sindrom koroner akut
DESCRIPTION
Sindrom koroner akutTRANSCRIPT
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu manifestasi klinis penyakit jantung
koroner yang paling utama dan menyebabkan kematian. Sindrom ini merupakan penyakit
jantung koroner yang bersifat progresif. Adanya robekan plak aterosklerotik merupakan salah
satu penyebab dalam proses pengurangan pasokan oksigen akut dan subakut dari miokard
sehingga menyebabkan timbulnya sindrom koroner akut. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan
adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi. Plak yang terbentuk ini
memiliki dinding yang tipis dengan lemak yang besar, mudah ruptur apabila terdapat faktor
pencetus akibat adanya aktivasi enzim protease yang dihasilkan oleh makrofag. Hal ini
memberikan manifestasi klinis sindron koroner akut berupa:2
1. ST elevasi miokard infark (STEMI) dimana terjadi oklusi total oleh trombus.
2. Non-ST elevasi acute coronary syndrome (NSTEMI) dimana oklusi yang terjadi bersifat
sebagian.
Spektrum acute coronary syndromeDx UA NSTEMI STEMI
Trombosis koroner subtotal Total Riwayat Angina dengan onset yang baru,
crescendo, atau saat istirahat, biasanya <30 menit
Angina saat istirahat >30 menit
ECG ± ST depresi dan atau inversi gelombang T
ST Elevasi
Troponin/CK-MB (-) (+) (+)(+)
Pathogenesis:
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang progresif dengan bermacam tampilan
klinis, dari yang asimtomatis, angina stabil maupun sindroma koroner akut, sampai kematian
jantung mendadak. Hasil pengamatan patologis, angiokopis dan biologis menunjukan adanya
perbedaan gejala klinik antara angina tak stabil dan infard miokard, disebabkan mekanisme
patifisiologi yang mendasarinya yakni ruptur aterosklerosis, dengan derajat trombosis yang
berbeda-beda dan ada tidaknya embolisasi distal. Pada definisi yang diperluas, sindroma koroner
akut meliputi juga semua penderita dengan kejadian awal yang menuju keparahan angina.
Walaupun studi Framingham menunjukan bahwa angina tak stabil hanya terdapat pada 10%
kasus yang merupakan manifestasi awal dari penyakit arteri koroner diluar miokard infark,
tetapi umumnya penderita mengalami suatu siklus atau perubahan pola nyeri dada, dan hanya
jumlah kecil yang memerlukan perhatian maupun perawatan di rumah sakit. Diagosis angina tak
stabil tidak memerlukan perubahan EKG, biarpun adanya perubahan ini akan meningkatkan
spesifisitas diagnosis dan menunjukan prognosis yang jelek ( klasifikasi Braunwald). Kejadian
penyakit jantung koroner meliputi dua tahap yang berbeda. Tahap pertama terdiri dari suatu
periode awal asimtomatik, dimana terbentuk plak aterosklerotik non obstruktif, dan progresi
lebih lanjut tergantung pada faktor resiko. Tahap kedua terjadi trombogenesis dengan cepat
dikarenakan koyaknya plak yang mengeluarkan kontituennya yang bersifat trombogenik, seperti
kolagen dan tromboplastin jaringan yang menstimulasi agregasi trombosit, pembentukan fibrin,
dan perkembangan terjadinya trombus yang oklusif. Hasil akhir dari robeknya plak tergantung
pada keseimbangan hemostatis. Keseimbangan hemostatis ini merupakan suatu interaksi yang
kompleks antara dinamika aliran darah, komponen dinding pembuluh darah, trombosit dan
protein plasma, begitu juga dengan faktor-faktor regulasi pada trombosit, sistem koagulasi dan
sistem fibrinolisis.
Kejadian trombosis pada penyakit jantung ateroskleros is dipengaruhi dan distimulasi
oleh beberapa faktor seperti : 1). Disfungsi endotel, 2). Hiperaktifitas trombosit, 3). Peningkatan
aktifitas prokoagulan, dan 4). Gabungan kapasitas fibrinolisis.
Struktur Plak
Pada mulanya telah disepakati bahwa terjadinya sindroma koroner akut oleh karena
adanya penutupan yang tiba-tiba dari aliran darah koroner yang aterosklerotik yang kemudian
mengakibatkan kekurangan oksigen di otot jantung dan akibatnya terjadi jaringan iskemi sampai
jaringan nekrosis. Luas tidaknya jaringan nekrosis yang terjadi mempengaruhi harapan hidup
penderita sindroma koroner akut.
