refrat emboli paru
DESCRIPTION
Refrat Emboli ParuTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Emboli paru dan trombosis vena dalam (TVD) merupakan spektrum dari satu
penyakit utama yakni tromboemboli vena dan memiliki faktor predisposisi yang sama.
Pada sebagian besar kasus emboli paru merupakan konsekuensi dari TVD. Diantara
pasien dengan TVD proksimal, sekitar 50% memiliki dan berhubungan dengan emboli
paru yang asimptomatik pada hasil pemindaian paru. Sementara pada 70% pasien
dengan emboli paru juga memiliki TVD pada ekstremitas bawah. (Moores, 2009)
Epidemiologi tromboemboli vena sampai sekarang masih diperhitungkan.
Walaupun emboli paru dan TVD merupakan manifestasi dari suatu penyakit tunggal
yang dikenal dengan tromboemboli vena, emboli paru memiliki gambaran yang sangat
berbeda dengan TVD. Risiko kematian yang berhubungan dengan episode akut atau
rekuren emboli paru lebih besar pada pasien dengan emboli paru dibandingkan dengan
TVD. Sesuai dengan studi prospektif, angka kematian akut untuk emboli paru berkisar
dari 7 hingga 11%. Episode rekuren juga tiga kali lebih sering untuk terjadi emboli paru
setelah kejadian emboli paru awal dibandingkan dengan TVD. (Stein, 2005)
Wanita memiliki risiko tromboemboli yang meningkat baik vena ataupun arteri
selama kehamilan. Dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil, risiko tromboemboli
vena meningkat 4 hingga 5 kali lipat. Pada masa post partum, risiko ini meningkat lebih
tinggi (20 kali lipat). Prevalensi secara umum kejadian tromboemboli selama kehamilan
diperkirakan sebesar 2 per 1000 kehamilan dengan lebih kurang 20% kasus merupakan
tromboemboli arteri dan sisanya vena. Tromboemboli vena berperan dalam 1,1
kematian per 100.000 persalinan, atau lebih kurang 10% kematian maternal. (Heit,2005, James
dkk, 2006)
BAB II
TROMBOEMBOLI VENA
A. Epidemiologi
Emboli paru dan TVD merupakan presentasi klinis dari tromboemboli vena
dan berhubungan dengan faktor risiko yang sama. Epidemiologi tromboemboli vena
telah beberapa kali diteliti. Prevalensi emboli paru pada pasien yang dirawat di
Amerika Serika antara 1979 hingga 1999 sebesar 0,4%. Walaupun hanya 40-53
per 100.000 orang yang terdiagnosis dengan emboli paru, insidensi tahunan di AS
sekitar 600.000 kasus. Sementara data di Eropa belum banyak didapatkan dengan
kejadian tromboemboli vena 595 orang (25%) pada studi otopsi dengan emboli
paru ditemukan pada 431 kasus. (Torbicki, 2008)
Emboli paru merupakan masalah kesehatan internasional yang penting akan
tetapi sulit ditemukan dan seringkali tidak terdiagnosis. Sekurang-kurangnya
100.000 pasien di Amerika Serikat meninggal tiap tahun sebagai konsekuensi
langsung dari emboli paru akut dengan 100.000 kematian lainnya terjadi pada
pasien dengan penyakit penyerta dimana emboli paru berperan secara signifikan.
Angka mortalitas dalam 3 bulan pada pasien dengan emboli paru akut sebesar 15
persen dan sejumlah pasien dengan emboli paru meninggal segera setelah gejala
klinis bahkan sebelum diagnosis dikonfirmasi dan terapi diinisiasi. Angka mortalitas
emboli paru yang tidak mendapatkan terapi sekitar 30%, tetapi dengan terapi yang
adekwat, angka ini dapat ditekan hingga 2-8 %. Walaupun perkembangan yang
pesat pada uji diagnostik dan intervensi terapeutik, emboli paru masih tetap kurang
terdiagnosis dan profilaksis masih belum cukup banyak digunakan. (Moores, 2009)
Tromboemboli vena dikenal sebagai akibat dari interaksi antara faktor risiko
yang berhubungan dengan pasien yang biasanya permanen dan faktor risiko yang
tergantung keadaan. Secara umum faktor risiko tromboemboli venan ini dapat
dibagi atas tiga kelompok, yakni : (Torbicki, 2008)
1. Faktor predisposisi kuat (dengan rasio kemungkinan >10)
Yang termasuk kelompok ini adalah fraktur pada panggul dan kaki, operasi
penggantian panggul atau lutut, operasi mayor, trauma mayor, cidera medulla
spinalis
2. Faktor predisposisi sedang (dengan rasio kemungkinan 2-9)
Yang termasuk kelompok ini adalah operasi lutut arthroskopis, vena sentral,
kemoterapi, gagal jantung dan nafas kronis, terapi penggantian hormone,
keganasan, terapi kontrasepsi oral, kehamilan/post partum, kejadian
tromboemboli vena sebelumnya dan trombofilia
3. Faktor predisposisi lemah (dengan rasio kemungkinan <2)
Yang termasuk kelompok ini adalah tirah baring > 3 hari, imobilitas karena duduk
(perjalanan udara dan darat lama), usia tua, obesitas, antepartum dan varises
vena
Sementara faktor risiko genetik meliputi resistensi protein C yang teraktivasi
(mutasi faktor V leiden), defisiensi anti thrombin III, defisiensi protein C, defisiensi
protein S, disfibrinogenemia, gangguan aktivasi plasminogen, adanya antibodi
antifosfolipid dan hiperhomosisteinemia.
