prosiding seminar regional radiologi irepository.unjaya.ac.id/3151/1/2018 jan_prosiding seminar...
TRANSCRIPT
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I
Yogyakarta, 27 Januari 2018
Diterbitkan Oleh :
D-III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA
Jl. Ring Road Utara, Condong-Catur, Depok, Sleman 55281, Telp (0274)4477701, 4477703,
fax (0274) 4477702, email:[email protected]
Website: www.gunabangsa.ac.id
YOGYAKARTA-INDONESIA
ii
EDITOR/PENILAI
LPPM STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA
Dian Wuri Astuti S.Si., M.Sc
REVIEWER
M.Radifar M.Biotech
Darmawati S.T., M.Si (FM)
PRODI TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
Alpha Olivia Hidayati S.Si., M.P.H
Muhammad Sofyan S.ST., M.Kes
Siti Arifah M.Kes
Efita Pratiwi Adi S.Pd., M.Sc
Muflihatun S.Si., M.Sc
PROSIDING
Ayu Wita Sari S.Si., M.Sc
Anita Nur Mayani S.Tr. Rad
Devy Novita Ikadari S.Tr. Rad
Alamat Institusi
Jl. Ring Road Utara Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta,
Telp.0274-4477701, 4477703, fax 0274-4477702
Email:[email protected]
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas petunjuk
dan Karunia-Nya sehingga dapat diterbitkan Prosiding Seminar Regional Radiologi I
dengan mengambil Tema “Implementasi Msct Dan Mri Dalam Screening,
Diagnosis Dan Teraphy Planning Pada Pasien Kanker”. Penerbitan prosiding ini
merupakan dokumentasi karya ilmiah para peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang
berkaitan dengan kesehatan dan telah dipresentasikan pada tanggal 27 Januari 2018 di
Hotel Grand Serela Yogyakarta.
Seminar dan presentasi ilmiah ini diselenggarakan yang ke I dan akan menjadi
kegiatan rutin tahunan di program studi diploma tiga teknik radiodiagnostik dan
radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta dengan tujuan untuk mengetahui
perkembangan aktivitas penelitian yang telah dicapai oleh para peneliti di bidang
kesehatan. Pembukaan kegiatan seminar regional radiologi dan presentasi ilmiah
dilakukan oleh Ketua STIKES Guna Bangsa Yogyakarta dr., R. Soerjo Hadijono,
SpOG(k), DTRM&B(Ch) dan dilanjutkan dengan ceramah umum I dengan judul
INTERPRETASI MRI ONCOLOGY DARI SEGI SCREENING,DIAGNOSIS DAN
THERAPHY PLANNING oleh Dr. Elia Aditya B.K., Sp.Onk.Rad, ceramah umum II
oleh Franky Jacobus Dimpudus, M.MagRes. Tech dengan judul MRI ONCOLOGY
DALAM SCREENING, DIAGNOSIS DAN THERAPHY PLANNING, ceramah
umum III oleh Wahyu Widhianto S.Si dengan judul PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI MRI DALAM SCREENING, DIAGNOSIS DAN THERAPHY
PLANNING.
Di dalam buku prosiding ini berisi karya tulis ilmiah yang telah
dipresentasikan dalam seminar regional radiologi I sebanyak 10 makalah yang
disampaikan dalam siding oral dan parallel. Karya tulis ilmiah tersebut berasal dari
STIKES Guna Bangsa (3), UNDIP (3), STIKES Jendral A.Yani (1), UII (1), UNAIR
(1), RS. Kasih Ibu Bali (1). Prosiding ini telah melalui proses penilaian dan editing
oelh dewan editor serta dilengkapi dengan diskusi dan tanya jawab pada saat seminar
berlangsung.
Semoga penerbitan prosiding ini dapat bermanfaat sebagai bahan acuan untuk
lebih memacu dan mengembangkan penelitian yang akan datang. Kepada semua
pihak yang telah ikut membantu penerbitan prosiding ini kami ucapkan terima kasih.
Yogyakarta, Maret 2018
Editor
iv
SAMBUTAN
KETUA PROGRAM STUDI D3
TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, kami
sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tim Editor dan semua pihak
yang terlibat dalam penyelesaian dan penerbitan prosiding ini. Prosiding ini
merupakan dokumentasi karya ilmiah para penulis yang telah dipresentasikan pada
seminar regional radiologi I pada tanggal 27 Januari 2018 di Hotel Grand Serela
Yogyakarta dengan tema “Implementasi Msct Dan Mri Dalam Screening,
Diagnosis Dan Teraphy Planning Pada Pasien Kanker”.
Prosiding ini ditulis oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang
berkaitan dengan ilmu kesehatan. Di dalam prosiding ini diungkap beberapa
permasalahan yang mencakup kemajuan dan perkembangan litbang ilmu pengetahuan
di bidang kesehatan. Laporan hasil penelitian dalam prosiding ini diharapkan dapat
menjadi bahan referensi ilmiah dalam meningkatkan penelitian dan pengembangan
iptek bidang kesehatan di masa mendatang guna mendukung pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan yang lebih luas.
Akhirnya kami berharap, semoga prosiding ini menjadi acuan yang
bermanfaat bagi berbagai pihak untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
kesehatan diseluruh Indonesia.
Yogyakarta, Maret 2018
Alpha Olivia Hidayati S.Si., M.P.H
ISSN 2620-8040
v
DAFTAR ISI
Halaman Cover i
Editor ii
Pengantar Editor iii
Sambutan Kepala Prodi D3 Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi iv
Daftar isi v-vi
PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING TERHADAP
KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE
Jennifa, Agus Santoso
Prodi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
1-7
SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DOKUMENTASI
ASUHAN KEPERAWATAN
Regista Trigantara
Prodi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
8-13
UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT
PADA ORGANISASI KERJA
Amalia Mastuty
Prodi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
14-19
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL
YOGYAKARTA
Reni Merta Kusuma, Ristiana Eka Ariningtyas
STIKES Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
20-27
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH
PADA LANSIA DI BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA
ABIYOSO YOGYAKARTA
Siti Arifah
STIKES Guna Bangsa Yogyakarta
28-37
HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN
E TERHADAP PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC
PROGRESSION KNEE OSTEOARTHRITIS
Alpha Olivia Hidayati
STIKES Guna Bangsa Yogyakarta
38-43
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA
MENGGUNAKAN ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN
2016
Defi Istiyani, Ginanjar Zakiah, Moh Khuailid Yusuf, Annisa Selma Timur Patria, Ika
Fatati Noviara, Edy Widodo
Universitas Islam Indonesia-Yogyakarta
44-50
ISSN 2620-8040
vi
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
Gusti Bagus Yudhi Jaya Putra Atmaja
RS.Kasih Ibu Tabanan Bali
51-59
PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT
SINAR-X DI LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA
YOGYAKARTA MENGGUNAKAN SURVEYMETER RANGER
Ayu Wita Sari
STIKES Guna Bangsa Yogyakarta
60-64
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Jennifa, dkk PISSN 2620-8040 Page 1
SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE
PLANNING TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN
STROKE
Jennifa, S.Kep., Ns, Agus Santoso, S.Kp., M.Kep
Program Studi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
ABSTRAKS
SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING
TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE. Stroke saat ini
merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di seluruh dunia setelah penyakit jantung dan
menempati urutan pertama dalam hal penyebab kecacatan fisik. Terdapat lebih dari 5 juta pasien
stroke hidup, 50% sampai 70% pasien dapat kembali seperti kondisi semula dan sebanyak 30%
mengalami cacat permanen. Sebagian besar pasien stroke tersebut dirawat oleh anggota keluarganya
dirumah. Pemberian informasi yang adekuat melalui program discharge planning dapat
meminimalkan kejadian yang tidak diinginkan, sehingga pendidikan kesehatan yang diberikan oleh
perawat kepada pasien dan keluarga sangat dibutuhkan untuk merencanakan kesiapan pemulangan
pasien. Systematic review bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan metode discharge
planning terhadap kesiapan keluarga dalam merawat pasien stroke. Systematic review ini
dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi pada Ebsco, Pubmed, dan Google
Scholar. Artikel yang sesuai kemudian dilakukan penilaian kualitas studi dengan menggunakan
Critical Appraisal Skills Programe (CASP). Artikel yang direview sebanyak 3 artikel dengan kualitas
tinggi. Discharge planning yang dilakukan menggunakan berbagai metode pendekatan yang berbeda
meliputi penggunaan Audio Visual Aids, pendekatan Family-centered approach model, dan
pendekatan family centered nursing. Penerapan discharge planning berpengaruh terhadap kesiapan
keluarga merawat pasien stroke. Dischare planning dengan pendekatan Family Centered Nursing
merupakan metode yang signifikan meningkatkan kesiapan keluarga dalam merawat pasien stroke.
Kata Kunci : Discharge Planning, Family Readiness, dan Stroke Patient
PENDAHULUAN
Stroke adalah suatu keadaan yang
timbul karena terjadi gangguan peredaran
darah di otak yang menyebabkan
terjadinya kematian jaringan otak
sehingga penderita menderita kelumpuhan
atau kematian [6]. Stroke saat ini
merupakan penyebab kematian kedua
terbanyak di seluruh dunia setelah
penyakit jantung dan menempati urutan
pertama dalam hal penyebab kecacatan
fisik (Apriwanto, 2008). Orang Amerika
yang mengalami stroke baru dan stroke
berulang setiap tahunnya diperkirakan
mencapai sekitar 780.000 orang. Terdapat
lebih dari 5 juta pasien stroke hidup, 50%
sampai 70% pasien dapat kembali seperti
kondisi semula dan sebanyak 30%
mengalami cacat permanen. Sebagian
besar pasien stroke tersebut dirawat oleh
anggota keluarganya dirumah. Rata-rata
SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING
TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE
2 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk
waktu bertahan setelah stroke pertama
bagi individu usia 60-69 tahun adalah 6,8
tahun untuk pria dan 7,4 tahun untuk
wanita. Pasien yang berusia lebih tua dari
usia 80 tahun rata-rata waktu bertahan 1,8
tahun untuk pria dan 3,1 tahun untuk
wanita [5]. Menurut WHO (2013),
Indonesia telah menempati peringkat ke-
97 dunia untuk jumlah penderita stroke
terbanyak dengan jumlah angka kematian
mencapai 138.268 orang atau 9,70% dari
total kematian yang terjadi pada tahun
2013.
Jumlah penderita penyakit stroke di
Indonesia tahun 2013 berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan (Nakes)
diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang
(7,0%), sedangkan berdasarkan diagnosis
Nakes/gejala diperkirakan sebanyak
2.137.941 orang (12,1%). Berdasarkan
diagnosis Nakes maupun diagnosis/
gejala, Provinsi Jawa Barat memiliki
estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu
sebanyak 238.001 orang (7,4%) dan
533.895 orang (16,6%), sedangkan
Provinsi Papua Barat memiliki jumlah
penderita paling sedikit yaitu sebanyak
2.007 orang (3,6%) dan 2.955 orang
(5,3%).
Stroke adalah penyakit yang
membutuhkan perawatan jangka panjang
(long-term support). Hal ini dikarenakan
adanya tingkat ketergantungan yang tinggi
pada pasien stroke yang disebabkan oleh
kecacatan mereka. Oleh karena itu
perawatan jangka panjang perlu diberikan
untuk memperbaiki kualitas hidup pasien,
baik setelah pasien dipulangkan atau
dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang
lainnya. Orang yang paling berperan
penting dalam pelaksanaan perawatan
jangka panjang adalah keluarga atau orang
terdekat pasien. Mereka harus benar-benar
siap dengan segala sesuatu yang harus
mereka lakukan nanti ketika pasien
dipulangkan dari rumah sakit [6].
Peran keluarga sangat penting
dalam tahap-tahap perawatan kesehatan,
mulai dari tahapan peningkatan kesehatan,
pencegahan, pengobatan, sampai dengan
rehabilitasi. Dukungan sosial dan
psikologis sangat diperlukan oleh setiap
individu di dalam setiap siklus kehidupan,
dukungan sosial akan semakin dibutuhkan
pada saat seseorang sedang menghadapi
masalah atau sakit, disinilah peran anggota
keluarga diperlukan untuk menjalani
masa-masa sulit dengan cepat [2]. Salah
satu dukungan keluarga yang dapat di
berikan yakni dengan melalui perhatian
secara emosi, diekspresikan melalui kasih
sayang dan motivasi anggota keluarga
yang sakit agar terus berusaha mencapai
kesembuhan [8].
Perawat mempunyai peranan yang
sangat besar dalam memberikan dukungan
dan asuhan keperawatan pada pasien
stroke dan keluarganya. Peranan perawat
dimulai dari tahap akut hingga tahap
rehabilitasi serta pencegahan terjadinya
komplikasi pada pasien stroke, sedangkan
peran utama perawat terhadap keluarga
pasien adalah meningkatkan koping
keluarga melalui penyuluhan kesehatan.
Dalam menigkatkan kesiapan
keluarga dalam melakukan perawatan bagi
pasien post stroke, sangat bergantung pada
kualitas penatalaksanaan dan asuhan yang
diberikan. Sehingga dibutuhkan peran
serta tenaga kesehatan dalam hal ini
adalah perawat. Perawat melibatkan
keluarga agar memiliki pemahaman
tentang proses penyakitnya, mengetahui
cara penanganan serta kontinuitas
SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING
TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE
3 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk
perawatan pada fase rehabilitasi dan
adaptasi yang disusun dalam suatu
discharge planning (Almborg el al, 2009).
Discharge planning adalah
mempersiapkan pasien untuk
mendapatkan kontinuitas perawatan baik
dalam proses penyembuhan maupun
dalam mempertahankan derajat
kesehatannya sampai pasien merasa siap
untuk kembali ke lingkungannya dan
harus di mulai sejak awal pasien datang ke
pelayanan kesehatan (Cawthorn, 2005).
Discharge planning yang belum
berjalan optimal dapat mengakibatkan
kegagalan dalam program perencanaan
perawatan pasien di rumah dan akan
mempengaruhi tingkat ketergantungan
pasien, dan tingkat keparahan pasien saat
di rumah. Perencanaan pulang bertujuan
untuk membantu pasien dan keluarga
dapat memahami permasalahan dan upaya
pencegahan yang harus di tempuh
sehingga dapat mengurangi resiko
kekambuhan. Tujuan Penelitian ini yaitu
mengetahui pengaruh penerapan
discharge planning terhadap kesiapan
keluarga dalam merawat pasien stroke.
METODE PENELITIAN
Design
Metode yang digunakan yaitu
dengan systematic review, dengan mencari
artikel penelitian dengan beberapa kriteria
pencarian dan kata kunci, kemudian
dilakukan review dari semua artikel
tersebut.
Kriteria Inklusi dan Ekslusi
a. Kriteria inklusi dari artikel yang dicari,
yaitu dengan konsep PICO berikut ini:
P (Tipe participant/responden) adalah
keluarga dari pasien stroke. I (Tipe
intervensi) adalah discharge planning
dengan pendekatan khusus. C
(Pembanding) adalah kelompok kontrol
dengan sesuai standar RS. O (Tipe
outcome) adalah kesiapan keluarga.
b. Kriteria ekslusi yaitu artikel tentang
discharge planning pada keluarga
pasien selain penyakit stroke.
Strategi Pencarian Literatur
Artikel penelitian yang akan
dilakukan review dicari melalui Ebsco,
Pubmed, dan Google Scholar. Pencarian
melalui Ebsco dan Pubmed dilakukan
menggunakan advance search dengan kata
kunci Discharge Planning, Family
Readiness, dan Stroke Patient. Setelah
dilakukan pencarian ditemukan artikel 21
pada Ebsco dan 77 artikel pada Pubmed.
Langkah selanjutnya adalah dengan
melakukan screening untuk mendapatkan
artikel yang full-text dalam bentuk pdf dari
tahun 2006-2016. Pada langkah ini
ditemukan 6 artikel pada Ebsco dan 48
artikel pada Pubmed. Pencarian melalui
google scholar ditemukan 86 artikel.
Setelah dilakukan screening maka
ditemukan 62 artikel yang dianggap
memenuhi kriteria peneliti.
Semua judul artikel yang dianggap
sesuai dengan tujuan penelitian kemudian
dijadikan satu dan dilakukan screening
apakah judul artikel tersebut sama atau
tidak. Setelah dilakukan screening
terdapat 5 artikel yang judulnya sama.
kemudian 5 artikel ini di screening
berdasarkan eligibility sesuai dengan
kriteria inklusi dan ekslusi. Berdasarkan
kriteria inklusi dan ekslusi didapatkan 3
artikel yang kemudian dilakukan review.
Strategi pencarian literatur dalam
SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING
TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE
4 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk
systematic review ini ditunjukkan dalam
tabel 1.
Tabel 1. Strategi Pencarian Literatur
Mesin pencari Ebsco
Host
Pubmed Google
Scholar
Hasil penelusuran 21 77 86
Fulltext,pdf,2006-2016 6 48 62
Judul yang sama 2 2 1
Eligible sesuai kriteria
inklusi dan ekslusi
1 1 1
Result 3
Metode Pengkajian Kualitas Studi
Dalam melakukan pengkajian
kualitas studi dari artikel yang di review,
penulis menggunakan TOOLS yang
dikembangkan oleh Critical Appraisal
Skills Programme (CASP) yang diakses
dari www.casp-uk.net . Hasil kualitas
studi ini tidak akan mempengaruhi hasil
sistematic review, pengkajian kualitas
studi hanya digunakan untuk melihat
seberapa jauh tingkat atau kualitas artikel
yang digunakan.
Cara Ekstraksi Data
Ekstraksi data dilakukan oleh
mahasiswa Program Studi Magister
Keperawatan Universitas Diponegoro
angkatan 2016. Data diekstraksi dengan
melihat isi artikel. Ekstraksi ini
menganalisa data berdasarkan 4 tema
yaitu Author, Participan, Intervention, dan
Outcome.
Sintesis Data
Data-data ditampilkan secara
naratif. Penyajian data meliputi
karakteristik artikel, intervensi discharge
planning, dan kesiapan keluarga setelah di
lakukan discharge planning.
HASIL
Karakteristik studi
Desain penelitian dari 3 artikel yang
dilakukan review adalah 2 artikel dengan
desain RCT (Randomized Control Trial)
dan 1 artikel dengan desain Quasi
Eksperiment. Tahun publikasi yaitu 2
artikel di publikasi tahun 2006 dan 1
artikel di publikasi tahun 2015.
Karakteristik studi ditampilkan dalam
tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Studi
Author Participants Intervensi Outcome Utama
(Discharge
planning)
Kontrol
Giosa
et al
(2006)
Intervensi (n
= 23)
Kontrol(n=
22)
Keluarga dari
pasien stroke
Menggunakan
media audio
visual aids
Media
visual
aids
p < 0,020
(sangat
signifika
n)
Lutz BJ
(2006)
Intervensi (n
= 20)
Kontrol(n=
20)
Keluarga dari
pasien stroke.
Family-
centered
approach
model
Dischar
ge
plannin
g sesuai
standar
RS.
p < 0,001
(sangat
signifika
n)
Damaw
iyah
(2015)
Intervensi (n
= 14)
Kontro(n=
14)
Keluarga dari
pasien stroke.
Family
Centered
Nursing
Dischar
ge
plannin
g sesuai
standar
RS.
p < 0,009
(Sangat
signifika
n)
Metode Penerapan Discharge Planning
Metode penerapan discharge
planning yang digunakan pada masing-
masing artikel memiliki perbedaan.
Pengaruh discharge planning yang
dilakukan dengan media audio visual aids
[4]. Discharge planning dengan
pendekatan Family-centered approach
model dengan tahapan melakukan
pengkajian dan analisa kemampuan
keluarga dalam melakukan perawatan
pada pasien stroke [7]. Lalu melakukan
discharge planning sesuai dengan hasil
SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING
TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE
5 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk
analisa tentang kebutuhan keluarga dalam
melakukan perawatan pada pasien stroke.
Penelitian dengan melakukan discharge
planning menggunakan pendekatan
Family Centered Nursing yaitu keluarga
difasilitasi untuk dapat menjadi pusat
keperawatan yang dapat memberikan
perawatan kepada anggota keluarga yang
sakit [1]. Hal ini didasarkan dari
perspektif bahwa keluarga adalah unit
dasar dari perawatan individu dalam
keluarga.
Hasil Penerapan Discharge Planning
Dari ketiga artikel yang telah di
review, didapatkan hasil bahwa penerapan
discharge planning berpengaruh dalam
meningkatkan kesiapan keluarga dalam
merawat pasien stroke, dengan nilai p
sangat signifikan.
PEMBAHASAN
Kelebihan dan Kekurangan Artikel
Kelebihan artikel penelitian yang di
review adalah keseluruhan artikel
menunjukkan bahwa penerapan discharge
planning menunjukkan hasil yang
signifikan terhadap kesiapan keluarga
dalam merawat pasien stroke.
Intervensi discharge planning yang
dilakukan dengan menggunakan media
audio visual aids menunjukkan hasil yang
signifikan terhadap kesiapan keluarga.
Penggunaan audio visual aids efektif
sebesar 86% untuk dalam meningkatkan
pemahaman keluarga saat diberikan
informasi kesehatan tentang perawatan
pasien stroke [4]. Pada metode ini
discharge planning diberikan dengan
media audio-visual, menggunakan sebuah
video yang berisi tentang segala informasi
terkait perawatan pasien stroke di rumah.
Video yang diberikan rata-rata berdurasi
10-15 menit untuk setiap materi yang
disampaikan. Kekurangan metode
discharge planning yang menggunakan
audio visual aids adalah apabila keluarga
yang merawat pasien stroke sudah berusia
lanjut dan telah memiliki gangguan pada
sistem persepsi sensori [4].
Pada penelitian discharge planning
dengan pendekatan Family-centered
approach model juga menunjukkan
pengaruh yang signifikan. Penerapan tidak
memerlukan alat khusus untuk
melakukannya. Intervensi dilakukan
dengan melakukan pengkajian dan analisa
kemampuan keluarga dalam melakukan
perawatan pada pasien stroke [7]. Lalu
melakukan discharge planning sesuai
dengan hasil analisa tentang kebutuhan
keluarga. Family-centered approach
model hanya terbatas terhadap hasil
pengkajian dan analisa kemampuan
keluarga yang diperoleh perawat
sebelumnya. Peran keluarga dalam
melakukan perawatan langsung terhadap
pasien selama di rumah sakit kurang
difasilitasi.
Intervensi dengan pendekatan
Family Centered Nursing, dilakukan
dengan memfasilitasi keluarga untuk dapat
menjadi pusat keperawatan yang dapat
memberikan perawatan kepada anggota
keluarga yang sakit. Keluarga diberikan
informasi kesehatan tidak hanya saat
pasien akan pulang. Tetapi sejak awal
perawatan pasien. Keluarga juga di
libatkan selama proses perawatan pasien
di rumah sakit. Sehingga tingkat
kemandirian keluarga dalam perawatan
pasien dirumah meningkat [1].
SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING
TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE
6 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk
Kelebihan dan Kekurangan Review
Kelebihan dari review ini adalah
keanekaragaman metode pendekatan yang
yang digunakan dalam penerapan
discharge planning dapat dipilih untuk
dapat diimplementasikan di pelayanan
kesehatan. Artikel penelitian yang
dilakukan review dilaksanakan di
beberapa negara yang berbeda yaitu
Amerika, Canada, dan Indonesia.
Sehingga diharapkan penerapan discharge
planning dapat dengan mudah untuk
diimplementasikan di pelayanan kesehatan
yang ada di Indonesia. Kekurangan dari
proses review ini adalah hanya melakukan
review pada 3 artikel penelitian saja. 2
artikel penelitian RCT dan 1 artikel
penelitian quasi experiment. Bisa yang
dapat terjadi yaitu tingkat subjektifitas
dalam review ini. Karena review hanya
dilakukan oleh satu reviewer saja,
sehingga tidak ada proses diskusi.
KESIMPULAN
Penerapan discharge planning dapat
meningkatkan kesiapan pasien dan
keluarga secara fisik, psikologis, dan
sosial ; meningkatkan kemandirian klien
dan keluarga ; meningkatkan perawatan
yang berkelanjutan pada pasien ;
membantu pasien dan keluarga memiliki
pengetahuan dan keterampilan serta sikap
dalam memperbaiki serta
mempertahankan status kesehatan pasien.
Berbagai metode dapat digunakan dalam
penerapan discharge planning pada
keluarga dengan pasien stroke. Salah satu
metode yang paling efektif adalah Family
Centered Nursing. Diharapkan penerapan
discharge planning dapat dilakukan
dengan menerapkan metode - metode
yang ada dengan baik sehingga tahap
kemandirian keluarga yang tertinggi
dalam melakukan perawatan pada pasien
dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Damawiyah. 2015. Pengaruh
Penerapan Discharge Planning
Dengan Pendekatan Family Centered
Nursing Terhadap Motivasi dan
Kesiapan Keluarga Dalam Merawat
Pasien Stroke Pasca Akut di RS.
Islam Surabaya. Tesis. Magister
Keperawatan. Universitas Indonesia.
[2] Effendi, F & Mahfudi. Keperawatan
Kesehatan Komunitas Cetakan
Pertama. Jakarta : Salemba Medika.
2009.
[3] Febrie. Gambaran Fungsi Kognitif
Pada Pasien Stroke Post Opname di
Poliklinik.
http://www.Academia.edu.2013.
Diakses tanggal 03 Desember 2016.
[4] Giosa et al. 2006. An Examination of
Family Caregiver Experiences
during Care Transitions of Stroke
Patient.
[5] Haugh. Long-term Care for The
Stroke Patient in Family Home Care.
http://www.annalsoflongtermcare.co
m/article/9026.2018. Diakses tanggal
03 Desember 2014.
[6] Lanny. All About Stroke Hidup
Sebelum dan Pasca Stroke. Jakarta :
PT. Elex Media Komputindo. 2013.
[7] Lutz BJ et al. 2006. Improving Stroke
Caregiver Readiness for Transition
From Inpatient Rehabilitation to
Home.
