sistem imunologii
TRANSCRIPT
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Laporan ini disusun agar pembaca dapat memperluas
ilmu tentang “imunologi dasar”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber. Laporan ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Walaupun
Laporan ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas
bagi pembaca.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Tutor yaitu dr.
Baktiansyah yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang
bagaimana cara kami menyusun laporan. Semoga laporan ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun laporan ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima
kasih.
1
LATAR BELAKANG
Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit dan lebih
spesifik lagi perlindungan terhadap infeksi. Sel dan molekul yang bertanggung
jawab atas imunitas disebut system imun dan respons komponennya secara
bersama dan terkoordinasi disebut respon imun. Kemudian terungkap bahwa
substansi asing non-infeksius pun dapat menyulut respon imun dan ternyata pula
bahwa mekanisme yang biasanya melindungi seseorang terhadap infeksi dan
berfungsi menyingkirkan substansi asing, pada keadaan tertentu dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan dan penyakit.
Karena itu definisi respon imun secara inklusif adalah reaksi terhadap
komponen mikroba maupun makromolekul seperti protein dan polisakarida, dan
zat kimia yang dikenalo sebagai asing, tanpa melihat konsekuensi fisiologis atau
patologis daari reaksi tersebut. Jadi imunologi menurut pengertian saat ini adalah
ilmu yang mempelajari respon imun dalam arti luas dan mempelajari peristiwa
seluler dan makromolekuler asing.
1
DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………………………………………1
Latar belakang……………………………………………………………….2
Daftar isi……………………………………………………………………..3
Skenario……………………………………………………………………...4
Kata sulit & kata kunci………………………………………………………4
Pertanyaan …………………………………………………………………..5
ISI
Faktor yang mempengaruhi system imun……………………………………6
Fungsi dari system imun……………………………………………………..7
System imun………………………………………………………………….7
Immunologi humoral…………………………………………………………11
Awal mula system imun pada manusia………………………………………38
Responimun terhadap inflamasi……………………………………………...39
Organ & jaringannya…………………………………………………………47
Komponen system imunologi & perbedaan pada orang dewasa dengan anak-anak…………………………………………………………………………..50
Mekanisme imun terhadap infeksi virus……………………………………..58
Reaksi antigen & antibody…………………………………………………...65
Penyebab reaksi imunitas pada skenario tersebut……………………………69
Penyebab adanya benjolan pada lipatan paha………………………………...70
Interaksi antigen dan antibody……………………………………………......72
Referensi ……………………………………………………………………...79
1
SKENARIO
Seorang anak laki-laki usia 10 tahun dibawa ke rumah sakit di telapak kaki kanan yang terasa nyeri, panas dan kemerahan disertai nanah. Sehari sebelumnya anak tersebut terkena pecahan kaca di telapak kaki kanannya. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan benjolan pada lipat paha kanan yang terasa nyeri. Suhu badan penderita 380. Pada pemeriksaan darah rutin ditemukkan leukosit 13.000 ribu/mm3 dengan hitung jenis leukosit shift to the left.
KATA SULIT
- Hitung jenis leukosit shift to the left
KATA KUNCI
- Anak laki-laki usia 10 tahun- Luka ditelapak kaki kanan- Terasa nyeri, panas dan kemerahan disertai nanah- Sehari sebelumnya terkena pecahan kaca ditelapak kaki kanan- Benjolan pada lipat paha kanan terasa nyeri- Suhu badan 38 derajat- Leukosit 13.000 ribu/ mm3
PERTANYAAN
1
1. Faktor apa saja yang mempengaruhi imunologi ?2. Fungsi apa saja yang ada didalam system imun ?3. Sebutkan dan jelaskan apa saja yang termasuk ke dalam system imun
bawaan ?4. Sebutkan dan jelaskan apa saja yang termasuk ke dalam system imun yang
didapat?5. Pada umur berapakah system imun mulai sempurna ?6. Bagaimana mekanisme respon imun pada scenario ?7. Sel dan jaringan apa saja yang berpengaruh terhadap system imun ?8. Berapa nilai normal dari komponen-komponen system imun?
Dan Jelaskan perbedaan system imun dewasa dan anak-anak ?9. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis mekanisme respon imun10. Bagaimana reaksi antibody terhadap antigen?11. Apakah penyebab terjadinya reaksi imunitas pada scenario?12. Mengapa terjadi benjolan pada lipatan paha?13. Jelaskan interaksi imun antara saraf dan endokrin dalam menjaga
homeostasis tubuh
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1
SISTEM IMUN
1. Genetik:
Kerentanan seseorang thd penyakit ditentukan oleh gen hla/mhc
2. Umur :
Hipofungsi sistim imun pd bayi mudah infeksi, pada orang
tuaautoimun & kanker
3. Metabolik:
Penderita penyakit metabolik/ pengobatan kortikosteroid rentan
terhadap infeksi
4. Lingkungan dan nutrisi :
Mudah terkena penyakit infeksi kran:
A. Eksposur
B. Berkurang daya tahan karena malnutrisi
5. Anatomis: pertahanan terhadap invasi m.oleh : kulit, mukosa
6. Fisiologis :
- Cairan lambung
- Silia trakt. Respon
- Aliran urin
- Sekresi kulit bersifat bakterisid
- Enzim
- Antibody
7. Mikrobial
FUNGSI DARI SISTEM IMUN
1
a. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan &
menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit,
jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh
b. Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak (debris sel) untuk
perbaikan jaringan.
c. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal
SISTEM IMUN
Terbagi atas dua bagian, yaitu : Non-spesifik dan Spesifik
Non-Spesifik terbagi atas tiga bagian, yaitu :
Fisik Larut Seluler
LARUT
Biokimia : Lisozim (keringat), Sekresi Sebaseus, Asam lambung, Laktoferin, Asam Neuraminik
Humoral : Komplemen, Interferon, CRP
HUMORAL
Imunoglobulin = Gama Globulin
Imunoglobin terdiri atas lima kelompok, diantaranya yaitu :IgG, IgA, IgM, IgD, IgE
IgG
Dalam serum orang dewasa normal, IgG merupakan 75% dari imunoglobin total, dan dijumpai dalam bentuk monometer. IgG merupakan imunoglobin utama yang dibentuk atas rangsangan antigen. IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke dalam peredaran darah janin, sehingga pada bayi baru lahir IgG yang berasal dari ibulah yang melindungi bayi terhadap infeksi. Diantara semua kelas imunoglobin. IgG paling mudah berdifusi kedalam jaringan ekstravaskular dan melakukan
1
aktivitas antibodi di jaringan. IgG pulalah yang umumnya melapisi mikroorganisme sehingga partikel itu lebih mudah difagositosis, disamping itu IgG juga mampu menetralisasi toksin dan virus. IgG dapat melekat pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel sasaran dan memungkinkan terjadinya proses ADCC; bila melekat pada reseptor Fc pada permukaan trombosit ia dapat merangsang penglepasan vasoactive amine dan menyebabkan agregasi trombosit. Di dalam darah, IgG mempunyai half life sekitar 23hari.
IgA
Kelas imunoglobulin kedua terbanyak dalam serum adaslah IgA. Walaupun demikian IgA terutama berfungsi dalam cairan sekresi dan diproduksi dalam jumlah besar oleh sel plasma dalam jaringan limfoid yang terdapat sepanjangsaluran cerna, saluran nafas dan saluran urogenital dalam bentuk dinner. Karena itu IgA dpt dijumpai dalam saliva, air mata, kolostrum dan juga dalam sekret bronkus, vagina dan postat. Sejenak sebelum IgA dilepaskan oleh se; plasma, kedua unit dasar imunoglobulin dirangkaikan satu dengan lain rantai J, kemudian didalam epitel mukosa kelenjar, IgA menembus epitel mukosa dengan cara endositosis. Setelah dirangkaikan dengan komponen sekretorik, IgA dilepas kedalam cairan sekresi.
Komponen sekretorik memudahkan transport IgA dalam cairan sekresi dan melindungi molekul IgA terhadap enzim proteolitik yang terdapat dalam dalam cairan itu. IgA dapat mengikat virus maupun bakteri sehingga dengan demikian mencegah mikroorga-nisme tersebut melekat pada permukaan mukosa. IgA tdk mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik tetapi aktivasi komplemen dilakukan melalui jalur alternatif. Salah satu komponen komplemen yang dilepaskan pada aktivasi ini, yaitu C3b, dapat melakukan opsoniasi mikroorganisme sehingga mikroorganisme itu mudah difagositosis. Walaupun IgA tidak dapat menembus plasenta, kehadirannya dalam kolostrum absorpsi antigen yang berasal dari makanan. Reseptor terhadap IgA dijumpai pada permukaan limfosit, PMN dan monosit. Dalam darah IgA umumnya dijumpai dalam bentuk monomer dan merupakan 15% dari kadar imunoglobulin total. Half life IgA adalah 5-6hari.
IgM
1
Molekul IgM terdapat dalam bentuk pentamer, karena itu merupakan imunoglobulin yang berukuran paling besar. Karena ukuran yang bear ini, IgM terutama terdapat intravaskular dan merupakan 10% dari imunoglobulintotal dalam serum. Makromolekul ini dapat menyebabkan aglutinasi berbagai partikel dan fiksasi komplemen dengan efisiensi yang sangat tinggi, yaitu 20 kali lebih efektif dalam aglutinasi dan 1000 kali lebih efektif dalam aktivasi penghancuran bakteri dibanding IgG.Anto bpdi IgM cenderung menunjukan afinitas rendah terhadap antigen dengan determinan tunggal (hapten) tetapi karena molekul IgM multivalen, molekul IgM dapat menunjukan afiditas yang tinggi terhadap antigen yang mempunyai banyak epitop.
Dilihat dengan mikroskop elektron, IgM berbentuk seperti bintang, tetapi apabila ia melekat pada antigen, bagianbagian Fab akan melekat pada permukaan antigen sehingga bentuk molekul tampak seperti kepiting. IgM adalah kelas imunoglobin yang pertama dibentuk atas rangsangan antigen, tetapi respons igM umumnya pendek yaitu hanya beberapa hari untuk kemudian menurun. Fenomena ini digunakan untuk menentukan apakah suatu infeksi yang di derita oleh seseorang akut atau tidak. Selain itu karena IgM tidak dapat menembus plasenta, adanya antibodi kelas IgM dalam darah bayi baru lahir menunjukkan bahwa IgM dibentuk oleh bayi sebagai respon terhadap infeksi. Isohemaglutinin misalnya anti-A dan anti-B umumnya terdiri dari IgM, dan makroglobulin yang terdapat pada penyakit Waldenstrom merupakan produksi IgM monoklonal.
IgD
IgD merupakan monomer dan konsentrasinya dalam serum hanya sedikit, tetapi konsentrasinya da;am darah tali pusat cukup tinggi. Peran biologiknya sebagai antibodi humoral belum jelas; yang telah diketahui adalah perannya sebagai antibodi dalam reaksi hipersensitifitas terhadap penisilin. IgD dapat dijumpai pada permukaan sel B neonatus dalam jumlah jauh lebih banyak dibanding konsentrasinya dalam serum. Karena itu IgD diduga merupakan reseptor antigen pertama pada permukaan sel B, dan bahwa IgD berperan dalam mengawali respons imun. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa IgD adalah precursor dari IgM, tetapi keberadaannya bersama IgM pada permukaan limfosit menimbulkan dengan bahwa kedua jenis imunoghlobulin ini saling berinteraksi atau saling membantu sebagai reseptor antigen dalam mengembalikan aktivasi dan penenkanan limfosit.
1
Sel plasma yang memproduksi IgM banyak dijumpai dalam tonsil dan adenoid. Salah satu sifat IgD berbeda dengan imunoglobulin yang lain adalah bahwa IgD lebih lentur dibanding imunoglobin lain karena mempunyai bagian engsel yang lebih panjang sehingga dapat melakukan ikat-silang dengan antigen polivalen secara lebih efisien. Selain itu IgD sangat peka terhadap enzim proteolitik; hal inilah yang mungkin menyebabkan umur IgD yang pendek (2-3hari).
IgE
IgE dapat dijumpai dalam serum dengan kadar amat rendah, dan hanya merupakan 0,0004% saja dari kadar imunoglobulin total. Selain itu IgE dapat dijumpai dalam cairan sekresi. Salah satu sifat penting dari IgE adalah kemampuannya melekat secara erat pada permukaan mastosit atau basofil melalui reseptor Fc.
Sistem kekebalan Non-spesifik :
Dapat mendeteksi adanya benda asing & melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, namun tdk dpt mengenali benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Yang termasuk dlm sistem ini:1. komplemen
2. interferon
3. CRP
Komplemen :
Komplemen merupakan mediator terpenting dalam antigen-antibodi dan terdiri atas sekitar 20jenis protein yang berbeda satu dengan yang lain baik dalam sifat kimia maupun reaksi imunologik. Protein ini di bentuk dalam sel hati dan sel-sel retikuloendotel misalnya limfosit dan monosit.
Diproduksi oleh hepatosit dan monosit
Berperan sbg opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor kemotaksis dan menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit.
Komplemen dpt diaktifkan dgn 2 cara
1
Cara langsung oleh mikroba atau produknya (jalur alternatif dlm imunitas nonspesifik)
Oleh antibodi (jalur klasik dlm imunitas spesifik)
Interferon :
Glikoprotein
Sel yang terinfeksi virus akan mengeluarkan interferon
Interferon mengganggu replikasi virus (antivirus)
Interferon juga memperlambat pembelahan & pertumbuhan sel tumor dgn meningkatkan potensi sel NK & sel T sitotoksik (antikanker)
Peran interferon yg lain: meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag & merangsang produksi antibodi
C-Reactive protein :
Infeksimakrofag aktifsitokinmerangsang hati mensintesis CRP
Meningkat pada infeksi akut
Mengikat mikroorganismemengaktifkan komplemen jalur klasik
IMUNOLOGI HUMORAL
Respon imun humoral (HIR) adalah aspek imunitas yang dimediasi oleh
disekresikan antibodi (sebagai lawan imunitas diperantarai sel , yang melibatkan
limfosit T ) yang diproduksi dalam sel-sel B limfosit garis keturunan ( sel B ). B
Cells (with co-stimulation) berubah menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi.