B. Patofisiologi
Trias Virchow mengenai stasis vena, cidera endotel pembuluh darah dan
hiperkoagulabilitas menjelaskan bagaimana proses yang bermacam-macam dapat
berinteraksi untuk mengatasi mekanisme antitrombotik yang menghasilkan
tromboembolisme vena. Stasis vena berpredisposisi terjadinya tromboembolisme
vena dengan membiarkan faktor koagulasi yang teraktivasi tetap tidak terdilusi dan
kontak dengan endotel vaskuler. Cidera atau trauma pada vaskuler seperti adanya
kateter infus, menginisiasi thrombosis melalui pelepasan faktor jaringan yang
mengaktivasi protein koagulasi. Sementara hiperkoagulabilitas menjelaskan
abnormalitas jalur system fibrinolitik ataupun defisiensi didapat ataupun congenital
dan abnormalitas fungsional yang berpredisposisi pada pasien dengan
tromboembolisme vena. (Moores,2009, Torbicki,2008)
Konsekuensi dari emboli paru akut utamanya ada pada masalah
hemodinamik dan makin jelas apabila >30-50% pembuluh arteri pulmonal dioklusi
oleh tromboemboli. Emboli yang besar dan atau banyak dapat meningkatkan secara
tiba-tiba resistensi vaskuler paru ke tingkat dimana tidak dapat dikompensasi oleh
ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan kematian mendadak yang biasanya
dalam bentuk dissosiasi elektromekanik. Selain itu, pasien dapat tampil dengan
pingsan dan/atau hipotensi sistemik yang akan berlanjut menjadi syok dan kematian
karena gagal ventrikel kanan akut. Menonjolnya septum interventrikel kea rah kanan
juga akan menekan curah jantung sistemik lebih buruk sebagai akibat disfungsi
diastolik ventrikel kiri. Secara sekilas patofisiologi dari emboli paru akut dapat dilihat
pada gambar 1. (Moores,2009, Torbicki,2008, Wood,2002)
Gambar 1. Patofisiologi emboli paru (Wood, 2002)
Pada pasien yang selamat dari episode akut emboli paru, sensor sistemik
akan mengaktivasi system simpatis. Stimulasi inotropik dan kronotropik serta
mekanisme Frank-Starling berakibat pada peningkatan tekanan arteri pulmonalis
yang akan membantu meningkatkan aliran darah pulmonal, pengisian dan curahan
ventrikel kiri. Bersamaan dengan vasokonstriksi sistemik, mekanisme ini dapat
menstabilisasi tekanan darah sistemik.(Moores,2009, Torbicki,2008)
Insufisiensi respiratoris pada emboli paru secara umum merupakan
konsekuensi dari gangguan hemodinamik. Beberapa faktor dapat berkontribusi pada
terjadinya hipoksia selama episode emboli paru. Curah jantung yang rendah
berakibat pada desaturasi dari darah yang masuk ke sirkulasi paru. Zona dengan
aliran yang kirang dan aliran berlebih pada pembuluh kapiler yang tidak terobstruksi
mengakibatkan gangguan ventilasi dan perfusi yang berakibat ke hipoksemia.
Emboli yang lebih kecil dan distal, walaupun tidak mempengaruhi hemodinamik,
dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan alveoli paru yang menghasilkan gejala
batuk darah, pleuritis dan efusi pleura yang ringan. Gejala klinis ini biasa dikenal
sebagai infark pulmonal, hanya memiliki efek yang ringan pada perubahan gas,
kecuali pada pasien dengan penyakit kardiorespirasi yang sudah ada sebelumnya. (Dalen,2002, Torbicki,2008).
Emboli paru biasanya diawali dari sistem vena dalam tubuh sebagai
komplikasi TVD. Walaupun TVD biasanya diawali pada ektremitas bawah beberapa
trombus terjadi di vena pelvis, vena renal, vena ekstremitas atas dan jantung kanan.
Kejadian TVD dapat hilang dengan sendirinya dengan resolusi bekuan darah pada
sebagian besar kasus, dapat terembolisasi yang menghasilkan emboli paru dan bisa
menimbulkan sindrom insufisiensi vena pasca trombosis. (Dalen,2002, Torbicki,2008).
C. Diagnosis
Diagnosis klinis dari TVD pada ekstremitas bawah tidak sensitif dan tidak
spesifik dimana TVD hanya didapatkan pada 10-25% pasien yang dicurigai memiliki
penyakit tersebut. Bahkan ketika gejala dan tanda klasik dari tromboflebitis muncul,
hanya 45% pasien yang didapatkan TVD dengan venografi. Oleh karena itu, pasien
yang dicurigai TVD harus dilakukan penentuan kemungkinan penyakit dahulu. Skor
Wells telah tervalidasi dan digunakan untuk mengkategorisasi pasien dengan
kemungkinan rendah, sedang ataupun tinggi untuk menderita penyakit ini.(Dalen,2002,
Moores,2009)
Penghitungan kadar d-dimer pada titik evaluasi ini lebih menyederhanakan
pendekatan diagnostik ini dan dapat mengabaikan uji lebih lanjut. D-dimer dengan
kadar <0,5 ng/ml memiliki nilai sensitivitas dan nilai prediktif yang tinggi untuk
menyingkirkan TVD pada pasien dengan kemungkinan rendah atau sedang. Pada
kelompok dengan kemungkinan tinggi, nilai negatif palsu sangat tinggi, sehingga
dibutuhkan pencitraan dari ekstremitas.(Moores,2009)
Standar baku uji pencitraan untuk TVD adalah ultrasonografi kompresi.
