proposal_ilhamdi bagus _ 1106385
DESCRIPTION
longsorTRANSCRIPT
KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA DALAM MENGHADAPI BENCANA TANAH LONGSOR DI KENAGARIAN TANJUNG SANI KECAMATAN TANJUNG RAYA
KABUPATEN AGAM
Oleh :ILHAMDI BAGUS PERDANA
1106385/2011
PROGRAM STUDI GEOGRAFIJURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIALUNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut UU No 24 pasal 1 tahun 2007, Bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor.
Selain itu, bencana alam juga merupakan peristiwa alam yang diakibatkan oleh
proses alam, baik yang terjadi oleh alam itu sendiri maupun diawali oleh tindakan manusia
yang menimbulkan bahaya dan risiko terhadap kehidupan manusia baik harta maupun
jiwa. Karakteristik bencana alam ditentukan oleh keadaan lingkungan fisik seperti iklim,
topografi, geologi, tanah, tata air, penggunaan lahan dan aktivitas manusia. Secara
geologis, geomorfologis, dan klimatologis Indonesia selalu menghadapi bencana alam
yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu baik jenis maupun frekuensinya (Hermon
dan Triyatno, 2005).
Alamendah (2011) menyatakan peringkat negara terdampak bencana alam
selengkapnya, (1) Bencana alam tsunami; Dari 265 negara Indonesia peringkat pertama
dengan 5.402.239 orang terkena dampaknya. Mengalahkan Jepang (4.497.645 korban),
Bangladesh (1.598.546 korban), India (1.114.388 korban), dan Filipina (894.848 korban).
(2) Bencana alam tanah longsor; Dari 162 negara Indonesia peringkat pertama dengan
197.372 orang terkena dampaknya. Mengungguli India (180.254 korban), China (121.488
korban), Filipina (110.704 korban), dan Ethiopia (64.470 korban). (2) Bencana alam
gempa bumi. Dari 153 negara Indonesia meraih peringkat ketiga dengan 11.056.806 orang
terkena dampaknya setelah Jepang (13.404.870) dan Filipina (12.182.454). Dua peringkat
di bawah Indonesia adalah China (8.139.068) dan Taiwan masing-masing dengan
8.139.068 dan 6.625.479 korban. (3) Bencana alam banjir; Dari 162 negara Indonesia
berada diurutan ke-6 dengan 1.101.507 orang yang terkena dampaknya. Peringkat
sebelumnya berurutan diduduki oleh Bangladesh (19,279,960 korban), India (15.859.640),
China (3.972.502), Vietnam (3.403.041), dan Kamboja (1.765.674). (4) Bencana alam
angin topan; Ranking pertama dikuasai Jepang dengan 22.548.120 korban disusul oleh
Filipina, China, India, dan Taiwan. (5) Bencana alam kekeringan; Peringkat pertama
adalah negara China dengan 71,297,700 disusul India, Amerika Serikat, Pakistan, dan
Ethiopia.
Indonesia merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia demikian
menurut United Nations International Stategy for Disaster Reduction (UNISDR; Badan
PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana). Berbagai bencana alam
mulai gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan
kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Bahkan untuk beberapa jenis bencana alam,
Indonesia menduduki peringkat pertama dalam paparan terhadap penduduk atau jumlah
manusia yang menjadi korban meninggal akibat bencana alam. Inilah yang menasbihkan
Indonesia sebagai negara dengan resiko dan dampak bencana alam tertinggi di dunia. Dari
berbagai jenis bencana alam, United Nations International Stategy for Disaster Reduction
(UNISDR) merangking jumlah korban pada 6 jenis bencana alam yang meliputi tsunami,
tanah longsor, banjir, gempa bumi, angin topan, dan kekeringan. Dan dari keenam jenis
bencana alam tersebut, Indonesia menduduki peringkat pertama pada dua bencana alam
yakni tsunami dan tanah longsor, peringkat ketiga pada gempa bumi, dan peringkat
keenam pada banjir. Hanya di dua bencana alam yakni kekeringan dan angin topan,
Indonesia ‘absen’.
Menurut data Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB), berdasarkan dari
banyaknya bencana tahun 2008 berjumlah 343 kejadian, banjir menempati urutan pertama
(58%), yang diikuti angin topan (16%), tanah longsor (12%), banjir dan tanah longsor
(7%), gelombang pasang (2%), kebakaran (2%), kegagalan teknologi (1%), kebakaran
hutan dan lahan (0,3%) dan kerusuhan sosial (0,3%) (Naryanto dkk, 2009).
Menurut UU RI No. 24 tahun 2007, kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Sedangkan kesiapsiagaan menurut Carter (1991)
adalah tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat,
komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat
dan tepat guna. Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana
penanggulangan bencana, pemeliharaan dan pelatihan personil.
Menurut Naryanto et al. (2009), Indonesia sebagian besar terbentuk oleh batuan
vulkanik yang mempunyai sifat lepas-lepas, beriklim tropis basah yang menyebabkan
tingkat pelapukan tinggi, ditunjang faktor-faktor lainnya menyebabkan tanah longsor.
Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan di Indonesia. Kerugian akibat tanah longsor setiap
tahunnya mencapai Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta. Menurut
PVMBG, daerah yang memiliki rawan longsor di Indonesia berada di : Jawa tengah 327
lokasi, Jawa barat 276 lokasi, Sumatera barat 100 lokasi, Sumatera utara 53 lokasi,
Yogyakarta 30 lokasi, Kalimantan barat 23 lokasi, sisanya terbesar di NTT, Riau,
Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur.
Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di
Indonesia yang mengakibatkan banyaknya korban harta dan jiwa. Tanah longsor biasanya
terjadi pada musim hujan sama halnya dengan banjir ditambah lagi dengan adanya
kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Tanah longsor atau gerakan tanah adalah
gerakan material pembentuk lereng ke arah bawah atau ke arah luar lereng. Material
pembentuk lereng tersebut dapat berupa massa batuan induk, lapisan tanah, timbunan
buatan manusia atau kombinasi berbagai jenis material tersebut. Tanah longsor terjadi jika
gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Secara umum longsor
dipengaruhi oleh lima parameter yaitu:1) kondisi geologi (struktur, litologi stratigrafi, 2)
curah hujan (lama dan intensitas curah hujan, 3) vegetasi (kondisi tanah), 4) gempa bumi
(lokasi episentrum), dan 5) eksploitasi oleh manusia (usaha pertanian dan pengembangan
infrastruktur) (Dedi dan Khairani, 2009).
Dalam Sudibyakto et al. (2012), UN Habitat (2010) menegaskan bahwa pengelolaan
unit satuan ruang yang tidak tepat berpotensi memicu terjadinya bencana. Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP),
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) perlu memasukkan indikasi
kawasan-kawasan bencana. Selanjutnya, Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana
dapat menganalisis lebih lanjut mengenai tingkat risikonya, khususnya sebaran kerentanan
penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana. Kesadaran masyarakat, swasta dan
pemerintah saling terkait dalam upaya pengurangan kerentanan dan peningkatan
partisipasi secara organisator.
Sumatera barat sebagai daerah rawan bencana longsor memiliki wilayah sebagian
besar perbukitan dan daerah pegunungan. Daerah lereng gunung dan perbukitan tersebut
merupakan daerah yang rawan bencana longsor. Di beberapa kawasan Sumatera Barat
telah ditetapkan sebagai zona kritis bahaya longsor yang dihuni oleh penduduk setempat.
Ada sebanyak 24 titik rawan bahaya longsor di Sumatera Barat. Diantaranya jalur Agam-
Pasaman yang dimulai dari Palupuh, Bonjol, Matur, Palembayan, Tigo Nagari, Simpang
Alahan Mati, Malampah, Lubuk Sikaping, Panti. Kemudian pada jalur Padang-Solok yaitu
Panorama II/ Sitinjau Lauik dan Air Sirah. Jalur Solok-Solok Selatan yaitu Surian dan Air
Dingin. Dan yang terakhir jalur Padang-Pesisir Selatan yaitu Bungus dan Teluk Bayur.
Salah satu diantaranya adalah kawasan Danau Maninjau dengan keadaan topografi yang
curam (Sindonews, 2013).
Dalam Martia dan Taufik (2011), di Kabupaten Agam, Danau Maninjau merupakan
danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas
Maninjau sekitar 99,5 km2 dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Maninjau
merupakan daerah yang rawan bencana alam, dilihat dari topografi kawasan Danau
Maninjau sangat rentan mengalami bencana tanah longsor.
Kenagarian Tanjung Sani merupakan salah satu desa di Danau Maninjau dengan
keadaan wilayah yang sangat curam dan terdapat permukiman penduduk. Hampir tiap
tahun dan tiap musim hujan datang, Kenagarian Tanjung Sani mengalami bencana tanah
longsor hingga menelan korban harta dan jiwa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) telah memperingatkan masyarakat setempat untuk melakukan transmigrasi
sebagai upaya pencegahan bencana longsor dari korban jiwa dan korban harta. Namun,
masyarakat Kenagarian Tanjung Sani lebih memilih tetap tinggal di desa kelahiran
mereka. Banyak masyarakat yang tidak tahu akan terjadi longsor. Selain itu juga, di
Kenagarian Tanjung Sani belum memiliki kader siaga bencana yang merupakan salah satu
wadah untuk pencegahan dan penanggulangan bencana pada saat bencana ataupun
sebelum bencana longsor terjadi. Berikut ini daftar bencana tanah longsor di Kenagarian
Tanjung Sani dari tahun 2008 s/d 2011, yaitu:
Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bahaya bencana longsor dengan judul : “Kesiapsiagaan
Rumah Tangga Dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor di Kenagarian Tanjung Sani
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah dari penelitian ini adalah :
1. Kesiapsiagaan rumah tangga sebelum terjadi bencana longsor di Kenagarian Tanjung
Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam
2. Kesiapsiagaan rumah tangga saat terjadi bencana longsor di Kenagarian Tanjung Sani
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam
3. Kesiapsiagaan rumah tangga setelah terjadi bencana longsor di Kenagarian Tanjung
Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka penelitian ini dibatasi menjadi
kesiapsiagaan rumah tangga sebelum bencana tanah longsor terjadi, saat bencana tanah
longsor terjadi dan setelah bencana tanah longsor terjadi di Kenagarian Tanjung Sani
Kecamatan Tanjung Raya Kabupetan Agam.
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Kepala Rumah Tangga di Kenagarian
Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam. Wilayah penelitian dibatasi
pada Jorong Pandan dan Jorong PANTAS di Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan
Tanjung Raya Kabupaten Agam.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka dapat
dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kesiapsiagaan rumah tangga sebelum terjadi bencana longsor di
Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam?
2. Bagaimana kesiapsiagaan rumah tangga saat terjadi bencana longsor di Kenagarian
Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam?
