rinitis alergi
DESCRIPTION
REFERATTRANSCRIPT
RINITIS ALERGI
Disusun oleh:
Reinildis Hildegardis Uruk Hane, S.Ked
1008012032
Pembimbing :
dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp.THT-KL
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK
SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG
2015
SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
REFERAT
Desember 2015
HALAMAN PENGESAHAN
Referat ini diajukan oleh :
Nama : Reinildis Hildegardis Uruk Hane, S.Ked
Fakultas : Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
Bagian : THT-KL RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Referat ini telah disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang.
PEMBIMBING KLINIK
dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp.THT-KL ...................................
Ditetapkan di : Kupang
Tanggal : ...... Desember 2015
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat, karunia dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Rinitis Alergi” ini sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian
di bagian Ilmu Penyakit THT-KL.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. M. A. Sri Wahyuningsih,
Sp. THT-KL selaku pembimbing klinik yang telah setia membimbing penulis
dalam menyelesaikan referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada teman-teman sesama Dokter Muda yang telah mendukung penulis dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan referat ini.
Kupang, Desember 2015
Penulis
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... 1
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................... 2
KATA PENGANTAR.................................................................................................. 3
DAFTAR ISI................................................................................................................. 4
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................ 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 7
2.1 Anatomi dan fisiologi hidung........................................................................... 7
2.2 Definisi rinitis alergi......................................................................................... 9
2.3 Patofisiologi rinitis alergi................................................................................. 9
2.4 Klasifikasi rinitis alergi.................................................................................... 13
2.5 Gejala klinik..................................................................................................... 14
2.6 Diagnosis.......................................................................................................... 14
2.6.1 Anamnesis..................................................................................................... 14
2.6.2 Pemeriksaan fisik........................................................................................... 15
2.6.3 Pemeriksaan penunjang................................................................................. 16
2.7 Penatalaksanaan................................................................................................ 17
2.8 Komplikasi........................................................................................................ 19
BAB 3 PENUTUP.........................................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 21
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 4
BAB 1
PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi
merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 (Gell & Coomb) yang diperantarai
oleh IgE pada mukosa hidung. Gejala klinik yang timbul berupa gatal pada
hidung, mata, palatum, bersin-bersin, hidung beringus (rinore), dan hidung
tersumbat sebagai akibat infiltrasi sel-sel inflamasi dan dikeluarkannya mediator
kimia seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. (1)
Hal ini juga dapat didefinisikan sebagai peradangan lapisan dalam hidung
yang terjadi ketika seseorang menghirup alergen, seperti bulu binatang atau
serbuk sari.(2)
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi 10
sampai 20% dari populasi. Keadaan ini mungkin diremehkan, karena banyak
pasien tidak mengenali rinitis sebagai penyakit dan prevalensinya meningkat.
Meskipun rinitis alergi bukan penyakit yang parah, hal ini mempengaruhi
kehidupan pasien sosial, kinerja sekolah, dan produktivitas kerja.(3)
Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa
sekitar 10 -15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%. Prevalensi rinitis alergi
di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 mencapai
1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Aeroalergen
yang tersering menyebabkan rinitis alergi yaitu debu rumah, dan tungau debu
rumah. Rinitis alergi dapat menyebabkan komorbiditas antara lain sinusitis, asma
bronkial, konjungtivitis dan otitis media.(4)
Rinitis alergi dapat diklasifikasikan oleh (1) pola waktu paparan untuk
alergen pemicu, seperti musiman (misalnya, serbuk sari), abadi/sepanjang tahun
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 5
(misalnya, tungau debu), atau episodik (lingkungan dari eksposur tidak biasanya
ditemui di lingkungan pasien, misalnya, mengunjungi rumah dengan hewan
peliharaan); (2) frekuensi gejala; dan (3) keparahan gejala. Mengelompokkan
rinitis alergi dengan cara ini mungkin membantu dalam memilih strategi
pengobatan yang paling tepat untuk individu pasien.(2)
Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup dan
produktifitas pasien dengan rinitis alergi dan juga dapat meningkatkan
kemampuan akademik penderita rinitis alergi anak serta dapat menurunkan
komplikasi pada saluran napas bawah. Tujuan terapi adalah menghambat proses
patofisiologik yang menyebabkan terjadinya inflamasi kronik alergik.
Berdasarkan keadaan tersebut diatas maka diperlukan suatu tahapan
penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi, penghindaran terhadap
alergen, farmakoterapi secara tepat dan rasional dan mungkin imunoterapi. Dalam
hal pemberian terapi, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai
patogenesis, patofisiologi rinitis alergi sebagai landasan dalam pemilihan obat
yang tepat. (1)
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak
hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, beberapa
pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os
etmoid, 2)vomer, 3)krista nasalis os maksilaris dan 4)krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2)
kolumela.
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 7
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius, terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan
unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah
muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 8
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau pertikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan
kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari
cairan serosa sedangkan bagian permukaannya terdiri dari mukus yang lebih
elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan
faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim,
inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA).
