refrat radiology
DESCRIPTION
referat radiologyTRANSCRIPT
1
Prevalensi dan Evolusi Perdarahan Intracranial Asimptomatik pada Bayi
Abstrak
Latar belakang dan tujuan : Perdarahan Subdural (SDH) sering dihubungkan
dengan bayi yang mengalami cedera nonaccidental (NAI). Studi tentang tampilan dan
evolusi alami dari lahir berhubungan dengan perdarahan, terutama SDH, yang sangat
penting dalam evaluasi forensik dari NAI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan kejadian normal, ukuran, distribusi, dan keadaan alami yang
mengakibatkan perdarahan subdural asimptomatik terhadap neonatus yang di deteksi
oleh sonography (US) dan gambaran MR dalam waktu 72 jam setelah kelahiran.
Bahan dan cara : Riwayat kelahiran, proses persalinan, durasi dari proses kelahiran,
obat yang digunakan untuk membantu persalinan (augmentasi), dan komplikasi saat
melahirkan serta catatan pemeriksaan fisik setelah bayi dilahirkan.
Hasil : Empat puluh enam neonatus yang terdeteksi SDH oleh gambaran MR dalam
waktu 72 jam setelah melahirkan. SDH terlihat pada bayi dengan riwayat kelahiran
pervaginam dan juga seksio cesarea. Semua neonatus tanpa gejala dengan temuan
normal pada pemeriksaan fisik. Dari 46 neonatus memiliki supratentorial SDH yang
terlihat pada tengkorak posterior. Dua puluh (43%) juga memiliki infratentorial SDH.
US mendeteksi 11 dari 20 (55%) infratentorial SDHs dan tidak ada supratentorial
SDH. Kebanyakan SDHs terjadi pada kelahiran adalah 3 mm dan di selesaikan pada
waktu 1 bulan dan di selesaikan secara keseluruhan pada waktu 3 bulan pada
penggambaran dengan MR. Sebagian besar anak dengan SDH memiliki kondisi
normal pada pemeriksaan perkembangan saat usia 24 bulan.
Kesimpulan : SDHs asimptomatik pada neonatus setelah kelahiran terbatas pada
ukuran dan lokasi.
2
Perdarahan subdural sering dikaitkan dengan bayi yang mengalami cedera
nonaccidental (NAI). Kelahiran yang berhubungan dengan perdarahan trauma
digunakan dalam pengadilan hokum sebagai penjelasan untuk SDH pada bayi dengan
dugaan NAI karena berbagai macam perdarahan pada neonatus sudah dilaporkan dari
sejak lama. Sebuah penelitian tentang tampilan dan perkembangan alami dari
perdarahan berhubungan dengan kelahiran, terutama SDH adalah hal yang penting
dalam evaluasi forensic terutama NAI. Sedikit penelitian yang melaporkan
menemukan gejala perdarahan pada bayi selama masa neonatal. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa resiko SDH dan perdarahan lainnya ditemukan pada
penggambaran bayi dengan gejala yang bervariasi dengan berbagai macam metode
kelahiran. Sonografi (US) merupakan standar praktik yang digunakan untuk
mendeteksi perdarahan pada masa awal kehamilan pada bayi premature dan juga
menunjukan SDH pada bagian belakang fossa. Penggambaran MR secara umum
memiliki sensitivitas yang tinggi untuk perdarahan intrakranial dan rendahnya radiasi
pengion, adalah tekhnik yang menguntungkan untuk mengevaluasi trauma lahir lebih
dari CT terutama pada neonatus. Penelitian sebelumnya dilakukan dalam upaya untuk
menentukan kejadian dan riwayat alami SDH tanpa gejala pada neonatus yang telah
dibatasi dalam penggunaan bidang dengan kekuatan rendah (0,2T) gambaran MR,
jumlah pasien yang sedikit atau variable waktu penggambaran setelah lahir.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi, ukuran,
tampilan dan distribusi SDH asimptomatik pada neonatus yang dideteksi oleh US dan
1,5T gambaran MR dalam waktu 72 jam setelah kelahiran. Selain itu secara
prospektif mempelajari riwayat alami dari terjadinya perdarahan tersebut. Penelitian
ini dapat digunakan sebagai dasar untuk perbandingan dengan pola abnormal pada
SDH yang disebabkan karena perlakuan kejam.
3
Metode
Penelitian ini telah di setujui oleh Kajian Ilmiah dan Komite Kemanusiaan
rumah sakit. Neonatus yang sedikitnya mengalami 37 minggu massa kehamilan dan
di temukan kondisi normal pada pemeriksaan fisik oleh dokter yang berkompeten dan
memenuhi syarat dalam penelitian. Pertama 101 orang tua pasien yang memberi
persetujuan tertulis untuk mengikuti penelitian selama masa penelitian di ikut
sertakan pada penelitian. Riwayat kelahiran, metode persalinan, durasi pada setiap
tahapan persalinan, obat oksitosin yang di gunakan untuk augmentasi, dan komplikasi
setelah melahirkan yang di catat. Semua neonatus yang dinyatakan sehat pada
pemeriksaan neurologis oleh seorang ahli saraf pada anak yang bersertifikat pada
pemeriksaan neurologis yang dilakukan sebelum dilakukan penggambaran.
