sepsis

53
I. PENDAHULAN Sepsis pada bayi baru lahir masih merupakan masalah yang belum terpecahkan dalam pelayanan dan perawatan bayi baru lahir. Di negara berkembang, hampir sebagian besar bayi baru lahir yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Hal yang sama ditemukan di negara maju pada bayi yang dirawat di unit perawatan intensif bayi baru lahir. Dalam laporan World Health Organization (WHO) yang dikutip Child Health Research Project Special Report: Reducing perinatal and neonatal mortality, dikemukakan bahwa 42% kematian bayi baru lahir terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernafasan, tetanus neonatorum, sepsis, dan infeksi gastrointestinal. Di samping tetanus neonatorum, case fatality rate yang tinggi ditemukan pada sepsis neonatal. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. 1 Angka kejadian atau insidensi sepsis di negara yang sedang berkembang masih cukup tinggi 1,8-18/1000 dibanding dengan negara maju 1-5 pasien/1000 kelahiran. Kejadian sepsis meningkat pada bayi kurang bulan dan berat badan bayi rendah. Pada bayi berat lahir sangat rendah (< 1000 gram) kejadian sepsis terjadi pada

Upload: jhon-heriansyah

Post on 10-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

word

TRANSCRIPT

33

I. PENDAHULAN Sepsis pada bayi baru lahir masih merupakan masalah yang belum terpecahkan dalam pelayanan dan perawatan bayi baru lahir. Di negara berkembang, hampir sebagian besar bayi baru lahir yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Hal yang sama ditemukan di negara maju pada bayi yang dirawat di unit perawatan intensif bayi baru lahir. Dalam laporan World Health Organization (WHO) yang dikutip Child Health Research Project Special Report: Reducing perinatal and neonatal mortality, dikemukakan bahwa 42% kematian bayi baru lahir terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernafasan, tetanus neonatorum, sepsis, dan infeksi gastrointestinal. Di samping tetanus neonatorum, case fatality rate yang tinggi ditemukan pada sepsis neonatal. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi.1 Angka kejadian atau insidensi sepsis di negara yang sedang berkembang masih cukup tinggi 1,8-18/1000 dibanding dengan negara maju 1-5 pasien/1000 kelahiran. Kejadian sepsis meningkat pada bayi kurang bulan dan berat badan bayi rendah. Pada bayi berat lahir sangat rendah (< 1000 gram) kejadian sepsis terjadi pada 26/1000 kelahiran, dan keadaan ini berbeda secara bermakna dengan berat badan lahir 1000-2000 gram yang angka kejadiannya antara 8-9/1000 kelahiran. Demikian pula risiko kematian BBLR dengan sepsis lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan. 2 Secara nasional, insidensi sepsis neonatal belum ada. Laporan angka kejadian di rumah sakit menunjukan angka jauh lebih tinggi, khususnya pada rumah sakit rujukan. Di RS Cipto Mangunkusumo misalnya, angka kejadian sepsis neonatal memperlihatkan angka yang tinggi dan mencapai 13,7% sedangkan angka kematian mencapai 14%.3 Walaupun infeksi bakterial berperan penting dalam sepsis neonatal, tetapi infeksi virus tetap perlu dipertimbangkan. Dari pengumpulan data selama 5 tahun terakhir, Shattuck melaporkan bahwa selain infeksi bakteri, infeksi virus khususnya enterovirus berperan pula sebagai penyebab sepsis atau meningitis neonatal.4 Insiden sepsis tidak banyak mengalami perbaikan dari tahun ke tahun, sebaliknya angka kematian memperlihatkan perbaikan yang bermakna. Di Inggris, angka kematian sepsis neonatal pada tahun 1985-1987 (25-30%) menunjukan penurunan yang bermakna dibandingkan dengan tahun 1996-1997 menjadi 10%. Hal ini terjadi karena kemajuan teknologi kedokteran serta penemuan berbagai macam antibiotika baru. Namun perbaikan angka kematian ini tidak disertai dengan perubahan insiden sepsis pada waktu tersebut.5-8

II. DEFINISIInfeksi neonatus adalah sindroma klinis dari infeksi lokal/ sistemik pada bayi yang terjadi dalam bulan pertama kehidupan. Tersangka infeksi adalah bila bayi baru lahir mempunyai faktor resiko/ predisposisi untuk infeksi, yaitu : suhu ibu >38oC, leukosit ibu >15.000/mm3, air ketuban keruh dan bau busuk, ketuban pecah >12 jam, dan partus kasep. 2,24 Sepsis pada bayi baru lahir adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan ditemukanya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih. Keadaan ini sering terjadi pada bayi berisiko misalnya pada bayi kurang bulan, berat bayi lahir rendah, bayi dengan sindrom gangguan napas atau bayi yang lahir dari ibu berisiko.2 Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu sepsis awitan dini dan awitan lambat. Pada awitan dini, kelainan ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan (umur dibawah tiga hari). Infeksi terjadi secara vertikal karena penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu selama persalinan atau kelahiran. Berlainan dengan kelompok awitan dini, penderita awitan lambat terjadi karena kuman yang berasal dari lingkungan disekitar bayi setelah hari ketiga lahir. Proses infeksi semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal dan termasuk di dalamnya infeksi karena infeksi nosokomial. Selain perbedaan waktu paparan kuman, kedua bentuk infeksi juga berbeda dalam macam kuman penyebab infeksi. Selanjutnya baik patogenesis, gambaran klinis ataupun penatalaksanaan penderita tidak banyak berbeda dan sesuai dengan perjalanan sepsisnya yang dikenal dengan kaskade sepsis.2,9 Sejak adanya konsesus American College of Chest Physicians/ Society of Critical Medicine (ACCP/SCCM), timbul berbagai istilah dan definisi di bidang infeksi yang banyak pula pada kelompok bayi baru lahir dan penyakit anak. Istilah atau definisi tersebut antara lain : 21. Sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic Inflamatory Respon Syndrome-SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit.2. Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular dan gangguan nafas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urugenital dan hepatologi).3. Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi walaupun telah mendapatkan cairan adekuat.4. Sindroma disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan fungsi dua atau lebih organ tubuh.

III. JENIS INFEKSIPada masa neonatal, berbagai bentuk infeksi dapat terjadi pada bayi. Di negara yang sedang berkembang, jenis infeksi yang sering ditemukan berturut-turut adalah infeksi saluran pernafasan akut, infeksi saluran cerna (diare), tetanus neonatal, sepsis, dan meningitis.10

Tabel 1. Jenis infeksi utama pada masa neonatalJenis infeksiJumlah penderitaAngka kematian kasus (case fatality rate) (%)Jumlah kematian

Infeksi pernafasan akutTetanus neonatalSepsisDiareMeningitis2.500.000438.000750.00025.000.000126.000308540640750.000372.000300.000150.00050.400

Dikutip dari Stoll 10

Selanjutnya dikemukakan bahwa case fatality rate yang tinggi terjadi pada penderita tetanus dan sepsis/meningitis neonatal. Kedua penyakit terakhir ini lebih banyak menimbulkan masalah bila dibandingkan dengan penderita infeksi lain.10 Di indonesia mortalitas yang disebabkan tetanus neonatorum sudah banyak mengalami perbaikan. Berlainan halnya dengan tetanus, case fatality rate yang tinggi pada penderita sepsis dan meningitis merupakan masalah yang belum terpecahkan sampai saat ini. Permasalah tersebut dapat terjadi akibat berbagai faktor termasuk diantaranya masalah kuman penyebab, masalah diagnosa ataupun masalah penatalaksanaan dan pencegahan sepsis.