Diagnosis dengan uji ini dibuat dengan adanya temuan berupa keabnormalan atau
tidak adanya kompresibilitas pada vena dan hasil uji Doppler. Ketiadaan
kompresibilitas pada vena sangat sensitif (>95%) dan sangat spesifik (>95%)
terhadap thrombosis vena proksimal. Pencitraan ultrasonografi terbatas terutama
dalam mendeteksi thrombus pada vena betis dalam dan dibutuhkan beberapa seri
uji jika hasil uji inisial negatif dan kemungkinan klinis tinggi.(Moores,2009)
Kecurigaan klinis adanya suatu emboli paru didapat dari suatu pendekatan
berdasarkan kombinasi beberapa faktor, termasuk ada atau tidaknya faktor risiko
yang teridentifikasi (seperti pembedahan masa lalu, obesitas atau tromboemboli
vena sebelumnya); penemuan pemeriksaan fisik (takipnea); hasil pemeriksaan
laboratorium (hipoksemia) dan adanya diagnosis alternatif (seperti asma,
pneumonia atau gagal jantung kongestif). Seperti pada TVD juga didapatkan dua
prediksi klinis yang dapat diaplikasikan yakni skor Wells dan Geneva dan dapat
dilihat pada tabel 1 dan tabel 2. Sama seperti TVD, d-dimer memiliki sensitivitas 96-
98% pada pasien dengan kecurigaan emboli paru, dimana tes ini cukup untuk
mengeluarkan pasien dengan kemungkinan penyakit rendah.(Dalen,2002, Moores,2009,
Tapson,2008)
Studi pencitraan untuk emboli paru dapat menggunakan beragam sarana.
Studi pemindaian ventilasi/perfusi merupakan uji pencitraan pertama yang
digunakan. Pasien dengan kemungkinan tinggi pada penemuan pemindaian ini dan
dengan kecurigaan klinis yang tinggi berhubungan dengan emboli paru pada >96%
Tabel 1 . Skor Wells yang disederhanakan (simplified Wells score)(Tapson,2008)
Kondisi SkorKeganasan 1Hemoptisis 1Laju denyut jantung > 100x/menit 1.5Riwayat emboli paru/TVD 1.5Imobilisasi atau operasi yang baru 1.5Tanda klinis TVD 3Tidak ada kemungkinan diagnosis lain 3Probabiliti klinis: rendah 0 – 1, sedang 2 – 6, tinggi ≥ 7Bukan emboli paru: skor 0 – 4, mungkin emboli paru: skor > 4
Tabel 2. Skor Geneva(Tapson,2008)
Kondisi NilaiRiwayat emboli paru atau TVD 2Laju denyut jantung > 100x/menit 1Operasi yang baru 3Usia (tahun)
60 – 79 1≥ 80 2
PaCO2< 4.8 kPa 24.8 – 5.19 kPa 1
PaO2< 6.5 kPa 46.5 – 7.99 kPa 38 – 9.49 kPa 29.5 – 10.99 kPa 1
Atelektasis 1Elevated hemidiaphragm 1Probabiliti klinis: rendah 0 – 4, sedang 5 – 8, tinggi ≥ 9
kasus. CT spiral angiografi pulmoner telah menjadi metode diagnosis primer untuk
evaluasi emboli paru. Metode ini telah menggantikan penggunaan angiografi
pulmoner konvensional pada sebagian pusat studi. Kelebihan metode ini adalah
metode non invasif, lebih efisien dibandingkan pemindaian ventilasi dan perfusi
serta dapat mengestimasi jumlah bekuan dan fungsi ventrikel kanan sebagai
metode prognostik pada pasien dengan emboli paru akut. Angiografi pu,moner
merupakan standar baku untuk emboli paru. Temuan yang negatif dari angiogram
dapat mengekslusi emboli paru yang secara klinis benar. Akan tetapi karena
sifatnya yang invasif dan biaya yang ditimbulkan metode ini lebih jarang digunakan
daripada CT spiral angiografi pulmoner. Gambar 2 menunjukkan algoritma diagnosis
emboli paru akut.(Moores,2009, Tapson,2008, Torbicki,2008)
Dilatasi ventrikel kanan ditemukan pada lebih kurang 25% pasien dengan
emboli paru, dan deteksinya baik dengan echokardiografi ataupun CT, sangat
penting dalam stratifikasi risiko. Kriteria echokardiografi yang digunakan dalam
diagnosis emboli paru berbeda dalam setiap uji klinik tetapi biasanya berdasarkan
atas kecepatan insufisiensi aliran trikuspid dan dimensi ventrikel kanan. Tiga kriteria
diagnosis emboli paru berdasarkan echokardiografi meliputi gangguan ejeksi
ventrikel kanan (tanda 60-60) dan penurunan kontraktilitas dari dinding bebas
ventrikel kanan dibandingkan dengan apex (tanda McConnell) cenderung memiliki
nilai prediktif positif yang tinggi, sementra tanda kelebihan tekanan ventrikel kanan
dibutuhkan untuk mencegah diagnosis yang salah dari emboli paru akut pada
