skripsi diajukan kepada fakultas syariah dan hukum untuk...
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN PARTAI POLITIK ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2008 TINJAUAN TERHADAP EKSISTENSI
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
BURHANUDDIN NIM: 104045201498
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
KEDUDUKAN PARTAI POLITIK ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2008 TINJAUAN TERHADAP EKSISTENSI
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Burhanuddin
NIM: 104045201498
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. Atep Abdurofiq, M.Si.
NIP: 150 276 211 NIP: 150 371 092
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Desember 2008 M
14 Dzulhijjah 1429 H
Burhanuddin
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT.
Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas,
Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga penulis diberikan kekuatan
fisik dan psikis untuk dapat menyelesaiakan skripsi ini yang berjudul: "KEDUDUKAN
PARTAI POLITIK ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008
(TINJAUAN TERHADAP EKSISTENSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA).”
Shalawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi
Muhammad SAW. beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah
membuka pintu keimanan yang bertauhidan kebahagiaan, kearifan hidup manusia dan
pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah
pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman.
Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai Gelar
Sarjana Hukum Islam (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah
Syari'yyah (HTNI) Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Setulusnya dari hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya
penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asmawi., M.Ag., dan Sri Hidayati, M.Ag., Ketua dan Sekretaris Program Studi
Jinayah Siyasah. (terima kasih atas pelayanan yang sangat memuaskan dan bantuan
yang tidak terlupakan).
3. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA., dan Atep Abdulrofiq, M.Si., Dosen Pembimbing,
yang telah meluangkan waktu, membimbing, memberikan masukan dan
memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan tenaga dan
pikirannya untuk mendidik penulis. Semoga do'a dan didikannya menjadi berkah
dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik.
5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi-kan pelayanan,
fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.
6. Dewan Pegurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera dan Redaktur Majalah Tarbawi
serta semua karyawan yang telah banyak membantu terutama memberikan
pelayanan dalam memperoleh bahan bacaan yang begitu besar manfaatnya untuk
penulisan skripsi ini.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta H. Daeng mananring dan Hj. Hasmah yang selalu
penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya
kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan
penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan
kasih sayangnya kepada mereka. Amiin.
8. Semua saudara penulis, yang telah membantu dengan doa dan materi yaitu: Abang
Drs.Zainal Abidin beserta isteri, kakak Nureha dan suami yang telah membantu
orang tua dikebun untuk biaya kuliahku, kakak Sofia S.Ag., dan suami, abang
Moh. Nawawi dan isteri, kakak Heriyati S.Ag., dan suami yang selalu meluangkan
waktunya untuk mentransferkan duit setiap bulannya meskipun sibuk sebagai
kepala KUA di Kab. Muara Jambi., kakak Faizah yang selalu memberikan arahan
dan masukan meskipun ada dikampung, dan khususnya kepada kakak Sholeha
S.Ag dan suami (Drs. Andi Baharuddin, S. IPI) serta ponaanku Muannas Jamilah
(Alm) yang selalu mendoakan penulis selama masa hidupnya dan telah meninggal
Maret 2008, karena kecelakan kendaraan dan ponaanku yang lucu-lucu yang telah
memberikan dorongan motivasi kepada penulis.
9. My Best Friend’s di markas pusat Asrama Wennang’e Amar, Gani, Herman,
Shadiq, penulis ucapkan terima kasih atas parsitipasinya dalam menyelesaikan
skripsi ini.
10. Teman-teman IKAMI SUL-SEL Jakarta, khususnya wilayah Ciputat, dan teman-
teman Organisasi yang lain, penulis tidak sebutkan namanya satu persatu. Semoga
apa yang kita cita-citakan dapat terlaksana.
11. Kepada teman-teman satu kelas SS angkatan 2004 yang selalu memberikan
kenangan tak terlupakan. Khususnya Muhammad Zamroni, Sidiq dan Ibnuddin
Fauzan. dan terakhir Oyok Tolisalim yang selalu membantu penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun
materil, penulis panjatkan do’a semoga Allah Swt membalasnya dengan imbalan
pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah
surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan
berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin
Jakarta: 12 Desember 2008 M
14 Dzulhijjah 1429 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah .................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................. 9
E. Metodologi Penelitian............................................................ 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 13
BAB II TEORI TENTANG PARTAI POLITIK
A. Definisi Partai Politik ............................................................ 15
B. Sejarah Ideologi Partai Politik dan Perkembangan Ideologi Agama
dalam Partai Politik .............................................................. 18
1. Sejarah dan praktek Ideologi Agama dalam Partai
Politik di Indonesia .......................................................... 26
2. Sejarah Perkembangan Partai-Partai Politik
Islam di Indonesia .......................................................... 28
C. Fungsi Partai Politik dalam Organisasi Negara....................... 41
1. Fungsi di Negara Demokrasi ............................................ 42
2. Fungsi di Negara Otoriter................................................. 44
3. Fungsi di Negara-Negara Berkembang............................. 47
D. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Orde Baru ................... 49
BAB III SEKILAS TENTANG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
A. Latar Belakang Berdirinya PKS ............................................. 53
B. Perspektif Ideologi dan Program PKS.................................... 57
C. Visi dan Misi PKS ................................................................. 63
D. Strategi Politik PKS Menjelang Pemilu 2009 ........................ 67
BAB IV EKSISTENSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA PASCA
LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008
A. Analisis Materi Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008........................................................................ 79
1. Masalah verifikasi partai politik menurut Undang
Undang No. 2 Tahun 2008 ............................................ 82
2. Perbandingan persyaratan parpol sebagai badan
hukum menurut undang-undang No. 31 Tahun
2002 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 .......... 85
B. Prospek Partai Keadilan Sejahtera Pasca lahirnya Undang-Undang
No. 2 Tahun 2008 ................................................................ 87
C. Tantangan Partai Keadilan Sejahtera Menjelang Pemilu 2009
............................................................................................. 106
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 115
B. Saran ..................................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 120
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Revolusi telah membawa tuntutan yang besar kepada perubahan sistem dan
kehidupan politik di Indonesia, masyarakat sendiri masih mempunyai kapasitas
yang relatif rendah untuk bisa melayani segala perubahan tersebut. Masyarakat
yang secara minimal memperoleh kesempatan untuk mengenal berbagai sistem
politik di dunia ini dan mencoba mengurus diri sendiri dengan mempraktekkan
salah satu atau kombinasi dari berbagai sistem politik yang dikenalnya, demikian
halnya dengan partai politik. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, masalah yang
menyangkut partai politik serta kehidupannya sudah menjadi salah satu
pembicaraan utama di kalangan para politisi Indonesia, terutama para perintis
kemerdekaan telah memikirkan sistem kepartaian yang sesuai untuk dikembangkan
kelak di Indonesia.1
Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai
manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi,
apakah dia bertujuan sosial (seperti Budi Utomo dan Muhammadiah) ataukah
1 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan, cet. V, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), h. 21.
terang-terangan menganut azas politik/agama.2 Pada tahun 1918 pihak Belanda
mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai badan perwakilan. Ada beberapa
partai serta organisasi yang memamfaatkan kesempatan untuk bergerak melalui
badan ini (yang dinamakan ko, namun ada pula yang menolak masuk didalamnya
yang dinamakan non-ko). Pada awalnya partisipasi organisasi Indonesia sangat
terbatas. Dari 38 anggota, disamping ketua seorang Belanda, hanya 15 orang
Indonesia, diantaranya 6 anggota Budi Utomo dan Sarekat Islam. Komposisi baru
berubah pada tahun 1931 waktu diterima prinsip “mayoritas pribumi”, sehingga
dari 60 orang anggota ada 30 orang pribumi. Pada tahun 1939 Fraksi Pribumi
terpenting dalam volksraad antara lain. Fraksi Nasional Indonesai.(FRANI) yang
merupakan gabungan dari beberapa fraksi, diantaranya Parindra dan perhimpunan
Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB). Ketua Volksraad tetap orang Belanda.3
Kehadiran partai politik dalam sejarah politik Indonesia modern dimulai
pada abad ke-20. Sejalan dengan berbagai kebijakan baru pemerintah Hindia
Belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik etis, berbagai asosiasi yang bercorak
etnis, kebudayaan, dan keagamaan bermunculan sejak tahun 1905. Partai-partai
politik bermunculan setelah Gubernur Jenderal Indenburg memberikan keleluasaan
kepada Sarekat Islam bergerak secara lokal, karena ia mengira organisasi ini tidak
akan terlibat dalam aktivitas politik. Partai-partai lain juga bermunculan dalam
2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004), h. 171. 3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), cet. Pertama, h. 423
kurun 1910-1930, seperti Indesche Partij, ISDV (yang kemudian berubah menjadi
Partij Kominis Hindia), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh
Soekarno pada tahun 1927. Sepanjang empat dasawarsa abad ke-20, partai-partai
politik memberikan kontribusi yang besar dalam menumbuhkan semangat
nasionalisme Indonesia, kendatipun partai-partai itu tumbuh dan berkembang
berdasarkan ideologi politik yang berbeda-beda.4
Model demokrasi sebenarnya pernah dikemukakan pada tahun 1945-an dan
bahkan sebelumnya oleh Bung Karno yang menganjurkan agar partai-partai Islam
dapat menempatkan ahli-ahlinya dalam parlemen dan mengisi proses legislasi
dengan hukum-hukum Islam. Dengan demikian Bung Karno dan juga Bung Hatta
pun tidak menolak perjuangan penerapan syariat Islam.5 Terkait dengan hal ini
perlu ditegaskan sebagaimana dipaparkan Deliar Noer, dalam bukunya “Partai
Islam di Pentas Nasional; Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia
1945-1965” mengatakan bahwa:
“Berdirinya partai-partai Islam pada masa kemerdekaan perlu dilihat dengan latar belakang perkembangan politik Indonesia pada masa bersangkutan. Ini akan memungkinkan kita untuk melakukan penilaian tentang kedudukan partai, kekuatan dan kelemahannya. Disamping tentunya melihat kemampuan para pemimpinya serta struktur partai itu sendiri”.6
4 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet.
Pertama, h. 17 7-172.
5 Lihat, M. Dawam Rahardjo, ”Pulangnya Si Anak Hilang” dalam Komaruddin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF (ed) Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta : Paramadina, 2005), Cet. Pertama, h. 8.
6 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik
Indonesia 1945-1965, cet.II, (Bandung: Mizan, 2000 ), h. 47.
Bagaimanakah sekarang dengan eksistensi partai-partai Islam khususnya
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada pemilu 1999, ditempatkan sebagai
tujuh partai besar (the big seven). Bersama dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 apakah partai tersebut dibatasi ruang geraknya atau justru
memberikan ruang gerak yang luas untuk meraih suara mayoritas dalam pemilihan
berikutnya?
Jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 bukan saja telah membuka
peluang kebebasan bagi kehidupan politik bangsa Indonesia, tetapi juga menum-
buhkan hasrat para tokoh politik, agamawan, pengusaha dan kalangan intelektual
untuk bangkit menggapai kekuasaan lewat partai politik.7 Salah satunya adalah
PKS yang merupakan partai politik berasaskan Islam,8 memiliki visi khusus, yaitu
partai yang berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini
dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Dengan bekal visi itu,
partai mendasarkan prinsip kebijakannya sebagai partai dakwah. Artinya, dakwah
menjadi poros utama seluruh gerak partai, sekaligus menjadi karakteristik perilaku
para aktivis-nya dalam berpolitik. Dalam verifikasi faktual oleh KPU, partai ini
lolos di semua provinsi yang diajukan (27 provinsi). Menghadapi pemilu 2004,
PKS memenuhi kuota perempuan dalam daftar calon anggota legislatif usulannya,
dengan mengusulkan calon anggota legislatif perempuan sebanyak 37,4 persen.
7 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004 ), Cet. Pertama, h. Vii. 8 Lihat, Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera Bab I pasal 2
Salah satu sasaran PKS untuk mencapai tujuan adalah terwujudnya pemerintahan
yang jujur, bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan serta tegaknya masyarakat Islam yang memiliki
kemandirian berdasarkan sebuah konstitusi yang menjamin hak-hak rakyat dan
bangsa Indonesia.9
Pada umumnya perkembangan partai sejalan dengan perkembangan
demokrasi, dalam hal perluasan hak pilih dari rakyat dan perluasan hak-hak
parlemen. Semakin luas pertumbuhan fungsi-fungsi dan kebebasan majelis politik,
maka semakin tumbuh kesadaran para anggotanya untuk membentuk kelompok
antar-mereka dan bersaing dalam pentas politik. Semakin meluas hak individu
untuk memberikan suaranya, semakin mendesak pula keperluan pembentukan
komite untuk mengorganisasi dan menyalurkan suara para pemilih, serta penyedian
calon-calon untuk mereka pilih.10
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya
memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam
setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi,
karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara
pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens). Bahkan
menurut Schattscheider (1942), dalam “Political Parties Created Democracy”,
9 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-
2009, h. 304-305 10 Maurice Duverger, Asal Mula Partai Politik, dalam Ichlasul Amal (ed.) Teori-Teori
Mutakhir Partai Politik, cet. II, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1996), h. 2.
partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu,
partai politik merupakan pilar yang perlu dan bahkan sangat penting untuk
diperkuat derajat perlembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap
sistem demokratis. Derajat perlembagaan partai politik itu sangat menentukan
kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.11
Undang-undang partai politik adalah undang-undang yang pertama
disahkan dari empat undang-undang bidang politik lainnya seperti: undang-undang
Pemilu Legislatif, Susunan/Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, dan undang-
undang yang baru (UU Pilpres)12. Hal ini dapat dimengerti karena ketentuan-
ketentuan dan pengaturan tentang partai politik memang harus dibuat pertama kali
sebagai awal persiapan pemilu.13 Oleh karena itu, Kaidah demokrasi yang
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, dan tanggung
jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam NKRI perlu berlandaskan
hukum, sebagaimana dalam Undan-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang partai
politik diperbaharui sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan
masyarakat yaitu kedalam UU No. 2 Tahun 2008.14
11 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007 ), h. 710.
12 Maswadi Rauf, Perkembangan Undang-Undang Bidang Politik Pasca Amandemen
UUD 1945. Dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali, 14-18 Juli 2003,” buku II (Jakarta: PNRI, 2003), Cet. Pertama, h. 56.
13 Ibid., h. 63.
14 Konsideran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Penelitian mengenai partai politik merupakan kegiatan ilmiah yang relatif
baru. Sekalipun bermacam-macam penelitian telah diadakan untuk mempelajari-
nya, akan tetapi hingga sekarang belum tersusun suatu teori yang mantap mengenai
partai sebagai lembaga politik.15 Karena itu perlu dikaji bagaimana kedudukan
partai-partai politik Islam khususnya PKS pasca lahirnya UU No. 2 Tahun 2008.
Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh kedudu-kan parpol
Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008 dengan PKS sebagai studi kasus, alasan penulis
memilih PKS karena merupakan salah satu partai Islam yang fenomenal, dengan
melihat setiap peningkatan suara pada Pemilu 1999 dengan 1% dan pada pemilu
2004 meningkat dengan perolehan 7% suara.16
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah,
maka penulis membatasi hanya pada pembahasan partai politik masa pasca
orde baru, khususnya PKS salah satu parpol Islam kedudukannya di dalam UU
No. 2 Tahun 2008. Kedudukannya parpol dalam setiap sistem demokrasi, yakni
sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga
negaranya (the citizens) untuk menyampaikan aspirasi atau untuk
15 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.159
16 Oleh William Liddle Pengamat Politik Indonesia dari USA disampaikan pada acara West
East Conection pada siaran televisi swasta Metro TV Jumat 7 Nopember 2008.
mempengaruhi proses-proses penentuan kebijakan umum yang berkaitan
dengan kepentingan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kemudian, apakah pasca disahkannya RUU Parpol menjadi UU No. 2
Tahun 2008 disebutkan tadi dapat berjalan dengan semestinya atau tidak. yaitu
memberikan kebebasan dan tidak menimbulkan diskriminasi bagi partai politik.
Baik partai besar maupun partai kecil, partai nasionalis maupun partai Islam
khususnya PKS. UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik akan menjadi
landasan hukum di dalam mengelola parpol sehingga menjadi parpol yang
kredibel, modern dan mandiri. Untuk itu penulis memberikan batasan masalah
dalam penelitian skripsi ini. Bagaimana kedudukan partai politik Islam dalam
UU No. 2 Tahun 2008 dan khususnya ditinjauan dari eksistensi PKS.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana eksistensi PKS pasca lahirnya UU No. 2 Tahun 2008?
2) Bagaimana konstestasi politik PKS sebelum RUU Parpol menjadi UU No.
2 Tahun 2008?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya:
1) Mengetahui eksistensi PKS pasca lahirnya UU No. 2 Tahun 2008.
2) Untuk mengetahui dengan jelas mengenai konstestasi politik PKS sebelum
RUU Parpol menjadi UU No.2 Tahun 2008.
2. Manfaat
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1) Sebagai sumbangan teoritas bagi masyarakat mengenai sebuah eksistensi
partai politik Islam yaitu dalam hal ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
2) Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dalam pengembangan khazanah keilmuan
dibidang politik.
3) Memberikan pemahaman tersendiri khususnya bagi penulis, dan umumnya
bagi masyarakat luas mengenai eksistensi PKS di dalam UU No. 2 Tahun
2008.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penelitian ini, penulis berupaya untuk mencari berbagai
informasi dan tinjauan pustaka yang mendukung penelitian ini. Berikut paparan
tinjauan umum atas sebagian karya-karya peneliti tersebut:
Buku pertama, merupakan tesis karya dari Arsyad, “Dakwah Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Melalui Kaderisasi ” dalam beberapa bab menjelaskan
mengenai hubungan dakwah dengan partai politik dan kaderisasi, dan menganalisis
beberapa strategi politik pada bab keempat.
Buku kedua, merupakan skripsi karya dari Nor Qomariah, “Negara Islam
dalam Pandangan Politik Aktivis Perempuan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Poin-poin inti pembahasannya adalah mengenai konsep negara Islam dalam
pandangan politik aktivis perempuan PKS dan agenda politik partai keadilan
sejahtera pada pemilu 2009.
Buku ketiga, yaitu karya yang merupakan edisi gabungan yang disusun oleh
Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “ Memperjuangkan Masyarakat Madani”.
membahas mengenai falsafah dasar perjuangan dan platform kebijakan
pembangunan PKS.
Buku keempat, karya Dr.Yusri Ihza Mahendra, “Dinamika Tatanegara
Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem
Kepartaian”, menguraikan secara komperehensif tentang partai politik, mulai dari
zaman kolonial sampai kepada dinamika kepartaian di Indonesia pasca
kemerdekaan.
Buku kelima, "Dasar-Dasar Ilmu Politik" yang ditulis oleh Prof. Miriam
Budiardjo, dalam buku tersebut dibahas tentang konsep-konsep seperti politik
(politics), kekuasaan, pembuatan keputusan (decision making) fungsi Undang-
Undang Dasar, kelompok-kelompok politik, Dewan Perwakilam Rakyat, baik
didalam maupun diluar Indonesia, serta pembahasan yang paling urgen dalam
penulisan ini ialah tentang definisi partai politik, fungsi partai politik, klasifikasi
partai politik.
Buku keenam, karya Deliar Noer, “Partai Islam di Pentas Nasional; Kisah
dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965”, dalam bab 2 membahas
tentang berdirinya partai-partai Islam.
Dari semua penelitian tersebut, belum ada yang secara khusus meneliti
secara normatif kedudukan partai politik Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008
ditinjau terhadap eksistensi PKS.
E. Metode Penelitian
Menurut Alfian sebagaimana dikutip Abuddin Nata, permasalahan politik
dapat dikaji melalui berbagai macam pendekatan. Ia dapat dipelajari dari sudut
kekuasaan, struktur politik, partisipasi politik, komunikasi politik, konstitusi,
pendekatan dan sosialisasi politik, pemikiran politik, dan juga kebudayaan politik.17
Dengan demikian pendekatan yang dipakai penulis merupakan gabungan
pendekatan konstitusi, pendekatan pemikiran politik dan kebudayaan politik dan
penulis akan menguraikan bagian-bagian metode penelitian yang digunakan,
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah
penelitian kepustakaan (library reseach) dan penelitian hukum normatif yang
bersandar pada ketentuan peraturan perundang-undangan.18 Jenis penelitian ini,
17 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam cet.IX, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),
h. 324.
18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pres, 1986), h. 43.
diambil sesuai dengan obyek penelitian yang dikaji melalui pendekatan
kualitatif19. Kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.
2. Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah Kedudukan Partai politik Islam
dalam hal ini adalah PKS, sedangkan objeknya adalah di dalam UU Nomor 2
Tahun 2008.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Mengenai tehnik pengumpulan data, penulis akan memperoleh data
melalui studi kepustakaan atau dokumenter dan wawancara (interview)
terhadap para praktisi politik PKS dan para pengambil keputusan politik PKS.
Mencari, mengumpulkan, meneliti, dan menelaah serta mengkaji data dan
informasi dari berbagai media yang relevan dan obyektif.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis akan memperoleh data dari dua sumber
utama, yakni primer dan sekunder. Sumber primer dalam hal ini, adalah UU
No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik, Risalah Sidang Pembahasan RUU
Parpol serta berupa dokumentasi yang bersinggungan dan mengarah kepada
19 Lihat Dede Rosyada, Metodologi Penelitian,(T.tp., PAI Fak. Tarbiyah dan Keguruan), h.
11. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. dan lihat juga Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, cet. IX (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2004) h. 173 Penelitian
kualitatif dilakukan terhadap objek penelitian yang bersifat sosiologis, sikap keagamaan,
kecerdasan, pengaruh kebudayaan dan sebagainya termasuk objek penelitian yang bersifat
kualitatif.
bahasan mengenai kedudukan partai politik Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008
serta tinjauan terhadap eksistensi PKS. Sedangkan sumber data sekundernya
adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan dan pembacaan terhadap
berbagai literatur kepustakaan tentang permasalahan kedudukan partai politik
Islam terutama yang berkenaan dengan PKS. Studi pustaka ini dimaksudkan
dapat menjadi dasar penyusunan desain penelitian, kerangka pemikiran atau
teori maupun proses penulisan.
5. Teknik Analisis Data
Dalam skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu pendekatan isi
(content analysis), yang menekankan pada pengambilan kesimpulan dan
analisa yang bersifat deskriptif-deduktif. Seluruh data yang diperoleh akan
diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum, kemudian dikaji dan diteliti
selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik
dan relevan mengenai data tersebut.20
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
20 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 125.
Kajian mengenai Kedudukan Partai Politik Islam dalam UU No. 2 Tahun
2008 (Tinjauan Terhadap Eksistensi Partai Keadilan Sejahtera), Sistematika
penulisannya adalah dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab
dengan rincian sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, perumusa masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi, dan sistematika penulisan.
BAB II Merupakan teori tentang partai politik. Pada bab ini diuraikan definisi
partai politik, sejarah ideologi partai politik dan perkembangan ideologi
agama dalam partai politik, fungsi partai politik dalam organisasi
negara, serta sistem kepartaian di Indonesia pasca Orde Baru.
BAB III Merupakan bagian yang membahas sekilas tentang PKS. Di sini
membahas latar belakang berdirinya PKS, perspektif ideologi dan
program PKS, visi dan misi serta strategi politik PKS menjelang pemilu
2009
BAB IV Merupakan bagian yang membahas tentang eksistensi PKS pasca
lahirnya UU No. 2 Tahun 2008. Dimana poin-poin pembahasannya
adalah: Analisis materi-materi UU No. 2 Tahun 2008 diantaranya:
Masalah verifikasi partai politik menurut UU No. 2 Tahun 2008 dan
Perbandingan persyaratan parpol sebagai badan hukum menurut UU
No. 31 Tahun 2002 dengan UU No. 2 Tahun 2008 serta prospek partai
PKS pasca lahirnya UU No. 2 Tahun 2008 dan tantangan partai PKS
menjelang pemilu 2009.
BAB V Merupakan bab penutup, dalam bab ini disajikan dua buah konklusi
sebagai jawaban atas permasalahan inti dan mendasar yang diakhiri
dengan beberapa saran penting sebagai usulan follow up dari penulis.
BAB II
TEORI TENTANG PARTAI POLITIK
A. Definisi Partai Politik
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-
cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan programnya.21
Untuk mengetahui apa dan bagaimana partai politik beroperasi, ada baiknya
kita melihat kembali literatur yang terkait dengan partai politik. Max Weber dapat
dikategorikan sebagai pendiri pemikiran politik modern (Brechon, 1999). Dalam
bukunya yang berjudul Economie et Societe (1959) Max Weber menekankan aspek
profesionalisme dalam dunia politik modern. Partai politik kemudian didefinisikan
sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa
dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan
dari dukungan tersebut. Partai politik menurut Max Weber sangat berkembang
pesat di abad ke 19 karena didukung oleh legitimasi legal-rasional.22
21 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), Cet. Pertama, h. 403-404.
22 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di
Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Cet. Pertama, h. 66
Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para
sarjana. Para ahli ilmu politik diantaranya Carl J. Friedrich menuliskannya sebagai
berikut:
“A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, throught such control ideal and material benefits and advantages”. (Partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan
tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan
bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan
kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil).23
Sigmund Neumann dalam bukunya, “Modern Political Parties”,
mengemukakan definisi partai politik hampir sama dengan carl. J. Fredrich yang
menekankan adanya kompetisi kekuasaan, ia menyatakan:
“A political party is the articulate organization of society’s active political agents: those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views”. (Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis
politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta
merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau
golongan-golongan lainnya yang mempunyai pandangan yang berbeda).24
Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga
pemerintahan yang resmi.
Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang kepartaian dan membuat
definisinya adalah Giovanni Sartori, yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan
23 Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404. 24 Ibid.
penting. Menurut Sartori: “A party is any political group that present at elections,
and is capable of placing through elections candidates for public office” (Partai
politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui
pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki
jabatan-jabatan publik).25
Menurut UU No. 31 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan atas UU No. 2
Tahun 1999 tentang Partai Politik, yang disebut sebagai Partai Politik adalah
organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik
Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat, masyarakat, bangsa dan negara
melalui pemilihan. Seperti dikatakan oleh Appadorai:
“A political party is a more or less organized group of citizens who act together as a political unit, have distinctive aims and opinions on the leading political questions of controversy in the state, and who, by acting together as political unit, seek to obtain control of the government. It is based on two fundamentals of human nature: men differ in their opinions, and are gregarious; they try to achieve by combination what they cannot achieve individually.” (Partai politik adalah sedikitnya satu atau lebih kelompok yang mengorganisasi warga negara bertindak bersama-sama sebagai satu kesatuan politik, memiliki tujuan sendiri-sendiri dan pertentangan pendapat dalam negara melalui tindakan secara bersama sebagai kesatuan politik untuk memperoleh kekuasaan pemerintahan. Berdasar pada dua dasar alamiah manusia: manusia berbeda dalam pendapat mereka dan mencoba untuk mencapai tujuan bersama dengan bergabung apa-apa yang mereka tidak bisa wujudkan secara individu).
26
Setelah penulis memaparkan beberapa definisi mengenai partai politik yang
dibuat oleh para sarjana dan beberapa contoh definisi yang dibuat oleh para ahli
25 Ibid., h. 404-405 26 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007 ), h. 709.
ilmu klasik dan kontemporer. Akhirnya dapat di simpulkan bahwa hampir
keseluruhan mengartikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional
dan kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-
nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dengan melalui aturan-aturan yang telah ditentukan
(konstitusional) guna melaksanakan programnya. Kemudian dalam konteks
Indonesia, UU Republik Indonesia tentang partai politik telah diperbaharui sesuai
dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat yaitu kedalam UU No. 2
Tahun 2008 sebagaimana dalam bab I tentang ketentuan umum Pasal (1)
menyatakan: “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”27
B. Sejarah Ideologi Partai Politik dan Perkembangan Ideologi Agama dalam
Partai Politik
Kata ideologi telah mengalami pasang surut dalam suatu zaman. Kata ini
merupakan kata kunci di mana semua aspek kehidupan manusia di analisis
berdasarkan kata ini. Kata ini tidak hanya bergerak mengikuti waktu.
27 Pasal (1) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Penggunaannya pun begitu meluas.28
Masing-masing disiplin ilmu menerjemah-
kan secara berbeda tentang arti kata ‘ideologi’. Namun, dalam kajian ini
memfokuskan diri pada ideologi politik. Dalam berbagai kajian, ideologi politik
didefinisikan sebagai suatu paham dan nilai tertentu yang digunakan untuk
mencakupi semua usaha mencapai suatu kondisi ideal tertentu. Kata ‘ideologi’
memiliki arti yang sangat individual, menekankan bahwa masing-masing
kelompok dan sistem sosial akan membentuk ideologi29
.
Aron (1965) membedakan ideologi menjadi dua konsep. Pertama,
memposisikan ideologi sebagai suatu sistem global tentang penafsiran dan
tindakan. Ideologi memerankan peran dan fungsi yang mengarahkan bagaimana
aktor atau individu memahami dan memberikan arti pada setiap peristiwa yang
terjadi. Ideologi sangat membantu aktor politik untuk menyederhanakan fenomena
yang bersifat kompleks dan multi dimensi. Kedua, diasosiasikan dengan agama
sekuler. Kekuatan ideologi tidak berbeda dengan agama dalam memotivasi para
aktor politik untuk bertindak dan bersikap. Yang membedakan, ideologi adalah
hasil konstruksi manusia dan bukan institusi kewahyuan.30
Gramsci (1971) dan Rude (1980) mencoba membangun konsep ideologi
yang lebih bersifat politik. Mereka membedakan konsep ideologi menjadi dua,
antara ideologi ‘organik’ dan ‘inheren’ dengan ideologi ‘tradisional’ atau
28 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di
Era Demokrasi, h. 82-83
29 Ibid. 30 Ibid.
‘turunan’. Konsep ideologi organik muncul sebagai hasil dari interaksi sosial dan
ekonomi suatu masyarakat. Sementara itu, ideologi tradisional merupakan hasil
dari kejadian besar dalam sejarah suatu masyarakat tertentu. Menurut Finbow
(1993), ideologi organik dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: Ideologi populer
(populaire ideology), ideologi utama (central ideology), dan ideologi publik
(public ideology). Ideologi populer mencerminkan pengalaman suatu kelompok
populer seperti petani, buruh, dan gerakan-gerakan sosial baru. Ideologi utama
dibangun berdasarkan kepentingan pribadi (self interest) dan kesadaran umum,
seringkali ditemukan dalam kelompok profesional pengusaha. Sementara itu,
ideologi publik dikembangkan oleh aktor-aktor publik seperti politisi dan birokrat.,
juga oleh aktor-aktor antara seperti media, pers, dan wartawan. Pembentukan
ideologi publik ini tidak terlepas dari faktor sejarah, tekanan publik dan agenda
serta kepentingan individu-individu domina31
Karena memberikan pengesahan
kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo.
