O4, dan hasil perlakuan yang baik adalah

O5=O6=O7=O8. Pengaruh perlakuan nilainya adalah (O5+O6+O7+O8) –

(O1+O2+03+04). Desain ini oleh peneliti dianggap tepat karena pemberian

pre-test dan post-test dilakukan lebih dari satu kali (empat kali). Hal ini

dimaksudkan untuk menguji stabilitas atau konsistensi subjek.

III.7 INSTRUMEN PENELITIAN

Pengumpulan data primer yang akan diteliti dibantu dengan

menggunakan sebuah alat. Alat yang digunakan untuk mengukur variabel-

variabel yang ada dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner. Kuesioner

mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau

setidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi (Hadi,

2001 :157).

Pengukuran perilaku model kuesioner ini menggunakan skala

Likert karena akan memperoleh gambaran kasar posisi subjek pada skala

perilaku yang diukur. Selain itu, skala ini merupakan pengukuran perilaku

yang lebih sederhana dan lebih mudah dibuat (Handoyo, 2001 : 1-2).

Kuesioner penelitian ini mengungkap tentang bagaimana pengaruh

banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok terhadap tingkat social

loafing pada subjek. Kuesioner ini merupakan kuesioner yang

dimodifikasi dari alat ukur yang sebelumnya yang telah dibuat, yang

berasal dari Agustina (2004).

Kuesioner tersebut disusun dengan menyediakan empat alternative

jawaban tanpa pilihan jawaban tengah atau sentral guna menghindari

kecenderungan subjek untuk memilih jawaban sentral atau tengah (Azwar,

50

Page 51: Proposal Eksperimen Fixed

2003 :47). Keempat alternatif jawaban tersebut dianggap cukup untuk

mengukur respon subjek, karena pada penelitian ini hanya ingin

mengetahui psisi relatif subjek, bukan posisi mutlak subjek (Handoyo,

2001 :1). Alternatif jawaban yang berdasarkan penskalaan respon (Azwar,

2003 : 47). Dalam penelitian ini terdiri dari SS (Sangat Setuju), S (Setuju),

TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju).

Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner ini bersifat favourable dan

unfavourable. Pernyataan favourable adalah pernyataan yang

menunjukkan sikap setuju, perasaan puas, tingkatan tinggi, dan sebagainya

dari objek perilaku yang diukur. Sedangkan pernyataan unfavourable

adalah pernyataan yang menunjukkan sikap tidak setuju, tingkatan rendah,

dan sebagainya dari objek perilaku yang diukur. (Handoyo, 2001 :2).

Dalam hubungannya dengan teknik penilaian, maka penilaian

terhadap pernyataan yang favourable :

Nilai 4 diberikan untuk jawaban Sangat Setuju

Nilai 3 diberikan untuk jawaban Setuju

Nilai 2 diberikan untuk jawaban Tidak Setuju

Nilai 1 diberikan untuk jawaban Sangat Tidak Setuju

Sedangkan penilaian yang unfavourable :

Nilai 1 diberikan untuk jawaban Sangat Setuju

Nilai 2 diberikan untuk jawaban Setuju

Nilai 3 diberikan untuk jawaban Tidak Setuju

Nilai 4 diberikan untuk jawaban Sangat Tidak Setuju

TABEL BLUE PRINT SOCIAL LOAFING

Aspek Item yang Favourable

Item yang Tidak

Favourable

Jumlah Persentase

Individu menurunkan

motivasi/usahanya

1,11,16,20,

36,46,60,67,85

6,25,30,53,66,

74,76

16 18,8%

51

Page 52: Proposal Eksperimen Fixed

Bersikap pasif 7,21,32,37,42,

47,54,69,75,80,

83

2,12,17,26,31,

38,59,68

19 22,4%

Mendompleng

(Free Rider)

3,18,41,55,

77,84

8,13,22,27,

33,39,43,

48,61,70

16 18,8%

Pelepasan atau

pelebaran tanggung

jawab

4,14,23,40,45,4

9,51,63,71,

79,81

9,28,34,44,56,

62,73,78,82

20 23,5%

Self Adjustment negatif 5,10,24,29,35,5

2,58,64,65,72

19,15,50,57 14 16,5%

Total 47 38 85 100%

Dalam eksperimen ini juga disertakan alat penunjang data berupa form

penilaian antaranggota kelompok dimana setiap anggota kelompok diminta untuk

menilai kinerja atau kontribusi rekan-rekan kelompoknya untuk mengetahui

tingkat social loafing orang lain yang menjadi anggota kelompoknya.