IV. KUMAN PENYEBAB SEPSISPola kuman penyebab sepsis tidak selalu sama antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainya. Perbedaan tersebut terdapat pula antar suatu negara dengan negara lain, perbedaan pola kuman ini akan berdampak dalam pemilihan antibiotik yang dipergunakan pada pasien. Perbedaan pola kuman mempunyai kaitan pula dengan prognosa serta komplikasi jangka panjang yang mungkin diderita bayi baru lahir. Hampir sebagian besar penyebab di negara berkembang adalah gram negatif berupa kuman enterik seperti Enterobacter sp, Klebsiella sp dan Coli sp.11-17 Sedangkan di Amerika Utara dan Eropa Barat 40% penderita terutama disebabkan oleh Streptokokus grup B. Selanjutnya kuman lain seperti Coli sp, Listeria sp dan Enterovirus ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit.2 Indonesia sebagai salah satu negara berkembang pola kuman yang terlihat juga tidak banyak berbeda dengan kuman di negara berkembang lainnya. Karakteristik mikroorganisme penyebab sepsis di beberapa Rumah Sakit di Indonesia terlihat dalam tabel di bawah ini.2Tabel 2. Kuman penyebab sepsis bayi baru lahir di beberapa rumah sakit di IndonesiaPeneliti Tempat Jumlah kultur darah positifMikroorganisme terbanyak

Suarca (2004)RS Sanglah, Denpasar104Staphylococcus coagulated negative, Enterobacter sp, klebsiella sp

Siswanto (2004)NICU RS harapan Kita, Jakarta264Serratia sp, Klebsiella pneuminiae, Enterobacter aerogenes, klebsiella sp, P. Aeroginosa

Rohsiswatmo (2005)RSCM, Jakarta320Acinetobacter calciaceticus, Enterobacter sp, Staphylococcus sp

Yuliana (2006)RS hasan Sadikin, Bandung53Staphylococcus epidermidis, Burkholderia cepacia, Klebsiella pneumonia

Sofiah F (2006)RS M. Husein, Palembang36Klebsiella pneumonia, Staphylococcus epidermidis,Streptococcus uridans, Acinetobacter calcoaceticus

Rahman (2006)RS Sutomo, Surbaya36Klebsiella pneumonia, Staphylococcus coagulated negative, Acinetobacter, Enterobacter aerogenes.

Dikutip dari Aminullah 2

Walaupun penyebab perbedaan ini belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis yang sering dikemukakan karena:1. Tingginya angka kejadian kolonisasi kuman pada ibu.2. Perbedaan pola kuman yang berada dilingkungan ibu dan bayi.3. Perbedaan dalam respons imun dan faktor faktor genetik dari populasi4. Perbedaan dalam melakukan analisa mikrobiologik yang dilaksanakan di masing-masing negara.5. Perbedaan dalam tingkat pendididkan kesehatan dan pelayanan kesehatan masing-masing negara.Penderita sepsis yang disebabkan kuman Streptokokus Grup B ternyata mempunyai angka kematian yang lebih rendah dibandingkan penderita yang disebabkan kuman Gram negatif.16 Selain perbedaan antar negara, pola kuman juga selalu berubah dari waktu ke waktu. Pada tabel dibawah ini terlihat perubahan pola kuman dari waktu ke waktu. Di RSCM dalam 30 tahun terakhir tiga kali perubahan pola kuman yang ada.

Tabel 3. Perebedaan pola kuman penyebab sepsis1975 19801985 19901995 2003

RSCM/FK UI(Monintja, 1981; Aminullah 1993, Amir I 2003)Salmonella spKlebsiella spPseudomonas spKlebsiella spE. ColiAcinetobacter spEnterobacter spPseudomonas spSerratia spE. Coli

USA(Texas univ. ; CDC Atlanta)(Shattuck 1992; Schucchat 1997)Group B Strep.E. ColiListeria spGroup B Strep.E. ColiListeria spEnterovirusGroup B Strep.Listeria spStrep. pneumoniae

UK(Health PT 2003)Group B Strep.E. ColiListeria spEnterovirusGroup B Strep.E. ColiListeria spEnterovirus

Dikutip dari Aminullah 2

Memperhatikan permasalahan kuman yang dibahas diatas, pertimbangan-pertimbangan yang perlu dilakukan dalam tatalaksana sepsis neonatal antara lain:1. Pemilihan antibiotik empirik untuk sepsis neonatal harus memperhatikan pola kuman penyebab yang paling sering ditemukan di masing-masing rumah sakit.2. Jenis kuman penyebab perlu dievaluasi secara berkala.3. Upaya diagnosis dini kuman penyebab akan berpengaruh terhadap tatalaksana dan prognosis pasien.

V. PATOFISIOLOGI Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagi jalan yaitu :1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria.2. Prosedur obstetri yang kurang faktor aseptik/antiseptik misalnya saat pengambilan sampel darah janin, bahan villi khorion atau amnionsintesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk kedalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.5 Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan aseptik/antisepsis, rawat inap terlalu lama dan hunian terlalu padat. Pasien yang terpapar setelah lahir ini dikelompokkan dalam kelompok pasien sepsis awitan lambat sedang yang sebelumnya dikelompokan pada kelompok awitan dini. Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah maka akan terjadi respon tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda, karenanya penatalaksanaan penderita selain pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.2 Infeksi dapat terjadi intrauterin melalui sirkulasi darah ibu janin melewati plasenta/ korioamnionitis atau pada saat persalinan atau paska lahir melalui kulit, saluran napas, konjungtiva, saluran cerna dan umbilikus yang menjadi tempat kolonisasi kuman yang ada di sekitar, yang dapat berlanjut menjadi infeksi lokal (omfalitis, oftalmia neonatorum gonoroeka, bronkopneumonia) maupun sistemik (sepsis, meningitis) karena invasi mikroorganisme tersebut. Tahapan infeksi yang dapat menyebabkan sepsis neonatal adalah: (1) kolonisasi kuman pada saluran genitalia ibu, (2) penyebaran kuman keatas yang menyebabkan choriodeciduitis, (3) korioamnionitis, (4) inhalasi dan konsumsi cairan ketuban yang terkontaminasi oleh janin.1

Gambar 1. Tahapan infeksi yang dapat menyebabkan sepsis neonatal Dikutip dari Schelonka, dkk 1

Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab. Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag. Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan (2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.

Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis

Short MA mengemukakan bahwa patofisiologi dan tingkat beratnya sepsis tampaknya tidak banyak berbeda antara pasien dewasa dan bayi. Sepsis biasanya akan dimulai dengan adanya respons sistemik tubuh dengan gambaran proses inflamasi, koagulopati, gangguan fibrinolisis yang selanjutnya menimbulkan gangguan sirkulasi dan perfusi yang berakhir dengan gangguan fungsi organ.17 Informasi dalam patogenesis dan perjalanan penyakit penderita sepsis ini merupakan konsep patogenesis infeksi yang banyak dibahas akhir-akhir ini dan dikenal dengan konsep systemic inflamatory response syndrome (SIRS). Dalam konsep ini diajukan adanya gambaran klinik infeksi dengan respon sistemik yang pada stadium lanjut menimbulkan perubahan fungsi berbagai organ tubuh yang disebut multi organ dysfunction syndrome (MODS). Patofisisologi kaskade inflamasi ini berbeda dengan gambaran yang dianut sebelumnya dan hal ini merubah pula definisi berbagai keadaan yang ditemukan pada cascade tersebut.9 pada mulanya konsep ini lebih banyak diteliti pada pasien dewasa, tetapi patofisiologi mengenai SIRS dan MODS ini mulai di bahas pula dalam bidang pediatri dan bayi baru lahir. Berlainan dengan pasien dewasa, pada bayi baru lahir terdapat berbagai tingkat defisiensi system pertahanan tubuh, sehingga respon sistemik pada janin dan bayi baru lahir akan berlainan dengan pasien dewasa. Sebagai contoh, pada infeksi awitan dini rsepon sistemik pada bayi baru lahir mungkin terjadi saat bayi masih didalam kandungan. Keadaan ini dikenal dengan fetal inflamatory respons syndrome (FIRS), yaitu infeksi janin atau bayi baru lahir terjadi karena penjalaran infeksi kuman vagina ascending infection atau infeksi yang menjalar secara hematogen dari ibu yang menderita infeksi. Dengan demikian konsep infeksi pada bayi baru lahir, khusus pada awitan dini, perjalan penyakit bermula dengan FIRS kemudian sepsis, sepsis berat, syok sepsis/rejatan sepsis, disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.18 Pada infeksi awitan lambat perjalanan penyakit infeksi tidak berbeda dengan definisi pada anak. Dengan kesepakan terakhir ini, definisi sepsis neonatal ditegakaan apabila terdapat keadaan SIRS/FIRS yang dipicu infeksi baik berbentuk tersangka (suspected) infeksi ataupun terbukti (proven) infeksi. Selanjutnya dikemukakan, sepsis bayi baru lahir ditegakan bila ditemukan satu atau lebih kriteria FIRS/SIRS yang disertai dengan gambaran klinis sepsis. Gambaran klinis sepsis bayi baru lahir tersebut bervariasi, karena itu kriteria diagnostik harus pula mencakup pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainya.18-19 kriteria tersebut terkait dengan perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi. Perubahan tersebut dapat dikelompokan dalam berbagai variabel antara lain variabel klinik (seperti suhu tubuh, laju nadi), variabel hemodinamik (tekanan darah), variabel perfusi jaringan (capilarry refill) dan variabel inflamasi (gambaran leukosit, trombosit, IT ratio dan sitokin). 26 Berbagai variabel inflamasi tersebut diatas merupakan respon sistemik yang ditemukan pada keadaan FIRS/SIRS yang antara lain terlihat adanya perubahan system hematologik, system imun tubuh.20 dalam sistem imun, salah satu respon sistemik yang penting pada pasien SIRS/FIRS adalah pembentukan sitokin. Sitokin yang terbentuk dalam proses infeksi berfungsi sebagai regulator reaksi tubuh terhadap infeksi, inflamasi atau trauma. Sebagian sitokin (pro inflammatory cytokine seperti IL-1, IL-2 dan TNF-) dapat memperburuk keadaan penyakit tetapi sebagian lainya (anti-inflamatory cytokine seperti IL-4 dan IL-10) bertindak meredam infeksi dan mempertahankan homeostasis organ vital tubuh. Selain berperan dalam regulasi proses inflamasi, pembentukan sitokin dapat pula digunakan sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Kuster dkk (1998) melaporkan bahwa sitokin yang beredar dalam sirkulasi pasien sepsis dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis muncul. Pelaporan ini bermanfaat dalam manajemen pasien karena pada bayi beresiko tata laksana sepsis dapat dilakukan dengan lebih efisien. Perubahan sistem imun penderita sepsis menimbulkan perubahan pula pada system koagulasi.17 Pada sistem koagulasi tersebut terjadi peningkatan pembentukan Tissue Factor (TF) yang bersama dengan faktor VII darah akan berperan pada proses koagulasi. Kedua faktor tersebut menimbulkan aktivasi faktor IX dan X sehingga terjadi proses hiperkoagulasi yang menyebabkan pembentukan trombin yang berlebihan dan selanjutnya meningkatan produksi fibrin dari fibrinogen. Pada pasien sepsis, respons fibrinolisis yang biasa terlihat pada bayi normal juga terganggu. Supresi fibrinolisis terjadi karena meningkatnya pembentukan plasminogen-activator inhibitor-1 (PAI-1) yang dirangsang oleh mediator proinflamasi (TNF alpha). Demikian pula pembentukan trombin yang berlebihan berperan dalam aktivasi thrombin-activatable fibrynolysis inhibitor (TAFI) yaitu faktor yang menimbulkan supresi fibrinolisis. Kedua faktor yang berperan dalam supresi ini mengakibatkan akumulasi fibrin darah yang dapat meninbulkan mikrotrombi pada pembuluh darah kecil sehingga terjadi gangguan sirkulasi. Gangguan tersebut mengakibatkan hipoksemia jaringan dan hipotensi sehingga terjadi disfungsi beragai organ tubuh. Manifestasi disfungsi multiorgan ini secara klinis dapat memperlihatkan gejala-gejala sindrom distres penarfasan, hipotensi, gagal ginjal dan bila tidak teratasi akan diakhiri dengan kematian pasien.2

