refrat luka bakar

34
LUKA BAKAR 1. Definisi Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi atau suhu yang sangat rendah. Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari sinar matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar juga dapat disebabkan tersiram air panas . Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan dengan kedalaman luka bakar. Walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan daerah luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat mempengaruhi pognosis luka bakar. 2. Patofisiologi Syok dan kesakitan menyebabkan pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas kapiler meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya rusak sehingga dapat terjadi anemia. Peningkatan permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bulla dengan membawa serta elektrolit sehingga volume cairan intravaskuler berkurang. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan karena penguapan yang 1

Upload: alifah-syarafina

Post on 05-Nov-2015

36 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

referat burn injury

TRANSCRIPT

LUKA BAKAR

1. Definisi Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi atau suhu yang sangat rendah. Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari sinar matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar juga dapat disebabkan tersiram air panas .Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan dengan kedalaman luka bakar. Walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan daerah luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat mempengaruhi pognosis luka bakar.2. PatofisiologiSyok dan kesakitan menyebabkan pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas kapiler meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya rusak sehingga dapat terjadi anemia. Peningkatan permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bulla dengan membawa serta elektrolit sehingga volume cairan intravaskuler berkurang. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan karena penguapan yang berlebihan, cairan masuk ke bulla yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng pada luka bakar derajat III.Luka bakar yang luasnya lebih dari 20 % menyebabkan syok hipovolemik dengan gejala berupa gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi secara perlahan, maksimal terjadi setelah 8 jam.Pada kasus kebakaran dalam ruangan tertutup atau luka bakar pada wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan nafas karena gas, asap, atau uap panas yang terhisap. Selain itu juga dapat terjadi edema laring dengan gejala berupa sesak nafas, stridor, suara serak, dan dahak yang berwarna gelap.Keracunan gas karbon monoksida menyebabkan pengikatan hemoglobin dengan gas tersebut sehingga hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen. Gejala yang terjadi berupa lemas, disorientasi, pusing, mula, dan muntah. Kematian dapat terjadi bila lebih dari 60% hemoglobin terikat karbon monoksida.Setelah 12 24 jam, permeabilitas kapiler kembali normal sehingga edema berkurang dan diuresis kembali normal.Pada luka bakar sering terjadi kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Infeksi ringan ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dan nanah yang banyak. Infeksi yang lebih berat menyebabkan perubahan jaringan sehat di sekitar keropeng menjadi nekrotik karena adanya trombosis. Kuman yang beredar pada pembuluh darah akan menyebabkan vaskulitis pada jaringan yang terbakar, sehingga jaringan tersebut mati. Bila penyebabnya kuman gram positif seperti stafilokokus atau basil gram negatif lainnya, akan terjadi bakteriemia yang dapat menyebabkan fokus infeksi di usus. Syok septik dan kematian dapat terjadi karena toksin dari kuman yang beredar dalam darah.Luka bakar derajat II dapat sembuh dengan meninggalkan jaringan parut. Luka bakar derajat II yang dalam akan menyebabkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, dan kaku. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri tanpa pengobatan yang memadai akan menyebabkan kontraktur. Beban psikologis maupun fisiologis pada penderita luka bakar berat menyebabkan terjadinya tukak atau ulkus pada mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan tukak peptikum. Kelainan ini disebut Curling Ulcer, yang dapat menimbulkan komplikasi berupa perdarahan saluran cerna (hematemesis maupun melena).

3. Diagnosis Diagnosis luka bakar ditegakkan berdasarkan:a. Kedalamana. Derajat 1Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis. Ditandai dengan kemerahan dan setelah 24 jam timbul gelembung yang kemudian kulit mengelupas. Kulit sembuh tanpa cacat.b. Derajat 2Terjadinya kerusakan sebagian dermis yang ditandai dengan timbulnya bullae. Dalam fase penyembuhan akan tampak daerah bintik bintik biru dari kelenjar sebasea dan akar rambut. Derajat 2 dibagi menjadi: Superficial : akan sembuh dalam 2 minggu. DalamPenyembuhan melalui jaringan granulasi tipis dan sempit akan ditutup oleh epitel yang berasal dari dasar tepi luka selain tepi luka.c. Derajat 3Kerusakan seluruh lapisan dermis atau lebih dalam. Tampak epitel terkelupas dan daerah putih karena koagulasi protein dermis. Dermis yang terbakar kemudian mengering dan menciut, disebut eskar. Bila eskar melingkar akan menekan arteri, vena, dan saraf perifer,b. Luas luka bakarLuas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus Sembilan (Rule of nine) yang diprovokasi oleh Wallace didasari atas perhitungan kelipatan 9 dimana 1% luas permukaan tubuh adalah luas telapak tangan penderita. Pada anak-anak menggunakan table Lund dan Browder yang mengacu pada ukuran bagian tubuh terbesar pada seorang bayi/anak yaitu kepala. Sehingga rumus sembilan tidak digunakan pada anak dan bayi, karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki jauh lebih kecil. Oleh karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak.

