refrat ppp

37
BAB I PENDAHULUAN Secara tradisional, perdarahan pascapartum didefinisikan sebagai kehilangan 500 mL atau lebih darah setelah selesainya Kala 3 persalinan. Hal ini menimbulkan masalah karena separuh perempuan yang melahirkan per vagina mengeluarkan darah dalam jumlah sebesar itu, bahkan lebih jika diukur secara kuantitatif. Menurut Pritchard dkk., mengemukakan bahwa hasil perkiraan kehilangan darah umumnya hanya sekitar separuh volume kehilangan darah yang sebenarnya. Karena itu, perkiraan kehilangan darah yang melebihi 500 mL harus diwaspadai sebagai ibu yang mengalami perdarahan berlebihan. 2 Volume darah perempuan hamil dengan hipervolemia- terinduksi-kehamilan normal biasanya bertambah 30 hingga 60 persen. Hal ini setara dengan 1500 hingga 200 mL untuk perempuan bertubuh sedang. Perempuan hamil normal dapat menoleransi, tanpa adanya penurunan bermakna pada hematokrit pascapartum, kehilangan darah saat pelahiran dalam jumlah mendekati volume darah tambahan yang diperolehnya selama hamil. Jadi, jika kehilangan darah kurang dari jumlah yang bertambah saat hamil, nilai hematokrit akan tetap sama segera setelah pelahiran dan beberapa hari pertama setelahnya. Kadar hematokrit akhirnya meningkat seiring dengan menyusutnya volume plasma normal pascapartum. Setiap kali nilai hematokrtit pascapartum leih rendah dari nilai yang diperoleh saat datang untuk melahirkan, kehilangan darah dapat 1

Upload: fahmi-hidayati

Post on 26-Sep-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat obgyn

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Secara tradisional, perdarahan pascapartum didefinisikan sebagai kehilangan 500 mL atau lebih darah setelah selesainya Kala 3 persalinan. Hal ini menimbulkan masalah karena separuh perempuan yang melahirkan per vagina mengeluarkan darah dalam jumlah sebesar itu, bahkan lebih jika diukur secara kuantitatif. Menurut Pritchard dkk., mengemukakan bahwa hasil perkiraan kehilangan darah umumnya hanya sekitar separuh volume kehilangan darah yang sebenarnya. Karena itu, perkiraan kehilangan darah yang melebihi 500 mL harus diwaspadai sebagai ibu yang mengalami perdarahan berlebihan.2

Volume darah perempuan hamil dengan hipervolemia-terinduksi-kehamilan normal biasanya bertambah 30 hingga 60 persen. Hal ini setara dengan 1500 hingga 200 mL untuk perempuan bertubuh sedang. Perempuan hamil normal dapat menoleransi, tanpa adanya penurunan bermakna pada hematokrit pascapartum, kehilangan darah saat pelahiran dalam jumlah mendekati volume darah tambahan yang diperolehnya selama hamil. Jadi, jika kehilangan darah kurang dari jumlah yang bertambah saat hamil, nilai hematokrit akan tetap sama segera setelah pelahiran dan beberapa hari pertama setelahnya. Kadar hematokrit akhirnya meningkat seiring dengan menyusutnya volume plasma normal pascapartum. Setiap kali nilai hematokrtit pascapartum leih rendah dari nilai yang diperoleh saat datang untuk melahirkan, kehilangan darah dapat diperkirakan sebagai jumlah perhitungan hipervolemia kehamilan ditambah 500 mL untuk setiap penurunan hematokrit sebanyak 3 persen.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Perdarahan pascapartum adalah hilangnya 500 mL atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau kehilangan 1000 mL darah atau lebih setelah sectio caesaria.4

Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu :

1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.