Gambar 3. Perjalanan infeksi pada neonatus

VI. DIAGNOSIS Diagnosis klinis sepsis neonatal mempunyai masalah tersendiri. Gambaran klinis pasien sepsis neonatal tidak spesifik. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan penyakit non infeksi bayi baru lahir lain seperti sindroma gangguan nafas, perdarahan intrakranial dan lain-lain. Demikian pula gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang terrjadi pada bayi baru lahir, namun tragisnya keterlambatan dalam diagnosis pasien berpontensi mengancam kelangsungan hidup bayi. Selain itu akan berpengaruh pula pada prognosis pasien. Sampai saat ini, biakan darah masih merupakan baku emas dallam diagnosis sepsis bayi baru lahir. Pemeriksaan biakan ini mempunyai kelemahan tersendiri. Hasil biakan kuman baru akan diketahui setelah 3-5 hari. Selain itu, hasil biakan dipengaruhi pula oleh pemberian antibiotik sebelumnya atau kemungkinan kontaminasi kuman nosokomial.12 Selanjutnya biakan sangat tergantung dari jumlah bahan pemeriksaan. Bila sampel darah yang diperiksa 1 ml sensitivitas akan berkurang sekitar 30-40%. Sebaliknya sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan akan meningkat sampai 70-80% bila menggunakan 3 ml darah.17 Berbagai pemeriksaan penunjang lain seperti C reactive protein, ratio I/T dan laiin-lain tidak spesifik dan tidak dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis pasien sepsis. Akhir-akhir ini pemeriksaan biomolekuler dan respons imun/sitokin dianggap lebih bermanffaat dalam menunjang diagnostik sepsis neonatal. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan biomolekuler dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Selanjutnya dikemukakan bahwa sitokin yang beredar dalam sirkulasi pasien sepsis dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis sepsis muncul.7 Kedua pemeriksaan terakhir ini bermanfaat dalam manajemen pasien karena hal ini memungkinkan pengobatan dilakukan lebih dini, lebih efisien serta efektif sehingga komplikasi jangka panjang dapat dihindarkan. Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan hidup bayi dan memperburuk prognosis bayi. Seperti telah dikemukakan terdahulu, diagnosis sepsis neonatal sulit karena gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada bayi baru lahir. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada bayi baru lahir. Selain itu tidak ada satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis pasti pasien sepsis. Dalam menetukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain : faktor resiko, gambaran klinik dan pemeriksaan penunjang. Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan diagnosis pasien. 2 Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi dalam selama kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat dalam lingkungan pasien. Pada sepsis awitan dini faktor resiko sepsis dikelompokan menjadi : 21. Faktor ibua. Persalinan dan kelahiran kurang bulan.b. Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam.c. Chorioamnionitis.d. Persalinan dengan tindakan.e. Demam pada ibu (>38,40C)f. Infeksi saluran kencing pada ibu.g. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.2. Faktor bayi a. Asfiksia perinatalb. Berat lahir rendahc. Bayi kurang buland. Prosedur invasife. Kelainan bawaan Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal tidak banyak mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini. Berlainan dengan awitan dini, pada pasien dengan awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien. Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat diruang intensif bayi baru lahir, bayi kurang bualan yang mengalami lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-larut, infeksi yang berasal dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor resiko awitan dini maupun awitan lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien pada sepsis neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.2 Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat sepperti letargi, reflek hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin terjadi disertai kejang. Kelainan kardiovaskuler seperti hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin. Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takhipnu, apnu, merintih dan retraksi.18 Pada tabel terlihat berbagai gambaran klinis yang bisa terlihat berbagai gambaran klinis yang bisa terlihat pada disfungsi multi organ. Manifestasi gambaran klinis tersebut sangat tergantung pada beratnya gangguan yang terjadi pada masing-masing organ.

Tabel. 4 Gambaran klinis disfungsi multiorgan pada bayiGangguan organGambaran klinis

Kardiovaskular Tekanan darah sistolik < 40 mmHg Denyut jantung < 50 atau >220/menit Terjadi henti jantung pH darah < 7,2 pada PaCO2 normal kebutuhan akan inotropik untuk mempertahankan tekanan darah normal

Saluran nafas Frekuensi nafas > 90/menit PaCO2 > 65 mmHg PaO2< 40 mmHg Memerlukan ventilasi mekanik FiO2< 200 tanpa kelainan jantung sianotik

System hematologik Hb< 5 g/dl WBC < 3000 sel/mm3 Trombosit < 20.000 D-dimer > 0,5 g/ml pada PTT > 20 detik atau waktu tromboplastin > 60 detik

SSPKesadaran menurun disertai dilatasi pupil

Gangguan ginjalUreum > 100 mg/dLCreatinin > 20 mg/dL

Gastroenterologi Perdarahan gastrointestinal disertai dengan penurunan Hb > 2 g%, hipotensi, perlu tranfusi darah atau operasi gastrointestinal