Pemeriksaan oftalmologi retina tidak dilakukan pada setiap neonatus. Penggambaran
MR yang pertama dan US untuk setiap pasien dilakukan pada usia 72 jam.
US dilakukan dengan Acuson sequoia 512 (Siemens Medical Solusi, Malvern,
Pa) dengan menggunakan 8V5 dan 15L8 transducer. Standar gambar corronal dan
sagital otak neonatus yang di ambil melalui anterior ubun-ubun dan gambar dari fossa
posterior yang diambil melalui mastoid fontanel. Aliran gambaran warna Doppler
yang dihasilkan menemukan gambaran gray-scale dan dinyatakan positif SDH. US
dilakukan pada waktu 1 jam dari penggambaran MR. SDH didefinisikan sebagai
ekstraserebral lengkung echogenicity yang terletak dibawah calvaria tanpa adanya
hubungan pembuluh darah sentral yang melintasi pada penggambaran Doppler.
Penggambaran dilakukan setelah pemberian makan pagi. Bayi dibawa ke departemen
radiologi dengan kendaraan bassinette. Ditempatkan diatas meja penggambaran MR
dengan kepala berada pada 8-saluran kumparan dan diamankan dengan lembaran,
busa, dan pita isolasi untuk meminimalkan gerak. Potongan busa sebagai pelindung
telinga dan disertai tempat pembukanya yang disertai dengan lempeng sebagai alat
untuk menambah kenyamanan pada saat pemeriksaan. Tidak ada bayi yang diberi
obat sedasi.
Dengan menggunakan signa 1,5T penggambaran MR digunakan pemindai
(software 11.0_M4_0403a) (GE Healthcare, Milwaukee,Wis ), kami menggunakan
4
pencitraan berikut urutannya : 1.) 3-pesawat localizer, 2.) sagital T2 single-shot cepat
spinecho (SE) 2D pulsasi urutan pilihan penggambaran dengan TE 90 , TR 3000 ,
bandwidth 31.25 , FOV dari 18 , ketebalan bagian 4 , melewati 0 , dengan matrik
256192 dengan intensitas frekuensi sinyal NEX 1, fase FOV 0.70 ; 3.) aksial
multiplanar gradien recall ( MPGR ) tegangan gradien-gema penggambaran yang di
pilih pada aliran comp , VBW , dengan TE 20 , TR 355 , sudut lain dari 20 °,
bandwidth 15,63 , FOV dari 18 , ketebalan bagian 4, melewati 0 , matriks 256 192
frekuensi AP , NEX 1 , fase FOV dari 0,75 , 4.) aksial T1 konvensional SE 2D
tegangan urutan pilihan, VBW , TE min , TR 377 , bandwidth 15,63 , SAT I , FOV
18 , ketebalan bagian 4 , melewati 0 , matrix 256 192 , NEX 0.75 , fase FOV dari
0,75 , frekuensi AP; 5.) koronal T1 (fossa posterior ) 2D pulsa urutan SE gambaran
pilihan, VBW , TE min , TR 502 , bandwidth
15.63 , SAT I , FOV dari 18 , ketebalan bagian 4 , melewati 0, matrix 256 192 ,
frekuensi arah S/I , NEX 0.75 , fase FOV dari 0,75 ; 6.) aksial pemulihan inversi
cairan dilemahkan (FLAIR ) urutan 2D pulsa IR Pilihan pencitraan , disesuaikan
frekuensi radio cepat, zip 512 , TE 120,TR 10.000 , TI 2200 , bandwidth 15,63 , FOV
dari 18 bagian ketebalan 4 , melewati 0, matrix 256 224 , arah frekuensi A / P , NEX
1; 7 ) aksial difusi - tertimbang echo- planar imaging ( DWI EPI ) 2D SE opsi
pencitraan ( DIFF ) , jumlah tembakan 1 , TE min , TR 10.000 , DWI layar b- nilai
1500, arah difusi SEMUA , frekuensi dari 128/128 , NEX 1 , FOV dari 18 , ketebalan
bagian 44 , melewati 0, matriks 128 128 . Konvensional SE T1 diganti untuk cepat
SE setelah 42 pasien dipindai. Pilihan pencitraan , disesuaikan frekuensi radio cepat,
zip 512 , TE 120 , TR 10.000 , TI 2200 , bandwidth 15,63 , FOV dari 18 bagian
ketebalan 4 , melewati 0 , matrix 256 224 , arah frekuensi A / P , NEX 1; 7 ) aksial
difusi - tertimbang echo- planar imaging ( DWI EPI ) 2D SE opsi pencitraan
( DIFF ) , jumlah tembakan 1 , TE min , TR 10.000 , DWI layar b- nilai 1500, arah
difusi SEMUA , frekuensi dari 128/128 , NEX 1 , FOV dari 18 , ketebalan bagian 44 ,
melewati 0, matriks 128 128 . Konvensional SE T1 diganti untuk SE cepat setelah 42
pasien dipindai .
5
Penggambaran MR dan US tergantung pada peninjauan dari PACS
(Centricity, GE Healthcare) oleh 2 ahli radiologi yang bersertifikat dengan
penambahan sertifikat pada bidang neuroradiologi atau pada pediatric radiologi. Ahli
neurologis anak berdiskusi dengan orang tua bayi mengenai hasil penggambaran.