The co-stimulation sel B dapat berasal dari sel lain antigen menyajikan, seperti sel
dendritik . Seluruh proses ini dibantu oleh CD4 + T-helper 2 sel, yang
menyediakan co-stimulasi. Antibodi disekresikan mengikat antigen pada
permukaan mikroba seperti virus atau bakteri
Studi tentang komponen molekuler dan seluler yang terdiri dari sistem
kekebalan tubuh , termasuk fungsi dan interaksi . Sistem kekebalan tubuh dibagi
menjadi primitive innate immune system, dan acquired atau adaptive immune
sistem vertebra, masing-masingmengandung komponen humoral dan selular.
1
Kekebalan humoral mengacu pada produksi antibodi dan proses aksesori
yang menyertainya, termasuk: Th2 aktivasi dan produksi sitokin, pusat germinal
pembentukan isotipe switching, pematangan afinitas dan memori sel generasi.
Hal ini juga mengacu pada efektor fungsi antibodi, yang mencakup netralisasi
patogen dan racun, classical complement activation, and opsonin phagocytosis
dan eliminasi patogen
SEL LlMFOSIT B
Progenitor sel limfosit B adalah sel stem hematopoietik pluripoten.
Dinamakan pluripoten karena sel ini juga merupakan progenitor sel
hematopoietik lainnya, seperti sel polimorfonuklear, sel monosit dan sel
makrofag.
Pada masa embrio sel ini ditemukan pada yolk sac, yang kemudian
bermigrasi ke hati, limpa dan sumsum tulang. Setelah bayi lahir, sel asal (stem
cell) hanya ditemukan pada sumsum tulang. Dinamakan limfosit B karena
tempat perkembangan utamanya pada burung adalah bursa
fabricius, sedangkan pada manusia tempat perkembangan utamanya adalah
sumsum tulang.
1
Sel pertama yang dapat dikenal sebagai prekursor (pendahulu) sel limfosit
B adalah sel yang sitoplasmanya mengandung rantai berat µ, terdiri atas
bagian variabel V dan bagian konstan C tanpa rantai ringan L, dan tanpa
imunoglobulin pada permukaannya. Sel ini dinamakan sel pro-limfosit B.
Selain rantai µ, sel pro-limfosit B juga memperlihatkan molekul lain pada
permukaannya, antara lain antigen HLA-DR, reseptor komplemen C3b dan
reseptor virus Epstein-Barr (EBV). Pada manusia sel pro-limfosit B sudah
dapat ditemukan di hati fetus pada masa gestasi minggu ke-7 dan ke-8.
Sel pro-limfosit B ini berkembang menjadi sel limfosit B imatur. Pada
tahap ini sel limfosit B imatur telah dapat membentuk rantai ringan L
imunoglobulin sehingga mempunyai petanda imunoglobulin pada permukaan
membran sel yang berfungsi sebagai reseptor antigen. Bila sel limfosit B
sudah memperlihatkan petanda rantai berat H dan rantai ringan L yang
1
lengkap, maka sel ini tidak akan dapat memproduksi rantai berat H dan rantai
ringan L lain yang mengandung bagian variabel (bagian yang berikatan
dengan antigen) yang berbeda.
Jadi setiap sel limfosit B hanya memproduksi satu macam bagian variabel
dari imunoglobulin. lni berarti imunoglobulin yang dibentuk hanya ditujukan
terhadap satu determinan antigenik saja. Sel B imatur mempunyai sifat yang
unik. Jika sel ini terpajan dengan ligannya (pasangan kontra imunoglobulin
yang ada pada permukaan membran sel), sel ini tidak akan terstimulasi,
bahkan mengalami proses yang dinamakan apoptosis sehingga sel menjadi
mati (programmed cell death). Jika ligannya itu adalah antigen diri (self
antigen), maka sel yang bereaksi terhadap antigen diri akan mengalami
apoptosis sehingga tubuh menjadi toleran terhadap antigen diri. Hal ini terjadi
pada masa perkembangan di sumsum tulang.
Oleh karena itu, sel limfosit B yang keluar dari sumsum tulang merupakan sel
limfosit B yang hanya bereaksi terhadap antigen asing. Kemudian sel limfosit
B imatur yang telah memperlihatkan imunoglobulin lengkap pada
permukaannya akan keluar dari sumsum tulang dan masuk ke dalam sirkulasi
perifer serta bermigrasi ke jaringan limfoid untuk terus berkembang menjadi
sel matur. Sel B ini memperlihatkan petanda imunoglobulin IgM dan IgD
dengan bagian variabel yang sama pada permukaan membran sel dan
dinamakan sel B matur.
Perkembangan dari sel asal (stem cell) sampai menjadi sel B matur tidak
memerlukan stimulasi antigen, tetapi terjadi di bawah pengaruh lingkungan
mikro dan genetik. Tahap perkembangan ini dinamakan tahapan generasi
keragaman klon (clone diversity), yaitu klon yang mempunyai imunoglobulin
permukaan dengan daya ikat terhadap determinan antigen tertentu.
Tahap selanjutnya memerlukan stimulasi antigen, yang dinamakan tahapan
respons imun. Setelah distimulasi oleh antigen, maka sel B matur akan
menjadi aktif dan dinamakan sel B aktif. Sel B aktif kemudian akan berubah
menjadi sel blast dan berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang akan memproduksi imunoglobulin.
1
Beberapa progeni sel B aktif tersebut akan mulai mensekresi
imunoglobulin kelas lain seperti IgG, IgA, dan IgE dengan bagian variabel
yang sama yang dinamakan alih isotip atau alih kelas rantai berat (isotype
switching).
Beberapa progeni sel B aktif lainnya ada yang tidak mensekresi
imunoglobulin melainkan tetap sebagai sel B yang memperlihatkan petanda
imunoglobulin pada permukaannya dan dinamakan sel B memori. Μ
Sel B memori ini mengandung imunoglobulin yang afinitasnya lebih
tinggi. Maturasi afinitas ini diperoleh melalui mutasi somatik. Sel B matur
yang tidak distimulasi, jadi yang tidak menemukan ligannya, akan mati
dengan waktu paruh 3-4 hari. Sedangkan sel B memori akan bertahan hidup
lebih lama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan tanpa stimulasi antigen.
Sel B memori ini akan beresirkulasi secara aktif melalui pembuluh darah,
pembuluh limfe, dan kelenjar limfe.
Bila antigen dapat lama disimpan oleh sel dendrit di kelenjar limfe, maka sel
dendrit ini pada suatu waktu akan mengekspresikan antigen tersebut pada
permukaannya. Antigen yang diekspresikan oleh sel dendrit ini akan
merangsang sel B memori menjadi aktif kembali, berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Dalam hal ini,
kadar antibodi terhadap suatu antigen tertentu dapat bertahan lama pada kadar
protektif, sehingga kekebalan yang timbul dapat bertahan lama.
1
Aktivasi dan fungsi sel B
Bila sel limfosit B matur distimulasi antigen ligannya, maka sel B akan
berdiferensiasi menjadi aktif dan berproliferasi. Ikatan antara antigen dan
imunoglobulin pada permukaan sel B, akan mengakibatkan terjadinya ikatan
silang antara imunoglobulin permukaan sel B. Ikatan silang ini mengakibatkan
aktivasi enzim kinase dan peningkatan ion Ca++ dalam sitoplasma. Terjadilah
fosforilase protein yang meregulasi transkripsi gen antara lain protoonkogen
(proto oncogene) yang produknya meregulasi pertumbuhan dan diferensiasi
sel. Aktivasi mitosis ini dapat terjadi dengan atau tanpa bantuan sel T,
tergantung pada sifat antigen yang merangsangnya. Proliferasi akan
mengakibatkan ekspansi klon diferensiasi dan selanjutnya sekresi antibodi.
Fungsi fisiologis antibodi adalah untuk menetralkan dan mengeliminasi
antigen yang menginduksi pembentukannya.
Dikenal 2 macam antigen yang dapat menstimulasi sel B, yaitu antigen
yang tidak tergantung pada sel T (TI = T cell independent) dan antigen yang
tergantung pada sel T (TD = T cell dependent).
1
Antigen TI dapat merangsang sel B untuk berproliferasi dan mensekresi
imunoglobulin tanpa bantuan sel T penolong (Th = T helper). Contohnya
adalah antigen dengan susunan molekul karbohidrat, atau antigen yang
mengekspresikan determinan antigen (epitop) identik yang multipel, sehingga
dapat mengadakan ikatan silang antara imunoglobulin yang ada pada
permukaan sel B.
Ikatan silang ini mengakibatkan terjadinya aktivasi sel B, proliferasi, dan
diferensiasi. Polisakarida pneumokok, polimer D-asam amino dan polivinil
pirolidin mempunyai epitop identik yang multipel, sehingga dapat
mengaktifkan sel B tanpa bantuan sel T. Demikian pula lipopolisakarida
(LPS), yaitu komponen dinding sel beberapa bakteri Gram negatif dapat pula
mengaktifkan sel B. Tetapi LPS pada konsentrasi tinggi dapat merupakan
aktivator sel B yang bersifat poliklonal. Hal ini diperkirakan karena LPS tidak
mengaktifkan sel B melalui reseptor antigen, tetapi melalui reseptor mitogen.
Antigen TD merupakan antigen protein yang membutuhkan bantuan sel
Th melalui limfokin yang dihasilkannya, agar dapat merangsang sel B untuk
berproliferasi dan berdiferensiasi.
Terdapat dua macam respons antibodi, yaitu respons antibodi primer dan
sekunder. Respons antibodi primer adalah respons sel B terhadap pajanan
antigen ligannya yang pertama kali, sedangkan respons antibodi sekunder
adalah respons sel B pada pajanan berikutnya, jadi merupakan respons sel B
memori. Kedua macam respons antibodi ini berbeda baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif. Perbedaan tersebut adalah pada respons antibodi
sekunder terbentuknya antibodi lebih cepat dan jumlahnya pun lebih banyak.
Pada respons antibodi primer, kelas imunoglobulin yang disekresi
terutama adalah IgM, karena sel B istirahat hanya memperlihatkan IgM dan
IgD pada permukaannya (IgD jarang disekresi). Sedangkan pada respons
antibodi sekunder, antibodi yang disekresi terutama adalah isotip lainnya
seperti IgG, IgA, dan IgE sebagai hasil alih isotip. Afinitas antibodi yang
dibentuk pada respons antibodi sekunder lebih tinggi dibanding dengan
respons antibodi primer, dan dinamakan maturasi afinitas.
1
Respons sel B memori adalah khusus oleh stimulasi antigen TD,
sedangkan stimulasi oleh antigen TI pada umumnya tidak memperlihatkan
respons sel B memori dan imunoglobulin yang dibentuk umumnya adalah
IgM. Hal ini menandakan bahwa respons antibodi sekunder memerlukan
pengaruh sel Th atau limfokin yang disekresikannya.
STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia.
Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai struktur
dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18% karbohidrat.
Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi tersebut.
Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat antigen secara
spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan histamin dari
sel mast.
Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai
perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan antigen
spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri
atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino
1
yang dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan
rantai L (rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar
imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L.
Kedua rantai ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga
membentuk struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin
ini adalah penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal
sebagai daerahdomain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang terdiri
dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan
disulfid interchain, sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh ikatan
disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan lambda,
sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ), rantai A (α), rantai
M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai mempunyai jumlah domain
berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang rantai G, A dan D
masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain.
Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen.
Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen yang
terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan asam
amino yang bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen.
Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen (antigen binding
site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc
yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam
amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki
sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang bersangkutan,
misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat pada permukaan sel
makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan basofil mengakibatkan
degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan
karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida (interchain) dengan
akibat kehilangan sebagian besar susunan asam amino yang menentukan sifat
antigenik determinan, namun demikian masih tetap mempunyai sifat
1
antigenik. Fragmen Fab yang tersisa menjadi satu rangkaian fragmen yang
dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.
KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN
Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas mempunyai
berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda. Pada manusia
dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan
antar subkelas lebih sedikit dari pada perbedaan antar kelas.
IMUNOGLOBULIN G
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai
berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien sedimentasi
7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada orang normal IgG merupakan
75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai
perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai
berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa paruh
IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang hanya mempunyai masa
paruh l minggu. Kemampuan mengikat komplemen setiap subkelas IgG juga
1
tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat
mengikat komplemen dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur
alternatif. Lokasi ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc.
Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag
memfagosit antigen yang telah dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini
terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan
kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks
imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada
sel killer memulai respons sitolitik (antibody dependent cell-mediated
cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel.
Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc pada
trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit. Reseptor Fc
memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke
sirkulasi janin.
1
Imunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin,
dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000. Molekul
ini mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat. Antibodi IgM adalah
antibodi yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap antigen dan
antibodi yang utama pada golongan darah secara alami. Gabungan antigen
dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH.
Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida
pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu
dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang berfungsi
sebagai kunci.
1
Imunoglobulin A
IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA
dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang 80%
terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan sisanya 20%
berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang
dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai tunggal
J . Polimer tersebut mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.
1
SEKRETORI igA
Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling
banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial, kolostrum/ASI,
dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal seperti cairan sinovial,
amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe IgA serum.
SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J. Komponen
sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada bagian Fc
imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan melewati sel epitel
mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan
cara menghambat perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat
menghambat virus menembus mukosa.
1
IMUNOGLOBULIN D
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil
terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya
adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul 60.000 – 70.000 dan l2%
terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi merupakan
imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan diduga berperan
dalam diferensiasi sel ini.
1
Imunitas seluler
Kekebalan selular adalah respon imun yang tidak mengikutsertakan
antibodi, tetapi mengikutsertakan aktivasi makrofaga, sel NK, sel T
sitotoksik yang mengikat antigen tertentu, dan dikeluarkannya berbagai
sitokina sebagai respon terhadap antigen. Sistem imun terbagi menjadi dua
cabang: imunitas humoral, yang merupakan fungsi protektif imunisasi dapat
ditemukan pada humor dan imunitas selular, yang fungsi protektifnya
berkaitan dengan sel. Imunitas selular didefinisikan sebagai suatu respons
imun terhadap antigen yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa
bantuan komponen sistem imun lainnya.
Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang berfungsi
untuk mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh
limfosit T. Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang menyebabkan mikroba dapat
masuk dan berlindung di dalam sel. Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada
awal respons imun alamiah, namun sebagian dari mikroba tersebut dapat
menghindari aktivitas fagosit.
