sindrom eaton

21
TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Sindrom Lambert-Eaton (pseudomiastenia atau sindrom miastenia) adalah penyakit autoimun yang jarang terjadi, ditandai dengan kelemahan pada otot dan gangguan otonom. 1 B. Epidemiologi Sindrom Lambert-Eaton pertama kali dihubungkan dengan kejadian kanker paru-paru. Angka insiden dan prevalensi sindrom Lambert- Eaton tidak diketahui secara pasti, akibat jarangnya kasus ini. Kanker lainnya yang kemungkinan dapat menimbulkan sindrom ini antara lain lymphoproliferative disorders, timoma, keganasan pada ginjal, dan saluran reproduksi. Angka insiden sindrom Lambert-Eaton di Amerika Serikat tidak diketahui secara pasti.

Upload: rika-irena-dwiputri

Post on 30-Sep-2015

17 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kk

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

A.DefinisiSindrom Lambert-Eaton (pseudomiastenia atau sindrom miastenia) adalah penyakit autoimun yang jarang terjadi, ditandai dengan kelemahan pada otot dan gangguan otonom.1

B.EpidemiologiSindrom Lambert-Eaton pertama kali dihubungkan dengan kejadian kanker paru-paru. Angka insiden dan prevalensi sindrom Lambert-Eaton tidak diketahui secara pasti, akibat jarangnya kasus ini. Kanker lainnya yang kemungkinan dapat menimbulkan sindrom ini antara lain lymphoproliferative disorders, timoma, keganasan pada ginjal, dan saluran reproduksi. Angka insiden sindrom Lambert-Eaton di Amerika Serikat tidak diketahui secara pasti. Diperkirakan bahwa sekitar 3% pasien dengan karsinoma paru (small cell lung cancer) atau sekitar 4 per 1 juta orang di Amerika Serikat mengalami sindrom ini.3Sindrom Lambert-Eaton yang bersifat idiopatik terjadi lebih sering pada wanita dan dapat terjadi pada semua usia. Keadaan ini sering dihubungkan dengan gangguan autoimun pada target organ spesifik pada pasien dan anggota keluarganya. Beberapa produk dari gen HLA, memiliki prevalensi yang cukup tinggi sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom ini.2

C.EtiologiPada keseluruhan kasus, terdapat dua jenis sindrom Lambert-Eaton, yaitu yang berkaitan dengan karsinoma dan tanpa karsinoma (idiopatik). Kedua jenis penyebab sindrom ini berkaitan dengan penyakit autoimun.5 Pada sekitar 40 - 50% dari pasien, sindrom Lambert-Eaton terjadi sebagai akibat adanya suatu sindrom paraneoplastik yang berhubungan dengan karsinoma paru. Penyebab sindrom Lambert-Eaton yang bukan dari suatu karsinoma paru menyumbang hingga 50 - 60% dari keseluruhan kasus dan terjadi sebagai penyakit autoimun idiopatik, dengan etiologi yang tidak diketahui.3

