skabies dika
TRANSCRIPT
Usulan Proposal
PROGRAM KOMUNIKASIPENANGGULANGAN SKABIES DI KECAMATAN
MELATI
Disusun oleh :Ahmad Dika Wijaya, S. Ked Hendra, S.kedRiyan Apriantoni, S. Ked Novita Purnamasari, S.KedKamalia Layal, S. Ked Elvi Indahwati, S. KedRatih Merinda, S. Ked
Pembimbing:dr. Hj. Mariatul Fadilah, MARS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYADEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga tim penulis dapat menyelesaikan usulan proposal dengan
judul “Program Kesehatan Penangulangan Skabies di kecamatan Melati” dengan
baik. Usulan proposal ini berisi tentang program edukasi (penyuluhan) dan
pelatihan mengenai penanggulangaan penyakit skabies.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing usulan proposal
yakni dr. Hj. Mariatul Fadilah, MARS yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan makalah ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua
pihak yang telah mendukung penulisan proposal ini.
Akhir kata, penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi sarana informasi dalam
kemajuan dan perkembangan ilmu di bidang kedokteran.
Palembang, November 2010
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
I.2 Deskripsi Masalah........................................................................ 2
I.3 Tujuan........................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Skabies ....................................................................... 4
II.2 Sarcoptes scabiei.......................................................................... 4
II.3 Faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Skabies ........................ 5
II.3.1 Faktor Perilaku.................................................................. 5
II.3.2 Faktor Lingkungan............................................................ 7
II.3.3 Faktor Biologi.................................................................... 9
II.3.4 Faktor Pelayanan Kesehatan.............................................. 9
II.4 Penularan Skabies......................................................................... 9
II.5 Patogenesis Skabies...................................................................... 10
II.6 Bentuk-Bentuk Skabies................................................................ 10
II.7 Diagnosis Skabies......................................................................... 12
II.8 Pencegahan Skabies...................................................................... 14
BAB III PEMECAHAN MASALAH
III.1 Fase Diagnosis Sosial................................................................... 16
III.2 Fase Diagnosis Epidemiologi....................................................... 17
III.3 Fase Diagnosis Perilaku dan Lingkungan.................................... 18
III.4 Fase Diagnosis Pendidikan dan Organisasi.................................. 18
III.5 Fase Diagnosis Administrasi dan Kebijakan................................ 19
III.5.1 Health Education............................................................... 19
III.5.2 Kebijakan dan Peraturan.................................................... 19
iii
III.5.3 Sistem Kesehatan............................................................... 20
III.5.4 Evaluasi............................................................................. 24
BAB IV PENUTUP
IV.1 Kesimpulan................................................................................... 25
IV.2 Saran............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 26
iv
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
penetrasi dari tungau parasit Sarcoptes scabiei var. hominis ke dalam
epidermis. Tungau skabies pertama kali diidentifikasi pada tahun 1687,
oleh karena itu skabies merupakan salah satu penyakit pada manusia yang
penyebabnya dapat diketahui.
Terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia yang menderita
skabies. Skabies adalah penyakit endemik di seluruh dunia, dapat
menyerang seluruh ras dan berbagai tingkat sosial, namun gambaran
akurat mengenai prevalensinya sulit didapatkan. Sebuah penelitian terbaru
menyatakan bahwa prevalensi skabies meningkat di United Kingdom, dan
skabies lebih sering terjadi di daerah perkotaan, pada anak-anak dan
wanita, dan pada musim dingin dibandingkan saat musim panas.
Lingkungan padat penduduk, yang sering terdapat pada negara-negara
berkembang dan hampir selalu berkaitan dengan kemiskinan dan higiene
yang buruk, dapat meningkatkan penyebaran scabies.
Di Indonesia Prevalensi penyakit Scabies di Indonesia adalah
sekitar 6-27% dari populasi umum dan cenderung lebih tinggi pada anak
dan remaja. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, prevalensi penyakit skabies dalam masyarakat di seluruh
Indonesia pada tahun 1996 adalah 4,6%-12,95% dan skabies menduduki
peringkat ketiga sebagai penyakit kulit tersering. Pada tahun 2004,
prevalensi skabies naik menjadi 40,78%.
Di kecamatan Melati, setelah dilakukan studi epidemiologi yang
dilakukan oleh penulis, didapatkan prevalensi skabies pada masyarakat
1
sekitar 45%, dan menyerang penduduk dengan berbagai tingkatan umur
terutama anak-anak 14% serta remaja 32%.
Skabies ditularkan melalui kontak langsung kulit dengan kulit
maupun dengan kontak tidak langsung melalui benda-benda yang dipakai
bersama, misalnya handuk, pakaian, sprei, dan sarung bantal. Semakin
banyak jumlah parasit dalam satu individu, maka semakin besar
kemungkinan terjadinya penularan dalam lingkungan yang sama.