Pada saat itu diperkirakan semakin besar ateroma yang ada di pembuluh darah semakin
mudah menyebabkan sindroma koroner akut, akan tetapi ternyata pada penelitian dibuktikan
bahwa justru pada stenosis yang ringan dan sedang lebih banyak terjadi sindroma koroner akut
dan hal ini diduga oleh karena pecahnya ateroma tersebut ( ruptur plak) Plak aterosklerosis yang
sudah matang terdiri dari bermacam -macam yaitu :
lipid core atau gumpalan lipid, gumpalan lipid ini terdiri dari sel-sel makrofag yang
mengandung lipid di dalamnya, dan lipoprotein yang terjebak di dalam subendotelial maupun
ruang ekstra sel. Di dalam bungkah lipid tersebut konsistensinya lunak, sel-selnya jarang
(hiposeluler) dan juga terdapat gumpalan kolesterol ester ( yang berkonsistensi lunak) dan kristal
kolesterol yang berkonsistensi agak keras. Kemudian gumpalan lipid ini diselimuti oleh suatu
kap yang terdiri dari matriks jaringan ikat. Bila gumpalan lipid tersebut dominan dengan kap
tipis, maka ateroma tersebut disebut sebagai plak yang stabil. Sebaliknya bila gumpalan lipid leih
padat dengan kap yang kuat dan tebal disebut sebagai plak stabil. Maka bila dicermati, terdapat
dua macam plak yaitu yang stabil dan plak yang tidak stabil.
Ruptur Plak
Ruptur plak ditemukan pada 56 % - 95% sindroma koroner akut, Forrester yang
memeriksa dengan angioskopis intraoperatif mendapatkan 95% sindroma koroner akut
ditemukan adanya ruptur plak. Tid ak semua plak yang terjadi pada proses aterogenesis menjadi
plak yang tidak stabil, hal tersebut tergantung dari bentuknya kap dan gumpalan lipid yang ada,
dan proses yang mendasarinya, dan hal ini sangat berhubungan dengan tampilan klinis. Menurut
American Heart Association, tipe plak dihubungkan dengan tampilan klinis dapat dibagi menjadi
5 tipe yaitu :
1. Tipe 1 : Penebalan tunika intima, makrofag, isolated foam cell, pada fase ini tampilan
klinisnya asimptomatik.
2. Tipe 2 : Fatty streak, terdapat akumulasi lipid intra sel dan infiltrasi makrofag serta otot polos,
fase ini juga masih asimptomatik.
3. Tipe 3 : masih seperti diatas tetapi disertai pula dengan lipid ekstra sel dan deposisi jaringan
ikat, juga masih asimptomatik.
4. Tipe 4 : Ateroma terdapat gumpalan lipid pada tunika intima, sel inflamasi mulai infiltrasi
diikuti dengan makrofag, sel busa, da sel T, biasanya tampilan klinis pada fase ini
asimptomatik, namun bisa juga angina stabil.
5. Tipe 5a : Seperti tipe 4 disertai denganlapisan jaringan fibrous,tampilan klinis masih seperti
tipe 4.
Tipe 5b : Ateroma dengan klasifikasi berat di dalam core atau lesinya, tampilan klinis apa
fase ini adalah anginastabil.
Tipe 5c :Fibrous-ateroma dengan trombus mural dengan komponen lipid yang minimal,
tampilan klinisnya masih seperti 5 b.
6. Tipe 6 : Complicated lesion , terjadi ruptur plak tipe 4 dan 5 dengan hemorhagi intra mural
dan mulainya proses trombogenesis insitu. Tampilan klinis dari fase adalah suatu keadaan
yang disebut sindroma koroner akut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi instabilitas dan ruptur plak :
Faktor Eksternal :
1. Sistemik : Lingkungan internal/faktor farmakologik.
2. Faktor intrinsik dari plak : besarnya plak, lokasi plak, kepadatan lipid dan ketebalan kap yang
menyelimuti plak.
Faktor Internal :
1. Aktifitas sel inflmasi
2. Infeksi
3. Disfungsi endotel
4. Proliferasi sel otot polos
Evaluasi dari plak yang stabil menjadi tidak stabil melalui 5 tahap yaitu : aktifasi endotel,
kemudian LDL masuk ke dalam sel dan teroksidasi, kemudian memacu produksi sitokin dan
protease ( MMP expression), sehingga menyebabkan rupturnya plak. Lima puluh persen dari
timbulnya sindroma koroner akut, biasanya didahului oleh faktor pencetus seperti yang
berhubungan dengan aktifitas saraf simpatis sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah
yang tiba-tiba, peningkatan aliran darah koroner, peningkatan kontraktilitas otot jantung, latihan
fisik berat, stress emosional dan lain sebagainya.