D.PatogenesisSindrom Lambert-Eaton adalah penyakit autoimun yang amat jarang ditemukan, dimana terjadi gangguan pada transmisi neuromuskuler. Berbeda dengan miastenia gravis, di mana terjadi penghambatan neurotransmiter (senyawa kimia yang mentransmisikan impuls) akibat adanya antibodi tertentu, terjadinya sindrom ini disebabkan oleh tidak cukupnya pelepasan neurotransmitter oleh sel saraf, sehingga pengurangan pelepasan neurotransmiter asetilkolin dari saraf terminal ke dalam celah sinaptik. Kelainan presinaptik ini disebabkan oleh autoantibodi terhadap protein membran sel saraf, VGCC. Saluran ini juga berfungsi sebagai zona aktif dari membran presinaptik.2NMJ memiliki tiga komponen dasar, yang terdiri dari 1) motor nerve terminal presinaps sebagai tempat sintesis, penyimpanan, dan pelepasan asetilkolin; 2) ruang sinaptik, dan 3) membran sel otot pasca sinaps, yang berisi reseptor asetilkolin dan enzim asetilkolinesterase. Transmisi neuromuskuler dimulai ketika aksi potensial dari saraf memasuki terminal saraf dan memicu pelepasan asetilkolin. Eksositosis vesikel sinaptik yang mengandung asetilkolin membutuhkan kalsium, yang akan masuk ke dalam terminal depolarisasi saraf melalui VGCC. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaptik dan berinteraksi dengan reseptor asetilkolin pada membran sel otot pasca sinaps, menyebabkan depolarisasi lokal pada endplate potential (EPP). Jika EPP mencapai ambang batas untuk menimbulkan potensial aksi, maka akan menimbulkan kontraksi otot. Aksi dari asetilkolin pada membran pasca sinaptik diakhiri oleh enzim asetilkolinesterase.2Pada sindrom Lambert-Eaton, pelepasan spontan asetilkolin berlangsung normal, namun terjadi gangguan pada pelepasan asetilkolin dari vesikel presinaptik yang kemudian diikuti oleh depolarisasi. Produksi antibodi presinaptik terhadap VGCC dianggap sebagai penyebab dari gangguan ini. Penghambatan antibodi tertentu terhadap VGCC, menyebabkan kalsium tidak dapat mengalir ke bagian terminal saraf saat terjadi depolarisasi, sehingga asetilkolin tidak dapat dilepaskan. Saat ini telah banyak ditemukan subtipe dari kanal kalsium, namun semua ditentukan oleh kanal kalsium subunit 1. Penelitian pada awalnya menyebutkan keterlibatan kanal kalsium tipe L- dan N- sebagai antibodi dalam sindrom ini. Pada akhirnya, antibodi yang terbukti berhubungan dengan VGCC subtipe P/Q. Antibodi tidak hanya menghambat voltage-gated Ca++ channel pada NMJ tetapi juga menghadap pada reseptor muskarinik, sehingga menciptakan gangguan otonom.2 Sindrom Lambert-Eaton disebabkan oleh keadaan idiopatik atau adanya sindrom paraneoplastik yang memproduksi suatu antibodi terhadap presynaptic voltage-gated P/Q calcium channels (VGCC), yang mengakibatkan penurunan masuknya kalsium ke dalam terminal presinaptik, sehingga terjadi kegagalan pengikatan vesikel pada membran presinaptik yang melepaskan asetilkolin.2Sindrom Lambert-Eaton sangat sering dikaitkan dengan keganasan pada paru, meskipun yang disebabkan oleh faktor idiopatik ditemukan pada hampir 40% kasus. 2

E.Manifestasi KlinisGejala khas dari sindrom ini sangat mirip dengan gejala umum yang ditunjukkan oleh pasien dengan miastenia gravis, namun ada beberapa perbedaan penting dalam perkembangan penyakit ini. Sehingga sindrom Lambert-Eaton awalnya mungkin didiagnosis sebagai miastenia gravis akibat kesamaan gejala klinis yang ditunjukkannya.2Karakteristik klinis sindrom Lambert-Eaton terdiri dari kelemahan dan cepat lelahnya otot proksimal pada ekstremitas bawah yang bersifat progresif subakut, dengan berkurang atau menghilangnya refleks peregangan otot dan didapatkannya disfungsi otonom. Diagnosis sering tertunda selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun karena gejala sering tidak mengganggu dan kelainan pada pemeriksaan fisik mungkin tidak terdeteksi pada awal perjalanan penyakit. Distribusi khas dari kelemahan melibatkan otot fleksor pinggul dan otot-otot pinggul lainnya, otot-otot proksimal pada ekstremitas atas, otot leher, dan otot-otot interosei. Otot-otot pinggul biasanya mengalami kelemahan lebih parah daripada otot-otot pada ekstremitas atas sehingga menunjukkan kecacatan yang jelas. Pasien sering mengeluh kesulitan yang timbul ketika berdiri dari posisi duduk dan menaiki tangga dan terkadang pasien bahkan terjatuh. Pasien umumnya melaporkan bahwa kelemahan pada otot berulang, memburuk ketika beraktivitas berat dan membaik dengan sendirinya setelah beristirahat. Atrofi otot jarang terjadi.2Pasien mungkin mengalami keluhan nyeri pada pinggul dan paha bagian belakang. Sekitar 25% kasus memiliki keterlibatan saraf kranial. Ptosis, kelemahan wajah, disfagia, disartria, dan kesulitan mengunyah dapat terjadi tetapi biasanya ringan dan cenderung terjadi dalam fase lanjut dibandingkan dalam perjalanan penyakit dari miastenia gravis. Keterlibatan sistem pernapasan jarang terjadi dan biasanya secara signifikan lebih ringan daripada miastenia gravis. Kejadian gagal nafas juga amat jarang terjadi. Sekitar 80% dari pasien dengan sindrom Lambert-Eaton memiliki gejala disfungsi otonom. Gejala gangguan otonom yang paling umum adalah disfungsi ereksi pada pria dan xerostomia (mulut kering) pada kedua jenis kelamin.2 Gejala lainnya adalah terdapat perlambatan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya, dismotilitas gastrointestinal, hipotensi ortostatik, dan retensi urin. Pemeriksaan modalitas otonom dapat mengungkapkan kelainan pada berkeringat, refleks kardiovagal, dan sekresi air liur.2Keluhan awal yang paling umum adalah kelemahan otot proksimal pada ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan akan didapatkan penurunan refleks tendon dan disfungsi otonom. Keterlibatan dari otot bulbar atau pernafasan sangat jarang ditemukan pada sindrom ini. Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan elektrofisiologi, melalui stimulasi repetitif. Saat ini sudah tersedia pemeriksaan untuk mengetahui kadar serum antibodi voltage-gated calcium channel.2