Peningkatan kasus skabies secara cepat, baik dalam jumlah kasus maupun
daerah terjangkit terutama pada daerah yang padat penghuninya seperti
asrama, panti asuhan dan pesantren.
Dengan cukup tingginya prevalensi skabies di Indonesia dan
memperlihatkan peningkatan pada umumnya, dan di kecamatan Melati
khususnya, serta banyaknya faktor risiko yang memudahkan penularan
skabies, maka perlu dibuat suatu program komunikasi jangka panjang
untuk mengintervensi perilaku serta lingkungan masyarakat agar
prevalensi dapat turun dan faktor risiko dapat dikendalikan sehingga
memutus mata rantai penularan.
I.2 Deskripsi Masalah
a. Distribusi
Tingginya prevalensi skabies di Kecamatan Melati yang mencapai
45%.
b. Determinan
1. Perilaku
i. Pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai penularan skabies dan gejala-gejala yang ditimbulkannya.
ii. Masyarakat menganggap bahwa penyakit skabies merupakan penyakit yang biasa saja tanpa harus di takuti dan sudah menjadi bagian dari kehidupan warga kecamatan Melati
2
iii. Kebiasaan anggota keluarga untuk menggunakan pakaian secara bersama-sama serta bergantian menggunakan handuk, sisir, seprai, selimut serta perlengkapan rumah tangga lain yang memudahkan penyebaran skabies.
iv. Kebiasaan masyarakat kecamatan Melati yang kurang sehat seperti jarang mencuci seprai dan selimut.
2. Lingkungan
Lingkungan padat penduduk di kecamatan Melati
meningkatkan risiko penularan skabies.
3. Biologi
Sukarnya membunuh kuman skabies sehingga membutuhkan
waktu yang cukup lama dan obat-obatan yang efektif.
4. Pelayanan kesehatan
Minimnya penyuluhan di kecamatan Melati serta pelayanan
kesehatan yang kurang maksimal turut meningkatkan
penularan skabies.
I.3 Tujuan
a. Tujuan umum
Untuk menurunkan angka kejadian skabies di Desa Melati.
b. Tujuan khusus
1. Untuk menurunkan angka kejadian skabies melalui program
komunikasi yang dapat mengintervensi faktor perilaku
2. Untuk menurunkan angka kejadian skabies melalui program
komunikasi yang dapat mengintervensi faktor lingkungan
3. Untuk menurunkan angka kejadian skabies melalui program
komunikasi yang dapat mengintervensi faktor biologi
4. Untuk menurunkan angka kejadian skabies melalui program
komunikasi yang dapat mengintervensi faktor pelayanan
kesehatan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Skabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Skabies
disebut juga dengan the itch, pamaan itch, dan seven year itch. Di
Indonesia skabies lebih dikenal dengan nama gudik, kudis, buduk, kerak,
penyakit ampera dan gatal agogo.
II.2 Sarcoptes scabiei
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida,
ordo Ackarina, super famili Sarcoptes. Infestasi Sarcoptes scabiei pada
manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Badan tungau skabies
berbentuk oval dengan bagian dorsoventral yang datar. Betina dewasa
berukuran panjang 0,4 mm dan lebar 0,3 mm. Jantan dewasa berukuran
lebih kecil, dengan panjang 0,2 mm dan lebar 0,15 mm. Badan tungau
berwarna putih suram dan terdapat gambaran gelombang transversal yang
jelas. Pada bagian dorsal ditutupi rambut-rambut halus dan duri-duri, yang
disebut dentikel. Tungau dewasa mempunyai empat pasang kaki; dua
pasang kaki depan sebagai alat untuk melekat. Pada tungau betina,
terdapat rambut-rambut halus yang disebut setae di ujung dua pasang kaki
belakang, sedangkan pada tungau jantan terdapat rambut-rambut halus di
ujung pasangan kaki ketiga dan alat perekat di ujung kaki keempat.
Kopulasi terjadi di terowongan yang digali oleh tungau betina.
Setelah kopulasi, tungau jantan mati dan tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan lebih dalam dan mulai bertelur, kurang lebih 3 telur
per hari. Terowongan tersebut terdapat di stratum corneum. Selama 4-6
pekan, tungau betina dapat meletakkan 40-50 telur di sepanjang
4
terowongan. Telur-telur tersebut menetas setelah 4 hari dan mengeluarkan
larva. Larva mulai menuju permukaan kulit dan menjadi tungau dewasa.
Jumlah tungau dewasa pada seorang penderita skabies biasanya kurang
dari 20.
Gambar 1. Siklus hidup Sarcoptes scabiei
II.3 Faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Skabies
II.3.1 Perilaku
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil
tahu terhadap objek melalui indera yang dimilikinya.
Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat
yang berbeda. Pengetahuan juga akan meningkatkan usaha-
usaha kesehatan perorangan untuk memelihara kesehatan diri
sendiri, memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan, serta
mencegah timbulnya penyakit.