TROMBOSIS PLAK
Lebih dari 75% trombus yang ditemukan di sindroma koroner akut, terletak ditempat
dimana plak mengalami ruptur. Bila plak yang tidak stabil mendapat pencetus, maka kap yang
tipis tersebut akan koyak dan kemudian berlangsunglah proses selanjutnya berupa pembentukan
trombus yang dimulai dari fisura atau robekan kap tadi. Mula-mula terjadi akumulasi trombosit
ditempat koyakan, kemudian ditambah dengan adanya fibrin, membentuk gumpalan dini yang
disebut white clot yang secara langsung berusaha menutupi semua permukaan yang robek tadi.
Kemudian datanglah eritrosit untuk menutupi seluruh white clot. Didalam komponen plak,
gumpalan lipid memiliki efek trombogenisitas yang paling kuat, hal ini disebabkan oleh karena
pengaruh adanya faktor jaringan, dimana faktor jaringan ini mengaktifkan faktor IX dab X
bersama membentuk trombin. Sedangkan faktor yang mempengaruhi respons trombogenesis
ditempat kap yang terkoyak tadi adalah :
1. Substrat trombogenik yang memang selalu berada di tempat tersebut.
2. Iregularitas permukaan plak dan sempitnya stenosis ; semakin tajam lengkungan kap stenosis
dan semakin iregular, maka semakin mudah terjadi proses trombogenesis tersebut.
3. Keseimbangan trombotik-trombotik faktor trombogenik misalnya hiperagregabilitas,
hiperkoagulabilitas dan menurunnya fibrinolisis meningkatkan resiko terjadinya trombus
pada sindroma koroner aku. (Nawawi, 2007)
Manifestasi klinis: Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi
lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun
pemberian nitrogliserin. Angina pektoris adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan rasa sakit
pada dada akibat kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada
sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung.
Faktor pencetus yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan terkadang
sesudah makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan peningkatan kebutuhan oksigen.
Namun, sakit dada juga sering timbul ketika pasien sedang beristirahat5.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas.
Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk menemukan
posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat,
serta ektremitas biasanya terasa dingin5.
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat. Pulsasi
arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung. Volume dan denyut
nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan
aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari.
Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal6.
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna. Area tersebut
lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses depolarisasi. Jika elektroda
diletakkan di daerah ini, maka potensial yang positif akan terekam dalam bentuk elevasi segmen ST.
Jika elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area injury, maka terekam
potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST depresi juga terjadi pada injury
subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury oleh daerah normal. Vektor ST
bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran ST depresi10.
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih negatif
dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi daerah iskemik.
Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai gelombang T negatif.
Iskemia subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T, mengingat proses repolarisasi
secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena potensial elektrik dihasilkan
repolarisasi subendokardium terhambat, maka gelombang T terekam sangat tinggi9.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST. Nilai
elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang
terkena. Bagi pria usia ≥ 40 tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥
2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun. ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan
dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu9.
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi
segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen
ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan
EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥
0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST
tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI.
Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI9.
Tata laksana: Tujuan tatalaksana infark miokard adalah menghilangkan nyeri dada,
menilai dan implementasi, strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi infark miokard 1.
tatalaksana awal di ruang emergency (10 menit pertama saat kedatangan)
1. Tirah baring (bed rest total)
1. Oksigenasi
suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri kurang
dari 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama
2. Aspirin 160-325mg chewable(kunyah)
3. Nitrat diberikan 5mg dapat diulang 3 kali lalu drip bila masih nyeri
4. Clopidogrel 300 mg per oral (jika sebelumnya belum pernah diberi)
5. Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat
6. Tentukan pilihan revaskularisasi dengan memperbaiki aliran darah koroner dan
reperfusi miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi < 12
jam1.
a. tatalaksana di ruang perawatan intensif (24 jam pertama saat datang)
1. Monitor kontinu dalam 24 jam
2. Nitrogliserin
Nitrat oral short acting tiap 5 menit untuk mengatasi nyeri dada. Pemberian intravena
kontinu pada keadaan gagal jantung, hipertensi atau tanda-tanda iskemi menetap
3. Aspirin
aspirin kunyah 162-325 mg diberi jika belum pernah diberikan, selanjutnya 80-162
mg sehari
4. Clopidogrel
5. Inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (Inhibitor ACE)
Diberi jika tidak ada kontraindikasi dan dilanjutkan hingga dosis optimal. Kontraindikasi
pemberian beta bloker adalah bila terdapat tanda-tanda gagal jantung, hipotensi.