3. Bagaimana kesiapsiagaan rumah tangga setelah terjadi bencana longsor di Kenagarian
Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam?
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan setelah dilakukannya penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir pada Jurusan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Agam Kecamatan
Tanjung Raya dalam meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bahaya bencana longsor
F. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh sikap terhadap kesiapsiagaan masyarakat bencana longsor
di Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam
2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan terhadap kesiapsiagaan masyarakat
bencana longsor di Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten
Agam
3. Untuk mengetahui pengaruh perencanaan kedaruratan terhadap kesiapsiagaan
masyarakat bencana longsor di Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya
Kabupaten Agam
4. Untuk mengetahui pengaruh sistem peringatan terhadap kesiapsiagaan masyarakat
bencana longsor di Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten
Agam
5. Untuk mengetahui pengaruh mobilisasi sumberdaya terhadap kesiapsiagaan
masyarakat bencana longsor di Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya
Kabupaten Agam
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kesiapsiagaan
Menurut Perka BNPB No 4 tahun 2008 menyatakan bahwa kesiapsiagaan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Menurut UU Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 menyatakan bahwa
kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna.
Cara mengenali tanda dan gejala kesiapsiagaan sebagai berikut: a) Muncul
retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, b) Muncul air secara tiba-
tiba dari permukaan tanah di lokasi baru, c) Air sumur disekitar lereng menjadi keruh,
d) Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. Sedangkan bentuk-bentuk kerjasama
yang dilakukan antara masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana tanah longsor yaitu
denga cara: a) Tidak menebang atau merusak hutan, terutama di daerah tebing, b)
Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti nimba, bambu, akar
wangi, lamtoro, dsb. Pada lereng-lereng yang gundul, c) Membangun saluran air
hujan, d) Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal, e) Gunakan
teknik permakultur untuk membuat sengkedan dan bedeng yang dapat mengalirkan
kelebihan air, f) Memeriksa keadaan dan kekuatan tanah, g) Mengukur tingkat deras
hujan (Yayasan IDEP, 2010).
Adapun hal-hal yang harus dilakukan pada saat terjadi tanah longsor yaitu: a)
Segera mengungsi ke tempat yang aman dan stabil, b) Hindari reruntuhan material
yang dibawa longsor, c) Bila pengungsian tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh
anda seperti bola dengan kuat dan lindungi kepala anda. Posisi ini akan memberikan
perlindungan terbaik untuk badan anda. Kemudian hal-hal yang harus dilakukan pada
saat setelah terjadi tanah longsor yaitu: a) Hindari daerah longsoran, dimana longsor
susulan dapat terjadi, b) Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa
langsung memasuki daerah longsoran, c) Bantu arahkan SAR ke lokasi longsor, d)
Beri bantuan pada yang memerlukan, terutama anak-anak, orang tua dan orang cacat,
e) Dengarkan siaran radio lokal atau televisi untuk informasi keadaan terkini, f)
Waspada akan adanya banjir di aliran longsor, g) Laporkan kerusakan pondasi rumah
dan tanah di sekitar tempat terjadinya longsor, h) Tanami kembali daerah bekas
longsor atau daerah di sekitarnya untuk mencegah erosi lapisan tanah atas, yang dapat
menyebabakan banjir bandang, i) Buatlah evaluasi ancaman dan bekerja sama dengan
masyarakat untuk mengurangi resiko longsor di masa yang akan datang (Yayasan
IDEP, 2010). Berikut ini indeks tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana tanah longsor, yaitu:
Menurut Yayasan IDEP (2010), ada beberapa tindakan kesiapsiagaan yang
harus dilakukan pada saat sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana, dan setelah
terjadi bencana tanah longsor yaitu:
1) Mengenali tanda dan gejala bencana tanah longsor
a. Muncul retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing
b. Muncul air secara tiba-tiba dari permukaan tanah di lokasi baru
c. Air sumur disekitar lereng menjadi keruh
d. Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan
2) Kerja sama antara masyarakat yang bisa dilakukan pada saat bencana tanah
longsor yaitu:
a. Tidak menebang atau merusak hutan, terutama di daerah tebing
b. Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti nimba,
bambu, akar wangi, lamtoro dan sebagainya pada lereng-lereng yang gundul
c. Membangun saluran air hujan
d. Membangun dinding penahan dilereng-lereng yang terjal
e. Gunakan teknik permakultur untuk membuat sengkedan dan bedeng yang
dapat mengalirkan kelebihan air
f. Memeriksa keadaan dan kekuatan tanah
g. Mengukur tingkat deras hujan
3) Hal-hal yang harus dilakukan saat terjadi tanah longsor yaitu :
a. Segera mengungsi ketempat yang aman dan stabil
b. Hindari reruntuhan material yang dibawa longsor
c. Bila pengungsian tidak memungkinkan lingkarkan tubuh anda
seperti bola dengan kuat dan lindungi kepala anda. Posisi ini akan
memberikan perlindungan terbaik untuk badan anda
4) Hal-hal yang harus dilakukan setelah terjadi tanah longsor :
a. Hindari daerah longsoran, dimana longsor susulan dapat terjadi
b. Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa
langsungmemasuki daerah longsoran
c. Bantu arahkan sar ke lokasi longsor
d. Beri bantuan pada yang memerlukan terutama anak-anak, orang tua dan orang
cacat
e. Dengarkan siaran radio lokal atau televisi untuk informasi keadaan terkini
f. waspada akan adanya banjir di aliran longsor
g. Laporkan kerusakan fasilitas umum kepada pihak yang berwenang
h. Periksa kerusakan pondasi rumah dan tanah disekitar tempat terjadinya
longsor
i. Tanami kembali daerah bekas longsor atau daerah disekitarnya untuk
mencegah erosi lapisan tanah atas, yang dapat menyebabkab banjir bandang
j. Buatlah evaluasi ancaman dan bekerja sama dengan masyarakat untuk
mengurangi resiko longsor di masa yang akan datang
5) Cara-cara mengurangi dampak tanah longsor sebagai berikut:
a. Membangun perumahan jauh dari daerah yang rawan longsor
b. Bertanya kepada pihak yang mengerti sebelum membangun rumah
c. Membuat peta ancaman
d. Gunakan sistem peringatan dini
2. Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah program atau kegiatan yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat melaksanakan penanggulangan
bencana baik pada, sebelum, saat maupun sesudah bencana.