Usaha-usaha tersebut meliputi :
a. Kebersihan badan
Mandi memakai sabun sekurang-kurangnya dua kali sehari,
tangan dalam keadaan bersih, kuku bersih dan pendek.
5
b. Kebersihan pakaian
Pakaian dicuci dan diseterika, disimpan dalam lemari.
Hindari pemakaian pakaian secara bersama-sama.
c. Kebersihan tempat tinggal
Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang
diketahui oleh seseorang trhadap cara-cara memelihara
kesehatan. Pengetahuan tentang cara-cara tersebut meliputi:
1) Penularan terhadap penyakit menular termasuk dalam
hal ini penyakit skabies yang diketahui (tanda-tanda,
gejala, penyebab, cara penularan, dan cara pencegahan).
2) Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait
mempengaruhi kesehatan antara lain gizi makanan,
sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan
sampah, polusi udara, serta kebersihan diri.
3) Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang
profesional maupun tradisional.
2. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan
emosi seseorang. Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu:
a. Kepercayaan atau keyakinan, konsep terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
3. Tindakan
Tindakan merupakan hal yang sulit bagi sasaran, karena sudah
terbiasa dengan perilaku tersebut berasal dari tradisi. Tindakan
ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut
kualitasnya yaitu:
a. Praktik terpimpin
6
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu
tetapi masih bergantung pada tuntutan atau panduan.
b. Praktik secara mekanisme
Apabila seseorang atau seubjek telah melakukan atau
mempraktekkan sesuatu hal secara otomatis.
c. Adopsi
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah
berkembang, artinya apa yang dilakukan tidak sekedar
rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan
modifikasi atau tindakan perilaku yang berkualitas.
II.3.2 Lingkungan
Menurut Azwar (1997) lingkungan adalah agregat dari
seluruh kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi
kehidupan perkembangan suatu organisasi. Secara umum
lingkungan ini dibedakan atas dua macam yaitu lingkungan fisik
dan lingkungan non fisik. Lingkungan fisik ialah lingkungan alam
yang terdapat disekitar manusia, misalnya cuaca, musim, keadaan
geografis dan struktur geologi. Sedangkan lingkungan non-fisik
ialah lingkungan yang muncul sebagai akibat adanya interaksi
antar manusia, misalnya termasuk faktor sosial budaya, norma, dan
adat istiadat.
Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbul atau
tidaknya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satu diantaranya
ialah sebagai reservoir bibit penyakit (environmental reservoir).
Adapun yang dimaksud dengan reservoir ialah tempat hidup yang
dipandang paling sesuai bagi bibit penyakit lainnya yakni:
reservoir manusia, reservoir hewan, dan rerservoir serangga. Pada
reservoir disini bibit penyakit hidup di dalam tubuh manusia.
Timbul atau tidaknya penyakit pada manusia tersebut tergantung
dari sifat-sifat yang dimiliki oleh bibit penyakit ataupun pejamu.
7
Hubungan antara pejamu, bibit penyakit dan lingkungan
dalam menimbulkan suatu penyakit amat kompleks dan majemuk.
Disebutkan bahwa ketiga faktor ini saling mempengaruhi, dimana
pejamu dan bibit penyakit saling berlomba untuk menarik
keuntungan dari lingkungan. Hubungan antara pejamu, bibit
penyakit dan lingkungan ini diibaratkan seperti timbangan. Disini
pejamu dan bibit penyakit berada di ujung masing- masing tuas,
sedangkan lingkungan sebagai penumpangnya.
Menurut Sutomo 1995, sanitasi lingkungan adalah bagian
dari kesehatan masyarakat secara umum yang meliputi prinsip-
prinsip usaha untuk meniadakan atau menguasai faktor-faktor
lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit melalui kegiatan-
kegiatan yang ditujukan untuk :
a. Sanitasi air
b. Sanitasi Makanan
c. Pembuangan Sampah
d. Sanitasi Udara
e. Pengendalian vektor dan binatang mengerat
Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang
menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang
mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sanitasi lebih
mengutamakan upaya pencegahan. Bertolak dari pemikiran di atas
dapat disimpulkan beberapa gatra lingkungan akan mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat.
Peningkatan kasus penyakit skabies yang meluas secara
cepat, baik jumlah kasus maupun daerah terjangkit terutama di
daerah yang padat penghuninya seperti asrama, panti asuhan dan
pesantren. Penyakit ini endemik di beberapa negara terutama
daerah yang dingin.
II.3.3 Biologi
8
Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di
seluruh dunia. Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan
orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada pria dan wanita.
Faktor imunologis juga kadang-kadang berperan dan menimbulkan
skabies yang berat yang dikenal sebagai skabies bentuk Norwegia.