[8] Ratna,W. Sosiologi dan Antropologi
Dalam Perspektif Ilmu Keperawatan.
Yogyakarta : Pustaka Rihana.2010.
SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING
TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE
7 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk
TANYA JAWAB
Siti Arifah
Apakah metode discharge planning sudah
diterapkan secara baik untuk setiap rumah
sakit?
Jennifa
Ada yang sudah menerapkan dan
sebagian belum menerapkan
Shanti Retno wulansari
Seberapa besar peran keluarga dalam
merawat pasien stroke di rumah?
Jennifa
Bisa membantu ADL (activity day living),
mengontrol konsumsi obat secara rutin
dan melatih pergerakkan otot, serta
memotivasi pasien.
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Regista Trigantara PISSN 2620-8040 8
SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DOKUMENTASI
ASUHAN KEPERAWATAN
Regista Trigantara
Program Studi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
ABSTRAKS
SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DOKUMENTASI ASUHAN
KEPERAWATAN. Pendampingan/supervisi dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan
dapat dilakukan supaya seluruh anggota ruangan memiliki kesempatan yang sama memperoleh
pendampingan. Supervisi adalah proses pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan untuk
memastikan apakah kegiatan tersebut berjalan sesuai tujuan organisasi dan standar yang telah
ditetapkan. Supervisi dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan yang cakap dalam bidang yang
disupervisi. Supervisi biasanya dilakukan oleh atasan terhadap bawahan atau konsultan terhadap
pelaksana. Manajer keperawatan atau kepala ruang memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan yang efektif serta aman kepada sejumlah pasien dan memberikan kesejahteraan
fisik, emosional dan kedudukan bagi perawat. Sistematik review ini dilaksanakan dengan melakukan
penelusuran artikel publikasi pada CINAHL, MEDLINE, dan Google Scholar dengan kata kunci:
Clinical Supervision dan Nursing Care Documentation Quality . Sedangkan untuk penelusuran dengan
Google Scholar menggunakan kalimat Clinical Supervision for improved nursing care documentation
quality. Penelusuran dibatasi terbitan 2006-2016, dapat diakses fulltext dalam format pdf dengan
desain penelitian kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan pada mahasiswa keperawatan. Artikel yang
sesuai kemudian dilakukan penilaian kualitas studi menggunakan TOOLS dari CASP. Artikel yang
direview sebanyak 3 buah artikel dengan kualitas tinggi. Supervisi klinis Model Proctor yaitu fungsi
formatif, normatif, dan restoratif untuk meningkatkan kemampuan supervisor ruangan melaksanakan
supervisi klinis Model Proctor terhadap peningkatan kualitas dokumentasi asuhan keperawatan
Kata Kunci: Clinical Supervision, and Nursing Care Documentation Quality
PENDAHULUAN
Setiap pelaksanaan proses
keperawatan, perawat akan selalu melakukan
pencatatan atau sering disebut
pendokumentasian, mulai dari pengkajian,
diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi. Dokumentasi merupakan aspek
penting dari praktik keperawatan karena
berisi catatan-catatan yang berguna untuk
komunikasi, tagihan finansial, edukasi,
pengkajian, riset, audit dan dokemenatasi
legal. Dokumentasi didifinisikan sebagai
segala sesuatu yang tertulis atau tercetak yang
dapat diandalkan sebagai catatan tentang
bukti bagi individu yang berwenang.
Dokumentasi yang baik mencerminkan tidak
hanya kualitas perawatan tetapi juga
membuktikan pertanggunggugatan setiap
anggota tim perawat dalam memberikan
perawatan (Potter & Perry, 2005).
Dokumentasi yang akurat adalah salah
satu pertahanan diri yang terbaik terhadap
tuntutan yang berkaitan dengan asuhan
keperawatan.
Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan
9 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara
Asuhan keperawatan dapat saja berjalan
dengan sangat baik, namun asuhan
keperawatan yang tidak didokumetasikan
berarti asuhan yang tidak dilakukan dalam
peradilan hukum (Perry & Potter, 2005).
Penelitian yang berhubungan dengan
pendokumentasian asuhan keperawatan
dilakukan oleh Pribadi (2009) yang didapatkan
hasil bahwa pelaksanaan dokumentasi asuhan
keperawatan di RSUD Kelet Jepara dalam
kategori baik 58,1% dan kategori tidak baik
41,9%. Selain itu menurut Mastini, 2013
temuan di salah satu rumah sakit yang berada
di Bali menunjukkan formulir dokumentasi
keperawatan yang telah disiapkan tidak tuntas
atau tidak terisi lengkap. Ditemukan rata-rata
perbulan rekam medis yang tidak lengkap
antara 5 sampai 10 rekam medis setelah pasien
pulang rawat inap di IRNA.
Perawat dalam melaksanakan tugas
sehari-hari dipimpin oleh seorang kepala
ruang. Kaitannya dengan dokumentasi asuhan
keperawatan tersebut, kepala ruangan
memiliki tugas untuk memberikan
pendampingan /supervisi terhadap anggota
ruangannya karena sebagian besar hasil dari
audit dokumentasi masih kurang dari nilai 75
(Keliat, 2012). Pendampingan / supervisi
dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan
keperawatan dapat dilakukan supaya seluruh
anggota ruangan memiliki kesempatan yang
sama memperoleh pendampingan. Menurut
Keliat (2012) supervisi adalah proses
pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan
untuk memastikan apakah kegiatan tersebut
berjalan sesuai tujuan organisasi dan standar
yang telah ditetapkan.
Supervisi klinis diperlukan untuk
mendapatkan sebuah praktik profesional
sebagai bagian dari sistem pelayanan
kesehatan yang dapat membuat seseorang
merefleksikan praktik dengan dukungan dari
supervisor. Dalam sebuah proses refleksi dapat
dikembangkan skill, pengetahuan dan
pemahaman dari praktik yang dijalankan (Care
et al., 2013; Jones, 2006).
Supervisi klinis mencakup beberapa
aspek yaitu pengarahan, observasi, pemberian
motivasi dan evaluasi. Supervisi klinis
dikonseptualisasi mempunyai 4 tujuan yaitu
membantu supervisee tumbuh dan
berkembang, melindungi dari
ketidaksejahteraan klien, memonitor
penampilan supervisee dan sebagai sebuah
penjagaan profesi. Supervisi klinis berperan
untuk mendorong supervisee melakukan
evaluasi sendiri dan mencapai tujuan sebagai
sebuah profesional yang mandiri. (Butterworth
& Faugier, 2013; Corey, 2013; Lynch et al.,
2009).
Supervisi klinis dapat membantu
perawat mengeksplorasi kontribusi
perkembangan praktik keperawatan dan
implementasi dalam praktik keperawatan
(Butterworth & Faugier, 2013). Supervisi
klinis juga terbukti mampu membuat seorang
perawat bekerja dengan profesional, kompeten
dan tanggung jawab. Supervisi klinis efektif
untuk mengembangkan potensi individu baik
pengetahuan, skill dan sikap dan kompetensi
dalam perawatan pasien.(Bormann &
Abrahamson, 2014; Casillas et al., 2014; Scott
Tilley, 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui seberapa efektif supervisi
klinis dalam peningkatan kualitas dokumentasi
asuhan keperawatan.
METODE
Design
Metode yang digunakan yaitu dengan
sistematik review, dimana artikel penelitian
dicari dengan beberapa criteria pencarian dan
kata kunci, kemudian dilakukan review dari
semua artikel tersebut.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi dari artikel yang
dicari yaitu : tipe participant/responden (P)
adalah perawat pelaksana. Tipe intervensi (I)
yaitu supervisi klinis dan tidak menggunakan
intervensi pembanding (C). Tipe outcame (O)
yang diukur yaitu kualitas dokumentasi asuhan
keperawatan.
Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan
10 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara
Tipe Studi adalah Randomized Control Trials
(RCT). Kriteria Eksklusi yaitu: artikel yang
tidak menggunakan bahasa inggris.
Strategi Pencarian Literatur
Artikel pencarian dicari melalui
CINAHL, MEDLINE, dan Google Scholar.
Pencarian melalui CINAHL, dan MEDLINE
dilakukan menggunakan advanced search
dengan kata kunci Clinical Supervision dan
Nursing Care Documentation Quality. Setelah
dilakukan pencarian ditemukan 48 artikel pada
CINAHL, dan 13 artikel pada MEDLINE.
Langkah selanjutnya adalah dengan
melakukan screening untuk mendapatkan
artikel yang full text dalam bentuk pdf dari
tahun 2005-2017.
Pada langkah ini ditemukan 20 artikel
pada CINAHL, dan 6 artikel pada MEDLINE.
Pencarian melalui google scholar dengan
menggunakan kalimat Clinical Supervision for
improved nursing care documentation quality
dan ditemukan ada 1460 artikel. Karena
keterbatasan waktu analisis peneliti maka
artikel yang diidentifikasi judulnya hanya
sampai pada page 20. Setelah diidentifikasi
judulnya maka ditemukan 21 artikel yang
dianggap memenuhi criteria peneliti. Semua
judul artikel yang dianggap sesuai dengan
tujuan penelitian
kemudian dijadikan satu dan
dilakukan screening apakah judul pada artikel
tersebut ada yang sama atau tidak. Setelah
dilakukan screening didapatkan ada 41 artikel
yang memiliki judul yang sama. Ke- 41 artikel
ini kemudian di screening berdasarkan
eligibility sesuai dengan criteria inklusi dan
eksklusi. Berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi di dapatkan 3 artikel untuk
selanjutnya dilakukan review. Adapun strategi
pencarian literature tadi dapat dilihat pada
tabel 1.
Metode Pengkajian Kualitas Studi
TOOLS yang dikembangkan oleh
Critical Appraisal Skills Programme
(CASP)digunakan penulis untuk mengkaji
kualitas studi di akses dari www.casp-uk.net.
Critical Appraisal dilakukan oleh satu orang
yang sedang menjalani studi S2 Keperawatan
semester 3 di Universitas Diponegoro
angkatan 2016. Hasil kualitas studi ini tidak
akan mempengaruhi sistematik review,
pengkajian kualitas studi hanya digunakan
untuk melihat sejauh mana tingkat atau
kualitas artikel yang digunakan.
Sintesis Data
Data-data akan ditampilkan secara
naratif. Penyajian data meliputi karakteristik
artikel, metode supervisi yang digunakan dan
hasil setelah dilakukan supervisi.
Tabel 1. Strategi pencarian Literature
Mesin Pencari CINAHL MEDLI
NE
Scholar
Hasil penelusuran 48 13 16.000
Fulltext, pdf, 2006-
2016
20 6 1460
Judul yang sama 15 5 21
Eligible sesuai
dengan criteria
inklusi dan eksklusi
1 1 1
RESULT 3
Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan
11 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara
HASIL
Hasil Penerapan Metode Supervisi Klinis
Secara umum banyak manfaat dari
implementasi supervisi klinis Model Proctor,
penelitian White et al dalam Lynch et al
menjelaskan manfaatnya diantaranya adalah:
1) proses evaluasi yang ideal dari rencana
kegiatan yang sudah dilakukan; 2) konsistensi;
3) saranan brainstroming atau diskusi yang
baik; 4) peningkatan kualitas pelayanan; 5)
mempermudah pelaksanaan tindakan nyata
terkait isi terbaru. Lynch, et al., (2008)
menjelaskan kelebihan model Proctor
dibanding yang lain diantaranya adalah proses
evaluasi yang ideal dari rencana kegiatan yang
sudah dilakukan, konsistensi, sarana
branstorming atau diskusi yang baik,
peningkatan kualitas pelayanan, dan
meningkatkan pelaksanakan kegiatan
diruangan. Penelitian Carney menyatakan
supervisi model Proctor dapat di terima oleh
sebagian besar perawat sehingga layak untuk
di terapkan dalam pelayanan keperawatan
(Carney, 2005).
PEMBAHASAN
Supervisi klinis Model Proctor
dikembangkan oleh Brigid Proctor, merupakan
model supervisi klinis paling populer di
Inggris dan hampir semua pelatihan supervisi
klinis menggunakan model ini. Pelaksanaan
pelatihan ini menggunakan Model Proctor
karena model ini relatif lebih lengkap dan
merangkum beberapa ciri dari model yang ada
serta berbagai penelitian.
Tiga fungsi supervisi klinis Model
Proctor yaitu fungsi formatif, normatif, dan
restoratif untuk meningkatkan kemampuan
supervisor ruangan melaksanakan supervisi
klinis Model Proctor terhadap peningkatan
kualitas dokumentasi asuhan keperawatan.
Secara umum banyak manfaat dari
implementasi supervisi klinis Model Proctor,
penelitian White et al dalam Lynch et al
menjelaskan manfaatnya diantaranya adalah:
1) proses evaluasi yang ideal dari rencana
kegiatan yang sudah dilakukan; 2) konsistensi;
3) saranan brainstroming atau diskusi yang
baik; 4) peningkatan kualitas pelayanan; 5)
mempermudah pelaksanaan tindakan nyata
terkait isi terbaru.
Fungsi formatif berfokus pada
pengembangan pengetahuan dan ketrampilan
staf sehingga terjadi integrasi antara teori dan
kegiatan praktik.
Fungsi restoratif adalah fungsi saling
memberi dukungan atau motivasi, diperlukan
hubungan yang baik antara supervisor dan staf
juga didukung iklim kerja yang baik sehingga
timbul saling menerima, dihargai, memberikan
rasa aman, mencegah konflik sehingga tujuan
supervisi akan tercapai. Pitman, Allen dan
Armoel; Brunero dan Punbury; Zakiyah
menyatakan, proses dari kegiatan supervisi
klinis Model Proctor yaitu sebagai berikut:
Fungsi Normatif
Komponen ini dapat dicapai oleh
supervisor yang memiliki persepsi positif
untuk staf yang disupervisi, dihubungkan
dengan kemampuan supervisor untuk
mempertahankan kinerja staf yang baik
dengan cara menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif, membuat suatu perencanaan,
mengidentifikasi kebutuhan dan
permasalahan yang diperlukan untuk
memberikan dukungan lebih lanjut.
Fungsi Formatif
Komponen ini berfokus pada
pengembangan pengetahuan dan
ketrampilan staf sehingga menunjukkan staf
bekerja sesuai dengan standar yang berlaku
sebagai aspek tanggung jawab dalam
melakukan praktik. Kondisi ini dapat
dicapai melalui refleksi pada praktik yang
sudah dilakukan dengan dukungan dan
menciptakan lingkungan yang kondusif. Hal
ini merupakan tanggung jawab bersama dari
supervisor dan staf yang disupervisi.
Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan
12 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara
Adapun tugas dari supervisor
adalah; 1) mengkaji kinerja staf yang
melakukan kegiatan; 2) memonitor
kepatuhan terhadap kode etik dan standar
yang berlaku; 3) memberikan tantangan
dalam praktik apabila diperlukan; 4)
memberikan kritik yang konstruktif; 5)
memberikan umpan balik yang jujur;
6)mengidentifikasi pencapaian staf yang
melakukan tindakan; 7) memberikan solusi;
8) menjadi role model; 9) mengidentifikasi
pemecahan masalah atau rencana tindak
lanjut yang diperlukan; 10)
mendokumemtasikan supervisi secara
teratur dan mengevaluasi efektivitas
kegiatan supervisi.
Fungsi Restoratif
Komponen ini berhubungan dengan
kemampuan memberikan rasa aman bagi
staf untuk terbuka dalam mengungkapkan
perasaan dan permasalahan yang dihadapi,
pengalaman dalam praktek dan
pembelajaran, mencegah stress, mengatasi
konflik, pemberian dukungan. Supervisi
Proctor merupakan model supervisi yang
paling direkomendasikan dalam pelatihan
supervisi. Supervisi model Proctor dapat
meningkatkan pelayanan klinis yang dapat
memberikan dukungan yang adekuat pada
pelayanan klinis dan mengembangkan
profesionalisme supervisor keperawatan
(Lynch, et al., 2008). Supervisi model Proctor
memiliki beberapa fungsi dalam melakukan
pengarahan pada perawat yang disupervisi
yaitu fungsi normatif, formatif dan restoratif
yang efektif diterapkan dalam pelayanan
keperawatan.
Menurut peneliti, aplikasi fungsi
normatif bermanfaat untuk mengembangkan
perawatan pasien berkaitan dengan praktik
keperawatan yang professional, fungsi
formatif meningkatkan kesadaran diri melalui
peran edukatif dapat melaksanakan kegiatan
pelayanan dengan memperhatikan keselamatan
pasien melalui pemberian dukungan dan
komunikasi efektif.
Sehingga perawat dapat termotivasi
untuk melaksanakan kegiatan kepada pasien
yang sesuai standar. Aplikasi fungsi normatif
dalam supervisi model Proctor dapat dicapai
oleh supervisor yang memiliki persepsi positif
untuk staf yang disupervisi, dihubungkan
dengan kemampuan supervisor untuk
mempertahankan kinerja staf yang baik
dengan cara menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif, menyusun dan
mensosialisasikan suatu perencanaan,
mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah
yang diperlukan untuk memberikan dukungan
lebih lanjut, mempertahankan standar yang
ada, dan memberikan kepercayaan pada staf
sehingga hal tersebut dapat meningkatkan
profesionalisme dan menciptakan kualitas
pelayanan yang bermutu.
Aplikasi fungsi formatif berfokus
pada perkembangan pengetahuan dan
keterampilan staf sehingga memungkinkan
staf bekerja sesuai dengan standar yang
berlaku sebagai aspek tanggung jawab dalam
melakukan praktek. Kondisi ini dapat dicapai
melalui refleksi pada praktek yang sudah
dilakukan. Hal ini merupakan tanggung jawab
bersama dari supervisor dan staf yang
disupervisi. Fungsi restoratif berfokus pada
pemberian dukungan. Supervisor harus
memastikan kesiapan staf dapat menerima
dukungan atau motivasi yang diberikan.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari review artikel ini
adalah bahwa supervisi klinis model Proctor
dapat meningkatkan kualitas dokumentasi
asuhan keperawatan. Rumah sakit perlu
meningkatkan kualitas dokumentasi asuhan
keperawatan salah satunya melalui dukungan
kebijakan untuk pelaksanaan supervisi kepala
ruang model Proctor dengan melaksanakan
pada seluruh ruangan pelayanan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Keliat, BA., Akemat, (2012), Model
Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan
13 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara
praktik keperawatan profesional jiwa,
EGC, Jakarta.
[2] Potter P.A., & Perry, A.G., (2005),
Buku saku: ketrampilan & prosedur
dasar. Edisi 5. Jakarta: EGC
[3] Pribadi, A., (2009), Analisis faktor
pengetahuan, motivasi dan
pengetahuan persepsi perawat tentang
supervisi kepala ruang terhadap
pelaksanaan dokumentasi asuhan
keperawat di ruang rawat inap RSUD
Kelet Provinsi Jawa Tengah di Jepara,
Tesis Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat Konsentras Administrasi
Rumah Sakit.
[4] Butterworth, T., & Faugier, J. (2013).
Clinical Supervision and Mentorship in
Nursing. Springer. Retrieved from
https://books.google.com/books?id=j1
H2BwAAQBAJ&pgis=1
[5] Care, P., New, H., Local, E., Health,
R., Hunter, J., & Lambton, N. (2013).
Finding a way forward: A literature
review on the current debates around
clinical supervision, 45(1), 22–32.
[6] Carryer, J., Gardner, G., Dunn, S., &
Gardner, A. (2007). The core role of
the nurse practitioner : practice ,
professionalism and clinical leadership.
doi:10.1111/j.1365-2702.2006.01823.x
[7] Bormann, L., & Abrahamson, K.
(2014). Do staff nurse perceptions of
nurse leadership behaviors influence
staff nurse job satisfaction? The case of
a hospital applying for Magnet®
designation. The Journal of Nursing
Administration, 44(4), 219–25.
doi:10.1097/NNA.0000000000000053
[8] Brunero, S., & Purbury, J.S. (2006).
The effectiveness of clinical
supervision in nursing: an evidenced
based literature review. Australian
Journal of Advanced Nursing, 25 (3),
86–94.
[9] Lynch, L., Hancox, K., Happel, B., &
Parker, J. (2008). Clinical supervision
for nurse: Model for clinical
supervision. United Kingdom: Willey-
Blackwell
[10] Carney, A.S. (2005). Clinical
supervision in a challenging behaviour
unit. Nursing Times, 101 (47), 32-34.
Diperoleh dari http://
www.nursingtimes.net
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Amalia Mastuty PISSN 2620-8040 14
UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA
ORGANISASI KERJA
Amalia Mastuty
Program Studi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
ABSTRAKS
UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA
ORGANISASI KERJA. Ketidakhadiran atau absenteeisme tenaga perawat mengakibatkan hilangnya
waktu kerja untuk menyelesaikan tugas sehingga pekerjaan yang harusnya bisa diselesaikan dalam
jangka waktu tertentu menjadi terbengkalai. Hal ini secara tidak langsung akan menimbulkan
kerugian bagi tenaga perawat dan bagi Rumah Sakit baik dari segi materi maupun terhadap system
yang berlaku. Pada umumnya abseenteisme dan waktu kerja yang hilang di Rumah Sakit di Amerika
12% tidak hadir, di Indonesia berkisar antara 3%-10% diantaranya Puskemas di Papua 30,7% tidak
hadir,di Rumah Sakit Bekasi 93,20 % datang terlambat, di Rumah Sakit Semarang 4,3% perawat tidak
hadir. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi indentifikasi intervensi efektif yang membantu
manajemen dalam mengurangi absenteeisme tenaga perawat dan meningkatkan produktivitas kerja.
Metode yang digunakan adalah pencarian literatur mulai dari tahun 2009-2017 yang menggunakan
kata kunci reduce absenteeism / mengurangi absenteeisme dan Nursi / Tenaga Perawat. Penelusuran
dilakukan di situs Ebscohost, Elsevier dan Google Sholar. Hasil yang diperoleh yaitu kajian dari
ketiga belas literatur yang digunakan dalam artikel ini ditemukan 9 upaya untuk mengurangi
absenteeisme tenaga perawat adalah diantaranya terangkum dalam : pemberian dukungan sosial,
melaksanakan 6 strategi pengorganisasian karyawan, pendekatan kepemimpinan serta peningkatan
motivasi ekstrinsik dalam organisasi kerja.
Kata Kunci : Mengurangi absenteeisme, tenaga perawat, organisasi kerja
PENDAHULUAN
Ketidakhadiran atau absenteeisme
adalah keadaan tidak hadir untuk pekerjaan
yan dijadwalkan. Karyawan tidak hadir karena
sejumlah alasan. Perbedaan sering dibuat
antara absenteeisme putih, abu-abu dan hitam.
Dalam kasus absensi putih, sangat jelas bahwa
karyawan tersebut sakit. Ketidakhadiran
disebut abu-abu jika penyakitnya bersifat
psikologis atau psikosomatik seperti sakit
kepala dan kelelahan. Ketidakhadiran disebut
hitam jika seseorang yang tidak sakit
melaporkan dirinya sebagai orang sakit. Ini
juga dikenal sebagai absensi illegal.1
Ketidakhadiran perawat disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya pendidikan
dan beban kerja, moralitas, fleksibilitas jadwal
kerja, shift kerja, presenteeisme / hadir namun
bekerja tidak maksimal, umur, jenis kelamin,
tempat tinggal karyawan dapat mempengaruhi
ketidakhadiran kerja.2,3.
Ketidakpuasan
terhadap pekerjaannya juga menjadi faktor
ketidakhadiran, hal ini diungkapkan dengan
berbagai cara diantaranya dengan
meninggalkan pekerjaannya, mengeluh,
membangkang, mencuri milik organisasi,
menghindari sebagian tanggung jawab dari
pekerjaan mereka.2. Kemudian beberapa faktor
UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA
ORGANISASI KERJA
15 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty
lain disebabkan oleh dukungan supervisor
rendah, tuntutan fisik pada pekerjaan, kontrol
rendah dari atasan.4
Sejauh ini manajemen organisasi kerja
dalam hal ini Rumah Sakit telah melaksanakan
beberapa upaya guna meminimalkan kejadian
absenteeisme tenaga perawat diantaranya
pengadaan absensi kehadiran namun pihak
manajemen rumah sakit kurang
memperhatikan prosedur pengisian absensi
dan monitoring yang dilaksanakan secara
profesional dan baik, dengan adanya
pengawasan dan kontol secara memusat,
melaksanakan supervisi oleh kepala bidang
namun belum menetapkan kontinuitas
pelaksanaan supervisi berkala baik secara
langsung pada perawat pelaksana yang ada
dalam ruangan perawatan, dari sistem reward
dan sistem promosi yang ada dirasakan kurang
adil3 dan sanksi disiplin bagi petugas
kesehatan yang bekerja dengan tidak baik6.
Dengan beberapa upaya yang telah
dilakukan tersebut diatas masih didapatkan
perolehan data empiris yang menegaskan
bahwa masalah absenteeisme tenaga perawat
masih menjadi fokus penelitian yang harus
ditanggapi segera ditemuka solusi kemudian
ditangani. Pada RSUP. Dr. Kariadi Semarang
pada tahun 2012 sebesar 4,3%, sedangkan
pada tahun 2013 tingkat ketidakhadiran
perawat karena sakit menurun menjadi 1,8%,
rekap absensi perawat di Ruang Rawat Inap
RSUD Kabupaten Bekasi datang terlambat
bulan Agustus 2011, sebanyak 91,20%.
Perawat, dan Rata-rata ketidakhadiran petugas
kesehatan puskesmas di 4 kabupaten di
Provinsi papua : 30.7% dikategorikan dengan
tingkat ketidakhadiran tinggi dan sebanyak
20% dari Perawat beralih kerja dan 12%
meninggalkan pekerjaan (keperawatan)
karena luka-luka di tempat kerja di Virginia
Barat, Amerika. 3,4,6.