Hepar Bilirubin total > 3 mg%

Dikutip dari Aminullah, dkk 2

Menurut Panduan Praktik Klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak RS Moh. Hosein Palembang, tersangka infeksi adalah bila bayi baru lahir mempunyai faktor resiko/ predisposisi untuk infeksi, yaitu suhu ibu >38oC, leukosit ibu >15.000/mm3, air ketuban keruh dan bau busuk, ketuban pecah >12 jam, dan partus kasep.24 Klinis sepsis didiagnosis apabila didapatkan gejala sepsis, namun tidak didukung hasil pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis sepsis terdiri atas :1. Gejala umum: bayi tampak lemah, terdapat gangguan minum yang disertai penurunan berat badan, keadaan umum memburuk hipotermi/hipertermi.2. Gejala susunan saraf pusat: letargi, iritabilitas, hiporefleks, tremor, kejang, hipotoni/hipertoni, serangan apnea, gerak bola mata tidak terkoordinasi.3. Gejala pernapasan: dispnu, takipnu, apnu, dan sianosis4. Gejala traktus gastrointestinal: muntah, diare, meteorismus, hepatomegaly5. Kelainan kulit: purpura, eritema, pustula, sklerema6. Kelainan sirkulasi: pucat/sianosis, takikardi/aritmia, hipotensi, edema, dingin7. Kelainan hematologi: perdarahan, ikterus, purpura.Sepsis didiganosis apabila ditemukan gejala klinis sepsis ditambah lebih dari satu pemeriksaan laboratorium yang positif (lekosit < 5000/mm3 atau > 34.000/mm3, I/T ratio 0,2 atau lebih, mikro LED>15 mm/jam, CRP > 9mg/dL ). Diagnosis meningitis ditegakkan apabila pasien sepsis ditambah dengan hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang positif, yaitu :a. Tes Pandy : + atau ++b. Jumlah sel : umur 0 s/d 48 jam: >100/mm3 umur 2 s/d 7 hari : >50/mm3 umur >7 hari : >32/mm3c. Hitung jenis : PMN meningkat, protein meningkat dan glukosa menurun.24 Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainya sering digunakan dalam menegakan diagnosis. Upaya ini pun masih belum dapat diandalkan. Sampai saat ini pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi sebagai indikator sepsis, belum ditemukan. Dalam penentuan diagnosis, interpertasi hasil laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala klinis yang terjadi.13 Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit ditegakan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berbentuk pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainya. Langkah tersebut disebut septic work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah. Hasil biakan samapai saat ini masih menjadi baku emas dalam menentukan diagnosis, tetapi hasil pemeriksaan membutuhkan waktu minimal 2 5 hari. Interpertasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa diklinik tersebut. Selain itu hasil kultur dipengaruhi pula oleh kemungkinan pemberian antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman nosokomial. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada neonatus dicurigai infeksi adalah pemeriksaan darah (Hb, lekosit, hitung jenis, trombosit, mikro LED, kultur dan tes resistensi), cairan serebrospinal (protein, hitung jenis sel, pengecatan gram dan kultur), urin rutin dan kultur-resistensi, dan USG transfontanela terutama untuk melihat komplikasi meningitis (adanya ventrikulitis dan hidrosefalus). 24 Evaluasi laboratorium dapat membantu diagnosis dan konfirmasi sepsis. Kultur darah yang positif, cairan serebrospinal atau urin adalah baku emas sepsis. Petanda diagnostik yang ideal memiliki kriteria yaitu nilai cutoff tepat yang optimal, nilai diagnostik yang baik yaitu sensitivitas mendekati 100%, spesifisitas >85%, positive probable value (PPV) >85%, Negative probable value (NPV) mendekati 100%, dan dapat mendeteksi infeksi pada tahap awal. Kegunaan klinis dari petanda diagnostik yyang ideal adalah untuk membedakan infeksi bakteri dan virus, petunjuk untuk penggunaan antibiotik, memantau kemajuan pengobatan dan untuk menentukan prognosis. Pada fase inisial, CRP meningkat perlahan dan sensitivitas saat itu untuk evaluasi sepsis sebesar 60%. Perkiraan serial pada 24 dan 48 jam setelah awitan penyakit membaik dapat meningkatan sensitivitas (82% dan 84%). Spesifisitas dan PPV CRP berkisar dari 93-100%. Pemerikaan ini berguna untuk memantau kemajuan dari pengobatan dan sebagai petunjuk pengobatan antibiok. Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaaan komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal trombositopenia dapat ditemukan pada 10-60% pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000 dan terjadi 1-3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakan.2 Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis ketimbang hitung trombosit. Enam puluh persen pasien sepsis biasanya disertai perubahan hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T) sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitifitis rasio I/T ini 60-90%, karenanya untuk diagnosis, perlu disertai kombinasi dengan gambaran klinik dan pemeriksaan penunjang lain. 2 C-reactive protein (CRP) yaitu protein yang timbul pada fase akut kerusakan jaringan, meningkat pada 50-90% pasien sepsis neonatal. Peninggian kadar CRP ini terjadi 24 jam setelah terjadi sepsis, meningkat pada hari ke 2-3 sakit dan menetap tinggi sampai infeksi teratasi. Karena protein ini meningkat pada berbagai kerusakan jaringan tubuh, pemeriksaan ini tidak dapat dipakai sebagai indikator tunggal dalam menegakan sepsis neonatal. Nilai CRP akan bermanfaat bila dilakukan secara serial karena dapat memberikan informasi respon pemberian antibiotika serta dapat pula dipergunakan untuk menentukan lamanya pemberian pengobatan dan kejadian kekambuhan pada pasien dengan sepsis neonatal. 2 Dari bahasan di atas, terungkap bahwa pemeriksaan CRP dan beberapa komponen darah lain seperti IT, kadar trombosit darah, yang dipakai sebagai penunjang diagnosis dini mempunyai kemampuan yang terbatas. Dilain pihak diagnosis dini sepsis merupakan faktor penentu dalam keberhasilan penatalaksanaan sepsis neonatal. 2 Salah satu yang dilakukan akhir-akhir ini dalam menentukan diagnosis dini sepsis adalah pemeriksaan biomolekuler. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar di Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium untuk deteksi kuman tertentu antara lain N. Meningitidis dan S pneumoniae. Selain manfaat untuk deteksi dini, Polymerase Chain reaction (PCR) mempunyai kemampuan pulauntuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatal. Dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir konsep Systemic Inflamatory Response syndrome (SIRS) dalam infeksi telah memberikan cakrawala baru dalam masalah diagnostik sepsis neonatal. Perubahan sistem imun, baik humoral maupun seluler, yang terjadi dalam cascade inflamasi mempunyai arti penting dalam diagnosis infeksi bayi baru lahir. Kadar sitokin proinflamasi (IL-2, Il-6, IFN-g,TNF-) dan anti inflamasi (IL-4, IL-10) pada bayi baru lahir tersebut akan terlihatmeningkat pada bayi dengan infeksi sistemik. Kuster melaporkan bahwa sitokin yang beredar dalam sirkulasi pasien sepsis neonatal dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis sepsis neonatal muncul. Pelaporan ini mempunyai arti yang penting dalam manajemen pasien. Pada bayi dengan resiko dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih efisien dan efektif sehingga komplikasi jangka panjang yang menggangu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan. 2 Kedua pemeriksaan terakhir, pemeriksaan biomolekuler atau respon imun, memerlukan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan biaya mahal yang mungkin belum bisa terjangkau oleh sebagian besar negara berkembang. Dari riwayat penyakit, gejala klinik, pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan laboratorium tampaknya belum ada informasi tunggal yang dapat dipakai sebagai indikator sepsis sehingga perlu dipertimbangkan kombinasi berbagai informasi dalam menentukan diagnosis. Di berbagai negara, baik negara maju atau berkembang, banyak upaya dilakukan dengan mempergunakan bermacam-macam kombinasi antara faktor resiko, gejala klinik dan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dini pasien sepsis neonatal. Ketajaman diagnosis dengan cara ini mungkin merupakan jalan pintas terbaik yang dapat digunakan bila pemeriksaan canggih seperti disebutkan terdahulu belum dapat dilaksankan di masing-masing klinik. 2