Kelompok siaga bencana/pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat
atau tim relawan penanggulangan bencana adalah kelompok di tingkat desa yang
menjadi pelopor atau penggerak kegiatan pengurangan risiko bencana.
Desa/kelurahan tangguh bencana adalah desa/kelurahan yang memiliki kemampuan
mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta
memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan.
Masyarakat atau komunitas adalah kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi
di daerah tertentu, yang dapat memiliki ikatan hukum dan solidaritas yang kuat karena
memiliki satu atau dua kesamaan tujuan, lokalitas atau kebutuhan bersama; misalnya,
tinggal di lingkungan yang sama-sama terpapar pada risiko bahaya yang serupa, atau
sama-sama telah terkena bencana, yang pada akhirnya mempuunyai kekhawatiran dan
harapan yang sama tentang risiko bencana. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu
proses di mana masyarakat atau mereka yang kurang beruntung dalam sumber daya
pembangunan didorong untuk mandiri dan mengembangkan kehidupan sendiri
(BNPB No 1, 2012)
Menurut Mukti dan Winarna mengatakan bahwa keswadayaan masyarakat
merupakan komponen utama dalam sistem penanggulangan bencana Indonesia.
penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab pemerintah
dengan mengutamakan keswadayaan masyarakat. Penanggulangan bencana bertujuan
untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan
perlindungan masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana, sangat
memerlukan peran masyarakat secara langsung. Dari berbagai pengalaman
penanggulangan bencana alam di berbagai daerah, keberhasilannya sangat
dipengaruhi oleh sejauh mana peran serta masyarakat dalam kegiatan tersebut.
Terdapat tiga fase terjadinya bencana yaitu:
1. Fase pre-impact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana di mana
informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca; situasi darurat
sebelum bencana alam.
2. Fase impact terjadinya klimaks di mana manusia bertahan hidup (survive) hingga
bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase post-impact dimana perbaikan dan penyembuhan mulai dilakukan dan
masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal; masyarakat
cenderung mampu berperan lebih cepat dan komprehensif karena terlepas dari
berbagai aturan birokratis dan rasa empati sosial yang tinggi terhadap sesama
manusia.
Masyarakat rentan bencana adalah anggota masyarakat yang membutuhkan
bantuan di antaranya masyarakat yang lanjut usia, penyandang cacat, anak-anak, serta
ibu hamil dan menyusui (BNPB, 2011).
Jika biasanya masyarakat diletakkkan sebagai korban dan memiliki partisipasi
yang terbatas dalam penanggulangan bencana, terutama pada tahap mitigasi.
Keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana merupakan hak dan
sekaligus kewajiban. Dalam UU Nomor 24 tahun 2007 pasal 26 ayat 1 merumuskan
hak masyarakat dalam penaggulangan bencana sebagai berikut:
a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi
kelompok masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelanggaraan penanggulangan bencana;
c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana;
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan
psikososial;
e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya; dan
f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana
3. Bencana Alam
Menurut UU Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 pasal 1 menyatakan
bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psik dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda ,
kerusakan sarana prasarana dan fasilitas, dampak psikologis serta menimbulkan
gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Dalam Sudibyakto et al. (2012), Wisner (2003) mengemukakan bahwa
bencana merupakan suatu kegagalan pembangunan yang dilakukan oleh manusia.
Sementara itu, Cutter (1996) dan Douglas (1999) menegaskan bahwa setiap satuan
unit ruang memiliki tingkat risiko bencana yang beragam. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor manusia bukan faktor manusia bukan faktor tunggal untuk mengurangi
dampak bencana. Faktor non-manusia, seperti faktor lingkungan alami dan
lingkungan buatan, membentuk risiko bencana bersama faktor manusia. Mengingat
setiap unit wilayah unik, maka jelas kiranya bahwa ketahanan masyarakatnya
terhadap bencana pun beragam, sepertihalnya tingkat kerentanannya.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Sedangkan penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi (BNPB).
BNPB (2008) menjelaskan bahwa manajemen bencana merupakan seluruh
kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada
sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen
Bencana (SMB) yang bertujuan untuk:
1) Mencegah kehilangan jiwa
2) Mengurangi penderitaan manusia
3) Memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai resiko
4) Mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber
ekonomis
Sudibyakto et al. (2012) menjelaskan bahwa skala pendekatan
Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PBBM), yaitu mekanisme
penanggulangan bencana yang dilakukan oleh unsur-unsur masyarakat di lokasi
bencana, baik keluarga, organisasi sosial, maupun masyarakat lokal. Metode
pendekatan ini kemudian dilakukan dengan program pendampingan oleh Pusat Studi
Bencana Alam (PSBA) UGM pada tahun 2007 tersebut, sehingga diharapkan program
ini dapat dilaksanakan secara berkesinambungan antar waktu dan antar generasi.