Bayi yang terdeteksi SDH pada awal penggambaran dijadwalkan untuk dilakukan
penggambaran MR dan pemeriksaan US pada 3-7 hari, 2 minggu, 1 bulan, dan 3
bulan atau sampai ditemukan gambaran MR negatif. Jika temuan US pada awal
normal tidak dilakukan penggambaran US lebih lanjut. Interpretasi akhir mengenai
temuan SDH pada penggambaran MR ditentukan oleh 2 konsensus 2 ahli dari
radiologi berdasarkan pada SDH dan MR yang terlihat pada setelah kelahiran dan
langsung di pantau selama 3-7 hari. SDH pada penggambaran MR didefinisikan
sebagai lengkung ekstraserebral dengan intensitas dan tanda yang abnormal
berhubungan dengan adanya produk darah yang tidak meluas ke sulci. Pada
penggambaran US dan MR, lokasi dan ukuran SDH dicatat dengan ukuran di ukur
sebagai lebar maksimal pada bidang aksial dengan menggunakan kapiler elektronik.
Pada bayi dengan SDH di berbagai lokasi, ukuran SDH terbesar di catat. Adanya
cephalohematomas juga di catat sedangkan evaluasi untuk coagulophaty tidak rutin
dilakukan.
Perbandingan kejadian SDH antar kelompok dilakukan dengan uji Fisher.
Waktu proses persalinan dan berat badan bayi saat lahir dengan SDH dengan mereka
yang tidak SDH dilakukan perbandingan dengan uji T test dan uji wilcoxon non
parametriks jika jumlah data didapatkan tidak seimbang dalam setiap kelompok. Uji
Fisher dilakukan untuk membandingkan durasi dari proses persalinan dan kejadian
cephalhematoma pada bayi dengan SDH dibandingkan dengan bayi yang tidak SDH.
Perbandingan dari kejadian SDH dari persalinan pervaginam dengan section sesarean
ditambah dengan penggunaan oksitosin juga dilakukan dengan menggunakan uji
fisher selain dengan perhitungan odd ratio SDH yang meningkat terkait dengan
pemberian oksitosin.
Data dinyatakan sebagai standar error dari rata-rata dan atau dari median atau
dinyatakan dalam kisaran nilai yang diperoleh. Untuk semua tes nilai P <,05 dianggap
6
sebagai signifikan. Tahap pertama persalinan di definisikan sebagai durasi dari awal
persalinan sampai janin berada pada jalan lahir. Tahap kedua dari persalinan
didefinisikan sebagai keluarnya janin melalui jalan lahir.
Evaluasi klinis dilakukan pada semua pasien yang menunjukan gambaran
SDH. Pasien di evaluasi pada usia 24 bulan dan dinilai apakah terdapat keterlambatan
dalam pertumbuhannya. Keterlambatan perkembangan (motorik atau ucapan)
ditentukan dari keterlambatan perkembangan dibidang tertentu dengan
membandingkan norma-norma yang diharapkan pada anak sesuai usianya.
Keterlambatan perkembangan digunakan secara sementara untuk mendiagnosis anak
kecil dengan risiko memiliki cacat perkembangan, yang diindikasikan dengan melihat
kegagalan dari perkembangan saraf milestone. Dilembaga kami, dilakukan penilaian
keterlambatan perkembangan pada setiap waktu dilakukan kunjungan pemantauan
yaitu pada usia 2, 4, 6, 12, 15, 18 dan 24 bulan. Denver Developmental Screening Tes
II diterapkan untuk setiap anak pada saat dilakukan pemantauan perkembangan
terhadap mereka.
Hasil
Seratus satu pasien telah terdaftar dalam penelitian ini antara Januari 2005 sampai
Maret 2006. Ada 58 anak laki-laki dan 43 anak perempuan. Tujuh puluh sembilan
(78%) anak-anak dilahirkan melalui jalan lahir dengan persalinan normal (80%), 10
anak (12%) dengan bantuan vakum, dan 6 anak (8%) dengan bantuan forsep. Tiga
puluh lima persalinan normal dengan induksi atau augmentasi dengan oksitosin. Dua
puluh dua (22%) anak dilahirkan dengan sesar: 13 persalinan sesar elektif dan 9
persalinan untuk partus macet dan atau fetal distress setelah persalinan percobaan.
Empat dari persalinan sesar setelah persalinan percobaan dengan menggunakan
oksitosin. Satu dari persalinan sesar setelah persalinan dengan bantuan forsep, dan 1
dengan bantuan vakum ekstraksi. Semua bayi yang dilahirkan normal dalam
pemeriksaan neurologi pada saat lahir.
Seluruh pasien pada pemeriksaan pencitraan MR memilik ihasil yang baik tanpa
artefak yang signifikan. Kebanyakan anak-anak tidur selama pemeriksaan.Waktu
7
pemeriksaan memerlukan < 10 menit. Tiga pemeriksaan pencitraan MR didapatkan
hasil SDH yang positif, tetapi hasil dari kunjungan pertama pencitraan MR didapatka
hasil normal hingga usia 3-7 hari.