Persentase ketidakhadiran yang tinggi
merupakan tantangan yang luar biasa di sektor
kesehatan yang pada hakikatnya tenaga
kesehatan dalam hal ini perawat seharusnya
selalu hadir di unit dimana mereka ditugaskan
agar sistem berfungsi dengan baik dalam
menyediakan pelayanan kesehatan dan
mencapai tujuan pembangunan. Hal ini perlu
mendapat perhatian karena menimbulkan
kerugian, baik dari segi fisik, materi maupun
terhadap sistem yang berlaku di perusahaan
diantaranya berpengaruh terhadap rekan kerja
dan atasan yang harus berurusan dengan
volume bisnis yang lebih besar, tetapi juga
keuntungan perusahaan dengan demikian,
terjadi penurunan kepuasan dan moral
karyawan dan produktivitas mereka, Selain itu,
juga telah ditemukan bahwa penyakit jiwa dan
stres dalam beberapa tahun terakhir akibat
penundaan kerja sehingga terjadi peningkatan
jumlah hari yang luar biasa. Hal ini harus
diwaspadai secara dini 4.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian menggunakan
metode penelusuran jurnal dengan sistem
literature review dengan menggunakan kata
kunci mengurangi absenteeism / reducing
absenteeism, tenaga perawat / nurse,
organisasi kerja/work organization. Pencarian
artikel dilakukan pada website Ebscohost,
Elsevier, dan Google Scholar. Artikel yang
mempunyai kesamaan diambil salah satunya.
Pencarian literatur dilakukan pada artikel yang
terpublikasi pada tahun 2009-2017.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis dari delapan jurnal didapatkan
bahwa ada beberapa intervensi yang efektif
untuk mengurangi absenteeisme tenaga
perawat diantaranya :
Dukungan Sosial
Dari hasil penelitian oleh Ambarwati
didapatkan bahwa intervensi untuk
mengurangi absenteeisme tenaga perawat
dengan cara pemberian dukungan sosial
diberikan kepada perawat sehingga dapat
mengurangi atau menekan tingkat stress.
Dukungan sosial adalah bantuan yang
diperoleh individu melalui hubungan
UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA
ORGANISASI KERJA
16 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty
interpersonal dengan orang-orang di sekitar
individu yang memiliki arti bagi individu
tersebut dalam menghadapi masalahnya.
Adapun sumber-sumber dukungan sosial dapat
diperoleh dari : Rekan kerja dapat berupa
persahabatan, menciptakan situasi tolong-
menolong, dan kerja sama yang
menyenangkan. Atasan dapat berupa mau
mendengarkan masalah yang dialami dengan
penuh perhatian baik masalah pribadi maupun
pekerjaan, toleransi terhadap kesalahan yang
dibuat dan memberikan kepercayaan pada
pekerja bahwa dirinya mampu, sehingga
kondisi kerja yang menekan dapat terkurangi.
Pasangan hidup / Keluarga dapat berupa
dukungan emosi yang berbentuk dorongan
membesarkan hati, memberikan ungkapan
penghargaan, dukungan material serta
memberikan informasi yang dapat
memberikan sebuah solusi atas masalah yang
dihadapi. 7. Upaya ini cenderung jarang dipilih
untuk diaplikasikan karena faktor dukungan
sosial yang dimiliki perawat sudah dianggap
cukup sehingga dirasakan kurang berpengaruh
dalam pengurangan tingkat absentesi perawat.
Strategi Pengorganisasian Karyawan
Ketidakhadiran adalah fluktuasi
tenaga kerja yang merupakan parameter
terpenting yang perlu dipantau. Berikut stategi
pengorganisasian karyawan oleh manajer 8.
Kebijakan Tidak Hadir / Cuti Sakit
Manajemen membuat kebijakan
menggabungkan berbagai program insentif
yang dirancang untuk meningkatkan kehadiran
staf dengan memberi imbalan pada perawat
yang bisa jaga diluar jadwal piket akibat
ketidakhadiran temannya, penghargaan dari
kehadiran yang tidak terputus Program
Monitoring Absensi. Pengorganisasian
pertama ini salah satunya dengan membuat
kebijakan tentang program kontrol absensi
yang dinilai memiliki dampak terbesar dalam
mengurangi ketidakhadiran. Dalam program
kontrol absensi ini, pimpinan perawat dapat
menggunakan pengahargaan atau imbalan dan
kekuatan koersif untuk mengurangi
ketidakhadiran. Kekuatan pengahargaan atau
imbalan didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk menghargai perilaku orang
lain. Kekuatan koersif didefinisikan sebagai
kemampuan untuk menghukum
ketidakpatuhan para pengikut. Program
kontrol absensi positif adalah intervensi yang
menawarkan penghargaan atau motivasi
positif untuk kehadiran yang baik. Ini
termasuk: pengakuan pribadi, membeli
kembali cuti sakit yang tidak terpakai, dan
pembayaran bonus untuk kehadiran teladan.
Program lainnya adalah program
kontrol disipliner yang mencakup intervensi
yang memberikan konsekuensi yang tidak
menyenangkan terhadap kehadiran yang
buruk. Ini termasuk: tindakan disipliner,
kesalahan kinerja bebas, dan ulasan akhir
tahun. Kombinasi penghargaan dan program
kedisiplinan berpotensi menimbulkan dampak
terbesar dalam mengurangi ketidakhadiran.
Melibatkan karyawan dalam membangun dan
memantau program ini akan membantu
perawat menyesuaikan diri dengan kebijakan
ini dan memikul tanggung jawab pribadi.
Tingkat absensi dapat diatasi dengan
menggunakan langkah-langkah berikut:
Manajer harus menetapkan besaran dan pola
ketidakhadiran. Mereka harus memastikan
bahwa setiap orang mengetahui hak dan
tanggung jawab mereka terkait cuti dan
konsekuensi melanggar peraturan ini.
Manajer harus mengatasi masalah
secara keseluruhan dan berurusan dengan
individu dalam setiap kasus di mana satu
orang berulang kali absen dari pekerjaan.
Pemantauan bulanan yang berkelanjutan akan
membantu manajer untuk mengetahui apakah
tingkat absensi ditangani dengan cukup dan
durasi kerja lembur yang diperbolehkan untuk
perawat harus ditentukan sesuai dengan
manajemen sehubungan dengan beban kerja
dan perawatan kesehatan dari perawat itu
sendiri. 6
UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA
ORGANISASI KERJA
17 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty
Pengelolaan Sektor Kepegawaian
Pengelolaan institusi perawatan
kesehatan harus menentukan jumlah petugas
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah
kondisi kekurangan tenaga kerja terjadi karena
kekurangan memiliki pengaruh negatif
terhadap kinerja pekerja dan pada akhirnya
menyebabkan absennya atau penghentian
pekerjaan.
Monitoring sistem yang efektif
Sanksi sistem pemantauan harus
cukup kuat untuk membatasi marjin
kebijaksanaan kegiatan dan jadwal waktu staf
perawat seperti halnya pengambilan cuti
dengan alasan tepat. Penguatan control dan
mekanisme hukuman harus diterapkan untuk
ketidakhadiran petugas perawatan kesehatan
yang kurang informasi. Demikian pula,
pekerja terbaik harus diberi penghargaan atas
kinerjanya berdasarkan kinerja dan kehadiran
mereka.
Peningkatan Sistem Informasi
Database yang tepat harus dipelihara
di mana catatan kehadiran staf, informasi
mereka dan informasi yang kurang informasi
dipertahankan. Sistem informasi dapat
digunakan untuk mengamati pola absensi di
petugas layanan kesehatan dan dapat
dimanfaatkan dalam perancangan program
manajemen yang efektif. Catatan harus
dievaluasi secara rutin oleh otoritas pelaporan
staf perawatan kesehatan dan berdasarkan
evaluasi, insentif, dan promosi dan penurunan
pangkat dari nilai ini harus didasarkan.
Kebijakan Pelayanan Kesehatan
Pengadaan staff perawat, strategi
promosi, dan rekrutmen pegawai baru harus
digabungkan oleh manajemen.
Koordinasi Antar Tenaga Kesehatan
Koordinasi diantara staf perawat juga
mempengaruhi kualitas layanan perawatan
pasien yang diberikan oleh institusi perawatan
kesehatan. Peningkatan koordinasi
memudahkan dalam mengurangi tekanan dan
tekanan dalam kasus beban kerja yang tinggi. 9
Salah satu wujud dorongan koordinasi antar
tenaga kesehatan dengan pengadaan mitra
kesehatan aktif. Beberapa rumah sakit
menggunakan mitra kesehatan aktif.
Karyawan melaporkan sakit dengan
memanggil perawat dari apa yang disebut
sebagai mitra kesehatan aktif. Perawat
mendapat panggilan dari sejawat. Idenya
adalah untuk meminta penelepon secara rinci
tentang penyakit mereka untuk memberi tahu
mereka langkah-langkah apa yang harus
mereka lakukan seperti tinggal di tempat tidur
atau pergi ke dokter. Melihat sebuah solusi
untuk ketidakhadiran sebagai menawarkan
konseling terus menerus terhadap sejawat di
tempat kerja, itu bisa membantu perawat
mengurangi ketegangan mengalihkan
perhatian mereka dari masalah di rumah dan
manajerial mengusahakan pengadaan fasilitas
penitipan anak di tempat kerja. 10
Upaya ini
dinilai sangat aplikatif dalam mengurangi
absensi perawat karena sub variabel
didalamnya sudah meliputi beberapa aspek
pendukung yang berpengaruh dan di luar
negeri juga pernah dilakukan dengan hasil
bahwa 6 stategi pengorganisasian karyawan
bernilai signifikan terhadap absenteeisme
namun diindonesia sendiri strategi ini masih
belum maksimal bisa dilakukan oleh
manajemen.
Pendekatan Kepemimpinan
Pada saat manajer mengetahui
ketidakhadiran abu-abu maupun keterlambatan
terjadi hendaknya ditangani segera. Perlu
dilakukannya mediasi untuk mencapai kondisi
kelembagaan yang lebih baik dan
meningkatkan hubungan pribadi dan
profesional. Untuk pendekatan yang
digunakan dengan beberapa pilihan gaya
kepemimpinan diantaranya gaya
kepemimpinan transformasional. Beberapa
juga memberi jawaban yang menunjukkan sisi
yang lebih transaksional juga. Terakhir
memiliki cara yang lebih ketat untuk
memimpin dengan menggunakan penghargaan
dan hukuman. Hal ini dilakukan dengan
UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA
ORGANISASI KERJA
18 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty
"budaya menakut-nakuti", yang menurut
mereka bisa mencegah ketidakhadiran staff.
Para manajer yang mengambil
pendekatan transformasional memiliki tingkat
pertimbangan yang tinggi bagi individu.
Mereka lebih fokus pada kepercayaan,
dukungan dan menjadi pemain tim. Mereka
tidak menyebutkan lebih banyak kursus dan
pendidikan bagi karyawan sebagai sarana
untuk meningkatkan motivasi di antara
karyawan sampai pada tingkat yang
ditentukan. Mereka lebih fokus untuk
mendapatkan lingkungan kerja yang lebih baik
dengan mengambil berbagai inisiatif seperti
memberikan informasi yang memadai. Para
manajer transformasional menunjukkan
kualitas visioner dan kreatif yang membantu
mereka menginspirasi karyawan untuk
menindaklanjuti perubahan dan untuk
mencegah ketidakhadiran penyakit dan
meningkatkan pengetahuan tentang proses
perubahan. 12,13,7,14.
Kekurangan dari upaya ini yang
sering terjadi adalah kurangnya kemampuan
dan motivasi dari seorang manajer untuk
mengembangkan pendekatan kepemimpinan
dengan mengadopsi gaya kepemimpinan yang
ada untuk disesuaikan pada masalah yang
terjadi dilapangan sehingga manajer atau
pimpinan cenderung menggunakan gaya
kepemimpinan situasional tidak meningkatkan
kemampuannya dalam mengekplore
keterbaruan atas keilmuan dan
mengaplikasikannya. Gaya kepemimpinan
yang digunakan akan berhubungan dengan
perilaku disiplin tenaga perawat yang ada.
Peningkatkan Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah pendorong
pekerja yang bersumber dari luar diri pekerja
sebagai individu, berupa suatu kondisi yang
mengharuskan melaksanakan pekerjaan secara
maksimal. Jika organisasi tidak mencukupi
faktor pendorong tersebut maka ia akan
mendapat kesulitan dalam menarik karyawan
yang baik dan perputaran dan kemangkiran
akan meningkat. Berikut ini beberapa bentuk
motivasi ekstrinsik yang perlu ditingkatkan
dalam organisasi terkait absenteeisme
diantaranya :
Pemberian Insentif/ imbalan
Berupa gaji dan upah memang
merupakan salah satu motivator yang kuat
bagi seseorang untuk berprestasi karena
dengan kenaikan insentif akan membuat
seseorang terdorong untuk melakukan yang
terbaik dalam pekerjaannya dan sebaliknya
jika insentif tidak sesuai dengan yang
diharapkan akan menyebabkan motivasi
seseorang menurun.
Pemantapan Kondisi Kerja
Lingkungan yang bersih dan rapi
akan membuat para perawat nyaman dan
semangat dalam hadir untuk bekerja tanpa ada
beban yang disebabkan ruangan kerja yang
kotor. Sementara dengan perlengkapan dan
peralatan yang memadai sudah tentu akan
memudahkan dalam meningkatkan kinerja
melayani pasien. Namun tanpa jaminan
keamanan, para perawat akan tidak tenang
dalam melakukan aktivitas. Kondisi kerja yang
baik tersebut dapat mendukung pelaksanaan
kerja sehingga perawat memiliki semangat
bekerja dan meningkatkan kinerja perawat.
Untuk dapat memunculkan motivasi prestasi
kerja yang tinggi dalam suatu organisasi
seorang Manajer harus memperhatikan
fenomena tersebut.
Pengadaan Promosi Kerja
Promosi memberikan peran penting
bagi karyawan bahkan menjadi idaman yang
selalu dinantikan. Karena hal itu berarti ada
kepercayaan dan pengakuan mengenai
kemampuan serta kecakapan karyawan
bersangkutan untuk menduduki suatu jabatan
yang tinggi. Seseoarang akan termotivasi
untuk hadir dan bekerja dengan disipilin dan
giat dan berprestasi karena adanya kesempatan
yang diberikan oleh pimpinan sehingga dia
akan lebih memacu diri bekerja sebaik-
baiknya dan meraih prestasi yang gemilang. 8.
Upaya ini merupakan upaya yang paling
berpengaruh secara langsung terhadap
UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA
ORGANISASI KERJA
19 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty
pengurangan absensi perawat karena
manfaatnya dapat dirasakan secara langsung
dan memotivasi kerja perawat untuk
berproduktivitas tinggi namun biasanya
fungsinya hanya jangka pendek.
KESIMPULAN
Ditemukan beberapa intervensi efektif
yang dapat diterapkan oleh manajemen dalam
mengurangi absenteeisme tenaga perawat
mengingat kerugian yang ditimbulkannya
diantaranya :dukungan sosial oleh rekan,
atasan, dan pasangan hidup / keluarga yang
dapat memberikan pengaruh yang positif bagi
tenaga perawat, 6 strategi pengorganisasian
karyawan oleh manajerial dengan 1) kebijakan
tidak hadir / cuti sakit 2) pengelolaan sektor
kepegawaian 3) monitoring sistem yang efektif
4) peningkatan sistem informasi 5) Kebijakan
pelayanan kesehatan 6) mendorong koordinasi
antar tenaga kesehatan, kemudian dengan
melakukan pendekatan kepemimpinan dengan
mengaplikasikan gaya kepemimpinan yang
sesuai serta peningkatkan motivasi ekstrinsik
meliputi pemberian insentif/imbalan,
pemantapan kondisi kerja, pengadaan promosi
kerja.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Wang. 2012. Nurse Absenteeism And
Staffing Strategies For Hospital
Inpatient Units
[2] Alfriyanti dkk. 2012. Faktor Yang
Berhubungan Dengan Absenteisme Pada
Tenaga Perawat Di Badan Rumah Sakit
Daerah Luwuk Kabupaten Banggai
Provinsi Sulawesi Tengah
[3] Asmaningrum. 2007. Hubungan Antara
Ketidakhadiran dan Kepuasan Kerja
Perawat Paviliun di RSUD Jombang
[4] Davey et al. 2009. Predictors of Nurse
Absenteeism in Hospitals: Journal of
Nursing Management
[5] Kanwal et al. 2017. Identify The Causes
Of Absenteeism In Nurses Mayo Hospital
Lahore Pakistan
[6] USAID From American People. 2016.
Survey Tenaga Kesehatan Di Papua
[7] Ambarwati, Diah. 2014. Pengaruh beban
kerja terhadap stres perawat igd dengan
dukungan sosial sebagai variabel
moderating (studi pada RSUP Dr.
Kariadi Semarang)
[8] Agus, M Haerul. 2013. Hubungan
Motivasi Kerja Dengan Kinerja Perawat
Di RSUD Sinjai.
[9] Pinnock, Cordelia. 2012. Reducing
Sickness And Absence: The Effectiveness
Of Managers
[10] Madibana. 2010. Factors Influencing
Absebteeism Amongst Professional
Nurses In London
[11] Lee, doohee. 2011 . Transformational
Leadership And Workplace Injury And
Absenteeism: Analysis Of A National
Nursing Assistant Survey
[12] Hakull et al. 2015. Leaders Approach To
Sickness Absence
[13] Kurcgant et al. 2015. Absenteeism of
Nursing Staff: Decisions and Actions of
Nurse Managers 2015 Paulina. Journal
of school of Nursing
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Renni, dkk PISSN 2620-8040 20
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI
DI BANTUL YOGYAKARTA
Reni Merta Kusuma, Ristiana Eka Ariningtyas
Stikes Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
ABSTRAKS
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA.
Makanan terbaik bagi bayi baru lahir sampai 6 bulan kehidupannya adalah air susu ibu (ASI).
Kementerian Kesehatan menghimbau agar pemberian ASI dilanjutkan sampai usia anak 2 tahun.
Asupan ASI yang cukup dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui motivasi ibu dalam memberikan ASI kepada anaknya dan perilaku ibu
saat menyusui. Selain itu juga untuk mengetahui hubungan antara motivasi dan perilaku ibu dalam
memberikan ASI kepada anaknya. Rancangan penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan
pendekatan cross-sectional menggunakan metode survei untuk menguji hubungan-hubungan yang
terkait antara motivasi memberikan ASI dan perilaku ibu saat menyusui. Sampel sejumlah 202 ibu
menyusui yang memiliki anak berusia 6-12 bulan dengan teknik sampling Cluster Random Sampling.
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Uji analisis yang digunakan adalah analisis deskripsi dan
analisis korelasi Chi Square (X2). Hasil penelitian yang telah dilakukan di wilayah Bantul menyatakan
bahwa analisis korelasi antara motivasi dengan perilaku didapatkan hasil nilai r=0,172 dan p=0,014
artinya ada hubungan bermakna antara motivasi memberikan ASI dengan perilaku pemberian ASI
dengan cara menyusui. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan bermakna antara
motivasi ibu memberikan ASI dengan perilaku ibu saat menyusui.
Kata Kunci : Motivasi dan prilaku menyusui
PENDAHULUAN
Ibu yang sehat baik secara fisik
maupun psikologi memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan air susu. Air Susu Ibu (ASI)
merupakan makanan terbaik bagi bayi. ASI
mengandung zat gizi lengkap yang dibutuhkan
oleh bayi. ASI matur yang disekresi hari ke-10
dan selanjutnya mengandung antibody
terhadap bakteri dan virus, sel (fagosit
granulosit dan makrofag serta limfosit tipe T),
enzim (lisozim, laktoperoksidase, lipase,
katalase, fosfatase, amylase, fosfodiesterase,
alkalinfosfatase), protein (laktoferin, B12
binding protein), resistance factor terhadap
stafilokokus, komplemen, interferon producing
cell, dan hormon-hormon.1
ASI memiliki Kandungan yang lengkap
dan sesuai dengan kebutuhan bayi, sehingga
sampai dengan 6 bulan bayi cukup diberi ASI
saja. Bayi yang hanya diberi ASI saja selama 6
bulan memiliki kekebalan tubuh lebih baik
sehingga dapat terhindar dari kesakitan dan
kematian.2 World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan pertama kehidupan bayi dan
dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun3.
Pemberian ASI ekskluasif tidak hanya berada
dalam skala nasional bahkan WHO sudah
rekomendasikannya. Pemerintah Republik
Indonesia melalu Kementerian Kesehatan juga
sepakat dan berkomitme dalam menyukseskan
program ASI eksklusif di Indonesia.
Pemerintah berupaya untuk
menyukseskan program ASI eksklusif, salah
satunya dengan mengeluarkan Peraturan
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA
21 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk
Pemerintah Republik Indonesia No. 33 Tahun
2012 berisi tentang Pemberian ASI Eksklusif.
Peraturan ini dibuat untuk menjamin
pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan
sumber makanan terbaik sejak dilahirkan
sampai berusia 6 bulan, kebijakan ini juga
melindungi ibu dalam memberikan ASI
eksklusif kepada bayinya.4 Pemberian ASI
menguntungkan banyak pihak di antaranya ibu
dan bayi. Bayi yang mendapatkan ASI, apalagi
mendapatkan ASI saja selama 6 bulan, akan
memiliki ketahanan hidup lebih tinggi
dibandingkan yang tidak mendapat ASI. Hasil
penelitian menyatakan bahwa bayi yang diberi
ASI lebih dari 6 bulan memiliki ketahanan
hidup sebesar 33,3 kali dibandingkan yang
diberi ASI kurang dari 4 bulan.5
Dinas Kesehatan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) tahun 2015 mencatat
jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif
sebanyak 73,7%. Jumlah tersebut tidak jauh
beda dengan Kabupaten Bantul. Jumlah bayi
yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar
74,7%.6 Capaian ASI eksklusif di Indonesia
belum mencapai angka yang diharapkan yaitu
sebesar 80%. Dinas Kesehatan (DIY) tahun
2015 mencatat pada tahun 2013 jumlah bayi
yang mendapatkan ASI eksklusif sebanyak
62,05%. Pemberian ASI eksklusif meningkat
pada tahun 2014 menjadi 71,55% dan pada
tahun 2015 meningkat menjadi 74,73%.6 Data
tersebut menguatkan semua pihak untuk terus
giat meningkatkan cakupan pemberian ASI
eksklusif karena dengan pemberian ASI
eksklusif banyak sekali keuntungan baik bagi
ibu maupun kepada bayi.
Peningkatan prosentase pemberian ASI
eksklusif menjadi tanggung jawab semua
pihak dan segala upaya dilakukan agar
pemberian ASI eksklusif meningkatkan.
Banyak upaya meningkatkan pemberian ASI
eksklusif di antaranya dengan pelaksanaan
inisiasi menyusu dini dan program kelompok
pendukung ibu dalam pemberian ASI
eksklusif. Kelompok pendukung ibu untuk
menyukseskan pemberian ASI eksklusif
(praktik menyusu) sangat bermanfaat dalam
meningkatkan pengetahuan ibu tentang ASI
pada responden yang berpendidikan rendah,
tidak bekerja (sebagai ibu rumah tangga saja),
dan mendapatkan inisiasi menyusu dini.7
Sebanyak 75% bayi cukup bulan yang
dilakukan IMD di RS St. Carolus telah
berhasil menjalankan ASI eksklusif.
Keberhasilan ASI eksklusif yang tersebut juga
dipengaruhi keyakinan ibu terhadap produksi
ASI, dukungan keluarga, pengetahuan ibu
tentang ASI eksklusif, dan konseling ASI dari
petugas kesehatan.8 Hasil penelitian lain juga
menyatakan inisiasi menyusu dini, dukungan
tenaga kesehatan, dan dukungan suami
berhubungan dengan keberhasilan pemberian
ASI eksklusif. Dukungan tenaga kesehatan
merupakan factor paling berpengaruh terhadap
keberhasilan pemberian ASI eksklusif di
wilayah kerja Puskesmas Cilandak Jakarta.9
Banyak faktor yang memengaruhi
keberhasilan seorang ibu dalam memberikan
ASI eksklusif. Cakupan ASI tidak hanya
tergantung pada faktor ekstrinsik seperti
dukungan keluarga, dukungan tenang
kesehatan, atau fasilitas yang tersedia, tetapi
faktor intrinsik juga memegang peranan
penting. Faktor intrinsic di antaranya motivasi
diri dan tekad untuk mampu memberikan ASI
secara eksklusif pada bayinya. Pengalaman
menyusui dan informasi tentang ASI eksklusif
yang menjadi pengetahuan dapat
memengaruhi motivasi ibu dalam memberikan
ASI.10
Motivasi dari seorang ibu untuk
memberikan ASI kepada bayinya sangat
penting karena jika ibu tersebut memiliki
motivasi rendah untuk menyusui bayinya,
besar kemungkinan pelaksanaan pemberian
ASI juga menjadi rendah. Perilaku menyusui
yang tidak benar juga dapat menyebabkan
pendeknya waktu pemberian ASI. Bayi
memiliki hak untuk mendapatkan ASI mulai
lahir sampai 2 tahun kehidupannya. Kegagalan
pemberian ASI eksklusif diperparah dengan
ketidakyakinan dan ketidaksanggupan ibu
menyusi bayinya. Perilaku memberikan ASI
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA
22 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk
eksklusif salah satunya dipengaruhi oleh
motivasi ibu menyusui dalam memberikan
ASI eksklusif. Hasil penelitian menyatakan
bahwa pengetahuan dan motivasi berpengaruh
terhadap perilaku seseorang.11
Berdasarkan
uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk
mencari hubungan antara motivasi
memberikan ASI eksklusif dengan perilaku
ibu saat menyusui. Pemberian ASI dilakukan
secara langsung maupun secara tidak langsung
dengan ASI perah. Pemberian ASI perah pada
umumnya dilakukan oleh ibu menyusui yang
bekerja atau ibu yang tidak selalu berada di
dekat bayinya. Penelitian ini lebih fokus pada
motivasi memberikan ASI dan perilaku
menyusui yang tergambar selama menyusui/
teknik menyusui.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah analistik
korelasi dengan pendekatan cross-sectional.