c. PenyebabSebagaimana disampaikan sebelumnya luka bakar disebabkan oleh kontak dengan sumber termis, tidak hanya oleh api. Untuk itu perlu dibuatkan klasifikasi luka bakar berdasar penyebab:a. Luka bakar karena api atau benda panas lainnya.b. Luka bakar karena minyak tanah.c. Luka bakara karena air panas (scald).d. Luka bakar karena bahan kimia yang bersifat asam kuat atau basa kuat (chemical burn)e. Luka bakar karena listrik atau petir (electric burn)f. Luka bakar karena radiasig. Luka bakar karena ledakanh. Luka bakar karena suhu sangat rendah (frost bite).

4. Kategori Penderita1. Luka bakar ringani. Luka bakar grade 2 dan 3 < 10% pada kelompok usi 50 tahun.ii. Luka bakar grade 2 dan 3 50 tahun.ii. Luka bakar grade 2 dan 3 15-25% pada kelompok usia lain dengan luka bakar grade 3 < 10%.iii. Luka bakar grade 3 < 10% pada semua kelompok usia tanpa cedera pada tangan, kaki dan perineum.3. Luka bakar kritis, Luka bakar berat, Luka bakar masifi. Luka bakar grade 2 dan 3 > 20% kelompok usia < 10 tahun > 50 tahun.ii. Luka bakar grade 2 dan 3 > 25% pada kelompok usia lain.iii. Trauma inhalasi.iv. Luka bakar multipel.v. Luka bakar pada populasi resiko tinggi.vi. Luka bakar listrik tegangan tinggi.vii. Luka bakar tangan, kaki, dan perineum.Kategori ini ditentukan berdasarkan derajat keparahan luka bakar yang dikaitkan dengan mortalitas dan prognosis, dimana mengacu pada American Burn Association 2002, terlihat perubahan dari kategori sebelumnya khususnya mengenai luka bakar berat yang sebelumnya mengacu pada luas melebihi 40% luas permukaan tubuh.5. Permasalahan pada Luka bakarPermasalahan pada luka bakar demikian kompleks. Untuk dapat menjelaskannya maka permasalah pada luka bakar dipilah menurut perjalanan penyakitnya dimana luka bakar dibedakan menjadi 3 fase:1. Fase Akut / fase syokPada fase ini permasalahan yang utama berkisar pada gangguan yang berupa respon tubuh yang terjadi pada suatu bentuk trauma. Demikian berat trauma sehingga terjadi kondisi yang mengancam jiwa dan berakhir dengan kematian. Berbagai kondisi yang menyebabkan gangguan asupan, distribusi dan utilisasi oksigen merupakan ancaman bagi kehidupan dan keadaan keadaan ini dapat diuraikan melalui pendekatan ABC-traumatologi. Gangguan asupan oksigen timbul akibat trauma pada saluran nafas misalnya trauma inhalasi dan gangguan mekanisme bernafas akibat eskar melingkar di dinding dada yang menghambat gerakan pengembangan rongga thoraks, atau adanya trauma multipel di rongga toraks yang tidak jarang terjadi. Gangguan distribusi oksigen terjadi karena adanya gangguan sirkulasi; kondisi ini menyebabkan terganggunya pengiriman logistik yang dibutuhkan oleh sel yaitu oksigen dan zat lainnya sehingga sel tidak dapat menyelenggarakan fungsi normal.Gangguan gangguan yang timbul memberikan dampak yang tidak saja terjadi di tingkat sel, lokal, atupun regional, namun bersifat sistemik; sistem kardiovaskuler diwarnai oleh gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dengan segala dampaknya, gangguan sistem metabolisme mencakup metabolism karbohidrat-lemak-protein, gangguan sistem kesimbangan dan lainnya.2. Fase sub akut / fase pasca syokMasalah yang umum dijumpai pada fase ini adalah suatu entitas klinik yang disebut Systemic Inflamatorry Response Syndrome (SIRS) yang kemudian diikuti dengan Multi-sytem Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Bermula dari kerusakan jaringan yang berperan sebagai inisiator atau efektor timbulnya SIRS dan MODS. Permasalahan luka bakar pada fase akut ini merupakan kondisi yang umum dijumpai pada suatu critical ill trauma. 3. Fase Lanjut Fase ini berlangsung sejak proses epitelisasi sempurna hingga maturasi jaringan. Tidak ada batasan yang tegas bilamana fase ini dimulai karena mungkin saja bermula selama fase sub akut. Permasalahan yang dihadapi adalah proses epitelisasi yang berlangsung lebih lama dibandingkan proses epitelisasi pada luka oleh sebab lain, dan adanya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lainnya. Ketiga fase proses penyembuhan luka bakar tidak terjadi sebagaimana luka sayat. Fase inflamasi berlangsung lebih hebat dan lama, proses fibroplasias terganggu, sehingga sangat logis bila fase remodeling terhambat dan dengan sendirinya penyulit luka sebagaimana disebutkan pada paragraph sebelumnya adalah suatu hal yang lazim. Karenanya pada fase ketiga ini dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai fisiologi dan prinsip prinsip proses penyembuhan luka disertai penatalaksanaan yang rasional.