Hal tersebut dianggap menjadi temuan positif palsu dan dikategorikan sebagai
temuan negatif .Empat puluh enam (46%) bayi memiliki SDH pada pencitraan MR
yang dikonfirmasi pada hasil penelitian (Tabel tambahan on-line). Empat puluh
empat dari 46 (95,9 %) memiliki SDH dengan ketebalan kurang dari atau sama
dengan 3 mm (kisaran,1,0-4,3 mm, berarti 2,1 mm ). SDH akan divisualisasikan
dengan baik pada awal MR pencitraan urutan MPGR dilakukan pada masa 72 jam
kehidupan (Gambar 1). Semua dari 46 pasien dengan perdarahan intracranial
memiliki supr atentorial SDH yang dikonfirmasi pada 2 alat pencitraan pada tindakan
pencitraan. Semua supratentoria SDH l di identifikasi dalam 72 jam setelah
persalinan terlihat di setengah bagian belakang tempurung kepala. Dua belas (26 %)
bayi memiliki catatan SDH hanya di 1 lokasi ,sedang kan sebagian besar bayi
memiliki SDH pada 2 atau 3 lokasi . Dalam semua , SDH yang paling sering terlihat
di posterior inter hemisphere fisura (lokasiparafalcine) (30, 65 % ) , dengan SDH juga
mencatat posterior sepanjang lobus oksipital di 29 ( 63 % ) dan di atas tentorium di
22 (48 % ) ( tambahan on-line Tabel ) . Semua SDH homogeny dalam intensitas
sinyal pada semua urutan .
Dua puluh (43%) dari neonates dengan SDH supratentorial jug amemiliki fossa
posterior SDH (Gambar 2). Tidak ada neonatus hanya fossa posterior perdarahan
terdeteksi oleh pencitraan MR. Tidak ada neonates yang memiliki bukti pencitraan
MRI subarachnoid, epidural, atau perdarahan intra parenchymal. Tidak ada kontusio
parenkim terlihat. Dua neonates memiliki kelas I germinal matriks perdarahan (1
unilateral, bilateral 1) serta SDH. Dua puluh dua neonates memiliki cephalo
hematoma yang tampak pada pencitraan MR. Delapan belas (82%) dari neonates
tersebut memiliki SDH. Sebagian besar (11/18, 61%) memiliki fossa posterior SDH
sertasupratentorial SDH.
8
Gambar 1. Fossa posterior SDH dalam neonatus disampaikan melalui SVD. A,SPGR aksial pada 72 jam hidup menunjukkan lobular simetris intensitas sinyal rendah dengan mekar di posteriorfossa (panah). B, Tindak lanjut gambar T1 menunjukkan intensitas sinyal tinggi SDH (panah) dengan 7 hari.
Gambar 2. Neonatus disampaikan melalui SVD dengan kedua supratentorial dan infratentorial SDH. A dan B, pemeriksaan awal menunjukkan lobular oksipital SDH menjadi intensitas sinyal yang sangat rendah pada MPGR (panah, A) dan isointenseke materi abu-abu dan sulit untuk men deteksi pada SE T1-tertimbang MR gambar (B). C dan D, Lima hari tindak lanjut menunjukkan tinggi T1 SDH (panah) di 2 lokasi di 2 pesawat, aksial
9
supratentorial (C) dan koronal, baik supra-dan infratentorial (D). E dan F, dua minggu menunjukkan tindak lanjut resolusileng kap perdarahan pada gambar T1.
Gambar 3. Neonatus disampaikan melalui SVD dengan fossa posterior SDH terlihat di AS dan dikonfirmasi pada pencitraan MR. A, sonogram Axial dari fossa posterior melalui ubun-ubun mastoid menunjukkan awal lengkung Echogenic berdekatan dengan focus melintang sinus (panah). B, Axial gambar MR T1-tertimbang menegaskan tinggi sinyal intensitas fossa posterior SDH (panah)n pada hari kehidupan ke 7.
Satu massa para ventricular 1,6 cm secara tidak sengaja terdeteksi pada
pencitraan MR, yang tidak terlihat pada pengulangan pemeriksaan oleh AS yang
dilakukan setelah pencitraan, awal. Massa, dianggap suatu hamartom, diamati dengan
manajemen harapan. Ini tetap asimptomatik dan tidak berubah dalam ukuran pada
tindakan bulan ke 4 di lembaga kami sebelum keluarga pasien pindah dari wilayah
kami.
Fossa posterior SDH terlihat di AS pada 11 (11%) neonatus, dansemua SDH
dikonfirmasipadapencitraan MR (Gambar 3). Dengandemikian, hanya 55% dari 20
SDH fossa posterior terlihat pada pencitraan MR yang diidentifikasi secara
independen pada pemeriksaan di AS. AS difokuskan di sepanjang aspek lateral yang
melalui fontanela dari mastoid.
10
Tingkat sensitivita sdeteksi AS fossa posterior SDH meningkat ketika 3 bayidengan
fossa posterior SDH didapatkangaristengahyang terisolasipadapencitraan MR,
dengandemikian, 11/17 (65%) fossa posterior lateral SDH yang terdeteksi di AS.
Semua SDH terlihat pada pencitraan MR di AS.Tidak perdarahan supra tentorial yang
terdeteksi di AS.
Insiden SDH terhadap jumlah mode persalinan ditunjukkan dalam Tabel 1.