Obat ini termasuk golongan vasodilator yang berguna untuk mengurangi preload dan
afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena menyebabkan berkurangnya preload
jantung dengan meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial menurunkan resistensi arteriol
sistemik dan menurunkan afterload. Obat-obat ini menghambat enzim yang berasal dari
angiotensin I membentuk vasokonstriktor kuat angiotensin II. Inhibitor ACE mengurangi kadar
angiotensin II dalam sirkulasi dan juga mengurangi sekresi aldosteron, sehingga menyebabkan
penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ACE dapat menyebabkan penurunan retensi
vaskuler vena dan tekanan darah, menyebabkan peningkatan curah jantung1.
Pengobatan ini sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Penggunaan inhibitor ACE
awal diutamakan untuk mengobati pasien gagal ventrikel kiri untuk semua tingkatan, dengan
atau tanpa gejala dan terapi harus dimulai segera setelah infark miokard. Terapi dengan obat
golongan ini memerlukan monitoring yang teliti karena berpotensi hipotensi simptomatik.
Inhibitor ACE ini tidak boleh digunakan pada wanita hamil1.
Obat-obat yang termasuk dalam golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin
ini adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, dan quinapril.
6. Anti platelet
Pada penyakit jantung koroner pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan. Penggunaan
aspirin haryus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang
memburuk. Antipratelet yang digunakan pada pasien ini adalah Aspilet 1 x 80 mg.
Primary PCI versus Fibrinolysis
Tujuan dari reperfusi adalah untuk secara cepat mengembalikan aliran darah ke
miokardium untuk mencegah kematian sel iskemia yang sedang berlangsung. Bagaimanapun
juga bisa mencapai reperfusi yang tercepat sebaiknya yang digunakan. Primary PCI
menghasilkan perbaikan laju patensi dari arteri yang terkait infark dibandingkan fibrinolisis.
Secara umum, laju patensi dengan primary PCI adalah 90% atau lebih tinggi lagi, dimana dengan
trombolisis laju tersebut adalah sekitar 65% dan peristiwa ulangannya adalah sering terjadi.
Dengan perkembangan modern, stent koroner memiliki peningkatan outcome. Percutaneous
coronary intervention secara luas diterima sebagai terapi pilihan untuk STEMI pada pusat –
pusat kesehatan yang mampu melaksanakan primary secara cepat dan efektif. Bagaimanapun
juga pada saat yang paling awal, ketika thrombus pada arteri yang mengalami infark masih
lunak, fibrinolisis bisa merekanalisasi arteri, dan berlaku untuk 3 jam pertama onset tersebut.
Setelah 3 jam, primary PCI memiliki manfaat yang lebih jelas dibandingkan fibrinolisis dan
sebaiknya dipilih sebagai terapi.
Agen fibrinolitikAgent Dosage Adjunctive
Treatments
Streptokinase 1,500,000 units selama 1 jam Aspirin, ± heparin
Tissue plasminogen activator
Standard 15 mg bolus, kemudian 50 mg selama 30 menit dan 35 mg untuk 60 min selanjutnya
Aspirin, heparin, essential
Pasien dengan berat badan < 65 kg
1.25 mg/kg selama 3 jam, 10% dari dose sebagai bolus awal
Urokinase 3,000,000 units selama 1 h Aspirin, ± heparin
Reteplase 10 mg bolus awal, 10-mg bolus kedua setelah 30 Aspirin, heparin,
min essential
Tenecteplase < 60 kg: 30-mg bolus
60–70 kg: 35-mg bolus
71–80 kg: 40-mg bolus
81–90 kg: 45-mg bolus
> 90 kg: 50-mg bolus Aspirin, heparin essential
Program rehabilitasi jantung
Evaluasi awal Anamnesa dan pemeriksaan fisik EKG Penilaian resiko Setting tujuan akhir
Diet rendah lemak : tinggi serat >20 g/hari, rendah lemak (<10% total kalori) dan kolesterol (<300 mg/ hari)Manajemen kadar lipidManajemen hipertensiBerhenti merokokPenurunan berat badan ( IMT < 25%)Manajemen diabetesManajemen psikososial
Identifikasi depresi, kecemasan, isolasi sosial, kemarahan dan kekerasan Mengurangi stress
Konseling dan olahraga Aerobic 30 menit sehari, 3 kali dalam seminggu