6. Penatalaksanaan Luka1. Fase awalTindakan pada luka yangdibutuhkan dan menjadi bagian dari resusitasi cairan adalah penatalaksanaan luka yang bertujuan memperbaiki perfusi. Tindakan ini merupakan bagian dari rangkaian life saving. Ada beberapa tindakn penting yang dapat dilakukan:i. Eskarotomi dan FasciotomiEskarotomi adalah tindakan bedah melakukan sayatan pada eskar; dimaksudkan untuk melepaskan jeratan eskar yang memiliki konsistensi lebih keras dibandingkan jaringan normal. Eskar menyebabkan elastisitas kulit demikian rendah dan tidak dapat mentolerir adanya peningkatan tekanan di suatu kompartemen bila menyelubungi seluruh permukaan lingkaran sebuah ekstremitas. Eskarotomi merupakan tindakan dekompresi sebagai suatu prosedur life and limb saving yang termasuk kedalam rangkaian tatalaksana resusitasi. Dalam suatu literature: Controversies in Resuscitation (Jeng JC, 2003) dijelaskan bahwa salah satu penyebab kegagalan resusitasi adalah karena tatalaksana eskar yang terabaikan.

Gambaran eskarotomi.Eskarotomi dapat dilakukan dengan mudah tanpa harus melakukan prosedur anestesi, menembus jaringan eskar sampai dicapai jaringan sehat (berdarah). Beberapa eskarotomi yang dikerjakan antara lain: Eskarotomi dada sebagai suatu tindakan melepaskan eskar melingkar dinding dada. Eskarotomi pada ekstremitas untuk meperbaiki perfusi ke distalPada beberapa kondisi eskarotomi tidak cukup memperbaiki perfusi. Dalam hal ini diperlukan fasiotomi. Tindakan ini lebih ditujukan untuk memperbaiki perfusi pada pembuluh yang terletak lebih dalam. Pada prinsipnya, eskarotomi dikerjakan seawal mungkin, dikenal dengan sebutan eksisi dini. Dasar pemikiran dilakukan tindakan dini ini adalah: Sebagai source control, mengacu pada teori bermula dan berkembangnya respon inflamasi sistemik. Jaringan nekrosis melepaskan burn toxins yang menginduksi pelepasan mediator mediator pro inflamasi. Salah satu upaya memutus mata rantai proses ini adalah melakukan eliminasi focus, yaitu nekrotomi dan debridement sedini mungkin. Menurut Janzekovic, bila ditunggu lebih dari lima hari, kolonisasi mikroorganisme pathogen akan menghambat pemulihan graft disamping eskar yang mulai melembut; sehingga tindakan eksisi akan semakin sulit. Semakin lama tindakan eksisi dilakukan, hiperemi akibat vasoldilatasi di sekitar luka sudah dimulai demikian pula proses angiogenesis; hal ini akan mengakibatkan resiko perdarahan saat tindakan operasi yang akan memperburuk kondisi penderita. Mengupayakan proses penyembuhan luka berjalan sesuai dengan waktu. Jaringan nekrosis, debris dan eskar dibuang, sehingga proses inflamasi dipersingkat dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan eskar demikian lama mengalami separasi di jaringan bawahnya, dilaporkan penggunaan SSD menyebabkan eskar lisis namun sulit dilepaskan dari jaringan dibawahnya.Eskarotomi dikerjakan dengan prosedur eksisi tangensial menggunakan dermatom (pisau Humby), prinsipnya membuang jaringan nekrosis dan meninggalkan jaringan vital sebanyak mungkin; bukan membuang jaringan sebanyak-banyaknya. Beberapa metode lain yang dapat dikerjakan untuk melakukan eskarotomi yaitu: hydropressure , ultrasonic Assisted Wound Treatment (UAW) ataupun dengan metode non operatif seperti enzymatic debridement.2. Penutupan LukaFokus perhatian setelah prosedur eskarotomi dan debridement adalah proses fibroplasia. Pasca eskarektomi dan debridement, proses inflamasi mereda dan proses fibroplasia dimulai. Berbagai jenis penutup luka antara lain: Kulit Prinsipnya penutup luka yang baik adalah kulit. Oleh karena itu kulit menjadi prioritas untuk menutup luka melalui prosedur skin graft, dimana merupakan salah satu metode penutupan luka sederhana yang merupakan slah satu modalitas utama penutupan luka dengan melakukan cangkok kulit dari donor ke pasien. Tujuan dilakukan metode ini adalah: Mengupayakan proses re-epitelisasi melalui intervensi bedah. Dengan tertutupnya luka, proses fibroplasia berakhir kemudian dilanjutkan dengan proses remodeling. Oleh karena itu, pada kasus luka bakar di fase awal, skin grafting dikerjakan menggunakan split thickness skin graft (STSG); dasar pemilihannya karena STSG lebih mudah take dibandingkan full thickness skin graft (FTSG). Menghentikan proses kekacauan metabolisme. Restorasi barrier terhadap potensi infeksi Bahan selain kulit Biological dressing Penutup sintetik3. Pemberian antibiotikaInfeksi luka penyebab utama yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik yang banyak dibahas di literatur dan mendapat atribut penyebab utama kematian pada luka bakar. Konsekuensinya penggunaan antibiotika pada penatalaksanaan luka bakar menjadi suatu kebutuhan mutlak. Pemberian antibiotika baik sistemik maupun topical secara umum dibedakan atas tujuannya (profilaksis atau terapeutik) dan jalur pemberiannya. Secara umum yang dimaksud dengan pemberian antibiotika profilaksis adalah pemberian antibiotika sistemik yang bertujuan mencegah berkembangnya infeksi sebelum melakukan sayatan tindakan pembedahan atau prosedur invasif lainnya. Antibiotika diberikan melalui jalur intravena 30 menit tindakan untuk satu kali pemberian. Jenis antibiotika yang diberikan didasari atas pola bakteri yang paling sering menimbulkan infeksi di rumah sakit pada kurun waktu tertentu.Pemberian antibiotika sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang timbul. Pemilihan jenis antibiotika dilakukan berdasarkan hasil kultur mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap mikroorganisme penyebab. Pemberiannya sesuai dosis lazim yang terdapat pada farmakope.