Keempat neonates yang mengalami SDH dilahirkan dengan persalinan sesar memiliki
supratentorial SDH saja. Salah satuneonatusdengan SDH danyang dilahirkan sesar
lahir melalui sesa relektif untuk bayi makrosomia, sedangkan 3 dari 4 (75%) neonates
dengan SDH dan dilahirkan sesar yang telah gagal pada persalinan percobaan dengan
oksitosin- persalinan augmentasi sebelum dilahirkan sesar. Salah satunya kelahiran
sesar membutuhkan bantuan vakum. Sebagai perbandingan dengan neonates yang
dilahirkan melalui persalinan sesar, tingkat SDH secara signifikan lebih tinggi dalam
semua kelompok persalinan pervaginam (Tabel 1). Tidak ada perbedaan signifikan
secara statistic dari SDH di setiap kelompok persalinan pervaginam .
Lamanya tahap pertama dan kedua persalinan telah dicatat untuk semua
neonates yang dilahirkan melalui pervaginam. Untuk neonates dengan SDH, rata-rata
dari lamanya tahap pertama tidak signifikan berbeda dari yang neonates tanpa SDH
(Tabel 2). Tahap kedua persalinan secara signifikan lebih lama pada neonates dengan
SDH dibanding yang tanpa SDH. Tahap persalinan kedua (> 2 jam) juga lebih lama
dikelompok dengan SDH, dibandingkan dengan kelompok tanpa SDH. Insiden
11
cephalohematoma lebih tinggi pada bayi dengan SDH disbanding mereka yang tanpa
SDH.Tidak ada perbedaan
Pada durasi persalinan tahap kedua pada bayi dengan cephalohematom
dibandingkan dengan mereka yang tidak. Berat kelahiran bayi dengan SDH pada
pencitraan MR lebih tinggi dari temuan normal pada pencitraan MR (Tabel 2).
Semua Insiden SDH dalam 39 pasien yang menerima oksitosin tidak berbeda
dari kejadian SDH dalam 62 pasien yang tidak menerima oksitosin (Tabel 3). Ini juga
berlaku untuk subkelompok kelahiran pervaginam. Bagaimanapun,pemeriksaan
kelahiran sesar mengungkapkan bahwa kejadian SDH ketika oksitosin diberikan
sebelum persalinan sesar jauh lebih tinggi (Tabel 3).
Tindakan pencitraan selesai pada 18/46 (39,1%) pasien dengan SDH. Semua
18 pasien menunjukkan resolusi sebesar 3 bulan. Dua pasien hanya dicitrakan saat
lahir dan pada 3 bulan karena masalah penjadwalan. Kedua pasien ini memiliki
pencitraan MR normal ditemukan pada 3 bulan. Lima belas dari 16 pasien (93,8%)
12
yang dilakukan pencitraan termasuk 1 bulan pencitraan MR memiliki resolusi interval
SDH mereka. Satu pasien memiliki frontal SDH baru pada 2 minggu pemeriksaan
pencitraan MR. (Gambar 4). Pasien ini memiliki oksipital bilateral dan fossa posterior
SDH pada pencitraan awal saat lahir, dikonfirmasi pada 7 hari pemeriksaan
pencitraan MR. Dia juga tercatat memiliki koleksi ekstra-aksial bayi. Pada 26-hari
usia postnatal, pencitraan MR menunjukkan subdural frontal kiri yang tidak sesuai
dengan intensitas sinyal CSF. Dari 46 bayi dengan SDH, 43 anak-anak tercatat 2
tahun pemeriksaan bayi sehat di lembaga kami. Satuan aki tuhan ya diperiksa untuk 2
bulan, keluarga 1 anak telah pindah dar i daerah, dan 1 anak itu tidak memenuhi
syarat untuk perawatan lanjutan di sistem kami. Tak satu pun dari 43 bayi memiliki
keterlambatan motorik kasar. Enam (14%) anak-anak tercatat memiliki keterlambatan
bicara, dan 1 (2%) saat ini sedang dievaluasi untuk gangguan spectrum autistik.
Pembahasan
Kami mengkonfirmasi laporan kejadian SDH asimtomatis pada neonatus
pasca persalinan. Kejadian SDH (46%) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan laporan penelitian sebelumnya. Insiden ini lebih tinggi mungkin berhubungan
dengan deteksi dan sensitivitas yang meningkat dengan digunakannya MRI dengan
medan magnet berkekuatan 1,5T. Whitby et al., menggunakan medan magnet
berkekuatan rendah 0,2T, kejadian SDH dilaporkan secara keseluruhan mencapai 8%
dan 10,5% pada persalinan pervaginam dilakukan pemeriksaan pada 48 jam pertama
kehidupan. Insiden penelitian ini paling mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh
Holden et al yang juga menggunakan MRI dengan medan magnet berkekuatan 1,5T
pada tahun 1999, kejadian SDH asimtomatis 4 dari 8 (50%) pada neonatus pada 4
hari pertama kehidupan. Hasil ini mendukung bahwa kejadian SDH setelah persalinan
pervaginam tanpa komplikasi merupakan hal yang umum ditemukan pada
pemeriksaan MRI.