pasien dengan hipokinesis ventrikel kanan karena infark ventrikel kanan. Oleh
karena alasan diatas, pemeriksaan echokardiografi tidak direkomendasikan sebagai
elemen strategi diagnostic efektif pada pasien dengan kecurigaan emboli paru pada
pasien normotensif dan stabil secara hemodinamis.(Torbicki,2008)
D. Manajemen
Tujuan jangka pendek dari manajemen tromboemboli vena adalah untuk
mengurangi komplikasi jangka pendek dan panjang seperti perluasan trombus,
emboli paru fatal, rekurensi awal, dan sindrom post trombotik. Ketika pasien dating
dengan tromboemboli vena akut, harus segera diberikan terapi anti koagulan
parenteral baik dengan heparin tidak terfraksinasi (UFH) ataupun low molecular
weight heparin (LMWH) atau fondaparinux. Terapi warfarin oral dapat diinisiasi pada
hari pertama terapi. Terapi menggunakan kedua agen harus dilanjutkan selama
minimal 5 hari dan hingga nilai international normalized ratio (INR) 2,0 – 3,0 dalam 2
kai pemeriksaan.(Moores,2009)
Gambar 2. Algorima diagnosis emboli paru.(Tapson,2008)
LMWH dan pentasakarida memberikan keuntungan lebih dibandingkan UFH
seperti bioavailabilitas yang lebih baik, dosis yang lebih dapat diprediksi dan risiko
lebih rendah trombositopenia diinduksi heparin (HIT). Pada pasien dengan HIT
terapi dengan penghambat thrombin langsung harus dipertimbangkan. Terapi
dengan warfarin tidak boleh dimulai hingga angka trombosit kembali normal,
terutama pada pasien dengan trombosis aktif yang dapat memperberat komplikasi
thrombosis.(Moores,2009)
Pasien dengan tromboemboli vena akut membutuhkan antikoagulan jangka
panjang untuk mencegah perluasan dan rekurensi. Panduan merekomendasikan
penggunaan 3 bulan terapi pada pasien dimana thrombosis terjadi pada pasien
dengan faktor risiko yang sementara. Sementara pada pasien dengan kejadian
idiopatik, terapi harus diberikan sekurang-kurangnya 3 bulan dan pasien harus
dievaluasi terhadap kadar d-dimer, ultrasonografi dan penanda inflamasi kronik
untuk menentukan pasien mana yang memiliki risiko rekurensi tinggi setelah
memberhentikan terapi anti koagulan. Pada pasien dengan faktor risiko yang
kontinu seperti malignansi dan pasien dengan kejadian rekuren, terapi jangka
panjang direkomendasikan.(Moores,2009)
BAB III
TROMBOEMBOLI VENA PADA KEHAMILAN
A. Epidemiologi
Emboli paru dan TVD merupakan dua komponen dari penyakit tunggal yang
dikenal dengan tromboemboli vena. Sekitar 30% dari episode emboli paru yang
jelas berhubungan dengan TVD yang tidak tampak, dan pada pasien yang tampil
dengan gejala TVD, frekuensi emboli paru yang tidak bergejala berkisar antara 40-
50%. Tromboembolisme vena lebih sering dan lebih sulit untuk didiagnosis pada
pasien hamil dibandingkan dengan yang tidak hamil. Insidensi tromboemboli vena
diperkirakan 0,76 hingga 1,72 per 1000 kehamilan dan lebih tinggi 4 kali
dibandingkan wanita tidak hamil.(Heit,2005, Marik,2008)
Pada wanita yang hamil, dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil, risiko
tromboemboli vena meningkat hingga 4-5 kali. Walaupun risiko untuk tromboemboli
vena lebih tinggi pada trimester ketiga dibandingkan trimester 1 dan 2, peningkatan
risiko tromboemboli vena tampak jelas dari trimester pertama. Risiko ini bahkan
lebih meningkat pada post partum. Selama 6 minggu pertama post partum, risiko
lebih tinggi 20 hingga 80 kali lipat dan pada minggu pertama, risiko 100 kali lebih
tinggi. Insidensi kejadian tromboemboli vena pada decade terakhir berkisar antara
0,49 hingga 1,72 per 1000 persalinan dan berperan dalam 1,1 kematian dalam
100.000 persalinan atau 10% dari kematian maternal.(Heit,2005, James,2009)
Tujuh puluh lima persen dari tromboemboli vena selama kehamilan adalah
TVD dan sisanya emboli paru. Setengah dari kejadian ini terjadi pada masa
kehamilan dan setengah lagi pada post partum. Ketika TVD terjadi selama
kehamilan, lebih sering sifatnya proksimal, masif dan pada ekstremitas bawah.