Penelitian ini menggunakan metode survei
untuk menguji hubungan-hubungan yang
terkait antara motivasi memberikan ASI dan
perilaku ibu saat menyusui. Penelitian
dilakukan di Desa Bantul, Desa Guwosari,
Desa Bangunjiwo, dan Desa Pleret. Sumber
data berasal dari ibu menyusui yang memiliki
bayi berusia 6-12 bulan sebagai responden
karena tidak semua ibu yang melahirkan bayi
hidup mau menyusui bayinya. Alat ukur
berupa kuesiner.
Populasi penelitian ini adalah semua ibu
menyusui di Kabupaten Bantul Yogyakarta
yang berjumlah 2.176 orang. Sampel
penelitian ini adalah ibu menyusui di
Kabupaten Bantul Yogyakarta yang memiliki
bayi berusia 6-12 bulan dan tidak memiliki
riwayat penyakit yang menghalangi ibu untuk
menyusui berjumlah 202 ibu. Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara cluster
random sampling. Analisis yang dilakukan
adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis
data bertujuan untuk mencari deskripsi tiap
variabel dan hubungan antar variabel (motivasi
memberikan ASI dan perilaku ibu saat
menyusui). Uji analisis yang digunakan adalah
analisis deskripsi dan analisis korelasi Chi
Square (X2).
HASIL
Tabel 1 menyajikan data karakteristik
responden yang terdiri dari usia, pendidikan,
dan pekerjaan. Responden terbanyak berusia
21-30 tahun sebanyak 60,9%. Responden
terbanyak berpendidikan SLTA sebanyak
70,8%. Responden lebih banyak yang bekerja
(PNS, pegawai swasta, dan buruh) sebesar
56,4%.
Tabel 1. Karakteristik responden
Jenis Kriteria Jumlah Prosentase
Usia 15-20 tahun 2 1%
21-30 tahun 123 60,9%
31-40 tahun 74 36,6%
>40 tahun 3 1,5%
Pendidikan SD 9 4,5%
SLTP 39 19,3%
SLTA 143 70,8%
PT 11 5,4%
Pekerjaan Bekerja 114 56,4%
Tidak bekerja 88 43,6%
Tabel 2. Analisis Deskripsi Motivasi
Memberikan ASI dan Perilaku Ibu Saat
Menyusui N Min Max Mean S.Dev
Motivasi
MemberikanASI
1. Waktu Pemberian ASI (%)
202 33,33 100 91,91 16,81
2. Manajemen
Laktasi (%)
202 0 100 93,81 17,95
3. Simpang Siur 4. ASI (%)
202 60 100 93,56 9,98
Perilaku Ibu
Saat Menyusui
Perilaku Menyusui
(%)
202 50 100 81,83 9,60
Tabel 2 menyajikan data deskripsi motivasi
(waktu pemberian ASI, manajemen laktasi,
dan simpang siur ASI) dan perilaku saat
menyusui. Analisis deskripsi pada variabel
motivasi memberikan ASI memperlihatkan
nilai mean yang tidak terlalu jauh berbeda
pada ketiga sub pokok materi. Nilai Mean
yang tertinggi adalah sub pokok materi
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA
23 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk
Manajemen Laktasi sebesar 93,81 dengan
Standar Deviasi 17,95. Analisis deskripsi pada
variabel perilaku ibu saat menyusui diperoleh
nilai Mean 81,83 dengan Standar Deviasi 9,6
tanpa ada sub pokok materi lain.
Tabel 3. Deskripsi Faktor Agregat Sub Faktor
N Min Max Mean S.Dev
Faktor
Motivasi
Ibu (%)
202 55.56 100 93.10 8.70
Faktor
Perilaku
Menyus
ui (%)
202 50.00 100 81.83 9.60
Tabel 3 menyajikan deskripsi faktor agregat
sub faktor motivasi dan perilaku menyusui.
Sub faktor motivasi memiliki nilai Mean 93,10
yang artinya motivasi memberikan ASI masuk
dalam kategori sangat baik. Sub faktor
perilaku memiliki nilai Mean 81,83 yang
artinya perilaku ibu saat menyusui masuk
dalam kategori baik.
Tabel 4. Korelasi Motivasi Memberikan ASI
dan Perilaku Ibu Saat Menyusui
Faktor Motivasi
Ibu (%)
Faktor
Perilaku
Menyusui (%)
Faktor
Motivasi Ibu (%)
Pearson
Correlation
1 .172*
Sig. (2-tailed)
.014
N 202 202
Perilaku Menyusui
(%)
Pearson Correlation
.172* 1
Sig. (2-
tailed)
.014
N 202 202
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Tabel 4 menyajikan korelasi motivasi dan
perilaku ibu menyusui. Analisis korelasi antara
motivasi dengan perilaku didapatkan hasil
nilai r=0,172 dan p=0,014 artinya ada
hubungan bermakna antara motivasi
memberikan ASI dengan perilaku ibu saat
menyusui.
PEMBAHASAN
Tabel 1 memperlihatkan jumlah
responden paling banyak berusia 21-30 tahun
(60,9%). Rentang usia 21-30 tahun merupakan
usia produktif dan usia reproduksi sehat bagi
perempuan. Usia reproduksi sehat yang
dimaksud adalah sehat untuk mampu melalui
masa kehamilan, persalinan, nifas, dan
menjadi akseptor kontrasepsi. Rentang usia
tersebut termasuk masa dewasa muda
merupakan rentang usia dengan pertumbuhan
fungsi tubuh dalam tahap yang optimal.12,13
Responden yang berusia kurang dari
20 tahun berjumlah 1% sedang 99% lainnya
berusia lebih dari 20 tahun. Data ini
memperlihatkan bahwa masyarakat semakin
sadar bahwa usia reproduksi sehat adalah lebih
dari 20 tahun. Semakin tingginya tingkat
kesadaran masyarakat terkait usia reproduksi
sehat, maka besar kemungkinan pengendalian
angka kematian ibu dan anak. Data ini sejalan
dengan hasil penelitian di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta yang menemukan
bahwa proporsi ASI eksklusif lebih tinggi
pada kelompok ibu yang berusia lebih dari 25
tahun. Kematangan usia juga dipengaruhi oleh
faktor psikis. Faktor psikis yang positif seperti
percaya diri yang kuat, merasa yakin akan
kecukupan ASI, tidak stres dan sikap positif
terhadap perilaku menyusui berperan
mendukung keberhasilan ASI eksklusif.8
Semakin matangnya usia pasangan
suami istri dalam menjalani kehidupan rumah
tangga, maka kesadaran mengenai keluarga
berkualitas juga semakin tinggi. Salah satunya
dengan kesadaran memberikan makanan
terbaik bagi bayi untuk mendukung tumbuh
kembang. Komposisi ASI yan terdiri dari zat
gizi yang dibutuhkan bagi bayi dan untuk
mendapatkan ASI, keluarga tidak perlu
mengeluarkan biaya sehingga dapat membantu
pengaturan pengeluaran anggaran rumah
tangga. ASI mengandung kolostrum yang kaya
akan antibodi karena mengandung protein
untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman
dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI
eksklusif dapat mengurangi risiko kematian
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA
24 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk
pada bayi. ASI mengandung immunoglobulin,
protein, dan laktosa lebih sedikit dibandingkan
kolostrum tetapi lemak dan kalori lebih tinggi
dengan warna susu lebih putih. Selain
mengandung zat-zat makanan, ASI juga
mengandung zat penyerap berupa enzim
tersendiri yang tidak akan menganggu enzim
di usus.1,7,14,15
Tabel 1 memperlihatkan responden
berpendidikan SLTA dan PT berjumlah
76,2%. Prosentase tersebut memperlihatkan
bahwa perempuan yang memasuki usia
reproduksi tahap menyusui mempunyai
pendidikan lanjut. Tingkat pendidikan sering
dikaitkan dengan kemampuan seseorang
menerima, melakukan, dan mengembangkan
informasi agar kehidupannya lebih berkualitas.
Dalam hal ini kemampuan seorang ibu untuk
memberikan makanan terbaik bagi bayinya
berupa ASI saja selama 6 bulan dan
dilanjutkan sampai usia anak 2 tahun.12
Salah
satu penelitian menemukan ibu dengan
pendidikan menengah ke atas mampu mencari
pengetahuan dan wawasan mengenai ASI
melalui situs internet, komunitas jejaring
sosial. Komunitas sosial tersebut menjadi
salah satu wahana bagi ibu untuk berbagi
informasi mengenai ASI dan berdiskusi
mengenai masalah ataupun kesulitan selama
menyusui.8
Komunitas pendukung ibu dalam
memberikan ASI juga merupakan salah satu
solusi jika selama menyusui ditemukan
masalah. Kelompok Pendukung Ibu (KP-Ibu)
merupakan peer-support (kelompok sebaya),
bukan kelas edukasi/penyuluhan. KP-Ibu
muncul karena penyuluhan telah banyak
dilakukan tetapi tidak dapat meningkatkan ASI
eksklusif. Pengetahuan tidak cukup mengubah
perilaku dalam memberikan ASI, sehingga ibu
membutuhkan keterampilan dan dukungan
(kepercayaan, penerimaan, pengakuan, dan
penghargaan) terhadap perasaan-perasaan ibu
menyusui. Suasana saling memberi dukungan
lebih mudah terbangun dalam kelompok
sebaya yang mempunyai pengalamandan
situasi lingkungan yang sama.7
Tabel 1 memperlihatkan 56,4% ibu
yang menjadi responden merupakan ibu
bekerja (PNS, pegawai swasta, dan buruh). Ibu
yang bekerja dituntut untuk mempu mengatur
antara pemberian ASI dan pekerjaan tidak
saling mengganggu. Pengaturan waktu untuk
hal-hal tersebut tidak dapat dianggap mudah.
Hal ini terlihat dari hasil penelitian di antara
27 informan yang bekerja sebagai buruh hanya
2 informan yang berhasil memberikan ASI
eksklusif. Kegagalan tersebut disebabkan
beberapa hal. Pengetahuan tentang
menyimpang ASI dan tata laksana pemberian
ASI di tempat kerja, ketersediaan fasilitas dan
sarana ASI, serta dukungan atasan kerja dan
tenaga kesehatan merupakan sejumlah faktor
(predisposing, enabling, dan reinforcing) yang
berperan dalam keberhasilan pemberian ASI
eksklusif di tempat kerja buruh industri tekstil
di Jakarta.14
Suatu hasil penelitian determinan
perilaku pemberian ASI eksklusif pada ibu
bekerja memperlihatkan bahwa 62,5%
responden memberikan ASI eksklusif. Alasan
responden berhenti menyusui eksklusif bukan
karena bekerja melainkan karena ASI sedikit.
Hasil analisis multivariat ditemukan bahwa
variabel umur, sikap, dukungan pengasuh, dan
ketersediaan fasilitas berhubungan dengan
perilaku pemberian ASI eksklusif.16
Pernyataan sedikitnya ASI yang
diproduksi tidak lepas dari sikap ibu. Rasa
percaya diri seorang ibu mampu memberikan
ASI eksklusif merupakan modal penting dalam
keberhasilan proses menyusui. Sikap yang
muncul juga dipengaruhi oleh motivasi. Hasil
penelitian menyatakan bahwa ibu yang
menyusui eksklusif memiliki motivasi
intrinsik dan ekstrinsik yang tinggi
dibandingkan ibu yang tidak menyusui
eksklusif. Motivasi instrinsik terdiri dari
tanggung jawab, harapan masa depan, menjadi
contoh, pengakuan dari orang lain, dan
memperluas pergaulan. Motivasi ekstrinsik
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA
25 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk
terdiri dari kebijakan atau program, fasilitas,
anjuran dukungan, dan tenaga kesehatan ahli
dan ramah.13,16
Deskripsi motivasi dalam penelitian
ini tercantum pada tabel 2. Nilai mean dari
ketiga sub pokok motivasi menyusui tidak
jauh berbeda. Semua bernilai di atas 90
dengan maksud motivasi dalam menyusui
terkategori tinggi. Tingginya motivasi ini
dapat menjadi daya dorong seorang ibu
memiliki perilaku untuk menyusui bayinya.
Terlaksananya perilaku menyusui maka besar
kemungkinan pemberian ASI dapat
berkesinambungan sampai anak berusia 2
tahun. Tabel 3 menyajikan data bahwa nilai
motivasi dan perilaku berkategori tinggi. Data
tersebut menjadi komponen pendukung untuk
analisis korelasi motivasi dan perilaku.
Hasilnya ada hubungan antara motivasi
memberikan ASI dengan perilaku menyusui
(tabel 4). Kedua variabel tersebut saling terkait
dari motivasi akan terlihat perilaku.
Motivasi yang muncul diharapkan
muncul dan mendukung terbentuknya perilaku
untuk mampu menyusui anaknya. Jika
seseorang tidak memiliki motivasi untuk
menyusui bayinya maka orang tersebut juga
tidak ingin memiliki perilaku menyusui
bayinya, meskipun di dalam penelitian ini
hasil analisis menyatakan bahwa tidak ada
kaitannya antara motivasi dengan perilaku.
Motivasi diri memengaruhi perilaku
seseorang. Motivasi menjadi pendorongan atau
usaha yang disadari memengaruhi tingkah laku
seseorang agar hatinya tergerak bertindak
melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil
atau tujuan tertentu.17
Hasil penelitian lain menemukan
bahwa motivasi instrinsik dan ekstrinsik ibu
menyusui secara eksklusif lebih tinggi
daripada ibu yang tidak menyusui secara
eksklusif. Penelitian tersebut memisahkan 2
kelompok ibu yang dapat memberikan ASI
eksklusif dan yang tidak eksklusif. Kedua
kelompok tersebut setelah diteliti lebih dalam
ibu yang menyusui eksklusif memiliki
motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik
yang lebih tinggi. Motivasi yang tinggi juga
didukung oleh lain di antaranya tenaga
kesehatan.13
Hasil temuan dalam penelitian ini
berbeda dengan penelitian di wilayah
Puskesmas Cilandak Jakarta. Penelitian di
wilayah Puskesmas Cilandak Jakarta
menemukan bahwa tidak ada hubungan
bermakna antara motivasi diri dengan
keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Tidak
ada hubungan keduanya karena responden
penelitian di wilayah Puskesmas Cilandak
Jakarta masih beranggapan bahwa ASI mereka
masih kurang untuk kebutuhan bayi dan
kebiasaan memberikan makanan selain ASI
pada usia kurang dari 6 bulan telah dilakukan
turun menurun. Pemahaman tersebut
diperberat dengan menyatakan bahwa
pemberian makanan selain ASI pada usia
kurang dari 6 bulan tidak pernah timbul
masalah selama ini.9
Anggapan tersebut banyak dialami
oleh ibu menyusui dan menjadi pekerjaan
besar bagi tenaga kesehatan agar konsep yang
tertanam dapat berubah menjadi konsep baru
bahwa hanya ASI saja makanan terbaik baik
bagi bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dan
pemberian ASI dilanjutkan sampai anak usia 2
tahun dengan ditambah makanan pendamping
ASI.
Dukungan bagi ibu menyusui sangat
penting agar keberlanjutan sehingga anak
disusui sampai usia 2 tahun. Dukungan
keluarga terutama suami berupa dukungan
emotional (rasa empati, cinta, kepercayaan,
dan motivasi), dukungan informational
(wacana pengetahuan pemberian ASI
eksklusif), dukungan indtrumental
(ketersediaan sarana dan dana memudahkan
ibu memberikan ASI eksklusif), dan dukungan
appraisal (penghargaan atas usaha yang
dilakukan ibu untuk memberikan ASI
eksklusif).9
Dukungan dari tenaga kesehatan
juga dapat meningkatkan motivasi ibu untuk
memberian ASI eksklusif (motivasi eksternal).
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA
26 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk
Salah satu hasil penelitian menemukan bahwa
kedudukan tenaga kesehatan sangat penting.
Hal ini bisa jadi karena pengaruh pemahaman
warga terhadap kedudukan tenaga kesehatan.
Tingginya kedudukan tenaga kesehatan dalam
pemahaman warga dapat dioptimalkan agar
program ASI eksklusif dapat sukses.
Dukungan dari tempat kerja juga berperan
dalam memotivasi ibu untuk memberikan ASI
eksklusif. Ketersediaan ruangan, wastafel, dan
peralatan untuk memerah serta penyimpan ASI
(pompa ASI, botol ASI, kulkas, alat steril
botol, cooler bag).14
Motivasi dan perilaku seseorang juga
bisa muncul dari pergaulan seseorang dengan
orang lain, terlebih lagi motivasi dapat muncul
dari sekelompok orang yang memiliki niat
untuk mendukung ibu menyusui memberikan
ASI sebagai makanan bergizi bagi bayinya
sampai bayi berusia 24 bulan. Kelompok
tersebut disebut dengan Kelompok Pendukung
ASI (KP-ASI) atau KP-Ibu. KP-ASI
merupakan kumpulan beberapa orang yang
mengalami situasi yang sama atau memiliki
tujuan yang sama, yang bertemu secara rutin
untuk saling menceritakan kesulitan,
keberhasilan, informasi dan ide berkaitan
dengan situasi yang dihadapi atau upaya
mencapai tujuan yang diinginkan.7,18
KESIMPULAN
Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa
ada hubungan bermakna antara motivasi ibu
memberikan ASI dengan perilaku ibu saat
menyusui. Konstinuitas ibu memberikan ASI
kepada bayinya membutuhkan dukungan dari
pihak lain. Dukungan dari keluarga, tenaga
kesehatan, dan tempat bekerja jika ibu
menyusui berstatus bekerja sangat dibutuhkan
untuk ibu menyusui guna menyukseskan
program ASI eksklusif.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Suraatmaja, S., 1997, ASI Petunjuk untuk
Tenaga Kesehatan, Editor: Soetjiningsih,
EGC, Jakarta
[2] World Health Organization, 2009, Infant
and Young Child Feefing (IYCT) Model
Chapter for Textbook for Medical
Students and Alied Health Professionals,
World Health Organization, Switzerland
[3] Setegn, T., Belachew, T., Gerbaba, M.,
Deribe, K., Deribrew, A., Biadgilign, S.,
2012. Factors Associated with Exclusive
Breasfeeding Practices Among Mothers in
Goba District, South East Ethiopia: A
Cross-Sectional Study, International
Breastfeeding Journal, No. 17, Vol. 7, 1-8
[4] Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013, Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan, R.I., Jakarta.
[5] Nurmiati, Besral, 2008, Pengaruh Durasi
Pemberian ASI terhadap Ketahanan
Hidup Bayi di Indonesia, Makara
Kesehatan, No. 2, Vol. 12, 47-52
[6] Dinas Kesehatan Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2015, Profil Kesehatan
Daerah Istimewa Yogyakarta 2015, Dinas
Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Yogyakarta
[7] Susilo, J., Kurdanti, W., Siswati, T., 2012,
Hubungan Program Kelompok
Pendukung Ibu Terhadap Pengetahuan
dan Praktik Pemberian ASI Eksklusif,
Gizi Indon, No. 1, Vol. 35, 30-40
[8] Fahriani, R., Rohsiswatmo, R., Hendarto,
A., 2014, Faktor yang Memengaruhi
Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi
Cukup Bulan yang Dilakukan Inisiasi
Menyusu Dini, Sari Pediatri, No. 6, Vol.
15, 394-402.
[9] Azriani, D., Wasnidar, 2014, Keberhasilan
Pemberian ASI Eksklusif, Jurnal Health
Quality, No. 2, Vol. 4, 77-83.
[10] Racine, E. F., Friock, K. D., Strobino, D.,
Laura M., Carpenter, L. M., Milligan, R.,
Pugh, L. C., 2011, How Motivation
Influences Breastfeeding Duration Among
Low Income Women. J Hum Lact, No. 2,
Vol. 25, 173-181
[11] Suharti, S., 2010, Hubungan Pengetahuan
dan Sikap dengan Perilaku Kepala
Keluarga dalam Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah (di Wilayah
Kerja Puskesmas Loa Ipuh Kabupaten
MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA
27 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk
Kutai Kartanegara), Laporan Penelitian
Tugas Akhir
[12] Kusuma, R., Ariningtyas, R., 2015,
Hubungan Pengetahuan tentang ASI
dengan Perilaku Ibu Saat Menyusui di
Kabupaten Bantul, Media Ilmu
Kesehatan, No. 3, Vol. 4, 7-14
[13] Armini, N. W., Somoyani, N. K., Budiani,
N. N., 2015, Perbedaan Motivasi
Instriksik dan Motivasi Ekstrinsik dalam
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) oleh Ibu
Menyusui Eksklusif dengan Ibu Menyusui
Tidak Eksklusif, Jurnal Skala Husada,
No. 1, Vol. 12, 8-14
[14] Rizkianti, A., Prasodjo, R., Novianti,
Saptarini, I., 2014, Analisis Faktor
Keberhasilan Praktik Pemberian ASI
Eksklusif di Tempat Kerja pada Buruh
Insdustri Tekstil di Jakarta, Bul. Penelit.
Kesehat, No. 4, Vol. 42, 237-248
[15] Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2015, Profil Kesehatan
Indonesia 2015, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
[16] Abdullah, G. I., Ayubi, D., 2013.
Determinan Perilaku Pemberian Air Susu
Ibu Eksklusif pada Ibu Bekerja. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, No. 7,
Vol. 7, 298-303
[17] Purwanto, M. N., 2007, Psikologi
Pendidikan, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
[18] Tim, 2015, Gelar Kelompok Pendukung
ASI,.http://www.tubankab.go.id/public/c_
news/news_detail/356.shtml tertanggal 15
Juni 2015 diunduh 30 Oktober 2015
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Siti Arifah PISSN 2620-8040 28
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH
PADA LANSIA DI BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA
ABIYOSO YOGYAKARTA
Siti Arifah S.Kep. Ns, M.Kes
Prodi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta
ABSTRAKS
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA. Memasuki usia tua
akan mengalami kondisi kemunduran fisik, salah satu masalah fisik yang dapat mengakibatkan
kecacatan atau kematian. Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan proyeksi pusat
tubuh pada landasan penunjang baik saat berdiri, duduk, transit dan berjalan Jatuh adalah kejadian
tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang terbaring atau terduduk di lantai.
Kejadian jatuh sebagai dampak langsung dari gangguan keseimbangan. Metode yang telah
dikembangkan untuk menilai gangguan keseimbangan dan cara berjalan adalah Berg Balance Scale
(BBS). Tujuan Mengetahui hubungan keseimbangan tubuh dengan frekuensi jatuh pada lansia di Balai
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Abiyoso Yogyakarta. Jenis penelitian ini merupakan penelitian
Observasional analitikdengan rancangan cross sectional. Sampel pada penelitian ini adalah 44 orang
yang memenuhi kriteria inklusi yang diambil dari Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdah Abiyoso
Yogyakarta. Pengambilan sampel menggunakan Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel
dengan pertimbangan tertentu. Data yang di kumpulkan kemudian di analisis menggunakan uji
statistik Kendall’s tau. Instrumen yang di gunakan pada penelitian adalah lembar observasi yang di
dapat dari adobsi dari penelitian sebelumnya.Berdasarkan 44 subjek penelitian menunjukkan
mayoritas lansia usia 75-90 tahun sebanyak 22 (50,0%), berjenis kelamin perempuan sebanyak 30
(68,2%), sedangkan sebagian besar responden memiliki keseimbangan tubuh resiko jatuh rendah yaitu
34 responden (77,3%), dan sebagian besar responden memiliki frekuensi jatuh sedang yaitu sebanyak
20 responden (45,5%), Sedangkan dari hasil uji statistik Kendall-Tau diperoleh p-value 0,013
(p<0,05) yaitu Ada hubungan yang signifikan antara keseimbangan tubuhdengan frekuensi jatuh.
Kata kunci: Lanjut usia, Resiko jatuh, Keseimbangan tubuh, Frekuensi jatuh.
PENDAHULUAN
Menua atau menjadi tua adalah
suatu keadaan yang terjadi secara alami di
dalam kehidupan manusia. Menurut World
Health Organization (WHO) dalam
Health in South East-Asia tahun 2010 [1].
Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia, yang dimasuk
dengan lanjut usia (lansia) adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
29 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
tahun ke atas. Jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2015 sebanyak ± 255.461.686
jiwa, dengan jumlah penduduk yang
tinggal di pedesaan sebanyak ±
119.018.460 jiwa (46,6%) dan yang
tinggal di perkotaan sebanyak
136.443.226 jiwa. Indonesia adalah
termasuk negara memasuki era penduduk
berstruktur lanjut usia (aging structured
population) karena jumlah penduduk yang
berusia 60 tahun keatas sekitar 7,18% [2].
Yogyakarta menempati posisi tertinggi
dengan persentasi jumlah lansia di atas
rata-rata nasional pada tahun 2010 jumlah
lansia di Yogyakarta tersebut 12,48%.
Pada tahun 2014 jumlah lansia di
Yogyakarta mencapai 15% secara nasional
dengan usia harapan hidup sebesar 75,5
tahun.
Usia harapan hidup menempati
perngkat tertinggi di Indonesia [3]. Lanjut
usia adalah seseorang yang karena usianya
yang lanjut yang mengalami perubahan
biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial.
Perubahan ini akan memberikan pengaruh
pada seluruh aspek kehidupan, termasuk
kehidupannya [4]. Memasuki usia tua
akan mengalami kondisi kemunduran fisik
yang ditandai dengan kulit mengendur,
rambut memutih, gigi ompong,
pendengaran kurang jelas, penglihatan
semakin memburuk, gerakan lambat, dan
gerakan tubuhyang tidak proporsional.