2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

Penyebab perdarahan Postpartum antara lain :

1. Atonia uteri 50% - 60%

2. Retensio plasenta 16% - 17%

3. Sisa plasenta 23% - 24%

4. Laserasi jalan lahir 4% - 5%

5. Kelainan darah 0,5% - 0,8%

II. EPIDEMIOLOGI

Perdarahan postpartum masih merupakan penyebab terbanyak kematian maternal. Perdarahan postpartum masih merupakan penyebab terbanyak kematian maternal, terhitung sekitar 100.000 kematian maternal setiap tahunnya. Di negara maju dan berkembang, penyebab kematian yang paling umum adalah perdarahan berat (Tabel 1 dan 2).1

Tabel 1. Insiden Kematian Global Perdarahan Pascapersalinan1

Tabel 2. Penyebab angka kematian pada kehamilan.

Perdarahan masif terjadi sekitar 5-15 % pada wanita setelah mengalami persalinan.3 Secara global, diperkirakan jumlah kematian maternal dunia pada tahun 2000 mencapai 529 ribu yang tersebar di Asia 47,8% (253 000); Afrika 47,4% (251 000); Amerika Latin dan Caribbean 4% (22 000); dan kurang dari 1% (2500) di negara maju. Di kawasan Asean Indonesia menempati urutan tertinggi dalam angka kematian maternal yakni 390/100.000 kelahiran hidup, jauh di atas negara Asean lainnya.

III. FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI

Baru-baru ini diterbitkan, penelitian berbasis populasi yang besar mendukung temuan ini dengan faktor risiko yang signifikan, yang diidentifikasi menggunakan analisis multivariabel, faktor resiko perdarahan adalah: retensio plasenta (OR 3,5, 95% CI 2,1-5,8), kegagalan untuk kemajuan selama tahap kedua persalinan (OR 3,4 , 95% CI 2,4-4,7), plasenta akreta (OR 3,3, CI 95% 1,7-6,4), laserasi (OR 2,4, CI 95% 2,0-2,8), persalinan dengan bantuan alat (OR 2,3, CI 95% 1,6-3,4), besar usia kehamilan (LGA) baru lahir (OR 1,9, CI 95% 1,6-2,4), hipertensi (OR 1,7, CI 95% 1,2-2,1), induksi persalinan (OR 1.4, 95% CI 1,1-1,7) dan augmentasi kerja oksitosin (OR 1,4, 95% CI 1,2-1,7).1

Perdarahan pascapersalinan juga berhubungan dengan obesitas. Dalam sebuah studi dikatakan, risiko perdarahan rahim meningkat pesat dengan meningkatnya IMT, Pada perempuan dengan BMI lebih dari 40, risiko adalah 5,2% dengan persalinan normal 13,6%.1

Perdarahan yang masif terjadi karena adanya abnormalitas pada keempat proses dasar, yang disingkat 4 T, baik tunggal ataupun gabungan: tone (kontraksi uterus yang buruk setelah persalinan), tissue (retensi sisa hasil konsepsi atau bekuan darah), trauma (pada saluran genital), atau thrombin (abnormalitas pembekuan darah).

Tone

Kegagalan kontraksi dan retraksi serabut otot miometrium dapat menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah dan syok hipovolemik. Over distensi dari rahim, baik secara absolut atau relatif, adalah faktor risiko utama untuk atonia. Over distensi rahim dapat disebabkan oleh kehamilan multifetal, makrosomia janin, polihidramnion, atau janin kelainan (misalnya, hidrosefalus berat), kelainan struktur rahim.

Tissue

Kegagalan pemisahan lengkap plasenta terjadi pada plasenta akreta , dan varian nya di mana seluruh permukaan plasenta abnormal terpasang atau lebih invasi ( plasenta inkreta maupun perkreta ). Mungkin awalnya tidak menyebabkan perdarahan hebat , tapi mungkin berkembang sebagai upaya lebih agresif yang dibuat untuk mengeluarkan plasenta . Kondisi ini harus dipertimbangkan kemungkinan bila plasenta tertanam pada bekas luka uterus sebelumnya.

Trauma

Persalinan secara sectio caesaria dikatakan memiliki resiko dua kali lipat untuk mengalami perdarahan dibandingkan persalinan pervaginam. Paling sering terjadi adalah rupturnya uterus.