F.Penegakan DiagnosisDiagnosis sindrom Lambert-Eaton didapatkan berdasarkan keluhan dan gejala klinis, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan pemeriksaan antibodi (VGCC). Tanda klinis yang khas dari sindrom ini adalah kelemahan pada otot-otot ekstremitas atas, gangguan otonom, dan arefleksia. Pada pemeriksaan elektrodiagnostik didapatkan abnormalitas dari pemeriksaan stimulus repetitif, terutama pada stimulasi post exercise, yaitu terjadi peningkatan (increment) CMAP lebih dari 100%. Peningkatan amplitudo CMAP ini berlangsung singkat dan paling tinggi ketika stimulasi berikutnya dilakukan setelah penghentian latihan otot. Stimulasi post exercise memiliki sensitivitas 84 - 96% dan spesifisitas 100% untuk sindrom Lambert-Eaton.2Pemeriksaan elektrodiagnostik mampu menunjang diagnostik secara spesifik dan cepat untuk membantu menegakkan diagnosis sindrom Lambert-Eaton. Sebagai akibat terjadinya penghambatan pada voltage-gated Ca+ channel, terjadi penurunan influks kalsium selama depolarisasi pada membran presinaptik. Vesikel yang mengandung asetilkolin tidak mampu berikatan dengan membran presinaptik sehingga terjadi pengurangan jumlah asetilkolin yang dilepaskan ke dalam celah sinaptik. Oleh karena itu, hanya sedikit endplate potential yang akan mencapai ambang batas, sehingga potensial aksi terjadi lebih sedikit dan mengurangi jumlah serat otot berkontraksi atau sama sekali tidak menimbulkan kontraksi serat otot. Hal ini tercermin pada hasil pemeriksaan elektrofisiologi, dimana didapatkan amplitude CMAP menurun.5Setelah diberikan latihan dalam durasi yang singkat (10 detik), hantar saraf menunjukkan amplitudo potensial aksi otot yang meningkat. Durasi yang singkat dari kontraksi otot ini menyebabkan terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Hal ini memungkinkan kalsium untuk masuk dan terakumulasi ke dalam saraf terminal dengan lebih cepat. Hal ini disebabkan untuk meningkatkan jumlah kalsium, vesikel harus lebih banyak terikat pada membran presinaptik sehingga lebih banyak asetilkolin yang dilepaskan. Hal ini akan mengakibatkan kontraksi otot menjadi normal atau mendekati normal dan amplitudo akan kembali normal. Efek ini memiliki durasi yang singkat akibat kalsium dengan cepat dikosongkan oleh mitokondria dari saraf terminal.5Pada hasil pemeriksaan awal, pada CMAP didapatkan amplitudo yang menurun. Pemeriksaan ENMG single-fiber menunjukkan peningkatan jitter dan penghambatan yang mengalami perbaikan sesaat, yang merupakan ciri khas dari sindrom ini.5

