rumah adat aceh

12
TUGAS MAKALAH APRESIASI BUDAYA Di susun oleh : Nama : Welly Govana Nrp : 14-2011-011 Dosen Pembimbing : Zulfikri, ST.MT Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Muhammadiyah Palembang

Upload: welly-govana

Post on 03-Aug-2015

204 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

rumah adat

TRANSCRIPT

Page 1: Rumah Adat Aceh

TUGAS MAKALAH

APRESIASI BUDAYA

Di susun oleh :

Nama : Welly Govana

Nrp : 14-2011-011

Dosen Pembimbing : Zulfikri, ST.MT

Fakultas Teknik

Jurusan Arsitektur

Universitas Muhammadiyah Palembang

Page 2: Rumah Adat Aceh

Rumoh Aceh Cut Nyak Dhien/Acehpedia.org

MUNGKIN kalau ditanya hampir semua orang di Aceh pasti tahu yang mana rumoh

Aceh (Rumah Aceh merupakan rumah tradisional Aceh, -pen). Tapi kalau ditanya

dimana sekarang masih bisa ditemukan rumoh Aceh yang asli, rata-rata akan

menjawab ada di Banda Aceh, tepatnya di Museum Negeri kota Banda Aceh

diseberang Pendopo berdekatan dengan makam Sultan Iskandar Muda.

Lalu, apakah cuma ada di Banda Aceh saja yang masih mempunyai rumoh Aceh yang

asli? kalau mau ditelusuri secara menyeluruh hampir diseluruh kabupaten dan kota di

Aceh, rata-rata masih “menyimpan” barang langka rumoh Aceh ini.

Yang menjadi tanda tanya adalah apakah semua orang tahu dimana keberadaannya

dan satu hal lagi kita harus ke gampong-gampong yang boleh dikatakan ke daerah

pedalaman Aceh untuk menemukan rumoh Aceh ini yang masih asli dan otentik.

Seperti di Aceh Besar, disini masih bisa banyak ditemukan rumoh Aceh dengan

keasliannya. Salah satu rumoh Aceh Cut Nyak Dhien yang sekarang dijadikan sebagai

museum, tepatnya berada di Desa Lampisang, Kecamatan Lhok Nga. Kemudian ada

juga rumoh Aceh Cut Meutia yang bisa dijumpai di Desa Mesjid Pirak, Kecamatan

Matang Kuli, Aceh Utara.

Page 3: Rumah Adat Aceh

Rumoh Cut Meutia/Acehpedia.org

Jika mau menelusuri berbagai pelosok desa di Aceh Besar atau di Aceh lainnya,

kemungkinan besar berbagai etnis keaslian rumoh Aceh masih bisa ditemukan.

Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang miliki tinggi beragam sesuai dengan

arsitektur si pembuatnya, namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5 -

3 meter dari atas tanah. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya, untuk

ruang utama sering disebut dengan rambat.

Merombak rumoh Aceh terbilang tidak begitu susah, misalnya saja ingin menambah

ruangan dari tiga menjadi lima, maka tinggal menambahkan atau menghilangkan tiang

bagian yang ada pada sisi kiri atau kanan rumah. Karena bagian ini yang sering

disebut dengan seuramoe likot (serambi belakang) dan seuramoe

reunyeun (serambi bertangga), yakni bagian tempat masuk ke rumoh Aceh yang

selalu menghadap ke timur.

Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima

ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an)

yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga

Raja-raja Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung)

memiliki 80 tiang, sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar. Ukuran tiang-

tiang yang menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 - 35 cm.

Page 4: Rumah Adat Aceh

Saat pembuatan film sejarah Pahlawan Nasional Tjut Nyak Dien dalam Perang Aceh -

Belanda, sang sutradara Eros Djarot, memilih rumoh Aceh besar tersebut untuk

mengisi beberapa scene dari filmnya tersebut.

Tangga menuju pintu masuk rumoh Aceh, rumoh Aceh milik Tgk. Chik Awe Geutah

Memasuki pintu utama rumoh Aceh, kita akan berhadapan dengan beberapa anak

tangga yang terbuat dari kayu pada umumnya. Untuk tingginya sendiri, pintu tersebut

pasti lebih rendah dari tinggi orang dewasa.

Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang masuk

harus sedikit merunduk, konon makna dari merunduk ini menurut orang-orang

tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya,

siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga, ada yang

menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat dari bentuk

fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun begitu kita masuk

akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.

Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe

reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi dan

meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara lesehan atau

Page 5: Rumah Adat Aceh

bersila di atas tikar bak ngom (sejenis tumbuhan ilalang yang ada di rawa lalu diproses

dan dianyam) serta dilapisi dengan tikar pandan.

Bagian-bagian Rumoh Aceh

Saat melihat rumoh Aceh, kita akan menjumpai terlebih dahulu dengan bagian

bawahnya. Bagian bawah ini akrab disebut dengan yup moh/miyup moh, yakni

bagian antara tanah dan lantai rumah.

Bincang-bincang santai, juga merupakan salah satu kegiatan di

Lazimnya dibagian bawah ini bisa kita dapati berbagi benda,

seperti jeungki(penumbuk padi) dan kroeng (tempat menyimpan padi). Tidak hanya

itu, bagian yup moh juga sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak,

membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa

dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.

Beranjak ke bagian dalam rumoh Aceh merupakan tempat dimana segala aktifitas

tuan rumah, baik yang bersifat pribadi ataupun bersifat umum. Pada bagian ini,

secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah, dan ruang

belakang.

Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe reungeun merupakan ruangan yang

tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam sehari-hari ruangan ini berfungsi

untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak

belajar mengaji saat malam atau siang hari. Disaat-saat tertentu, seperti ada upacara

Page 6: Rumah Adat Aceh

perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi tempat

penjamuan tamu untuk makan bersama.

Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe teungoh merupakan bagian inti dari

rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula disebut sebagai rumoh inong (rumah

induk). Sedikit perbedaan dengan ruang lain, dibagian ruangan ini terlihat lebih tinggi

dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan bersifat sangat

pribadi. Di ruangan ini pula akan kita dapati dua buah bilik atau kamar tidur yang

terletak di kanan-kiri dengan posisi menghadap ke utara atau selatan dengan pintu

yang menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik itu terdapat pula gang yang

menghubungkan ruang depan dan ruang belakang. Rumoh inong biasanya ditempat

untuk tidur kepala keluarga, dan anjong untuk tempat tidur anak gadis.

Bila anak perempuan baru saja kawin, maka dia akan menempati rumah inong ini.

Sedang orang tuanya akan pindah ke anjong. Bila ada anak perempuannya yang

kawin dua orang, orang tua akan pindah ke seuramoe likot, selama belum

dapat membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat upacara perkawinan,

mempelai akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada

kematian rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.

Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang memiliki tinggi lantai yang sama

dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat kamar.

Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama keluarga,

selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk berbincang-bincang

atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan seperti menenun

dan menyulam.

Namun, ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada di

bagian belakangseuramoe likot. Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu (dapur)

sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot.

Setelah bagian bawah dan bagian dalam, kita lihat bagian atas dari rumoh Aceh.

Tentunya bagian ini terletak di bagian atas seuramoe teungoh. Pada bagian tersebut

sering diberi loteng yang memiliki fungsi untuk menyimpan barang-barang penting

keluarga.

Ternyata membuat rumoh Aceh bukan hal mudah, jika dilihat dari segi bahan-bahan

bangunan yang digunakan bisa susah kepayang untuk dicari saat ini, terutama kayu

yang merupakan bahan utamanya. Kayu sendiri banyak digunakan untuk

membuattameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng,

indreng, dan lain sebagainya. Ada juga kayu yang telah dijadikan sebagai papan, ini

biasanya akan digunakan untuk membuat lantai dan dinding rumah.

Page 7: Rumah Adat Aceh

Trieng (bambu) juga tidak kalah penting dalam pembuatan rumoh Aceh, salah satu

gunanya untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap),

dan lain sebagainya. Enau atau aren juga adakalanya digunakan untuk membuat lantai

dan dinding selain menggunakan bambu, daun Enau sendiri bisa juga sebagai

pengganti daun rumbia untuk atap rumoh Aceh.

Ada juga taloe meu-ikat (tali pengikat) yang dibuat ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan

terkadang untuk saat ini biasa digunakan tali plastik. ‘Oen meuria (daun rumbia,

buahnya sering dikenal dengan salak Aceh) merupakan salah satu bagian penting

untuk pembuatan atap dari rumoh Aceh. Dan yang terakhir setelah ada daun rumbia,

tentu peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Salah satu kegunaan pelepah rumbia

digunakan untuk membuat dinding rumah, seperti rak-rak, dan sanding. Namun,

pelepah ini bukan semata-semata pengganti dari papan.