III.8 VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

III.8.1 VALIDITAS ALAT UKUR

Hasil pengukuran dari kuesioner diharapkan mampu mewakili atau

menggambarkan aspek-aspek atau atribut yang ingin diukur dari variabel

penelitian (Azwar, 2000 :45). Oleh karena itu, perlu dilakukan uji validitas

item. Validitas item adalah sejauhmana item pernyataan mampu mengukur

apa yang ingin diukur (http:///www.rpi.edu, 2001).

Validitas item dapat dilihat dari sejauh mana hubungan antara skor

item dengan skor total yang diperoleh individu

(http:///personal.psu.edu/users......2001). Uji validitas item dalam

penelitian ini menggunakan uji korelasi product moment Pearson.

52

Page 53: Proposal Eksperimen Fixed

III.8.2 RELIABILITAS ALAT UKUR

Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil

ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran yang

tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya akibat

perbedaan skor yang dikarenakan faktor kesalahan. Pengukuran yang tidak

reliabel juga tidak akan konsisten dari waktu ke waktu (Azwar, 2003 : 83).

Reliabilitas item adalah sejauhmana item pernyataan bersifat

konsisten dan ajeg atau stabil dalam mengukur apa yang ingin diukur pada

waktu yang berbeda (http:///www.rpi.edu/-verwyc/chap4tm.htm,2001).

Teknik pengujian reliabilitas item yang digunakan dalam penelitian

ini adalah koefisisen reliabilitas alpha, karena data diperoleh melalui

penyajian satu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada

sekelompok responden (Single Trial Administration) atau disebut juga

dengan Konsistensi Internal (Azwar, 2003 :87).

III. 9 VALIDITAS DAN RELIABILITAS EKSPERIMEN

III.9.1 VALIDITAS EKSPERIMEN

Validitas yang digunakan dalam eksperimen ini ialah Validitas

Eksternal (External Validity). Validitas Eksternal yaitu validitas yang

diperoleh dengan cara membuat korelasi alat pengukur baru dengan tolak

ukur eksternal, yang berupa alat ukur yang valid. Atau dengan pengertian

lain validitas eksternal ialah penelitian yang menyangkut pertanyaan

sejauh mana hasil suatu penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi

induk (asal sampel penelitian diambil).

Dalam penelitian ini, eksperimenter mengukur pengaruh banyak

sedikitnya jumlah anggota kelompok terhadap tingkat social loafing. Hasil

penelitian ini dapat digeneralisasikan pada populasi, akan tetapi ruang

lingkup generalisasi lebih kecil dikarenakan keterbatasan eksperimenter,

seperti keterbatasan dalam banyak hal, misalnya saja dana dan waktu.

III.9.2 RELIABILITAS EKSPERIMEN

53

Page 54: Proposal Eksperimen Fixed

Pengertian Reliabilitas adalah keajegan. Reliabilitas eksperimen

yang dimaksud dalam eksperimen ini adalah seberapa ajeg atau apakah

langkah-langkah eksperimen yang sudah dilakukan eksperimenter dapat

digunakan untuk eksperimen di waktu yang lain dan pada subjek yang

lain. Pada subjek yang lain disini maksudnya adalah subjek yang memiliki

kriteria-kriteria yang serupa (variabel ekstra yang mempengaruhi variabel

Y, social loafing juga sudah dikontrol). Selain itu bila eksperimen ini

diberikan pada subjek yang sama, hasilnya akan serupa atau mengalami

peningkatan yang serupa (seragam) pada waktu yang lain. Eksperimen

dikatakan reliabel apabila peningkatan social loafing antara subjek yang

satu dengan yang lain juga setara.

III.10 ANALISIS DATA

Tujuan penelitian dapat diperoleh bila terlebih dahulu menganalisis

data yang telah terkumpul. Dalam penelitian ini, data yang terkumpul

berupa kuesioner sehingga dalam proses analisis data tidak mungkin lepas

dari analisis statistik. Proses analisis data dilaksanakan dengan cara : data

yang telah terkumpul dan telah diuji secara statistik, kemudian dijabarkan

dan diuraikan menjadi suatu penjelasan apakah tujuan penelitian tercapai.