Selain itu lansia juga akan mengalami
kemunduran kemampuan kognitif, serta
psikologis, artinya lansia mengalami
perkembangan dalam bentuk perubahan-
perubahan yang mengarah pada perubahan
yang negatif. Akibatnya perubahan fisik
lansia akan mengalami gangguan
mobilitas fisik yang akan membatasi
kemandirian lansia dalam memenuhi
aktifitas sehari-hari [5]. Salah satu
masalah fisik yang dapat mengakibatkan
kecacatan atau kematian yang sering
terjadi pada lansia yang harus dicegah dan
perlu mendapatkan perhatian dari
masyarakat keperawatan adalah jatuh,
sebab kecelakaan dan jatuh merupakan
masalah yang sering menyebabkan
kecacatan, cidera, depresi, dan cidera fisik
terhadap lansia, karena bertambahnya usia
kondisi fisik, mental, dan fungsi tubuh
pun menurun [6].
Kejadian jatuh sebagai dampak
langsung dari gangguan keseimbangan
dapat diminimalisasi dengan mengenal
faktor risiko gangguan keseimbangan.
Faktor tersebut terdiri dari faktor internal
dan eksternal. Faktor internal yang
berhubungan dengan gangguan
keseimbangan adalah usia, jenis kelamin,
pekerjaan, gangguan afektif dan
psikologis, penyakit kardiovaskuler,
gangguan metabolik, gangguan
muskuloskeletal, gangguan neurologis,
abnormalitas sensori, aktivitas fisik,
penggunaan medikasi tertentu berjumlah 4
jenis atau lebih seperti antiaritmia,
diuretik, digoxin, narkotik, antikonvulsan,
psikotropik, antidepresan [6].
Berdasarkan survei di masyarakat
Indonesia terdapat sekitar 30% lansia
berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap
tahunnya. Separuh dari angka tersebut
mengalami jatuh berulang, lima persen
dari penderita jatuh ini mengalami patah
tulang atau memerlukan perawatan di
rumah sakit [5].
Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti di
Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Abiyoso yogyakarta bahwasannya belum
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
30 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
pernah dilakukan penelitian tentang
hubungan keseimbangan tubuh dengan
frekuensi jatuh pada lansia. Maka dari
hasil studi pendahuluan diatas peneliti
tertarik untuk meneliti tentang hubungan
keseimbangan tubuh dengan frekuensi
jatuh pada lansia.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian observasional analitik dengan
rancangan cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh lansia berusia
60 tahun ke atas yang tinggal di Balai
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Abiyoso
Yogyakarta yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Sebanyak 100 orang
lansia. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan purposive
sampling dan menggunakan rumus besar
sampel slovin, didapatkan 44 responden.
Analisa data menggunakan analisis
univariat dan bivariat dengan Kendall’s
Tau. Variabel independen penelitian ini
yaitu keseimbangan tubuh, sedangkan
dependent yaitu perilaku frekuensi jatuh.
Instrumen dalam penelitian ini
menggunakan lembar lembar observasi
dan kuesioner.
HASIL
Responden dalam penelitian ini
adalah lansia yang tinggal menetap di
lingkungan Balai Pelayanan Sosial Tresna
Werdha Abiyoso Yogyakarta, yang
memenuhi standar krikteria. Secara
lengkap karakteristik responden akan
disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan
Karakteristik Responden di Balai
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit
Abiyoso Yogyakarta.
Karakteristik F (%) Responden
Karakteristik
Responden
Frekuensi Presentase
60-70 21 47,7%
Usia 75 -90 22 50,0%
>90 1 2,3
Jenis
Kelamin
Laki-Laki 14 31,8
Perempuan 30 68,2
Total 44 100
Sumber: Data Primer Tahun 2017
Berdasarkan Tabel 1 diatas
menunjukkan bahwa sebagian besar
responden berusia 75-90 tahun yaitu
sebanyak 22 responden (50,0%).
Sedangkan pada Karakteristik jenis
kelamin perempuan lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki yaitu
sebesar 30 responden (68,2%). Hal ini di
karenakan semakin bertambahnya usia
maka akan semakin berkurangnya fungsi
tubuh. Penelitian ini didukung oleh
penelitian dari Valentine Meril “Pengaruh
senam lansia terhadap keseimbangan
tubuh pada lansia di lingkungan dajan
bingin sading” yang menyatakan bahwa
sebagian besar responden 60-64 tahun
yang berjumlah 10 orang (37%) dari 27
responden yang diteliti. Hal tersebut
terjadi karena adanya akumulasi radikal
bebas dalam tubuh yang semakin
menumpuk seiring dengan meningkatnya
usia, sehingga menyebabkan degenerasi
sel dan kerusakan jaringan yang
mempengaruhi kemampuan fungsional
tubuh, salah satunya penurunan kekuatan
otot penopang tubuh yang berfungsi
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
31 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
sebagai efektor dan berperan dalam
pengaturan mekanisme keseimbangan
tubuh melalui ankle strategy, hip strategy,
dan stepping strateg). Untuk
mempertahankan kekuatan otot agar tetap
optimal dapat dilakukan melalui olahraga
teratur dan memadukan gerak dengan
latihan kekuatan otot dan kelenturan
seperti senam lansia. Gerakan-gerakan
senam lansia akan memicu kontraksi otot,
sehingga sintesis protein kontraktil otot
berlangsung lebih cepat dari
penghancurannya. Hal ini meningkatkan
filamen aktin dan miosin di dalam
miofibril sehingga massa otot bertambah.
Peningkatan ini disertai dengan
peningkatan komponen metabolisme otot
yaitu ATP yang berdampak pada
peningkatan kekuatan otot.
Kekuatan otot optimal akan
membantu lansia mempertahankan
keseimbangan tubuhnya melalui strategi
postural [7]. Usia berhubungan dengan
keseimbangan karena terjadi perubahan
fungsi tubuh yang menyebabkan
keseimbangan menurun. Banyak lansia
yang tidak tahu mengenai perubahan yang
terjadi pada tubuhnya dan hanya
membiarkannya saja atau pasrah. Lansia
hendaknya dapat mencegah kondisi
tubuhnya menjadi lebih menurun dan
mepertahankan fungsi tubuhnya dengan
baik. Oleh karena itu, lansia perlu
diberikan edukasi mengenai perubahan
pada tubuhnya yang dapat mempengaruhi
keseimbangan sehingga lansia dapat
mencegah kejadian jatuh [7]. Hasil
Kemenkes R.I Tahun 2014, didapatkan
bahwa jumlah dimungkinkan karena usia
harapan hidup lansia perempuan lebih
banyak dibandingkan dengan laki - laki,
hal ini karena usia harapan hidup
perempuan lebih tinggi dari laki-laki.
Secara fisik keadaan dan ketahanan tubuh
laki-laki dan perempuan berbeda
disebabkan oleh struktur hormon yang
berbeda. Hormon estrogen memperkuat
sistem kekebalan tubuh, membuat
perempuan lebih tahan terhadap infeksi.
Hal ini yang membuat usia harapan hidup
lebih tinggi, sehingga jumlah perempuan
lebih banyak dari pada laki-laki [1].
Penelitian ini didukung oleh
penelitian dari Achmanagara Andriyani
Ayu yaitu Persentase lansia perempuan
lebih banyak dari pada laki-laki. Dimana
gangguan keseimbangan lebih banyak
ditemukan pada lansia perempuan
dibanding laki-laki. Lansia laki-laki
sebagian besar bekerja di luar rumah
sedangkan perempuan lebih banyak di
rumah atau sebagai ibu rumah tangga
sehingga dapat mengikuti aktivitas
posyandu lansia di Desa Pamijen. Kader
posyandu lansia di Desa Pamijen
mengatakan bahwa lansia perempuan
lebih sering datang ke posyandu lansia
untuk mengikuti kegiatannya dibanding
lansia laki-laki. Secara hormonal, lansia
wanita mengalami menopouse dimana
terjadi penurunan hormon estrogen yang
dapat mengakibatkan tulang kehilangan
kalsium sehingga mempengaruhi
keseimbangan. Lansia wanita juga lebih
mengalami berkurangnya kekuatan otot,
kekuatan genggaman tangan, kelemahan
otot ekstremitas bawah, dan berkurangnya
kemampuan dalam mengembalikan
stabilitas tubuh sehingga mengurangi
keseimbangan. Lansia wanita memiliki
sedikit kontrol muskular dan langkah yang
sempit sedangkan lansia laki-laki berjalan
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
32 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
dengan sedikit ayunan lengan, penurunan
tinggi langkah, langkah yang pendek, dan
posisi kepala dengan tubuh menjadi lebih
fleksi. Perubahan tersebut dapat
mempengaruhi keseimbangan dan
meningkatkan risiko jatuh. Masalah
keseimbangan sering terjadi pada lansia
wanita juga karena dihubungkan dengan
perubahan gaya hidup, metabolik istirahat,
dan lemak tubuh yang terjadi pada lansia
wanita. Lansia wanita biasanya lebih
memilih aktivitas di dalam rumah
daripada laki-laki yang bekerja di luar
rumah dimana aktivitas di luar rumah
seperti bekerja intensitasnya lebih banyak.
Lemak tubuh dapat mempersulit posisi
pada landasan penunjang yang dapat
menjaga keseimbangan [8].
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Keseimbangan Tubuh di
Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Unit Abiyoso Yogyakarta.
Keseimbangan
Tubuh
Frekuensi Presentase
Resiko jatuh
tinggi
3 6,8
Resiko jatuh
sedang
7 15,9
Resiko Jatuh
Rendah
34 77,3
Total 44 100
Sumber: Data Primer Tahun 2017
Berdasarkan tabel 2 hasil analisis
uji statistik didapatkan distribusi frekuensi
keseimbangan tubuh pada lansia
menunjukan bahwa sebagian besar
responden yang memiliki keseimbangan
tubuh resiko jatuh rendah yaitu 34
responden (77,3%). Ini menunjukkan
bahwa lansia sudah mengenal dan
memahami dari faktor-faktor yang
mempengaruhi keseimbangan tubuh
sehingga akan mengurangi resiko jatuh.
Hasil penelitian ini didukung oleh
penelitian dari Valentine Meril yang
menyatakan bahwa sebagian besar
responden memiliki keseimbangan baik
dengan skor 41 - 56 sebanyak 14
responden (51,9%) dari 27 responden
yang diteliti [7]. Keseimbangan adalah
kemampuan untuk mempertahankan
proyeksi pusat tubuh pada landasan
penunjang baik saat berdiri, duduk, transit
dan berjalan [9].
Kejadian jatuh sebagai dampak
langsung dari gangguan keseimbangan
dapat diminimalisasi dengan mengenal
faktor risiko gangguan keseimbangan.
Faktor tersebut terdiri dari faktor internal
dan eksternal. Faktor internal yang
berhubungan dengan gangguan
keseimbangan adalah usia, jenis kelamin,
pekerjaan, gangguan afektif psikologis,
penyakit kardiovaskuler, gangguan
metabolik, gangguan muskuloskeletal,
gangguan neurologis, abnormalitas
sensori, aktivitas fisik, penggunaan
medikasi tertentu berjumlah 4 jenis atau
lebih seperti antiaritmia, diuretik, digoxin,
narkotik, antikonvulsan, psikotropik,
antidepresan [6]. Faktor eksternal adalah
lingkungan dan penggunaan alat bantu
jalan, Lingkungan merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi keseimbangan dan
berkontribusi pada risiko jatuh. Kejadian
jatuh di dalam ruangan lebih sering terjadi
di kamar mandi, kamar tidur dan dapur.
Sekitar 10% kejadian jatuh terjadi di
tangga terutama saat turun karena lebih
berbahaya dari pada saat naik tangga [10].
Penggunaan alat bantu jalan dalam jangka
waktu lama dapat mempengaruhi
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
33 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
keseimbangan sehingga dapat
menyebabkan jatuh. ukuran, tipe dan cara
menggunakan alat bantu jalan seperti
walker, tongkat kursi roda dan kruk
berkontribusi menyebabkan gangguan
keseimbangan dan jatuh [11].
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Frekuens jatuh di Balai
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Abiyoso
Yogyakarta.
Frekuensi
Jatuh
Frekuensi Presentase
Tinggi 14 31,8
Sedang 10 45,5
Rendah 20 27,7
Total 44 100
Sumber: Data Primer Tahun 2017
Berdasarkan tabel 3 diatas Hasil
Analisis Uji statistik didapatkan distribusi
frekuensi jatuh pada lansia sebagian besar
responden memiliki frekuensi jatuh
sedang yaitu sebanyak 20 responden
(45,5%). Ini di karenakan lansia lebih
sering melakukan latihan keseimbangan di
Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Abiyoso Yogyakarta sehingga akan
mengurangi resiko untuk jatuh. Hasil
penelitian ini di dukung oleh penelitian
dari Nurkuncoro Danar Irawan yang di
mana setelah dilakukan pemeriksaan atau
postest kembali pada lansia yang
mengalami risiko jatuh, menunjukan
lansia yang tidak lagi mengalami risiko
jatuh berjumlah 18 lansia (90%)
sedangkan 2 lansia (10%) masih
mengalami risiko jatuh. Kondisi tersebut
mengindikasikan bahwa terdapat
perubahan atau penurunan jumlah lansia
yang memiliki risiko jatuh, sehingga dapat
dijelaskan bahwa perlakuan latihan
keseimbangan berpengaruh terhadap
kondisi lansia yang memiliki risiko jatuh.
Latihan keseimbangan membuat jumlah
lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budhi
Luhur yang memiliki risiko jatuh juga
menurun dibandingkan dengan jumlah
lansia yang memiliki risiko jatuh sebelum
dilakukan intervensi. Dari hasil penelitian
didapatkan pula tanggapan dari lansia
yang diberikan intervensi. Responden
mengatakan bahwa setelah berlatih latihan
keseimbangan, mereka juga mempraktikan
latihan keseimbangan dikamar secara
mandiri. Para lansia juga mengatakan
perasaan nyaman dengan otot-otot yang
sudah tidak kaku lagi membuat mereka
lebih rilek, nyaman, dan tidak takut
melakukan aktivitas sehari-hari berjalan,
menyapu lantai, menjemur pakaian dan
lain-lain.
Selain itu, keseimbangan tubuh
lansia dirasakan lebih baik sehingga jika
berjalan risiko jatuh bisa diminimalisir.
Kejadian jatuh pada lansia setelah
diberikan perlakuan latihan keseimbangan
selama tiga minggu tidak dilaporkan lagi.
Lansia selalu bersemangat menanti waktu
tiap adanya jadwal latihan keseimbangan
[6]. Hasil penelitian ini juga oleh
penelitian dari Waras Mulkin yang
menunjukkan bahwa besar lansia yang
berjenis kelamin perempuan memiliki
resik jatuh rendah sebanyak 42 responden
(49,4%) [12]. Ini di karenakan lansia yang
berjenis kelamin perempuan lebih banyak
melakukan aktifitas sehari-hari seperti
bertani, berdagang, mengikuti kegiatan
untuk lansia danlain sebagainya dari pada
lansia yang berjenis kelamin laki-laki.
Jatuh dapat mengakibatkan cedera dan
lain sebagainya [13]. Menurut Jusminar
penyebab jatuh diakibatkan karena
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
34 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
beberapa faktor yaitu sistem sensorik,
sistem syaraf pusat, kognitif, dan sistem
musculoskeletal dan jatuh merupakan
suatu kejadian yang dialami seseorang
dikarenakan oleh faktor usia [14].
Menurut Kurniawan faktor-faktor
yang mempengaruhi resiko jatuh pada
lansia ada dua yaitu intrinsik dan
eksterinsik, intrinsik antara lain penyakit
jantung, gangguan sistem anggota gerak,
kelemahan otot-otot dan lain sebagainya,
sedangkan ekstrinsik antara lain
cahaya,ruangan yang licin, dan ruangan
yang gelap [15].
Tabel 4 Crosstabulation Hubungan
keseimbangan tubuh dengan frekuensi
jatuh pada lansia di Balai Pelayanan Sosial
Tresna Werdha Abiyoso Yogyakarta.
Frekuensi Jatuh P-
Value
Keseimban
gan
Tubuh
T S R
F % F % F %
Resi
ko
Jatuh
Tinggi
2 4,5 1 2,3 3 6,8 0,013
Resi
ko
Jatuh
Seda
ng
4 9,1 3 6,8 7 15,
9
Resi
ko
Jatuh
Ren
dah
8 18,
2
1
6
36,
4
3
4
77,
3
Total 14
31,8
20
45,5
44
100
Sumber: Data Primer Tahun 2017
Berdasarkan Tabel 4 di atas hasil
uji statistik terhadap 44 responden,
didapatkan sebagian besar responden yang
memiliki keseimbangan tubuh resiko jatuh
rendah dengan frekuensi jatuh sedang
yaitu sebanyak 16 responden (36,4%), Hal
ini karena yang ada di Balai Pelayanan
Sosial Tresna Werdha Abiyoso
Yogyakarta lebih memperhatikan gaya
berjalan dan keseimbangan tubuh
sehingga dapat meminimalisir untuk tidak
terjadinya jatuh. Hasil penelitian ini di
dukung oleh penelitian dari Nurkuncoro
Danar Irawan yang di mana pengaruh
latihan keseimbangan terhadap risiko jatuh
yang menyatakan bahwa latihan atau
terapi fisik yang dilaksanakan secara
bertahap dan teratur akan mengurangi
risiko jatuh dengan meningkatkan
kekuatan tungkai dan tangan,
memperbaiki keseimbangan, koordinasi,
dan meningkatkan reaksi terhadap bahaya
lingkungan [6]. Pada usia lanjut sering
kali terjadi penurunan mobilitas fisik.
Gangguan mobilitas fisik biasanya
ditandai dengan gangguan motorik halus
dan motorik kasar, ketidakstabilan
postural, perubahan gaya berjalan,
pergerakan melambat, untuk mencegah
hal tersebut dapat dilakukan latihan fisik
untuk meningkatkan secara signifikan
keseimbangan dan mobilitas fisik lansia
jika dibandingkan dengan kontrol. Hal
tersebut dikarenakan adanya interaksi
yang kompleks antara sistem
muskuloskeletal dengan sistem syaraf
[16].
Hasil analisis data dengan
menggunakan uji kolerasi Kendall’s Tau
didapatkan nilai p-Value 0,013, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
keseimbangan tubuh dengan frekuensi
jatuh pada lansia di Balai Pelayanan Sosial
Tresna Werdha Abiyoso Yogyakarta. Hal
ini dikarenakan lansia yang dengan
keseimbangan tubuh yang kurang akan
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
35 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
sangat mempengaruhi terjadinya resiko
untuk jatuh. Hasil penelitian ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh
Astriyana Sevy dengan Uji Paired Sample
T-Test, menunjukkan bahwa ada pengaruh
latihan keseimbangan terhadap risiko jatuh
di Posyandu lansia Ngadisono Kadipiro
Surakarta dengan p-value (0,001) (17).
Hasil penelitian ini juga didukung oleh
Farabi Aristo yaitu Hubungan Tes “Timed
Up And Go” Dengan Frekuensi Jatuh
Pasien Lanjut Usia dengan hasil setelah
dilakukan uji korelasi Spearman
menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara waktu tes-TUG dengan
frekuensi jatuh dengan nilai korelasi
(r=0,677) [5]. Jatuh terjadi ketika sistem
kontrol postural tubuh gagal mendeteksi
pergeseran dan tidak mereposisi pusat
gravitasi terhadap landasan penopang pada
waktu yang tepat untuk menghindari
hilangnya keseimbangan. Keseimbangan
dapat pula terganggu oleh karena adanya
penyakit dan obat-obatan. Semua
perubahan tersebut dapat berperan untuk
terjadinya jatuh, terutama pada
kemampuan untuk mencegah terjadinya
jatuh manakala terpeleset atau
menghadapi situasi lingkungan yang
membahayakan [5]. Faktor-faktor yang
mempengaruhi keseimbangan antara lain
pusat gravitasi, garis gravitasi, bidang
tumpu[18].
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini,
antara lain:
1. Sebagian besar responden yang tinggal
di Balai Pelayanan Sosial Tresna
Werdha Abiyoso Yogyakarta berusia
75-90 tahun sebanyak 22 responden
(50,0%).
2. Sebagian besar responden yang tinggal
di Balai Pelayanan Sosial Tresna
Werdha Abiyoso Yogyakarta berjenis
kelamin perempuan sebanyak 30
responden (68,2%).
3. Sebagian besar responden yang tinggal
di Balai Pelayanan Sosial Tresna
Werdha Abiyoso Yogyakarta
memilikikeseimbangan tubuh resiko
jatuh rendah yaitu 34 responden
(77,3%).
4. Sebagian besar responden yang tinggal
di Balai Pelayanan Sosial Tresna
Werdha Abiyoso Yogyakarta memiliki
frekuensi jatuh sedang yaitu sebanyak
20 responden (45,5%).
5. Ada hubungan yang signifikan antara
keseimbangan tubuhdengan frekuensi
jatuh pada lansia yang ditunjukan
dengan hasil uji statistik Kendall- Tau
diperoleh p-value 0,013 (p<0,05).
DAFTAR PUSTAKA
1]. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Situasi dan Analisis Lanjut
Usia; 2014.
2]. Badan Pusat Statistik. Kebutuhan
Data Ketenagakerjaan untuk
Pembangunan Berkelanjutan; 2015.
3]. Kementrian Sosial Republik
Indonesia. Kajian Tentang Kota
Ramah Lanjut Usia; 2015.
4]. Murwani, A dan Priyantari W.
“Gerontik Konsep Dasar dan
Asuhan Keperawatan Home Care
dan Komunitas”.Fitramaya :
Yogyakarta. 2011.
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
36 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
5]. Farabi, A. “Hubungan Tes “Timed
Up and Go” dengan Frekuensi
Jatuh Pasien Lanjut Usia”. Karya
Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran
Deponegoro Semarang; 2007.
6]. Nurkuncoro, I, D. “Pengaruh
Latihan Keseimbangan terhadap
Resiko Jatuh pada Lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Yogyakarta
Unit Budhi Luhur Kasongan
Bantul”. Naskah Publikasi.
Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Kesehatan
Aisyiyah Yogyakarta; 2015.
7]. Valentine, M. Pengaruh Senam
Lansia Terhadap Keseimbangan
Tubuh Pada Lansia Di Lingkungan
Dajan Bingin Sading. Karya
TulisIlmiah. Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana; 2011.
8]. Achmanagara, A.A. Hubungan
Faktor Internal Dan Eksternal
Dengan Keseimbangan Lansia Di
Desa Pamijen Sokaraja Banyumas.
Fakultas Ilmu Keperawatan
Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Peminatan
Keperawatan Komunitas Depok;
2012.
9]. Howe, TE., Rochester, L., Jackson,
A., Banks, PMH., & Blair, VA.
Exercise for improving balance in
older people. Glasgow: John Wiley
& Sons; 2008.
10].Mauk, K.L. Gerontologicalnursing
competencies for care (2nd ed.).
Sudbury: Janes and Barlett
Publisher; 2010.
11].Safe Saskatchewan and the
Seniors’ Falls Provincial Steering
Committee. A fiveyear strategic
framework (2010-2015): Towards
a vision of seniors living fall free
lives. Regina: Safe Saskatchewan;
2010.
12].Mulkin ,W. Gambaran Tingkat
Resiko Jatuh Pada Lansia Di
Puskesmas Sedayu II Kecamatan
Sedayu Bantul Yogyakarta.
Program Studi Ners Fakultas Ilmu-
Ilmu Kesehatan Universitas Alma
Ata Yogyakarta; 2016.
13].Suhartati, C. “Perbedaan Resiko
Jatuh pada Lanjut Usia yang
Mengikuti Senam dengan yang
Tidak Mengikuti Senam di PSTW
Budhi Luhur Yogyakarta”. Naskah
Publikasi. Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi
Kesehatan Aisyiyah Yogyakarta;
2014.
14].Jusminar. “Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Nenek
G dengan Masalah Resiko Jatuh di
Wisma Bungur Sasana Tresna
Werdha Karya Bakti”. Karya
Ilmiah Akhir Ners. Depok.
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia; 2013.
15].Kurniawan, A, B. “Hubungan
Pengetahuan dan Perilaku
Keluarga dengan Resiko Jatuh
Lansia di Desa Pondok
HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA
37 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah
Karanganom Klaten”. Naskah
Publikasi. Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan universitas
Muhammadiyah Yogyakarta;
2014.
16].Rahayu, P. “Hubungan Fungsi
Kognitif dengan Risiko Jatuh pada
Lanjut Usia di PSTW Unit Budhi
Luhur Yogyakarta. Naskah
Publikasi”. Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehata Aisyiyah Yogyakarta;
2014.
17].Astriyana, S. “ Pengaruh Latihan
Keseimbangan Terhadap
Penurunan Risiko Jatuh Pada
Lansia” Naskah publikasi.
Program Studi D IV Fisioterapi
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhamadiyah
Surakarta; 2012.
18]Syafarina Putri B,A. “Pengaruh
Senam Kesegaran Jasmani (Skj)
Terhadap Keseimbangan Anak
pada Usia 8-9 Tahun”.Program
Studi Diploma IV Transfer
Fisioterapi Politeknik Kesehatan
Surakarta; 2013.
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Alpha Olivia Hidayati PISSN 2620-8040 38
HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E
TERHADAP PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC
PROGRESSION KNEE OSTEOARTHRITIS
Alpha Olivia Hidayati S.Si., M.P.H
Program Studi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta
ABSTRAKS
HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP
PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE
OSTEOARTHRITIS. Osteoarthritis adalah penyakit degeneratif yang menyerang persendian.
Penyakit ini ditandai dengan rasa sakit dan kaku pada bagian persendian yang diakibatkan terkikisnya
jaringan kartilago. Sendi yang paling sering mengalami kondisi ini meliputi tangan, lutut (knee joint),
pinggul (hip joint), dan punggung. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi
timbulnya gejala serta menekan perkembangan knee osteoarthritis adalah dengan mengkonsumsi
suplemen antioksidan, seperti vitamin A, C dan E serta asam askorbat. Namun demikian beberapa
penelitian berdasarkan pemeriksaan radiografi menunjukan penggunaan antioksidan vitamin A, C
dan E mempunyai hubungan yang signifikan negatif terhadap hilangnya jaringan kartilago.
Berdasarkan hasil penelitian vitamin A, C dan E memberikan efek protektif pada perkembangan knee
osteoarthritis.