PBBM dalam hal ini dipahami sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat atau
mengurangi kerentanan masyarakat, agar mampu menolong diri sendiri dan
kelompoknya dalam menghadapi ancaman bahaya yang berpotensi menjadi bencana
disekitar kehidupannya. Manajemen kebencanaan berbasis masyarakat ini meliputi
keseluruhan tahap yaitu pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan
pemulihan. PBBM pada intinya merupakan sebuah pendekatan penanggulangan
bencana yang berbasis komunitas lokal. Pendekatan ini pada dasarnya, mensyaratkan
adanya sikap politik yang memberikan keberpihakan kepada kepentingan komunitas
lokal. Pendekatan ini pada dasarnya mensyaratkan adanya sikap politik yang
memberikan keberpihakan kepada kepentingan komunitas lokal. pendekatan ini juga
menempatkan pengetahuan lokal (local knowledge) dan para jenius lokal (local
geniuses) di latar depan. Dalam Praktiknya, pendekatan ini mengakomodasi potensi
dan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat sebagai sumber daya dalam
melaksanakan program penanggulangan bencana.
Dalam Sudibyakto et al. (2012) menjelaskan bahwa pendidikan kebencanaan
merupakan suatu usaha pemahaman konsep-konsep yang berkaitan dengan
kebencanaan, dalam rangka mengembangkan pengertian dan kesadaran yang
diperlukan untuk mengambil sikap dalam melakukan adaptasi kehidupan di daerah
yang rawan bencana. Sedangkan Soetrayono (1999) menyatakan bahwa konsepsi dari
kependidikan dari kebencanaan merupakan proses pendidikan tentang hubungan
manusia dengan alam dan lingkungan binaan, termasuk tata hubungan manusia
dengan dinamika alam, pencemaran, alokasi dan pengurasan sumber daya alam,
pelestarian alam, transportasi, teknologi, perencanaan kota dan pedesaan. Adapaun
sasaran pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam resolusi Belgrade International
Conference on Environmental Education, meliputi:
1. Kesadaran (Awareness): membantu indidvidu/kelompok sosial untuk memiliki
kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan keseluruhan berikut permasalahan
yang terkait.
2. Pengetahuan (Knowledge): membantu individu/kelompok sosial memiliki
pemahaman terhadap lingkungan total, permasalahan yang terkait, serta kehadiran
manusia yang menyandang peran dan tanggung jawab penting di dalamnya.
3. Sikap (Attitude): membantu individu atau kelompok sosial memiliki nilai-nilai
sosial, rasa kepedulian yang kuat terhadap lingkungannya, serta motivasi untuk
berperan serta secara aktif dalam upaya-upaya perlindungan dan pengembangan
lingkungan.
4. Keterampilan (Skill): membantu individu atau kelompok sosial memiliki
keterampilan, untuk memecahkan permasalahan lingkungan.
5. Kemampuan Mengevaluasi (Evaluation Ability): membantu individu atau
kelompok sosial mengevaluasi persyaratan-persyaratan lingkungan dan program
pendidikan dari segi-segi ekologi, politik, ekonomi, sosial, estetika, dan
pendidikan.
6. Peran Serta (Participation): membantu individu atau kelompok sosial untuk dapat
mengembangkan rasa tanggung jawab dan urgensi terhadap suatu permasalahan
lingkungan sehingga dapat mengambil tindakan yang relevan untuk
pemecahannya.
Marsella et al. (2008) dalam Marfai dan Khasanah (2012) menyatakan urgensi
kajian budaya dalam memahami bencana seperti pengetahuan mengenai kearifan
lokal, didasarkan pada fakta bahwa bencana merupakan sebuah proses jangka
panjang. Pengurangan resiko bencana tidak semata-mata dimaknai pada upaya
preventif atau tanggap darurat semata, namun juga sampai pada tahap perencanaan
rekonstruksi dan rehabilitasi fisik, ekonomi dan lain-lain, yang kesemuanya
membutuhkan pertimbangan-pertimbangan sosial budaya. Bencana dalam hal ini
dapat dibagi kedalam 6 tahap yang berurutan, di mana pada setiap tahapannya
terdapat pertanyaan-pertanyaan penting terkait keadaaan sosial budaya masyarakat
yang harus dilihat:
1. Tahap Pra Bencana: dibutuhkan pengetahuan mengenai sejarah bencana di
sebuah daerah. Hal tersebut tidak hanya berhenti pada catatan sejarah bencana
yang pernah terjadi, namun bagaiman bencana tersebut berpengaruh terhadap
lingkungan, masyarakat, dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
2. Peringatan dan Ancaman Bencana: dalam kejadian bencana, dibutuhkan
pengetahuan seberapa cepat bencana akan datang. Dalam proses ini, dibutuhkan
analisis tentang peluang mengoptimalkan segenap sumber daya yang ada. Selain
itu, dalam tahap ini dibutuhkan pula pengetahuan mengenai sistem sosial yang
dipercayai oleh masyarakat. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap sikap dan
tanggapan masyarakat atas peringatan bencana yang diberikan.