Ideologi juga bisa digunakan oleh para pembaharu atau pemberontak untuk
menyerang status-quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negara dengan
menggunakan dalih “hak ketuhanan raja” atau “kehendak sejarah”, tapi para
pemberontak bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar
pada prinsip “hak-hak dasar” atau “kehendak yang kuasa”. Ideologi yang dianggap
sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk
31 Ibid., h. 83-84.
menentang kekuasaan negara borjuis, selain juga untuk memisahkan kekuasaan
diktator terhadap kelas pekerja.32
Dengan memberikan dasar etika pada pelaksanaan kekuasaan politik,
ideologi juga bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau pengikut suatu gerakan
yang berusaha mengubah negara. Ideologi yang memungkinkan adanya
komunikasi simbolis antara pemimpin dan yang dipimpin, untuk berjuang bahu
membahu demi prinsip bukan pribadi juga merupakan suatu pedoman untuk
memilih kebijakan dan prilaku politik. Bahkan, ideologi juga memberikan cara
kepada mereka yang menginginkan akan arti keberadaannya dan tujuan
tindakannya. Karena itu keberhasilan suatu ideologi tertentu, sedikit banyaknya
merupakan masalah kepercayaan yang lahir keyakinan yang rasional. Ini berlaku
sama baik untuk ideologi yang bersifat demokratis dan otoriter.33
Ideologi juga dapat diartikan sebagai sistem kepercayaan dan norma.
Sistem kepercayaan dalam hal ini melihat bahwa ideologi memberikan basis
legitimasi bagi para penganutnya untuk berfikir, bersikap dan bertindak atas suatu
permasalahan tertentu. Ideologi memberikan gambaran tentang alasan, kekuatan
dan motivasi tindakan individu. Untuk dapat menjadi sistem kepercayaan, ideologi
harus mampu meyakinkan para penganutnya mengenai 'kebenaran' (truthfulness)
pemikiran dan ajarannya. Mereka harus bisa dibuat percaya bahwa ideologi
tersebut merupakan suatu keniscayaan yang menjadi bekal utama untuk
32 Carlton Clymer Roodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, cet.V (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002), h. 105. 33 Ibid.
mengembangkan sistem kepercayaan. Misalnya, dalam ideologi yang berlandaskan
pada suatu agama tertentu (Partai Islam, Kristen, atau Katolik) ajaran-ajaran agama
dipercaya akan mampu menyelesaikan permasalahan sosial masyarakat. Mereka
tidak dapat menggunakan ajaran agama sebagai basis ideologi politik kalau tidak
mempercayai bahwa ajaran agama mereka memiliki kekuatan, kebenaran dan
petunjuk untuk membawa kehidupan yang lebih baik dimasa depan. Sehingga,
ajaran agama mereka perlu diperjuangkan secara politis.34
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan
meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan
serta diikut sertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara
spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan
pemerintah di pihak lain. Pada awal perkembangannya, pada akhir dekade 18-an di
negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada
kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis
dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-
tuntutan raja. 35
Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar
parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur
pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum (caucus
party). Karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan
34 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di
Era Demokrasi, h. 100-101. 35 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 397-398
masyarakat, kelompok-kelompok politik di parlemen secara perlahan juga berusaha
mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah partai
politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung (link) antara
rakyat disatu pihak dan pemerintah dipihak lain.36
Partai semacam ini dalam praktiknya hanya mengutamakan kemenangan
dalam pemilihan umum, sedangkan pada masa antara dua pemilihan umum
biasanya kurang aktif. Lagi pula partai sering tidak memiliki disiplin partai yang
ketat, dan pemungutan iuran tidak terlalu dipentingkan. Partai ini dinamakan
patronage party, yaitu partai lindungan yang dapat dilihat dalam rangka patron-
client relationship yang juga bertindak sebagai broker. Partai mengutamakan
kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, maka dari itu sering dinamakan
partai massa. Biasanya terdiri atas pendukung dari berbagai aliran politik dalam
masyarakat sepakat untuk bernaung dibawahnya untuk memperjuangkan suatu
program tertentu. Program ini biasanya luas dan agak kabur karena harus
memperjuangkan terlalu banyak kepentingan yang berbeda-beda, misalnya Partai
Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat.37
Perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai yang lahir di
luar Parlemen. Partai-partai ini kebanyakan bersandar pada suatu asas atau ideologi
atau Weltanschaung tertentu seperti sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen
Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih ketat.
36 Ibid. 37 Ibid.
Pimpinan partai yang sangat sentralistis menjaga kemurnian doktrin politik yang
dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat
anggota yang menyimpang dari garis partai yang telah ditetapkan. Maka dari itu
partai semacam itu sering dinamakan Partai Kader, Partai Ideologi, atau Partai
Asas (sosialisme, fasisme, komunisme, sosial demokrat). Ia mempunyai Pandangan
hidup juga digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin
partai secara sangat ketat dan mengikat, pendidikan kader sangat diutamakan.
Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota
pimpinan disyaratkan lulus melalui beberapa tahap seleksi. Untuk memperkuat
ikatan batin dan kemurnian ideologi, maka dipungut iuran secara teratur dan
disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan-
keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan. Sehingga, partai kader biasanya lebih
kecil dari partai massa.38
Akan tetapi pembagian tersebut sering dianggap kurang
memuaskan karena dalam setiap partai ada unsur lindungan (patronage) serta
perantara (brokerage) di samping pandangan ideologi, asas, serta pandangan hidup,
sekalipun dalam takaran yang berbeda.39
Sesudah pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789, ketika raja dengan
parlemennya memperebutkan supremasi, para wakil yang duduk dalam Majelis
Nasional Perancis mengelompokkan diri dalam badan tersebut sesuai dengan
pandangannya yang extrem. Para wakil yang sangat anti-kerajaan duduk di ujung
38 Ibid., h. 398-399
39 Ibid.
kiri, sedang penduduk setia raja duduk di ujung kanan, dan kelompok-kelompok
dengan pandangan yang lebih moderat duduk di antara mereka. Bahkan sekarang
ini diparlemen Perancis dan dalam badan-badan parlemen lain di dunia, partai yang
memerintah dan pejabat-pejabat kabinetnya duduk di sisi kanan ketua parlemen,
sedangkan partai-partai oposisi duduk di sisi kirinya. Dewan perwakilan rakyat
yang menganut sistem banyak partai, tempat duduk disusun dengan setengah
lingkaran mengelilingi kursi ketua dewan, dan pengunjung yang ada di balkon
majelis akan bisa mengenali delegasi partai Komunis yang biasanya duduk di
ujung paling kiri ketua dewan. Dari tempat yang tidak jauh dari ketua, tampak
kelompok sosialis duduk di sebelah kanan kelompok komunis. Di Perancis, yang
tradisi partai kirinya amat mewarnai konflik politik negeri itu, para delegasi
parlemen kerap melakukan debatan yang sengit mengenai siapa yang harus
didudukan didalam suatu posisi tertentu. Dalam politik, seperti halnya agama,
simbol-simbol dan upacara ritual seringkali mengalahkan hakikat kebijakan dan
keyakinan.40
Jika dewasa ini pengertian ‘kiri’ atau ‘kanan’ digambar dalam suatu
spektrum linier, maka terdapat di satu ujung sikap ”extrem kiri” yaitu campur
tangan negara dalam kehidupan sosial dan ekonomi secara total. Sedangkan
diujung yang lain sikap “extrem kanan” adalah pendukung pasar bebas secara total.
40 Carlton Clymer Roodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, h. 106.
Dibawah diperlihatkan secara sederhana perbedaan antara ideologi “Kiri” dan
“Kanan”.41
Tabel. 1 Pembedaan ideologi ”Kiri” dan “Kanan”
“KIRI” “KANAN”
• Perubahan, kemajuan
• Kesetaraan (equality) untuk
lapisan bawah
• Campur tangan negara (dalam
kehidupan sosial/ekonomi)
• Hak
• Status quo, konservatif
• Privilege (untuk lapisan atas)
• Pasar bebas
• Kewajiban
1. Sejarah dan praktik Ideologi Agama dalam Partai Politik di Indonesia
Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi
bangkitnya kesadaran nasional. Suasana itu semua organisasi, apakah ia bertujuan
sosial (Budi Utomo dan Muhammadiyah) atau terang-terangan menganut asas
politik-agama (Sarekat Islam dan Partai Katolik) atau asas politik sekuler (PNI dan
PKI) memainkan peran penting dalam berkembangannya pergerakan nasional.42
Pada umumnya, baik kalangan Islam maupun kalangan di luar Islam mengakui
bahwa ajaran Islam mengandung ideologi. Hal ini dikemukakan antara lain oleh
Soekarno ketika ia memperkenalkan Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Ia anjurkan
agar kalangan Islam bekerja keras untuk mengisi (melalui pemilihan umum) kursi-
kursi dewan perwakilan rakyat sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan
sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Soekarno sendiri, walau secara pribadi tidak
41 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 400. 42 Ibid., h. 423
memperjuangkan ini, tidak menafikan pendapat yang mengatakan bahwa ajaran
Islam mengandung ideologi.43
Umumnya partai-partai Islam (Masyumi, PSII, NU, Perti dan PPTI)
berpegang pada pendapat ini. Perumusan bisa berbeda-beda seperti yang telah kita
perhatikan dari Anggaran Dasar tiap-tiap partai, baik dalam pasal yang mengenai
asas, maupun maksud dan tujuan. Juga pengambilan paham atau sumber rujukan
bisa berbeda: dari Al-Quran dan Sunnah ataupun dari kitab atau ajaran mazhab
tidak berarti mengesampingkan Al-Quran dan Sunnah, karena mereka berpendapat
bahwa (1) ajaran mazhab juga berpangkal pada Al-Quran dan Sunnah. (2) tidak
semua orang mampu merujuk langsung pada Al-Quran dan Sunnah.44
Masalah
mazhab dan tidak bermazhab ini sebenarnya telah selesai dalam lingkungan ummat
Islam di Indonesai pada masa sebelum perang. Berbicara dalam rangka partai,
masalah ini pun tidak perlu muncul. NU, Perti, (dan PPTI) berpegang pada
mazhab. Dalam lingkungan partai seperti Masyumi itu soal mazhab tidak
merupakan masalah, maka antara berbagai partai Islam itu pun -dipandang dari
ajaran agama (Islam)- seharusnya tidak ada masalah mazhab. Tetapi kenyataan
memperlihatkan sebaliknya, sekurang-kurangnya dalam mencari pengikut secara
politik. Para juru kampanye partai (kecuali agaknya PSII) dalam menghadapi
Pemilihan Umum tahun 1955 di berbagai tempat tidak bisa melepaskan diri untuk
mendiskreditkan partai Islam lain karena soal mazhab ini. Ini terutama berlaku bagi
43 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik
Indonesia 1945-1965, h. 460 44 Ibid., h. 460
Masyumi dalam berhadapan dengan NU, dan Masyumi berhadapan dengan Perti
ataupun sebaliknya.45
2. Sejarah Perkembangan Partai-Partai Politik Islam di Indonesia
Pada awal abad 20 sudah ada papol yang diawali oleh organisasi yang
mencantumkan asas dan tujuan dalam kartu anggotannya. Pada mulanya Budi
Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta belum mengutamakan
dibidang politik. Anjuran Dokter Wahidin Sudirohusodo tersebut masih
menekankan pada bidang pendidikan dan pengajaran. Sebagai “perintis” organisasi
modern. Artinya sudah mencantumkan asas dan tujuan organisasi dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Oleh karena itu usaha Dokter
Wahidin adalah mengadakan studiefonds. Usaha ini merupakan suatu rintisan
untuk mengadakan organisasi yang lebih luas dari soal pengajaran saja. Ini
merupakan ciri khas perjuangan melawan penjajah dan merupakan perubahan dari
wujud perlawanan bersenjata menjadi perlawanan yang lebih menekankan pada
bentuk organisasi yang lebih maju, yaitu menggu-nakan perlawanan seperti yang
terdapat dinegeri Barat juga. Perkembangan menjadi lebih pesat tatkala Indische
Partij (IP) memperjuangkan kemerdekaan “Kemerdekaan Indonesia” berdasarkan
kebangsaan Indierschap, IP didirikan oleh Dr. E.F.E Douwes Dekker dibandung
pada tanggal 25 Desember 1912.46
45 Ibid., h. 460-461. 46 P.K. Poerwantana, Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), Cet.
Pertama h. 6-7.
Partai politik di Indonesia yang telah berdiri sejak masa kolonial telah
menjalani beberapa fase perkembangan sesuai dengan rezim yang membentuknya.
Pada masa kolonial, partai politik lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran
nasional.47
Masa-masa sebelumnya, seperti di era Orde Lama, kekuatan politik
Islam juga mengalami keterbelahan, seperti dalam partai Nahdatul Ulama (NU),
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan kekuatan lain yang lebih kecil,
misalnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah Kemerdekaan (Perti) dan Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII). Bahkan diera kemerdekaan, fragmentasi sempat terjadi
ditengah upaya kaum nasionalis Islam bekerjasama melawan penjajah. Sarekat
Islam (SI) misalnya, yang oleh Kover dan Deliar Noer, disebut sebagai partai
politik pertama di Indonesia.48
Lantaran kesadaran yang mendalam akan
pentingnya memperbaiki komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang
berasaskan Islam, maka K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H.A Wahab
Chasbullah (NU), dan pemimpin-pemimpin Islam lainnya dari SI, Al-Irsyad, Al-
Islam (organisasi Islam lokal di Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka, Jawa
Barat) dan lain-lain, telah berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) di Surabaya pada tanggal 21 September 1937. Inisiatif
kearah persatuan dan saling pengertian.49
Rezim pemerintahan Jepang yang sangat
represif bertahan sampai tiga setengah tahun. Semua sumber daya, baik kekayaan
47 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 448. 48 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008), Cet. Pertama h. 2. 49 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan dan Konstituante Edisi Revisi, (Jakarta: LP3ES, 2006), Cet. Pertama, h. 97
alam maupun tenaga manusia, dikerahkan untuk menunjang perang "Asia Timur
Raya". Dalam rangka itu pula, semua partai dibubarkan dan setiap kegiatan politik
dilarang. Hanya golongan Islam diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial
yang dinamakan Masyumi, disamping beberapa organisasi baru yang diprakarsai
penguasa.50
Masyumi yang merupakan satu-satunya organisasi yang dalam masa
rezim ini telah memamfaatkan kesempatan tersebut untuk berorganisasi secara
efektif. Hal ini menyebabkan Masyumi muncul sebagai partai yang paling besar
pada awal revolusi. Beberapa organisasi dari zaman kolonial yang bergabung
misalnya Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama.51
Setelah mengalami penerunan peran pada masa pendudukan Jepang,
peranan partai politik mengalami masa kejayaan pada masa demokrasi
parlementer. Usaha kearah pembentukan pemerintahan yang demokratis dengan
partai politik sebagai pilar utamanya mengalami kegagalan karena demokrasi
berkembang menjadi demokrasi yang tidak terkendali (unbridled democracy). Pada
saat itu mulailah rezim otoriter yaitu Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi
Pancasila. Pada dua priode ini beberapa pasal dari UUD 1945 diberi tafsiran
khusus sehingga dibuka peluang untuk berkembangnya sistem non-demokrasi.