Bakteri dan protozoa intraseluler yang patogen dapat bereplikasi di dalam vesikel
fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan
bermultiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut.
1
Mikroba tersebut terhindar dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus dapat
berikatan dengan reseptor pada berbagai macam sel, kemudian bereplikasi di
dalam sitoplasma sel. Sel tersebut tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk
menghancurkan virus. Beberapa virus menyebabkan infeksi laten, DNA virus
diintegrasikan ke dalam genom pejamu, kemudian protein virus diproduksi di sel
tersebut.
Masuknya antigen ke dalam tubuh akan mengakibatkan suatu seri kejadian
yang sangat kompleks yang dinamakan respons imun. Secara garis besar,
respons imun terdiri atas respons imun selular dan humoral.
Sebenarnya kedua macam respons imun ini tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain, oleh karena respons yang terjadi pada umumnya merupakan
gabungan dari kedua macam respons tersebut. Hanya saja pada keadaan
tertentu imunitas selular lebih berperan daripada respons humoral, sedang
pada keadaan lainnya imunitas humoral yang lebih berperan.
1
Eliminasi mikroba yang berada di vesikel fagosit atau sitoplasma sel
merupakan fungsi utama limfosit T pada imunitas didapat. Sel
T helper CD4+ juga membantu sel B memproduksi antibodi. Dalam
menjalankan fungsinya, sel T harus berinteraksi dengan sel lain seperti fagosit,
sel pejamu yang terinfeksi, atau sel B. Sel T mempunyai spesifisitas terhadap
peptida tertentu yang ditunjukkan dengan major histocompatibility
complex (MHC). Hal ini membuat sel T hanya dapat merespons antigen yang
terikat dengan sel lain.
1
SEL LIMFOSIT T
Pada mulanya kita hanya mengenal satu macam limfosit. Tetapi dengan
perkembangan di bidang teknologi kedokteran, terutama sejak ditemukannya
antibodi monoklonal, maka kita mengetahui bahwa ada 2 macam limfosit,
yaitu limfosit T dan limfosit B. Keduanya berasal dari sel asal (stem cell) yang
bersifat multipotensial, artinya dapat berkembang menjadi berbagai macam sel
induk seperti sel induk eritrosit, sel induk granulosit, sel induk limfoid, dan
lain-lain. Sel induk limfoid kemudian berkembang menjadi sel pro-limfosit T
dan sel pro-limfosit B. Sel pro-limfosit T dalam perkembangannya
dipengaruhi timus yang disebut juga organ limfoid primer, oleh karena itu
dinamakan limfosit T. Sedangkan sel pro-limfosit B dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh organ yang pada burung dinamakan bursa fabricius atau gut-
associated lymphoid tissue, karena itu dinamakan limfosit B.
1
Perkembangan sel limfosit T intratimik membutuhkan asupan sel asal
limfoid terus-menerus yang pada fetus berasal dari yolk sac, hati, serta
sumsum tulang; dan sesudah lahir dari sumsum tulang. Sel yang berasal dari
hati fetus dan sumsum tulang yang bersifat multipotensial itu dalam
lingkungan mikro timus akan berkembang menjadi sel limfosit T yang matur,
toleran diri (self tolerant) dan terbatas MHC diri (major histocompatibllity
complex restricted). Di dalam timus, dalam proses menjadi limfosit matur
terlihat adanya penataan kembali gen yang produk molekulnya merupakan
reseptor antigen pada permukaan limfosit T (TCR) dan juga ekspresi molekul-
molekul pada permukaan limfosit T yang dinamakan petanda permukaan
(surface marker)limfosit T.
Dinamakan petanda permukaan limfosit T karena molekul tersebut dapat
membedakan limfosit T dengan limfosit lainnya. Di dalam timus, sebagian
besar sel limfosit T imatur akan mati dengan proses yang dinamakan
apoptosis. Apoptosis adalah kematian sel yang diprogram (fisiologis) demi
kebaikan populasi sel lainnya. Sedangkan nekrosis atau disebut juga kematian
sel accidental adalah kematian sel karena kerusakan berat (patologis),
misalnya akibat infeksi mikroorganisme, trauma fisis, zat kimia, hipertermia,
iskemia, dan lain-lain.
TCR merupakan kompleks glikoprotein yang terdiri atas rantai α, β atau γ,
δ. Sebagian besar TCR matur merupakan dimer α, β sedangkan dimer γ, δ
merupakan TCR limfosit T awal (early). Hanya 0,5-10% sel T matur perifer
mempunyai TCR, yaitu limfosit T yang tidak memperlihatkan petanda
permukaan CD4 dan CD8 yang dinamakan sel limfosit T negatif ganda
(double negative = DN). Sel DN matur ini dapat mengenal aloantigen kelas I,
mungkin juga aloantigen kelas II, dengan mekanisme yang belum jelas. Masih
belum jelas pula apakah sel DN matur juga dapat mengenal antigen asing.
1
Gen yang mengkode TCR terletak pada kromosom 14 (α,γ) dan kromosom 7
(β,δ). Gen ini merupakan anggota dari superfamili gen imunoglobulin, karena
itu molekul TCR mempunyai struktur dasar yang sama dengan struktur dasar
imunoglobulin. Segmen gen ini ada yang akan membentuk daerah variabel M
dari TCR, daerah diversitas (D), daerah joining (J), dan daerah konstan (C).
Karena segmen gen ini terletak terpisah, maka perlu diadakan penataan
kembali gen VDJC atau VJC agar dapat ditranskripsi dan menghasilkan
produk berupa TCR. Penataan kembali segmen DNA ini akan memungkinkan
keragaman (diversity) spesifisitas TCR yang luas. Setiap limfosit T hanya
mengekspresikan satu produk kombinasi VDJC atau VJC, yang membedakan
klon yang satu dari klon lainnya.
Limfosit T yang mempunyai TCR antigen diri (self antigen) akan
mengalami apoptosis karena ia telah terpajan secara dini pada antigen diri dan
mati insitu dengan mekanisme yang belum jelas. Karena itu, limfosit matur
yang keluar dari timus adalah limfosit yang hanya bereaksi dengan
antigen non self dan dinamakan toleran diri. Di dalam timus, limfosit T juga
mengalami pengenalan antigen diri hanya bila berasosiasi dengan molekul
MHC diri, melalui proses yang juga belum diketahui dengan jelas yang
dinamakan terbatas MHC diri. Molekul TCR III diekspresikan pada membran
sel T bersama molekul CD3, yaitu salah satu molekul petanda permukaan sel
T.
Reseptor antigen sel limfosit T (TCR)
Molekul TCR terdapat pada membran sel T berasosiasi dengan molekul
CD3, merupakan kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari
molekul ini berada ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen.
Sedangkan bagian transmembran merupakan tempat berlabuhnya TCR pada
membran sel yang berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3.
Molekul CD3 mempunyai segmen intrasitoplasmik yang agak panjang
sesuai dengan perannya untuk sinyal intraselular. Demikian pula molekul TCR
mempunyai segmen intrasitoplasmik yang akan mentransduksi sinyal ke
1
dalam sel. Bagian distal ekstraselular TCR merupakan bagian variabel yang
dapat mengenal antigen, yang membedakan satu klon sel T dari klon lainnya.
AKTIVASI SEL T
Sel limfosit T biasanya tidak bereaksi dengan antigen utuh. Sel T baru
bereaksi terhadap antigen yang sudah diproses menjadi peptida kecil yang
kemudian berikatan dengan molekul MHC di dalam fagosom sitoplasma dan
kemudian diekspresikan ke permukaan sel. Sel limfosit T hanya dapat
mengenal antigen dalam konteks molekul MHC diri. Molekul CD4 dan CD8
merupakan molekul yang menentukan terjadinya interaksi antara CD3/TCR
dengan kompleks MHC/antigen. Sel T CD4 akan mengenal antigen dalam
konteks molekul MHC kelas II, sedang sel T CD8 akan mengenal antigen
dalam konteks molekul MHC kelas I.
Untuk dapat mengaktifkan sel T dengan efektif, perlu adanya adhesi antara
sel T dengan sel APC atau sel sasaran (target). Adhesi ini, selain melalui
kompleks CD4/CD8-TCR-CD3 dengan MHC kelas II/kelas I-ag, dapat juga
ditingkatkan melalui ikatan reseptor-ligan lainnya. Reseptor-ligan tersebut
antara lain, CD28-B7, LFA-I-ICAM1/2 (molekul asosiasi fungsi limfosit 1 =
lymphocyte function associated 1, molekul adhesi interselular l = inter cellular
adhesion molecule 1), CD2-LFA3, CD5-CD72
Terjadinya ikatan antara antigen dan TCR dinamakan tahapan primer.
Aktivasi sel T juga memerlukan adanya stimulasi sitokin, seperti interleukin 1
(IL-1) yang dikeluarkan oleh sel APC yang dinamakan ko-stimulator. Sinyal
adanya ikatan TCR dengan antigen akan ditransduksi melalui bagian TCR dan
CD3 yang ada di dalam sitoplasma (lihat Gambar 10-3). Sinyal ini akan
mengaktifkan enzim dan mengakibatkan naiknya Ca++ bebas intraselular,
naiknya konsentrasi c-GMP dan terbentuknya protein yang dibutuhkan untuk
transformasi menjadi blast. Terjadilah perubahan morfologis dan biokimia.
Tahapan ini dinamakan tahapan sekunder. Kemudian terjadilah diferensiasi
menjadi sel efektor/sel regulator dan sel memori.
1
Sebagai akibat transduksi sinyal, juga terjadi ekspresi gen limfokin dan
terbentuklah berbagai macam limfokin. Melalui pembentukan limfokin, sel
regulator akan meregulasi dan mengaktifkan sel yang berperan dalam
eliminasi antigen, sedangkan sel efektor akan melisis antigen/sel sasaran atau
menimbulkan peradangan pada tempat antigen berada, agar antigen
tereliminasi. Tahapan ini dinamakan tahapan tersier. Tahapan ini dapat
dipakai untuk menilai fungsi sel T.
Fase-fase respons sel T
Respons limfosit T terhadap antigen mikroba terdiri dari beberapa fase yang
menyebabkan peningkatan jumlah sel T spesifik dan perubahan sel T naif menjadi
sel efektor. Limfosit T naif terus bersirkulasi melalui organ limfoid perifer untuk
mencari protein antigen asing. Sel T naif mempunyai reseptor antigen dan
molekul lain yang dibutuhkan dalam pengenalan antigen. Di dalam organ limfoid,
antigen diproses dan ditunjukkan dengan molekul MHC pada antigen-presenting
cell (APC), kemudian sel T bertemu dengan antigen tersebut untuk pertama
kalinya. Pada saat itu, sel T juga menerima sinyal tambahan dari mikroba itu
sendiri atau dari respons imun alamiah terhadap mikroba.
Sebagai respons terhadap stimulus tersebut, sel T akan mensekresi sitokin.
Beberapa sitokin bekerja sama dengan antigen dan sinyal kedua dari mikroba
untuk menstimulasi proliferasi sel T yang spesifik untuk antigen. Hasil dari
proliferasi ini adalah penambahan jumlah limfosit spesifik antigen dengan cepat
yang disebut clonal expansion. Fraksi dari limfosit ini menjalani proses
diferensiasi dimana sel T naif (berfungsi untuk mengenal antigen mikroba)
berubah menjadi sel T efektor (berfungsi untuk memusnahkan mikroba). Sebagian
sel T efektor tetap di dalam kelenjar getah bening dan berfungsi untuk
memusnahkan sel terinfeksi atau memberikan sinyal kepada sel B untuk
menghasilkan antibodi.
1
Sebagian sel T berkembang menjadi sel T memori yang dapat bertahan lama. Sel
ini tidak aktif dan bersirkulasi selama beberapa bulan atau tahun, serta dapat
merespons dengan cepat apabila terjadi paparan berulang dengan mikroba. Setelah
sel T efektor berhasil mengatasi infeksi, stimulus yang memicu ekspansi dan
diferensiasi sel T juga berhenti. Klon sel T yang sudah terbentuk akan mati dan
kembali ke keadaan basal. Hal ini terjadi pada sel T CD4 + dan CD8+, namun
terdapat perbedaan pada fungsi efektornya.
Peran ko-stimulasi dalam aktivasi sel T
Aktivasi penuh sel T tergantung dari pengenalan ko-stimulator di APC. Ko-
stimulator merupakan “sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Istilah “ko-stimulator”
menunjukkan bahwa molekul tersebut memberikan stimuli kepada sel T bersama-
sama dengan stimulasi oleh antigen. Contoh ko-stimulator adalah B7-1 (CD80)
dan B7-2 (CD86). Keduanya terdapat pada APC dan jumlahnya meningkat bila
APC bertemu dengan mikroba. Jadi, mikroba akan menstimulasi ekspresi B7 pada
APC. Protein B7 dikenali oleh reseptor bernama CD28 yang terdapat pada sel T.
Sinyal dari CD28 bekerja bersama dengan sinyal yang berasal dari pengikatan
TCR dan ko-reseptor kompleks peptida-MHC pada APC yang sama.
Mekanisme ini penting untuk memulai respons pada sel T naif. Apabila tidak
terjadi interaksi CD28-B7, pengikatan TCR saja tidak mampu untuk mengaktivasi
sel T sehingga sel T menjadi tidak responsif. Antigen presenting cell (APC) juga
mempunyai molekul lain yang struktur dan fungsinya serupa dengan B7-1 dan
B7-2. Molekul B7-likeini penting pada aktivasi sel T efektor.
Molekul lain yang turut berperan sebagai ko-stimulator adalah CD40 pada APC
dan ligan CD40 (CD154) pada sel T. Kedua molekul ini tidak berperan langsung
dalam aktivasi sel T. Interaksi CD40 dengan ligannya menyebabkan APC
membentuk lebih banyak ko-stimulator B7 dan sitokin seperti IL-12. Interaksi ini
secara tidak langsung akan meningkatkan aktivasi sel T.