3. Kejadian bencana dan dampaknya: pengetahuan yang dibutuhkan dalam hal ini
adalah kemampuan untuk mengidentifikasi jenis bencana yang dihadapi,
bagaimana dampak yang mungkin diperoleh, seberapa besar sumber daya
manusia, sosial, teknis dan ekonomi yang dimiliki, serta pengetahuan masyarakat
terhadap penyebab bencana dan dampaknya.
4. Tanggap Darurat: perlu untuk melakukan analisis mengenai respons apa yang
pertama kali harus dilakukan, seberapa besar sumber daya masyarakat yang
tersedia, apakah respons yang diberikan oleh masyarakat telah terorganisasi dan
efektif, apakah pengetahuan lokal masyarakat cukup untuk menciptakan respons
positif terhadap bencana, ataukah mereka membutuhkan bantuan dari pihak luar.
5. Tahap Rekonstruksi: dalam proses ini, pertanyaan penting yang harus dijawab
adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan rekonstruksi harus
dijalankan. Seringkali, kegagalan dalam penanganan bencana ditandai dengan
kegagalan dalam melaksanakan program rekonstruksi dan rehabilitasi.
6. Tahap Pembelajaran dan Pencegahan: kejadian bencana akan memberikan
pengalaman terhadap sebuah masyarakat di suatu wilayah. Dibutuhkan usaha
untu mengembangkan aktivitas mitigasi bencana yang berorientasi pada masa
depan, dengan melibatkan peran aktif masyarakat.
Menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012, ancaman adalah
kejadian atau peristiwa yang berpotensi menimbulkan jatuhnya korban jiwa,
kerusakan aset atau kehancuran lingkungan hidup. ancaman bencana adalah suatu
kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan bencana. istilah ancaman sering
disejajarkan dengan bahaya.
4. Tanah Longsor
Tanah longsor (Landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering
melanda daerah perbukitan didaerah tropis basah. kerusakan yang ditimbulkan oleh
gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya
fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga
secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan bangunan dan aktivitas ekonomi
di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam tanah longsor cenderung semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia (Amandina et al., 2013).
Menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
dalam Amandina et al. (2013), Badan Geologi membagi tipe longsor menjadi 6 jenis,
yakni : longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan
tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak
terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa
manusia adalah aliran bahan rombakan.
Menurut PVMBG (2007) dalam Hermon (2012: 68) menyatakan tingkat
kerentanan bencana longsor merupakan tingkat kerawanan bencana longsor pada
kawasan yang belum dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya, dengan hanya
mempertimbangkan faktor fisik alami, tanpa memperhitungkan besarnya kerugian
yang ditimbulkannya. Selain itu tingkat kerawanan bencana longsor adalah ukuran
yang menyatakan tinggi rendahnya atau besar kecilnya kemungkinan suatu kawasan
atau zona dapat mengalami bencana longsor, serta besarnya korban dan kerugianbila
terjadi bencana yang diukur berdasarkan tingkat kerawanan fisik alamiah dan tingkat
kerawanan karena aktifitas manusia. Tingkat kerawanan fisik alamiah dari bencana
longsor adalah ukuran yang menyatakan tinggi rendahnyakemungkinan terjadi
bencana longsor yang diindikasikan oleh faktor-faktor fisik dan alami. Tingkat
kerawanan longsor karena aktivitas manusia merupakan ukuran yang menyatakan
tinggi rendahnya kemungkinan terjadinya bencana longsor akibat aktivitas manusia.
Menurut Yayasan IDEP (2010) menjelaskan bahwa tanah longsor adalah
runtuhnya tanah atau pergerakan tanah atau bebatuan dalam jumlah besar, secara tiba-
tiba atau berangsur. Tanah longsor umumnya terjadi di daerah terjal yang tidak stabil.
Hujan deras adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Namun, tanah longsor juga
dapat disebabkan oleh gempa atau aktivitas gunung berapi. Ulah manusia pun bisa
menjadi penyebab tanah longsor, seperti penambangan tanah, pasir dan batu yang tak
terkendali, terutama bila penambangan ini dilakukan di daerah yang memiliki potensi
hujan deras. Daerah rawan tanah longsor, yaitu : 1) Pernah terjadi tanah longsor di
daerah tersebut, 2) Daerah yang terjal dan gundul, 3) Daerah aliran air hujan, 4)
Memiliki tanah tebal atau sangat gembur pada lereng yang menerima curah hujan
tinggi. Dampak dari tanah longsor adalah tanah dan material lainnya yang ada di
lereng dapat runtuh dan mengubur manusia, hewan, rumah, kebun, jalan, dan semua
yang berada di jalur longsornya tanah. Kecepatan luncuran tanah longsor, terutama
pada posisi yang terjal, bisa mencapai 75 km/jam. Sulit untuk menyelamatkan diri dari
tanah longsor tanpa pertolongan dari luar. Dampaknya bisa berupa kerusakan parah,
korban luka dan korban jiwa.
Menurut Amandina et al. (2013) menjelaskan curah hujan akan
meningkatkan presipitasi dan kejenuhan tanah serta naiknya muka air tanah. Jika hal
ini terjadi pada lereng dengan material penyusun (tanah dan atau batuan) yang lemah
maka akan menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah/batuan dan menambah berat
massa tanah. Menurut Karnawati (2003) dalam Amandina et al. (2013), pada dasarnya
ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsor, yaitu hujan deras yang mencapai 70 mm
hingga 100 mm per hari dan hujan kurang deras namun berlangsung menerus selama
beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat.