Salah satu ukiran yang berada di dekat pintu masuk rumoh Aceh menuju ke tangga

Filosofi dan Keunikan Rumoh Aceh

Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan

terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui rumoh Aceh kita

dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang di yakini oleh masyarakat

Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk

rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu

pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia.

Page 8: Rumah Adat Aceh

Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika hendak menggabungkan bagian-bagian

rumah yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat

dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak

menggunakan paku, rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun. Pengaruh keyakinan

masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi

rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan

menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat.

Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner

dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga

dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap,

jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.

Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap

lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial

penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya

semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup

dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:

1. Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat

al-Quran;

2. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk

daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi

tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan

adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat

pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap,

dan jendela rumah;

3. Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering

dilihat dan disukai;

4. Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan

awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan

5. Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

Page 9: Rumah Adat Aceh

Lekuk ukiran yang masih terasa begitu khas di rumoh Aceh Tgk. Chik Awe Geutah

Wujud dari arsitektur rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam

menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah

berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan

bentuk adap tasimasyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif

pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan

tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai

positif terhadap sistem kawalan sosialuntuk menjamin keamanan, ketertiban, dan

keselamatan wargagampong (kampung).

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu

sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi

beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan

misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat),

pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya.

Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong

dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa

kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada

adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni

sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah

yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan

ketentraman secara rohani. Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya

merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan.

Page 10: Rumah Adat Aceh

Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak

terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban

gampong. Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat

dari bentuk rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah

membujur dari timur ke barat.

Tali hitam yang menghubungkan seluruh elemen dari atap rumah/abuafatah.blogspot.com

Ada juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak di atapnya. Tali hitam

atau tali ijuk tersebut (lihat gambar sebelah kiri) mempunyai kegunaan yang sangat

berarti, saat terjadi kebakaran misalnya yang rentan menyerang atap karena bahan dari

rumbia yang begitu mudah terbakar, maka pemilik rumah hanya perlu memotong tali

tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat pada tali hitam ini

akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang terjadi.

Dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa dalam

pembuatan rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (motif

keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh

memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk

penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu

dari arah timur ke barat atau sebaliknya.

Jika arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah tersebut akan

mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga

dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar, baik yang

berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh

Page 11: Rumah Adat Aceh

Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada

jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan

keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk rumoh Aceh.

Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong,

ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi

belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika

bermasyarakat.

Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat

untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh

didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila

dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka “pantang dan tabu” bagi

tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan

demikian,reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan

interaksi sehari-hari antar masyarakat.

Rumoh Aceh Kini

Ada salah satu pesantren di Lueng Putu, Kabupaten Pidie Jaya, yakni Dayah Jeumala

Amal yang ternyata sengaja membuat rumoh Aceh di dalam kompleks gedung-gedung

santri, hal ini diyakni menjadi simbol perpaduan nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai

modern kontemporer yang masih bisa dijaga sebagai nilai luhur peninggalan

pendahulu.

Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan

efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka

lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini.

Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.

Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang

pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang

pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya

lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap

arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan

pada rumah beton mereka.

Saat ini, taksiran untuk membuat rumoh Aceh memang terbilang mahal, salah

seorangutoh (tukang) dari Peukan Pidie, Syafie menuturkan bahwa membangun

rumoh Aceh yang sedang pada masa sekarang bisa berkisar Rp 20 juta, itu terdiri dari

bahan-bahan kayu, atap daun rumbia yang bagus dan semua bagian rumah bisa

menghabiskan uang lebih dari Rp 75 juta. Kalau yang besar, tidak kurang Rp 300 juta,

Page 12: Rumah Adat Aceh

jika melihat maksud dari yang besar ini tidak lain adalah rumoh Aceh yang memiliki

80 tiang.

Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam rumoh Aceh, maka kita akan

mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya.

Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur rumoh Aceh berubah, tetapi dengan

memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang

digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat

terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.

Satu hal lainnya, walaupun ketidakmampuan kita untuk membangun rumoh Aceh

seperti sediakala dulu, paling tidak menjaga dan melestarikan pusaka Nanggroe ini

menjadi hak atas masyarakat Aceh semua. Karena dari setiap pemaknaan rumoh

Aceh, setidaknya kita bisa mengambil berbagai pelajaran berarti tentang Aceh, dan

masyarakatnya.