1
Pentingnya peran ko-stimulator dalam aktivasi sel T dapat menjelaskan mengapa
antigen protein yang digunakan dalam vaksin tidak dapat menimbulkan respons
imun sel T, kecuali jika antigen tersebut diberikan bersama dengan bahan lain
untuk mengaktivasi makrofag dan APC. Bahan ini disebut adjuvant dan berfungsi
untuk merangsang pembentukan ko-stimulator pada APC, serta untuk
menstimulasi produksi sitokin dari APC. Sebagian besar adjuvant merupakan
produk mikroba atau bahan yang menyerupai mikroba. Adjuvant akan mengubah
protein antigen inert agar menyerupai mikroba patogen.
Aktivasi sel T CD8+ distimulasi oleh pengenalan peptida yang berhubungan
dengan MHC kelas I, serta membutuhkan kostimulasi dan/atau sel T helper.
Perkembangan sel T sitotoksik CD8+ pada infeksi virus membutuhkan sel T helper
CD4+. Pada infeksi virus, sel yang terinfeksi dicerna oleh APC khususnya sel
dendrit, kemudian antigen virus akan dipresentasikan silang (cross-presented)
oleh APC. Antigen presenting cell (APC) akan mempresentasikan antigen dari
sitosol sebagai kompleks dengan MHC kelas I, dan antigen dari vesikel sebagai
kompleks dengan MHC kelas II.
Oleh sebab itu, sel CD4+ dan sel CD8+yang spesifik untuk antigen virus tersebut
akan bekerja secara berdekatan. Sel TCD4+memproduksi sitokin atau molekul
membran untuk mengaktivasi sel TCD8+, sehingga ekspansi klonal dan
diferensiasi sel TCD8+ menjadi sel T sitotoksik (TC) efektor dan memori
tergantung dari bantuan sel TCD4+. Hal ini dapat menjelaskan terjadinya defek
respons sel TC terhadap virus pada pasien human immunodeficiency virus (HIV).
Selain respons yang telah dijelaskan di atas, terdapat pula respons sel TC terhadap
beberapa virus yang tidak bergantung kepada bantuan sel T CD4+.
1
FUNGSI IMUNITAS SELULAR
Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi
nonspesifik dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan
bakterisid, serta sel fagosit lainnya; selain itu juga mengadakan proses sitolitik
atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang mengandung antigen.
Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk
memproduksi antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T baik
sel Th/penginduksi maupun sel Tc/sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk
meregulasi respons imun dengan mengadakan regulasi negatif dan regulasi
positif terhadap respons imun.
RESPONS IMUN SELULAR DALAM KLINIK
Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat berupa hipersensitivitas
kulit tipe lambat, imunitas selular pada penyakit infeksi mikroorganisme
intraselular (bakteri, virus, jamur) serta penyakit parasit dan protozoa, imunitas
selular pada penyakit autoimun, reaksi graft versus host, penolakan jaringan
transplantasi, dan penolakan sel tumor.
Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV) Dalam klinik reaksi
tipe IV dapat kita lihat berupa reaksi pada kulit bila seseorang yang pernah
kontak dengan antigen tertentu (seperti bakteri mikobakterium, virus, fungus,
obat atau antigen lainnya) kemudian dipaparkan kembali dengan antigen
tersebut pada kulitnya. Terlihat reaksi berupa eritema, indurasi pada kulit atau
peradangan pada tempat antigen berada setelah satu sampai beberapa hari
kemudian. Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas infiltrasi sel
mononuklear yaitu makrofag, monosit dan limfosit di sekitar pembuluh darah
dan saraf. Reaksi tipe IV ini umumnya dapat terlihat pada respons imun
infeksi mikroorganisme intraselular, juga pada reaksi penolakan jaringan yang
memperlihatkan peradangan pada tempat transplantasi, dan pada reaksi
penolakan tumor.
1
Imunitas selular pada infeksi bakteri Imunitas selular pada infeksi
bakteri misalnya terlihat berupa pembentukan kavitas dan granuloma pada
infeksi denganMycobacterium tuberculosis, demikian pula lesi granulomatosa
pada kulit penderita lepra. Limfokin yang dilepaskan sel Td mengakibatkan
terjadinya granuloma dan sel yang mengandung antigen akan mengalami lisis
oleh sel Tc dan sel killer lainnya.
Reseptor antigen sel limfosit T (TCR) Molekul TCR terdapat pada
membran sel T berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan kompleks
glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini berada
ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian
transmembran merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang
berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3.
Imunitas selular pada infeksi virus Imunitas selular pada infeksi virus
sangat berperan pada penyembuhan yaitu untuk melisis sel yang sudah
terinfeksi. Ruam kulit pada penyakit campak, lesi kulit pada penyakit cacar
dan herpes simpleks juga merupakan reaksi tipe IV dan lisis oleh sel Tc.
Imunitas selular pada infeksi jamur Peradangan pada infeksi jamur
seperti kandidiasis, dermatomikosis, koksidiomikosis dan histoplasmosis
merupakan reaksi imunitas selular. Sel TC berusaha untuk melisis sel yang
telah terinfeksi jamur dan limfokin merekrut sel-sel radang ke tempat jamur
berada.
Imunitas selular pada penyakit parasit dan protozoa Peradangan yang
terlihat pada penyakit parasit dan protozoa juga merupakan imunitas selular.
Demikian pula pembentukan granuloma dengan dinding yang menghambat
parasit dari sel host sehingga penyebaran tidak terjadi.
Imunitas selular pada penyakit autoimun Meskipun dalam ontogeni sel
T autoreaktif dihancurkan dalam timus, dalam keadaan normal diperkirakan
bahwa sel T autoreaktif ini masih tetap ada, tetapi dalam jumlah kecil dan
dapat dikendalikan oleh mekanisme homeostatik. Jika mekanisme homeostatik
ini terganggu dapat terjadi penyakit autoimun.
1
Kunci sistem pengendalian homeostatik ini adalah pengontrolan sel T
penginduksi/Th. Sel T penginduksi/Th dapat menjadi tidak responsif terhadap
sel T supresor, sehingga merangsang sel T autoreaktif yang masih bertahan
hidup atau sel Tc kurang sempurna bekerja dalam penghapusan klon antara
lain karena gagalnya autoantigen dipresentasikan ke sel T. Jika ada gangguan
sel T supresor atau gagal menghilangkan sel T autoreaktif atau gagal
mempresentasikan autoantigen pada masa perkembangan, maka dapat terjadi
penyakit autoimun.
Imunitas selular pada reaksi graft versus host Pada reaksi graft versus
host, kerusakan yang terlihat disebabkan oleh sel imunokompeten donor
terhadap jaringan resipien. Reaksi tersebut berupa kelainan pada kulit seperti
makulopapular, eritroderma, bula dan deskuamasi, serta kelainan pada hati
dan traktus gastrointestinal. Kelainan yang timbul juga disebabkan oleh
imunitas selular.
Imunitas selular pada penolakan jaringan Pada transplantasi jaringan
dapat terlihat bahwa jaringan yang tadinya mulai tumbuh, setelah beberapa
hari berhenti tumbuh. Ini disebabkan oleh reaksi imunitas selular yang timbul
karena adanya antigen asing jaringan transplantasi. Organ transplantasi
menjadi hilang fungsinya. Secara histologis terlihat adanya infiltrasi intensif
sel limfoid, sel polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat dilihat
terjadinya iskemia dan nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T
resipien mengenal antigen kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen
diri. Pengenalan ini sama seperti pengenalan antigen asing di antara celah
domain molekul MHC. Terjadi lisis alograft oleh sel TC resipien. Demikian
pula limfokin yang dilepaskan sel T akan merusak alograft dengan merekrut
sel radang.
1
Imunitas selular pada penolakan tumor Imunitas selular pada
penolakan tumor sama dengan imunitas selular pada penolakan jaringan
transplantasi. Tentu saja imunitas selular ini bukanlah satu-satunya cara untuk
menghambat pertumbuhan sel tumor, imunitas humoral juga dapat berperan.
Adanya ekspresi antigen tumor akan mengaktifkan sel Tc host demikian pula
interferon yang dilepaskan sel T juga akan mengaktifkan sel NK (natural
killer) untuk melisis sel tumor. Limfokin akan merekrut sel radang ke tempat
tumor berada dan menghambat proliferasi tumor serta melisis sel-sel tumor.
AWAL MULA SYSTEM IMUN PADA MANUSIA:
System imun pada tubuh manusia sudah siap sejak pertama kali manusia
dilahirkan. System imun tersebut sudah memproteksi manusia dari zat asing
(allergen), dan berbagai macam infeksi. Akan tetapi system imun yang sudah siap
sejak kita dilahirkan hanyalah system imun bawaan atau system imun non
spesifik.
System imun non spesifik meliputi :
Fisik
Kulit
Selaput lender
Silia
Batuk
Bersin
Seluler
Fagosit (mononuclear dan polimorfonuklear)
Sel NK
Sel mast
Sel basophil
1
Larutan
Biokimia (Lisozim / keringat, kelenjar sebaseus, asam lambung, laktoferin,
asam neuraminik)
Humoral ( komplemen, interferon, CRP)
Sedangkan system imun tubuh spesifik harus melalui proses adaptasi untuk
membuat suatu mekanisme pertahanan terhadap zat asing dan infektan.
RESPON IMUN TERHADAP INFLAMASI
Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan
alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat
jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Tidak
spesifik hanya untuk infeksi mikroba, tetapi respons yg sama juga terjadi pada
perlukaan akibat suhu dingin, panas, atau trauma Pemeran utama: fagosit, a.l:
neutrofil, monosit, dan makrofag
Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin,
bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel
yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk
melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
Peradangan adalah sinyal-dimediasi menanggapi penghinaan seluler oleh
agen infeksi, racun, dan tekanan fisik. Sementara peradangan akut adalah penting
bagi respon kekebalan tubuh, peradangan kronis yang tidak tepat dapat
menyebabkan kerusakan jaringan ( autoimunitas, neurodegenerative, penyakit
kardiovaskular).
Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi:
memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi
untuk meningkatkan performa makrofaga
menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi
mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.
1
Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll,
yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi:
pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di
daerah infeksi. Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan
dan penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil.
aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh
darah.
kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan
memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke
dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi.
Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai
berikut :
Rubor (kemerahan) terjadi karena banyak darah mengalir ke dalam
mikrosomal lokal pada tempat peradangan.
Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada
tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal.
Dolor (Nyeri) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan
peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin
dan zat kimia bioaktif lainnya.
Tumor (pembengkakan) pengeluaran cairan-cairan ke jaringan interstisial.
Functio laesa (perubahan fungsi) adalah terganggunya fungsi organ tubuh
Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu:
Perubahan vaskular
Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang
mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan
aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah
karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran
darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah.
Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas.
1
Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah
dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya
sehingga memungkinkan sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh.
Sel darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi
serangan benda-benda asing.
Pembentukan cairan inflamasi
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel
darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan
inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan
menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga
menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).
Penyebab inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), Kimiawi
(histamin menyebabkan alerti, asam lambung berlebih bisa menyebabkan
iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi Penyakit.
Tahapan 3 fase inflamasi
Perubahan dalam sel-sel dan sistem sirkulasi, ada cedera pada bagian
tubuh terjadi penyempitan pembuluh darah untuk mengendalikan
perdarahan, sehingga terlepaslah histamin yang gunanya untuk
meningkatkan aliran darah ke daerah yang cedera. Pada saat yang sama
dikelurkan kinin untuk meningkatkan permeabilitas kapiler yang akan
memudahkan masuknya protein, cairan, dan leukosit untuk suplai daerah
yang cedera. Setelah cukup aliran darah setempat menurun untuk menjaga
leukosit agar tetap di daerah yang cedera.
pelepasan eksudat, terjadi setelah leukosit memakan bakteri2 yang ada di
daerah cedera, kemudian eksudat dikeluarkan.
regenerasi, yaitu fase pemulihan perbaikan jaringan atau pembentukan
jaringan baru.
1
Respon Inflamasi
Respon inflamasi distimulasi oleh trauma atau infeksi, pusat pada
inflamasi adalah menghambat inflamasi dan meningkatkan penyembuhan. Selama
tahap awal dari infeksi virus, sitokin diproduksi ketika pertahanan kekebalan
bawaan diaktifkan. Pelepasan sitokin yang cepat di tempat infeksi memulai
tanggapan baru dengan konsekuensi yang luas yang meliputi peradangan.
Salah satu yang paling awal sitokin yang dihasilkan tumor necrosis factor
alpha (TNF-α), yang disintesis oleh monosit dan makrofag teraktivasi. Sitokin ini
mengubah kapiler di dekatnya sehingga sirkulasi sel darah putih dapat dengan
mudah dibawa ke tempat infeksi. TNF-α juga dapat mengikat reseptor pada sel
yang terinfeksi dan merangsang respon antivirus. Dalam hitungan detik,
serangkaian sinyal mulai ada yang menyebabkan kematian sel, sebuah usaha
untuk mencegah penyebaran infeksi.
Ada empat tanda-tanda khas peradangan: eritema (kemerahan), panas,
bengkak, dan nyeri. Ini adalah konsekuensi dari meningkatnya aliran darah dan
permeabilitas kapiler, masuknya sel-sel fagositik, dan kerusakan jaringan.
Peningkatan aliran darah ini disebabkan oleh penyempitan kapiler yang membawa
darah dari daerah yang terinfeksi, dan menyebabkan pembengkakan dari jaringan
kapiler. Eritema dan peningkatan suhu jaringan menemani penyempitan kapiler.
Selain itu, permeabilitas kapiler meningkat, sel-sel dan cairan yang
memungkinkan untuk pergi dan memasuki jaringan di sekitarnya. Cairan ini
memiliki kandungan protein lebih tinggi dari cairan biasanya ditemukan dalam
jaringan, menyebabkan pembengkakan.
Fitur lain dari peradangan adalah adanya sel-sel kekebalan tubuh, fagosit
mononuklear sebagian besar, yang tertarik pada daerah yang terinfeksi oleh
sitokin. Neutrofil adalah salah satu jenis yang paling awal dari sel-sel fagositik
yang masuk ke situs infeksi, dan tanda klasik dari respon inflamasi (ilustrasi). Sel-
sel ini berlimpah dalam darah, dan biasanya absen dari jaringan. Bersama dengan
sel yang terinfeksi, sel dendritik, dan makrofag, mereka menghasilkan sitokin
yang dapat lebih membentuk respon terhadap infeksi, dan juga memodulasi
respon adaptif yang dapat mengikuti.