II.3.4 Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan adalah gabungan dari berbagai
kesempatan dan kegiatan yang berdasarkan prinsip-prinsip belajar
unutk mencapai keadaan, dimana individu, keluarga, ataupun
masyarakat ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya
melaksanakan apa yang bisa mereka kerjakan baik secara individu
maupun secara kelompok, serta mencari pertolongan bila perlu.
Jadi tujuan penyuluhan kesehatan adalah perubahan perilaku salah
satu faktor penyebab timbulnya masalah kesehatan adalah karena
perilaku yang menyimpang.
Dalam penyampaian informasi, terdapat tiga hal pokok
yaitu:
1. Pengembangan prasarana
2. Komponen penyuluhan
3. Perubahan perilaku yang diharapkan
II.4 Penularan Skabies
Penularan skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung,
adapun cara penularannya adalah:
1. Kontak langsung (kulit dengan kulit)
Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat
tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa
hubungan seksual merupakan cara tersering, sedangkan pada anak-
anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.
2. Kontak tak langsung (melalui benda)
9
Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui
perlengkapan tidur, pakaian atau handuk mempunyai peranan penting
dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan
utama adalah selimut, pakaian dalam dan penderita perempuan.
II.5 Patogenesis Skabies
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau Sarcoptes
scabiei, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang
terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekreta dan ekskreta tungau
yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu
kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel,
urtika dan lain-lain. Akibat garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta
dan infeksi sekunder.
II.6 Bentuk-Bentuk Skabies
1. Skabies klasik
Karakteristik khas pada skabies adalah gatal terutama pada malam
hari. Lesi bilateral dan biasanya muncul pertama kali pada tangan,
terutama pada sela-sela jari. Lesi juga terdapat pada pergelangan
tangan bagian fleksor, siku, dan axilla anterior. Pada area tersebut
didapatkan papul dan nodul eritem, berskuama, dan sering disertai
krusta. Lesi patognomonis ditandai terowongan berupa garis pendek,
bergelombang, dan berwarna gelap.
2. Skabies incognito
Pengobatan kortikosteroid, baik sistemik maupun topikal, dapat
menyamarkan gejala skabies. Hal ini sering menimbulkan gambaran
klinis yang tidak biasa, seperti distribusi lesi yang luas dan atipikal,
dalam beberapa kasus dapat menyerupai penyakit lain seperti
dermatitis atopik.
3. Skabies nodular
10
Skabies nodular ditemukan pada 7-10% pada penderita skabies.
Skabies ini berkarakteristik nodul berwarna coklat kemerahan yang
terasa gatal, berukuran 5 mm sampai 20 mm. Lesi terutama pada
daerah tertutup, paling sering pada genitalia pria, lipat paha, dan axilla
(gambar 4). Tungau jarang ditemukan dan lesi tidak menular. Apabila
sembuh dapat menimbulkan hiperpigmentasi postinflamasi yang lebih
jelas terlihat setelah pengobatan.
4. Skabies pada bayi dan anak-anak
Prevalensi skabies tertinggi pada bayi adalah pada usia di bawah 2
tahun. Pada kelompok usia ini, infeksi dapat terjadi pada wajah, kulit
kepala, telapak tangan, dan telapak kaki. Lesi skabies pada bayi dan
anak-anak berupa vesikel dan vesikulopustular, sering terdapat pada
tangan dan kaki, juga terdapat gambaran lesi nodul krusta multipel
pada trunkus dan ekstremitas. Seringkali terjadi kesalahan diagnosis
karena indeks kecurigaan (suspicious index) yang rendah dan
perubahan eksema sekunder.
5. Skabies pada orang tua
Diagnosis skabies pada orang tua sulit ditegakkan karena
perubahan-perubahan kulit yang minimal atau atipikal. Reaksi
inflamasi yang jelas pada pasien berusia muda biasanya tidak terlihat
pada pasien berusia lanjut. Gatal yang sering dirasakan dapat disertai
dengan “senile pruritus”, xerosis, reaksi obat, atau psikogenik. Pada
pasien berusia lanjut menghabiskan waktu lama di tempat tidur, gatal
biasanya dirasakan di punggung. Epidemik skabies sering didapatkan
pada tempat-tempat penampungan seperti panti jompo, dimana
seorang penderita skabies dapat menularkan pasien lainnya juga para
pekerja kesehatan dan keluarganya.