Dalam kedua rezim otoriter ini, partai politik tidak banyak memainkan peran
bahkan dapat dikatakan perannya dikooptasi oleh Presiden Soekarno pada masa
50 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 424
51 Ibid., h. 428
Demokrasi Terpimpin dan oleh Presiden Soeharto pada masa Demokrasi Pancasila.
Keadaan non-demokratis ini berlangsung selama hampir 40 tahun.
Dalam kaitannya dengan peran partai politik, baik rezim Soekarno maupun
Soeharto melihat partai politik sebagai sumber kekacauan dari sistem politik yang
mereka bangun.52
Jika dilihat dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada zaman
demokrasi parlementer, mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa. Sejak tahun 1953,
ketidakpuasan itu semakin meluas. Kalangan militer - yang juga mengalami
keretakan karena persaingan antara pimpinannya- turut mendorong pergolakan di
daerah-daerah yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat. Setelah
pemilu 1955, mulai terlihat tanda-tanda disintegrasi nasional dengan semakin
meningkatkannya semangat regionalisme.53
Setelah meletusnya Gerakan 30 September 1965, pemerintahan Demokrasi
Terpimpin runtuh. Kalangan militer yang tampil pada masa awal Orde Baru
berusaha dan berhasil membangun format politik baru di Indonesia. Secara
perlahan mulai ditiupkan opini bahwa partai-partai politik adalah “biang keladi”
ketidakstabilan politik dalam negeri dengan segala implikasi- nya. Semangat
kurang menyukai partai terlihat dengan jelas dalam kampanye Golkar pada tahun
52 Ibid., h.448
53 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet.
Pertama, h. 185
1971. Ini pula yang menyebabkan Golkar enggan menyebut dirinya sebagai partai
politik, walaupun memenuhi syarat untuk disebut demikian.54
Fragmentasi dalam politik Islam pasca Orde Baru ternyata tidak lagi
berpola klasik antara sub kultur Tradisional versus Modernis. Tapi telah
berkembang lebih kompleks dimana masing-masing sub kultur mengalami
keterbelahan pula, seperti antara kubu Substansial versus Formalis. Kaum
Formalis, sebagaimana labelnya, merupakan kelompok yang mengingkan Islam
tetap dijadikan ideologi dan partai. Sedangkan, kaum Substansialis menginginkan
Islam tak perlu lagi diformalkan seperti diera Orde Lama, tetapi cukup menjiwai
misi dan program partai. Di lingkungan NU, kaum Formalis bersama-sama
membentuk PKU dan PNU, sedangkan, kaum Substansialis bergabung dalam PKB,
kendati baru sebatas retorika politik. Pengkotakan dalam dua kubu berhadapan tadi
tidak saja terjadi dalam lingkungan tradisionalis, tetapi juga melanda lingkungan
modernis, dimana kaum Formalis ramai-ramai membentuk PK yang sekarang
berubah menjadi (PKS). Partai Bulan Bintang (PBB), dan lain-lain. Di sisi lain,
kaum Substansialis membentuk partai inklusif model Partai Amanat Nasional
(PAN), dan sebagainya menjadi pendukung Golkar.55
Periode reformasi bermula ketika presiden Soeharto turun dari kekuasaan
21 Mei 1998. Sejak itu hari demi hari ada tekanan atau desakan agar diadakan
pembaharuan kehidupan politik kearah yang lebih demokratis. Diharapkan bahwa
54 Ibid., h. 187
55 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 17
dalam usaha ini kita dapat memamfaatkan pengalaman kolektif selama tiga priode
1945 sampai 1998. Dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat
mendapat kesempatan untuk mendirikan partai. Atas dasar itu pemerintah yang
dipimpin oleh B.J. Habibie dan parlemen mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik. Perubahan yang didambakan ialah mendirikan suatu sistem
dimana partai-partai politik tidak mendominasi kehidupan politik secara
berlebihan, akan tetapi yang juga tidak memberi peluang kepada eksekutif untuk
menjadi terlalu kuat (executive heavy) sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif
diharapkan menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan dalam UU
1945.56
Partai politik yang mendaftarkan diri di Dapartemen Kehakiman berjumlah
141 partai. Tetapi setelah diseleksi tidak semuanya dapat mengikuti pemilihan
umum1999. partai politik yang memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilihan
umum hanya 48 saja. Hasil pemilihan umum 1999 (lihat Tabel. 2) menunjukkan
bahwa tidak ada partai yang secara tunggal mendominasi pemerintahan dan tidak
ada partai yang memegang posisi mayoritas mutlak yang dapat mengendalikan
pemerintahan. PDIP yang memperoleh suara dan kursi paling banyak (35.689.073
suara dan 153 kursi) ternyata tidak dapat menjadikan Megawati Soekarnoputri
(ketua umum) Presiden RI yang ke-4. dengan adanya koalisi partai-partai Islam
dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan
poros tengah, posisi PDIP menjadi kalah kuat. Sebagai akibat yang dipilih oleh
56 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 449-450
MPR menjadi presiden adalah pendiri PKB, partai di DPR yang hanya
memperoleh 51 kursi, yaitu KH. Abdurrahman Wahid.57
Tabel. 2 Perolehan suara dan kursi enam besar dalam pemilihan umum 1999
Partai Perolehan suara Persentase Perolehan
Kursi Persentase
PDIP 35,689.073 33,74 153 33,11
Golkar 23.741.749 22,44 120 25,97
PPP 11.329.905 10,71 58 12,55
PKB 13.336.982 12,61 51 11,03
PAN 7.528.956 7,12 34 7,35
PBB 2.049.708 1,93 13 2,81
Sumber: Komisi Pemilihan Umum RI.
Menjelang pemilihan umum 2004 partai-partai yang perolehan suaranya
dalam pemilihan umum 1999 tidak memadai dan yang karena itu tidak dapat
mengikuti pemilihan umum, berbenah lagi untuk dapat ikut. Ada yang bergabung,
ada pula yang bermetamorfose menjadi partai baru. Pendek kata, mereka harus
menyesuaikan diri dengan ketentuan UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik
dan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Keenam partai yang disebutkan diatas dengan sendirinya dapat mengikuti
pemilihan umum 2004, tanpa di verifikasi lagi. Selain itu, partai yang sudah ada
sejak pemilihan umum 1999, menjelang pemilihan umum 2004 juga bermunculan
lagi partai-partai baru. Pada awal 2003, akibatnya jumlah partai politik bertambah
lagi; sampai 237 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
57 Ibid.
Manusia. Kemudahan mendirikan partai seperti yang terjadi menjelang pemilihan
umum 1999 masih berlangsung saat ini.58
Dalam usaha untuk mengurangi jumlah partai, ditentukan juga persyaratan
yang dinamakan Electoral Threshold. Electoral Threshold ini adalah keadaan yang
harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik yang boleh
mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Electoral threshold untuk
pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah
suara nasional.59
Akan tetapi, pada pemilihan umum 2004 ada dua tahap seleksi yang harus
mereka lalui untuk dapat menjadi peserta pemilu. pertama, seleksi yang dilakukan
oleh Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia. Kedua, seleksi yang
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Mereka yang tidak lolos pada seleksi
pertama tidak diperbolehkan mengikuti seleksi tahap kedua. Dari jumlah tersebut
yang dapat mengikuti seleksi di KPU hanya 50 partai, sedangkan yang lolos seleksi
tahap kedua sehingga dapat mengikuti pemilihan umum 2004 hanya 24 partai.
Dengan demikian pada akhirnya jumlah partai yang mengikuti pemilihan umum
2004 adalah separo dari peserta pemilihan umum 1999.60
Selain kuantitas, ada hal lain yang patut dicatat dari kehidupan kepartaian
di Indonesia pada masa ini hal pertama berkenaan dengan konsilidasi internasional.
58 Ibid., h. 451 59 Ibid. 60 Ibid.
Seperti telah menjadi gejalah umum bahwa kalangan elit partai-partai besar tidak
solid setelah pemilihan umum berlalu, dengan berbagai sebab yang melatar
belakangi. Tidak jarang friksi itu kemudian menjadi perpecahan yang berujung
pada munculnya pengurus tandingan atau kepengurus ganda, dan ada pula yang
memisahkan diri untuk mendirikan partai baru.61
Gejala seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam politik Indonesia.
Pada masa demokrasi parlementer 1950-an fenomena serupa sudah terjadi. Pada
masa itu elit partai yang meresa tidak terakomodasi didalam kabinet, misalnya,
dapat dengan mudah memisahkan diri untuk kemudian mendirikan partai baru.
Untuk masa yang akan datang kemungkinan mendirikan partai baru oleh elit yang
kecewa dapat diperkecil karena beratnya persyaratan yang telah ditetapkan dalam
UU. Pengalaman seleksi partai menjelang pemilihan umum 2004 menunjukkan
dengan jelas betapa beratnya persyaratan bagi sebuah partai untuk dapat menjadi
peserta pemilihan umum. Akan sia-sia saja mendirikan partai jika tidak memenuhi
standar sehingga tidak dapat mengikuti pemilihan umum.
Hal kedua berkenaan dengan adanya kebebasan dalam hal asas.
sebelumnya, dalam UU No. 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan
Karya ditegaskan bahwa Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua
partai dan Golkar, tanpa embel-embel lain. Sebaliknya UU No. 2 Tahun 1999, 31
Tahun 2002, dan UU yang terbaru sekarang yaitu No. 2 Tahun 2008 memberikan
kebebasan kepada partai politik untuk menggunakan asas lain selain Pancasila.
61 Ibid.
Oleh karena itu bermunculanlah partai-partai politik yang berasas lain seperti
nasionalisme ataupun keagamaan. Hal ketiga berkenaan dengan hubungan sipil-
militer. Salah satu hal yang membedakan priode reformasi dengan sebelumnya
adalah semangat untuk menghapuskan peran militer dalam politik. Hal ini
mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan kepartaian. Jika masa Orde
Baru militer dan (Pegawai Negeri Sipil) tidak dibenarkan menjadi anggota partai
politik (namun secara diam-diam merupakan pendukung setia Golkar sesuai
dengan prinsip mono-loyalitas), pada masa pasca Orde Baru banyak tokoh
purnawirawan militer yang menjadi fungsionaris atau pemimpin partai.62
Hal keempat berkenaan dengan masuknya orang-orang yang berlatar
belakang politik menjadi elit partai politik. Diantara mereka ada yang berasal dari
kalangan pengusaha, akademisi, ulama, ataupun seniman. Gejalah ini sebenarnya
sudah terjadi menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru, tetapi pada masa
reformasi terjadi percepatan secara signifikan. Namun sejauh ini masih terlalu dini
untuk memberikan penilaian mengenai apa dan bagaimana warna yang diberikan
oleh para politisi baru itu.63
Pemilihan yang dilaksanakan 7 Juni 1999 itu juga memunculkan hasil yang
polanya mirip dengan pemilihan umum 1955, yaitu hanya ada sejumlah kecil partai
politik yang memperoleh dukungan besar. Hanya 5 partai yang memperoleh
dukungan seperti itu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
62 Ibid. 63 Ibid., h. 452-453
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
dan Partai Amat Nasional (PAN). Ada beberapa partai yang cukup berpengaruh
tetapi tidak cukup besar perolehan suara atau kursinya, seperti Partai Keadilan
(PK) dan Partai Bulan Bintang (PBB). (lihat, Tabel. 3). Sedangkan sebagian besar
yang lain hanya memperoleh jumlah kursi yang tidak signifikan untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR. Dengan menentukan syarat-
syarat untuk menjadi peserta ditambah dengan ketentuan Electoral Threshord
jumlah partai yang duduk dalam DPR dapat dikurangi secara alamiah.64
Seperti pemilihan umum 1999, hasil pemilihan umum 2004 juga
mengeliminasi sejumlah partai dan memunculkan beberapa partai besar. Ada tujuh
partai yang sama sekali tidak memiliki kursi,65
yaitu; PBS, Partai Merdeka, PPIB,
PPNUI, Partai Patriot Pancasila, PSI, PPD. Tujuh partai yang memenuhi Electoral
Thershord (karena memperoleh sekurang-kurangnya untuk memilih legislatif 3%
dari jumlah kursi di DPR dan untuk memilih presiden dan wakil presiden 3% dari
jumlah kursi di DPR 5% dari perolehan suara sah suara nasional), dan 10 partai
lainnya memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi Electoral Thershold. Tujuh partai
yang tidak memperoleh kursi dan 10 partai lainnya memperoleh kursi tetapi tidak
memenuhi Electoral Thershold tersebut jelas tidak dapat mengikuti pemilihan
umum 2009 kecuali harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan UU.
Dengan demikian pemilihan umum telah menjadi sarana pengurangan jumlah
64 Ibid. 65 Ibid.
partai secara alamiah.66
Pada pemilihan umum 2004 jumlah kursi di DPR yang
diperebutkan adalah 550 kursi, jumlah pemilih terdaftar 148.000.369, jumlah suara
sah 133.487.617.
Tabel. 3 Perolehan Suara dan Kursi Tujuh Besar dalam Pemilihan Umum
Legislatif 2004.67
Nama Partai Suara Persentase Kursi Persentase
Golkar 24.480.757 21,58 128 23,27
PDIP 21.026.629 18,53 109 19,81
PKB 11.989.564 10,57 52 9,45
PPP 9.248.764 8,15 58 10,54
P Demokrat 8.455.225 7,45 57 10,36
PKS 8.325.020 7,34 45 8,18
PAN 7.303.324 6,44 25 4,54
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Sejarah perkembangan partai politik Indonesia 1908-2006 secara ringkas
dituangkan dalam tabel berikut: 68
Tabel. 4 Sejarah Perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-2006
Periode
Pemerintahan
Sistem Pemerintahan Sistem Partai
1908-1942 Zaman Kolonial Sistem Multi Partai
1942-1945 Zaman Pendudukan Jepang Partai politik dilarang
1945-1959 Zaman Demokrasi Parlementer
A. Masa Perjuangan
17Ags-14 Nop 1945 1. Sistem Presidensil; UUD 1945 Satu partai PNI
14 Nop 1945- 1949 2. Sistem Parlementer; UUD 1945 Sistem multi-partai
66 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 268
67 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 454 68 Ibid.