1
Sifat yang tepat dari respon inflamasi tergantung pada virus dan jaringan
yang terinfeksi. Virus yang tidak membunuh sel – virus noncytopathic - tidak
menyebabkan respon inflamasi yang kuat. Karena sel-sel dan protein dari respon
inflamasi berasal dari aliran darah, jaringan dengan akses pada darah tidak
mengalami kehancuran yang terkait dengan peradangan. Namun, hasil dari
infeksi sedemikian ’istimewa’ situs – otak, misalnya - mungkin sangat berbeda
dibandingkan dengan jaringan lain.
Salah satu komponen penting adalah ’inflammasome’ – struktur
sitoplasma yang sangat besar dengan sifat reseptor pola dan pemrakarsa sinyal
(misalnya MDA-5 dan RIG-I ). Temuan eksperimental terakhir menunjukkan
bahwa inflammasome sangat penting dalam respon imun bawaan terhadap infeksi
virus influenza, dan moderator paru patologi pada pneumonia influenza.
Urutan kejadian inflamasi adalah:
Stimulasi oleh trauma atau patogen → reaksi fase akut
sitokin dilatasi vaskular diinduksi aferen (vasodilatasi menyebabkan
peningkatan aliran darah (kemerahan, panas lokal) untuk terinfeksi / rusak
daerah
aktivasi sistem komplemen , sistem pembekuan darah , sistem fibrinolitik ,
dan sistem kinin
1
leukocyte adhesion cascade celah endotel meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan memungkinkan ekstravasasi protein serum (eksudat)
dan leukosit (→ neutrofil → makrofag → limfosit ) dengan jaringan yang
dihasilkan pembengkakan
fagositosis dari bahan asing dengan pembentukan nanah
Respon inflamasi adalah bagian dari respon imun bawaan , dan
mempekerjakan agen seluler dan plasma yang diturunkan ( jalur ):
complement system
interferon (IFN)
cytokines , lymphokines , monokines
sitokin , limfokin , monokines
prostaglandins and leukotrienes – arachidonic acid derivatives
prostaglandin dan leukotrien
platelet activating factor atau faktor pengaktif trombosit (PAF)
histamin
kinins ( bradikinin → nyeri )
Nyeri membangkitkan mediator proinflamasi termasuk sitokin , kemokin ,
proton, faktor pertumbuhan saraf , dan prostaglandin , yang diproduksi dengan
menyerang leukosit atau sel lokal.
Ketika jaringan hancur atau diserang oleh leukosit dalam peradangan,
banyak mediator yang disampaikan oleh sirkulasi dan / atau dibebaskan dari
penduduk dan berimigrasi sel pada situs. Mediator Proalgesic termasuk sitokin
pro inflamasi, kemokin, proton, faktor pertumbuhan saraf, dan prostaglandin,
yang diproduksi dengan menyerang leukosit atau sel penduduk. Mediator
analgesik, yang melawan rasa sakit, juga diproduksi di jaringan meradang. Ini
termasuk anti-inflamasi sitokin dan peptida opioid.
Interaksi antara leukosit yang diturunkan dari peptida opioid dan reseptor
opioid dapat menyebabkan ampuh, penghambatan klinis yang relevan dari nyeri
(analgesik). Reseptor opioid yang hadir pada ujung perifer dari neuron sensorik.
Peptida opioid disintesis dalam sirkulasi leukosit, yang bermigrasi ke jaringan
meradang disutradarai oleh kemokin dan molekul adhesi. Dalam kondisi stres atau
1
dalam menanggapi melepaskan agen (misalnya kortikotropin-releasing factor,
sitokin, noradrenalin), leukosit dapat mengeluarkan opioid. Mereka mengaktifkan
reseptor opioid perifer dan menghasilkan analgesia dengan menghambat
rangsangan saraf sensorik dan / atau pelepasan neuropeptida rangsang. Konsep
generasi nyeri dengan mediator dikeluarkan dari leukosit dan analgesia oleh
kekebalan tubuh yang diturunkan opioid.
Pada skenario dijelaskan bahwa luka di telapak kaki kanan karena terkena
pecahan kaca menimbulkan nyeri, panas dan kemerahan bahkan disertai nanah.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya kerja dari sistem imun terhadap adanya
mikroorganisme yang masuk ketubuh melalui kulit yang terluka.
Tahap pertama pertahanan tubuh terhadap mikroba diperaankan oleh
mekanisme barrier pada permukaan tubuh, misalnya kulit dan permukaan epitel
yang mempunyai akses dengan dunia luar. Pada umumnya respon imun pada
bagian tubuh ini merupakan mekanisme respon imun bawaan atau non-spesifik.
1
Respon non-spesifik alamiah selain mencakup barrier pada permukaan
tubuh, juga mencakup sekresi substansi-substansi tertentu, misalnya asam lemak
yang diproduksi oleh kulit yang biasanya toksik untuk sebagian besar mikroba,
lisozim dan saliva air mata dan secret hidung, IgA, aktivitas fagosit dan
komplemen serta aktivitas flora normal yang merupakan sistem pertahanan
eksternal. Flora normal dapat memproduksi asam laktat dan protein antimikroba
yang disebut colisin. Mekanisme barrier dn sistem pertahanan tubuh eksternal
terbukti sangat efektif. Kulit dan permukaan epitek atau mukosa merupakan
sistem proteksi yang sangat potensial yang menghambat masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh.
Pada hakekatnya hanya sebagian mikroorganisme patogen disekitar kita
mempunyai akses ke jaringan, kecuali bila terjadi gangguan pada fungsi barrier.
Di lain pihak beberapa jenis mikroorganisme patogen mengekspresikan atau
menghasilkan substansi tertentu pada permukaannya yang menyebabkan
mikroorganisme tersebut dapat melekat pada permukaan epitel atau mukosa
kemudian merusaknya. Melekatnya mikroorganisme pada epitel tidak selalu
diikuti oleh pnetrasi, walaupun berbagai upaya dilakukan oleh mikroorganisme
untuk melawan barrier tersebut, misalnya dengan mengeluarkan protease yang
merusak IgA dll.
Namun ketika kulit terluka, mikroorganisme sangat mudah masuk ke
dalam tubuh. Kemudian mikroorganisme berusaha untuk masuk menembus
pertahanan tubuh. Respon jaringan sekitar agen serta sel nekrotik di daerah
radang akan menghasilkan mediator inflamasi seperti histamine(berperan dalam
pelebaran pembuluh darah) dll. Mediator Inflamasi menginduksi vascula, aliran
darah, dan mengaktifkan leukosit. Terjadinya vaso dilatasi arterioli maupun
kapiler disekitar daerah radang menyebabkan peningkatan aliran darah
(kemerahan, panas lokal)dan leukosit mengalir ditepi lumen vasculer. Endothel
kapiler meregang, timbul rongga, permiabilitas meningkat, plasma darah keluar
terakumulasi di jaringan perivasculer.
1
Endothel menjadi lengket, leukosit menggelinding ( Rolling ) kemudian
melekat ( adhesi ) pada permukaan endothel. Leukosit masuk ruang antar endothel
(diapedesis) dan keluar dari vasculer (ekstravasasi). Leukosit akan bergerak
(migrasi) menuju agen causatif inflamasi . Leucosit memfagosit baik agen asing,
sel inang terinfeksi, maupun jaringan inang yang nekrotik .
Proses fagositosis oleh makrofag dan neutrofil terjadi pada sel leucosit
dengan membentuk fagolisosum dan mendegradasi agen secara enzymatic.
Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-
sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri,
sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk
nanah, yang mengisi rongga tersebut.
ORGAN DAN JARINGANNYA
Sistem imun mencakup struktur tunggal (misalnya kelenjar getah bening, limpa)
dan sel-sel bebas, seperti limfosit, granulosit dan sel-sel dari system fagosit
mononuclear yang terdapat dalam darah, limfe dan jaringan ikat. Unsur penting
lainnya dari system imun adalah sel-sel penyaji antigen, yang tidak hanya
ditemukkan di jaringan limfoid, namun juga ditemukkan di organ laiun, seperti
kulit (yang terpapar luas terhadap antigen asing). Sel-sel dari system imun saling
berkomunikasi dan berkomunikasi juga dengan sel-sel system lain terutama
melalui protein penanda yang dikenal sebagai sitokin.
ORGAN LIMFOID
Struktur anatomis utama yang berpartisipasi dalam respon imun adalah organ
limfoid: timus, limpa dan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening merupakan
kumpulan jaringan limfoid yang terutama terdiri atas agregat nodular dalam
mukosaa system pencernaan (tonsil,plak peyer dan apendiks), system pernapasan,
system reproduksi dan system urinaria yang membentuk MALT (mucosa-
associated lymphoid tissue). Distribusi struktur yang luas dan sirkulasi sel limfoid
1
yang konstan didalam darah, limfe dan jaringan ikat membuat tubuh memiliki
system pertahanan dan perlindungan yang efisien dan rumit, yang dihasilkan sel-
sel imunokompeten.
Semua limfosit berasal dari sumsum tulang; akan tetapi, limfosit T mengalami
pematangan lebih lanjut dalam timus, sedangkan limfosit B meninggalkan
sumsum tulang sebagai sel matang. Oleh sebab itu, sumsum tulang dan timus
disebut organ limfoid primer atau sentral. Limfosit bermigrasi dari organ-organ
ini ke dalam darah dan organ limfoid primer (limpa, kelenjar getah bening, nodul
soliter, tonsil, apendiks dan plak peyer di ileum) tempat limfosit berpoliferasi dan
menuntaskan diferensiasinya.
KELENJAR GETAH BENING
Kelenjar getah bening adalah organ berbentuk lonjong dan bersimpai yang terdiri
atas jaringan limfoid yang tersebar diseluruh tubuh sepanjang pembuluh limfe.
Kelenjar getah bening ini ditemukkan di ketiak, lipat paha, sepanjang pembuluh
besar di leher dan banyak dijumpai di toraks dan abdomen khususnya dalam
mesentrium. Kelenjar getah bening membentuk sederetan saringan yang penting
untuk pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme dan penyebaran sel-sel tumor.
Semua limfe yang berasal dari cairan jaringan, disaring oleh sekurang-kurangnya
satu kelenjar getah bening sebelum masuk ke sirkulasi.
Kelenjar getah bening mempunyai sisi konveks dan lekukan konkaf, yakni hilus.
Tempat masuknya arteri dan saraf serta kelurnya vena dan pembuluh limfe dari
organ. Suatu simpai jaringna ikat mengelilingi kelenjar getah bening, dan
menjulurkan trabekula ke bagian dalam organ. Setiap kelenjar getah bening
memiliki sebuah korteks luar, korteks dalam dan medulla.
1
THYMUS
Thymus adalah organ limfoepitelial yang terletak di mediastinum, organ ini
mencapai perkembangan puncaknya semasa usia muda. Jika organ limfoid
nontimus hanya berasal dari mesenkim (mesoderm) maka timus memiliki asal
embriologik ganda. Limfositnya berasal dari sel-sel mesenkim yang memasuki
primordium epitel yang telah berkembang dari lapisan mesoderm kantong
faringeal ketiga dan keempat.
timus mencapai perkembangan maksimum, sehubungan dengan berat badannya,
segera setelah lahir; organ ini mengalami involusi setelah pubertas sel dari
sumsum tulang menambah populasinya secara berlanjut. Sel induk yang akan
menjadi sel T berasal dari sumsum janin dan bermigrasi ke timus selama masa
kehidupan janin dan dewasa. Setelah memasuki timus, sel T atau timosit yang
berkembang, mula-mula mendiami korteks.
Timus adalah tempat perkembangan akhir dan seleksi limfosit T. selama proses
ini berlangsung, limfosit timus mengalami mitosis berulang kali. Akan tetapi,
lebih dari 95% limfosit tersebut akan dihilangkan melalui apoptosis. Limfosit
yang disingkirkan adalah limfosit yang tidak bereaksi terhadap antigen dan
karenanya tidak berguna, dan limfosit yang bereaksi terhadap antigen sendiri. Bila
limfosit yang bereaksi terhadap antigen sendiri tidak disingkirkan, maka penyakit
autoimun akan timbul.
LIMPA
Limpa adalah organ limfoid terbesar di tubuh. Karena banyaknya sel fagositik dan
kontak sel-sel ini yang erat dengan darah , limpa menjadi pertahanan penting
terhadap mikroorganisme yang berhasil memasuki peredaran darah. Limpa juga
merupakan tempat produksi bagi limfosit aktif yang masuk ke dalam darah.
Limpa segera bereaksi terhadap antigen yang terbawa darah dan menjadi suatu
saringan imunologis darah yang penting serta organ pembentuk antibody.
1
SUMSUM TULANG
Sumsum tulang adalah asal dari semua sel darah. Sumsum tulang juga merupakan
tempat proses pematangan untuk limfosit B yang berguna untuk mempersiapkan
melaksanakan reaksi imun yang spesifik.
KOMPONEN SISTEM IMUNOLOGI
DAN PERBEDAAN PADA ORANG DEWASA DENGAN ANAK-ANAK
LEUKOSIT (SEL DARAH PUTIH)
Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik
yang berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai
bagian dari sistem kekebalan tubuh.
Nilai normal :
Bayi baru lahir 9000 -30.000 /mm3
Bayi/anak 9000 - 12.000/mm3
Dewasa 4000-10.000/mm3
Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya
proses infeksi atau radang akut,misalnya pneumonia (radang paru-paru),
meningitis (radang selaput otak), apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis,
tonsilitis, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan oleh obat-obatan
misalnya aspirin, prokainamid, alopurinol, antibiotika terutama ampicilin,
eritromycin, kanamycin, streptomycin, dan Iain-Iain. Penurunan jumlah Leukosit
(disebut Leukopeni) dapat terjadi pada infeksi tertentu terutama virus, malaria,
alkoholik, dan Iain-Iain.
1
Selain itu juga dapat disebabkan obat-obatan, terutama asetaminofen
(parasetamol), kemoterapi kanker, antidiabetika oral, antibiotika (penicillin,
cephalosporin, kloramfenikol), sulfonamide (obat anti infeksi terutama yang
disebabkan oleh bakteri).