6. Skabies Norwegia
11
Skabies Norwegia dapat berawal dari skabies biasa. Skabies ini
ditemukan pada pasien dengan keadaan umum yang lemah atau
imunocompromised, termasuk pasien dengan kelainan neuorologis,
sindrom down, transplantasi organ, penyakit graft-versus-host,
leukemia T-cell pada orang dewasa, lepra, atau AIDS. Lesi pada
skabies Norwegia sangat berbeda dengan tipe klasik, dimana lesi lebih
tebal dan terkadang ada skuama. Lesi berupa plak hiperkeratotik difus
dan/atau krusta pada regio palmar dan plantar, dengan penebalan dan
distrofi kuku tangan dan kaki
II.7 Diagnosis Skabies
Diagnosis pasti ditegakkan dari pemeriksaan mikroskop dengan
menemukan tungau, telur, atau butiran faeces. Salah satu elemen tersebut
harus ditemukan, karena infestasi ini sering underdiagnosed (skabies dapat
menyerupai dermatosis pruritus), atau overdiagnosed sehingga
menyebabkan penyakit lain diobati dengan skabisid. Untuk
mengidentifikasi terowongan secara cepat dapat diteteskan gentian violet
pada area yang terinfestasi, lalu dibersihkan dengan alkohol. Terowongan
akan terlihat lebih gelap dari kulit di sekitarnya karena akumulasi tinta.
Tekhnik pemeriksaan mikroskopis dengan meneteskan setetes
minyak mineral di atas terowongan dan kemudian mengerok secara
longitudinal dengan pisau skalpel nomor 15 sepanjang terowongan, hati-
hati jangan sampai berdarah. Kerokan lalu diletakkan pada kaca objek dan
diperiksa di bawah pembesaran 10 kali. Gambaran mikroskopis tungau
terlihat seperti gambar 2.
12
Gambar 2. Sarcoptes scabiei betina, telur, dan faeces.
Metoda diagnostik lain mencakup dermoskopi yang dapat
digunakan untuk memeriksa tungau secara in vivo. Pada situasi diagnostik
yang sulit dan kasus atipik, polymerase chain reaction (PCR) dapat
digunakan sebagai alat diagnostik, dengan cara mendeteksi DNA tungau
dari krusta kutaneus.
Tanda-tanda kardinal dalam menegakkan skabies, yaitu:
1. Pruritus nokturnal; gatal pada malam hari yang disebabkan oleh
aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi.
Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya,
sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Seluruh anggota keluarga yang terinfeksi dikenal dengan
keadaan hiposensitisasi. Walaupun mengalami infestasi tungau tetapi
tidak memberikan gejala. Pasien ini bersifat sebagai pembawa
(carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata
panjang 1 cm, pada ujung teroeongan itu ditemukan papul atau
13
vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf
(pustul, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksi biasanya
merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela
jari tangan, pergelangan tangan bagian polar, siku bagian luar, lipatan
ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong,
genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat
menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik.
Diagnosis skabies secara klinis dapat dibuat dengan menemukan 2
dari 4 tanda kardinal skabies diatas.
II.8 Pencegahan Skabies
Siregar (1996) yang dikutip Ruteng, 2007 menyatakan bahwa
penyakit ini erat kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang
baik. Oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran penyakit ini dapat
dilakukan dengan cara:
a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.
b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya scara
teratur minimal dua kali dalam seminggu.
c. Menjemur kasur dan bantal minimal dua minggu sekali.
d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.
e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang
dicurigai terinfeksi tugau skabies.
f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.
14
Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin
terbebas dari infeksi ulang. Dariansyah (2006) yang mengutip pendapat
Azwar, langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
a. Suci hamakan sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara
merendam di cairan antiseptik.
b. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun dan gunakan
seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
c. Keringkan topi yang bersih, kerudung dan jaket.
d. Hindari pemakain bersama sisir, mukena atau jilbab.
Departemen Kesehatan RI, 2002, memberikan beberapa cara
pencegahan yang dilakukan berupa penyuluhan kepada masyarakat dan
komunitas kesehatan tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara
pengobatan penderita skabies dan orang-orang yang kontak meliputi:
a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya.
b. Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat.
c. Penderita dirawat di Rumah Sakit diisolasi sampai dengan 24 jam
setelah dilakukan pengobatan yang efektif.
Penanggulangan wabah yang terjadi dapat dilakukan dengan
beberapa cara diantaranya:
a.Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang
berisiko.
b. Pengobatan dilakukan secara masal.
c.Penemuan kasus dilakukan secara serentak baik didalam keluarga, unit
atau instalasi militer, jika memungkinkan penderita dipindahkan.
d. Sediakan sabun, sarana pemandian dan pencucian umum.
15
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
III.1 Fase Diagnosis Sosial
Wilayah Kecamatan Melati yang terdapat pada Kabupaten Bunga,
Provinsi Sumatera Selatan meliputi areal seluas 7.000 km2. Secara
administratif terdiri atas 3 desa yaitu: Desa Melati Merah seluas 3.000
km2, Desa Melati Kuning dan Desa Melati Hijau masing-masing seluas
2.000 km2. Jumlah penduduk mencapai 3.000 jiwa yang tersebar merata di
3 Desa. Kecamatan Melati ini terletak di lereng bukit yang dikelilingi oleh
hutan karet yang merupakan sumber pendapatan masyarakat di kecamatan
tersebut. Desa-desa di kecamatan ini dikelilingi anak sungai yang tidak
terpelihara dan menjadi sumber penghidupan penduduknya. Penduduk
desa ini rata-rata menggunakan sungai dan sumur sebagai sumber air
rumah tangga baik untuk air minum, memasak maupun kebutuhan MCK.