13
Umur pasien pada saat pemeriksaan MRTI merupakan hal yang menentukan
kejadian SDH pada neonatus. Kami melakukan pemeriksaan pada neonatus saat 72
jam pertama kehidupan dan SDH paling mudah dideteksi pada gradient-echo
sequence, kemudian di tindak lanjuti pada hari ke 3 sampai 7 kehidupan. Kebanyakan
kejadian SDH hilang pada umur 4 minggu. Whitby et al juga menemukan bahwa 9
pasien dengan SDH ditemukan pertama kali pada saat 48 jam pertama kehidupan dan
perdarahan tersebut mengalami resolusi pada saat 4 minggu setelah tindak lanjut.
Baru-bari ini, Loneey et al menggunakan MRI berkekuatan 3T , dilaporkan kejadian
SDH sebanyak 26% pada neonatus dengan persalinan pervaginam. Bayi pada
penelitian ini dilakukan pemeriksaan antara umur 1 dan 5 minggu. Kami setuju
bahwa kejadian sebenarnya pada populasi Loneey et al mungkin lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dilaporkan. Hal tersebut karena kejadian SDH mungkin
telah terjadi lebih dini dan telah hilang pada saat pemeriksaan MRI. Umur pasien
pada saat pemeriksaan MRI juga merupakan hal yang penting untuk menentukan
etiologi SDH pada neonatus. Pada pasien kami, SDH tidak hanya hilang pada saat
usia 1 bulan, tapi juga hilang pada saat usia 3 bulan pada seluruh pasien. Informasi ini
mungkin berguna bagi radiologi untuk menjawab etiologi SDH yang terjadi pada
bayi. Penelitian kami mendukung bahwa kejadian SDH yang terjadi pada bayi berusia
lebih dari 3 bulan tidak terkait dengan cara persalinan bayi tersebut.
Mekanisme yang diusulkan pada kejadian SDH termasuk air mata falx dan
tentorium, peregangan vena kortikal sekunder, persalinan yang sulit atau persalinan
abnormal. Satu mekanisme yang mendukung kejadian SDH paska persalinan
pervaginam adalah peningkatan tekanan secara melingkar dan meremas pada kepala
bayi pada saat proses persalinan menyebabkan terjadinya tumpang tindih pada sutura,
kompresi mekanik, pergeseran vena selama proses persalinan, menghasilkan
terjadinya SDH. Etiologi sebenarnya dari SDH masih tidak diketahui. Kebanyakan
laporan SDH merupakan SDH dengan gejala/simtomatis.
Literatur forensic menyebutkan bahwa terjadiny SDH akibat pecahnya vena
serebral, namun hal pecahnya pembuluh darah otak sulit ditemukan pada saat otopsi.
14
Towner et al menunjukkan bahwa persalinan abnormal merupakan faktor resiko
umum terjadinya perdarahan pada bayi, setelah dilakukan peninjauan secara
retrospektif tentang persalinan pada wanita nulipara yang menunjukkan insiden yang
rendah pada perdarahan intracranial. Pollina et al menunjukkan bahwa cara persalinan
dengan dibantu dibandingkan dengan persalinan abnormal adalah variabel yang
penting pada perdarahan cranial bayi baru lahir. Meskipun pada semua tipe
perdarahan intracranial seringnya pada vakum ekstraksi, tapi tidak semua SDH terjadi
akibat adanya tekanan secara melingkar dan meremas pada kepala serta tumpang
tindinya sutura. Hal tersebut, karena kami juga menemukan kejadian SDH pada bayi
dengan persalinan secara seksio sesarea. Hal ini mungkin kekuatan tambahan selama
partus berlangsung berkontribusi terhadap terjadinya rupture vena atau kapiler.
Dalam penelitian kami, kala 1 dan 2 pada proses persalinan pada bayi dengan
SDH lebih lama dibandingkan dengan yang tidak mengalami SDH. Kemungkinan,
kekuatan dari uterus pada saat mendorong bayi ke jalan lahir juga merupakan faktor
penyebab. Kala 1 yang memanjang ditambah dengan kala 2 yang memanjang
menunjukkan tidak hanya terjadi peningkatan kekuatan yang lama tapi juga terjadi
tumpah tindih pada sutura, menyebabkan kegagalan pada pembuluh darah untuk
meregang. Peningkatakan tekanan selama persalinan dapat menyebabkan peningkatan
tekanan vena intracranial, yang menjadi tambahan faktor yang menyebabkan SDH.
Insiden SDH pada penelitian ini lebih besar pada neonatus dengan cephalhematom
dan dikaitkan dengan kala 2 yang memanjang pada saat persalinan. Secara
keseluruhan, berat lahir neonatus dengan SDH juga secara signifikan lebih tinggi, hal
ini mungkin dihasilkan dari peningkatan kekuatan irkumferensial dari jalan lahir.
Meskipun semua faktor atau kombinasi beberapa faktor mungkin menjadi
mekanisme, SDH yang dihasilkan dari proses persalinan pada beberapa penelitian
adalah SDH neonatus asimtomatis/tanpa gejala.
Meskipun kebanyakan SDH asimtomatis dilihat melalui MRI dan dilahirkan
secara pervaginam, 18% (4 dari 22) neonatus yang dilahirkan secara sesarea juga
mengalami SDH. Kebanyakan bayi dengan SDH yang dilahirkan secara sesarea
15
sebelumnya telah dilakukan partus percobaan dengan menggunakan oksitosin
sebelum dilakukan sesarea. Hal ini mendukung bahwa kejadian SDH berkaitan
dengan persalinan.