Penentuan teknik analisis data yang akan digunakan tergantung

dari tujuan penelitian dan data penelitian. Oleh karena tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh banyak sedikitnya jumlah anggota

kelompok terhadap tingkat social loafing maka data penelitiannya adalah

Awalnya menggunakan teknik korelasi product moment. Teknik korelasi

dari Pearson ini mendasarkan pada angka-angka kasar seperti apa adanya.

Tujuan dari teknik korelasi ini adalah untuk menggambarkan seberapa

besar dan bagaimana arah korelasi antara dua variabel, yaitu variabel X

dan variabel

Y(http:///www.personal.psu.edu/users/c/m/cmr226/knowledge%20base/Q

uant_%20research.htm, 2001). Setelah diketahui bahwa terdapat hubungan

antara variabel X dan Y, kemudian dianalisis lebih lanjut dengan

54

Page 55: Proposal Eksperimen Fixed

menggunakan teknik analisis regresi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui

seberapa besar sumbangan relatif variabel X (dalam hal ini ukuran

kelompok) terhadap variabel Y (tingkat social loafing)

55

Page 56: Proposal Eksperimen Fixed

DAFTAR PUSTAKA

Lindzey, Gardner, dkk. 1993. Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis).

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Lindzey, Gardner, dkk. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

Ahmadi, H. Abu. 1988. Psikologi Sosial. Surabaya : PT Bina Ilmu.

Walgito, Bimo.1987. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar.Yogyakarta :Yayasan

Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

Gerungan, W.A. 1986. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.

Good, Paul. 1987. Individu. Jakarta: Pustaka Time Life.

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.

Travimow, David. (2004). Problems with change in R^sup 2^ as applied to theory

of reasoned action research. The British Journal of Social Psychology, 43,

515-530.

Meier, Stephan., Frey, Bruno S. (2004). Social Comparisons And Pro-social

Behavior: Testing “Conditional Cooperation” in a Field Experiment. The

American Economic Review; 94, 5, 1717-1722.

Piehota, P. William., Salovey, Peter. (2004). Field Experiment in Social

Psychology. The American Behavioral Scientist; 47, 5, 488-505.

www.proquest.com

http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4589_0_3_0_M

http://meontology.blogdrive.com/comments?id=24

http://lulukpr.multiply.com/journal/item/95?&item_id=95&view:replies=reversez

http://rumahkiri.net/index.php?option=content&task=view&id=1171

56

Page 57: Proposal Eksperimen Fixed

LAMPIRAN

Form Penilaian KinerjaKuesioner Social Loafing

57

Page 58: Proposal Eksperimen Fixed

FORM PENILAIAN KINERJA INDIVIDU DALAM KELOMPOK

No. Nama Anggota Kontribusi Penilaian(skala 1-

100)

Keterangan

Kami mahasisiwa psikologi angkatan 2006, meminta bantuan Anda untuk mengisi

form ini untuk menilai kinerja rekan kerja atau kelompok Anda berdasarkan

pandangan atau pengalaman Anda. Form ini sangat penting dan akan dijaga

kerahasiaannya. Oleh karena itu, kejujuran Anda akan sangat kami hargai demi

menunjang data penelitian kami. Terimakasih.

NAMA:NIM :

58

Page 59: Proposal Eksperimen Fixed

IDENTITAS RESPONDEN

Nama : ………….................. (boleh pakai samaran)

Usia : ……………………..

Jenis Kelamin : ..................................

Mahasiswa angkatan : ..................................

PETUNJUK PENGISIAN

Berikut ini ada dua bagian kuesioner, dimana setiap bagian terdiri dari

pernyataan-pernyataan yang harus Anda jawab dengan sejujur-jujurnya dan tanpa

ada yang terlewati. Pada setiap pernyataan, Anda diharapkan memilih salah satu

dari jawaban yang tersedia dengan cara memberikan tanda silang (X) pada kolom

jawaban yang sesuai. Jawaban yang Anda berikan akan dijamin kerahasiaannya.

Tidak ada jawaban SALAH atau BENAR. Ada empat pilihan jawaban, yaitu :

SS : Sangat Setuju STS: Sangat tidak setuju

S: Setuju TS: Tidak Setuju

Selamat mengisi!

59

Page 60: Proposal Eksperimen Fixed

No Pernyataan SS S TS STS

1.

Dalam kelompok, saya akan melakukan usaha

seperlunya saja sekedar untuk menunjukkan kinerja

yang baik dan menghindari rasa bersalah karena tidak

berbuat apa-apa.