Distribusi penduduk di Kecamatan Melati berdasarkan usia yang
terbanyak berada pada kelompok 20-40 tahun (40%), sedangkan kelompok
usia <20 tahun dan >40 tahun masing-masing 30%.
Gambar 1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia
Pekerjaan penduduk di Kecamatan Melati terbanyak adalah sebagai petani
karet (60%). Kemudian berturut-turut pedagang dan buruh (15%), PNS (10%), dan
guru (10%) dan tidak bekerja (5%). Hal ini berpengaruh pada pendapatan
perkapita yang di bawah rata-rata dan keadaan sosio-ekonomi yang rendah.
16
Gambar 2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
Kondisi perumahan penduduk kebanyakan berupa bedeng dengan sanitasi
dan pengelolaan limbah rumah tangga dan limbah karet yang kurang baik. Daerah
ini sudah terdapat fasilitas listrik, sehingga pengaruh media sangat berperan dalam
memengaruhi perilaku masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan kesehatan di daerah ini terdapat sebuah
puskesmas, selain itu juga terdapat praktek bidan dan mantri. Namun bidang
kesehatan masih memerlukan peningkatan pelayanan kesehatan, khususnya
setelah diteliti tingginya angka kejadian skabies yakni 1.200 kasus pertahun.
Masalah ini menjadi masalah sosial yang dikeluhkan pasien karena sering
menyebabkan gangguan kerja dan sosialisasi. Kejadian skabies pada
masyarakat terjadi sekitar 45%, dan menyerang penduduk dengan berbagai
tingkatan umur terutama anak-anak 14% serta remaja 32%.
III.2 Fase Diagnosis Epidemiologi
Secara epidemiologi, distribusi skabies di kecamatan Melati cukup
tinggi yaitu 1200 kasus pertahun atau sekitar 45% yang menyerang
berbagai tingkatan umur terutama anak-anak 14% dan remaja 32%. Faktor
determinan yang berpengaruh berupa perilaku yang kurang sehat,
pemukiman yang padat, kurangnya kepatuhan dalam pengobatan serta
kurangnya penyuluhan dan pelayanan kesehatan.
17
III.3 Fase Diagnosis Perilaku dan Lingkungan
Pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai penularan skabies
dan gejala-gejala yang ditimbulkannya, kemudian masyarakat
menganggap bahwa penyakit skabies merupakan penyakit yang biasa saja
tanpa harus di takuti dan sudah menjadi bagian dari kehidupan warga
kecamatan Melati. Selain itu kebiasaan anggota keluarga untuk
menggunakan pakaian secara bersama-sama serta bergantian
menggunakan handuk, sisir, seprai, selimut serta perlengkapan rumah
tangga lain yang memudahkan penyebaran skabies. Dari segi lingkungan,
pemukiman yang padat serta sanitasi yang kurang baik menjadi salah satu
faktor yang meningkatkan penularan dan kejadian skabies dalam
masyarakat.
III.4 Fase Diagnosis Pendidikan dan Organisasi
a. Predisposing factor
1. Pengetahuan yang kurang mengenai sumber-sumber penularan,
gejala-gejala , serta pencegahan dan pengobatan skabies.
2. Masyarakat menganggap skabies merupakan penyakit yang tidak
berbahaya.
b. Enabling factor
1. Tidak adanya sumber air bersih yang memadai.
2. Tidak adanya tempat pengolahan limbah masyarakat.
c. Reinforcing factor
1. Pengaruh media elektronik yang dominan dalam memengaruhi
masyarakat.
2. Perilaku yang tidak sehat dari tokoh masyarakat yang dianut.
18
III.5 Fase Diagnosis Administrasi dan Kebijakan
III.5.1 Health Education
1. Melakukan penyuluhan secara terorganisir dan
berkesinambungan pada masyarakat.
2. Melakukan pelatihan-pelatihan yang meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai tata cara yang benar dalam
melaksanakan berbagai tindakan yang telah diinformasikan
pada penyuluhan.
3. Mengevaluasi ulang hasil penyuluhan dan pelatihan untuk
melihat keberhasilan pendidikan kesehatan yang dilakukan.
Tujuan penyuluhan adalah:
1. Masyarakat mengetahui penyebab, cara penularan, pencegahan,
gejala-gejala dan pengobatan skabies yang benar.
2. Masyarakat mampu melakukan tindakan pencegahan dan
pemeliharaan kesehatan yang benar.
III.5.2 Kebijakan dan Peraturan
1. Memperbaiki dan menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana
pendukung pencegahan penyakit seperti sumber air bersih yang
terjangkau, tempat pembuangan limbah, serta perbaikan
perumahan penduduk.