Thrombin

Trombositopenia mungkin berhubungan dengan riwayat penyakit, seperti idiopatik thrombocytopenic purpura, atau diperoleh sekunder seperti sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan jumlah platelet rendah), solusio plasenta, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), atau sepsis.

Gambar 1. Skema penanganan perdarahan pasca persalinan menurut etiologi.

IV. KOMPLIKASI

Syok terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa disebabkan oleh kegagalan kerja jantung (syok kardiogenik), infeksi yang hebat sehingga terjadi redistribusi cairan yang beredar (intravaskular) ke dalam cairan ekstravaskular (syok septik), hipovolemia karena dehidrasi (syok hipovolemik) atau karena perdarahan banyak (syok hemoragik). Tanda dan gejala syok hemoragik bervariasi tergantung pada jumlah darah yang hilang dan kecepatan hilangnya darah. Manifestasi klinis dapat dilihat pada tabel 2.

Table 2. Clinical Findings in Obstetric Hemorrhage1

Blood Volume Loss

Blood Pressure (systolic)

Symptoms and Signs

Degree of Shock

500-1000 mL (10-15%)

Normal

Palpitations, tachycardia, dizziness

Compensated

1000-1500 mL (15-25%)

Slight fall (80-100 mm Hg)

Weakness, tachycardia, sweating

Mild

1500-2000 mL (25-35%)

Moderate fall (70-80 mm Hg)

Restlessness, pallor, oliguria

Moderate

2000-3000 mL (35-50%)

Marked fall (50-70 mm Hg)

Collapse, air hunger, anuria

Severe

Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat menyebabkan penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis. Terjadi takikardia, kontraktilitas otot jantung meningkat dan vasokonstriksi perifer. Sementara volume darah beredar menurun, kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen juga menurun sedang kenaikkan kontraktilitas otot jantung membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak. Keadaan ini cepat memacu terjadinya kegagalan miokardium. Vasokonstriksi perifer ditambah dengan menurunnya kemampuan darah membawa oksigen menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme anaerob dan terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator kimiawi dan memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya radikal oksigen yang berakibat kematian sel. Kematian sel menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga mikroorganisme dan endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan inilah yang mengakibatkan terjadinya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan kegagalan multiorgan yang berakhir dengan kematian.7

V. DIAGNOSIS

Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab

Perdarahan Post Partum3

Gejala dan Tanda

Penyulit

Diagnosis Kerja

- Uterus tidak berkontraksi dan lembek.

Perdarahan segera setelah anak lahir

Syok

Bekuan darah pada serviks atau posisi telentang akan menghambat aliran darah keluar

Atonia uteri

Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir

Uterus berkontraksi dan keras

Plasenta lengkap

Pucat

Lemah

Menggigil

Robekan jalan lahir

Plasenta belum lahir setelah 30 menit

Perdarahan segera

Uterus berkontraksi dan keras

Tali pusat putus akibat traksi berlebihan

Inversio uteri akibat tarikan

Perdarahan lanjutan

Retensio plasenta

Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap

Perdarahan segera

Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang

Retensi sisa plasenta

Uterus tidak teraba

Lumen vagina terisi massa

Tampak tali pusat (bila plasenta belum lahir)

Neurogenik syok

Pucat dan limbung

Inversio uteri

Sub-involusi uterus

Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus

Perdarahan sekunder

Anemia

Demam

Endometritis atau sisa fragmen plasenta (terinfeksi atau tidak)

VI. PENANGANAN

Tujuan utama penanganan perdarahan postpartum ada 3 yakni pencegahan, penghentian perdarahan dan mengatasi syok.

1. Manajemen Aktif Kala III

Setiap ibu melahirkan harus mendapatkan manajemen aktif kala III. Merupakan tindakan (intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan postpartum karena atoni uteri.2 Tindakan ini meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian uterotonika, (2) peregangan tali pusat terkendali dan (3) masase uterus setelah plasenta lahir.2 Oksitosin 10 unit disuntikan secara intramuskular segera setelah bahu depan atau janin lahir seluruhnya. Peregangan tali pusat secara terkendali (tidak terlalu kuat) dilakukan pada saat uterus berkontraksi kuat sambil ibu diminta mengejan. Jangan lupa melakukan counter-pressure terhadap uterus untuk menghidari inversi. Lakukan masase fundus uteri segera setelah plasenta lahir sampai uterus berkontraksi kuat, palpasi tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah masase berhenti.3 Rekomendasi kunci yang dianjurkan dalam praktek untuk menekan kejadian perdarahan postpartum.