1949-1950 3. Sistem Parlementer; UUD RIS Sistem multi-partai
B. Masa Pembangunan
(Building Nation)
1950-1955 4. Sistem Parlementer; UUD 1950 Sistem multi-partai.
Pemilihan umum 1955 menghasilkan 27 partai
dan 1 perorangan yang
memperoleh kursi di
DPR
1955-1959 5. Sistem Parlementer Sistem multi-partai
Periode Pemerintahan Sistem Pemerintahan Sistem Partai
1959-1965 Demokrasi Terpimpin; UUD 1945
1. 1959
Maklumat Pemerinta-
han 3 Nopember 1945
Dicabut. Diadakan
Penyederhanaan Partai Sehingga Hanya Ada
10 Partai Yang Diakui:
PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Par-
kindo, Partai Murba,
PSSI Arujdi, IPKI dan
Perti. Masyumi dan PSI dibubarkan pada
tahun 1960.
2. 1960 Dibentuk Front Nasio-nal yang mewakili
semua kekuatan poli-
tik. PKI masuk berda-
sarkan prinsip Nasa-kom. ABRI masuk
lewat IPKI.
1965-1998 Demokrasi Pancasila; UUD 1945
1. 1966 PKI dan Partindo
dibubarkan
2. 27 Juli 1967 Konsensus Nasional
a.l. 100 anggota DPR diangkat.
3. 1967-1969
Eksperimen dwi-partai
dan dwi-group dilaku-
kan di beberapa kabu-
paten di Jawa Barat, namun dihentikan pada
awal 1969.
Periode Pemerintahan Sistem Pemerintahan Sistem Partai
4. 1971 Pemilihan umum dengan 10 Partai
5. 1973 Penggabungan partai
menjadi 3 partai yaitu
Golkar, PDI, dan PPP.
6. 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997
Pemilihan umum
hanya diikuti oleh tiga
orsospol (Sistem multi-partai terbatas)
PPP, Golkar, dan PDI.
7. 1982 Pancasila satu-satunya
asas.
8. 1984 NU Khittah.
9. 1996 PDI pecah
1998 (21 Mei) ... Reformasi; UUD 1945 yang
diamandemen 1. 1999 (Juni)
2. 2004 (April)
Kembali Ke Sistem
Multi-Partai. Pemilu Dengan 48 Partai; 7
Partai Masuk DPR
Yaitu Partai Golkar,
PDIP, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS,
dan PAN
C. Fungsi Partai Politik dalam Organisasi Negara
Berikut ini diuraikan fungsi partai politik di negara-negara yang menganut
sistem demokrasi, otoriter dan negara-negara berkembang dalam transisi ke arah
demokrasi.
1. Fungsi di Negara Demokrasi
a. Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat
aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu
kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak
di tanpung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada.
Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation).
Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam
bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan
(interest articulation). Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan
mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan
saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan
kesimpangsiuran dan benturan dikurangi. Agregat dan artikulasi itulah salah
satu fungsi komunikasi partai politik. Setelah itu partai politik merumuskannya
menjadi usul kebijakan. Usul kebijakan ini dimasukkan kedalam program atau
platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau disampaikan
melalui parlement kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public
policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada
pemerintah melalui partai politik.69
b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Dalam ilmu politik sosialisai politik diartikan sebagai suatu proses yang
melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena
69 Ibid., h. 405-406.
politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah
bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya
mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya
masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai,
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik
merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture)
suatu bangsa.70
c. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik
kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas.
Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang lebih
berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai
yang mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengembangankan diri.
Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan
pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk
masuk kebursa kepemimpinan nasional.71
d. Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
Potensi konflik selalu ada disetiap masyarakat, apalagi di masyarakat
yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), sosial-ekonomi,
70 Ibid., h. 407. 71 Ibid., h. 408
ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila
keanekaragaman itu terjadi di negara yang menganut paham demokrasi,
persaingan dan perbedaan dianggap hal yang wajar. Akan tetapi di dalam
negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan
mudah mengundang konflik.72
Di sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasi-nya,
atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat
negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elit partai dapat menumbuhkan
pengertian diantara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan
pendukungnya. Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang
lain, Arend Lijphart (1968). Menurut Lijphart: perbedaan-perbedaan atau
perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama diantara elite-
elite poltik. (segmented or subcultural cleavages at the mass level could be
overcome by elite cooperation). Dalam konteks kepartaian, para pemimpin
partai adalah elite politik.73
2. Fungsi di Negara Otoriter
Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada
situasi apakah partai komunis berkuasa di negara di mana ia berada atau tidak. Di
negara di mana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain dianggap
sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk
kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu, partai komunis akan mempergunakan
72 Ibid., h. 409 73 Ibid.
setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang banyak terdapat
dinegara-negara demokrasi) untuk mencari dukungan seluas-luasnya, misalnya
dengan jalan memupuk rasa tidak puas dikalangan rakyat. Partai komunis bertujuan
mencapai kedudukan kekuasaan yang dapat dijadikan batu loncatan guna
menguasai semua partai politik yang ada dan menghancurkan sistem politik yang
demokratis. Maka dari itu, partai ini menjadi paling efektif di negara yang
pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.74
Akibat karakternya yang demikian, partai komunis sering dicurigai dan di
beberapa negara bahkan dilarang. Akan tetapi tindakan semacam itu juga ada
bahayanya. Sebab dalam keadaan seperti itu partai akan bergerak di bawah tanah,
sehingga justru sukar diawasi. Apabila tidak menemukan jalan untuk merebut
kekuasaan, partai akan mencoba mencapai tujuan melalui kerjasama dengan partai-
partai lain dengan mendirikan Front Rakyat atau Front Nasional (popular front
tactics).75
Berbeda halnya apabila partai komunis berkuasa. Disini partai komunis
mempunyai kedudukan monopolistis, dan kebebasan bersaing ditiadakan. Dapat
saja ia menentukan diri sebagai partai yang paling dominan, seperti yang terjadi di
Uni Soviet, China, dan negara-negara komunis Eropa Timur. Partai komunis juga
melaksanakan beberapa fungsi, tetapi pelaksanaannya sangat berbeda dengan yang
ada di negara-negara demokrasi. Misalnya, dalam rangka berfungsi sebagai sarana
74 Ibid., h. 410 75 Ibid.
komunikasi politik partai menyalurkan informasi untuk mengindoktrinasikan
masyarakat dengan informasi yang menunjang usaha pimpinan partai. Arus
informasi lebih bersifat dari atas kebawah, dari pada arus dua arah.76
Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek
pembinaan warga negara ke arah kehidupan dan cara berfikir yang sesuai dengan
pola yang ditentukan oleh partai. Proses sosialisasi ini dilakukan secara ketat di
sekolah, organisasi pemuda, tempat kerja seperti pabrik dan sebagainya, dan
melalui dominasi partai di hampir segala sektor kehidupan masyarakat. Sebaliknya,
dinegara-negara demokrasi partai berperan untuk menyelenggarakan integrasi
warga negara kedalam masyarakat umum. Partai juga berfungsi sebagai sarana
rekrutmen politik. Akan tetapi dalam hal ini ia mengutamakan orang yang
mempunyai kemampuan untuk mengabdi kepada partai, yang menguasai ideologi
Marxisme,-Leninisme, dan yang kelak mampu menduduki kedudukan pimpinan
untuk mengawasi kegiatan dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Untuk itu si
calon anggota harus menjalani masa percobaan di mana ia harus memenuhi
standar-standar ketat mengenai pengabdian dan kelakuan, baik pribadi maupun di
muka umum, yang ditetapkan oleh Partai Komunis.77
Jadi, uraian tadi jelaslah kalau dikatakan bahwa fungsi partai politik di
negara komunis berbeda sekali dengan partai dalam negara yang demokratis.
Mengenai perbedaan ini Sigmund Neumann menjelaskan sebagai berikut: jika di
76 Ibid., h. 411 77 Ibid., h. 412
negara demokrasi partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan
dalam masyarakat, maka partai komunis berfungsi untuk mengendalikan semua
aspek kehidupan secara monolitik. Jika dalam masyarakat demokratis partai
berusaha menyelenggarakan integrasi warga negara kedalam masyarakat umum,
peran partai komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri
dengan suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai (enforcement of
conformity). Kedua fungsi ini diselenggarakan melalui propaganda dari atas ke
bawah.78
3. Fungsi di Negara-Negara Berkembang
Di negara-negara berkembang keadaan politik sangat berbeda satu sama
lain; demikan pula keadaan partai politiknya menunjukkan banyak sekali variasi.
Kecuali di beberapa negara yang berlandaskan komunisme. Satu peran yang sangat
diharapkan dari partai poitik adalah sebagai sarana untuk memperkembangkan
integrasi nasional dan memupuk identitas nasional, karena negara-negara baru
sering dihadapkan pada masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan,
daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya
menjadi satu bangsa. Akan tetapi pengalaman di beberapa negara menunjukkan
bahwa partai politik sering tidak mampu membina integrasi, akan tetapi malah
menimbulkan pengotakan dan pertentangan yang mengeras.79
78 Ibid. 79 Ibid., h. 413
Karena pengalaman tersebut diatas, banyak kritik telah dilontarkan kepada
partai-partai politik, dan beberapa alternatif telah diikhtiarkan. Salah satu jalan
keluar diusahakan dengan jalan meniadakan partai sama sekali. Hal ini telah
dilakukan oleh Jenderal Ayub Khan dari Pakistan pada tahun 1958; bahkan
parlemen dibubarkan. Akan tetapi sesudah beberapa waktu partai-partai muncul
kembali melalui suatu UU yang diterima oleh parlemen baru, dan Presiden Ayub
Khan sendiri menggabungkan diri dengan salah satu partai politik. Pengalaman
ini menunjukkan bukti bahwa sekalipun partai politik banyak segi negatifnya, pada
dasarnya kehadiran serta parannya di negara-negara berkembang masih penting
dan sukar dicarikan alternatif.80
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang
partai politik, sekalipun memiliki banyak kelemahan, masih tetap dianggap sebagai
sarana penting dalam kehidupan politiknya. Usaha melibatkan partai politik dan
golongan-golongan politik lainnya dalam proses pembangunan dalam segala aspek
dan dimensinya, merupakan hal yang amat utama dalam negara yang ingin
membangun suatu masyarakat atas dasar pemerataan dan keadilan sosial. Jika
partai dan golongan-golongan politik lainnya diberi kesempatan untuk
berkembang, mungkin ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat menunjang
usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di negara itu. Mungkin bentuk
ini dalam banyak hal akan berbeda dengan partai di negara yang sudah mapan,
80 Ibid., h. 414
karena disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan dalam negeri. Setidak-tidaknya
di negara-negara yang keabsahan pemerintahannya sedikit banyak diuji oleh
berjuta-juta rakyat dalam pemilihan umum berkala, partai-partai politik dan
organisasi kekuatan sosial politik lainnya menduduki tempat yang krusial.81
D. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Orde Baru
Sistem kepartaian adalah suatu mekanisme interaksi antarpartai politik
dalam sebuah sistem politik berjalan. Maksudnya, karena tujuan utama dari partai
politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-
program yang disusun berdasar ideologi tertentu, maka untuk merealisasikan
program-program tersebut partai-partai politik yang ada berinteraksi satu dengan
yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian. Secara klasik, setidaknya merujuk
pada teori Maurica Duverger (1967:207), terdapat beberapa sistem kepartaian
yang dapat digunakan dalam merealisasikan interaksi antarpartai dalam suatu
sistem politik, yakni: one-party system (sistem satu partai), two-party system
(sistem dua partai), serta multy-party system, (sistem banyak partai).82
Orde Baru selalu perlu disebut dan diingatkan kembali dalam setiap
penulisan siapa pun tentang partai dan sistem kepartaian di Indonesia karena Orde
Baru membentuk dan memaksakan suatu sistem mono-partai terselubung -terlepas
dari kenyataan bahwa ada tiga partai yang hidup saat itu- yang berlang-sung
81 Ibid., h. 414-415 82 Leo Agustina, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet. Pertama, h.112-113.
puluhan tahun.83
Ketika Orde Baru jatuh pada tahun 1998, mulainya masa
reformasi, Indonesia kembali pada sistem multi-partai (tanpa dominasi satu
partai).84
Pemilu 1999 ketika PDIP yang memiliki sisilah politik ke PNI (hasil
lebur pada pemilu 1977) kembali memuncaki perpolitikan Indonesia, setelah
hampir 20 tahun “tiarap” dengan dikooptasi rezim Orde Baru. Kemenangan PNI
pada masa Orde Lama, bila dilihat dari kiprah dan peran politik pada saat itu, bisa
juga dikategorikan mirip dengan sitem partai tunggal dominan totaliter, yang
partainya sangat mendominasi pemerintahan dan militer, masa ini selama enam
kali melaksanakan pemilu, lebih mirip menggunakan sistem partai tunggal otoriter
satu sisi, dan di sisi lain menggunakan sistem banyak partai dominan. Hal itu
terbukti dengan secara berturut-turut Golkar memuncaki setiap penye-lenggara
pemilu. Bahkan, pada pemilu 1997 Golkar hampir mencapai 78, 2%.85
Pada era reformasi, jarak ideologi yang menjadi parameter sistem
kepartaian yang digunakan, kembali muncul dengan adanya dua kutub kekuatan di
sisi lain pada partai-partai politik peserta pemilu 1999. Melihat pluralisme ekstrem
kembali menjadi kecendrungan sistem kepartaian saat itu. Dua kutub kekuatan
dimaksud ialah ideologi nasional dan ideologi agama, kemudian yang dimaksud
tiga kutub kekuatan ialah nasionalis sekuler, nasionalis radikal, dan Islam.
Nasionalis sekuler diwakili PDIP dan Golkar, nasionalis radikal ditunjukkan oleh
83 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-
2009, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004 ), Cet. Pertama, h. 3.
84 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 422. 85 Said Gatara dan Dzulkiah Said, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan
Kajian, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), Cet. Pertama, h. 234.
perilaku PRD, sedangkan Islam lebih banyak melekat pada PPP, PBB dan PK
Sejahtera. Yang menarik di sini ialah benturan kepentingan dan ideologi yang
sangat kontras tersebut tidak serta merta mengarah pada perilaku melepaskan diri
dari bumi pertiwi (sentrifugal), melainkan mereka tetap pada komitmen kuat untuk
merapat pada integritas nasional (sentripetal). Dengan demikian, tidak menjadi
rumusan baku ketika pluralisme ekstrem memiliki kecendrungan sentrifugal.86
Sebuah gejala yang menarik sedang terjadi di Indonesia. Banyak yang mengatakan
sebagai eforia politik, ada juga yang menyebutnya ‘aji mumpung’ atau anggapan-
anggapan lainnya. Yang pasti, faktanya memperlihatkan bahwa sejak gerakan
reformasi berhasil mengguling-kan Orde Baru dan perpolitikkan di Indonesia
beralih kembali menganut sistem multi partai, banyak sekali partai baru yang
bermunculan.87
86 Ibid., h. 235
87 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di
Era Demokrasi, h. xxv
BAB III
SEKILAS TENTANG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)
A. Latar Belakang Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera
Partai Keadilan Sejahtera yang disingkat menjadi PKS merupakan partai
berasaskan Islam yang pendiriannya terkait dengan pertumbuhan aktivitas dakwah
Islam semenjak awal tahun delapan puluhan. Partai dengan lambang dua bulan
sabit ini juga merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan yang didirikan pada 20
Juli 1998. Awal tahun delapan puluhan gerakan-gerakan keislaman yang
mengambil masjid-masjid sebagai basis operasional dan strukturalnya, terutama
masjid kampus, mulai bersemi.88
Gerakan-gerakan pengkajian yang dilakukan oleh para mahasiswa Islam,
adalah salah satu bentuk aktivitas yang relatif aman dari jerat kekuasaan ketika itu.