G.PenatalaksanaanPemilihan pengobatan yang paling penting adalah melakukan reseksi terhadap keganasan yang berhubungan dengan sindrom ini. Namun apabila keganasan tidak ditemukan sebagai faktor penyebab maka obat-obatan imunosupresif dan inhibitor asetilkolinesterase dapat digunakan dengan tingkat keberhasilan cukup baik. Berdasarkan patofisiologi sindrom ini, penggunaan obat yang mampu meningkatkan pelepasan asetilkolin dari saraf motorik presinaptik terminal diharapkan mampu memberikan perbaikan yang signifikan pada pasien sindrom Lambert-Eaton. Pasien sindrom Lambert-Eaton idiopatik harus melakukan skrining setiap 6 bulan dengan pencitraan thoraks untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya keganasan.6Imunoterapi harus dipertimbangkan untuk pasien keganasan yang berespon terhadap terapi tetapi gejala neurologis yang tidak membaik. Selain itu dapat diindikasikan untuk pasien tanpa keganasan yang mengalami ketidakmpuan secara signifikan meskipun sudah mendapatkan terapi simptomatis. Terapi sindrom Lambert-Eaton ini bersifat individual, dengan pertimbangan disesuaikan dengan tingkat ketidakmampuannya, terkait kondisi medis yang mendasari dan prognosis hidup pasien. Pemberian imunoterapi pada umumnya hampir sama seperti yang digunakan dalam terapi miastenia gravis, meskipun respon terhadap pengobatan sering kurang sesuai dengan yang diharapkan.43,4-Diaminopyridine (3,4-DAP) telah terbukti memperbaiki gejala pasien dengan sindrom Lambert-Eaton pada placebo controlled prospective trial oleh Lundh dan McEvoy. Banyak praktisi mempertimbangkan penggunaan 3,4-DAP sebagai terapi utama untuk sindrom Lambert-Eaton. 3,4-DAP bekerja menghambat voltage gated potassium channels pada saraf terminal, yang berperan untuk memanjangkan potensial aksi dan pembukaan dari VGCC, meningkatkan masuknya kalsium sehingga pelepasan asetilkolin dapat ditingkatkan. Pemberian dosis bervariasi dan dosis berulang dapat ditingkatkan untuk mengoptimalkan respon pasien 3,4 DAP biasanya ditoleransi dengan baik namun tidak disetujui untuk penggunaan secara klinis di Amerika Serikat. Dengan demikian, obat ini tersedia hanya untuk penggunaan khusus seperti dalam kegiatan penelitian.4Guanidin hidroklorida juga mampu meningkatkan pelepasan asetilkolin dari terminal saraf presinaptik. Guanidin meningkatkan kalsium dalam terminal saraf oleh menghambat pengambilan kalsium oleh organela subselular. Penggunaan guanidin sudah sangat terbatas karena potensi hematopoietik dan toksik pada ginjal. Golongan penghambat asetilkolinesterase kadang diberikan juga. Namun pemberian obat ini memiliki manfaat yang terbatas, melalui mekanisme memperlambat metabolisme dari kondisi dengan jumlah asetilkolin yang rendah. Secara klinis, kolinesterse inhibitor tidak efektif sebagai monoterapi. Peningkatan manfaatnya apabila digabungkan dengan obat yang memfasilitasi pelepasan asetilkolin, seperti 3,4 DAP atau guanidin. Pada pasien yang gagal berespon terhadap terapi simptomatis, imunoterapi adalah salah satu pilihannya.4 Plasmafaresisdan intravenous immunoglobulin (IVIG) dapat digunakan untuk imunoterapi jangka pendek karena memberikan awal yang relatif cepat tetapi keuntungan jangka pendek. Respon klinis untuk plasmafaresis terjadi sekitar 10 hari dan untuk IVIG sekitar 2 minggu, agak lebih lambat dibandingkan respon terapi pada pasien miastenia gravis. Manfaat dari kedua terapi ini berlangsung sekitar 6-8 minggu. Indikasi dilakukan plasmafaresis dan IVIG pada pasien dengan kelemahan yang parah, atau keterlibatan bulbar dan otot pernapasan.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Davenport E, Malthaner RA. The role of surgery in the management of thymoma: a systematic review. Diunduh dari: http://ats.ctsnetjournals2. Erik NG. Lambert-eaton myasthenic syndrome; pathogenesis, diagnosis and therapy. 2011. Diunduh dari: www.hindawi.com/journals/ad/2011 /973808/3. Mareska M, Gutmann L. Lambert-eaton myasthenic syndrome. 2004. Diunduh dari 163.178.103.176/AIBC/Documentos/SdLambertEaton. pdf. 4. Peterlin. Use of intravenous immunoglobulin in Lambert-Eaton myasthenic syndrome. 2002. Diunduh dari: www.jaoa.org/cgi/reprint/102/12/682. pdf5. Sylvester A., Williams A. Autoimmune myasthenic syndromes: myasthenia gravis and Lambert-Eaton myasthenic syndrome. In Neuroimmunology in Clinical Practice. Blackwell Publishing; 2008.p.153-68.6. Titulaer MJ, Lang B, Verschuuren JGM. Lambert-Eaton myasthenic syndrome: from clinical characteristic to theaurapeutic strategies. Lancet Neurol 2011;10:1098-107.12