SS S TS STS

2.Saya tidak takut seandainya ide saya tidak digunakan

oleh kelompok.SS S TS STS

3.Saya malas menyumbangkan ide dalam diskusi, bila

ada rekan lain yang mendominasi.SS S TS STS

4.Ikut memberikan ide dalam diskusi kelompok

bukanlah tanggung jawab saya saja.SS S TS STS

5.Saya merasa tidak mampu memberikan ide dan

memilih diam dalam diskusi.SS S TS STS

6.

Saya tetap antusias untuk terlibat dalam proses

pengambilan keputusan kelompok, meskipun tidak

ada reward.

SS S TS STS

7.Saya tidak pernah terlibat secara serius dalam rapat

kelompok karena rekan lain juga bertindak demikian.SS S TS STS

8.

Meskipun rekan-rekan lain telah memberikan idenya

dengan tepat, saya tetap akan mengutarakan ide saya

sendiri.

SS S TS STS

9.

Saya harus menyelesaikan seluruh pekerjaaan saya

karena hal tersebut sudah merupakan tanggung jawab

saya.

SS S TS STS

10.

Saya tidak ingin menjadi orang yang akan

mengerjakan seluruh tugas kelompok yang ada,

hanya karena saya suka bekerja keras.

SS S TS STS

11.Saya malas untuk terlibat dalam kelompok bila tidak

ada reward dari tempat kerja saya.SS S TS STS

12. Saya aktif menyampaikan pendapat dalam proses SS S TS STS

60

Page 61: Proposal Eksperimen Fixed

pengambilan keputusan dalam kelompok.

13.

Saya tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan sebaik-

baiknya, tanpa harus meminta bantuan dari rekan lain

yang lebih mampu dan terampil.

SS S TS STS

14.Menurut saya, guna kehadiran orang lain adalah

untuk saling membagi tanggung jawab.SS S TS STS

15.Saya merasa bagaimanapun pendapat saya, tetap

dibutuhkan oleh kelompok.SS S TS STS

16.Menurut saya, keaktifan dalam kelompok tidak

memberi keuntungan apa-apa bagi saya.SS S TS STS

17.

Dalam diskusi kelompok, seluruh anggota dituntut

untuk memberikan idenya meskipun kurang

sempurna.

SS S TS STS

18.

Tidak ada keharusan bagi saya untuk menyelesaikan

pekerjaan saya secara sendirian, bila ada rekan lain

yang hadir.

SS S TS STS

19.

Saya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat

menyelesaikan pekerjaaan yang menjadi tanggung

jawab saya meski banyak rekan saya yang lebih

terampil.

SS S TS STS

20.Saya bekerja hanya sebatas kemauan saya, tidak perlu

bekerja terlalu keras.SS S TS STS

21.

Saya tidak perlu bersusah payah turut terlibat dalam

diskusi kelompok karena saya yakin rekan-rekan lain

dapat memberikan ide yang tepat.

SS S TS STS

22.Menurut saya, bekerja bersama banyak rekan yang

lain akan meningkatkan semangat kerja.SS S TS STS

23.Saya menjadi kurang bersemangat bila banyak orang

yang turut andil dalam penyelesaian pekerjaan.SS S TS STS

24. Saya merasa enggan melibatkan diri dalam tim

karena saya takut hasil kerja saya mengecewakan

SS S TS STS

61

Page 62: Proposal Eksperimen Fixed

kelompok.

25.

Saya tetap terlibat dalam kelompok dan berusaha

semampu saya walaupun saya dianggap tidak

berkompeten.

SS S TS STS

26.Saya selalu berusaha untuk dapat menyumbangkan

gagasan dengan tepat.SS S TS STS

27.

Walaupun ada rekan lain yang bersedia

menyelesaikan tugas kelompok, saya tetap tidak bisa

lepas tangan begitu saja dan bergantung pada rekan

tersebut.

SS S TS STS

28.Keberhasilan tim tergantung pada kesediaan masing-

masing anggota untuk melaksanakan kewajibannya.SS S TS STS

29.Saya merasa tugas kelompok akan tetap terselesaikan

dengan baik tanpa keterlibatan saya didalamnya.SS S TS STS

30.

Jika saya memiliki waktu dan tenaga untuk

menggantikan rekan yang berhalangan, saya pasti

bersedia untuk menggantinya.