2. Memperbaiki dan membangun fasilitas sarana pelayanan
kesehatan.
3. Membuat program dan pelayanan kesehatan rutin dan
pemeliharaan lingkungan.
4. Membuat kebijakan bagi masyarakat berupa berobat gratis bagi
yang mampu melaksanakan perilaku hidup sehat serta
punishment berupa membayar denda yang dananya
dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat setempat.
5. Bekerja sama dengan tokoh masyarakat, Dinas Kesehatan dan
Dinas PU.
19
III.5.3 Sistem Kesehatan
1. Input
a. sumber daya manusia: petugas kesehatan, masyarakat,
pejabat Dinas Kesehatan, pejabat Dinas PU, arsitek dan
buruh bangunan.
b. Sumber dana: Pemerintah Kabupaten, Dinas Kesehatan,
Dinas PU.
c. Sarana: Puskesmas Kecamatan Melati, Balai masyarakat
Kecamatan Melati, Rumah penduduk.
d. Prasarana: Kursi, Sound system, LCD dan perlengkapan
pelatihan.
2. Proses
a. Perencanaan
i. Rencana Kegiatan Persiapan (Preparation Activities)
No Kegiatan
(1 Oktober 2010 s/d
13 November 2010)
Pekan
I II III IV V VI
1. Menyusun proposal
2. Pencarian dana dan sponsor
3. Pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan
4. Penyebaran undangan
5. Pelaksanaan kegiatan
penyuluhan dan pelatihan
6. Evaluasi kegiatan
7. Pemantauan Setiap 6 bulan
20
ii. Rencana Kegiatan Pelaksanaan
1) Penyuluhan
Metode:
- Pre test
- Ceramah umum
- Kuliah umum bagi petugas kesehatan
- Penyebaran leaflet dan poster
- Diskusi kelompok
- Post test
2) Pelatihan
Metode:
- Praktek mencuci tangan yang benar
- Praktek desinfeksi peralatan yang dicurigai
terkontaminasi tungau.
3) Sasaran
- Seluruh lapisan masyarakat kecamatan Melati
- Petugas kesehatan
4) Waktu dan tempat kegiatan
Hari : Sabtu s/d Minggu, 6 s/d 7 November 2010
Waktu : Pukul 08.00 s/d Selesai
Tempat : Balai kecamatan Melati, Puskesmas
kecamatan Melati
Hari/tanggal Waktu KegiatanSabtu 6 November 2010
08.00 – 08.30 WIB
08.30 – 09.00 WIB
09.00 – 09.15 WIB
09.15 – 10.00 WIB
10.00 – 10.45 WIB
10.45 – 11.00 WIB
11.00 – 11.30 WIB
Registrasi dan pembukaan
Pretest + snack
Break
Penyuluhan Skabies
Diskusi kelompok
Break
Post test + door prize
21
Minggu10 Novemver 2010
08.00 – 08.30 WIB
08.30 – 10.00 WIB
10.00 – 10.15 WIB
10.15 – 11.45 WIB
11.45 – 12.00 WIB
Registrasi ulang
Pelatihan pencegahan skabies
Break
Motivation training
Penutupan + pengumuman nilai dan
pemberian hadiah
iii. Rencana Pembiayaan
No Kegiatan Biaya Sumber Dana
1 Pembuatan proposal Rp 100.000,- Kas organisasi
2 Pembuatan dan perbanyakan soal pretest dan post test
Rp. 200.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
3 Undangan Rp. 50.000,- Kas organisasi
4 Sewa gedung dan peralatan (kursi, sound system, LCD)
Rp. 1.500.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
5 Perbanyakan makalah Rp. 750.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
6 Honor 2 orang pembicara @ Rp. 100.000,-
Rp. 200.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
7 Jasa trainer Rp. 1.500.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
8 Konsumsi 300 orang peserta 3 x @ Rp. 1.000,-
Rp. 900.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
9 Doorprize Rp. 100.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta
22
Ketua Pelaksana
Dr. Samuel Eto’o, Mars
Seksi Acara
Dr. Ahmad Dika
Wijaya
Seksi Transportasi
dan keamanan
Dr. Riyan Apriantoni
Seksi Pelrengkapan
dan kesekretariatan
Dr. Hendra
Penyuluhan
1.Novita
2. Omes
3. Tukul
Seksi Konsumsi
Dr. Ratih Merinda
Seksi Dokumentasi
Dr. Kamalia
Layal
Pelatihan
1.Elvis
2. Olga
3. Tantowi
Anggota
Boateng
Gattuso
Ade Rai
Anggota
Obama
Sharkozi
Olmert
Anggota
Chef.Rudi
Pak Raden
Abah Opan
Anggota
Farhan
Rancho Cacad
Raju Rastogi
8 Dokumentasi Rp. 100.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
9 Transportasi Rp. 100.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
10 Keamanan Rp. 100.000,- Dana bantuan dari pemerintah/instansi swasta/tokoh masyarakat
Total biaya yang dibutuhkan
Rp. 5.600.000,-
b. Pengorganisasian
23
3. Output
a. Meningkatnya pengatahuan masyarakat mengenai penyebab,
penularan, gejala, pencegahn dan pengobatan skabies.
b. Timbulnya perilaku hidup sehat masyarakat yang
diaplikasikan secara konkrit.
c. Terciptanya sanitasi lingkungan yang sehat di kecamatan
Melati.
d. Berjalannya pelayanan kesehatan secara profesional.