Kelompok ini mengambil basis kegiatannya di masjid-masjid kampus, yang pada
masa itu cendrung tidak dianggap sebagai wilayah politik yang “duniawi”,
melainkan wilayah yang lebih berorientasi ukhrawi (akhirat). Padahal kalaulah
mau dirunut lebih jauh, peran mesjid kampus ini tidak bisa disepelekan. Dalam
88 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-
2009, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004 ), Cet. Pertama, h. 301
kasus masjid Arif Rahman Hakim (ARH) Universitas Indonesia (UI) misalnya,
sejak tahun 1970-an telah bersentuhan dan memiliki keterikatan moral dengan –
misalnya, tokoh-tokoh Masyumi. Pada awal kegiatannya, masjid ARH- yang kelak
merupakan salah satu masjid kampus berpengaruh dalam sejarah kebangkitan
gerakan dakwah kampus-memamfaatkan sedemikian rupa Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) untuk mengisi acara-acara keagamaan, khususnya
pengadaan khatib untuk shalat Jumat. DDII merupakan organisasi dakwah yang
didirikan oleh tokoh-tokoh Masyumi, yang pada waktu itu gencar mengangkat
tema-tema dakwah di sekitar isu menegakkan keadilan dan kebenaran, kembali
kepada UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dan lain-lain.
Dengan kata lain, tema-tema politik pun sesungguhnya sudah masuk dan
berkembang dalam aktivitas dakwah di dalam masjid kampus. Kondisi tersebut
tampaknya tidak secara cermat dibaca oleh birokrasi kampus, apalagi oleh
penguasa Orde Baru. Posisi masjid atau mushallah kampus, yang kadang-kadang
letaknya bersebelahan dengan kantor rektorat di beberapa kampus, rupanya tidak
cukup membuat para birokrasi kampus yang berkantor di sana hirau terhadap
sebuah gerakan yang sesungguhnya secara diam-diam, perlahan namun pasti,
membangun gerakannya. Seperti sebuah pohon dengan akar-akar yang
mengecambah, gerakan ini tumbuh, berkembang, menyusup dan membesar dalam
ruang-ruang yang tidak terlalu jauh dari pusat birokrasi kampus. Sampai kemudian
beberapa tahun sesudahnya, gerakan ini mampu menjungkirbalikkan logika
pengendalian aspirasi politik mahasiswa oleh rektorat lewat NKK/BKK89. Lebih
jauh, bahkan memberi andil yang besar, dalam pengubur sama sekali rezim yang
telah membuat dan memproduksi kebijakan tersebut, yaitu rezim Orde Baru.90
Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 dirasakan membuka iklim
kebebasan yang makin luas. Musyawarah kemudian dilakukan oleh para aktivis
dakwah Islam, yang melahirkan kesimpulan perlunya iklim yang berkembang
untuk dimamfaatkan semaksimal mungkin bagi upaya peraihan cita-cita mereka,
yaitu apa yang mereka maksudkan sebagai upaya mewujudkan bangsa dan negara
Indonesia yang diridhoi oleh Allah SWT. Pendirian partai politik yang berorientasi
pada ajaran Islam perlu dilakukan guna mencapai tujuan dakwah Islam dengan
cara-cara demokratis yang bisa diterima banyak orang. Maka mereka pun sepakat
untuk membentuk sebuah partai politik.
Sebelumnya, dilakukan sebuah survei yang melingkupi cakupan luas dari
aktivitas dakwah, terutama yang tersebar dimasjid-masjid kampus di Indonesia.
Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa
saat inilah waktu yang tepat untuk meneguhkan aktivitas dakwah dalam bentuk
kepartaian. Survei ini dinilai mencerminkan tumbuhnya kesamaan sikap di
kalangan sebagian besar aktivitas dakwah.
89 Normalisasi Kehidupan Kampus SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0156/U/1978 dan Badan Koordinasi Kampus oleh Dirjen Dikti No. 002/DJ/Inst/1978. 90Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan
Tarbiyah di Indonesia, (Jakarta : Teraju, 2002), Cet. Pertama, h. 61-63
Atas dasar beberapa hal yang melatarbelakangi sejarah berdirinya Partai
Keadilan itu, maka dipandang wajar jika para fungsionaris partai ini adalah mereka
tergolong muda dan kalangan Intelektual Islam Kampus.
Partai Keadilan secara resmi didirikan pada 20 Juli 1998. Islam menjadi
asas dari partai baru ini. Tercatat lebih dari 50 pendiri partai ini, diantaranya adalah
Hidayat Nur Wahid, Luthfi Hasan Ishaaq, Salim Segaf Aljufri, dan Nur Mahmudi
Ismail. Nur Mahmudi Ismail kemudian menjadi Presiden Partai Keadilan kala itu,
sedangkan Hidayat Nur Wahid duduk sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai.
Kemudian partai ini dideklarasikan pada tanggal 9 Agustus 1998 di Masjid Al-
Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, dengan dihadiri oleh sekitar 50.000 massa.
Dalam pemilu 1999, Partai Keadilan mendapat 7 kursi DPR, 21 kursi
DPRD tingkat I, dan sekitar 160 DPRD tingkat II. Dengan hasil perolehan
1.436.565 suara, Partai Keadilan menduduki peringkat ke tujuh diantara 48 partai
politik peserta pemilu 1999. Bahkan di kota Jakarta, Partai Keadilan berhasil
menduduki peringkat kelima. Namun sayangnya hasil ini tidak mencukupi untuk
mencapai ketentuan electoral threshold, sehingga tidak bisa mengikuti pemilu
2004 kecuali berganti nama dan lambang.
Bersama dengan 41 partai politik lainnya, Partai Keadilan mempelopori
tuntutan perubahan ketentuan Undang-Undang Pemilu tentang electoral threshold
yang dirasakan tidak adil oleh mereka. Namun upaya ini menghadapi jalan buntu
karena dihadang oleh sebagian kekuatan partai-partai besar yang khawatir akan
rivalitas dari kekuatan yang baru tumbuh.
Pasca pemilu 1999, sambil berusaha agar ketentuan electoral threshold itu
dibatalkan, Partai Keadilan juga menyiapkan sebuah partai lain untuk
mengantisipasi tetap diberlakukannya ketentuan electoral threshold. Maka
kemudian didirikanlah pada 20 April 2002. Sebuah Partai baru yang akan menjadi
wadah bagi kelanjutan kiprah politik dakwah warga Partai Keadilan, yaitu Partai
Keadilan Sejahtera atau disingkat PKS. PKS dipimpin oleh Almuzammil Yusuf.
Sementara sejak 21 Mei 2000 Partai Keadilan dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid
sebagai Presiden Partai, karena Nur Mahmudi Ismail mengundurkan diri dari
kepengurusan partai setelah ia terpilih menjadi Menteri Kehutanan dan Perkebunan
dalam kabinet pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid.
Setelah resmi berdiri lewat Akta Notaris, untuk mengukuhkan pendirianya
pada tanggal 18 Maret 2003 Partai Keadilan Sejahtera melakukan pendaftaran
sementara sebagai partai politik yang berbadan hukum ke Departemen Kehakiman
dan HAM. Kemudian, dalam Musyawarah Majelis Syuro XIII Partai Keadilan
yang berlangsung tanggal 17 April 2003 di Wisma Haji Bekasi, Jawa Barat,
direkomendasikan agar Partai Keadilan bergabung dengan PKS. Namun,
penggabungan itu, baru resmi dilakukan pada tanggal 3 Juli 2003. Dengan
penggabungan itu, seluruh hak milik Partai Keadilan menjadi milik PKS, termasuk
anggota dewan dan para kadernya. Sementara itu, PKS yang sudah mendaftarkan
secara resmi ke Depkehham pada 27 Mei 2003, akhirnya dapat disahkan sebagai
partai politik yang berbadan hukum pada 17 Juli 2003. Setelah itu dilakukan
perombakan pengurus, hingga akhirnya pada tanggal 18 September 2003 pengurus
DPP PKS masa bakti 2003-2008 dikukuhkan. Dalam kepengurusan yang baru,
Hidayat Nur Wahid yang semula menjabat sebagai presiden partai keadilan, lalu
menggantikan posisi Almuzammil Yusuf sebagai Presiden PKS.91 Setelah Hidayat
Nur Wahid terpilih menjadi ketua MPR RI periode 2004-2009 maka PKS diketua
oleh Tifatul Sembiring dan Anis Matta selaku Sekjen PKS.92
B. Perspektif Ideologi dan Program Partai Keadilan Sejahtera
Berikut adalah kerangka landasan yang menjadi dasar bagi PKS dalam
melangkah ke dunia politik, sebagaimana dituangkan di dalam dokumen-dokumen
partai lain.
1. Asas dan tujuan
PKS berasaskan Islam93, sedangkan tujuan PKS adalah Partai Da’wah
(dakwah) yang bertujuan terwujudnya cita-cita nasional bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera yang
di ridlai Allâh Subhânahu wa ta’âlâ, dalam negara kesatuan Republik Indonesia.94
2. Usaha
91 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-
2009, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004 ), Cet. Pertama, h. 301-304
92Artikel diakses pada 13 Agustus 2008 dari: http://ogiebaskoro.blogspot.com/2008/07/
profil-partai-politik-peserta-pemilu.html 93Lihat Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera Bab I pasal 2
94 Lihat Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera Bab II pasal1 & 2
Untuk mencapai tujuan tersebut diusahakan hal-hal sebagai berikut:
a. Membebaskan Bangsa Indonesia dari segala bentuk kezaliman.
b. Membina masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Islam.
c. Mempersiapkan bangsa Indonesia agar mampu menjawab berbagai problem
dan tuntutan masa mendatang.
d. Membangun sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam.
e. Membangun negara Indonesia baru yang adil, sejahtera dan berwibawa.95
3. Sasaran
Untuk mencapai tujuan partai dirumuskan sasaran berikut:
a. Terwujudnya masyarakat yang mandiri, bermartabat, bertanggung jawab,
peduli, sejahtera, dan bahagia di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Terwujudnya pemerintahan yang jujur, bersih, transparan, berwibawa, dan
bertanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, hukum, perundang-undangan serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan yang menjamin hak-hak rakyat dan bangsa
Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia.96
95 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-
2009, h. 305
96 Lihat Anggaran Rumah Tangga Partai Keadilan Sejahtera Bab II pasal1 poin a dan b
Sasaran partai ini diupayakan dalam bingkai kebijakan Dasar Perioderik
dan Agenda Nasional PKS, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai ini.
4. Sarana dan Prasarana
Dalam mewujudkan tujuan dan sasarannya partai menggunakan cara,
sarana dan prasarana yang tidak bertentangan dengan norma-norma hukum dan
kemaslahatan umum, antara lain:
a. Seluruh sarana dan manajemen politik, ekonomi, sosial, budaya dan Iptek
yang dapat mengarahkan dan mengatur kehidupan masyarakat serta dapat
menyelesaikan permasalahan-permasalahannya.
b. Ikut seta dalam lembaga-lembaga pemerintahan, badan-badan penentu
kebijakan, hukum dan perundang-undangan, lembaga swadaya masyarakat,
dan lain sebagainya.
c. Menggalakkan dialog konstruktif disertai argumentasi yang kuat dengan
semua kekuatan politik dan sosial.
d. Aktif berpartisipasi dalam berbagai lembaga dan organisasi serta yayasan
yang sesuai dengan tujuan partai.
5. Prinsip Kebijakan
Al-Syumuliyah (lengkap dan integral), al-Ishlâh (reformatif), al-Syar’iy-yah
(konstitusional), al-Wasatiyah (moderat), al-Istiqâmah (komit dan konsisten), al-
Numuw wa al-Tatawwur (tumbuh dan berkembang), al-Tadarruj wa al-Tawazun
(bertahap, seimbang dan proporsional), al-Awlawiyat wa al-Mashlahah (skala
prioritas dan prioritas kemaslahatan), al-Hulul (solusi), al-Mustaqbaliyah (orientasi
masa depan), dan al-‘Âlamiyah (bagian dari dakwah global).97
6. Agenda
a. Agenda Politik
1) Memperkuat pilar-pilar kesatuan nasioanal dengan membangun
kesadaran bahwa kesatuan nasional adalah sumber stabilitas dan
keamanan bangsa.
2) Meningkatkan kemandirian lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif melalui penerapan perundang-undangan dan penempatan
aparat-aparat yang bersih.
3) Membangun proses demokratisasi politik yang bersih, dan kesatuan
nasional, menutut TNI yang kuat, karena itu profesionalisme TNI perlu
ditingkatkan.
b. Agenda Ekonomi
1) Mengembangkan sistem ekonomi moral sebagai dasar pertimbangan
etik, konsepsional, dan operasioanal dalam setiap aktivitas ekonomi.
2) Mengokohkan kebijakan afirmasi dalam ekonomi yang berpihak kepada
rakyat “kecil” agar tercapai persamaan dalam mendapat peluang seluruh
pihak.
3) Menegakkan hak buruh dan menempatkannya sebagai aset nasional dan
mitra usaha.
97 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-
2009, h. 305
4) Menggairahkan sektor pertanian, agrobisnis, dan agroindustri dalam
rangka mencapai swasembada pangan.98
c. Agenda Sosial Budaya
Misi yang diemban PKS dalam bidang sosial-budaya adalah
“membangun kecerdasan manusia Indonesia, kesalehan sosial, dan
kemajuan budaya demi mengangkat martabat bangsa”. Misi itu hanya bisa
dijalankan dengan memperkuat faktor keteladanan di berbagai bidang.
Dalam bahasa yang lebih heroik, misi itu dapat diterjemahkan sebagai
“menghapus kebodohan, kekerasan sosial, dan keterbelakangan budaya”,
sebab kita memandang kebodohan (rendahnya kualitas pendidikan),
kekerasan (hilangnya kesantunan dan kedamaian dalam menyelesaikan
segala macam bentuk konflik), serta keterbelakangan (kemandegan dan
kejumudan) sebagai musuh sosial seluruh bangsa.99 PKS memandang
fundamental sosial-budaya yang harus dibangun kembali sebagai berikut:
1) Kepribadian manusia Indonesia yang tangguh menghadapi beragam
tantangan;
2) Kultur masyarakat yang berdisiplin dan beretos kerja tinggi;
3) Rasa saling percaya antar warga yang berbeda latar belakang;
4) Religiusitas dan spritualitas yang tinggi.