SS S TS STS

31.Merupakan keharusan bagi saya untuk terlibat aktif

dalam diskusi kelompok dengan rekan lain.SS S TS STS

32.Saya memilih untuk diam saja bila tidak ada rekan

lain yang meminta bantuan pada saya.SS S TS STS

33.Semangat kerja saya tidak akan mengendur meski

rekan lain hadir dan bersedia membantu.SS S TS STS

34.

Menurut saya, seluruh anggota tim harus terlibat aktif

dalam upaya penyelesaian tugas kelompok meskipun

akan melelahkan.

SS S TS STS

35.

Saya tidak terlibat aktif dalam segala kegiatan

kelompok, karena saya merasa bahwa yang saya

lakukan tidak berarti apa-apa bagi kelompok.

SS S TS STS

36. Saya tidak suka untuk terlalu melibatkan diri dalam SS S TS STS

62

Page 63: Proposal Eksperimen Fixed

segala bentuk kegiatan dalam kelompok.

37.Dalam suatu diskusi kelompok saya akan mengikuti

apapun ide yang diberikan oleh rekan saya.SS S TS STS

38.Saya selalu menawarkan bantuan pada rekan lain

yang membutuhkan, setelah pekerjaan saya selesai.SS S TS STS

39.

Saya merasa kurang yakin bila tugas kelompok yang

diserahkan kepada seorang rekan saja, meskipun

rekan tersebut adalah yang paling terampil dan

mampu.

SS S TS STS

40.

Saya tidak merasa khawatir untuk terus diam dan

tidak memberikan pendapat dalam diskusi karena

saya yakin pasti akan ada rekan lain yang akan

melakukan hal tersebut.

SS S TS STS

41.

Saya tidak perlu bekerja terlalu keras bila banyak

rekan yang akan turut serta dalam penyelesaian tugas

kelompok.

SS S TS STS

42.Saya bersikap pasif dalam kelompok karena rekan-

rekan lain juga bertindak demikian.SS S TS STS

43.Meskipun ada rekan lain yang dominan dalam

diskusi, saya tetap aktif mengutarakan pendapat saya.SS S TS STS

44.Tugas tim tidak akan terselesaikan dengan baik bila

seluruh anggota tidak terlibat di dalamnya.SS S TS STS

45.

Demi meringankan beban, saya lebih suka

memberikan sebagian pekerjaan saya kepada rekan

lain yang bersedia.

SS S TS STS

46.

Saya tidak perlu bersusah payah menyelesaikan

seluruh pekerjaan saya karena saya yakin pasti ada

rekan lain yang akan membantu saya.

SS S TS STS

47.Saya hanya akan mengungkapkan ide bila

diminta/disuruh.SS S TS STS

48. Semangat kerja saya akan semakin tinggi bila ada SS S TS STS

63

Page 64: Proposal Eksperimen Fixed

rekan lain yang mau bekerja bersama saya.

49.

Menurut saya, membantu rekan lain yang

membutuhkan bantuan bukanlah tanggung jawab

saya.

SS S TS STS

50.Saya lebih baik diam, bila banyak orang yang turut

serta dalam penyelesaian pekerjaan.SS S TS STS

51.Saya lebih suka membagi pekerjaan saya dengan

rekan lain.SS S TS STS

52.Saya enggan mengemukakan pendapat saya karena

khawatir tidak lebih baik dari rekan yang lain.SS S TS STS

53.

Saya selalu terlibat aktif dalam segala kegiatan

kelompok, karena saya yakin bahwa segala yang saya

lakukan dapat memberikan kontribusi yang berarti

dalam kelompok.

SS S TS STS

54.

Jika ketua kelompok memerlukan bantuan, saya lebih

suka diam dan membiarkan rekan-rekan yang lain

melakukannya terlebih dahulu.

SS S TS STS

55.

Saya menjadi malas ketika ada rekan lain yang

mampu dan bersedia untuk menyelesaikan tugas

kelompok.

SS S TS STS

56.

Jika ketua kelompok memerlukan bantuan, saya

berusaha untuk menjadi orang pertama yang

melakukannya.

SS S TS STS

57.Saya tidak takut diremehkan oleh rekan-rekan, jika

ide yang saya berikan itu kurang tepat.SS S TS STS

58.

Saya tidak ingin rekan lain dan kelompok merasa

kecewa dengan hasil kerja saya, bila saya melibatkan

diri dalam kelompok.