Pada tahun 2006 WHO mengeluarkan rekomendasi yang sama untuk meminimalisasi morbiditas dan mortalitas maternal:

1. Manajemen aktif harus dilakukan pada semua wanita oleh dokter ahli

2. Dokter ahli harus menggunakan uterotonika (oksitosin, ergonovine, misoprostol, dan carboprost) untuk mencegah perdarahan postpartum.

3. Klem tali pusat lebih awal hanya direkomendasikan pada bayi yang membutuhkan resusitasi.

2. Uterotonika

Uterotonika utama yang dipakai dalam pencegahan dan penanganan perdarahan postpartum adalah oksitosin dan metilergonovin. Society of Obstetricians and Gynecologist of Canada (SOGC) Clinical Practice Guidline merekomendaskan pemakaian oksitosin dan metilergonovin sebagai berikut.5

Penggunaan Uterotonika

Misoprostol

Misoprostol adalah analog prostaglandin E1, yang banyak digunakan dalam praktek obstetrik karena sifatnya yang memacu kontraksi miometrium. Misoprostol lebih unggul dibanding prostaglandin lain seperti PG E2 atau PG F2 karena sifatnya yang stabil pada temperatur kamar, murah dan mudah penggunaannya.

Adanya perdarahan postpartum setelah persalinan harus segera ditangani dengan tepat. Penanganan lini pertama dengan pemberian uterotonika yaitu oksitosin dan ergometrin yang dilanjutkan dengan masase uterus. Misoprostol dapat digunakan apabila dengan metode ini perdarahan tidak dapat dihentikan. Dalam situasi di mana uterotonika tidak tersedia, pemberian misoprostol 600 g dapat digunakan sebagai terapi utama perdarahan postpartum. Misoprostol dapat diberikan secara oral ataupun sublingual.6

3. Penanganan perdarahan postpartum yang telah terjadi (establihed postpartum hemorrhage)

a. Intervensi medis

Jika dengan managemen aktif kala III perdarahan vaginal masih berlangsung, maka harus segera diberikan 5-10 unit oksitosin secara intravena pelan atau 5-30 unit dalam 500 ml cairan dan 0,25-0,5 mg ergometrin intravena. Pada saat yang sama dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya sebab lain seperti adanya robekan jalan lahir atau retensi sisa plasenta. Perhatian harus ditujukan pada cara mengatasi syok (ABC's) dengan memasang venokateter besar, memberikan oksigen dengan masker, monitoring tanda vital dan memasang kateter untuk memonitor jumlah urin yang keluar. Monitoring saturasi oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk pemeriksaan rutin, golongan darah dan skrining koagulasi.

b. Intervensi bedah

Pasien harus diletakkan dalam posisi litotomi dengan pencahayaan yang baik sehingga adanya robekan di perineum, vagina dan seviks dapat diidentifikasi. Jika robekan jalan lahir dapat disingkirkan maka segera dilakukan eksplorasi kavum uterin untuk menyingkirkan adanya retensi sisa plasenta. Jika setelah manuver ini perdarahan masih berlangsung dan kontraksi uterus lembek, maka atoni uteri adalah penyebab perdarahan.

Beberapa intervensi bedah yang dapat dilakukan adalah kompresi bimanual, tampon uterus (uterine packing, tamponade test), jahitan pada placental bed, jahitan segi empat ganda (multiple square suture), jahitan B-Lynch, ligasi arteria uterina, ligasi arteria iliaka interna, histerektomi, tampon intraabdominal (intraabdominal packing) dan embolisasi arteria iliaka interna atau arteria uterina.4

1. Kompresi Bimanual

Kompresi bimanual dilakukan dengan satu tangan (tangan kanan mengepal) ditempatkan di forniks anterior dan tangan kiri mengangkat korpus dan menekan ke arah tangan yang di dalam vagina. Cara ini setidaknya dapat menghentikan perdarahan sementara sambil menyiapkan langkah lainnya.