98 Ibid., h. 307 99 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani, Edisi
Gabungan, (Jakarta: MPP PKS, 2008), Cet. Pertama, h. 342
Keempat aspek fundamental itu dibangun melalui program
character building (disiplin personal), nation building (kultur bangsa),
social-trust building (kohesivitas sosial), dan spritual purification and
enrichment (tazkiyat an nasf/ pengayaan jiwa), Fundamental sosial-budaya
yang kokoh pada akhirnya sejalan dengan nilai-nilai utama yang termaktub
dalam Falsafah Dasar PKS, yang pada intinya menekankan: kesederajatan
sosial (social egaliterianism) dan kemajemukan budaya (cultur pluralitiy)
sebagai modal kemajuan bangsa (national development).100
d. Agenda Hukum
1) Mengarahkan keberpihakan hukum pada keadilan agar tercipta stabilitas
politik dan ekonomi.
2) Mengakhiri keraguan dalam pemilihan kepribadian hukum Indonesia, di
mana upaya untuk memaksa hukum Barat menyebabkan hukum
terlepas dari akar folosofis, sosiologis, dan historis masyarakatnya.
e. Agenda Pendidikan
1) Memperkokoh penyelenggaraan wajib belajar melalui mobilisasi
fasilitas fisik, serta meningkatkan motivasi pendidikan dikalangan
masyarakat.
2) Menigkatkan profesionalitas, integritas dan penghargaan dalam rangka
mengembalikan peran guru sebagai unsur kunci dalam pembangunan.
100 Ibid., h. 354
3) Meningkatkan anggaran pendidikan hingga mencapai taraf yang
seimbang dengan kebutuhan pemecahan problema sumber daya
manusia dalam pembangunan Indonesia masa depan.101
C. Visi dan Misi Partai Keadilan Sejahtera
Dari beberapa partai politik peserta pemilu 2009 terdapat beberapa platform
sebagai partai politik Islam salah satunya yang paling fonemenal menurut penulis
adalah Partai Keadilan Sejahtera, Berikut ini akan diuraikan secara rinci visi dan
misi serta platform PKS:
PKS memiliki visi "Terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera,
dan bermartabat". Penjabaran dari visi tersebut terdiri dri beberapa konsep
pemikiran. Pertama, Masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban
tinggi dan maju yang berbasiskan pada : nilai-nilai, norma, hukum, moral yang
topang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis
dan bergotong royong menjaga kedaulatan Negara. Pengertian genuin dari
masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di
masa kini yang Ukhuwwah Islamiyyah (ikatan keislaman), Ukhuwwah
Wathaniyyah (ikatan kebangsaan), Ukhuwwah Basyariyyah (ikatan kemanusiaan)
dalam bingkai NKRI.
Kedua, Adil yaitu kondisi dimana entitas dan kualitas kehidupan –baik
pembangunan politik, ekonomi, hukum, dan sosial-kemasyarakatan-ditempatkan
101 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-
2009, h. 307
secara proporsional dalam ukuran yang pas dan seimbang, tidak melewati batas.
Yakni sikap moderat, suatu keseimbangan, tidak melewati batas. Yakni sikap
moderat, suatu keseimbangan yang terhindar dari jebakan dari dua kutub ekstrem:
mengurangi dan melebihi (tafrith dan ifrath).
Ketiga, Sejahtera berarti mengarahkan pembangunan pada pemenuhan
kebutuhan lahir dan bathin manusia, agar manusia dapat memfungsikan dirinya
sebagai hamba dan khalifah Allah, yakni keseimbangan antara kebutuhan dan
sumber pemenuhannya. Kesejahteraan dalam artinya yang sejati adalah
keseimbangan (tawazun) hidup yang merupakan buah dari kemampuan seseorang
yang memenuhi tuntutan-tuntutan dasar seluruh dimensi dirinya (ruh, akal, dan
jasad).
Keempat, Bermartabat dimaknai sebagai upaya secara individual dan sosial
menuntut bangsa Indonesia untuk menempatkan dirinya sejajar dengan bangsa-
bangasa lain di dunia. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mampu
menampilkan dirinya, baik dalam aspek sosial, politik, maupun budaya secara
elegan, sehingga memunculkan penghormatan dan kekaguman dari bangsa lain.
Martabat muncul dari akhlak dan budi pekerti yang yang baik, mentalitas, etos
kerja dan akhirnya bermuara pada integritas kepribadian dan muncul dalam wujud
produktivitas dan kreativitas.102
PKS mencitakan Indonesia menjadi negara kuat yang membawa misi
rahmatan keadilan bagi segenap umat manusia, agar bangsa menjadi kontributor
102 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani, h. 2
peradaban manusia dan bumi menjelma menjadi taman kehidupan yang tenteram
dan damai.103
Misi yang diemban PKS adalah:
1) Mempelopori reformasi sistem politik, pemerintahan dan birokrasi
pemerintahan dan birokrasi, peradilan, dan militer untuk komitmen terhadap
penguatan demokrasi. Mendorong penyelenggaraan sistem ketatanegaraan
yang sesuai dengan fungsi dan wewenang setiap lembaga agar terjadi proses
saling mengawasi. Menumbuhkan kepemimpinan yang kuat, yang
mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk
berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara,
yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan intelektualitas.
Melanjutkan reformasi birokrasi yang bersih, kredibel, dan efisien. Penegak
hukum yang diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku
yang bermasalah dan koruptif. Mewujudkan kemandirian dan pemberdayaan
industri pertahanan nasional. Mengembangkan otonomi daerah yang
terkendali serta berorientasi pada semangat keadilan dan proporsionalitas
melalui musyawarah dalam lembaga-lembaga kenegaraan di tingkat pusat,
provinsi dan daerah. Menegaskan kembali sikap bebas dan aktif dalam
mengupayakan stabilitas kawasan dan perdamaian dunia berdasarkan prinsip
kesetaraan, saling menghormati, saling menguntungkan, dan penghormatan
103 Ibid.
terhadap martabat kemanusian. Menggalang solidaritas dunia demi
mendukung bangsa-bangsa yang tertindas dalam merebut kemerdekaannya.104
2) Mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan
kesejahteraan seluruh rakyat melalui strategi pemerataan pedapatan,
pertumbuhan bernilai tambah tinggi, dan pembangunan berkelanjutan, yang
dilaksanakan melalui langkah-langkah utama pelipatgandaan produktifitas
sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan; peningkatan dayasaing industri
nasional dengan pendalaman struktur upgrading (meningkatkan mutu)
kemampuan teknologi; dan pembangunan sektor-sektor yang menjadi sumber
pertumbuhan baru berbasis resources dan knowledge. Semua itu dilaksanakan
diatas landasan (filosofi) ekonomi egaliter yang akan menjamin kesetaraan
atau valuasi yang sederajat antara (pemilik) modal dan (pelaku) usaha,, dan
menjamin pembatasan tindakan spekulasi, monopoli, dan segala, bentuk
kriminalitas ekonomi yang dilakukan oleh penguasa modal dan sumber-
sumber ekonomi lain untuk menjamin terciptannya kesetaraan bagi seluruh
pelaku usaha.105
3) Menuju pendidikan berkeadilan dengan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
seluruh rakyat Indonesi. Membangun sistem pendidikan nasional yang
terpadu, komprehensif dan bermutu untuk menumbuhkan SDM yang berdaya-
saing tinggi serta guru profesional dan sejahtera. Menuju sehat paripurna
104 Ibid. 105 Ibid., h. 3
untuk semua, dengan visi sehat badan, mental-spiritual, dan sosial sehingga
dapat beribadah kepada Allah SWT untuk membangun bangsa dan negara;
dengan mengoptimalkan anggaran kesehatan dan seluruh potensi untuk
mendukung pelayanan kesehatan berkualitas. Mengembangkan seni dan
budaya yang bersifat etis dan relijius sebagai faktor penentu dalam
membentuk karakter bangsa yang tangguh, berdisiplin kuat, beretos kerja
kokoh, serta berdaya inovasi dan berkreativitas tinggi. Terciptanya
masyarakat sejahtera, melalui pemberdayaan masyarakat yang dapat
mewadahi dan membantu proses pembangunan yang kontinyu.106
D. Strategi Politik PKS Menjelang Pemilu 2009
Pada pemilu 2009 yang akan datang PKS telah menetapkan target dan
sasaran utamanya yaitu : menjadi 3 besar, memperoleh 20% kursi DPR dan
mendapatkan suara pemilih 24 juta suara. untuk menetapkan target yang telah
ditetapkan dalam musyawarah nasional tersebut PKS harus mampu
mendayagunakan (Istighlallil Amtsal) seluruh potensi aset dakwah yang dimiliki
secara modern, efektif dan efisien.107
PKS adalah menyebut dirinya sebagai Partai Dakwah karena politik adalah
salah satu bagian dari dakwah.108 Meskipun dakwah Islam bisa saja
106 Ibid., h. 3-4 107 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani, Edisi
Gabungan, h. vii
108 Wawancara langsung dengan Nurhasan Zaidi. Jakarta, 17 September 2008
didiversifikasikan kedalam kegiatan politik, apa yang dilakukan kalangan aktivis
dakwah kampus, yang melahirkan PKS. PKS juga hendak dilihat sebagai suatu
eksperimen. Tentu, dalam hal pandangan bahwa politik termasuk bagian dari
dakwah Islam Partai Keadilan Sejahtera tidak bisa disebut pemula.109
Strategi PKS sebagai Partai Dakwah (khuthuth ‘aridhah) dalam tranformasi
bangsa, adalah gerakan kultural (strategi mobilisasi horizontal/ta’biah al afaqiyah)
dan gerakan struktural (strategi mobilitas vertikal/ ta’biah al amudiyah). Mobilisasi
horizontal adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan
masyarakat untuk menyiapkan masyarakat agar mereka menerima manhaj Islam
serta produk kebijakan yang Islami. Sedangkan mobilisasi vertikal adalah
penyebaran kader dakwah keberbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar
(pusat-pusat kebijakan), agar mereka dapat menterjemahkan konsep dan nilai-nilai
Islam kedalam kebijakan-kebijakan publik.110
Penulis juga memaparkan penjelasan
gerakan Kultural dan struktural dibawah ini diantaranya :
Gerakan Kultural, (strategi mobilisasi horinzontal) dilakukan melalui
penyebaran kader ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat untuk
menggerakkan peran serta masyarakat dalam mentransformasi diri sendiri. Dalam
gerakan kultural ini, maka kader secara individual maupun melalui lembaga-
lembaga kemasyarakatan, yayasan/ormas, dan berbagai lembaga/organisasi
lainnya, melaksanakan pelayanan, penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara
109 Ali Said Damanik, Fenomena PKS: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di
Indonesia,h. xxix 110 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani, h. 37
bottom-up. Kader PKS akan bergerak bersama masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan di berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya,
lingkungan hidup, kependudukan, kewanitaan, kemiskinan, dan sebagainya.
Karenanya, dibutuhkan dan harus ditumbuhkan kader-kader yang profesional
dalam berbagai bidang kehidupan untuk dapat bergerak bersama masyarakat.111
Partai Keadilan Sejahtera dalam menjalankan gerakan kultural penyebaran
kader dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, dimungkinkan
terbangunnya aliansi strategis antara Partai Dakwah dengan simpul-simpul
kepemimpinan dan kantong-kantong kultural masyarakat (mashadirul quwwah)
sehingga terbangun suatu barisan massa yang menerima dan mendukung nilai-nilai
dakwah. Aliansi strategis yang terbangun merupakan bentuk kepercayaan atau
mandat yang diberikan masyarakat kepada Partai Dakwah untuk selalu berjuang
membela kepentingan masyarakat.112
Gerakan Struktural, adalah penyebaran kader ke dalam lembaga legislatif,
eksekutif, yudikatif dan sektor-sektor dalam kerangka melayani, membangun dan
memimpin bangsa, melalui mekanisme konstitusional sebagai partai politik yang
ikut pemilu dan pembinaan profesionalisme kader. Tujuan adalah untuk
berkontribusi dalam membangun sistem, membuat kebijakan publik, regulasi dan
perundangan yang secara struktural dan top-down digunakan sebagai pedoman
111 Ibid., h. 38 112 Ibid.
dalam rangka transformasi masyarakat. Gerakan struktural ini sekaligus
berpartisipasi dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa.113
Partai Keadilan Sejahtera dalam menjalankan gerakan struktural, dengan
dasar kesamaan falsafah atau flatform, dimungkinkan terbangunnya strategic
partnership antara Partai dakwah dengan lembaga dan tokoh yang mempunyai
kekuatan untuk merumuskan kebijakan (mashahidur qoror), sehingga terbangun
suatu lapisan pemikiran yang menghasilkan kebijakan yang membela rakyat 114
Grand Strategy, transformasi bangsa yang diusung PKS ini tidak lain dari
kombinasi antara perubahan yang bersifat bottom-up dengan top-down yang
merupakan ciri khas PKS sebagai Partai dakwah. Grand Strategi transformasi
bangsa PKS ini adalah suatu gerakan yang menyeluruh dalam bebagai sektor
kehidupan (sektor publik, sektor swasta, dan LSM/sektor ketiga) yang bertumpu
pada kader dengan berbagai disiplin ilmu dan profesi, dengan kekuatan integritas
moral-relijius dan kualitas-profesional. Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai
Dakwah berupaya mengoptimalkan kader dalam berbagai disiplin ilmu untuk
berkembang, berfungsi mendukung, memperkuat gerakan kulural dan struktural
transformasi bangsa115
Ketika Partai Politik Masyumi dibentuk, para pendiri dan pendukungnya
beranggapan bahwa politik merupakan bagian dari kegiatan dakwa Islam. Menurut
113 Ibid. 114 Ibid., h. 39 115 Ibid.
Bahtiar Effendy bahwa Pandangan ini serupa ada pula pada pendiri dan dukungan
Partai Sarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, dan Partai Tarbiyah
Indonesia (Perti). Pada dasarnya mereka percaya bahwa Islam itu berdimensi luas.
Dan politik merupakan salah satu bidang yang jika situasi memungkinkan harus
dikerjakan dengan baik. Demikian pula halnya dengan kemunculan partai-partai
Islam pasca pemerintahan Soeharto. Karenanya, keunikan Partai Keadilan Sejahera
tidak terletak pada langkah transformasi dari gerakan dakwah menjadi gerakan
politik, tetapi pada perpaduan antara kalangan muda, terdidik, dan Islam. Segmen
inilah tampaknya yang terus digarap oleh Partai Keadilan Sejahtera.116
Perolehan suara/anggota yang banyak terakomodasikan aspirasinya, serta
terbentuknya kader yang mempunyai kapasitas internal, kapasitas eksternal dan
disiplin. Selain memiliki kader yang bervisi, berakhlak, dan berkepedulian yang
kuat. Sebagai partai yang dimotori mantan aktivis kampus, partai ini berisi kader-
kader dengan tingkat pendidikan yang memadai. Dengan keteladanan dan
kepedulian yang kuat terhadap permasalahan sosial, menjadikan partai ini berhasil
memikat hati rakyat.117
Partai Keadilan Sejahtera terlihat sangat cepat menangkap semangat zaman.