Rekomendasi WHO: Penisillin G DewasaDosis 8-12 juta iu i.v. satu kali sebagai profilaksis. Untuk terapi, dilanjutkan 1-5 juta iu setiap 6 jam. Setelah dua hari diganti dengan penisilin V peroral 2 tablet tiap 6 jam sampai 5-7 hari. AnakDosis 200.000 /kg iu i.v satu kali sebagai profilaksis. Untuk terapi dilanjutkan 100 mg/kg dalam dosis terbagi. Bila diketahui alergi terhadap penisilin digunakan eritromisin Metronidazole DewasaDosis 1500 mg satu kali pemberian dalam infuse yang diberikan selama 30 menit sebagai profilaksis. Untuk terapi dilanjutkan dengan 500 mg setiap 8 jam. Anak Dosis 20 mg/kg i.v satu kali pemberian sebagai profilaksis. Untuk terapi dilanjutkan 7,5 mg/kg setiap 8 jam.

Pemberian antibiotika topikal yang ditujukan mencegah dan mengatasi infeksi yang timbul pada luka. Pemilihan jenis antibiotika dilakukan berdasarkan hasil kultur mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap mikroorganisme penyebab. Bentuk antibiotika topical yang terbaik adalah yang paling sesuai dengan kondisi local. Pada luka bakar, beberapa hal perlu diperhatikan dalam menentukan jenis antibiotika topikal yang rasional: Luka terbuka yang bersifat inflamasi dengan produksi eksudat memerlukan perawatan luka basah, maka preparat antibiotika dalam bentuk cair adalah pilahan terbaik. Kasa lembab yang dibasahi larutan antibiotika selain menyerap eksudat juga berfungsi sebagai kompres yang menurunkan suhu luka sebagai upaya mengatasi permasalahan yang ditimbulkan proses inflamasi akut. Luka mulai kering, antibiotika dalam bentuk krim merupakan pilihan terbaik, karena krim merupakan vehikulum berbasis air dan bersifat hidroskopik.Ada beberapa jenis antibiotika yang sering digunakan untuk tujuan topical: Silver nitrate 0,5% Mafenide acetate 10% Silver sulfadiazine1% Gentamisin sulfat.