Kata Kunci : knee osteoarthritis, radiografi, vitamin A, vitamin C, vitamin E
PENDAHULUAN
Osteoarthritis (OA) merupakan
penyakit sendi yang paling sering
dijumpai di dunia (60%) dibandingkan
dengan penyakit arthritis lainnya seperti
Gout Arthritis dan Rheumatoid Arthritis.
Berdasarkan hasil RISKESDAS 2013
pada lansia didapatkan bahwa penyakit
sendi berada pada urutan ketiga penyakit
tidak menular yaitu sebesar (24,7%)
setelah stroke (57,9%) dan hipertensi
(36,8%). WHO memperkirakan 40%
lansia diatas umur 70 tahun mengalami
OA dan 80% nya mengalami keterbatasan
gerak.
Sendi yang paling sering mengalami
kondisi ini meliputi tangan, lutut (knee
joint), pinggul (hip joint), dan tulang
punggung serta pergelangan kaki. Tetapi
tidak menutup kemungkinan bahwa sendi-
sendi yang lain juga bisa terserang. Dalam
kasus OA, kartilago mengalami kerusakan
secara perlahan. Kartilago sendiri
merupakan jaringan ikat padat yang
kenyal, licin, serta elastis. Jaringan ini
HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP
PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE
OSTEOARTHRITIS.
39 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati
menyelubungi ujung tulang pada
persendian untuk melindunginya dari
gesekan saat ada pergerakan. Saat
kartilago mengalami kerusakan,
teksturnya yang licin akan menjadi kasar.
Seiring waktu, sendi akan rusak dan
tulang yang satu dengan yang lain akan
bergesekan sehingga menimbulkan nyeri
sendi [3].
OA merupakan penyakit degeneratif
yang hampir pasti menyerang semua
orang. terutama orang yang memiliki
faktor resiko antara lain usia, jenis
kelamin, cedera pada sendi, obesitas,
faktor keturunan, menderita kondisi
arthritis, penyakit penyerta dan aktivitas
fisik [4]. Terdapat dugaan bahwa radikal
bebas berperan dalam patogenesis
berbagai penyakit degeneratif sendi dan
stres oksidatif dapat merupakan aspek
penting dalam mekanisme terjadinya
gangguan sendi. Salah satu usaha untuk
megendalikan perkembangan OA adalah
melalui konsumsi suplemen antioksidan,
yaitu Vitamin A, C dan E.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan yaitu
dengan systematic review, dengan mencari
artikel penelitian dengan beberapa kriteria
pencarian dan kata kunci, kemudian
dilakukan review dari semua artikel
tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan atom, ion,
atau molekul yang secara bebas
mempunyai satu atau lebih elektron yang
tidak berpasangan di orbit luarnya.
Radikal bebas bersifat sangat aktif, ia akan
menyerang molekul di sekitarnya dengan
mengambil elektron sehingga diperoleh
konfigurasi yang lebih stabil. Dalam tubuh
manusia, sumber utama radikal bebas
adalah oksigen, yang berbentuk
superoksida (O2-), hidrogen peroksida
(H2O2) dan radikal hidroksil (OH-) [1].
Radikal bebas di dalam tubuh
berfungsi sebagai messenger kedua
dengan mengaktifkan fungsi sel,
pergantian matriks ekstraseluler dan
pengaturan ekspresi gen. Namun
demikian, jika jumlahnya berlebihan
dalam jaringan akan menimbulkan
kerusakan molekul ekstraseluler dan
intraseluler serta aktivasi berlebihan
proses seluler. Keadaan yang
mengakibatkan terjadinya penumpukan
radikal bebas dalam suatu jaringan disebut
stres oksidatif [1].
Untuk mengendalikan kerusakan
jaringan akibat akumulasi radikal bebas,
tubuh membentuk enzim dismutase
superoksida, katalase dan peroksidase
yang berfungsi merubah radikal bebas
yang reaktif menjadi molekul yang kurang
aktif. Selain enzim yang terdapat di dalam
tubuh, pada kondisi ketidakseimbangan
antara pembentukan dan pembersihan
radikal bebas, tubuh memerlukan
antioksidan antara lain glutation,
tokoferol, dan askorbat yang dapat
diperoleh dari luar tubuh seperti sayuran,
buah – buahan dan suplemen [9].
Pembentukan Radikal Bebas Pada
Sendi Lutut (Knee Joint)
Stres mekanik karena adanya tekanan
pada sendi dapat menyebabkan
terbentuknya reactive oxygen spesies
HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP
PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE
OSTEOARTHRITIS.
40 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati
(ROS) atau radikal bebas. ROS
menyebabkan viskositas cairan sinovial
tereduksi melalui depolimerisasi dan atau
konfigurasi molekuler asam hialuronik
(HA). Selain itu, ROS juga mereduksi
lubrikasi permukaan sendi karena
memburuknya permukaan lapisan
fosfolipid aktif (SAPL) yang merupakan
pelumas dan pelindung sendi. ROS juga
menyebabkan terurainya kolagen dan
proteoglikan serta meningkatkan enzim –
enzim degradasi kartilago [10].
Hubungan Pemberian Vitamin A
Terhadap Perkembangan Knee
Osteoarthritis
Penelitian yang membandingkan
kadar vitamin A, vitamin E, selenium
(Se), dan L-laktat dalam serum darah dan
cairan sinovial pada kelompok kontrol
(tanpa OA) dan kelompok dengan OA
telah dilakukan [13].. Objek yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 6
ekor anjing pada masing - masing
kelompok.
Berdasarkan penelitian ini
diperoleh hasil bahwa Konsentrasi vitamin
A tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara kelompok OA dan
kontrol dalam serum (P = 0,03; tidak
signifikan setelah koreksi berurutan
Bonferroni) dan begitu pula konsentrasi
vitamin A pada cairan sinovial. Namun
demikian, konsentrasi vitamin A pada
kelompok OA lebih rendah baik di dalam
serum maupun dalam cairan sinovial.
Penurunan vitamin A terjadi karena
vitamin A menghambat peradangan
inflamasi di OA melalui penghambatan
oksidasi metalokeptida matriks
interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis-
alpha dan produksi protein MMP-13 dan
aktivitas enzim pada manusia
chondrocytes [13].
Penelitian sebelumnya juga telah
dilaksanakan oleh McAlindon TE et al.
(1996) terhadap subjek berjumlah 977
orang partisipan di Framingham dengan
studi kohort. Dilakukan pencatatan nutrisi
melalui FFQ (Food Frequency
Questionnaire) dan pemeriksaan radiologi.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara kejadian OA dengan konsumsi
antioksidan. Konsumsi suplemen Vitamin
A berhubungan dengan pengurangan
resiko sakit pada lutut (OR = 0,3;95% CI:
0,1-1,0). Sehingga konsumsi suplemen
vitamin A dimungkinkan dapat
menurunkan perkembangan penyakit OA
namun tidak dapat mencegah terjadinya
OA.
Hubungan Pemberian Vitamin C,
Terhadap Perkembangan Knee
Osteoarthritis
Melakukan penelitian dengan
studi kohort prospektif dengan jumlah
subjek penelitian 293 orang berumur 27 –
75 tahun dengan rata – rata umur 58 tahun
[12]. Waktu penelitian dari tahun 2003-
2004, subyek tidak mempunyai riwayat
penyakit sendi sebelumnya. Dilakukan
pencatatan makanan melalui FFQ (Food
Frequency Questionnaire), pemeriksaan
MRI, pengukuran kartilago, area tulang,
lesi pada bonemarrow, dan cacat pada
kartilago.
Hasil penelitian menunjukan
bahwa konsumsi vitamin C mempunyai
hubungan terbalik dengan pembentukan
HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP
PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE
OSTEOARTHRITIS.
41 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati
daerah plateau tulang tibia dan keberadaan
lesi bone marrow. Hal ini menunjukan
Vitamin C memberikan efek protektif
terhadap resiko terjadinya knee OA. Bone
area akan meningkat pada pasien dengan
knee OA dibandingkan dengan yang tidak
mengalami knee OA, dan daerah ini akan
meningkat seiring dengan perkembangan
OA. Lesi bone marrow berhubungan
dengan rasa sakit dan hilangnya jarak
antar sendi pada knee OA [11].
Penelitian kohort di Framingham
terhadap OA menunjukan bahwa
konsumsi vitamin C, E dan A tidak
berpengaruh signifikan terhadap kejadian
OA pada knee joint. Konsumsi tinggi
antioksidan, khususnya vitamin C
dimungkinkan dapat menurunkan resiko
hilangnya kartilago dan perkembangan
penyakit pada orang dengan OA [7].
Vitamin C sebagai kofaktor hidrolisis lisin
dan prolin yang dibutuhkan dalam
pembentukan serabut kolagen dalam
tulang. Vitamin C menstimulasi aktivitas
alkalin fosfatase, pembentuk osteoblas.
Beberapa studi menunjukan konsumsi
vitamin C mempengaruhi densitas
mineral tulang. Densitas mineral tulang
yang tinggi berhubungan dengan
kekakuan dan kekuatan tulang [8].
Penelitian yang sejalan adalah
penelitian [6] yang menggunakan 46 babi
Hartley Guinea jantan umur 2 bulan dibagi
menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu dosis
rendah asam askorbat 2,5 – 3 mg/hr ( n =
15), dosis sedang asam askorbat 30
mg/hr(n =15) dan dosis tinggi asama
askorbat (n = 16) 150 mg/hr. Berdasarkan
penelitian ini menunjukan level cairan
sinovial mempunyai hubungan signifikan
dengan gambaran histologi OA, hal ini
seiring dengan peningkatan dosis asam
askorbat dan konsentrasi asam askorbat
dalam plasma darah. Peningkatan nilai
osteosit seiring dengan peningkatan dosis
asam askorbat mendukung proses
pembentukan kondrosit yang akan
berubah menjadi osteosit. Sehingga
konsumsi suplemen vitamin C (asam
askorbat) mengurangi resiko hilangnya
kartilago yang dimungkinkan karena
radikal bebas.
Hubungan Pemberian Vitamin E,
Terhadap Perkembangan Knee
Osteoarthritis
Penelitian yang membandingkan
kandungan vitamin A, E dan serta
penanda stres oksidatif L-laktat dalam
serum dan cairan sinovial pada anjing
[13]. Penelitian ini menunjukkan
konsentrasi vitamin E secara signifikan
lebih tinggi pada cairan sinovial anjing
dengan OA dibandingkan dengan anjing
tanpa OA. Hasil ini tidak terduga,
dikarenakan vitamin E dianggap
menetralkan kondisi stres oksidatif,
sehingga kadarnya menurun. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa ada lebih banyak
konsumsi vitamin E di sendi OA melalui
perannya dalam menghentikan proses
peroksidasi lipid daripada pada persendian
normal. Sehingga dimungkinkan terjadi
peningkatan mobilisasi vitamin E di sendi
OA karena kebutuhan vitamin ini untuk
menetralisir radikal bebas yang diproduki
dan untuk menjaga stabilitas membran sel
dan perlindungannya terhadap peroksidasi
lipid.
HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP
PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE
OSTEOARTHRITIS.
42 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati
Penelitian yang lain menunjukkan
bahwa serum vitamin E merupakan
penentu massa tulang melalui pengaturan
fusi osteoklas. Uji berbasis sel
menunjukkan bahwa α-tocopherol
merangsang fusi osteoklas, terlepas dari
kapasitas antioksidannya, dengan
mendorong ekspresi protein transmembran
spesifik dendritik. Protein ini adalah
molekul penting untuk fusi osteoklas,
yang terjadi melalui aktivasi protein
kinase mitogen-activated proteinase (hal
38) dan faktor transkripsi terkait
mikroftalmia, serta melalui perekrutan
langsungnya ke promotor Tm7sf4 (sebuah
gen yang mengkodekan DC-STAMP ) [2].
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil
dari beberapa penelitian adalah konsumsi
suplemen antioksidan, terutama vitamin C
dimungkinkan dapat menurunkan resiko
hilangnya kartilago dan konsumsi
suplemen vitamin A, C dan E dapat
memberikan efek protektif pada
perkembangan knee osteoarthritis.
DAFTAR PUSTAKA
1]. Chismirina S & Ibrahim EA.2006.
Aspek Molekular Penuaan: Pengaruh
Stres Oksidatif Akibat Radiasi Ion
terhadap Mitokondria, Telomer dan
Sistem Kekebalan Tubuh.
IJD.13(2):84 – 89.
2]. Fujita K, Iwasaki M, Ochi H, Fukuda
T, Ma C, Miyamoto T, Takitani K,
Negishi-Koga T, Sunamura S,
Kodama T.2012. Vitamin E decreases
bone mass by stimulating osteoclast
fusion. Nat Med.18:589–594. doi:
10.1038/nm.2659.
3]. Goldring MB & Goldring SR. 2007.
Osteoarthritis. J Cell Physiol.
213:626–634. doi: 10.1002/jcp.21258.
4]. Joewono, I Haryy,K Handono, B
Rawan, P Riadi. 2006.Chapter 279 :
Osteoarthritis. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV FKUI: 1195-
1202.
5]. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI:
94-96.
6]. Kraus VB, Janet LH, Thomas S,
Charlene MF, Lori AS, Christian F,
Vladimir V, &Amy G.C. 2004.
Ascorbic Acid Increase the Severity of
Spontaneous Knee Osteoarthritis in a
Guinea Pig Model. Arthritis and
Rheumatism. 50(6): 1822-1831.
7]. Mc Alindon TE, Paul J, Yuqing Z,
Marian TH, Piran A, Barbara W,
David R, Daniel L & David TF. 1996.
Do Antioxidant Micronutrients
Protect Againts The Developments
&Progression of Knee Osteorthritis?
Arthritis And Rheumatism. 39(4):648-
656.
8]. Peregoy J & Frances VW. 2010. The
Effects of Vitamin C Supplementation
on Incident and Progressive Knee
Osteoarthritis: a Longitudinal Study.
Public Health Nutrition, 14(4)709-
715.
9]. Rosenbaum CC, O’Mathuna DP,
Chavez M & Shields K. Antioxidants
HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP
PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE
OSTEOARTHRITIS.
43 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati
and Antiinflammatory dietary
supplements for osteoarthritis and
rheumatoid arthritis.Altern Ther
Health Med 2010, 16(2): 32-40.
10]. Tanzil A. 2008. Radikal Bebas pada
Gangguan Fungsi Sendi Rahang,
Indonesian Journal of Denistry.15(1):
77-82.
11]. Wang Y, Prentice LF, Vitetta L,
Wluka AE, Cicuttini FM. The
Determinants of change in tibial
plateau bone area in osteoarthritis
knees: a cohort study . arthritis Res
Ther 2005,7: R687-R693.
12]. Wang Y, Allison MH, Anita EW,
Dallas RE, Graham GG, Richard OS,
Andrew F & Flavia MC. Research
Article: Effect of Antioxidants on
Knee Cartilage and bone in healthy,
middle-aged subjects: a cross-
sectional study.Arthritis Research &
therapy 2007,9(4): 1-9.
13].Warrak OA, Mouhamed R, Audrey A,
Soren RB & Younes C. 2012.
Measurement of vitamin A, vitamin E,
selenium, and L-lactate in dogs with
and without osteoarthritis secondary
to ruptured cranial cruciate
ligament.The Canadian Veterinary
Journal. 53(12): 1285–1288.
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Defi, dkk PISSN 2620-8040 44
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA
MENGGUNAKAN ANALISIS CLUSTER HIERARKI
PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016
Defi Istiyani, Ginanjar Zakiah, M. Khuailid Yusuf, A.S Timur Patria, I. Fatati Noviara, Edy Widodo
Universitas Islam Indonesia
ABSTRAKS
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN
ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016. Salah satu permasalahan
kesehatan yang sekarang menjadi Global Issues adalah HIV dan AIDS. HIV merupakan virus yang
menyerang daya tahan tubuh manusia sehingga seseorang mudah terserap penyakit. Orang yang
terinfeksi HIV, cepat atau lambat (2 sampai 10 tahun) akan menderita AIDS jika tidak berobat secara
teratur. Salah satu penanggulangan yang dapat dilakukan untuk menguranginya adalah dengan
melakukan pemetaan terhadap tingkat kerawanan HIV/AIDS di Indonesia. Dalam penelitian ini
variabel-variabel yang digunakan adalah Jumlah Penderita HIV/AIDS (JP), Konseling dan Tes (KT),
Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA), Infeksi Menular Seksual (IMS), Program Terapi Rumatan
Metadon (PTRM), dan Tuberkulosis HIV (TB HIV). Metode yang digunakan untuk memetakan dalam
penelitian ini adalah metode cluster hierarki. Cluster hierarki adalah cluster yang didasarkan pada
tingkatan. Sehingga didapatkan 3 tingkatan cluster yang dipetakan. Cluster 1 beranggotakan 28
provinsi dengan tingkat kerawanan HIV/AIDS rendah, cluster 2 yang beranggotakan 3 provinsi yaitu
provinsi Jawa Tengah, Bali, dan Papua, yang merupakan cluster dengan tingkat kerawanan HIV/AIDS
sedang. Cluster 3 merupakan cluster yang mempunyai tingkat kerawanan HIV/AIDS yang tinggi yang
beranggotakan 3 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur.
Kata kunci : HIV/AIDS, Cluster Hierarki, Pengelompokan, Pemetaan
PENDAHULUAN
Terdapat beberapa masalah
kesehatan di dunia yang hingga saat ini
belum bisa terselesaikan. Salah satu
permasalahan kesehatan yang sekarang
menjadi Global Issues adalah HIV dan
AIDS. HIV merupakan virus yang
menyerang daya tahan tubuh manusia
sehingga seseorang mudah terserap
penyakit. Orang yang terinfeksi HIV,
cepat atau lambat (2 sampai 10 tahun)
akan menderita AIDS jika tidak berobat
secara teratur. Sementara AIDS
merupakan kumpulan gejala penyakit
dengan karakteristik defisiensi imun yang
berat dan merupakan manifestasi stadium
akhir infeksi HIV [2]. Sejak kasus pertama
kali terjadi pada tahun 1987 sampai
dengan bulan September 2014, HIV dan
AIDS di Indonesia tersebar di 381 (76%)
dari 498 kabupaten atau kota diseluruh
provinsi di Indonesia. Provinsi pertama
kali ditemukan adanya kasus HIV dan
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN
ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016
45 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk
AIDS adalah di Provinsi Bali, sedangkan
yang terakhir melaporkan adalah Provinsi
Sulawesi Barat pada tahun 2011. Jumlah
kumulatif penderita HIV dari tahun 1987
sampai dengan September 2014 sebanyak
150.296 orang sedangkan jumlah
kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.799
orang. Berdasarkan laporan provinsi,
jumlah kumulatif kasus infeksi HIV yang
dilaporkan sejak tahun 1987 sampai
dengan September 2014 yang terbanyak
adalah provinsi DKI Jakarta yaitu 32.782
kasus. 10 besar kasus HIV terbanyak
adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua,
Jawa Barat, Sumatra Utara, Jawa Tengah,
Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan
Sumatra Selatan [3].
Berdasarkan fakta di atas, maka
pemerintah masih mempunyai tantangan
besar dalam mengatasi permasalahan
jumlah penderita HIV/AIDS. Sebagai
upaya untuk melakukan penanganan
permasalahan tersebut, maka dilakukan
analisis statistika deskriptif, clustering dan
pemetaan daerah yang mengalami
permasalahan jumlah penderita HIV/AIDS
sehingga diharapkan dapat mempermudah
dalam visualisasi provinsi-provinsi yang
mengalami masalah tersebut di Indonesia
serta dapat diketahui daerah mana saja
yang mempunyai jumlah penderita
HI/AIDS terbanyak. Sehingga penelitian
ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
penanganan masalah HIV/AIDS secara
tepat dan maksimal.
Terdapat beberapa penelitian
sebelumnya yang berkaitan dengan
HIV/AIDS, metode yang digunakan
sebelumnya dan ditinjau dari berbagai
sudut pandang para penelitinya. Penelitian
mengenai HIV/AIDS pernah dilakukan [4]
dengan judul “K-Means Analisis
Klasterisasi Kasus HIV/AIDS di
Indonesia”. Penelitian ini menggunakan
metode K-Means. Hasil dari penelitian
tersebut adalah provinsi DKI Jakarta, Jawa
Timur dan Papua berada pada kondisi
yang sangat kritis akan penyebaran virus
HIV/AIDS. Hal itu dikarenakan jumlah
kasus HIV/AIDS terbanyak ada pada
ketiga provinsi tersebut.
Penelitian dengan judul “Analisis
Cluster Spasial Tingkat Kerawanan
Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015”.
Penelitian ini menggunakan metode
Cluster Hierarki Single Linkage, Average
Linkage, dan Ward’s. Hasil dari penelitian
ini adalah Berdasarkan 3 metode tersebut
didapat metode yang paling baik adalah
Single Linkage, dengan 4 cluster dimana
Kota Semarang menjadi satu-satunya kota
dengan tingkat kerawanan DBD yang
tinggi [5].
Penelitian selanjutnya dengan judul
“Analisis Cluster dengan Average Linkage
Method dan Ward’s Method untuk Data
Responden Nasabah Asuransi Jiwa Unit
Link”. Penelitian ini menggunakan
metode perbandingan kedua metode
tersebut. Hasil dari penelitian ini,
berdasarkan nilai rasio simpangan baku,
metode average linkage merupakan
metode terbaik. Dimana pada metode ini,
alasan seorang yang berprofesi sebagai
dokter, dosen, guru, pedagang, pengusaha,
pengacara, teknisi, militer, pegawai
swasta, dan PNS memutuskan untuk
membeli Asuransi Jiwa Unit Link untuk
persiapan pendidikan anak [6].
METODE PENELITIAN
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN
ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016
46 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk
Metode dalam penelitian ini
terdiri atas alat, bahan, dan prosedur
penelitian yang dilakukan.
Alat yang digunakan adalah
software Excel, SPSS, dan Tableau yang
dilakukan untuk mengolah data dengan
metode analisis deskriptif, analisis cluster
hierarki average linkage, dan pemetaan.
Pada penelitian ini bahan yang
dimaksud adalah data yang digunakan,
yaitu data sekunder yang bersumber dari
website Komisi Penanggulangan AIDS
Indonesia. Data tersebut merupakan data
yang diambil secara sensus di 34 provinsi
di Indonesia untuk Triwulan I tahun 2016.
Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Provinsi, Jumlah
Penderita HIV/AIDS (JP), Konseling dan
Tes (KT), Pencegahan Penularan Ibu ke
Anak (PPIA), Infeksi Menular Seksual
(IMS), Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM), dan Tuberkulosis HIV (TB
HIV). Dalam penelitian ini tidak
mempertimbangkan jumlah penduduk
karena penularan HIV/AIDS disebabkan
oleh kontak langsung dengan penderita
seperti berhubungan seks, pemakaian
jarum suntik secara bergantian, pemberian
ASI dari ibu ke anak dan lain-lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
seberapa besar jumlah penduduk pada
suatu wilayah tidak akan berpengaruh
terhadap penularan apabila penduduk
tersebut tidak mempunyai perilaku yang
dapat menyebabkan penularan HIV/AIDS.
Metode penelitian yang digunakan
untuk menganalisis data adalah analisis
deskriptif, analisis cluster hierarki average
linkage, dan pemetaan. Analisis deskriptif
digunakan untuk menjelaskan dan
menggambarkan data HIV/AIDS di
Indonesia pada triwulan I tahun 2016,
yang bertujuan untuk melihat gambaran
umum tentang HIV/AIDS di 34 provinsi
yang terdapat di Indonesia.
Analisis cluster, digunakan untuk
mengelompokkan 34 provinsi berdasarkan
tingkat kerawanan HIV/AIDS di Indonesia
pada triwulan 1 tahun 2016. Pemetaan
digunakan untuk menvisualisasi tingkat
kerawanan HIV/AIDS hasil dari analisis
cluster hierarki di 34 provinsi di Indonesia
pada triwulan I tahun 2016.
Prosedur penelitian
Terdapat tujuh langkah prosedur
penelitian dalam penelitian ini, berikut
penjelasan untuk masing-masing langkah:
Memilih Variabel
Pada penelitian ini, pemilihan
variabel pengelompakan didasarkan pada
hal-hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS
di Indonesia.
Analisis Deskriptif
Melakukan analisis deskriptif
dengan membuat diagram batang pada
masing-masing variabel yang telah dipilih.
Menentukan Ukuran Kesamaan
Ukuran kesamaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah ukuran jarak,
yaitu jarak squared euclidean.
Pengecekan Multikolinieritas
Pengecekan multikolinieritas
dilakukan dengan melihat korelasi antar
variabel, dengan menggunakan nilai VIF
dan tolerance. Apabila tidak terdapat
multikolinieritas dalam data maka analisis
dapat dilanjutkan ke tahap penerapan
metode analisis cluster, namun apabila
terdapat multikolinieritas maka perlu
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN
ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016
47 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk
dilakukan analisis komponen utama
(PCA) terlebih dahulu dan setelah itu
dilanjutkan ke tahap penerapan metode
analisis cluster.
Penerapan Metode Cluster Heirarki
Metode analisis cluster yang
digunakan yaitu metode cluster hierarki
average linkage, dengan menggunakan
software SPSS.
Terbentuk Cluster
Menggunakan metode cluster
hierarki average linkage, cluster yang
terbentuk akan ditentukan berdasarkan
dendogram.
Intepretasi dan Profiling
Pada tahap ini, dilakukan
intepretasi terhadap cluster yang terbentuk
sehingga dapat diketahui profil atau
karakteristik dari masing-masing cluster,
dengan cara menghitung rata-rata tiap
variabel pada masing-masing anggota
cluster.
Pemetaan
Pemetaan merupakan tahap
terakhir dalam penelitian ini. Pada tahap
ini, pemetaan dilakukan berdasarkan
cluster yang terbentuk, yaitu memetakan
34 provinsi di Indoesia menggunakan
software Tablue.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kasus penderita HIV/AIDS
tertinggi pada triwulan I tahun 2016
adalah provinsi DKI Jakarta sebanyak
1176 jiwa. Provinsi Maluku Utara menjadi
provinsi dengan jumlah penderita paling
sedikit yang hanya berjumlah 5 jiwa.