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 9
Gambar 1. Anatomi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu
karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (5)
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 10
2.2 Definisi rinitis alergi
Menurut Von Pirquet, rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa
hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.(1,5)
Rinitis alergi juga didefinisikan sebagai gejala dari nasal pruritus/gatal
pada hidung, bersin, adanya cairan hidung yang jernih dan sumbatan aliran udara
yang diakibatkan reaksi yang diperantarai IgE dalam melawan alergen yang
diinhalasi dan menyebabkan inflamasi mukosa yang dihasilkan oleh sel T helper
tipe 2 (Th2). (6)
2.3 Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5)
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 11
Gambar 2. Tahap Sensitisasi(6)
Seperti ditunjukkan pada gambar 2, sensitisasi melibatkan penyerapan
alergen oleh sel antigen (sel dendritik) di situs mukosa, yang menyebabkan
aktivasi sel T antigen spesifik, yang kemungkinan besar dialirkan oleh kelenjar
getah bening. Aktivasi simultan sel epitel oleh jalur nonantigenic (misalnya
protease) dapat menyebabkan pelepasan sitokin epitel (stroma thymus
lymphopoietin [TSLP], interleukin-25, dan interleukin-33), yang dapat
mempolarisasi proses sensitisasi menjadi T-helper tipe 2 (Th2) respon sel.
Polarisasi ini diarahkan menuju sel dendritik dan mungkin melibatkan partisipasi
type 2 innate lymphoid sel (ILC2) dan basofil, yang melepaskan sitokin Th2-
pembawa sitokin (interleukin-13 dan interleukin-4). Hasil dari proses ini adalah
generasi sel Th2, yang pada gilirannya, mendorong sel B menjadi IgE-sel plasma-
alergen tertentu. MHC menunjukkan major histocompatibility kompleks.
Seperti ditunjukkan pada gambar 3, antibodi IgE alergen tertentu memiliki
afinitas tinggi reseptor pada permukaan sel jaringan yang berisi mast sel dan
basofil yang sedang bersirkulasi. Pada paparan ulang, alergen berikatan dengan
IgE pada permukaan sel-sel dan cross-link reseptor IgE, yang mengakibatkan
mast sel dan aktivasi basofil serta pelepasan mediator neuroaktif dan vasoaktif
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 12
Gambar 3. Tahap Reexposure (6)
seperti histamin dan cysteinyl leukotrien. Zat-zat ini menghasilkan gejala khas
dari rhinitis alergi. Selain itu, aktivasi lokal limfosit Th2 oleh sel dendritik
menghasilkan pelepasan kemokin dan sitokin yang mengatur masuknya sel-sel
inflamasi (eosinofil, basofil, neutrofil, sel T, dan sel B) pada mukosa, memberikan
lebih banyak target alergen dan meningkat pada organ-organ akhir hidung (saraf,
pembuluh darah, dan kelenjar). Sel Th2 inflamasi membuat mukosa hidung lebih
sensitif terhadap alergen tetapi juga terhadap iritasi lingkungan. Selain itu,
paparan alergen lanjut merangsang produksi IgE.
Seperti ditunjukkan dalam gambar 4, mediator yang dilepaskan oleh sel
mast dan basofil dapat langsung mengaktifkan ujung-ujung saraf sensori,
pembuluh darah, dan kelenjar melalui reseptor spesifik. Histamin tampaknya
memiliki efek langsung pada pembuluh darah (yang mengarah ke permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran plasma) dan saraf sensorik, sedangkan leukotrien
lebih mungkin menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi saraf sensorik mengarah ke
gejala pruritus dan berbagai refleks pusat. Ini termasuk refleks motorik untuk
bersin dan refleks parasimpatis yang merangsang sekresi kelenjar hidung dan
menghasilkan vasodilatasi. Selain itu, refleks simpatis mengakibatkan vena
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 13
Gambar 4. Gejala di hidung yang timbul pada paparan alergen (6)
sinusoid melebar, dan terjadi pembengkakan pembuluh darah dan obstruksi pada
saluran hidung. Dengan adanya peradangan alergi, respons pada organ akhir ini
meningkat dan lebih berat. Respon yang berlebihan dari saraf sensorik adalah
ciri-ciri umum dari patofisiologi rinitis alergi.(6)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah (D.ptrynyssinus, D.farinae, B.Tropicalis), kotoran
kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan
(bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.
4. Alergen kontakan, yang masuk melalui kontak kulit dan jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.(5)
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang
memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.(5)
2.4 Klasifikasi rinitis alergi
Berdasarkan durasi berlangsungnya gejala :
1. Intermitten - gejala yang hadir kurang dari 4 hari seminggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persistent - gejala yang hadir setidaknya 4 hari seminggu dan selama
minimal 4 minggu.
Berdasarkan beratnya penyakit :
1. Mild – tidak ditemukan gangguan
2. Moderate-severe - setidaknya ada salah satu dari gangguan berikut:
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 14
Gangguan tidur
Gangguan pada kegiatan sehari-hari, waktu luang dan / atau
olahraga
Gangguan aktivitas belajar atau bekerja
Gejala-gejala lain yang mengganggu (3,5)
2.5 Gejala klinik
Gejala klinis rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
yang berulang. Bersin merupakan gejala normal, yang merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses pembersihan diri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan
gejala pada reaksi alergi fase cepat dan kadang-kadang pada reaksi alergi fase
lambat sebagai akibat pelepasan histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi).