Trombosis proksimal yang terjadi dibawah pengaruh estrogen lebih sering terjadi
pada ekstremitas kiri. Predominan kiri ini diduga sebagai akibat efek kompresif pada
vena iliaka kiri karena dipersilangi oleh arteri iliaka kanan. Insidensi thrombosis vena
dalam yang terisolasi pada vena iliaka diduga lebih besar pada wanita hamil
dibandingkan dengan wanita tidak hamil. Hal ini dapat mempersulit diagnosis TVD
pada wanita hamil yang simptomatik, karena ultrasonografi kompresi yang
merupakan uji pilihan pada subyek yang tidak hamil dengan kecurigaan TVD tidak
dapat mendeteksi TVD. Trombosis vena iliaka terisolasi dapat tampil dengan nyeri
abdomen, nyeri pinggang dan pembengkakan pada seluruh kaki, akan tetapi pasien
dapat asimptomatik dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan gejala.(James,2009)
Emboli paru merupakan penyebab utama kematian maternal pada negara
berkembang. Didapatkan sekitar 1,1 hingga 1,5 kematian per 100.000 persalinan
pada Amerika Serikat dan Eropa. Diagnosis yang tertunda, terapi yang tertunda atau
tidak adekuat dan tromboprofilaksis yang tidak adekuat berperan dalam banyak
kematian karena tromboemboli vena. Strategi manajemen yang sukses untuk
tromboembolisme pada populasi yang tidak hamil sudah ada, akan tetapi untuk
pasien hamil belum didapatkan studi yang adekuat.(Marik,2008)
B. Patofisiologi
Trombosis berhubungan dengan kehamilan
Trias Virchow mengenai hiperkoagulasi, kerusakan vaskuler dan stasis vena
terjadi pada kehamilan dan berhubungan dengan peningkatan risiko relatif 4,3
(dengan indeks kepercayaan 95% 3,5-5,2) untuk terjadinya tromboemboli vena pada
wanita hamil ataupun post partum dibandingkan dengan pada wanita yang tidak
hamil. Kehamilan normal diikuti dengan peningkatan konsentrasi faktor VII, VIII, X,
faktor von Willebrand serta dengan peningkatan fibrinogen yang nyata. Faktor II, V
dan IX relatif tidak berubah dalam kehamilan. Protein S yang bebas, dalam bentuk
aktif dan tidak terikat, berkurang selama kehamilan. Penghambat activator
plasminogen tipe 1 (PAI-1) meningkat lima kali lipat selama kehamilan, sementara
kadar PAI-2, yang dihasilkan oleh plasenta meningkat secara dramatis selama
trimester terakhir. Penanda terbentuknya thrombin seperti protrombin dan kompleks
thrombin-antitrombin meningkat.(James,2009, Marik,2008)
Kehamilan normal diikuti oleh aktivasi hemostatik dasar yang diindikasikan
dengan peningkatan penanda aktivasi koagulasi seperti fragmen protrombin F1+2
dan d-dimer. Selain itu, juga didapatkan reduksi dari kecepatan aliran vena hingga
50% yang terjadi di kaki pada usia 25-29 minggu kehamilan dan berlangsung hingga
6 minggu setelah post partum. Perubahan ini semua, yang tidak akan kembali ke
nilai dasar hingga 8 minggu post partum, dimulai saat konsepsi dan mengakibatkan
keadaan hiperkoagulabilitas selama kehamilan. Hiperkoagulabilitas ini memproteksi
wanita dari perdarahan selama abortus ataupun persalinan. Akan tetapi, pada
negara barat dan Amerika Serikat, dimana perdarahan diterapi secara baik,
penyebab utama kematian ibu adalah penyakit tromboembolisme.(Bremme,2003, Chang 2003,
James,2009)
Faktor risiko tromboemboli vena pada kehamilan
Perubahan fisiologis, disamping hiperkoagulabilitas yang menyertai
kehamilan dan persalinan seperti kapasitansi vena yang meningkat dan penurunan
keluaran vena yang diinduksi oleh hormonal, obstruksi mekanik oleh uterus,
berkurangnya mobilitas dan cidera vaskuler merupakan faktor penting dalam
tromboemboli akibat kehamilan. Faktor risiko terpenting dalam kehamilan adalah
riwayat thrombosis. Lima belas hingga 25% kejadian tromboemboli pada kehamilan
merupakan kejadian rekuren dengan risiko rekurensi selama kehamilan meningkat 3
hingga 4 kali.(James,2006, Pomp,2008)
Pasien yang menjalani operasi cesar juga mendapatkan peningkatan risiko
TVD lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginan (0,424/1000 kehamilan
dibandingkan 0,173/1000 kehamilan). Selain itu juga didapatkan peningkatan risiko
emboli paru dengan risiko relatif pada operasi cesar sebesar 6,7 kali (95% IK 4,5-
10,0) dibandingkan persalinan pervaginam. Risiko untuk thrombosis semakin besar
apabila operasi cesar dilakukan secara emergensi dan adanya interaksi antara
beberapa faktor risiko seperti usia > 35 tahun, kehamilan multipel, obesitas,
preeclampsia, immobilisasi dan plasenta previa.(James,2009, Marik,2008)
Selain riwayat thrombosis, faktor risiko individu terpenting lainnya adalah
trombofilia yang terjadi pada 20-50% wanita yang terkena tromboemboli vena
selama kehamilan dan post partum. Kecenderungan trombofilia yang dikenal
dengan risiko tinggi seperti defisiensi protein C, protein S dan antitrombin. Beberapa
kondisi medis yang meningkatkan risiko tromboemboli vena adalah penyakit
jantung, lupus, obesitas, anemia, diabetes, hipertensi dan merokok. Komplikasi
kehamilan dan persalinan yang meningkatkan risiko adalah kehamilan multipel,
hiperemesis, gangguan cairan, elektrolit dan asam basa, perdarahan antepartum,
persalinan secara cesarean, infeksi post partum, perdarahan post partum dan
transfusi.(James,2009, Marik,2008)
C. Diagnosis
Gejala klinis yang mencurigakan merupakan hal yang penting dalam
diagnosis tromboemboli vena. Akan tetapi, banyak dari gejala dan tanda klasik dari
thrombosis vena dalam dan emboli paru, meliputi pembengkakan pada kaki,
takikardi, takipnea dan dispnea berhubungan dengan kehamilan normal.