Semua laporan sebelumnya mengenai kejadian SDH pada bayi dengan
persalinan secara sesarea merupakan SDH simtomatis/dengan gejala. Welch dan
Strand melaporkan beberapa neonatus dengan perdarahan intracranial, termasuk 3
diantaranya adalah SDH dan merupakan komplikasi dari persalinan secara sesarea
akibat gagal turun, gagal forsep, atau fetal distress. Beberapa studi yang melaporkan
SDh asimtomatis, belum ada yang melaporkan perdarahan yang terjadi berhubungan
dengan persalinan secara sesarea. Whitby et al dengan menggunakan MRI
berkekuatan rendah, tidak melaporkan adanya SDH paska sesarea bahkan persalinan
dengan vakum. Baru-bari ini, Loneey et al melaporkan tidak ada SDH pada 23
persalinan secara sesarea. Pemeriksaan pada minggu 1 dan 5 dapat menjelaskan
mengapa rendahnya insiden SDH pada penelitian tersebut karena kebanyakan SDH
pada pasien kami telah hilang pada saat usia 4 minggu.
Satu-satunya perdarahan yang terdeteksi adalah SDH. Lokasi dan ukuran
SDH adalah terbatas. Kebanyakan SDH pada neonatus kami berukuran ≤ 3 mm. ada 2
neonatus dengan SDh yang berukuran > 3 mm. satu neonatus diduga memiliki
hamartoma dengan SDH di occipital yang berukuran 3,3 mm. bayi lain memiliki
peningkatan ruang ekstra axial dan SDH di oksipital 4,3 mm. kami percaya bahwa
bayi-bayi tersebut memiliki faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya SDH awal
yang lebih besar. Seperti peneliti lain, kami juga menemukan kebanykan SDH berada
di setengah bagian belakang dari calvaria.
16
Gambar 4. Gambar yang diperoleh pada 7 dan 26 hari usia postnatal untuk tindak lanjut dari bilateral oksipital SDH pada neonatus dengan koleksi ekstra-aksial. Axial T2, T1, gradien- refocused echo (GRE), dan Gambar FLAIR (kiri ke kanan, baris atas) menunjukkan intensitas CSF koleksi subarachnoid frontal yang telah ada sejak lahir. Juga perhatikan T1 linier tipis hyperintense GRE hypointense bilateral posterior oksipital SDH. Pada 26 hari usia postnatal (baris bawah), meninggalkan koleksi subdural frontal yang tidak sesuai dengan intensitas sinyal CSF hadir, konsisten dengan SDH spontan. Pasien tidak memiliki riwayat trauma dan memiliki evaluasi negatif untuk NAI.
Pada pasien yang menjadi sampel penelitian, perdarahan supratentorial lebih
sering terjadi, dan hanya 39% perdarahan terjadi pada bagian infratentorial di fossa
poterior. Berbeda dengan Looney et al22 dan Whitby et al20yang melaporkan bahwa
perdarahan infratentorial secara signifikan lebih umum terjadi. Pencitraan secara
koronal dapat membantu menilai perdarahan supratentorial atau infratentorial.Jika
padapencitraan koronalterlihat darah di bawah tentorium, maka itu adalah perdarahan
infratentorial (Gambar 2D). Pemeriksaan ini sulit untuk menilai perdarahan pada seri
pencitraan awal yang diperoleh dalam 72 jam pertama kehidupan, tetapi dapat
dikonfirmasi pada pencitraan koronal T1 berikutnya .
17
Pada pasien kami, baik perdarahan supratentorial maupun infratentorial yang
terdapat pada bagian posterior cranium kecuali untuk 1 SDH tidak dapat dinilai pada
MRI awal ( < 72 jam setelah persalinan ) tetapi dapat dinilai pada studi lanjutan.
Awalnya, pasien ini memiliki SDH oksipital posterior bilateral, yang sedang diikuti
untuk resolusi. Pada usia 26 hari, pasien kembali untuk studi lanjut MRI dan
ditemukan memiliki ekstra - aksial pada frontal kiri selebar1 cm yang tidak sesuai
dengan gambaran SDH spontan. Pasien dirawat untuk evaluasi penuh cedera non
accidental, selama perawatan dilakukan pemeriksaan berkala meliputi pemeriksaan
tulang, pemeriksaan oftalmologi, koagulasi darah serta system metabolisme.
Berdasarkan pemeriksaan secara berkala tidak ditemukan adanya luka tambahan atau
temuan untuk mendukung NAI sebagai etiologi SDH spontan ( Gambar 4 ). Pada usia
5 bulan dilakukan follow up pemeriksaan MRI, SDH pada frontal kiri sudah
menghilang, namun ruang subarachnoid tetap menonjol pada pasien ini. Temuan ini
menunjukkan bahwa meskipun tidak khas pada neonatus, penonjolan ruang ekstra -
aksial merupakan faktor predisposisi untuk SDH spontan.32 – 35
Meskipun SDH terjadi sepanjang fisura interhemispher,biasanya tetap
dikaitkan dengan NAI, disini kami akan menunjukkan bahwa pola dan lokasi SDH
saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara SDH karena NAI atau karena
cedera kelahiran. Dalam studinya Holden et al21 mendeskripsikan dan memberikan
ilustrasi tentang SDH interhemisfer yang bersifat asimptomatis pada neonatus.