SS S TS STS

59. Saya selalu berusaha untuk membantu rekan lain

dalam menyelesaikan pekerjaannya walaupun tanpa

SS S TS STS

64

Page 65: Proposal Eksperimen Fixed

diinstruksi.

60.Menurut saya, yang penting adalah saya ikut bekerja

tanpa perlu terlalu memaksakan diri.SS S TS STS

61.Saya tidak suka bergantung kepada rekan lain yang

lebih mampu, dalam keadaan apapun.SS S TS STS

62.

Saya perlu ikut serta memberikan ide dalam diskusi

kelompok, karena menurut saya merupakan tanggung

jawab seluruh anggota.

SS S TS STS

63.Menurut saya, selesai tidaknya tugas kelompok

bukanlah tanggung jawab saya saja.SS S TS STS

64.

Daripada ditertawakan dan dipandang negatif oleh

rekan-rekan, lebih baik saya diam saja dan tidak ikut

berdebat dalam diskusi kelompok.

SS S TS STS

65.

Daripada hadsil kerja saya mengecewakan, maka

lebih baik saya tidak terlibat aktif dalam kegiatan

kelompok.

SS S TS STS

66.

Saya suka mengikuti segala kegiatan kelompok

meskipun saya merasa tidak mendapatkan apa-apa

dari kegiatan itu.

SS S TS STS

67.Saya menyelesaikan pekerjaan sebatas yang telah

diinstruksikan oleh ketua kelompok kepada saya.SS S TS STS

68.

Saya suka menyampaikan segala hal yang berkaitan

dengan kelompok bila hal tersebut perlu saya

sampaikan.

SS S TS STS

69.

Saya tidak berminat untuk menawarkan bantuan pada

rekan lain dalam menyelesailkan tugas kelompok,

walaupun saya memiliki tenaga dan waktu untuk itu.

SS S TS STS

70.

Saya tetap bersungguh-sungguh bekerja dalam tim

walaupun banyak rekan yang akan turut serta dalam

penyelesaian tugas kelompok.

SS S TS STS

71. Saya merasa tidak ada keharusan bagi saya untuk SS S TS STS

65

Page 66: Proposal Eksperimen Fixed

selalu terlibat aktif dalam kelompok.

72.

Menurut saya, tugas-tugas yang diberikan oleh ketua

kelompok sebaiknya dikerjakan oleh rekan-rekan lain

yang lebih mampu dan menguasai tugas tersebut.

SS S TS STS

73.

Saya tidak suka membagi pekerjaan saya dengan

rekan lain karena hal itu sudah menjadi tanggung

jawab saya.

SS S TS STS

74.

Dalam mengikuti kegiatan kelompok, saya akan

berusaha secara maksimal agar pekerjaan yang ada

dapat segera terselesaikan.

SS S TS STS

75.Saya harus menyelesaikan seluruh pekerjaan saya

karena saya yakin rekan lain juga demikian.SS S TS STS

76.Saya selalu berusaha untuk menyelesaikan tugas saya

dengan sebaik-baiknya.SS S TS STS

77.

Menurut saya, sikap bergantung pada rekan lain yang

lebih mampu adalah sah-sah saja dan

menguntungkan bagi saya.

SS S TS STS

78.Saya merasa tugas kelompok akan terselesaikan lebih

baik jika semua anggota terlibat di dalamnya.SS S TS STS

79.Bagi saya yang penting pekerjaan saya selesai, tidak

peduli rekan lain membutuhkan bantuan saya.SS S TS STS

80.Saya tak perlu bersusah payah menawarkan bantuan

bila rekan lain tidak memintanya.SS S TS STS

81.

Saya harus terlibat dalam seluruh kegiatan kelompok

karena itu sudah merupakan kewajiban saya sebagai

anggota kelompok.

SS S TS STS

82.

Saya bertanggung jawab penuh atas pekerjaan saya

yang mana sangat menentukan keberhasilan

kelompok dalam mencapai tujuan.

SS S TS STS

83. Saya turut malas bekerja bila mengetahui rekan kerja SS S TS STS

66

Page 67: Proposal Eksperimen Fixed

lain malas bekerja.

84.

Saya merasa sia-sia terlibat dalam kelompok bila

telah ada rekan lain yang mendoimiunasi jalannya

kegiatan itu.

SS S TS STS

85.Saya tidak sungguh-sungguh untuk menyelesaikan

pekerjaan ketika dibantu oleh rekan lain.SS S TS STS

67