VII. TATALAKSANA Pemilihan antibiotik dalam penatalaksanaan sepsis neonatal memerlukan pertimbangan yang matang. Seperti dikemukakan sebelumnya, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama satu dengan lainya, baik antar rumah sakit atau antar waktu. Selain itu sering terjadi dilema dalam penatalaksanaan pasien. Keterlambatan pengobatan akan meningkatkan mortalitas, sedangkan pemberian terlalu cepat sering menimbulkan over treatment yang dapat merugikan penderita. Oleh karena itu pemilihan spektrum antibiotik harus ditetapkan dengan tepat sesuai dengan pola kuman yang ditemukan serta diperhatikan pula toksisitas obat dan kemungkinan resistensi kuman dikemudian hari.13-15 Selanjutnya dalam penatalaksanaan pasien perlu diperhatikan respon tubuh pasien terhadap perjalanan penyakit (kaskade) infeksi yang terjadi. Perubahan respons tubuh yang dimulai dengan sepsis dan berturut-turut terjadi sepsis berat, syok sepsis dan gangguan fungsi multiorgan memerlukan antisipasi dan kemungkinan terapi tambahan (adjuvant therapy). Pemilihan terapi tambahan ini harus mempertimbangkan manfaat yang berbasis bukti. 13-15 Eliminasi kuman merupakan pilihan utama dalam manajemen sepsis neonatal. Pada kenyataanya menentukan kuman secara pasti tidak mudah dan membutuhkan waktu. Untuk memperoleh hasil yang optimal pengobatan sepsis harus cepat dilaksanakan. Sehubungan dengan hal tersebut pemberian antibiotika secara empiris terpaksa cepat diberikan untuk menghindarkan berlanjutnya perjalanan penyakit. Pemberian antibiotika empiris tersebut harus memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tadi. Selain kuman hendaknya diperhatikan pula resistensi kuman. Segera setelah didapatkan hasil kultur darah, jenis antibiotika yang dipakai disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya.2 Pemberian pengobatan pasien biasanya dengan memberikan antibiotika kombinasi yang bertujuan untuk memperluas cakupan mikroorganisme patogen yang mungkin diderita pasien. Diupayakan kombinasi antibioti tersebut mempunyai sensitifitas yang baik terhadap kuman gram negatif atau gram positif. Tergantung pola dan resistensi kuman di masing-masing rumah sakit biasanya antibiotik yang dipilih adalah golongan ampisilin/kloksasilin/vankomisisn dan golongan aminoglikosid/ sefalosporin. Lamanya pengobatan sangat tergentung kepada jenis kuman penyebab. Pada penderita yang disebabkan oleh kuman gram positif, pemberian antibiotik dianjurkan 10-14 hari, sedangkan penderita dengan kuman gram negatif pengobatan dapat dilanjutkan sampai 2-3 minggu. 2 Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tatalaksana utama pengobatan sepsis neonatal, berbagai upaya pengobatan tambahan (adjunctive therapy, adjuvant therapy) banyak dilaporkan dalam upaya memperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan atau terapi inkonvensional semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertahan tubuh bayi baru lahir, juga dalam rangka mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatal. Beberapa terapi inkonvensional yang sering diberikan, antara lain : 21. Pemberian immunoglobulin secara intravena (intravenous Immunoglobulin-IVIG)Pemberian immunoglobulin dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan antiboditubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah merah. Manfaat pemberian IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih kontroversi. Penurunan mortalitas ditemukan secara bermakna pada suatu penelitian tetapi pada penelitian lain IVIG tidak memperlihatkan perbedaan. Suatu studi multisenter memperlihatkan terdapat penurunan mortalitas neonatal sepsis pada 7 hari pertama pemberian, tetapi kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.21 Dalam studi suatu metaanalisis yang dilakukan dalam 4933 bayi yang mendapatkan profilaksis IVIG dan 110 bayi menerima IVIG sebagai terapi sepsis dilaporkan bahwa pemberian IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis sepsis neonatal (khususnya pada bayi berat lahir rendah) dibandingkan bila dipakai sebagai terapi standar sepsis.212. Pemberian fresh frozen plasma (FFP)Perubahan hematologik dan gangguan koagulasi ditemukan pula pada perjalanan penyakit sepsis neonatal. Pemberian FFP diharapkan dapat mengatasi ganguan koagulasi yang diderita pasien. Salah satu gangguan koagulasi yang mungkin ditemukan antara lain pembekuan intravaskuler menyeluruh (Disseminated Intravascular Coagulation DIC). Di samping faktor koagulasi, FFP juga mengandung antibodi, komplemen dan protein lain seperti C reactive protein dan fibronectin. Walaupun FFP mengandung antibodi protektif tertentu namun pemberian FFP dengan tujuan meningkatkan kadar proteksi bayi, tidak akan banyak faedah. Dalam suatu studi bahkan dilaporkan bahwa FFP pada kenyataanya hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi tanpa meningkatkan kadar IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena, pemberian IVIG ini akan jauh lebih aman dalam menghindarkan efek samping pemberian FFP.213. Tindakan tranfusi tukar Tindakan ini merupakan terapi tambahan yang tidak jarang di lakukan pada beberapa klinik dalam mengatasi sepsis neonatal.21 Tindakan ini bertujuan untuk:a. Mengeluarakan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator penyebab sepsis.b. Memeperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah.c. Memeperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam tindakan ini adalah sulitnya penatalaksanaan dan risiko timbulnya reaksi tranfusi. Selain beberapa upaya di atas, beberapa tatalaksana lain dilakukan pula dalam rangka mengatasi mortalitas dan morbiditas sepsis neonatal. Pemberian tranfusi granulosit dikemukan dapat memperbaiki pengobatan pada penderita. Hal ini dilakukan karena produksi dan respon fungsi sel darah putih yang menurun pada keadaan sepsis neonatal. Demikian pula pemberian tranfusi packed red blood cells dikemukakan dapat bermanfaat dalam terapi sepsis neonatal. Alasan yang dikemukakan dalam pemberian tranfusi ini adalah untuk mengatasi keadaan anemia dan menjamin oksigenisasi jaringan yang optimal pada pasien sepsis.21 Dalam kepustakaan, berbagai penelitian eksperimental maupun studi klinis saat ini banyak dilakukan untuk menghambat cascade inflamasi dengan mempertimbangkan proses imunologik yang terjadi. Dalam suatu studi eksperimental pada hewan coba, penyuntikan TNF- dan IL-1 memperlihatkan perubahan fisiologis yang sejalan dengan cascade inflamasi. Selanjutnya apabila dilakukan rintangan aktifitas IL-1 dengan reseptor antagonis IL-1 (IL-1ra) ternyata dapat melindungi binatang dari kematian akibat bakterimia dan endotoksemia.8 Menurut Panduan Praktik Klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak RS Moh. Hosein Palembang, tatalaksana infeksi neonatus, sepsis dan klinis sepsis, serta meningitis adalah sebagai berikut : 241. Omfalitis a. Bersihkan tali pusat dengan alkohol 70 % dan povidon iodinb. Beri antibiotika ampisilin dan gentamisin 2. Oftalmia neonatorum gonorreaa. Isolasi, irigasi mata dengan ringer laktat, beri antibiotika seftriakson dosis tunggal 25-50 mg/kgBB ( maksimal 125 mg )b. Profilaksis : Salep mata tetrasiklin diberikan segera pada semua bayi baru lahir. 3. Bronkopneumoniaa. Pemberian cairan IVFD dekstrose 71/2 % atau 10 % + Ca glukonas sesuai dengan kebutuhan bayi Mulai hari ke-3 ditambahkan NaCl 3% sebanyak 30 cc/kolf Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat (4:1) Bila dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis darah dikoreksi langsung dengan pemberian cairan Natrium Bikarbonat 4,2% secara perlahan-lahan Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 2-3 g/kgBB/hari. Bila sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu formula. b. Terapi oksigen c. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari, gentamisin diganti dengan ceftazidim.4. Gastroenteritis a. Pemberian cairanBila GEAD ringan-sedang diberikan infus. Bila GEAD berat dengan asidosis : dekstrose 5% 480 cc + Bicnat 7% 10-20 ccBila GEAD berat tanpa asidosis atau asidosis telah teratasi : dekstrose 5% 500 cc + NaCl 3% sebanyak 30 ccJumlah dan kecepatan pemberian pada dehidrasi berat adalah : 4 jam pertama 100 cc/kgBB atau 25 tetes/kgBB/menit (mikrodrip) 20 jam berikutnya 150 cc/kgBB atau 7 tetes/kgBB/menit. b. Obat-obatan Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin Anti jamur : Nystatin bila ada indikasi.c. Minum : langsung diberikan ASI begitu bayi dapat minum, bila bayi mendapat PASI di rumah diberikan susu yang sama dengan pengenceran setengah kemudian penuh.5. Tersangka infeksiPada bayi langsung diberikan Ampisilin dan Gentamisin Bila selama observasi ditemukan tanda infeksi baik klinis dan laboratoris, antibiotika diganti dengan Ceftazidime.6. Sepsis dan klinis sepsisa. Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan bayib. Terapi oksigen bila diperlukanc. Antibiotik : Ceftazidime. Bila dicurigai infeksi oleh karena Stafilokokkus maka diberikan Sefalosporin generasi ke-2, 50 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Bila tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin memburuk, pertimbangkan pindah ke antibiotika yang lebih poten, misalnya Meropenem, atau sesuai dengan hasil tes resistensi. Antibiotika diberikan 7-10 hari (antibiotik dihentikan setelah klinis membaik 5 hari).7. Meningitisa. Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan bayib. Terapi oksigen bila diperlukanc. Antibiotik : Ceftazidime. Bila tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin memburuk, pertimbangkan pindah ke antibiotika yang lebih poten, misalnya Meropenem, atau sesuai dengan hasil tes resistensi. Antibiotika diberikan selama 21 hari.