7. Resusitasi Luka Bakar1. Resusitasi jalan nafas (pada trauma inhalasi)Resusitasi jalan nafas merupakan prioritas pertama pada kasus luka bakar disertai trauma inhalasi baik dengan atau tanpa gejala distress pernafasan. Tindakan resusitasi dilakukan dengan melakukan serangkaian prosedur antara lain: Pembebasan jalan nafasMembebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai trauma inhalasi, intubasi dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang menyebabkan distress pernafasan. Pada kasus yang sudah / disertai distress pernafasan, maka dikerjakan krikotiroidektomi emergensi.Penghisapan lender dilakukan secara regular bertujuan membebaskan jalan nafas agar aliran udara berlangsung dengan baik. Prosedur ini diperlukan karena umumnya reflek batuk pasien pada kondisi kritis menurun, sementara adanya lendir ini potensial menyebabkan obstruksi karena bercampur dengan mukosa yang mengelupas. Prosedur ini hanya efektif dikerjakan pada kasus dengan intubasi atau krikotiroidektomi. Pemberian oksigen jalan nafas, Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret demikian banyak, dapat ditambahkan menjadi 4-6 L/menit, dosis ini sudah mencukupi. Penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk oksigen karena patologi jalan nafas bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (> 10 L/menit) atau dengan tekanan tinggi yang akan menyebabkan hiperoksia yang diikuti terjadinya stress oksidatif.Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air untuk mengencerkan secret kental agar mudah dikeluarkan dengan dibatukkan atau dihisap dan meredam proses inflamasi mukosa. Terapi inhalasiTerapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa endotrakea atau krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko-konstriksi yang potensial terjadi pada trauma inhalasi akibat zat kimia. Selain bronkodilator, yang lazim digunakan, ada pemikiran untuk menambahkan zat yang bertujuan simtomatik.Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan dengan tindakan humidifikasi oleh nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat dapat dilepas dan dikeluarkan . prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik dan merupakan gold standard. Selain bertujuan terapetik, tindakan ini merupakan prosedur diagnosis untuk melakukan evaluasi jalan nafas. Proses rehabilitasiProses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dikerjakan sejak fase akut antara lain pengaturan posisi, melatih reflex batuk dan melatih otot-otot pernafasan. Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih kooperatif.Sebelumnya dianggap posisi tegak atau setengah duduk merupakan posisi yang terbaik untuk rehabilitasi system pernafasan, namun belakangan disebutkan bahwa posisi prone diikuti perbaikan problema pernafasan yang bermakna. Melatih reflex batuk merupakan upaya meletakkan penderita pada fungsi yang fisiologik dalam mengeluarkan secret di jalan nafas. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan melakukan vibrasi dan atau menepuk-nepuk dada serta punggung penderita secara periodik. Latihan otot otot pernafasn dilakukan dengan melatih otot interkostalis, pektoralis dan dinding abdomen. Penggunaan ventilatorPenggunaan ventilator diperlukan pada kasus kasus dengan distress pernafasan secara bermakna memperbaiki fungsi system pernafasa dengan Positive End Expiratory Pressure dan volume control. Hal yang perlu diperhatikan bahwa penggunaan pressure control bukan merupakan pilihan pada kasus ARDS.2. Resusitasi mekanisme bernafasResusitasi mekanisme bernafas dimaksudkan dengan memperbaiki compliance dinding dada pada proses inspirasi; merupakan prioritas kedua pada penatalaksanaan kasus luka bakar disertai atau tanpa gejala distress pernafasan. Sebelumnya diuraikan, gerakan ekspansi dindinng dada mengalami hambatan karena adanya eskar di dinding dada. Meski pipa endotrakea atau krikotirodotomi terpasang, tekanan parsial oksigen belum mengalami perbaikan karena gangguan compliance. Tindakan resusitasi ini dikerjakan dengan melakukan eskarotomi.Tidak ada batasan rinci desain sayatan. Prinsip eskarotomi di dalam hal ini adalah melepaskan jeratan, memisahkan kedua hemitoraks, memisahkan sisi cranial dengan kaudal sehingga ekspansi dada terselenggara tanpa hambatan.Evaluasi keberhasilan prosedur eskarotomi secara nyata dapat dirasakan saat melakukan tindakan bagging menjadi lebih ringan, pengembangan rongga toraks terlihat baik, frekuensi pernafasan menurun, perbaikan ventilasi paru dan PO2. Beberapa prinsip melakukkan eskarotomi dada: Melakukan sayatan sampai menembus eskar (mencapai jaringan sub eskar) karena dengan tindakan ini prosedur jeratan akan terlepas. Melakukan sayatan yang memutus hubungan eskar pada sisi anterior dada: Sayatan sterna memisahkan hemitoraks kiri dengan hemitoraks kanan. Sayatan pada arkus kosta kanan dan kiri memisahkan region dada dengan abdomen di sisi kanan dan sisi kiri. Sayatan pada subklavia memisahkan region dada dengan tulang klavikula. Bila diperlukan, sayatan pada linea aksilaris anterior memisahkan anterior dada dengan trunkus posterior.3. Resusitasi Cairan Resusitasi cairan pada luka bakar merupakan suatu tindakan life saving yang kritis dan menempati posisi ketiga dalam tatalaksana ABC traumatologi. Dalam tindakan resusitasi cairan, volume yang adekuat merupakan salah satu syarat yang mutlak diperlukan untuk terselenggaranya perfusi, namun volume saja tidak menjamin perfusi terselenggara dengan baik karena dibutuhkan faktor lainnya.Berbagai metode resusitasi cairan pada luka bakar dibahas berikut ini beserta rasional, keunggulan dan kelemahan masing masing.i. Metode BaxterMetode Baxter kerap dikenal sebagai metode Parkland merupakan metode resusitasi cairan yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1965. Shiren berkolaborasi dengan Baxter memprovokasi kebutuhan cairan perkilogram pada luka bakar yaitu 3,7 4,3 mL (rerata 4 mL). Penerapan metode ini adalah suatu strategi untuk mencegah dan mengatasi tingginya insiden gagal ginjal akut yang mewarnai kasus kasu luka bakar akut pada masa itu.Metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam hal ini ringer lactate (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih fisiologik dibandingkan dengan natrium klorida) dengan alasan pemberian kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fisiologis dan aman disamping itu alasan lainnya adalah karena cairan saja sudah cukup untuk menggantikan cairan yang hilang. Selain kandungan elektrolit dasar penggunaan laktat dapat diuraikan sebagai berikut. Laktat merupakan metabolit fisiologik yang berperan sebagai substrat berenergi; dioksidasi secara aktif oleh mitokondrio di seluruh sel sel tubuh terutama pada sel organ aktif seperti otak, ginjal, miokardium dan sistem muskular. Oksidasinya menghasilkan energi setara dengan glukosa. Setelah periode hipoksia, laktat menjadi subtract pilihan atau bersifat obligat yang mengungguli glukosa karena dapat langsung digunkan dan pada oksidasinya tidak diperlukan ATP. Lebih jauh, laktat dapat diubah menjadi glukosa melalui glukoneogenesis yang berlangsung terutama di hepar dan ginjal. Protokol resusitasi menurut metode Baxter:4 mL x KgBB x % Luas luka bakar