Tromboemboli vena dikonfirmasi hanya pada kurang dari 10% wanita hamil dimana
diagnosisnya dicurigai dibandingkan dengan 25% pada wanita tidak hamil. Akan
tetapi, karena kematian mendadak tidak jarang terjadi pada wanita hamil dengan
gejala klinis menyerupai tromboemboli vena, semua wanita hamil dengan gejala dan
tanda yang dicurigai tromboemboli harus menjalani pemeriksaan yang objektif.(Marik,2008)
Dua gejala awal utama yang terjadi pada lebih dari 80% wanita dengan TVD
akibat kehamilan adalah nyeri dan bengkak pada ekstremitas. Ketika gejala atau
tanda menandakan adanya onset baru TVD, uji diagnostik inisial adalah
ultrasonografi kompresi dari vena proksimal. Ketika hasil negatif, ultrasonografi
dapat diulang 3 hari lagi dan apabila dicurigai thrombosis vena iliaka maka dapat
digunakan magnetic resonance imaging (MRI).(James,2009, Marik,2008)
Algoritma diagnostik TVD dan emboli paru selama kehamilan dapat dilihat
pada gambar 3. Uji d-dimer tidak membantu dalam mengekslusikan tromboemboli
vena, karena kehamilan ini sendiri diikuti dengan peningkatan kadar d-dimer dan
dapat menimbulkan nilai positif palsu yang tinggi. Test d-dimer yang negatif dapat
membantu jika ultrasonografi kompresi normal, dimana uji d-dimer yang positif
membutuhkan uji diagnostik tambahan. Ultrasonografi kompresi merupakan suatu
uji non invasive dengan sensitifitas 97% dan spesifisitas 94% untuk diagnosis TVD
proksimal dan simptomatik pada populasi umum. Uji ini tanpa risiko dan merupakan
uji pilihan pada wanita hamil dengan tromboemboli vena. Ultrasonografi kompresi
kurang akurat pada thrombosis vena iliaka dan betis. Pada ultrasonografi, tidak
ditemukannya aliran pada uji Doppler merupakan kecurigaan trombosis vena iliaka.
Magnetic resonance direct thrombus imaging (MRDTI) yang tidak berbahaya buat
fetus, memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk diagnosis thrombosis vena
iliaka.(Marik,2008)
Gambar 3. Algoritma diagnosis tromboemboli vena pada kehamilan(Marik,2008)
Diagnosis untuk emboli paru baru sama dengan pada individu yang tidak
hamil. Pemindaian ventilasi dan perfusi serta CT angiografi memberikan paparan
radiasi yang rendah pada fetus. Studi baru-baru ini menyimpulkan bahwa x-ray dada
dapat digunakan sebagai pemisah untuk meningkatkan kemungkinan hasil
diagnostic. Wanita hamil dengan hasil x-ray dada negatif cenderung terdiagnosis
dengan pemindaian ventilasi dan perfusi, sementara dengan hasil x-ray dada positif
cenderung terdiagnosis dengan CT angiografi.(James,2009)
D. Manajemen
Prevensi Trombosis pada Kehamilan
Sebagian besar wanita tidak membutuhkan antikoagulan, walaupun terdapat
peningkatan risiko tromboemboli vena selama kehamilan dan postpartum. Wanita
yang akan mendapatkan keuntungan dari pemberian anti koagulan adalah mereka
dengan risiko tromboemboli vena lebih besar dibandingkan risiko komplikasi
perdarahan dari heparin ataupun LMWH yang dilaporkan sekitar 2%. Wanita lain
yang mendapatkan keuntungan dari terapi anti koagulan pada kehamilan adalah
wanita dengan riwayat thrombosis, dengan penyakit trombofilia didapat ataupun
diturunkan dan dengan hasil akhir kehamilan yang buruk.(Bates,2008, Statewide,2009)
Idealnya, evaluasi wanita yang membutuhkan anti koagulan selama
kehamilan harus didapatkan sebelum konsepsi atau paling tidak pada awal
kehamilan. Wanita dengan kondisi yang menempatkan mereka pada risiko tinggi
mortalitas maternal seperti penggunaan katup jantung mekanik, hipertensi pulmoner
akibat tromboemboli kronik, riwayat thrombosis rekuren ketika dalam terapi anti
koagulan dan riwayat infark miokard harus diberikan konseling untuk tidak hamil.
Sebagian besar wanita dengan riwayat tromboemboli vena, dapat diberikan
konseling bahwa risiko yang mereka miliki dapat diatur dan kemungkinan berkurang
dengan terapi anti koagulan.(Bates,2008, Marik,2008)
Wanita yang sudah dalam dosis penuh anti koagulan harus melanjutkan
terapinya dan diberikan konseling mengenai efek berbahaya warfarin pada fetus dan
memberikan saran mengenai kemungkinan untuk dikonversi ke LMWH sebelum
konsepsi. Gambar 4 menggambarkan algoritma manajemen tromboemboli vena
dalam kehamilan.(Bates,2008, James,2009, Statewide,2009)
Gambar 4. Algoritma manajemen tromboemboli vena pada kehamilan(Statewide,2009)
Pada wanita yang tidak hamil dengan TVD, biasanya tidak diperlukan
perawatan rumah sakit, akan tetapi pada wanita hamil yang cenderung memiliki
bekuan darah yang lebih besar biasanya diperlukan perawatan. Walaupun LMWH
biasanya digunakan sebagai terapi inisial pada emboli paru, pada wanita hamil
belum didapatkan banyak studi yang mendukung. Keuntungan heparin intravena
dibandingkan dengan LMWH sebagai terapi inisial dari emboli paru adalah infus
heparin dapat dihentikan yang memungkinkan efek heparin hilang dalam beberapa
jam yang biasanya penting dalam situasi persalinan, ataupun pembedahan
dibutuhkan. Terapi LMWH ataupun heparin pada tromboemboli vena akut selama
kehamilan harus diteruskan selama kehamilan dan terapi anti koagulan dilanjutkan
hingga 6 minggu post partum dengan durasi terapi total 6 bulan.(Bates,2008)
Pada saat persalinan, penggunaan anti koagulan dapat dikonversi dari
LMWH ke heparin tidak terfraksinasi pada bulan akhir kehamilan atau segera jika
persalinan tampak terancam. Tujuan mengkonversi ke heparin dengan sifat kerjanya
yang sangat pendek dengan alasan kemungkinan yang lebih jarang untuk terjadinya
hematoma pada anestesi spinal ataupun epidural dibandingkan dengan LMWH.