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruki hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu sering juga tampak anak menggosok-
gosok hidung karena gatal dengan punggung hidung. Keadaan ini disebut allergic
salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut
allergic crease.(1,2,5)
2.6 Diagnosis
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 15
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di
hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari diagnosis saja.
Anamnesis yang dapat ditanyakan yaitu apakah rinitis terjadi pada musim tertentu
ataukah terjadi sepanjang tahun, gejala-gejala yang timbul pada paparan alergen
tertentu (hewan, tanaman tertentu), pengobatan yang dijalani saat ini, riwayat
penyakit atopi keluarga atau penyakit alergi, gejala yang timbul akibat paparan
iritan, gejala dari infeksi saluran pernapasan atas.(2,5)
Gejala yang dapat ditanyakan antara lain :
Gatal di hidung, tenggorokan, langit-langit atau telinga
Gatal di mata, berair dan kemerahan
Adanya bersin-bersin lebih dari lima kali (setiap kali serangan)
Rinore (ingus bening, encer, dan banyak)
Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
Hiposmia/anosmia
Sekret di belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang dan membaik
pada saat malam hari)
Penyakit penyerta: sakit kepala berhubungan dengan tekanan hidung dan
sinus akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan konsentrasi, gejala
radang tenggorokan, mendengkur, gejala sinusitis, gejala sesak nafas dan
asma.
Frekuensi serangan, lama sakit (intermiten/persisten), beratnya penyakit,
efeknya pada kualitas hidup seperti adanya gangguan pada pekerjaan,
sekolah, berolahraga, bersantai dan melakukan aktifitas sehari-hari. (1)
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 16
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Perlu juga dilihat apakah terdapat kelainan septum
(lurus, deviasi, spina, krista), dan polip hidung yang dapat memperberat gejala
hidung tersumbat. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas
tersedia, apakah ada gambaran konka bulosa atau polip kecil di daerah meatus
medius serta komplek osteomeatal. Pada anak dapat ditemukan juga allergic
shiner, allergic salute dan allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung
langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue). (1,2,5)
2.6.3 Pemeriksaan penunjang1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil sari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksa pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri. (5)
2. In vivo
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 17
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Pencegahan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2.7.2 Medikamentosa
Pilihan pengobatan farmakologis termasuk H1 antihistamin,
glukokortikoid intranasal, dan antagonis leukotriene-reseptor (Gambar 5).(6)
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non sedatif). Anti histamin generasi 1
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 18
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang
termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, korfeniramin,
prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal
adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit
menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer
dan tidak mempunyai efek anti kolinergik, antiadrenergik dan efek pada
SSP minimal (non sedatif). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan
cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat
seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala
obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi
menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah
astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas
terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan
dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian
mendadak. (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang
sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason furoat dan tramsinolon). Kortikosteroid
topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi
aktivitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak responsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada fase cepat
dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan
mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan
mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 19
proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan
monosit. Hal terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratroprium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.(1,5)
2.7.3 Operatif
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 20
Gambar 5. Farmakoterapi dan imunoterapi untuk rinitis alergi (6)
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfracture, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.(5)
2.7.4 Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.(5)
2.8 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Sinusitis paranasal
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.(5)
BAB 3
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 21
KESIMPULAN
Rinitis alergi merupakan penyakit hipersenitifitas tipe 1 (Gell & Coomb)
dengan gejala nasal pruritus, bersin, sumbatan aliran udara, dan kebanyakan
adanya cairan hidung yang jernih yang diakibatkan reaksi yang diperantarai IgE
dalam melawan alergen yang diinhalasi dan menyebabkan inflamasi mukosa yang
dihasilkan oleh sel T helper tipe 2 (Th2). Terapi rinitis alergi yang paling ideal
adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi. Terapi lain rinitis alergi dapat melalui medikamentosa (pilihan
pengobatan farmakologis termasuk H1 antihistamin, glukokortikoid intranasal,
dan antagonis leukotriene-reseptor), serta operatif dan imunoterapi.
BAB 4
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 22
PENUTUP
Telah dibacakan sebuah referat dengan judul Rinitis Alergi yang
membahas definisi, patofisiologi, gejala, penegakan diagnosis serta
penatalaksanaannya. Semoga referat ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
proses pendidikan dan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 23
1. Ghanie A. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Temu Ilmiah Akbar Lustrum IX Oktober 2007; Palembang. 2011.
2. Seidman M, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2015 20 November 2015;152(1S): S1 –S43.
3. Brozek J ea. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)2010 Revision Journal of Allergy and Clinical Immunology 2010:22 of 153.
4. Rambe A Y F, Munir D, Haryuna T S, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI. 2015;43.
5. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Six ed. Soepardi E A, editor. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.
6. Wheatley L M TA. Allergic Rhinitis. The new england journal of medicine. 2015;372:456-63.
Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 24