Hitung Jenis Leukosit (Diferential Count)
Nilai normal hitung jenis
Basofil 0-1% (absolut 20-100 sel/mm3)
Eosinofil 1-3% (absolut 50-300 sel/mm3)
Netrofil batang 3-5% (absolut 150-500 sel/mm3)
Netrofil segmen 50-70% (absolut 2500-7000 sel/mm3)
Limfosit 25-35% (absolut 1750-3500 sel/mm3)
Monosit 4-6% (absolut 200-600 sel/mm3)
Penilaian hitung jenis tunggal jarang memberi nilai diagnostik, kecuali untuk
penyakit alergi di mana eosinofil sering ditemukan meningkat.
Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatif dibanding
limfosit dan monosit dikenal juga dengan sebutan shift to the left. Infeksi yang
disertai shift to the left biasanya merupakan infeksi bakteri dan malaria.
Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the left antara lain asma
dan penyakit-penyakit alergi lainnya, luka bakar, anemia perniciosa,
keracunan merkuri (raksa), dan polisitemia vera.
Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif dibanding netrofil
disebut shift to the right. Infeksi yang disertai shift to the right biasanya
merupakan infeksi virus. Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to
the right antara lain keracunan timbal, fenitoin, dan aspirin.
1
Fungsi sel pada sistem imun terhadap Leukosit terdiri dari :
1. Basophils dan Mast Cell
Merembeskan kimia semasa berlaku inflamasi dan alergik
2. Neutrofil
Sel fagositik yang dapat memakan dan menghancurkan bahan- bahan yang
tidak perlu
3. Eosinofil
Mengeluarkan zat zat kimiawi yang menghancurkan cacing parasite dan
berperan dalam manifestasi alergi
1
4. Monocytes dan Macrophages
Memusnahkan benda asing kemudian berubah menjadi makrofag Semua
leukosit berasal dari sumsum tulang kecuali limfosit
Limfosit : dari jaringan limfoid
Jaringan Limfoid mencakup : Kel. Limfe, limpa, timus, tonsil, adenoid, apendiks,
bercak
peyer (GALT)
5. Lymphocytes dan plasma
Tindakan spesifik pada penyerang termasuk pengeluaran antibodi
a. Limfosit B
Berubah menjadi sel plasma yang mengeluarkan antibody yang secara tidak
langsung menyebabkan destruksi zat asing.
b. Limfosit T
Berperan dalam imunitas selular dengan destruksi langsung melalui cara
nonfagosit
6. Dendritic cells
Mengenal patogen yang hadir dan mengaktifkan selimun lain
apabila kehadiran antigen
ERITROSIT
Sel darah merah atau eritrosit berasal dari Bahasa Yunani yaitu erythros
berarti merah dan kytos yang berarti selubung. Eritrosit adalah jenis sel darah
yang paling banyak dan berfungsi membawa oksigen ke jaringan tubuh. Sel darah
merah aktif selama 120 hari sebelum akhirnya dihancurkan. Pada orang yang
tinggal di dataran tinggi yang memiliki kadar oksigen rendah maka cenderung
memiliki sel darah merah lebih banyak.
1
Nilai normal eritrosit :
Pria 4,6 - 6,2 jt/mm3
Wanita 4,2 - 5,4 jt/mm3
Hitung eritrosit
Nilai normal dewasa wanita 4.0-5.5 juta sel/mm3, pria 4.5-6.2 juta sel/mm3.
Nilai normal bayi 3.8-6.1 juta sel/mm3, anak 3.6-4.8 juta sel/mm3.
Peningkatan jumlah eritrosit ditemukan pada dehidrasi berat, diare, luka
bakar, perdarahan berat, setelah beraktivitas berat, polisitemia, anemia
sickle cell.
Penurunan jumlah eritrosit ditemukan pada berbagai jenis anemia,
kehamilan, penurunan fungsi sumsum tulang, malaria, mieloma multipel,
lupus, konsumsi obat (kloramfenikol, parasetamol, metildopa, tetrasiklin,
INH, asam mefenamat)
Masa Perdarahan
Pemeriksaan masa perdarahan ini ditujukan pada kadar trombosit, dilakukan
dengan adanya indikasi (tanda-tanda) riwayat mudahnya perdarahan dalam
keiuarga.
Nilai normal :
dengan Metode Ivy 3-7 menit
dengan Metode Duke1-3 menit
1
Waktu perdarahan memanjang terjadi pada penderita trombositopeni
(rendahnya kadar trombosit hingga 50.000 mg/dl), ketidaknormalan fungsi
trombosit, ketidaknormalan pembuluh darah, penyakit hati tingkat berat, anemia
aplastik, kekurangan faktor pembekuan darah, dan leukemia. Selain itu
perpanjangan waktu perdarahan juga dapat disebabkan oleh obat misalnya salisilat
(obat kulit untuk anti jamur), obat antikoagulan warfarin (anti penggumpalan
darah), dextran, dan Iain-Iain.
Masa Pembekuan
Merupakan pemeriksaan untuk melihat berapa lama diperlukan waktu untuk
proses pembekuan darah. Hal ini untuk memonitor penggunaan antikoagulan oral
(obat-obatan anti pembekuan darah). Jika masa pembekuan >2,5 kali nilai normal,
maka potensial terjadi perdarahan. Normalnya darah membeku dalam 4 - 8 menit
(Metode Lee White).
Penurunan masa pembekuan terjadi pada penyakit infark miokard (serangan
jantung), emboli pulmonal (penyakit paru-paru), penggunaan pil KB, vitamin K,
digitalis (obat jantung), diuretik (obat yang berfungsi mengeluarkan air, misal jika
ada pembengkakan). Perpanjangan masa pembekuan terjadi pada penderita
penyakit hati, kekurangan faktor pembekuan darah, leukemia, gagal jantung
kongestif.
TROMBOSIT (PLATELET)
Trombosit adalah fragmen atau kepingan-kepingan tidak berinti dari
sitoplasma megakariosit yang berukuran 1-4 mikron dan beredar dalam sirkulasi
darah selama 10 hari.
Nilai normal dewasa 150.000-400.000 sel/mm3, anak 150.000-450.000 sel/mm3.
Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat ditemukan pada demam
berdarah dengue, anemia, luka bakar, malaria, dan sepsis. Nilai ambang
bahaya pada
1
Peningkatan trombosit (trombositosis) dapat ditemukan pada penyakit
keganasan, sirosis, polisitemia, ibu hamil, habis berolahraga, penyakit
imunologis, pemakaian kontrasepsi oral, dan penyakit jantung. Biasanya
trombositosis tidak berbahaya, kecuali jika >1.000.000 sel/mm3.
Dikatakan trombositopenia ringan apabila jumlah trombosit antara 100.000 –
150.000 per mmk darah. Apabila jumlah trombosit kurang dari 60.000 per mmk
darah maka akan cenderung terjadi perdarahan. Jika jumlah trombosit di atas
40.000 per mmk darah biasanya tidak terjadi perdarahan spontan, tetapi dapat
terjadi perdarahan setelah trauma. Jika terjadi perdarahan spontan kemungkinan
fungsi trombosit terganggu atau ada gangguan pembekuan darah. Bila jumlah
trombosit kurang dari 40.000 per mmk darah, biasanya terjadi perdarahan spontan
dan bila jumlahnya kurang dari 10.000 per mmk darah perdarahan akan lebih
berat. Dilihat dari segi klinik, penurunan jumlah trombosit lebih memerlukan
perhatian daripada kenaikannya (trombositosis) karena adanya resiko perdarahan.
Jika didapatkan jumlah trombosit dalam darah di atas nilai 450.000 per mm3
maka kondisi tersebut disebut dengan trombositosis. Secara umum terjadinya
trombositosis ini disebabkan oleh adanya gangguan dari proses pembentukan di
dalam sumsum tulang atau sering disebut dengan gangguan mieloproliferatif
(kondisi ini sering disebut juga sebagai esensial trombositosis), sedangkan yang
kedua adalah trombositosis yang disebabkan oleh proses reaksi terhadap kondisi
tertentu (misalnya: peradangan, infeksi, neoplasma atau kanker, akibat
penggunaan obat seperti: vincristine, hormon pertumbuhan, asam retinoid, dsb.).
Dalam sistem imun, trombosit tidak boleh dilupakan. Trombosit yang
sebenarnya bukan sel melainkan pecahan2 sitoplasma leukosit ini sangat
memegang peranan dalam mengatasi infeksi dengan melancarkan aliran darah dan
permeabilitas kapiler. Trombosit penting untuk pembekuan darah.
1
CRP
C-reactive protein (CRP) adalah protein yang dihasilkan oleh hati pada proses
kerusakan jaringan dan peradangan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein
fase akut. C-reactive protein(CRP) merupakan salah satu protein fase akut.
Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya
yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan
mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen. Kadarnya
akan meningkat di dalam darah 6 – 10 jam setelah peradangan akut atau
kerusakan jaringan dan mencapai puncak 24 – 72 jam. Peningkatan kadar CRP
dapat terjadi pada arthritis rheumatoid, infeksi akut, infark jantung, dan
keganasan. Kadar CRP akan menjadi normal 3 hari setelah kerusakan jaringan
membaik. Makin tinggi kadar CRP, maka makin luas proses peradangan atau
kerusakan jaringan. Pemeriksaan CRP lebih dini menunjukkan hasil yang
abnormal dibanding dengan pemeriksaan laju endap darah.
Orang yang sehat biasanya memiliki kadar CRP di bawah 5 mg/l, sedangkan
adanya proses inflamasi ditunjukkan dengan kadar CRP sebesar 20-500 mg/l.
Peranan fundamental yang dimiliki CRP adalah dalam inflamasi, yaitu sebuah
proses yang sangat penting untuk penyembuhan luka, untuk menghilangkan
bakteri dan virus, dan untuk berbagai proses kunci yang penting bagi
kelangsungan hidup.
Table 20.1 Nilai normal immunoglobulin serum
Usia IgG (g/I) IgA (g/I) IgM (g/I)
Waktu lahir 5.2 – 18.0 < 0.02 0.02 – 0.2
0-2 minggu 5.0 – 17.0 0.01 – 0.08 0.05 – 0.2
2-6 minggu 3.9 – 13.0 0.02 – 0.15 0.08 – 0.4
6-12 minggu 2.1 – 7.7 0.05 – 0.4 0.15 – 0.7
3-6 bulan 2.4 – 6.8 0.1 – 0.5 0.2 – 1.0
6-9 bulan 3.0 – 10.9 0.15 – 0.7 0.4 – 1.6
9-12 bulan 3.0 – 10.9 0.2 – 0.7 0.6 – 2.1
1
1-2 tahun 3.1 – 13. 0.3 – 1.2 0.5 – 2.2
2-3 tahun 83.7 – 15.8 0.3 – 1.3 0.5 – 2.2
3-6 tahun 4.9 – 16.1 0.4 – 2.0 0.5 – 2.0
6-12 Ahun 5.4 – 16.1 0.5 – 2.5 0.5 – 1.8
≥ 12 tahun 7.0 – 16 0.8 – 4.7 0.5 – 3.0
Table 20.5 Nilai normal jumlah limfosit dan subsetnya pada berbagai
golongan
Jumlah sel pada berbagai golongan usia (x 109 sel/I (%)
Sel < 1 tahun 1 – 6 tahun 7 – 17 tahun > 18 tahun
Limfosit total 2.7 – 5.4 2.9 – 5.1 2.0 – 2.7 1.6 – 2.4
CD3 1.7 – 3.6 1.8 – 3.0 1.4 – 2.0 0.7 – 2.4
CD4 1.7 – 2.8 1.0 – 1.8 0.7 – 1.1 0.5 – 1.6
CD8 0.8 – 1.2 0.8 – 1.5 0.6 – 0.9 0.2 – 0.7
CD19 0.5 – 1.5 0.7 – 1.3 0.3 – 0.5 0.003 – 0.3
Sel NK 0.3 – 0.7 0.2 – 0.6 0.2 – 0.3 0.2 – 0.4
MEKANISME IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS
Ada dua mekanisme utama respon non spesifik terhadap virus, yaitu
1. Infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-
sel terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus
2. Sel NK melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel NK
mampu melisiskan sel terinfeksi virus, walaupun virus
mengahambat presentasi antigen dan ekspresi MHC 1, karena sel
NK cenderung diaktivasi oleh sel sasaran yang MHC-negatif 1
1
Untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah reinfeksi,
system imun harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan
memusnahkan sel yang terinfeksi. Antibody spesifik mempunyai peran
pentin pada awal terjadinya infeksi, dimana ia dapat menetralkan antigen
virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh sel yang
mengalami lisis. Peran antibody dalam menetralkan virus terutama efektif
untuk virus yang bebas atau virus dalam sirkulasi.
Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya dengan cara mengahambat perlekatan virus pada reseptor yang
terdapat pada permukaan sel, dengan demikian replikasi virus dapat
dicegah. Antibody juga dapat menghancurkan virus derngan cara aktivasi
komplemen melalui jakur klasik atau menyebabkan agregasi virus
sehingga mudah difagositosisnya dan dihancurkan melalui proses yang
sama seperti diuraikan diatas. Antibody dapat mencegah penyabaran virus
yang dikeluarkan dari sel yang telah hancur.
Tetapi seringkali antibody tidak cukup mampu untuk
mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang
melepaskan diri melalui membran sel sebagai partikel yang terinfeksius,
sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan secara
langsung.
Jenis virus yang mempunyai sifat seperti ini diantaranya virus
oncorna (termasuk didalamnya virus leukomogenik), virus dengue, virus
herpes, rubella dll. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus
secara langsung, antibody dapat berfungsi dalam reaksi ADCC.
Disamping respon antibody, respon imun seluler merupakan respon
yang paling penting, terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik.
Respon imun seluler melibatkan T-sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi
dengan MHC kelas 1. Peran IFN sebagai anti virus cukup besar,
khususnya IFN-α dan IFN-β.
1
Dampak anti virus dari IFN terjadi melalui: a) peningkatan
ekspresi MHC kelas 1; b) aktivasi sel NK dan makrofag; c) menghambat
replikasi virus. Ada juga yang menyatakan bahwa IFN menghambat
penetrasi virus ke dalam sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi.
Seperti halnya pada infeksi dengan mikroorganisme lain, sel T-
sitotoksik selain bersifat protektif juga dapat merupakan penyebab
kerusakan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi dengan virus
LCMV (lymphocyte choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamsi
pada selaput susunan saraf pusat.
Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunuh virus seperti
halnya ia membunuh bakteri. Tetapi pada infeksi dengan virus tertentu,
makrofag tidak membunuhnya bahkan sebaliknya virus memperoleh
kesempatan untuk replikasi didalamnya, telah diketahui bahwa virus hanya
dapar berkembang biak intraseluler karena ia memerlukan DNA-pejamu
untuk replikasi. Akibatnya ialah bahwa virus selanjutnya dapat merusak
sel-sel organ tubuh yang lain terutama apabila virus itu bersifat sitopatik.
Apabila virus itu bersifat non sitopatik ia menyebabkan infeksi kronik
dengan menyebar ke sel-sel lain.
Pada infeksi secara langsung ditempat masuknya virus (port
d’entre), misalnya di paru virus tidak sempat beredar dalam sirkulasi dan
tidak sempat menimbulkan respon primer dan antibody yang dibentuk
seringkali terlambat intuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respon imun
seluler mempunyai peran lebih menonjol, karena sel T sitotoksik pada
penderita yang tersensitiasi bersifat sitotoksik langsung terhadap sel yang
terinfeksi virus, sel T sitotoksik mampu mendeteksi virus melalui reseptor
terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah.
1
Sel T sitotoksik kurang spesifik dibandingkan antibody dan dapat
melakukan reaksi silang dengan spectrum yang lebih luas. Namun ia tidak
dapat menghancurkan sel sasaran yang menampilkan MHC kelas 1 yang
berbeda.
MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI JAMUR
Tidak banyak yang diketahui mengenai mekanisme respon imun
yang pasti terhadap infeksi dengan jamur, tetapi diduga mekanisme reaksi
itu tidak berbeda dengan reaksi pada infeksi bacterial. Infeksi jamur pada
manusia digolongkan dalam; 1) mikosis superfisial; 2) mikosis subkutan;
3) mikosis respiratorik; 4) candida albanicans
Respon imun seluler merupakan mediator utama perlawanan
terhadap infeksi jamur. Mediator utama system imun bawaan dalam
melawan jamur adalah neutrofil dan makrofag. Dari system imun didapat
sel T CD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk menghilangkan jamur. Dari
subset sel T CD4+, respon sel Th1 merupakan respon protektif , sedangkan
respon sel Th2 merugikan pejamu. Tidak heran bahwa inflamasi
granulomatosa sering merupakan penyebab kerusakan jaringan pada
pejamu yang terinfeksi jamur intraseluler.
Infeksi kulit pafa umumnya dapat membatasi diri dan biasanya
sembuh dengan menimbulkan resistensi terhadap infeksi berikutnya.
Resistensi ini diduga berdasarkan reaksi imunitas seluler, karena penderita
umumnya menunjukan reaksi hipersensivitas tipe IV terhadap jamur
bersangkutan. Gangguan dalam reaksi hipersensivitas tipe IV
menyebabkan terjadinya infeksi kronik atau kepekaan untuk kandidiasis;
hal ini sering dijumpai akibat pemberian obat imonusupresif. Selain itu
diduga sel T mempunyai peran besar dalam menimbulkan resistensi,
karena diketahui sel T memproduksi limfokin yang merangsang makrifag
untuk menghancurkan jamur bersangkutan.
1
Timbulnya kandidiasis pada penderita imunodefisiensi merupakan
bukti berperannya sel T dalam menimbulkan resistensi terhadap infeksi
dengan jamur. Disamping limfosit T, diduga bahwa sel-sel PMN
(neutrofil) juga berperan dalam menimbulkan imunitas terhadap infeksi
jamur. Seperti halnya pada infeksi bacterial, juga pada infeksi jamur
mekanisme untuk menyingkirkan jamur berbeda beda tergantung dari jenis
jamur yang menginfeksi
MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI PARASIT
Mekanisme pertahanan terhadap protozoa yang bertahan hidup
dalam makrofag berlangsung melalui reaksi imun seluler, khususnya
aktiviasi makrofag oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T CD4+. Infeksi
dapat diatasi dengan bantuan IFN-ϒ yang diproduksi oleh sel TH1, dilain
pihak aktivasi sel TH2 oleh protozoa menyebabkan peningkatan daya
hidup protozoa dan kekambuhan, karena sitokin yang diproduksi oleh sel
TH2, diantaranya IL-4, menekan aktivitas makrofag . protozoa yang
berkembang biak dalam sel dan melisiskan sel tersebut menginduksi
respon spesifik sel Tc (sitotoksik), seperti halnya yang terjadi pada inveksi
virus sitopatik.
Kompleksitas respon imun terhadap infeksi parasite tampak jelas
pada infeksi malaria, karena respon imun terhadap parasite ini khas untuk
setiap stadium (stage specific) dalam siklus malaria. Respon umun bawaan
maupun respon imun didapat mengalami modulasi pada berbagai stadium
infeksi. Telah diketahui bahwa sporozoit malaria masuk ke dalam tubuh
melalui gigitan nyamuk. Sporozoit dengan cepat menghilang dari sirkulasi
lalu masuk ke dalam sel-sel parenkim hepar. Dalam hepatosit pecah dan
melepaskan beribu-ribu merezoit, dan hal ini merupakan awal dari stadium
eritrosit dari siklus hidup malaria.
1
Merezoit masuk kedalam eritrosit melalui proses interaksi berbagai
ligand-reseptor, di antaranya melalui pengikatan protein EBA-175 yang
terdapat pada permukaan parasite dengan glikoforin A yang terdapat pada
permukaan eritrosit. Merezoit berkembang menjadi bentuk cincin,
trofozoit dan schizont. Siklus eritrosit berlangsung hingga eritrosit pecah
dan melepaskan merozoit yang kemudian menginfeksi erotrosit yang lain.
Dengan demikian, respon imun yang terjadi hanya protektif terhadap
antigen yang merangsang pada setiap stadium tertentu.
Antibody terhadap circumsporozit (CS) hanya protektif terhadap
fase invasi parasite ke dalam sel hepar. Sel T CD8+ memegang peranan
penting pada stadium hepatic dengan melisiskan hepatosit yang
terinfeksim atau memproduksi IFN-ϒ dan aktivasi hepatosit untuk
memproduksi nitrit oksida atau subtansi lain yang dapat membunuh
parasite.
Mekanisme pertahanan terhadap infeksi cacing yang hidup
ekstraseluler terjadi melalui respon antibody IgE dan eosinofil. Diduga
bahwa IgE berfungsi merangsang mastosit untuk melepaskan granula dan
menyulut reaksi inflamasi, eksudasi protein yang mengandung
immunoglobulin dan melepaskan eosinophil chemotactic factor (ECF),
sehingga eosinofil diketahui dapat melepaskan peroksidase dan enzim
proteolitik lain yang merusak parasite.
Mekanisme ini merupakan respon ADCC yang khas, dimana IgE
melekat pada permukaan cacing, eosinofil kemudian melekat melalui
reseptor Fc, sehingga eosinofil teraktivasi dan melepaskan granula enzim
yang dapat merusak parasite bersangkutan. Respon ini terjadi karena
cacing dapat merangsang sel Th2 untuk memproduksi IL-4 dan IL-5.IL-4
merangsang produksi IgE, sedangkan IL-5 merangsang pembentukan dan
perkembangan eosinofil.
1
Eosinofil lebih potent untuk membunuh cacing dibanding leukosit
lain karena granula eosinofil berupa major basic protein (MBP) lebih
toksik bagi cacing dibanding enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi
oleh neutrofil dan makrofag. Untuk menyingkirkan cacing dalam saluran
cerna diperlukan proses yang lebih rumit memerlukan gabungan respon
humoral dan menghindar dari reaksi imunologik dengan mengubah
antigen permukaannya demikian rupa sehingga mirip antigen penjamu
atau malapisi permukannya dengan protein penjamu, misalnya dengan
glikoprotein, molekul MHC dan IgG pejamu.
Cara lain adalah mengubah struktur parasite sehingga setiap kali
menunjukan determinan antigen yang baru. Parasite tetap dapat hidup
walaupun dalam darah terdapat antibody spesifik, karena antibody itu
tidak dapat berinteraksi dengan parasite yang setiap kali menunjukan
variasi antigen yang baru. Berbagai jenis cacing dapat merangsang sel B
untuk memproduksi IgE poliklonal. Produksi IgE poliklonal ini tidaj
menguntungkan pejamu karena IgE akan melekat pada sebagian besar
permukaan mastosit sehingga tidak ada tempat lagi bagi IgE spesifik yang
diperlukan untuk respon imun spesifik. Interaksi antigen antibodipada
infeksi parasite seringkali menyebabkan penyakit autoimun, sebagian
besar parasite dapat menimbulkan imunosupresi sehingga pejamu peka
terhadap infeksi bacterial atau virus. Dari uraian diatas jelas bahwa respon
imun bawaan (nonspesifik) dan respon imun didapat (spesifik) saling
meningkatkan efektifitas untuk mengatasi infeksi.
1
REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI
Antigen adalah zat-zat asing yang pada umumnya merupakan protein
yang berkaitan dengan bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh. Beberapa
berupa olisakarida atau polipeptida, yang tergolong makromolekul dengan BM >
10.000. Antigen bertindak sebagai benda asing atau nonself oleh seekor ternak
dan akan merangsang timbulnya antibodi.
Antibodi merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon
terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan
antigen tersebut. Konfigurasi molekul antigen-antibodi sedemikian rupa sehingga
hanya antibodi yang timbul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja
yang ccocok dengan permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya.
Sel-sel kunci dalam respon antigen-antibodi adalah sel limfosit. Terdapat
dua jenis limfosit yang berperan, yaitu limfosit B dan T. Keduanya berasal dari sel
tiang yang sama dalam sumsum tulang. Pendewasaan limfosit B terjadi di Bursa
Fabricius pada unggas, sedangkan pada mamalia terjadi di hati fetus, tonsil, usus
buntu dan jaringan limfoid dalam dinding usus. Pendewasaan limfosit T terjadi di
organ timus.
Sistim kebal atau imun terdiri dari dua macam, yaitu sistim kebal humoral
dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab terhadap sistim kebal humoral.
Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B berubah menjadi sel
plasma dan menghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang terbentuk di
lepas ke darah sebagai bagian dari fraksi - globulin. Antibodi humoral ini
memerangi bakteri dan virus di dalam darah. Sistem humoral merupakan
sekelompok protein yang dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) atau antibodi (Ab).
Limfosit T bertanggung jawab terhadap kekebalan seluler. Apabila ada
antigen di dalam tubuh, misalnya sel kanker atau jaringan asing, maka limfosit T
akan berubah menjadi limfoblast yang menghasilkan limphokin (semacam
antibodi), namun tidak dilepaskan ke dalam darah melainkan langsung bereaksi
dengan antigen di jaringan. Sistim kekebalan seluler disebut juga “respon yang
diperantarai sel”.
1
Gambar 1. Diagram Perkembangan Dua Sistim Imun (Soegiri, Soegiri,
1988).
Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh ternak maka tubuh akan
terangsang dan memunculkan suatu respon awal yang disebut sebagai respon
imun primer. Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak
limfosit dan membentuk ingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih
peka terhadap antigen. Kalau antigen yang sama memasuki tubuh kembali maka
respon yang muncul dari tubuh berupa respon imun sekunder. Respon ini
muncul lebih cepat , lebih kuat dan berlangsung lebih lama daripada respon imun
primer.
1
Gambar.2. Aktifitas Sel B dalam Reaksi Antigen-antibodi (Soegiri, Soegiri, 1988).
Imunisasi
Imunisasi adalah cara untuk membuat ternak kebal terhadap penyakit
menular. Imunisasi dibagi menjadi dua macam yaitu imunisasi pasif dan imunisasi
aktif. Kedua macam imunisasi tersebut berbeda dalam beberapa aspek
berdasarkan cara memperolehnya, sifat resistensi yang dihasilkan, cepat –
lambatnya kemunculan antibodi maupun katabolismenya.
1
Gambar .3. Klasifikasi tipe imunitas dan cara yang digunakan untuk membuat perlindungan (Tizard, 1988)
Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan tubuh
ternak dengan cara memindahkan antibodi dari ternak resisten kepada ternak
yang.rentan. Ternak rentan tidak perlu secara aktif berbuat sesuatu untuk menjadi
kebal, di dalam tubuh terna ktidak terjadi reaksi antara antigen dengan antibodi.
Resistensi yang dihasilkan hanya bersifat sementara, memberi perlindungan yang
cepat namun cepat pula dikatabolisme, sehingga ternak resipien menjadi rentan
kembali terhadap infeksi ulang. Tidak ada sel ingatan yang akan melindungi
ternak apabila antibodi telah habis. Pada ayam, imunitas pasif diturunkan dari
induk kepada anak ayam melalui kuning telur.
1
Contoh-contoh imunisasi pasif, antara lain adalah (1) antibodi dalam
kolustrum yang diberikan oleh induk sapi kepada pedet yang baru lahir. (2)
antibodi yang diberikan induk ternak lewat plasenta saat fetus masih dalam
kandungan. (3) antitoksin tetanus yang diberikan pada ternak untuk memberi
perlindungan segera terhadap tetanus. (4) Antiserum anthrax yang diberikan
kepada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap penyakit anthrax.
Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan tubuh
pada ternak melalui pemberian antigen pada ternak sehingga ternak
menanggapinya dengan meningkatkan tanggap kebal protektif berperantaraan sel
atau antibodi atau kedua-duanya. Pada imunisasi aktif, kekebalan tidak terbentuk
secara cepat, namun sekali terbentuk akan bertahan lama dan terbentuk sel
ingatan, sehingga memiliki kemampuan perangsangan ulang. Imunitas aktif bisa
diperoleh melalui infeksi alami atau buatan dengan vaksinasi. Imunitas aktif bisa
dirusak oleh sesuatu yang berdampak negatif terhadap sistim kebal humoral
maupun seluler yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tubuh ternak
berespon terhadap antigen.
PENYEBAB REAKSI IMUNITAS PADA SKENARIO TERSEBUT
Pada skenario pasien terkena pecahan kaca dan menyebabkan luka di kaki.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kulit ada salah satu sistem imun bawaan
yang merupakan barrier paling luar dalam sistem imun. Saat terjadi luka di kaki
maka barrier tersebut telah rusak maka tidak ada pertahanan lagi hingga dengan
mudah antigen masuk ke dalam tubuh. Sel-sel imun tersebar di seluruh tubuh,
tetapi bila terjadi infeksi di satu tempat perlu upaya memusatkan sel-sel sistem
imun itu dan produk-produk yang dihasilkannya ke lokasi infeksi. Selama respons
ini berlangsung peningkatan aliran darah di area infeksi, peningkatan
permeabilitis kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang mengakibatkan molekul-
molekul besar menembus dinding vaskular, dan migrasi leukosit ke vaskular.