Sepsis neonatal dapat berkembang menjadi meningitis. Meningitis bakterial terjadi sekitar 15% dari neonatus dengan bakteremia. Neonatus yang terinfeksi dengan Streptokokus grup-B sekitar 5-10% akan menderita onset dini meningitis dan 25% menderita onset lambat meningitis. Oleh karena itu, pada seluruh neonatus dengan sepsis direkomendasikan pungsi lumbal untuk memastikan diagnosis meningitis. Prosedur melakukan pungsi lumbal pada neonatus adalah sebagai berikut : 1. Persiapan a. Informed consent b. Mempersiapkan area hangat dan kering, serta pencahayaan yang baikc. Mempersiapkan peralatan resusitasid. Memastikan bayi tidak makan selama 1 jam terakhir. Bila bayi telah makan dalam beberapa jam terakhir maka dapat dilakukan aspirasi lambung. e. Melakukan monitoring kardiorespirasi dan saturasi oksigen selama prosedur dan satu jam setelah prosedur.f. Mempertimbangkan penggunaan anti nyeri pada neonatus. Pilihannya adalah penggunaan EMLA (0,5-1 gram) sekitar 60-90 menit sebelum prosedur, sukrosa oral, infiltrasi lignokain subkutaneus, morfin perinfus atau bolus intravena. 2. Marker anatomiPungsi lumbal dilakukan di antara L3 dan L43. Memposisikan neonatus untuk pungsi lumbalNeonatus diposisikan lateral dengan kedua ekstremitas bawah difleksikan oleh asisten. Asisten memegang dan melakukan fleksi pada bahu dan kedua kaki neonatus, namun leher tetap ekstensi dan kaki membentuk sudut 90 terhadap pinggul. Fleksi pada tulang belakang ini penting dilakukan agar ruang interspina terbuka dan meregangkan kulit selama proses berlangsung, sehingga marker anatomi dapat terlihat. Leher tidak perlu difleksikan untuk menjamin kelangsungan jalan napas dan meningkatkan terkanan vena serebri. 4. Prosedur pungsi lumbala. Melakukan tindakan septik-antiseptikb. Identifikasi L4 dengan menggunakan kedua jari tangan dan kiric. Masukkan jarum spinal 25G ke bagian midline, membentuk sudut 70-90 dengan kepala bayi. Pemeriksa akan merasakan sensasi pop setelah jarum melewati bagian ligamen posterior dan duramaterd. Stilette dilepaskan dan cairan serebro-spinal mengalire. Cairan serebro-spinal yang diperlukan untuk pemeriksaan mikrobiologi dan biokimia adalah minimal 10 tetes/tube. f. Apabila cairan serebro-spinal terkontaminasi darah, kemungkinan berasal dari trauma atau perdarahan ruang subaraknoid. Spesimen masih dapat digunakan untuk pemeriksaan kultur, namun prosedur mungkin perlu diulang dalam 24-28 jam kemudian. Bila dicurigai perdarahan subaraknoid, maka perlu dilakukan ultrasonografi kranial. g. Apabila hasil kultur positif, maka follow up meningitis berikutnya adalah melakukan pungsi lumbal kembali 24-48 jam setelah terapi antibiotik untuk memastikan cairan serebro-spinal telah steril atau tidak. Jika masih terdapat mikroorganisme dalam cairan serebro-spinal, maka pemberian antibiotik dapat dimodifikasi agar adekuat.h. Pemeriksaan cairan serebro-spinal dikatakan positif meningitis neonatus apabila ditemukan peningkatan jumlah leukosit (lebih dominan PMN), kadar protein meningkat, konsentrasi glukosa menurun, dan hasil kultur positif. Beberapa literatur menyebutkan jumlah leukosit cairan serebro-spinal dapat berada dalam batas normal pada 29% infeksi meningitis akibat Streptokokus grup B (GBS) dan hanya 4% pada infeksi meningitis akibat bakteri gram negatif. Konsentrasi glukosa dan kadar protein juga dapat ditemukan dalam batas normal pada 50% pasien meningitis GBS dan 15-20% pada pasien meningitis gram negatif. Penurunan konsentrasi glukosa cairan serebro-spinal tidak selalu mencerminkan hipoglikemia serum. Abnormalitas konsentrasi glukosa lebih berat pada onset lambat meningitis dan meningitis akibat infeksi gram negatif. 25

VIII. PENCEGAHAN Pencegahan sepsis neonatal juga mempunyai permasalahan tersendiri. Perawatan bayi baru lahir yang sempurna tidak akan memberikan hasil optimal apabila tidak disertai perawatan antenatal yang baik. Faktor-faktor seperti sosial ekonomi, pendidikan ibu, jangkauan pelayanan kesehatan primer yang terlalu jauh serta kunjungan perawatan antenatal yang terbatas merupakan masalah umum yang dihadapi oleh ibu hamil dalam sehari-hari. Gambaran proses reproduksi semacam ini akan berdampak terhadap tingginya kelahiran BBLR, kurang bulan dan resiko infeksi ibu selama kehamilan dan persalinan. Ketiga faktor terakhir ini merupakan faktor yang berperan dalam timbulnya infeksi awitan lambat seperti tingginya kejadiaan infeksi kuman nosokomial dirumah sakit, ruang rawat yang sering terlalu penuh, tingginya insiden bayi kurang bulan atau BBLR yang memperpanjang masa rawat dan kadang-kadang memerlukan perawatan khusus, kesemuanya merupakan masalah dalam mencegah terjadinya sepsis diruang perawatan bayi baru lahir.

IX. KOMPLIKASI Komplikasi sepsis neonatorum antara lain: 181. Meningitis 2. Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular. 3. Pada sekitar 60% keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS). 4. Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal. 5. Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental 6. Kematian.

X. PROGNOSISDengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40% (pada infeksi Streptokokus Grup B adalah 2-30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20% (pada infeksi Streptokokus Grup B adalah 2%).22

XI. RINGKASANDi negara berkembang, infeksi pada bayi baru lahir merupakan masalah penting dalam pelayanan dan perawatan bayi baru lahir. Tersangka infeksi adalah bila bayi baru lahir mempunyai faktor resiko/ predisposisi untuk infeksi, yaitu suhu ibu >38oC, leukosit ibu >15.000/mm3, air ketuban keruh dan bau busuk, ketuban pecah >12 jam, dan partus kasep. Klinis sepsis didiagnosis apabila didapatkan gejala sepsis, namun tidak didukung hasil pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis sepsis terdiri atas gejala umum, gejala gangguan susunan saraf pusat, pernapasan, gastrointestinal, kulit, sirkulasi, dan hematologi. Sepsis didiganosis apabila ditemukan gejala klinis sepsis ditambah lebih dari satu pemeriksaan laboratorium yang positif (lekosit < 5000/mm3 atau > 34.000/mm3, I/T ratio 0,2 atau lebih, mikro LED>15 mm/jam, CRP > 9mg/dL ). Diagnosis meningitis ditegakkan apabila pasien sepsis ditambah dengan hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang positif. Eliminasi kuman merupakan pilihan utama dalam manajemen sepsis neonatal. Pada kenyataanya menentukan kuman secara pasti tidak mudah dan membutuhkan waktu. Untuk memperoleh hasil yang optimal pengobatan sepsis harus cepat dilaksanakan. Sehubungan dengan hal tersebut pemberian antibiotika secara empiris terpaksa cepat diberikan untuk menghindarkan berlanjutnya perjalanan penyakit. Pemberian antibiotika empiris tersebut harus memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tadi. Selain kuman hendaknya diperhatikan pula resistensi kuman. Segera setelah didapatkan hasil kultur darah, jenis antibiotika yang dipakai disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya. Pada tersangka infeksi langsung diberikan ampisilin dan gentamisin, lalu dapat diganti dengan ceftazidime apabila ditemukan tanda infeksi baik klinis atau laboratoris. Pilihan antibiotika pada sepsis dan klinis sepsis adalah ceftazidime. Bila dicurigai infeksi Stafilokokus, diberikan sefalosporin generasi kedua, namun jika tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam, antibiotika dapat diganti menjadi yang lebih poten seperti meropenem. Antibiotika diberikan selama 7-10 hari. Pada kasus sepsis, pilihan antibiotika adalah ceftazidime. Bila tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin memburuk, pertimbangkan pindah ke antibiotika yang lebih poten, misalnya meropenem, atau sesuai dengan hasil tes resistensi. Antibiotika pada kasus meningitis diberikan selama 21 hari.

RUJUKAN1. Schelonka RL, Freij BJ, McCracken GH. Bacterial and fungal infections. In: MacDonald MG, Mullet MD, Seshia M (eds). Averys neonatology: pathophysiology and management of the newborn. 6th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2005;1235-73.2. Aminullah A. Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A (penyunting). Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2012;170-85.3. Naglie R. Infectious Diseases. In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE (eds). Neonatology, management, procedur, on-call problem, desease, and drug. 5th ed. Newyork : Lange McGraw Hill, 2003:434-68.4. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR (eds). Manual of neonatal care. 6th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2008:274-300.5. Edwards MS. Postnatal bacterial infections. In: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC (eds). Fanaroff and Martins Neonatal-Perinatal Medicine. 8th ed. Misouri: Mosby Elsevier, 2006:791-829.6. Child Health Research Project Special Report : Reducing perinatal and neonatal mortality, report of meeting. Baltimore, 1999;3(1):6-12.7. Gerdes JS. Diagnosis and management of bacterial infections in the neonate. Pediat Clin N Am. 2004;51:939-59.8. Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. Dalam: Update in nenatal infection. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, 2005:32-43. 9. Bellig LL, Ohning BL. Neonatal sepsis. Diunduh dari URL http://www.emedicine.com/ped/topic2630.htm (cited in February 20, 2015)10. Bone RC. Immunologic dissonance: a continuing evolution in our understanding of the systemic inflamatory response syndrome and the multiple organ dysfuntion syndrome. Aim Intern Med. 1996;125:690-1.11. Stoll, BJ. The global impact of infection. Clin Perinatol. 1997;24:1-21.12. Rohsiswatmo R. Multidrug resistance in a neonatal unit and therapeutic implications. Pediatric Indones .2006;46:25-31.13. Surca K, Kardana M, Sri Iswari I. Blood culture and sensitivity test patern of early versus late onset sepsis on neonatal ward Sanglah Hospital Denpasar. In: Garna H, Nataprawira HM (eds). Abstract Book 13th National Congress of Child Health. Bandung: West Java Indonesia Society of Pediatricians, 2005:110. 14. Siswanto JE, Harahap FP, Indrasanto E. Microrganism pattern and its sensitivity in NICU and LII nursery Harapan Kita Children and Maternity Hospital Jakarta. In: Garna H, Nataprawira HM (eds). Abstract Book 13th National Congress of Child Health. Bandung: West Java Indonesia Society of Pediatricians, 2005:302.15. Yuliana N, Usman A. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan leukosit dan trombosit pada sepsis neonatorum di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juli-Desember 2006. Dalam: Sadjimin T (penyunting). Buku Abstrak PIT IKA III-IDAI Yogyakarta: IDAI, 2007:27.16. Rahman T, Utomo MT, Etika MT. Sepsis Neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya 2006. Dalam: Sadjimin T (penyunting). Buku Abstrak PIT IKA III-IDAI Yogyakarta: IDAI, 2007:532.17. Aggrawal R, Sarkar N. Sepsis in the newborn. Indian J Pediart. 2001 68 : 1143-7.18. Heath PT. Neonatal meningitis. Arch Dis child Fetal Neonatal. 2003;88:173-8.19. Short MA. Lingking the sepsis triad of inflamation, coagulation and suppressed fibrynolisis to infant. Adv Neonatal Care. 2004;4(5):258-73.20. Haque KN. Definition of blood sterm infection in newborn. Pediart Crit Care Med. 2005;6:S45-9.21. Levy MM. International sepsis definitions conference. Pediart Crit Care Med. 2005;6:S55-9.22. Opal Sm. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis. Pediart Crit Care Med. 2005;6:S55-60.23. Panduan Praktik Klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Mohammad Hosein Palembang, 2014.24. Murray NA, Roberts IA. Neonatal tranfusion practice. Arch Dis Child Neonatal. 2003; 89(2):F101-7.25. The Royal Womens Hospital. Lumbal puncture (LP) for neonates. Neonatal e-handbook. Available at: http://www.health.vic.gov.au/neonatalhandbook/procedures/lumbar-puncture.htm (Cited in March 3, 2015).