Dengan penghentian heparin, kadar heparin dalam darah akan hilang dalam 6 jam
sehingga aman untuk dilakukan tindakan anestesi. Pada pasien tanpa risiko
thrombosis lain yang menjalani operasi cesar, direkomendasikan untuk tidak
menggunakan agen tromboprofilaksis selain mobilisasi awal. Sementara pasien
dengan risiko tromboemboli vena yang meningkat dengan adanya faktor risiko
tambahan lainnya, diperlukan tromboprofilaksis farmakologis ataupun mekanis.(Bates,2008, Marik,2008)
Pada saat post partum, penggunaan kembali anti koagulan harus ditunda
hingga 12 jam setelah persalinan pervaginam, 12 jam setelah persalinan dengan
anestesi epidural dan 24 jam setelah persalinan perabdominam. Setelah risiko
perdarahan post partum berkurang, yang biasanya bisa hingga 2 minggu atau lebih
setelah persalinan, wanita yang membutuhkan lebih dari 6 minggu anti koagulan
bisa diganti ke warfarin yang tidak berpengaruh dalam masa menyusui. Pasien yang
mendapatkan tromboemboli vena selama kehamilan harus mendapatkan warfarin
selama 3 hingga 6 bulan setelah persalinan. Kontrasepsi yang mengandung
estrogen merupakan kontraindikasi pada wanita dengan trombofilia ataupun riwayat
thrombosis yang tidak mendapatkan anti koagulan, tetapi kontrasepsi yang hanya
mengandung progestin dibolehkan karena tidak meningkatkan risiko thrombosis.(Bates,2008,Marik,2008)
Terapi Anti Koagulan pada Kehamilan dan Persalinan
Aspek unik dari antikoagulan pada kehamilan meliputi masalah maternal dan
fetal. Warfarin, yang merupakan agen pilihan untuk anti koagulan jangka panjang
diluar kehamilan memiliki efek berbahaya bagi fetus. Warfarin yang diberikan
selama periode kritis untuk organogenesis, minggu ke-4 hingga ke-8 setelah
konsepsi, berhubungan dengan risiko keguguran sebesar 14,6% hingga 56% dan
memberikan risiko hingga 30% kelainan kongenital dengan anomali fetus yang
berhubungan dengan warfarin adalah hipoplasia nasal, hipoplasia ekstremitas,
gangguan epifisis. Komplikasi perdarahan pada fetus pada pemberian warfarin
biasanya disebabkan karena liver pada bayi yang masih belum matur dan kadar
faktor koagulan yang tergantung vitamin K masih sangat rendah. Keadaan ini atau
dikenal dengan koagulopati fetus merupakan masalah tersendiri pada saat
persalinan dimana kombinasi efek obat dan trauma persalinan dapat mengakibatkan
perdarahan pada neonatus. Transfer plasenta dari warfarin pada akhir kehamilan
dapat menimbulkan perdarahan fetus dan kematian bayi saat lahir. Komplikasi
jangka panjang meliputi peningkatan risiko 14% gangguan neurologis dan 4% risiko
mendapatkan intelligent quotient (IQ) rendah. Oleh karena itu, dari awal hingga
minggu ke-12 kehamilan dimana organogenesis terjadi dan risiko pada fetus
meningkat, warfarin harus diganti dengan dosis penuh heparin ataupun LMWH
hingga minggu ke-13 dan kemudian dilanjutkan dengan warfarin yang kemudian
diganti kembali dengan heparin ataupun LMWH menjelang persalinan.(Bates,2008,
James,2009)
Agen pilihan untuk anti koagulan selama kehamilan adalah campuran
heparin. Tidak satupun baik heparin ataupun LMWH melintasi plasenta dan
keduanya dipertimbangkan aman selama kehamilan. Aspek unik dari antikoagulan
dalam kehamilan meliputi peningkatan volume darah sekitar 40-50% dan
peningkatan volume distribusi. Peningkatan filtrasi glomerulus yang menghasilkan
peningkatan ekskresi renal dari campuran heparin ini. Sebagai tambahan, selama
kehamilan baik heparin dan LMWH memiliki waktu paruh yang lebih pendek dan
konsentrasi plasma yang lebih rendah, sehingga membutuhkan dosis yang lebih
tinggi dan administrasi yang lebih sering.(Bates,2008, James,2009)
Kerugian dari heparin unfraksinasi adalah perlunya administrasi parenteral,
risiko perdarahan mayor, risiko menurunnya densitas tulang, risiko fraktur vertebral
dan risiko heparin-induced thrombocytopenia (HIT). Pada beberapa studi LMWH
berhubungan dengan efek samping yang lebih rendah dibandingkan heparin
diantaranya risiko perdarahan lebih rendah, respon obat lebih dapat diprediksi, risiko
HIT rendah, waktu paruh yang lebih panjang dan hilangnya massa tulang lebih
sedikit. Fondaparinux merupakan penghambat faktor Xa yang selektif digunakan
sebagai tromboprofilaksis. Akan tetapi, fondaparinux tidak begitu efektif dalam
mengurangi risiko hilangnya kehamilan pada wanita dengan indikasi