1
Reaksi ini terjadi karena dilepaskan mediator-mediator radang tertentu oleh
beberapa jenis sel misalnya histamin yang dilepaskan oleh basofil. Mediator-
mediator radang ini antara lain merangsang bergeraknya sel-sel polimorfonuklear
(PMN) menuju lokasi masuknya antigen sert meningkatkan permeabilitas dinding
vaskular yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan cairan. Ini disebut
respons inflmasi akut. Nanah pun terbentuk akibat campuran yang terdapat dalam
jaringan yang meradang akan terdapat rongga yang mengandung berbagai bagian
jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati dan cairan jaringan. Apabila
netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan nekrotik,
maka semua netrofil dan kebanyakan makrofag akhirnya akan mati
PENYEBAB TERJADINYA BENJOLAN PADA LIPATAN PAHA
Adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh kita memiliki kurang
lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya di daerah:
submandibular (bagian bawah rahang bawah; sub:
bawah;mandibula:rahang bawah),
ketiak
leher
perut
panggul
lipat paha yang teraba normal pada orang sehat.
Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan
tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh-
pembuluh getah bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan
mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB akan diketahui aliran pembuluh
limfe yang melewatinya.
1
Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa
antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada
antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel
pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga
kelenjar getah bening membesar.
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel
pertahanan tubuh yang berasal dari KGB itu sendiri seperti:
limfosit ,
sel plasma ,
monosit dan histiosit, atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil)
untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi
(masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari
penyakit metabolit makrofaga (gaucher disease)
Hal – hal yang dapat menyebabkan pembengkakan :
Infeksi : dengan cara memperbanyak sel limfosit atau multiplikasi sebagai
respon dari adanya zat asing dalam tubuh (antigen)
Virus : biasanya disertai demam pada pembengkakannya
Peradangan
kanker
mekanisme terjadinya pembengkakan pada KGB yang terletak pada paha adalah
ketika pertama kali penderita terkena sayatan pada kaki kanannya, ada zat asing
dan bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh setelah melewati system imun
bawaan, lalu system imun yang didapat melakukan pembuatan sel2 limfosit di sel
dendritic lalu dialirkan ke KGB yang selanjutnya melakukan pengenalan zat asing
dan “pembasmian zat – zat tsb oleh limfosit. Limfosit – limfosit tersebut yang
membuat KGB pada lipatan paha membengkak.
1
INTERAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI
Gambar 06. Jalur Perkembangan Limfosit
(sumber: Kimball, 1983:542)
Pada gambar 06 dapat dilihat jalur perkembangan limfosit. Antibodi diproduksi
oleh Limfosit B. Limfosit B memerlukan bantuan dari anak perangkat limfosit T
agar dapat bereaksi terhadap antigen-antigen tertentu. Antibodi merupakan suatu
zat kimia (protein plasma) yang dapat mengidentifikasi antigen. Ketika sel
limfosit B mengidentifikasi antigen, dengan cepat sel akan bereplikasi untuk
menghasilkan sejumlah besar sel plasma. Sel plasma lalu menghasilkan antibodi
dan melepaskan ke dalam cairan tubuh. Antibodi memiliki struktur seperti huruf
Y dengan dua lengan dan satu kaki. Struktur tiga dimensi suatu molekul antibodi
dapat dilihat pada gambar 07.
1
Gambar 07. Skematik Struktur Tiga Dimensional Suatu Molekul Antibodi
(sumber: Kimball, 1983:545)
Antibodi (bahasa Inggris: antibodi, gamma globulin)
adalah glikoprotein dengan struktur tertentu yang disekresi dari
pencerap limfosit-B yang telah teraktivasi menjadi sel plasma, sebagai respon
dari antigen tertentu dan reaktif terhadap antigen tersebut.
Sistem imunitas manusia ditentukan oleh kemampuan tubuhuntuk
memproduksi antibodi untuk melawan antigen. Antibodi dapat ditemukan
pada darah atau kelenjar tubuh vertebrata lainnya, dan digunakan oleh sistem
kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan dan menetralisasikan benda
asing seperti bakteri dan virus. Molekul antibodi beredar di dalam pembuluh
darah dan memasuki jaringan tubuh melalui proses peradangan. Mereka
terbuat dari sedikit struktur dasar yang disebut rantai. Tiap antibodi memiliki
dua rantai berat besar dan dua rantai ringan.Rantai berat dan rantai ringan
dapat dilihat pada gambar 07.
Terdapat beberapa tipe berbeda dari rantai berat antibodi, dan beberapa tipe
antibodi yang berbeda, yang dimasukan ke dalam kelas (en:isotype) yang
berbeda berdasarkan pada tiap rantai berat. Lima isotype antibodi yang
berbeda diketahui berada pada tubuh mamalia dan memainkan peran yang
berbeda dan menolong mengarahkan respon imun yang tepat untuk tiap tipe
benda asing berlainan yang masuk ke dalam tubuh,
yaitu: IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE, yang mempunyai perbedaan area C.
IgG merupakan antibodi yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia.
Dihasilkan hanya dalam waktu beberapa hari dan memiliki masa hidup
beberapa minggu sampai beberapa tahun. IgG banyak terdapat pada darah,
sistem getah bening, dan usus.
1
Mengikuti aliran darah, IgG akan langsung menuju benda asing dan
menghambatnya begitu berhasil mendeteksi. Antibodi ini mempunyai efek
antibakteri yang kuat dan penghancur antigen.lgG melindungi tubuh dari
bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang ada dalam racun.
lgA yaitu antibodi yang terdapat pada bagian yang peka, misalnya air mata,
liur, ASI, darah, lendir, getah lambung, dan usus. Kepekaan daerah tersebut
berhubungan langsung dengan kecenderungan bakteri dan virus yang suka
pada media lembab. IgM merupakan antibodi yang terdapat pada darah dan
getah bening. Pada saat tubuh bertemu dengan benda asing, IgM yang pertama
dihasilkan tubuh untuk melawan benda asing tersebut. Janin mampu
memproduksi IgM pada usia kehamilan enam bulan.
Jika ada kuman atau bakteri yang coba menyerang, produksi IgM janin akan
meningkat. Untuk mengetahui apakah janin telah terinfeksi atau tidak, bisa
dilihat kadar IgM dalam darah. Imunoglobulin D (IgD)juga terdapat dalam
darah dan getah bening. IgD tak mampu bekerja sendiri, tetapi menempelkan
diri ke permukaan sel-sel T, lalu membantu sel T menangkap antigen.
Imunoglobulin E (IgE) merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah
dan bertanggung jawab “memanggil” antibodi lain untuk berperang melawan
zat asing. IgE kadang menimbulkan reaksi alergi. Karena itu, pada tubuh
orang yang sedang alergi, kadar IgE-nya tinggi.
Antibodi memiliki kemampuan spesifik untuk mengikat determinat site dari
antigen atau yang disebut dengan determinan antigenik. Untuk lebih jelasnya
ikatan antara dua molekul antigen dengan dengan situs pengikatan antigen di
daerah-daerah variabel pad anti bodi dapat dilihat pada gambar 08.
1
Gambar 08. Skematik Ikatan Antara 2 Molekul Antigen dengan Situs pengikat
Antigen
(sumber: Kimball, 1983:548)
Antigen merupakan zat kimia yang masuk ke dalam tubuh dan dapat merangsang
terbentuknya antibodi.Antigen memiliki struktur tiga dimensi dengan dua atau
lebih determinant site.Determinant site merupakan bagian dari antigen yang dapat
melekat pada bagian sisi pengikatan pada antibodi.Antigen dapat berupa protein,
sel bakteri, atau zat kimia yang dikeluarkan oleh suatu mikroorganisme.
Antibodi adalah molekul protein (immunoglobulin) yang memiliki satu atau lebih
tempat perlekatan (combining sites) yang disebut paratope (Brownlee, 2007).
Antigen adalah molekul asing yang mendatangkan suatu respon spesifik dari
limfosit. Salah satu cara antigen menimbulkan respon kekebalan adalah dengan
cara mengaktifkan sel B untuk mensekresi protein yang disebut antibodi. Istilah
antigen sendiri merupakan singkatanantibodi-generator (pembangkit antibodi).
Masing-masing antigen mempunyai bentuk molekuler khusus dan merangsang
sel-sel B tertentu untuk mensekresi antibodi yang berinteraksi secara spesifik
dengan antigen tersebut (Campbell, 2004).Interaksi antigen antibodi merupakan
interaksi kimiawi yang dapat dianalogikan dengan interaksi enzim dengan
substratnya.Spesifitas kerja antibodi mirip dengan enzim (Sadewa, 2008).
Kompleksitas antara antigen-antibodi terjadi saat antiserum dicampur dalam
perbandingan 1:1 dengan antigen.
1
Ikatan antara antigen-antibodi terjadi karena kekuatan kimia dan molekuler yang
dibangkitkan antara faktor antigen dan area pengikat antigen pada Fab end
molekul antibodi. Faktor antigen berasal dari permukaan molekul dan dalam
reaksinya dengan imunoglobulin akan cocok dengan salah satu reseptor
imunoglobulin. Ikatan yang terjadi antara antigen dan molekul imunoglobulin
walaupun sangat spesifik namun ikatannya lemah dan reversibel. Ikatan
elektrostatik yang didapatkan dari interaksi antara beban positif dan negatif dalam
molekul antigen dan antibodi, ikatan hidrogen, dan kekuatan intermolekul tipe
Van der Waals adalah yang terpenting.
Beberapa contoh penerapan adanya reaksi antigen-antibodi :
a) Golongan darah dan transfusi darah
Tes aglutinasi adalah pendiagnosa yang berguna untuk mendeteksi dan
mengukur antibodi spesifik dalam serum pasien, untuk mengidentifikasi
antigen seperti bakteri dan virus (yang dikenal dengan antisera) serta untuk
menentukan golongan darah.Hemaglutinasi adalah aglutinasi sel darah merah
oleh antibodi yang spesifik untuk antigen membran sel. Pemeriksaan golongan
darah adalah contoh dari hemaglutinasi. Molekul antibodi dengan satu
reseptor pengikat dan satu reseptor bebas terikat pada antigen membentuk
jembatan (linkage) antara 2 mokelul antigen.Ikatan silang antigen-antibodi ini
berlanjut membentuk pola geometris komplek tiga dimensi sampai
menghasilkan satu kelompok besar.Aglutinasi ini terjadi bila ukuran antigen
lebih dari 2 μm (Nolte, 1977).
Golongan darah ditentukan oleh kehadiran atau ketidakhadiran
antigen.Struktur kimia antigen golongan darah disusun oleh rantai gula
panjang berulang-ulang yang disebut fukosa, yang dengan sendirinya
membentuk antigen O bagi golongan darah O. Fukosa juga berperan sebagai
dasar dari golongan darah lainnya. Golongan darah A adalah antigen O
(fukosa) ditambah gula yang disebut N-asetil galactosamin yang ditambahkan
pada ujungnya. Golongan darah B adalah fukosa ditambah gula berbeda, D-
galactosamin, pada ujungnya.
1
Golongan darah AB adalah fukosa ditambah N-asetil galactosamin dan D-
galactosamin.Rantai gula panjang berulang-ulang ini seperti antena, yang
memproyeksi keluar dari permukaan sel-sel kita, mengawasi antigen asing.
Masing-masing golongan darah memproduksi antibodi terhadap golongan
darah lainnya.Inilah mengapa kita bisa menerima transfusi dari sebagian
golongan darah tetapi tidak dari yang lainnya.
Antibodi golongan darah ini tidak berada di sana untuk memperumit transfusi,
tetapi lebih untuk melindungi tubuh dari zat-zat asing, seperti bakteri, virus,
dsparasit dan beberapa makanan nabati yang mirip antigen golongan darah
asing. Ketika sistem kekebalan tubuh berusaha mengidentifikasi karakter yang
mencurigakan, salah satu hal pertama yang dicarinya adalah antigen golongan
darah. Jika sistem kekebalan tubuh bertemu salah satu zat yang mirip
golongan darah yang berbeda, ia akan menciptakan antibodi untuk
melawannya.
Reaksi antibodi ini dikarakteristikkan oleh proses yang disebut aglutinasi
(penggumpalan sel). Ini berarti antibodi melekat pada antigen dan
menjadikannya sangat lengket. Ketika sel, virus, parasit dan bakteri
digumpalkan, mereka melekat satu sama lain dan “menggumpal”, yang
menjadikan tugas pembuangan mereka lebih mudah. Ini lebih seperti
memborgol kriminal menjadi satu. Mereka menjadi tidak berbahaya daripada
ketika dibiarkan bergerak dengan bebas. Aglutinasi merupakan konsep
penting dalam analisis golongan darah. Antibodi golongan darah ini, yang
seringkali disebut isohemaglutinin, merupakan antibodi paling kuat dalam
sistem kekebalan tubuh, dan kemampuan mereka untuk menggumpalkan sel-
sel golongan darah yang berbeda sangat kuat sehingga bisa diamati dengan
cepat di slide kaca dengan mata biasa.
1
b) Pencangkokan jaringan dan transplantasi organ
Kompleks histokompatibilitas mayor (MHC), yang merupakan sidik jari
protein yang unik untuk setiap individu, bertanggung jawab atas stimulasi
penolakan pencangkokan jaringan dan transplantasi organ.
Molekul MHC asing bersifat antigenik dan menginduksi respon kekebalan
melawan jaringan atau organ yang didonorkan itu. Untuk meminimalkan
penolakan, upaya-upaya telah dilakukan untuk sedekat mungkin
mencocokkan MHC jaringan donor dengan MHC jaringan resipien
(penerima)
1
REFERENSI
Kresno, Siti Boedina, 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium ed.5. Jakarta: FK UI
Subowo, 2010. Imunologi klinik ed.2. Jakarta: Sagung Seto http://www.sentra-edukasi.com/2011/09/sistem-imun-imunitas.html