Pedoman : Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam pertama pasca trauma Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanyaKebutuhan cairan dalam 24 jam kedua adalah separuh jumlah kebutuhan hari pertama. Kecukupan cairan dinilai dari produksi urin 0.5 mL/kg/jam. ii. Metode Evans-BrookeEvans dan Brooke menggunakan cairan fisiologik, koloid dan glukosa dalam resusitasi. Ketiga cairan ini diberikan dalam waktu 24 jam pertama.

Cairan Formula EvansFormula Brooke

Koloid (darah)Kristaloid: Elektrolit (NaCl 0,9%) Glukosa

Pemantauan1 mL/kgBB/%luka bakar-darah

1 mL/kgBB/%luka bakar2000 mL glukosa

Diuresis (>50 mL/jam)0,5mL/kgBB/%lukabakar-darah

1,5 mL/kgBB/%luka bakar2000 mL glukosa

Diuresis (30-50 mL/jam)

Pemberian pada hari pertama,separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama dan sisanya diberikan dalam enam belas jam sisa. Pada hari kedua, diberikan separuh jumlah kebutuhan koloid (darah) dan larutan salin normal ditambah 2000 mL glukosa, pemberian secara merata dalam 24 jam.Dasar pemikiran pemberian produk darah adalah bahwa pada luka bakar dijumpai inefisiensi peran hemoglobin dalam proses perfusi, disamping kehilangan energi yang mempengaruhi proses metabolisme. Untuk itu efektif digunakan darah dan asupan energi.

iii. Metode Advanced Trauma Life SupportATLS menerapkan pola pemberian cairan kristaloid 2000 mL untuk mengatasi syok pada kesempatan yang pertama. Tidak ada keterangan lebih lanjut yang menjelaskan mengapa dipilih 2000 mL; meski ditegaskan jumlah tersebut syok efektif dikoreksi. Khusus untuk luka bakar direkomendasikan 2-4 mL / kgBB / luas luka bakar. Setelah penatalaksanaan ABC traumatologi berdasarkan prioritas, ATLS menyusun panduan untuk merujuk penderita ke sentrum pelayanan luka bakar.iv. Metode lainnyaBeberapa metode pemberian cairan lain untuk luka bakar khusunya untuk pediatrik antara lain:Shriner Burn InstituteVolume ResusitasiWaktu Larutan

Cincinati4 mL /kg/% LB8 jam I8 jam II8 jam IIIRL +50mEqNaHCO3+1500L/m2 LBRLRL + 12.5 g albumin

Galveston

5000 mL/m2 luas LB + 2000 mL/m2 luas LB24 jam IRL +12.5 g albumin

v. Metode resusitasi syokBerdasarkan beberapa hal, antara lain patofisiologi perubahan endotel dan karakteristik fisiologik cairan kristaloid yang umum, kemudian evaluasi penatalaksanaan kasus selama tahun 1998-2002 maka dianjurkan untuk pemberian cairan adekuat sebagai berikut:Kebutuhan cairan : 3 x 25% {10%(60% x kgBB}