Hujan juga dapat menyebabkan terjadinya aliran permukaan yang dapat menyebabkan
terjadinya erosi pada kaki lereng dan berpotensi menambah besaran sudut kelerengan
yang akan berpotensi menyebabkan longsor.
Menurut Subagio (2008) dalam Amandina et al. mengklasifikasikan wilayah
yang rawan terhadap tanah longsor berdasarkan kriteria wilayah masing-masing
sebagaimana tertera pada tabel dibawan ini:
Tabel . Kelas Kerawanan
Kelas kerawanan Kriteria
1. Tidak rawan a. Jarang atau tidak pernah longsor kecuali di
sekitar tebing sungai
b. Topografi datar hingga landai
bergelombang
c. Vegetasi agak rapat
d. Material bukan lempung ataupun
rombakan
2. Rawan a. Jarang terjadi longsor kecuali bila
lerengnya terganggu
b. Topografi landai hingga terjal
c. Vegetasi antara kurang hingga amat rapat
d. Batuan penyusun lereng umumnya lapuk
tebal
3. Sangat rawan a. Dapat dan sering terjadi longsor
b. Topografi landai hingga sangat curam
c. Vegetasi antara kurang hingga sangat
kurang
d. Batuan penyusun lereng lapuk tebal dan
rapuh
e. Curah hujan tinggi
Sumber: Subagio (2008)
Dari tabel dapat diketahui bahwa tingkat kerawanan suatu wilayah dibagi
menjadi tiga yaitu tidak rawan, rawan dan sangat rawan. Menurut Arsyad (1989)
dalam Asridawati (2010) longsor (landslide) adalah suatu bentuk erosi yang
pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume besar.
longsor terjadi sebagai akibat meluncurnya suatau volume tanah diatas suatu lapisan
agak kedap air yang jenuh air. lapisan tersebut terdiri dari liat dan megandung liat
tinggi yang setelah jenuh air berlaku sebagai peluncur. Akan terjadi longsor apabila
terpenuhi tiga keadaan yaitu:
a) Lereng yang cukup curam sehingga volume tanah dapat bergerak/meluncur
kebawah
b) Terdapat lapisan dibawah permukaan tanah yang agak kedap air dan lunak
merupakan bidang luncur
c) Terdapatnya cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat diatas lapisan
kedap air tadi menjadi jenuh
Menurut Yayasan IDEP (2010) dampak dari tanah longsor yaitu tanah dan
material lainnya yang ada dilereng dapat runtuh dan mengubur manusia, hewan,
rumah, kebun, jalan, dan semua yang berada di jalur longsornya tanah. Kecepatan
luncuran tanah longsor, terutama pada posisi yang terjal, bisa mencapai 75 km/jam.
sulit untuk menyelamatkan diri dari tanah longsor tanpa pertolongan dari luar.
Dampaknya bisa berupa kerusakan parah, korban luka dan korban jiwa.
Menurut Peraturan Kepala BNPB No 02 Tahun 2012, indeks ancaman
bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu kemungkinan terjadi suatu
ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang terjadi
tersebut. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun berdasarkan data dan catatan
sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah. Berikut ini indeks ancaman
bencana tanah longsor, yaitu:
No. Zona Ancaman Kelas Nilai Bobot(%)
Skor
1. Gerakan Tanah Sangat Rendah, Rendah
Rendah 1
100
0.333333
2. Gerakan Tanah Menengah
Sedang 2 0.666667
3. Gerakan Tanah Tinggi
Tinggi 3 1.000000
Sumber: (Peraturan Kepala BNPB No 02 Tahun 2012)
Menurut Maulana, pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong
pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh
besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. Faktor
penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan
tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan
penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan
sebagai faktor alam dan faktor manusia, yaitu:
a) Faktor alam
1. Kondisi geologi : batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu
lempung, strukutur sesar dan kekar, gempa bumi, stragrafi dan gunung
berapi.
2. Iklim : curah hujan yang tinggi.
3. Keadaan topografi : lereng yang curam.
4. Keadaan air : kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi
dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika.
5. Tutup lahan yang mengurangi tahan geser, misalnya tanah kritis.
6. Getaran yang diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan
getaran lalu lintas kendaraan.
b) Faktor manusia
1. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereg yang terjal.
2. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
3. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
4. Penggundulan hutan.
5. Budidaya kolam ikan diatas lereng.
6. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
7. Pengembangan wilayah yang tidak di imbangi dengan kesadaran masyarakat,
sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.
8. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik.