Gambar 2. Tehnik kompresi Bimanual

2. Tampon Uterus (Uterine Packing)

Tindakan ini dipertimbangkan bila terapi obat-obatan tidak berhasil atau sambil menunggu tindakan operatif. Pada keadaan di mana korpus berkontraksi baik sedang segmen bawah rahim tidak, seperti pada plasenta letak rendah, maka tampon uterus bermanfaat. Bila seluruh uterus lembek dan serviks terbuka lebar maka tampon tidak efektif karena tampon tidak mendapat tahanan dari bawah. Tampon harus dipasang dengan padat dan hanya meninggalkan bagian sedikit di dalam vagina untuk mengangkat setelah 24 jam.1

Gambar 3. Tampon Uterus

3. Histerektomi Peripartum

insidensi melakukan histerektomi peripartum berkisar antara 7-13 per 100.000 persalinan dan sebagian besar terjadi bersamaan dengan seksio sesarea. Indikasi utama adalah plasenta akreta, inkreta dan perkreta, atoni uterin, ruptur uterin, hematoma ligamentum latum, robekan serviks luas setelah tindakan forseps, dan koriomanionitis. Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteria uterina. Histerektomi supraservikal dapat dilakukan kalau dibutuhkan operasi yang lebih cepat. Teknik B-Lynch dan teknik Lasso-Budiman, keduanya merupakan teknik yang aman, sederhana, mudah, dan efektif untuk menghentikan perdarahan pascapersalinan yang disebabkan oleh atonia uteri. Bila terjadi kegagalan, histerektomi adalah pilihan terakhir. Kedua teknik tersebut juga merupakan metode yang efektif untuk mempertahankan uterus dan fertilitas.

4. Tampon Intraabdominal

Histerektomi tidak menjamin bahwa perdarahan pasti berhenti. Perdarahan bisa terjadi karena gangguan faktor pembekuan (consumptive coagulopathy) atau manipulasi yang berlebihan. Sebuah tampon padat ditaruh di tempat sumber perdarahan dan diangkat setelah 24 jam setelah gangguan perdarahan terkoreksi.1

5. Tranfusi Darah

Sel darah merah yang dimampatkan (Packed Red Cells, PRC) lebih banyak digunakan untuk mengatasi syok hemoragik. Tujuan transfusi darah pada kedaan ini adalah restorasi cairan intravaskular yang hilang dan pemulihan kapasitas membawa oksigen oleh sel darah merah (oxygen carrying-capacity). Kemampuan membawa oksigen sel darah merah pada seorang individu yang sehat tidak akan terganggu sampai kadar hemoglobin turun di bawah 6-7 g/dL. Kehilangan darah lebih dari 20-25% atau dengan kecurigaan koagulopati memerlukan penggantian faktor koagulasi. Pemeriksan faktor koagulasi juga diperlukan setelah pemberian 5-10 unit PRC.

A. ATONIA UTERI

I. Definisi

Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik3.

II. Etiologi

Over distensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir3.

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum5.

PREDISPOSISI TERHADAP ATONIA UTERI

Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu besar.

Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.

Kehamilan grande-multipara.

Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.

Mioma uteri yang menganggu kontraksi rahim.

Infeksi intrauterin (korioamnionitis).

Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500 1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.5

Tindakan

Banyak darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya.5

Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan :

Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri

Pemberian misoprostol peroral 2 3 tablet ( 400 600 g ) segera setelah bayi lahir.

Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:

Sikap Trendelenburg, memasang venous line dan memberikan oksigen.

Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara ;

Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.

Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m, i.v, atau s.c.

Memberikan derivat prostaglandin F2 (carbopost tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris dan takikardia.

Pemberian misoprostol 800 1.000 g per-rektal.

Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.

Kompresi aorta abdominalis.

Pemasangan tampon kondom, kondom dalam kavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.

Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa;

Ligasi arteria uterina atau arteria ovarika.

Operasi ransel B Lynch.

Histerektomi supravaginal.

Histerektomi total abdominal.

III. Penatalaksanaan

Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri

Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.

Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.

Kompresi bimanual eksternal

Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal

Kompresi bimanual internal

Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi aorta abdominalis

Kompresi aorta abdominalis

Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi

Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.

Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali)

Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.

B. RETENSIO PLASENTA

I. Definisi

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir5.

II. Klasifikasi

Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain3:

Plasenta adhesiva adalah plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.

Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai sebagian lapisan miometrium sampai ke serosa (impatasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer)

Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/melewati lapisan miometrium

Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus (perimetrium)

Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri

Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas sectio saesaria, pernah kuret berulang dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan pascapersalinan primer atau sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta sepanjang plasenta belum terlepas, maka akan menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan harus diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual, meski[un kala uri belum lewat setengah jam.

Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasneta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika.

Tabel II.4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta3

Gejala

Separasi / akreta parsial

Plasenta inkarserata

Plasenta akreta

Konsistensi uterus

Kenyal

Keras

Cukup

Tinggi fundus

Sepusat

2 jari bawah pusat

Sepusat

Bentuk uterus

Diskoid

Agak globuler

Diskoid

Perdarahan

Sedang-banyak

Sedang

Sedikit/tidak ada

Tali pusat

Terjulur sebagian

Terjulur

Tidak terjulur

Ostium uteri

Terbuka

Konstriksi

Terbuka

Separasi plasenta

Lepas sebagian

Sudah lepas

Melekat seluruhnya

Syok

Sering

Jarang

Jarang sekali

III. Penatalaksanaan

Retensio plasenta dengan separasi parsial

Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil

Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.

Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)

Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan

Lakukan transfusi darah apabila diperlukan

Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria / oral)

Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik

Sisa Plasenta

Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus

Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral

Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase

Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari

Plasenta akreta

Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam

Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif.

Penilaian Klinik Plasenta Akreta

Gambar 4. Alur penilaian plasenta akreta

C. LASERASI JALAN LAHIR

Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.5

Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampau ruptur perinei totalis ( sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan ruptur uteri. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta.5

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan insoeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi.5

I. Klasifikasi

- Ruptura perineum dan robekan dinding vagina. Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam:

o Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum

o Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital

o Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan

o Tingkat IV : perlukaan sampai mucosa anus

Gambar 5. Derajat Luka robekan perineum.

II. Faktor Resiko

- Makrosomia

- Malpresentasi

- Partus presipitatus

- Distosia bahu

III. Penatalaksanaan

Ruptura perineum dan robekan dinding vagina

Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan

Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik

Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap

Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator

Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb:

Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung robekan

Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0

Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur

Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler

Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau

terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas

Robekan serviks

Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi

Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio

Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit

Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan

Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi

Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%, berikan transfusi darah

D. KELAINAN DARAH

I. Etiologi

Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma.5

Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis.5

Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC.5

DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).

II. Penatalaksanaan

Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.

Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh trombosit hanya 3 4 hari6.

Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris6.

Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis6.

DAFTAR PUSTAKA

1. Blomberg M. Maternal obesity and risk of postpartum hemorrhage.Obstet Gynecol. Sep 2011;118(3):561-8.

2. Cuningham FG, et al. Perdarahan obstetris. William Obstetrics 23th. The McGraw-Hill Companies, 2013.

3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD. Kehamilan Multi Janin. Dalam: Hatono A, Suyono YJ. Pendit BU. Obstetri Williams.Volume 1 edisi 21. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC, 2006.

4. Leveno K, et al. Hemorrhage Immediately Following Delivery. Williams Manual 23rd. The McGraw-Hill Companies, 2013.

5. Martaadisubrata D, dkk. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.

6. Evans Arthur T. Manual Obstetrics, 7th edition. Philadelphia : Lippincontt Williams and Wilkins, a Wolters Kluwer. 2007.

7. Mochtar, R., Lutan, D. (ed), Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.

8. World Health Organization. WHO Recomendations For Prevention And Treatment of Postartum Haemorrhage, 2012.

13