tromboprofilaksis seperti sindrom antifosfolipid. Sampai saat ini, tidak ada data yang
menganjurkan penggunaan rutin fondaparinux sebagai profilaksis tromboemboli
vena dalam kehamilan.(Bates,2008,James,2009)
Uji klinis besar tentang penggunaan anti koagulan dalam kehamilan belum
didapatkan hingga saat ini dan rekomendasi penggunaan obat ini hanya
berdasarkan serial kasus dan pendapat ahli. Anti koagulan dosis penuh
direkomendasikan pada pasien yang membutuhkan anti koagulan seumur hidup
atau sindrom anti fosfolipid. Dosis sedang dari anti koagulan direkomendasikan
pada pasien dengan defisiensi antitrombin, mutasi gen protrombin atau campuran
mutasi beberapa gen. Anti koagulan dosis rendah direkomendasikan pada wanita
dengan riwayat thrombosis yang tidak terprovokasi.(Bates,2008, Marik,2008)
Sebelum terapi anti koagulan baik LMWH ataupun warfarin dihentikan, risiko
akan thrombosis harus dinilai kembali. Sindrom pasca trombosis terjadi pada sekitar
60% pasien setelah TVD dan merupakan penyebab komplikasi yang serius. Stoking
kompresi menurunkan risiko sindrom pasca thrombosis sekitar 50% dan harus
dipasang pada kaki yang terkena hingga 2 tahun setelah kejadian akut.(Bates,2008,
Statewide,2009)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Tromboemboli vena merupakan masalah kesehatan yang menimbulkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada populasi secara umumnya dan
meningkat pada wanita hamil secara khususnya
2. Kejadian tromboemboli vena pada wanita hamil dipengaruhi oleh beberapa faktor
risiko baik didapat maupun yang diturunkan
3. Penanganan tromboemboli vena pada wanita hamil perlu mempertimbangkan
faktor maternal dan faktor janin
B. Saran
Perlu adanya stratifikasi risiko untuk menentukan risiko morbiditas dan mortalitas
tromboemboli vena dalam kehamilan dan diperlukan prevensi pada wanita dengan
risiko tinggi akan kejadian baru ataupun rekuren dari tromboemboli vena
DAFTAR PUSTAKA
Bates SM, Greer IA, Pabinger I, Sofaer S, Hirsh J. Venous Thromboembolism,
Thrombophilia, Antithrombotic Therapy, and Pregnancy : American College of
Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines (8th Edition).
Chest, 2008, 133, 844S-886S.
Bremme KA. Haemostatic changes in pregnancy. Best Pract Res Clin Haematol. 2003,
16, 153-168.
Dalen JE. Pulmonary Embolism : What have we learned since Virchow? Natural history,
pathophysiology and diagnosis. Chest, 2002, 122, 1440-1456.
Dresang LT, Fontaine P, Leeman L, King VJ. Venous thromboembolism during
pregnancy. Am Fam Physician. 2008, 77(12), 1709-1716.
Heit JA, Kobbervig CE, James AH, Petterson TM, Bailey KR, Melton J. Trends in the
incidence of venous thromboembolism during pregnancy or postpartum: A 30-
year population-based study. Ann Intern Med, 2005, 143, 697-706.
James AH, Jamison MG, Brancazio LR, Myers ER. Venous thromboembolism during
pregnancy and the postpartum period: incidence, risk factors, and mortality. Am J
Obstet Gynecol. 2006, 194, 1311–1315.
James AH. Venous Thromboembolism in Pregnancy. Arterioscler Thromb Vasc Biol,
2009, 29, 326-331.
Marik PE, Plante LA. Venous Thromboembolic Disease and Pregnancy. N Engl J Med.
2008, 359(19), 2025-33.
Moores LK. Pulmonary Vascular Diseases. Dalam : ACCP Pulmonary Medicine Board
Review: 25th Edition. American College of Chest Physicians. 2009, p21-38.
Pomp ER, Lenselink AM, Rosendaal FR, Doggen CJM. Pregnancy, the Postpartum
Period and Prothrombotic Defects: Risk of Venous Thrombosis in the MEGA
study. J Thromb Haemost, 2008, 6, 632–7.
Statewide Maternity and Neonatal Clinical Guideline. Venous Thromboembolism
Prophylaxis in Pregnancy and the Puerperium. Statewide Maternity and Neonatal
Clinical Network. 2009.
Stein PD, Beemath A, Olson RE. Trends in the incidence of pulmonary embolism and
deep venous thrombosis in hospitalized patients. Am J Cardiol. 2005, 95, 1525–
1526.
Tapson VF. Acute pulmonary embolism. N Engl J Med. 2008, 358, 1037-1052.
Torbicki A, et al. Guidelines on diagnosis and management of acute pulmonary
embolism. Task Force on Pulmonary Embolism. European Society of Cardiology.
Eur Heart J, 2008, 29, 2276-2315.
Wood KE. Major Pulmonary Embolism: Review of a Pathophysiologic Approach to the
Golden Hour of Hemodynamically Significant Pulmonary Embolism. Chest 2002,
121, 877–905.