Dasar pemberian diuraikan sebagi berikut: volume sirkulasi adalah 10% dari total cairan tubuh. Syok timbul bila bila tubuh kehilangan minimal 25 % dari volume sirkulasi. Dalam hal ini tidak diambil syok berat semata mengacu pada penatalaksanaan syok lebih awal dalam upaya menekan kematian. Pada kondisi fisiologik sepertiga cairan kristaloid yang diberikan melalui jalur intravena akan tetap menempati jalur intravascular sedangkan duapertiga lainnya akan meninggalkan kompartemen ke jaringan interstisium, sehingga jumlah yang efektif yang berperan dalam proses koreksi hanyalah sepertiga.vi. Low Volume Resuscitation Yang dimaksud dengan low volume resuscitation adalah mempertahankan volume sirkulasi adekuat menggunakan koloid dengan berat molekul besar. Hal ini sesuai dengan konsep patologi endotel dan menjadi acuan panduan resusitasi cairan menurut SSC (Surviving Sepsis Campaign). Sejumlah kecil cairan dengan berat molekul besar dapat mempertahankan sirkulasi karena cairan ini tetap berada di kompartemen intravaskuler, maka dari itu dasar pemilihan cairan adalah cairan yang tetap berada di kompartemen intravaskuler yakni cairan yang memiliki berat molekul >100 kDa.Pedoman pemberian cairan yang diberikan belum ditetapkan dengan pasti, namun patokan yang dianjurkan memiliki rentang yang besar; minimal 2 mL/kgBB/hari dan maksimal 50 mL/kgBB/ hari.

8. Manajemen Luka bakarLuka bakar dangkalLuka bakar derajat satu (sunburn, sengatan matahari) tidak memerlukan tindakan selain perawatan kulit dengan memepertahankan kelembaban. Untuk luka bakar derajat dua yang dangkal karakteristiknya adalah bula. Tatalaksana kasus ini adalaah meempertahankan kulit penutup bula. Kulit adalah penutup luka yang terbaik. Karenanya, setelah mengeluarkan cairan pada bula (baik dengan aspirasi ataupun insisi multipel), posisikan kembali kulit penutup bula sebaik mungkin (sebagai graft). Cuci luka dengan air atau ringer laktat. Gunakan tule untuk mencegah pergeseran dan perlekatan kulit dengan kassa. Tutup luka dengan kasa lembab atau krim pelembab (moisturizing cream). Pertahankan kelembaban ini selama 24 jam sehari. Lakukan pencucian luka tiap mengganti balutan.