III.5.4 Evaluasi
1. Keberhasilan unsur masukan : jumlah partisipan memenuhi
target, adanya ketersediaan dana, sarana dan prasarana yang
mendukung pelaksanaan program.
2. Keberhasilan unsur proses : terselenggaranya program
penyuluhan dan pelatihan dengan baik
3. Keberhasilan unsur keluaran : meningkatnya pengetahuan
masyarakat di kecamatan Melati mengenai skabies sehingga
risiko kejadian akibatnya menjadi berkurang. Instrumen yang
digunakan untuk evaluasi unsur keluaran adalah kuisioner.
Kuisioner yang dipakai untuk posttest sama dengan kuisioner
yang dipakai untuk pretest. Hasil pengisian kuisioner
diperhitungkan dalam bentuk persentase dan kemudian
dibandingkan dengan persentase pengetahuan masyarakat
sebelum mendapatkan kuliah penyegaran, apakah terdapat
adanya peningkatan pengetahuan. Selain itu diharapkan
terdapat peningkatan motivasi dalam melakukan pencegahan
skabies di lapangan, dengan berkurangnya angka kejadian
skabies yang diakomodir dan dilaporkan oleh petugas kesehatan
di kecamatan Melati.
24
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
1. Prevalensi skabies pada masyarakat di kcamatan Melati sekitar 45%,
dan menyerang penduduk dengan berbagai tingkatan umur terutama
anak-anak 14% serta remaja 32%.
2. Kejadian skabies dipengaruhi oleh berbagai faktor, sesuai teori Blumn,
faktor-faktor ini adalah faktor perilaku, lingkungan, biologis, dan
layanan kesehatan. Intervensi terhadap faktor-faktor ini diharapkan
dapat menekan angka kejadian skabies.
3. Intervensi yang direncanakan dalam tulisan ini melibatkan dua
program utama yaitu penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat.
4. Penyuluhan bagi masyarakat diharapkan akan mengatasi faktor
perilaku masyarakat yang tidak sehat serta sekaligus mengatasi faktor
lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi
oleh perilaku masyarakat.
5. Pelatihan bagi masyarakat ditujukan untuk mengenalkan tata cara yang
benar dalam pencegahan sehingga dapat diterapkan dengan baik.
IV.2 Saran
Program-progam yang diajukan dalam tulisan ini layak untuk
dijalankan karena menggunakan sumber daya secara minimal namun akan
memberikan hasil yang besar karena diarahkan pada faktor-faktor yang
berperan besar dalam menurunkan angka kejadian skabies.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Muzakir. Faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit skabies pada pesantren di kabupaten Aceh Besar [online]. 2007. [Cited 5 Nov 2010]. Availble from: URL:http//usu.library.com
2. Azwar A. Pendidikan kesehatan masyarakat. Jakarta. Rineka Cipta; 2000.3. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Skabies creeping eruption dan
pedikulosis In: Djuanda A, editors. Ilmu kulit dan kelamin. 4 th ed. Jakarta. Fakultas Kedokteran Indonesia; 2002.
4. Stone SP, Goldfarb JN, and Bacalieri RF. Scabies, Other Mites, and Pediculosis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, ed. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc-Graw Hill; 2008.p. 2029-32.
5. Orkin M. and Maibach HI. Ectoparasitic Disease. In: M. Orkin., H.I. Maibach., and M.V. Dahl, ed. Dermatology. 1st ed. Connecticut: Appleton & Lange; 1991.p.205-9.
6. Burns DA. Diseases Caused by Arthropod and Other Noxious Animals. In: Burns T, Breathnac S, Cox N, and Griffiths C, ed. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. Oxford: Blackwell; 2004.p. 33.37-33.46.
7. Meinking TL, Burkhart CN, Burkhart CG. and Elgart G. Infections, Infestations, and Bites. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, and Rapini RP, ed. Dermatology. 2nd ed. New York: Elsevier; 2008.p. 1291-5.
8. Fitzpatrick TB, Johnson RA and Wolff K. Insect Bites and Infestations. In: Fitzpatrick TB, Johnson RA, and Wolff K, ed. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. New York: Mc-Graw Hill; 1997.p. 1646-60
26