Sedangkan provinsi Gorontalo dan
Sulawesi Barat tidak ada penderita untuk
periode tersebut
Provinsi dengan jumlah konseling
dan tes tertinggi adalah Jawa Barat
sebanyak 363 jiwa. Provinsi Maluku Utara
menjadi provinsi dengan jumlah paling
sedikit individu yang melakukan
konseling dan tes, yaitu hanya 1 orang
saja. Namun ada 2 provinsi dengan
penduduknya yang tidak melakukan
konseling dan tes sama sekali, yaitu
Gorontalo dan Sulawesi Barat.
Banyaknya ibu yang melakukan
pencegahan dari ibu ke anak di Indonesia
pada tahun 2016 triwulan I tertinggi
dengan jumlah 85 orang adalah provinsi
Papua. Terdapat 8 provinsi yang hanya
terdapat 1 ibu yang melakukan
pencegahan antara lain provinsi Bengkulu
dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi
Gorontalo dan Sulawesi Barat adalah
provinsi yang tidak ada satupun ibu yang
melakukan pencegahan ke anak.
Jumlah individu yang melakukan
terapi rumatan metadon terbanyak adalah
41 orang yaitu berasal dari provinsi Papua.
Terdapat 7 provinsi yang hanya terdapat 1
orang saja yang terapi, antara lain provinsi
Aceh dan Kalimantan Utara. Sedangkan
provinsi yang penduduknya tidak
melakukan terapi ada sebanyak 12
provinsi, antara lain Sulawesi Utara dan
Riau.
Provinsi Papua merupakan
provinsi dengan jumlah individu yang
menderita tuberkulosis HIV paling banyak
yaitu 21 orang. Yang paling sedikit
berjumlah 2 ada pada 7 provinsi antara
lain NTT, dan Jambi. Sedangkan
Kalimantan Timur tidak ada satu pun
orang yang menderita.
Jumlah individu yang terkenal
infeksi menular seksual paling banyak ada
di Jawa Barat dengan jumlah 317 jiwa.
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN
ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016
48 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk
Dan paling sedikit ada pada provinsi
Gorontalo yang hanya berjumlah seorang
saja. Sedangkan untuk provinsi Sulawesi
Barat dan Maluku Utara tidak ada
penduduknya yang terkena.
Pengelompokan tingkat
kerawanan HIV / AIDS di Indonesia pada
triwulan I tahun 2016 menghasilkan tiga
cluster berdasarkan dendogram pada
Gambar 1. Sehingga pembagian anggota
pada masing-masing cluster dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Anggota Masing-masing Cluster
Cluster Anggota
1
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung,
Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
DI Yogyakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Utara,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,
Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua
Barat
2 Jawa Tengah, Bali, Papua
3 DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur
Gambar 1. Dendogram
Interpretasi masing-masing cluster
dilakukan dengan menghitung centroid
pada masing-masing cluster yang merujuk
pada Tabel 2. Cluster 1 beranggotakan 28
provinsi. Dengan melihat centroid
masing-masing variabel, cluster 1
didominasi oleh variabel konseling dan
tes, pencegahan dari ibu ke anak, dan
program terapi rumatan metadon. Maka
dapat dikatakan bahwa cluster 1
merupakan cluster dengan kerawanan
HIV/AIDS rendah.
Tabel 2. Interpretasi Cluster
JP KT PPIA IMS PTRM
TB
HIV
Cluster 1 77,286 23,143 4,5 16,215 2,536 4,286
Cluster 2 626 166 39 63,334 18 14,334
Cluster 3 1136,667 262 16 192 10,334 19,334
Cluster 2 yang beranggotakan 3
provinsi yaitu Jawa Tengah, Bali, dan
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN
ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016
49 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk
Papua. Bila dibandingkan dengan cluster
1, nilai centroid untuk variabel konseling
dan tes, pencegahan dari ibu ke anak, dan
program terapi rumatan metadon memiliki
nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan nilai centroid variabel jumlah
penderita, infeksi menular seksual, dan
tuberkulosis HIV pada cluster 3, nilainya
lebih tinggi. Sehingga, cluster 2
merupakan cluster dengan kerawanan
HIV/AIDS sedang.
Cluster 3 beranggotakan 3
provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat,
dan Jawa Timur. Berdasarkan hasil
centroid variabel, cluster 3 didominasi
oleh variabel jumlah penderita, infeksi
menular seksual, dan tuberkulosis HIV
karena nilai centroid pada variabel
tersebut lebih tinggi dibandingkan cluster
1 dan 2. Sehingga dapat dikatakan bahwa
cluster 3 merupakan cluster dengan
kerawanan HIV/AIDS yang tinggi.
Peta dibedakan menjadi tiga
tingkatan yaitu angka 1 menunjukan
kerawanan rendah, angka 2 menunjukan
kerawanan sedang, dan angka 3
menunjukkan kerawanan tinggi. Tingkat
kerawanan rendah disimbolkan dengan
warna coklat muda, tingkat kerawanan
sedang disimbolkan dengan warna orange
dan pada tingkat kerawanan tinggi
disimbolkan dengan warna coklat tua.
Berdasarkan peta pada Gambar 2, dapat
dilihat bahwa daerah dengan kerawanan
HIV/AIDS yang tinggi adalah provinsi
DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur,
sedangkan daerah dengan tingkat
kerawanan sedang adalah provinsi Jawa
Tengah, Bali dan Papua, sedangkan
provinsi sisanya adalah provinsi dengan
tingkat kerawanan HIV/AIDS yang
rendah.
Gambar 2. Peta Tingkat Kerawanan
HIV/AIDS di Indonesia pada Triwulan 1
Tahun 2016
KESIMPULAN
Berdasarkan data tentang
HIV/AIDS di Indonesia pada triwulan I
tahun 2016 yang sudah dianalisis maka
dapat disimpulkan bahwa pada kasus
penderita HIV/AIDS provinsi dengan
jumlah penderita tertinggi adalah provinsi
DKI Jakarta sebanyak 1176 jiwa. Provinsi
dengan jumlah konseling dan tes tertinggi
adalah Jawa Barat sebanyak 363 jiwa.
Banyaknya ibu yang melakukan
pencegahan dari ibu ke anak tertinggi
dengan jumlah 85 orang adalah provinsi
Papua. Jumlah individu yang melakukan
terapi rumatan metadon terbanyak adalah
41 orang yaitu berasal dari provinsi Papua.
Provinsi Papua merupakan provinsi
dengan jumlah individu yang menderita
tuberkulosis HIV paling banyak yaitu 21
orang. Jumlah individu yang terkenal
infeksi menular seksual paling banyak ada
di Jawa Barat dengan jumlah 317 jiwa.
Cluster 1 beranggotakan 28
provinsi yang merupakan cluster dengan
kerawanan HIV/AIDS rendah dan
disimbolkan dengan warna cokelat muda
pada peta. Cluster 2 beranggotakan 3
provinsi yaitu Jawa Tengah, Bali, dan
Papua yang merupakan cluster dengan
kerawanan HIV/AIDS sedang dan
disimbolkan dengan warna orange pada
PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN
ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016
50 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk
peta. Cluster 3 beranggotakan 3 provinsi,
yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa
Timur yang merupakan cluster dengan
kerawanan HIV/AIDS yang tinggi dan
disimbolkan dengan warna coklat tua pada
peta.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Kumar P, Clark M. 2009. HIV and
AIDS in Clinical Medicine 7th
Edition. London, Elsevier.pp 184-
206.
[2] Neferi, Andria. 2016. Hubungan
Antara Pengetahuan Tentang HIV
dan AIDS Dengan Respon
Masyarakat Terhadap ODHA.
Jurusan Sosiologi, Fakultas Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas
Lampung.
[3] Ditjen PP & PL, Kemenkes RI. 2014.
Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia dilapor s/d September
2014. Jakarta.
[4] Riverandra, Okta. 2016. K-Means
Analysis Klasterisasi Kasus HIV /
AIDS di Indonesia. Pekanbaru:
Politeknik Caltex.
[5] Fithriyyah, Anisahtul. 2017. Analisis
Cluster Spasial Tingkat Kerawanan
Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015.
Skripsi Jurusan Statistika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Islam Indonesia.
[6] Laeli, Sofya. 2014. Analisis Cluster
dengan Average Linkage Method dan
Ward‟s Method untuk Data
Responden Nasabah Asuransi Jiwa
Unit Link. Program Studi Matematika
Universitas Negeri Yogyakarta
TANYA JAWAB
Ludowika
HIV/AIDS itu penularannya selama ini
melalui apa saja?
Annisa
Jawab:
1. Kontak dengan penderita HIV/AIDS
melalui hubungan seksual
2. Penggunaan jarum suntik bekas
penderita HIV/AIDS
3. Persalinan dan menyusui seorang ibu
yang terinfeksi HIV
4. Transfusi darah
Malina Tuarisa
Apakah penderita HIV/AIDS di Indonesia
sudah tertangani dengan baik?
Annisa
Jawab:
1. Pemerintah Indonesia telah
mencanangkan komitmennya untuk
memberikan akses yang lebih luas
bagi penderita HIV/AIDS (ODA)
2. Banyak rumah sakit yang
menyediakan ruangan dan fasilitas
khusus untuk penderita HIV/AIDS
agar punya harapan hidup yang sama
dengan yang sehat.
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Bagus Yudi PISSN 2620-8040 51
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING
DI PROVINSI BALI
Gusti Bagus Yudhi Jaya Putra Atmaja1
Rumah Sakit Kasih Ibu Bali
ABSTRAKS
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI. Telah dilakukan penelitian tentang pengujian kinerja pesawat Magnetic
Resonance Imaging (MRI) ini dilakukan uji kinerja pada sembilan parameter berbeda yang
dilakukan pada tiga rumah sakit berbeda di Provinsi Bali, dimana pesawat MRI di dua dari tiga
rumah sakit tersebut sedang mengalami gangguan yang berpengaruh secara langsung terhadap
kualitas citranya sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja dari pesawat MRI di
beberapa rumah sakit yang terdapat di Provinsi Bali dan untuk baseline data apabila dilakukan
pengujian kembali.Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei.
Alat dan bahan pada penelitian ini adalah tiga pesawat MRI yang terdiri dari dua pesawat MRI 1,5
Tesla dan satu pesawat MRI 0,3 Tesla, phantom ACR, koil kepala, alat tulis dan kamera. Data
dikumpulkan dengan melakukan sembilan prosedur pengujian kinerja pesawat MRI menggunakan
panduan ACR (2015) dan kemudian dianalisis menggunakan standar internasional yang dikeluarkan
oleh ACR (2015). Hasil penelitian tentang pengujian kinerja pesawat MRI dari sembilan parameter
yang diuji, hanya empat parameter saja yaitu pengujian high contrast resolution, low contrast
resolution, slice position accuracy dan setup and table position accuracy yang memenuhi standar
pengujian internasional di seluruh rumah sakit, sedangkan pada pengujian geometric accuracy
seluruh rumah sakit tidak memenuhi standar pengujian internasional. Pada pengujian signal to
noise ratio terdapat dua rumah sakit yang tidak memenuhi standar pengujian internasional,
sedangkan pada pengujian artifact analysis dan slice thickness accuracy terdapat satu rumah sakit
yang tidak memenuhi standar internasional
Kata kunci: Pengujian Kinerja, Pesawat Magnetic Resonance Imaging (MRI)
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu sarana
penegakan diagnosa pada suatu kelainan
maka kualitas citra pemeriksaan
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
menjadi suatu hal yang penting untuk
diperhatikan, maka dari itu diperlukan
suatu program pengendalian mutu
kualitas citra, baik sejak pengadaan,
pemasangan, penggunaan, dan
pemeliharaan pesawat MRI untuk
memastikan bahwa operasional dari
pesawat MRI tersebut berjalan dengan
lancar sehingga nantinya akan dihasilkan
kualitas citra yang selalu baik,tepat dan
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
52 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi
akurat. Prosedur pengendalian mutu pada
modalitas MRI dibuat untuk
mendokumentasikan perbedaan dari hasil
pengukuran tersebut dan untuk
menetapkan standar pengukuran kinerja
sistem secara harian. Salah satu usaha
dalam penjaminan mutu kualitas citra
adalah dengan melakukan prosedur
quality control (QC) atau kendali mutu.
Tujuan dari kendali mutu adalah untuk
menemukan adanya perubahan atau
potensinya pada performa sistem dari
pesawat Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Salah satu bagian dari program
quality control atau kendali mutu adalah
dengan melakukan uji kinerja pesawat
Magnetic Resonance Imaging (MRI)[3].
Pengujian harian atau mingguan
pada pesawat Magnetic Resonance
Imaging (MRI) yang dilakukan oleh
radiografer antara lain : setup and table
position, center frequency, transmitter
gain or attenuation, geometric accuracy
measurements, high contrast spatial
resolution, low contrast detectability,
artifact evaluation, film printer quality
control dan visual checklist [1].
Uji kinerja tahunan pada 98
pesawat MRI yang berbeda. Dari 98
pesawat MRI yang dilakukan uji kinerja
tahunan, NessAiver menemukan
beberapa gangguan pada pesawat MRI,
seperti : gangguan pada homogenitas
magnetisasinya, noise radiofrekuensi
yang sangat banyak, ghosting yang
sangat besar, kalibrasi gradient yang
buruk dan hard copy serta soft copy yang
buruk [2].
Selanjutnya penulis melakukan
peninjauan awal di 3 rumah sakit berbeda
di Provinsi Bali, dan menjumpai 2 dari 3
pesawat Magnetic Resonance Imaging
yang dilakukan peninjauan sedang
mengalami masalah seperti : terjadi
gangguan pada salah satu gradient coil,
sehingga menganggu hasil citra yang
dihasilkan, parameter fat sat yang kadang
dapat digunakan dan kadang tidak dapat
digunakan serta terdapat kerusakan pada
komponen RF coil.
Dari penelitian ini nantinya akan
diketahui kesesuaian hasil uji yang
didapat dari tiap – tiap pesawat MRI
dengan standar nilai uji yang telah
ditetapkan secara internasional oleh [1].
Uji kinerja pada pesawat Magnetic
Resonance Imaging (MRI) akan
dilakukan dengan dua cara yaitu :
pengujian tanpa menggunakan phantom
ACR dan dengan menggunakan phantom
ACR.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Phantom ACR, Koil Kepala, Alat Tulis
dan Kamera, 3 Pesawat MRI yang terdiri
dari 2 pesawat MRI 1,5 Tesla dan 1
pesawat MRI 0,3 Tesla.
Prosedur penelitian
Prosedur pengujian menggunakan
panduan ACR (2015) yang diawali
dengan melakukan pengujian tanpa
menggunakan phantom yaitu pengujian
visual checklist. Selanjutnya setelah
pengujian tanpa menggunakan phantom
selesai dilanjutkan dengan melakukan
pengujian dengan menggunakan phantom
yang diawali dengan memasang phantom
pada koil kepala. Setelah pengaturan
posisi phantom selesai, maka dilanjutkan
dengan pemilihan protokol potongan
sagittal pada pemeriksaan brain dengan
parameter sebagai berikut : Sagital Spin-
Echo, TR = 200ms, TE = 20ms, Slice
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
53 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi
Thickness = 20mm, FOV = 25cm, Matrix
= 256 x 256, NEX = 1. Localizer sagital
yang digunakan sebagai perencanaan
pengambilan potongan aksial selanjutnya.
Sekuen yang digunakan untuk potongan
axial yaitu T1 WI Spin Echo Axial
dengan TE 20ms, TR 500ms, FOV 25cm,
matriks 256 x 256, Slice Thickness 5mm
dan NEX 1.
Kemudian dilakukan beberapa
jenis pengujian dengan menggunakan
phantom yaitu pengujian signal to noise
ratio, artifact analysis, high contrast
resolution, low contrast resolution, slice
thickness accuracy, geometric accuracy,
slice position accuracy, dan setup and
table position accuracy.
Analisis Data
Data hasil pengukuran dari
masing–masing pengujian tersebut
dianalisa dengan cara membandingkan
hasil pengukuran dari tiap masing –
masing pengujian dengan nilai standar
international yang telah ditetapkan oleh
ACR (2015), sebagai berikut:
A. Pengujian tanpa menggunakan
phantom ACR
Pengujian Visual Checklist
Pengujian ini dilakukan selama
18 hari dalam sebulan. Setelah
didapatkan hasil pengujian dari masing-
masing parameter ditiap kategori diatas
nantinya hasil pengujian tersebut akan
dihitung banyaknya jumlah pass dalam 1
parameter selama pengujian 18 hari.
Selanjutnya hasil pengujian dari tiap-tiap
parameter tersebut akan dikategorikan
sesuai rentang yang penulis buat, kategori
buruk apabila jumlah pass dalam rentang
14 - 15, kategori cukup apabila jumlah
pass dalam rentang 16 - 17, kategori
baik apabila jumlah pass 18 sedangkan
untuk hasil akumulasi jumlah pass untuk
tiap–tiap kategori pengujian,
dikategorikan sebagai berikut: kategori
buruk apabila jumlah pass dalam rentang
15 (untuk 1 kategori pengujian yang
hanya memiliki 1 parameter), 60 (untuk 1
kategori yang hanya memiliki 4
parameter), dan 90 (untuk 1 kategori
yang hanya memiliki 6 parameter),
kategori cukup apabila jumlah pass
dalam rentang 17 (untuk 1 kategori
pengujian yang hanya memiliki 1
parameter), 68 (untuk 1 kategori yang
hanya memiliki 4 parameter), dan 102
(untuk 1 kategori yang hanya memiliki 6
parameter), kategori baik apabila jumlah
pass dalam rentang 18 (untuk 1 kategori
pengujian yang hanya memiliki 1
parameter), 72 (untuk 1 kategori yang
hanya memiliki 4 parameter), dan 108
(untuk 1 kategori yang hanya memiliki 6
parameter)
B. Pengujian menggunakan phantom
ACR
Pengujian Signal To Noise Ratio
(SNR) data akan dibandingkan dengan
standar international untuk Signal To
Noise Ratio (SNR) yaitu nilai SNR lebih
dari atau sama dengan 70.
Pengujian Artifact Analysis
dilakukan pengamatan selanjutnya data
akan dibandingkan dengan standar
international. Standar international untuk
artifact analysis yaitu hasil pengamatan
tidak boleh terdapat artifact.
Pengujian High Contrast
Resolution setelah melakukan
pengamatan selanjutnya data akan
dibandingkan dengan standar
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
54 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi
international. Standar international untuk
high contrast resolution yaitu tampak
resolution insert terpisah hingga
kelompok no 2.
Pengujian Low Contrast
Resolution setelah melakukan
pengamatan selanjutnya data akan
dibandingkan dengan standar
international. Standar international untuk
low contrast resolution yaitu jumlah
spokes yang tampak sebanyak minimal 9
spokes.
Pengujian Slice Thickness
Accuracy setelah didapatkan hasil
perhitungan diatas selanjutnya hasil
perhitungan dibandingkan dengan standar
internasional. Standar internasional slice
thickness accuracy yaitu +0,7mm pada
tebal irisan 5mm.
Pengujian Geometric Accuracy
setelah didapatkan hasil perhitungan
diatas selanjutnya hasil perhitungan
dibandingkan dengan standar
internasional. Standar internasional
geometric accuracy (sumbu x,y, dan z)
yaitu < + 2mm.
Pengujian Slice Position
Accuracy setelah didapatkan hasil
perhitungan diatas selanjutnya hasil
perhitungan dibandingkan dengan standar
internasional. Standar internasional slice
position accuracy yaitu + 5mm.
Pengujian Setup and Table
Position Accuracy setelah mendapatkan
hasil pengukuran selanjutnya hasil
pengukuran dibandingkan dengan standar
internasional. Standar internasional setup
and table position accuracy yaitu bagian
tepi atas struktur grid + 5mm dari
isosenter magnet. Kemudian hasil
pengujian tersebut dideskripsikan dan
selanjutnya diambil kesimpulan dan
saran. Hasil pengukuran tersebut juga
didokumentasikan sebagai patokan atau
baseline untuk program pengujian kinerja
pesawat Magnetic Resonance Imaging
(MRI) 1,5 Tesla dan 0,3 Tesla
selanjutnya di masing-masing rumah
sakit tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Visual Checklist
Hasil pengujian visual checklist
yaitu seluruh rumah sakit yang dilakukan
pengujian ini mendapatkan jumlah pass
yang sama yaitu 12 pass setiap harinya
untuk seluruh parameter mulai hari
pertama hingga hari keduapuluh, jumlah
pass yang didapatkan selama dua puluh
hari yaitu 20 pass untuk setiap parameter
yang ada di tabel pengujian visual
checklist di semua rumah sakit , sehingga
semua parameter yang terdapat pada
tabel visual checklist di seluruh rumah
sakit lolos uji visual checklist dan masih
dalam keadaan baik.
Pengujian Signal to noise ratio
Hasil pengujian signal to noise
ratio yaitu di RSUD Badung
mendapatkan hasil pengukuran nilai SNR
yaitu sebesar 268,17, dan di BRSU
Tabanan mendapatkan hasil pengukuran
nilai SNR yaitu sebesar 15.78 serta di
RSUP Sanglah mendapatkan hasil
pengukuran nilai SNR yaitu sebesar 2,4.
Pada pengujian Signal Noise To
Ratio sebagian besar rumah sakit tidak
memenuhi standar pengujian
internasional yaitu BRSU Tabanan dan
RSUP Sanglah sedangkan pada RSUD
Badung hasil pengujian Signal to noise
ratio sudah memenuhi standar pengujian
internasional. Nilai SNR dipengaruhi
oleh beberapa parameter yaitu : receiver
bandwidth, field of view (FOV), size of
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
55 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi
the (image) matrix, number of
acquisitions, scan parameters (TR, TE,
flip angle), selection of the transmit,
receiver coil (RF coil), magnetic field
strength [4]. Pada pengujian ini telah
menggunakan parameter yang ditetapkan
oleh ACR (2015) sehingga faktor – faktor
yang mempengaruhi nilai SNR seperti
receiver bandwidth, field of view (FOV),
size of the (image) matrix, number of
acquisitions, dan scan parameters (TR,
TE, flip angle) dapat dikesampingkan.
Sedangkan faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi nilai SNR seperti faktor
selection of the transmit, receiver coil
dan magnetic field strength dapat
menyebabkan penurunan nilai SNR
karena magnetic field strength pada
pesawat MRI di BRSU Tabanan hanya
0,3 Tesla dan receiver coil pada BRSU
Tabanan juga telah mengalami gangguan
pada RF switch nya sehingga faktor-
faktor tersebut dapat menyebabkan
penurunan nilai SNR. Sedangkan pada
pesawat MRI di RSUP Sanglah
penurunan nilai SNR dapat disebabkan
oleh receiver coil karena receiver coil
pada RSUP sanglah sering mengalami
error. Menurut ACR (2015) gangguan
pada komponen coil dapat mempengaruhi
impendasi coil dan dapat mengakibatkan
penurunan Image Uniformity dan Signal
to noise ratio.
Maka dari itu ACR [1]
menyarankan sebaiknya menggunakan
Magnitude-reconstructed images karena
software tersebut dapat membuat hasil
citra yang dihasilkan terbebas dari
kesalahan dalam sinyal MRI dan pastikan
juga bahwa coil tidak berpindah – pindah
pada saat melakukan scanning dan
sebaiknya juga menghubungi service
engineer agar dapat dilakukan pengujian
Radiofrequency Coil Checks untuk dapat
memastikan kinerja dari RF coil tersebut
dan agar dapat dilakukan recalibrating
pada quadrature channels dari receiver
coil, hal tersebut dapat mengurangi noise
yang terdapat pada citra yang dihasilkan
nantinya.
Pengujian Artifact Analysis
Hasil pengujian artifact analysis
didapatkan hasil yaitu pada BRSU
Tabanan ditemukan satu jenis artifact
pada citra MRInya. Pada RSUD Badung
dan RSUP Sanglah tidak ditemukan jenis
artifact apapun pada citra MRInya.
Pada pengujian Artifact Analysis
hanya satu dari tiga rumah sakit yang
dilakukan pengujian ini tidak memenuhi
standar pengujian internasional yaitu
BRSU Tabanan, dimana pada slice
kelima terdapat artifact geometric
distortion. Menurut ACR (2015) faktor –
faktor yang menyebabkan artifact
geometric distortion yaitu misscalibrated
pada satu atau lebih dari gradient coil
tersebut, misscalibrated pada gradient
coil dapat menyebabkan gradient x, y,
atau z dalam citra yang dihasilkan
tampak melengkung atau lebih panjang
atau lebih pendek daripada yang
sebenarnya. Gradient coil perlu waktu
untuk melakukan warm up dan untuk
menstabilisasikan gradient nya ketika
gradient coil dihidupkan. Pada salah satu
gradient coil di BRSU Tabanan telah
mengalami gangguan beberapa waktu
lalu sehingga hal tersebut dapat
menyebabkan terjadi nya artifact
geometric distortion.
Maka dari itu ACR [1]
menyarankan sebaiknya permasalahan ini
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
56 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi
disampaikan kepada service engineer
agar dapat dilakukan calibrating dengan
baik pada gradient coil nya.
Pengujian High Contrast Resolution
Hasil pengujian high contrast
resolution didapatkan hasil yaitu pada
RSUD Badung dan RSUP Sanglah sama
– sama mendapatkan hasil resolution
insert yang terpisah hingga kelompok
yang ketiga. Lalu pada BRSU Tabanan
resolution insertnya hanya terpisah
hingga kelompok kedua sehingga pada
pengujian High Contrast Resolution
seluruh rumah sakit yang dilakukan
pengujian ini telah memenuhi standar
pengujian internasional.