Bagian posterior dilaporkan merupakan bagian yang paling umum untuk terjadinya
SDH asimptomatik, hal tersebu tsama dengan hasil penelitian ini. SDH
Interhemispher sebelumnya telah dilaporkan sebagai trauma kecelakaan serta trauma
kelahiran dan tidak lagi dianggap spesifik untuk jenis atau mekanisme luka.36 - 38 Kami
menemukan bahwa lokasi SDH lebih tergantung pada hasil tindak lanjut MRI
dibandingkan dengan lokasi dari perdarahan awal, hal ini mungkin disebabkan oleh
praktek yang direkomendasikan American Academy of Pediatrics yang menempatkan
bayi terlentangketikatidur.39 Ketika berbaring terlentang, gravitasi dapat menjelaskan
lokasi SDH yang berada di posterior.
18
Meskipun US bisa mendeteksi sekitar setengah dari kejadian SDH, tetapi
daerah pencitraan hanya terbatas pada bagian lateral fossa posterior melalui
fontanella mastoid. Pencitraan garis tengah fossa posterior tidak biasa dilakukan dan
dengan demikian kemampuan US untuk mendeteksi SDH mungkin kurang dapat
dipercaya. Sampai saat ini tidak ada SDH supratentorial yang terdeteksi
olehUS.Sehingga sampai saat ini MRI lebih sensitif dibandingkan US untuk
mendeteksi SDH.
Follow up padausia 2 tahun terhadap bayi dengan SDH perlu dilakukan
karena semua (100 %) dari 43 anak-anak telah mengalami keterlambatan motorik
kasar. Dalam populasi penelitian kami, 6 (14 %) anak tercatat memiliki keterlambatan
bicara, yang mirip dengan kejadian yang dikenal dalam populasi.401 anak laki-laki
sedang dievaluasi untuk gangguan spektrum autistik, hal tersebut mungkin tidak
terduga karena autisme saat ini dilaporkan memiliki prevalensi 1:150, dengan
prevalensi pada laki-laki dilaporkan 1:80.41-43 temuan normal pada follow-up klinis
cukupmeyakinkan tapi terbatas karena tidak ada dasar untuk perbandingan dalam
desain penelitian. Kami membandingkan perkembangan normal pada anak-anak yang
memenuhi kriteria untuk Denver Developmental Screening Test. Anak-anak yang
tidak memenuhi kriteria disimpulkan mengalami keterlambatan perkembangan dan
dirujuk untuk evaluasi lebih lanjut ke klinik subspesialisasi.
Salah satu keterbatasan dari studi kami adalah evaluasi untuk perdarahan
ulang dari SDH, dimana hal tersebut telah dilaporkan dalam literatur. Perdarahan
ulangdapat terjadi baik dengan atau tanpa gejala klinis.44Meskipun dalam penelitian
kami tidak ada bayi perdarahan ulang SDH, kejadian subklinis perdarahan ulang
dalam populasi tidak diteliti karena tidak ada bayi yang melakukan MRI setelah 3
bulan. Perkembangan yang normal pada pemeriksaan klinis, menunjukkan bahwa
besar kemungkinan perdarahan ulang tidak terjadi.
Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah pemilihan waktu dalam
melakukan MRI. SDH adalah isointense substansia grey yang kadang kala sulit untuk
dilihat pada pencitraan awal dalam 72 jam pertama kehidupan. SDH dianggap positif
pada MRI jika urutan gradien - gema positif dikonfirmasi pada pencitraan T1
19
berikutnya dengan intensitas sinyal hyperintense selama3-7 hari. Untuk
meningkatkan sensitivitas MRI, kami mengubah urutan dan kecepatan spin-echo T1,
SPGR, ke urutan T1 spin-echo. Oleh karena itu, kejadian yang sebenarnya dari SDH
mungkin sedikit lebih banyak daripada yang dilaporkan dalam penelitian ini. Awal
interval waktu tindak lanjut juga berubah dari 3 hari menjadi5-7 hari untuk
memperhitungkan perubahan konversi intensitassinyal. Follow up awal 3 hari
menunjukkan intensitas sinyal T1 yang tidakstabil. Karena itu, kami memperpanjang
interval menjadi 5-7 hari untuk memungkinkan darah mengubah T1, konsisten
dengan methemoglobin.
Keterbatasan lain padapenelitian iniadalah kurangnya follow up MRI pada
beberapa pasien. Tindak lanjut MRI lengkap hanya dilakukan pada 18 dari 46 bayi
dengan SDH. Kami terkejut menemukan bahwa, meskipun orang tua mengetahui
bahwa bayi mereka memiliki SDH, janji follow up sering tidakdilakukan setelah 2
minggu tindak lanjut MRI dan US. Bias seleksi dari populasi pasien juga merupakan
potensi keterbatasanpenelitian.
Keimpulan
SDH paling sering diakibatkan oleh persalinan dan dapat terjadi baik itu setelah
persalinan pervaginam maupun cesarean. MRI lebih sensitif dibandingkan US untuk
mendeteksi SDH. SDH setelah usia 1 bulan tidak mungkin terkait dengan persalinan.