Luka bakar dalam (Luka bakar derajat II Dalam dan derajat III)1. Pada kasus ini kebutuhan perfusi merupakan hal yang mutlak. Di satu sisi dikatakan bahwa 30 % penyebab kegagalan resusitasi cairan (perbaikan sirkulasi sistemik) disebabkan karena tidak memperhatikan adanya gangguan sirkulasi di area lokal cedera. Di sisi lain, degradasi luka (perubahan derajat II menjadi derajat III) terjadi karena sirkulasi sistemik demikian terganggu sehingga perfusi ke jaringan tidak tercapai termasuk area lokal cedera.2. Dalam keadaan tidak menentu seperti ini (terjadi vascular compromise, gangguan perfusi, iskemi), kematian jaringan menjadi sangat potensial. Degradasi luka merupakan konsekuensi logis. Padahal prinsip pentalaksanaan luka bakar adalah mencegah terjadinya degradasi luka ini. Pada awalnya dilakukan pencucian luka yang kemudian dilanjutkan dengan upaya-upaya mempertahankan suasana lingkungan yang kondusif untuk berlangsungnya proses penyembuhan (meredam proses inflamasi, bukan justru memperberat rekasi inflamasi) yang dilakukan dengan mempertahankan kelembaban.3. Nekrotomi dan debridementNekrotomi dan debridement dilakukan dengan melakukan eskarektomi sedini dan sebanyak mungkin. Prosedur ini dikerjakan dalam waktu 3-4 hari pasca cedera atau selambat-lambatnya kurang dari 1 minggu pasca cedera (untuk ini dikenal eksisi dini). Dengan membuang jaringan eskar, produk sel yang yang mengalami lisis yaitu Lipid Protein Complex (LPC) akan sangat berkurang. Sebagaimana diketahui LPC ini akan memicu pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dan memiliki toksisitas ribuan kali lebih kuat dibandingkan endotoksin (sebelumnya LPC dikenal sebagai burn toxin). Sedapat mungkin hindari melakukan eskarektomi bila eskar sudah mulai mengalami lisis; selain sulit melakukan eksisi tangensial, LPC mulai diproduksi dan prosedur eksisi merupakan pemicu masuknya LPC ke dalam sirkulasi.4. Penutupan lukaLakukan penilaian kapasitas jaringan dalam hal epitelialisai spontan. Hal ini menentukan langkah selanjutnya :a. Epitelialisasi spontanProses ini berlangsung bila jaringan dasar luka memiliki komponen-komponen kulit (skin appendiges) seperti folikel rambut, kelenjar sebacea, dan kelenjar keringat. Bila suatu luka termasuk dalam kategori ini, maka langkah selanjutnya adalah melakukan tindakan perawatan luka secara konservatif. Tindakan konservatif dalam hal ini dilakukan dengan mengupayakan suasana kondusif bagi proses penyembuhan luka (yaitu epitelialisasi spontan); dengan mempertahankan kelembaban.b. Skin graftingProsedur ini dilakukan pada luka yang tidak memiliki kemampuan epitelialisasi spontan, atau pada luka yang diperkirakan dapat mengalami epitelialisasi spontan lebih dari 10 hari (tendensi timbulnya parut dan atau keloid pada luka yang mengalami epitelialisasi spontan kurang dari 10 hari adalah 4%, akan meningkat drastis mencapai 75-80% pada luka yang mengalami epitelialisasi spontan melebihi 3 minggu). Skin grafting dapat dikerjakan segera (immediate) atau ditunda (delayed). Penundaan dapat dilakukan sampai dengan 4 hari pasca debridement. Sebagaimana halnya pada luka bakar dangkal, kelembaban diperthankan setiap saat, selama 24 jam pada semua kondisi (masih dijumpai eskar/sebelum prosedur eskarektomi, maupun sesudahnya, atau sesudar prosedur skin grafting), termasuk pada penatalaksanaan luka secara konservatif.9. Prognosis Prognosis pada luka bakar ditentukan oleh beberapa faktor yang bersifat kompleks dan menyangkut mortalitas dan morbiditas atau burn illness severity and prediction of outcome. Factor factor yang mempengaruhi prognosis antara lain:a) Jenis luka bakar, kedalaman, lokasi trauma, trauma penyerta.b) Respon penderita terhadap trauma dan terapi.c) Terapi/penatalaksanaanDengan mengetahui faktor faktor tersebut maka dapat diperkirakan berat luka bakar yang dialami seorang penderita sekaligus dapat diketahui prognosisnya. Untuk mengetahui prognosis dan memprediksi hasil akhir diperlukan suatu instrument. Instrument dimaksud adalah system scoring. System scoring diterapkan dengan tujua memperoleh suatu nilai atau indeks yang dapat memberikan gambaran atau dengan kata lain memiliki nilai prediktif untuk morbiditas maupun mortalitas pada seorang penderita. Sistem skoring terbukti efektif memiliki nilai prediktif dan bermanfaat dalam member gambaran pada kasus trauma.Ada beberapa system scoring yang digunakan untuk tujuan memperoleh gambaran mengenai derajat keparahan dan prediksi atau prognosis kasus-kasus trauma, antara lain:a) Trauma Indexb) Abbreviated Injury Scalec) Trauma Scored) Glasgow Coma Scoree) Injury Severity Score (Bull 1978)f) Revised Trauma Scoreg) APACHE ( Acute Physiology and Chronis Health Evaluation, Knauss 1987)h) TRISS (Trauma Score and Injury Severity Score, 1981) Bila dikaji lebih lanjtu, luka bakar yang merupakan suatu jenis seberat-beratnya kasus trauma, memiliki kekhususan sehingga dalam penerpan system scoring yang disebutkan diatas kerap bermasalah. System scoring yang dicoba untuk diterapkan pada luka bakar misalnya AIS, tidak mencerminkan berat ringannya luka bakar karena hanya mempersoalkan presentasi luas luka bakar (factor eksternal), dan artinya bila suatu sentrum pelayanan yang menerapkan system ini mundur ke jaman sebelum Bull dan Squire dalam mengungkapkan factor-faktor yang berperan pada morbiditas dan mortalitas, berbagai kekhususan yang dimaksud artinya harus memperhitungkan factor-faktor dijelaskan pada pendahuluan; berbagai penelitian dan system skoring diupayakan untuk memperoleh gambaran derajat keparahan dan kemungkinan hidup penderita dengan luka bakar.

Daftar Pustaka

1. Moenadjat Y. Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana. 2009;2. 100-150.2. Lutermann A, Currery PW. Infections in Burn Patient. Am J Med 1986;81: 45-52.3. Goslen JB. Physiology of healing and scar Formation. Saint Louis: CV Mosby, 1989.4. Demling RH. Burn Module: Part 1. Managing the Burn Wound. Available in website: www.burnsurgery.org 5. Greenhalgh. Burn resuscitation. J Burn Care 2007;28: 555-565.

2