Pengujian Low Contrast Resolution
Hasil pengujian low contrast
resolution didapatkan hasil yaitu pada
RSUD Badung dan RSUP Sanglah sama-
sama mendapatkan jumlah spokes yang
tampak yaitu sebanyak 10 spokes. Lalu
pada BRSU Tabanan mendapatkan
jumlah spokes yang tampak sebanyak 9
spokes sehingga pada pengujian Low
Contrast Resolution seluruh rumah sakit
yang dilakukan pengujian ini telah
memenuhi standar pengujian
internasional.
Pengujian Slice Thickness Accuracy
Hasil pengujian slice thickness
accuracy didapatkan hasil yaitu pada
RSUP Sanglah mendapatkan hasil
pengukuran slice thickness accuracy
dengan standar deviasi yaitu sebesar
5,12mm. Lalu pada RSUD Badung
mendapatkan hasil pengukuran slice
thickness accuracy dengan standar
deviasi sebesar 0,64mm dan pada BRSU
Tabanan mendapatkan hasil pengukuran
slice thickness accuracy dengan standar
deviasi sebesar 0,48mm.
Pada pengujian Slice Thickness
Accuracy hanya satu dari tiga rumah sakit
yang dilakukan pengujian ini tidak
memenuhi standar pengujian
internasional yaitu RSUP Sanglah. Faktor
– faktor yang dapat menyebabkan
kegagalan pada pengujian ini antara lain :
RF amplifier yang tidak linier dapat
menyebabkan distorsi pada bentuk pulsa
RF sehingga pada beberapa scanner,
seorang service engineer harus secara
berkala mengkalibrasi RF power
amplifier nya dan terjadinya malfungsi di
mana saja di bagian high-power RF
portion yang terdapat di scanner seperti
RF power amplifier, kabel coaxial, RF
switch, dan pada transmitter yang
terdapat di coil itu sendiri sehingga
bentuk pulsa yang dihasilkan dapat
terdistori serta kalibrasi gradient coil
yang buruk juga dapat menyebabkan
kegagalan pada pengujian ini [1]. RF coil
di RSUP Sanglah sering mengalami
gangguan sedangkan RF power amplifier
dan gradient coil di RSUP Sanglah juga
tidak pernah dilakukan kalibrasi secara
berkala sehingga faktor – faktor tersebut
yang dapat menyebabkan kegagalan pada
pengujian ini.
Maka dari itu sebaiknya
permasalahan ini disampaikan kepada
service engineer agar dapat dilakukan
recalibrating pada radiofrekuensi
amplifier power nya agar dapat linier
kembali dan gradient coil nya juga dapat
dilakukan recalibrating dengan baik [1].
Pengujian Geometric Accuracy
Hasil pengujian geometric
accuracy didapatkan hasil yaitu hasil
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
57 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi
pengukuran sumbu X di BRSU Tabanan
memiliki selisih yang paling tinggi
dibandingkan dengan ukuran sumbu X
yang sebenarnya, dengan selisih sebesar
4,2mm. Lalu hasil pengukuran sumbu X
di RSUD Badung memiliki selisih
sebesar -3,1mm dan hasil pengukuran
sumbu X pada RSUP Sanglah memiliki
selisih sebesar 1,36mm. Pengukuran
sumbu Y di BRSU Tabanan juga
memiliki selisih hasil pengukuran sumbu
Y yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan ukuran sumbu Y yang sebenarnya
dengan selisih sebesar 1,3mm. Lalu pada
RSUP Sanglah memiliki selisih hasil
pengukuran sumbu Y sebesar 0,39mm
dan pada RSUD Badung tidak memiliki
selisih hasil pengukuran sumbu Y
sehingga ukuran sumbu Y di RSUD
Badung sama dengan ukuran sumbu Y
yang sebenarnya. Hasil pengukuran
sumbu Z di RSUP Sanglah memiliki
selisih yang paling tinggi dibandingkan
dengan sumbu Z yang sebenarnya dengan
selisih sebesar -3,53mm. Lalu hasil
pengukuran sumbu Z di RSUD Badung
memiliki selisih sebesar 2mm dan pada
BRSU Tabanan tidak memiliki selisih
pengukuran sumbu Z sehingga ukuran
sumbu Z di BRSU Tabanan sama dengan
ukuran sumbu Z yang sebenarnya.
Pada pengujian Geometric
Accuracy seluruh rumah sakit yang
dilakukan pengujian ini tidak memenuhi
standar pengujian internasional, dimana
pada BRSU Tabanan dan RSUD Badung
sumbu x nya tidak memenuhi standar
pengujian internasional, sedangkan pada
RSUP Sanglah sumbu z nya tidak
memenuhi standar pengujian
internasional. Faktor – faktor penyebab
yang paling umum dari kegagalan
pengujian ini yaitu misscalibrated pada
satu atau lebih dari gradient coil tersebut,
misscalibrated pada gradient coil dapat
menyebabkan gradient x, y, atau z dalam
citra yang dihasilkan tampak melengkung
atau lebih panjang atau lebih pendek
daripada yang sebenarnya [1]. Gradient
coil perlu waktu untuk melakukan warm
up dan untuk menstabilisasikan gradient
nya ketika gradient coil dihidupkan.
Penyebab lainnya yang menyebabkan
kegagalan pada pengujian ini yaitu
penggunaan receiver bandwidth yang
rendah dengan tujuan untuk
meningkatkan nilai signal to noise ratio,
hal ini dapat menyebakan terjadinya
inhomogenitas pada medan magnet
sehingga distorsi pada citra semakin
besar dan menyebabkan kesalahan
dimensi yang signifikan dalam citra
phantom tersebut. Selain itu penyebab
terjadinya inhomogenitas pada medan
magnet antara lain pengaturan yang tidak
tepat pada offsets gradient, shim magnet
yang aktif maupun yang pasif, atau
terdapat benda – benda ferromagnetic
seperti pisau saku atau jepit rambut yang
besar pada bore magnet. Inhomogenitas
pada medan magnet sering terjadi
terutama pada pesawat MRI yang
menggunakan sistem open magnet, yang
secara keseluruhan memiliki jumlah
gradient linier dan homogenitas medan
magnet yang kecil. Receiver bandwidth
yang digunakan pada pengujian ini sudah
sesuai dengan yang telah ditetapkan
sehingga hal tersebut dapat
dikesampingkan [1]. Pada salah satu
gradient coil di BRSU Tabanan telah
mengalami gangguan beberapa waktu
lalu dan pesawat MRI di BRSU Tabanan
menggunakan sistem open magnet
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
58 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi
sehingga inhomogenitas magnetnya
tinggi dan faktor – faktor tersebut
menyebabkan kegagalan pada pengujian
ini. Pesawat MRI di RSUD Badung dan
RSUP Sanglah tidak menggunakan
sistem open gantry sehingga hal tersebut
dapat kesampingkan sedangkan gradient
coil di RSUD Badung dan RSUP Sanglah
tidak pernah dilakukan calibrating
sehingga faktor tersebut yang dapat
menyebabkan kegagalan pada pengujian
ini.
Maka dari itu sebaiknya
permasalahan ini disampaikan kepada
service engineer agar dapat dilakukan
calibrating pada gradient coilnya dan
dapat dilakukan pengujian Magnetic
Field Homogeneity karena
inhomogeneity magnet yang cukup besar
dapat menyebabkan kegagalan geometric
accuracy sehingga setelah pengukuran
tersebut dapat dilakukan pengujian
geometric accuracy ulang [1].
Pengujian Slice Position Accuracy
Hasil pengujian slice position
accuracy didapatkan hasil yaitu pada
RSUP Sanglah mendapatkan hasil
pengukuran slice position accuracy
dengan standar deviasi yaitu sebesar -
1,33mm. Lalu pada BRSU Tabanan
mendapatkan hasil pengukuran slice
position accuracy dengan standar deviasi
sebesar 0,85mm dan pada RSUD Badung
mendapatkan hasil pengukuran slice
position accuracy dengan standar deviasi
sebesar -0,3mm sehingga pada pengujian
Slice Position Accuracy seluruh rumah
sakit yang dilakukan pengujian ini telah
memenuhi standar pengujian
internasional.
Pengujian Setup and Table Position
Accuracy
Hasil pengujian setup and table
position accuracy diatas didapatkan hasil
sebagai berikut: Semua rumah sakit yang
dilakukan pengujian setup and table
position accuracy mendapatkan hasil
pengukuran yang sama yaitu sebesar
5mm sehingga pada pengujian Setup and
Table Position Accuracy seluruh rumah
sakit yang dilakukan pengujian ini telah
memenuhi standar pengujian
internasional.
KESIMPULAN
Pada pengujian High Contrast
Resolution, Low Contrast Resolution,
Slice Position Accuracy, dan Setup and
Table Position Accuracy seluruh rumah
sakit yang dilakukan pengujian tersebut
memenuhi standar pengujian
internasional sedangkan pada pengujian
geometric accuracy, seluruh rumah sakit
tidak memenuhi standar pengujian
internasional. Pada pengujian Signal To
Noise Ratio terdapat dua rumah sakit
yang tidak memenuhi standar pengujian
internasional. Pada pengujian Artifact
Analysis hanya terdapat satu rumah sakit
saja yang tidak memenuhi standar
pengujian internasional dan pada
pengujian Slice Thickness Accuracy juga
hanya terdapat satu rumah sakit saja
yang tidak memenuhi standar pengujian
internasional.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. American College Radiology,
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Quality Control Manual, hh. 22-100,
America, 2015
PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI
PROVINSI BALI
59 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi
[2]. NessAiver, Moriel S, The Pyhsics
Components Of The ACR MRI
Accreditation Program Are Overly
Tedious And Beyond Whats Is
Needed To Ensure Good Patient
Care, hh. 3420, Department
Radiology University Of Alabama.,
Birmingham, 2008
[3]. Papp, Jeffry, Quality Management
In The Imaging Science Third
Edition, hh. 243-251, Saint Louis.,
Mosby, 2006
[4]. Weishaupt, Dominik, How Does
MRI Work Second Edition, hh. 7-42,
Springer Berlin Hiedelberg., New
York, 2006
TANYA JAWAB
Akhmad Muzamil
Pada setting Parameter mengenai
pengaturan matriks dan filter
(normalized) apakah menjadi bahan
pertimbangan?
Bagus Yudi
Matriks standart 150x256
Filter Standart
Normalized non Aktiv
PROSIDING
SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018
Ayu W.S PISSN 2620-8040 60
PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-
X DI LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA
MENGGUNAKAN SURVEYMETER RANGER
Ayu Wita Sari
Prodi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta
ABSTRAKS
PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI
LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN
SURVEYMETER RANGER. Telah dilakukan pengukuran dosis radiasi dan kebocoran pesawat
sinar-x di Laboratorium Radiologi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta menggunakan Surveymeter
Ranger. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui dosis radisi di ruangan dan sekitar serta
mengetahui kebocoran pesawat sinar-x yang digunakan di Lab.Radiologi sehingga tingkat
keamanan radiasi bisa diketahui. Pengukuran dosis radiasi dilakukan pada 6 titik pengukuran yang
ditempatkan di dalam ruangan maupun sekitar ruangan. Untuk pengukuran kebocoran pesawat
Sinar-x dilakukan pada 4 titik yang berada disekitar dengan kolimator tertutup. Pengukuran dosis
radiasi dan kebocoran pesawat dilakukan pada saat penyinaran Cranium AP dengan 70kVp, 63mA,
dan 0.25s. Hasil penelitian menunjukkan tingkat laju paparan radiasi disekitar ruang laboratorium
radiologi STIKES Guna Bangsa masih dikategorikan aman yang dibuktikan dengan nilai yang
berada di bawah standar yang ditetapkan. Sedangkan untuk pengukuran kebocoran tabung sinar-X
nilai paparan tertinggi yaitu di sisi kanan atau pada sisi anodanya yaitu sebesar (0,801 ± 0,031)
μGy/h diukur pada jarak 1m dari sumber. Akan tetapi masih dikategorikan aman karena nilainya
dibawah batas intensitas yang diizinkan. Sesuai dengan acuan peraturan bahwa tingkat paparan
radiasi tabung tidak boleh lebih dari 100 mR/h pada jarak 1m dari sumber sinar-X pada setiap arah.
Sedangkan untuk tingkat paparan radiasi yang ditempati oleh pekerja radiasi tidak boleh melebihi
2,5mR/h untuk penduduk umum tidak boleh melebihi 0,25mR/h. Maka dari itu penelitian ini
menyimpulkan bahwa tabung dan lingkungan pesawat sinar-X di ruang Laboratorium STIKES Guna
Bangsa untuk sistem radiografi konvensional termasuk aman dan masih layak digunakan.
Kata Kunci : Laju Dosis Radiasi, Surveymeter digital, dan Kebocoran Tabung Sinar-X
PENDAHULUAN
Paparan radiasi dalam pekerjaan
dapat terjadi akibat dari berbagai aktivitas
manusia, termasuk pekerjaan yang
berhubungan dengan tahap-tahap
pengelolaan siklus bahan bakar nuklir, di
bagian radiologi rumah sakit dan lain -
lain. Di rumah sakit sendiri sinar-X
dimanfaatkan untuk mendiagnosis adanya
suatu penyakit pasien yang ditempatkan
dalam suatu ruangan khusus yang didesain
agar paparan radiasi tidak dapat
menembus keluar dari ruangan yang akan
menyebabkan pekerja radiasi dan
masyarakat sekitar ikut terpapar. Olehnya
PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI
LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN
SURVEYMETER RANGER.
61 | PISSN 2620-8040 Ayu W.S
itu, untuk menangkal paparan radiasi
tersebut, perlu adanya material yang
mampu mencegah kemungkinan adanya
kebocoran radiasi untuk mewujudkan
dalam hal kesehatan dan keselamatan
kerja. Pelayanan radiologi harus
memperhatikan aspek keselamatan kerja
radiasi sehingga dalam upaya
pengendalian, Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor
33 tahun 2007 tentang Keselamatan
Radiasi Pengion dan Keamanan sumber
radioaktif, Surat Keputusan Kepala
Bapeten nomor 01/Ka-Bapeten/V-99
tentang Kesehatan terhadap radiasi
pengion disebut keselamatan radiasi, yang
memuat nilai batas dosis yaitu pekerja
radiasi < 50 mSv/tahun dan masyarakat
umum < 5 mSv/tahun (Bapaten, 2003).
Untuk mewujudkan hal ini, maka
diperlukan material yang mampu
berfungsi sebagai perisai. Penelitian
tentang keluaran radiasi pada pesawat
sinar -X telah dilakukan pada tahun 2008
oleh Djoko Maryanto dkk, hasil dari
penelitian menyatakan bahwa secara
umum hasil perbandingan menunjukkan
bahwa tebal dinding beton penahan radiasi
di Unit Radiologi (beton 18 cm yang
dilapisi Pb 1 mm) lebih tebal dari hasil
perhitungan tebal minimal penahan radiasi
secara teoritis untuk beton adalah 17,8 cm,
dan laju dosis yang dihasilkan 2,232
R/Jam maka untuk operasional pesawat
sinar–X di Unit Radiologi RSU Kota
Yogyakarta sudah sesuai dengan
persyaratan sistem keselamatan kerja
radiasi dari BAPETEN. Penelitian
berikutnya tentang sinar-X juga dilakukan
pada tahun 2012 oleh Anugrah
Firmansyah dengan hasil dari penelitian
menyatakan bahwa terdapat kebocoran
pada Phywe X-Ray Unit.
Penahan dinding radiasi yang
biasanya digunakan di rumah sakit ruang
radiologi yaitu beton dengan Pb (timbal),
sedangkan di Laboratorium Radiologi
STIKES Guna Bangsa Yogyakarta sendiri
penahan dinding radiasinya terdiri dari
gypsum dan Pb setebal 2 mm, maka perlu
adanya proteksi radiasi untuk keselamatan
kerja radiasi, salah satunya yaitu
mengetahui laju paparan dosis sinar-X dan
tingkat kebocoran tabung pesawat Sinar-
X. Maka pada penelitian ini akan
dilakukan pengukuran Laju Paparan
Radiasi dan Kebocoran radiasi pada
pesawat Sinar-X di Laboratorium
Radiologi STIKES Guna Bangsa
Yogyakarta. Sehingga karyawan dan
dosen serta mahasiswa yang berada
disekitar laboratorium dapat mengetahui
kelayakan keselamatan kerja di
Laboratorium Radiologi STIKES Guna
Bangsa Yogyakarta. Tujuan dari
penelitian ini yaitu untuk mengetahui
seberapa besar laju paparan radiasi
disekitar ruang laboratorium radiologi dan
seberapa besar tingkat kebocoran radiasi
pesawat sinar-X mobile unit merk
Shanghai Guangzheng.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan pada
penelitian ini yaitu dengan eksperimen
atau pengambilan data secara langsung
dengan menggunakan alat deteksi radiasi
lingkungan/surveymeter ranger. Penelitian
ini dilakukan pada bulan mei 2017.
1. Alat dan bahan yang digunakan
a. Pesawat Sinar-X unit mobile Merk
Shanghai Guangzheng model SF 100
BY dengan nomor seri 150014 tahun
pembuatan 2015.
PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI
LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN
SURVEYMETER RANGER.
62 | PISSN 2620-8040 Ayu W.S
b. Alat deteksi radiasi lingkungan yaitu
Surveymeter digital Merek Ranger.
c. Alat pelindung Diri (Apron)
d. Pita Pengukur
e. Blok Pb tebal 2 mm
2. Prosedur Pengukuran Laju
paparan radiasi
a. Mencatat data pesawat sinar-x
meliputi merk pesawat, type tabung
dan no. seri tabung (tabung bagian
dalam/Insert Tube, bukan wadah
tabung/Tube Housing)
b. Mencatat data ruangan tempat
pesawat sinar-x meliputi
ukuran ruangan, dinding, ruang
operator, pintu, tanda radiasi.
c. Menyiapkan surveymeter untuk
mengukur laju paparan radiasi.
d. Menggunakan apron sebelum
melakukan penyinaran.
e. Melakukan penyinaran untuk kondisi
penyinaran tertentu, misalnya
Cranium dan mencatat tegangan
(70kV), arus (63mA) dan waktu
(0,25s) paparan.
f. Memposisikan switch pada
surveymeter diawali dengan
mengukur laju dari titik 1 dan titik 2
hingga skala penunjuk terbaca saat
pengukuran dilakukan. (Posisi switch
yang benar adalah pada kedudukan
switch dengan satuan mGray/jam atau
mRad/jam, Ingat : Dosis persatuan
waktu ).
g. Melakukan pengukuran laju paparan
radiasi di beberapa tempat atau titik
tertentu, misalnya tempat dibelakang
pesawat dan operator, dibalik pintu
dan ruang tunggu, kamar gelap dan
ruang sekitar (sesuai dengan lembar
data pengukuran), dengan kondisi
ruang penyinaran tertutup.
3. Prosedur Pengukuran
Kebocoran Tabung Sinar-X
a. Mencatat jenis pemeriksaan yang
dilakukan dengan kondisi penyinaran
yang maksimum yang pernah
digunakan, misalnya Cranium.
b. Mencatat tegangan operasi ( 70
kV), arus ( 63 mA) dan waktu (
0,25 s) paparan.
c. Memposisikan switch pada
surveymeter diawali dengan skala
yang lebih besar untuk mengukur
laju dosis radiasi, bila tidak
terbaca ulangi dengan skala yang
lebih kecil hingga skala penunjuk
terbaca saat pengukuran
dilakukan. (Posisi switch yang
benar adalah pada kedudukan
switch dengan sastuan mGray/jam
atau mRad/jam, Ingat : Dosis
persatuan waktu).
d. Memegang Surveymeter pada
jarak 1 meter dari tabung pesawat
dengan arah depan, belakang,
samping kiri dan kanan tabung.
e. Mengoperasikan pesawat sinar-x
sesuai dengan kondisi penyinaran
yang ditentukan dan melakukan
pembacaan pada surveymeter
seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Surveymeter
PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI
LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN
SURVEYMETER RANGER.
63 | PISSN 2620-8040 Ayu W.S
4. Analisis Data
Analisis data dapat dilakukan
dengan mengolah data pengukuran,
baik di sekitar tabung maupun di
sekitar ruang pesawat sinar-X. Rerata
data yang telah diolah selanjutnya
dilakukan verifikasi data menurut
acuan paparan radiasi yang telah
diizinkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran laju paparan
radiasi dari tiap-tiap posisi pengukuran
menunjukkan nilai yang beragam, yang
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Akumulasi pengukuran Laju Paparan
radiasi Jenis
Pemerik
saan
Posisi
pengukuran
Material Rata2 Hasil ukur
(μGy/h)
Cranium
AP
Km. Gelap Partisi
gypsum
lapis Pb
2mm
0.430 ± 0,023
R.Kelas 0.228 ± 0,015
R.LPMI 0.312 ± 0,022
R.Operator 0.560 ± 0,028
Di setiap titik atau posisi
pengukuran yang dikategorikan aman dan
tidak membahayakan. Akan tetapi laju
paparan radiasi tertinggi terdapat pada
ruang operator sebesar (0,560 ± 0,028)
μGy/h dan untuk laju paparan terendah
terdapat di ruang kelas sebesar (0,228 ±
0,015) μGy/h. Berdasarkan hasil analisa di
atas bagi mahasiswa atau civitas
akademika yang berada di sekitar
laboratorium radiologi STIKES Guna
Bangsa mendapatkan paparan yang aman
jika berada di ruang tersebut. Akan tetapi
sangat dipertimbangkan untuk pembatasan
waktu pada ruang tersebut. Secara
keseluruhan hasil paparan radiasi sudah
sesuai standar keamanan dibuktikan
dengan nilai rata-ratanya dibawah standar
toleransi.
Berikut adalah hasil pengukuran
kebocoran radiasi pada tabung pesawat
sinar-X dari masing-masing posisi ukur
menunjukkan nilai yang beragam, yang
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Akumulasi pengukuran kebocoran
tabung sinar-X kondisi kolimator tertutup
Faktor Eksposi Posisi Ukur
(1 meter dari
tabung)
Rata-rata
Hasil ukur
(μGy/h)
kVp mA s
70 63 0,25 Depan 0,089 ± 0,001
70 63 0,25 Kanan 0,801 ± 0,031
70 63 0,25 Kiri 0,201 ± 0,010
70 63 0,25 Belakang 0,077 ± 0,002
Berdasarkan tabel 2 di setiap titik atau
posisi pengukuran masih ditergolong
aman dan juga tidak membahayakan untuk
para mahasiswa yang sedang melakukan
kegiatan praktikum atau penelitian. Akan
tetapi harus memperhatikan jarak aman
dari sekitar tabung sinar-X. Untuk lebih
amannya harus berada di atas radius 1m
dari sumber radiasi. Selain itu juga harus
membatasi waktu jika berada di daerah
dekat dengan tabung sinar-X yang sedang
bekerja. Untuk petugas atau mahasiswa
harus menggunakan alat pelindung diri
sesuai dengan SOP laboratorium atau
berada di dalam ruang operator. Hal ini
dikarenakan konstruksi dinding pada
ruangan sudah memenuhi standar
keamanan dengan material partisi gypsum
dan lapisan Pb 2mm.
KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan dari penelitian
ini dapat diambil kesimpulan bahwa laju
paparan radiasi tertitinggi berada di dalam
operator sebesar (0,560 ± 0,028) μGy/h
karena posisinya dekat dengan pesawat
sinar-X dan bagian atas terbuka.
Sedangkan laju terendahnya di sekitar
PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI
LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN
SURVEYMETER RANGER.
64 | PISSN 2620-8040 Ayu W.S
ruang kelas sebesar (0,228 ± 0,015)
μGy/h. Tingkat laju paparan radiasi
disekitar ruang laboratorium radiologi
STIKES Guna Bangsa masih
dikategorikan aman yang dibuktikan
dengan nilai yang berada di bawah standar
yang ditetapkan. Sedangkan untuk
pengukuran kebocoran tabung sinar-X
nilai paparan tertinggi yaitu di sisi kanan
atau pada sisi anodanya yaitu sebesar
(0,801 ± 0,031) μGy/h diukur pada jarak
1m dari sumber. Akan tetapi masih
dikategorikan aman karena nilainya
dibawah batas intensitas yang diizinkan.
Sesuai dengan acuan peraturan bahwa
tingkat paparan radiasi tabung tidak boleh
lebih dari 100 mR/h pada jarak 1m dari
sumber sinar-X pada setiap arah.
Sedangkan untuk tingkat paparan radiasi
yang ditempati oleh pekerja radiasi tidak
boleh melebihi 2,5mR/h untuk penduduk
umum tidak boleh melebihi 0,25mR/h.
Maka dari itu penelitian ini menyimpulkan
bahwa tabung dan lingkungan pesawat
sinar-X di ruang Laboratorium STIKES
Guna Bangsa untuk sistem radiografi
konvensional termasuk aman dan masih
layak digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Akhadi, Muhlis. 2002. Pancaran
SinarX Karakteristik untuk
Pemeriksaan Medis.Online. www.
tempointeraktif.com[diakses23/06/07]
.
[2] Beiser, A. 1984.Concept of Modern
Physics (3rd
ed). Singapore: McGraw
Hill.
[3] Electromedical. 2008. Dasardasar
pesawatRoengent.Online:electromedic
alengineering. blogspot. Com [diakses
12/02/09]
[4] Halmshaw, R. 1986. Industrial
Radiography. AgfaGevaert N.V:
AGFA
[5] Siemens. 2003. Pengukuran Proteksi
dan Paparan Radiasi. Jakarta: PT
Siemens Indonesia.
[6] Suratman.1996. Introduksi Proteksi
Radiasi Bagi Siswa/Mahasiswa
Praktek. BatanYogyakarta:Puslitbang
T eknologi Maju.
TANYA JAWAB
Nadela
Bagaimana jika laju paparan radiasi sudah
melebihi standar yang diizinkan?
Ayu Wita Sari
Coordinator Lab. Radiologi akan
menyampaikan hasil pengukuran kepada
ketua STIKES dan Yayasan mengenai
tidak amannya kondisi pesawat yang
digunakan dan mengajukan permohonan
untuk melakukan service atau pengajuan
alat yang baru.