5. Perencanaan Kedaruratan
Menurut Pangesti (2012), kondisi darurat adalah suatu kejadian luar biasa
yang secara umum dapat mendatangkan kerugian terhadap harta benda ataupun
mengancam keselamatan jiwa manusia. kejadian tersebut dapat datang secara alami
dari peralatan yang diciptakan manusia atau dari ulah manusia itu sendiri. Salah satu
struktur yang rentan mengalami kondisi darurat akibat bencana adalah bangunan
gedung (Shiwaku et al., 2007). Peringatan dini (Early Warning) adalah serangkaian
kegiatan pemberian peringatan sesegara mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang
(UU No. 24 2007). Pemberian peringatan dini harus :
a) Menjangkau masyarakat (Accesible)
b) Segera (Immediate)
c) Tegas Tidak Membingungkan (Coherent)
d) Bersifat Resmi (official)
Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penangggulangan Bencana No 4
tahun 2008 menjelaskan bahwa tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera
pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan,
terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian
dengan melibatkan perawat. Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau
pergerakan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada saat tanggap darurat meliputi:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya
2. Penentuan status keadaan darurat bencana
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
4. Pemenuhan kebutuhan dasar
5. Pelindungan terhadap kelompok rentan
6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital
B. Kajian Hasil Teori yang Relevan
Kajian yang relevan dalam penelitian Ustri Analida (2012)
Penelitian ini menemukan: (1) pengetahuan ibu rumah tangga tentang mitigasi
bencana alam pada zona merah, kuning, dan hijau secara umum tergolong tinggi. hal ini
karena ibu rumah tanga telah mnedapatkan penyuluhan dan informasi mitigasi bencana di
medi cetak dan elektronik. (2) berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki ibu
rumah tangga tentang mitigasi bencana alam pada ketiga zona yang termasuk tinggi adalah
ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan yang sedang yaitu ibu rumah tangga dengan
pendidikan terakhir SMP ke bawah. Selanjutnya berdasarkan umur yang dimiliki ibu
rumah tangga, pengetahuan ibu rumah tangga tentang mitigasi bencana alam pada ketiga
zona yang termasuk tinggi adalah ibu rumah tangga dengan umur 30-59 tahun, namun
masih ada beberapa ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan yang sedang yaitu ibu
rumah tangga dengan umur 20-29 tahun.
C. Kerangka Konseptual
Bencana longsor sering terjadi di daerah dengan keadaan topografi yang curam
ditambah dengan aktifitas manusia yang sering menebang hutan secara liar. Dengan
banyaknya bencana tanah longsor yang sering terjadi, masyarakat dituntut unuk selalu
melakukan tindakan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana
BAB III
RUMAH TANGGA
KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA
SETELAH BENCANA TERJADI
SEBELUM BENCANA TERJADI
SAAT BENCANA TERJADI
BENCANA TANAH LONGSOR
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif. Menurut
Nazir (2009), metode deskriptif merupakan suatu metode yang meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun
suatu peristiwa pada masa sekarang.
B. Populasi dan Sampel1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kenagarian Tanjung
Sani Kecamatan Tanjung Raya dengan jumlah keseluruhan masyarakat 4509 jiwa
dengan luas wilayah 2,387 km2 yang terdiri dari 10 Jorong. Adapun rinciannya
dapat di lihat dari tabel berikut ini:
No.
Jorong Jumlah Rumah Tangga
Jumlah Kepala Keluarga
1. Koto Panjang 96 1052. Arikir 110 1193. Galapuang 154 1604. Sungai Tampang 169 1755. PANTAS 138 1456. Sigiran 219 2207. Pandan 160 1688. Lubuk Sao 94 1029. Damar Gadang 169 20610. Batu Nanggai 103 105
Sumber : KA. UPT KB Kec. Tj. Raya 2013
2. Sampel Penelitian a. Sampel Wilayah
Sampel wilayah penelitian ini diambil secara Purposive Sampling yaitu
mengambil salah satu jorong yang ada di zona kerawanan tanah longsor
(rendah, sedang, tinggi) di lokasi penelitian yaitu wilayah Jorong Pandan dan
wilayah Jorong PANTAS yang merupakan zona rawan tanah longsor.
b. Sampel Responden
Teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah dengan
Sampling Sistematis yaitu pengambilan sampel berdasarkan suatu daftar
menurut ukuran tertentu (Arikunto, 1998). Penelitian ini yaitu wilayah Jorong
Pandan yang merupakan zona sedang rawan tanah longsor dengan jumlah KK
168 dan wilayah Jorong PANTAS yang merupakan zona tinggi rawan tanah
longsor dengan jumlah KK 145.
C. Variabel dan Data
Variabel dari penelitian ini adalah kesiapsiagaan rumah tangga sebelum, saat,
dan sesudah terjadi bencana tanah longsor.
D. Jenis Data, Sumber Data, dan Alat Pengumpulan Data1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer
dan data sekunder.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan dari responden
yaitu dari seluruh kepala keluarga di Kenagarian Tanjung Sani. Sedangkan data
sekunder diperoleh dari catatan dan arsip yang ada pada instansi terkait seperti
Kantor Wali Nagari Tanjung Sani, Kantor Kecamatan Tanjung Raya, BPBD
Kabupaten Agam, dan BPS Kabupaten Agam.
3. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis data, maka data primer dikumpulkan melalui observasi
lapangan, wawancara, studi dokumentasi, studi literatur dan angket. Sedangkan
pengambilan data sekunder dari pencatatan data yang diambil dari instansi terkait
seperti BPS Agam, BPBD Agam dan Kantor Kenagarian Tanjung Sani.
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini survey data dapat dianalisis dengan menggunakan
formula persentase dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mentabulasi data
b. Mengolah data dengan menggunakan rumus:
P = fn
x 100 %
Keterangan:
P = Persentase
f = Frekuensi
n = Jumlah Responden
Sumber: (Arikunto, 1997)
c. Menentukan nilai indeks kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana
tanah longsor, yaitu:
d. Menentukan pengukuran skala likert.
DAFTAR PUSTAKA
Alamendah. 2011. Indonesia Negara Paling Rawan Bencana Alam. http://alamendah.org
Akbar, Rus. 2013. 24 Titik Jalur Rawan Longsor di Sumbar. http://sindonews.com