Jika pada Pemilu 1999, ketika masih bernama Partai Keadilan, berslogankan
“Bersih dan Peduli“. Ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa “Bersih dan Peduli”
116 Ali Said Damanik, Fenomena PKS: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di
Indonesia, h. xxx 117 Arsyad, “Dakwah PKS Melalui Kaderisasi,” (Tesis S2 Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007 ), h. 112
bukan semata slogan, tapi kristalisasi bukti-bukti di lapangan sejak partai ini
berdiri tahun 1998. “Bersih dan Peduli” dengan mudah didistribusikan kepada PKS
karena memang nilai-nilai itu dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Sampai
kadar tertentu “Bersih dan Peduli” telah menjadi brand image sekaligus specific
knowledge PKS. Brand image terkait dengan pencitraan diri, sementara specific
knowledge terkait dengan penciptaan nilai (value creation) dan penyebaran
mamfaat (benefit delivery).118
Penciptaan nilai dan penyebaran mamfaat merupakan orisinalitas (jati diri),
sementara citra merupakan buah atau cermin dari orisinalitas. Citra tidak dapat
diciptakan dengan kemasan pemasaran semata, secanggih apapun. Kemasan dan
pemasaran tanpa orisinalitas ditambah kemasan dan pemasaran yang baik. adalah
penting untuk merevitalisasi dan mengokohkan citra “Bersih dan Peduli” dan tetap
menjadi positioning partai. Bersih cermin kesalehan personal (moral). sementara
peduli cermin kesalehan sosial. PKS dalam hal untuk dapat memimpin bangsa
dibutuhkan juga kesalehan profesional. Maka, slogan PKS menjelang Pemilu 2009
adalah “Bersih, Peduli, dan Profesional”,. pemaknaan profesional adalah
dimilikinya kompetensi inti, kecakapan manajerial, kemampuan berfikir strategis,
dan sikap terbuka (open minded).119
Partai Keadilan Sejahtera tidak lagi menjual simbol tapi langsung pada
kebutuhan riil masyarakat ditengah deraan korupsi yang deras dan masih dililit
118 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani, h. 56 119 Ibid., h. 56-57
krisis ekonomi, sehingga partai ini menjadi keteladanan.120
Demikian mengenai
isu-isu permasalahan yang diangkat kepublik dapat dilihat politic strategic yang
diterapkan oleh Presiden terpilih Barack Hussein Obama Jenior (47) pada saat
debat kandidat terakhir yang di gelar di Hofstra University di Hempstead, New
York. Solution issue rational yang ditawarkan adalah lebih pada hal utama yang
diinginkan masyarakat, yaitu bagaimana memperbaiki krisis ekonomi yang
melanda Amerika dan berdampak pada negara-negara lain. Sehingga sampai
kepada puncak kemenangannya dan menjadi Presiden kulit hitam pertama di New
York pada Selasa (4/11) pukul 22.00 waktu Chicago (Rabu pukul 11.00 WIB). 121
Partai Keadilan Sejahtera selalu menyumbangkan kultur baru dalam proses
demokrasi dengan gaya kampanyenya dapat dilihat beberapa tahapan sebelum
pemilu dilaksanakan misalnya pada tahun 1999 dan 2004. Citra positif PKS hampir
tidak dapat tersaingi oleh partai politik lain.122
Dalam hal kampanye PKS,
mempunyai citra tersendiri, yaitu masif, tertib, dan aman. Untuk mencapai citra
tersebut PKS membuat fatwa yang dituangkan dalam bentuk kebijakan partai.
Kebijakan ini lebih dikenal sebagai etika kampanye, yaitu:
1. Ikhlas dan membebaskan diri dari motivasi rendah
120 Arsyad, “Dakwah PKS Melalui Kaderisasi,” h. 112 121 Peluang Terakhir Mccain dan (Obama Isu Ekonomi di Debat Ketiga)”, Kompas, 16
Oktober 2008, h. 9
122 Aay Muhamad Furkon, PKS Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Teraju, 2004), Cet. Pertama, h. 160
2. Menampilkan partai yang menyampaikan program-programnya dengan cara
yang sebaik-baiknya (ihsan)
3. Tidak memaksa
4. Tidak jatuh pada dusta/bohong
5. Tidak mengucapkan janji secara berlebihan
6. Tidak jatuh pada ghibah, caci maki dan cemooh
7. Tetap menjaga ukhuwwah Islamiyah
8. Tidak memuji-muji diri sendiri
9. Memberi kemaslahatan bagi bangsa
10. Dilakukan secara tertib dan tidak mengganggu pihak lain.
11. Selain akan ingat kewajiban utama, dan
12. Memberi keteladanan yang baik (uswah hasanah)
Massif, Partai Keadilan Sejahtera yang didukung mayoritas masyarakat
terdidik khususnya di Jakarta yang menarik untuk dicermati adalah peserta
kampanye ini bukan floating mass, atau massa yang hanya ikut-ikutan
(penggembira karena diberi iming-iming), tapi massa yang kongkret.123
Misalnya,
pesta demokrasi di AS yang tak jauh beda dengan demokratisasi di Indonesia. Para
pemilih harus diajak berperan aktif dalam mendukung dana, memberikan masukan,
bahkan ikut membantu calon favoritnya menyelesaikan persoalan yang ada.
Pemilih atau para pendukung harus ikut bertanggung jawab agar calonnya lolos.
Semuanya harus berlangsung terbuka dan dengan besar hati dan lapang dada.
123 Ibid., h.161
Namun, inti dari peran aktif pemilih atau pendukung ini akan kian hidup apabila
muncul sosok calon integritas, punya catatan perjalanan yang bersih dalam semua
aspek. sosok demikian biasanya sudah muncul lama, catatan perjalanannya dikenal
orang sehingga dijagokan.124
Tertib, sebagai masyarakat terpelajar para pendukung Partai Keadilan
Sejahtera dalam aksi kampanyenya sangat terlihat dengan jelas yaitu sangat tertib.
Kumpulan massa PKS dalam sebuah kampanye selalu terbagi menjadi dua bagian,
yaitu bagian perempuan dan laki-laki. Terkadang barisan depan kalangan pria dan
bagian belakang kaum perempuan atau sebelah kiri kalangan laki-laki dan sebelah
kanan kalangan perempuan diantara keduanya jarang terjadi percampuran
(ikhtilath). Kendaraan yang dipakaipun sangat tertib, misalnya kendaraan umum
yang dipakai tak sampai memenuhi kapasitas angkutan umum tersebut apalagi
sampai naik diatas bis tersebut. Demikian juga dengan kendaraan bermotor, tidak
menimbulkan suara bising yang memekakkan telinga, karena kenalpot dicopot.125
Aman, kondisi aman yang tercipta saat kampanye para pendukung PKS
merupakan konsekuensi dari ketertiban yang dikelola. Sepanjang kampanye PKS
tidak ada jatuh korban kecelakaan dalam berkendaraan atau akibat bentrokan
dengan pihak lain. Jaminan amannya kampanye PKS dapat dilihat dari peserta
yang dihadiri anak-anak, bahkan balita dan kampanye.126
124 “Cermin Terlibat Aktif”, Kompas. 1 November 2008. h. 33 125 Furkon, PKS Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia
Kontemporer,h. 161
Demokrasi di Indonesia jelas masih perlu beberapa tahapan untuk bisa
sampai pada tahapan sebagaimana demokrasi di AS. Pendukung atau pemilih
terlibat aktif, tak ada benturan kekerasan. Yang kalah mengakui yang menang.
Demokrasi hidup bila kelompok yang satu mengakui dirinya tidak sepenuhnya
benar dan kelompok yang berseberangan tidak sepenuhnya keliru. Ada saling
memahami.127
Penulis menghubungkan beberapa citra tersendiri kampanye PKS
dengan demokratisasi di AS agar pemilih benar-benar mampu mengetahui strategi
politik yang digunakan oleh para politisi adalah strategi politk yang baik. Bagi
beberapa Parpol terutama dari hal yang kecil yaitu strategi kampanye yang dapat
dinilai oleh masyarakat. Umunya semua partai politik, khususnya Partai Politik
yang berasaskan Islam yaitu Partai Keadilan Sejahtera. Apakah semua yang
dilakukan itu sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatanlilalamin.
Selain itu, strategi lain dalam membesarkan partai adalah dengan
memperbanyak jumlah kader inti dan merangkul tokoh dari ormas-ormas Islam
kecil namun memiliki basis kuat di masyarakat. Pada pemilu 1999 memiliki 33
ribu kader, pada 2004 naik menjadi 500 ribu kader, dan pada 2009 ditargetkan
memiliki 2,5 juta kader. Melalui strategi ini, PKS menargetkan akan meraih 20%
suara pada Pemilu 2009. Kesuksesan PKS dalam mengembangkan kader ini bisa
menjadi bayangan yang membahayakan jika tidak didukung oleh ketahanan partai:
doktrin, peraturan, struktur organisasi, kepemimpinan, dan tradisi yang kuat.
Masyumi tak cukup mampu mempertahankan keutuhan kader yang berasal dari
126 Ibid., h. 162 127 “Cermin Terlibat Aktif”, Kompas. 1 November 2008. h. 33
pluralitas tokoh ormas. Sedangkan Golkar menjadi sangat pragmatis akibat
puralisme kader yang luar biasa. Karena itu ada baiknya, PKS mulai mengkaji
sampai berapa banyak jumlah kader yang masih mungkin ditopang partai.128
Dalam literatur yang disusun oleh Majelis Pertimbangan Pusat (MPP PKS:
2008), Politik didefinisikan sebagai “aktivitas yang mendekat manusia kepada
kemashlahatan dan menjauhkan dari kerusakan serta mengantarkan kepada
keadilan”. Ia merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam sebagai sistem hidup
paripurna. Islam sebagai manhaj al-hayah memiliki pemikiran, ide, gagasan, dan
pandangan yang jelas dan rasional tentang Tuhan, manusia, alam, konsepsi dan
solusi terhadap semua masalah kehidupan. Islam juga memiliki metode yang rinci
untuk mengaktualisasikan ide, konsepsi, dan berbagai solusi yang ditawarkannya,
termasuk metode penyebaran dan sosialisasinya keseluruh dunia serta
mempertahankan dan memperjuangkannya. Corak dan perjalanan politik suatu
bangsa umumnya ditentukan oleh watak ideologi yang dianutnya.129
Watak ideologi PKS melahirkan sejumlah nilai-nilai moral dan etika yang
memastikan perjalanan politik tidak keluar dari koridor ideologinya. Dengan
demikian, dalam jagat politik, moralitas dapat dikategorikan sebagai atribut
ontologis130
yang menegaskan hakikat ideologi politik suatu bangsa dan umat.
128 Arsyad, “Dakwah PKS Melalui Kaderisasi,” h. 113 129 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani, h. 484 130 Lihat, J.S Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonedia, (Jakarta:
Kompas, 2007) h. 251. Ontologis adalah Cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat
hidup atau kehidupan.
Logikannya politik harus sarat dengan dimensi moral-etis yang berakar pada
ajaran, konsep-konsep, dan ideologinya. Maka politik yang tercerabut dari akar
moral ideologi sama dengan mendegradasi politik itu sendiri, sebab hakikat politik
sesungguhnya mengandung keutamaan-keutamaan moral seperti kejujuran,
kebijaksanaan, keadilan dan kebenaran, pelayanan, mementingkan orang banyak
dari pada diri sendiri dan kelompok, pengabdian, dan sebagainya. Setiap tindakan
politik harus menampilkan dimensi-dimensi etis politik.131
Menurut penulis inilah
hakikat idelogi PKS yang menjadi tujuan utama dan merupakan strategi politik
sehingga dalam pengkaderannya mudah dikembangkan dan diterima masyarakat
luas.
131 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani, h. 484
BAB IV
EKSISTENSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA PASCA LAHIRNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008
A. Analisis Materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Kehidupan politik selalu mengalami dinamika. Berjalan dengan secara terus
menerus, dan tidak seorang pun yang mampu menghalangi arahnya kemana
melangkah. Demikian juga kebijakan tentang kepartaian politik (parpol),
mengalami suatu paradigma yang bersifat dinamis132
. Hal ini sejalan dengan
perkembangan pemikiran para elit politik, para pakar, dan tentu pula beriringan
dengan aspirasi akar rumput (masyarakat bawah).133
Pengaturan hukum mengenai Parpol, tidak terlepas dari amanat UUD
1945. Konstitusi menjamin kemerdekaan berserikat, dan mengeluarkan pendapat
sebagai aspek penting hak asasi manusia (HAM). Jaminan dari segi HAM
demikian memiliki makna yang koheren dalam upaya mewujudkan kehidupan
kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
132 Dinamis adalah tidak diam, selalu bergerak, terus tumbuh dan pradigma yang selalu
menciptakan perbaikan dan pembaharuan. lihat B.N.Marbun, Kamus Politik, II (Jakarta: PNRI,
2003), Cet. Pertama, h. 135.
133 Astrid Anugrah, UU Parpol 2008 (UU No 2 Tahun 2008) dan Keterwakilan Perempuan
dalam Parpol, (Jakarta: Pancuran Alam, 2008 ), Cet. Pertama, h. vii
Indonesia yang kuat adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, demokratis dan berdasarkan hukum.
Oleh karena itu, menurut penulis kaidah demokrasi yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, dan tanggung jawab, dan
perlakuan yang tidak diskriminatif dalam NKRI perlu berlandaskan hukum,
sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yang diperbaharui
sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat yaitu kedalam UU
No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik134
Lahirnya UU No.2 Tahun 2008 mengakomodasi beberapa paradigma
baru, seiring dengan menguatnya konsolidasi (peneguhan) demokrasi di Indonesia.
Dalam rangka itu, ditempuh sejumlah pembaharuan yang mengarah pada
penguatan sistem dan kelembagaan partai politik. Begitu pula, diinginkan berbagai
hal, menyangkut demokratisasi internal Parpol misalnya dalam pasal 14 sampai
pasal 16 tentang keanggotaan dan kedaulatan anggota, transparansi dan
akuntabilitas (pertanggungjawaban) pengelolaan keuangan Parpol dalam pasal 13
poin i, Pasal 34 dan Pasal 39. UU ini mengatur lebih lengkap mengenai
akuntabilitas penerimaan dan penggunaan dana partai politik yang bersumber dari
APBN/APBD. Terdapat klausul yang mewajibkan laporan pertanggung jawaban
penerimaan dan pengeluaran keuangan partai yang bersumber dari APBN/APBD
Partai disampaikan kepada pemerintah untuk kemudian diperiksa oleh BPK.
Kemudian Peningkatan kesetaraan gender pada pasal 2, poin 2, 5, dan pasal 20 dan
134 Lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 poin e.
31, Penambahan yang signifikan pada pasal ini adalah ketentuan untuk
“memperhatikan” keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% yang diatur
dalam AD/ART Parpol masing-masing di tingkat provinsi dan kabupate/kota.
Didalam undang-undang ini diatur keterwakilan perempuan alasan penulis karena
hak wanita adalah hak asasi manusia. Karena itu, dalam sistem-sistem kemasya-
rakatan dan politik, wanita memiliki hak dan akses yang tidak boleh dibatasi.
Terkait hubungan eksistensi PKS dengan disahkannya RUU Parpol
menjadi UU No.2 Tahun 2008 Fraksi PKS menyambut gembira rumusan RUU
Parpol yang telah disahkan menjadi pedoman baru bagi Parpol, yang menegaskan
tujuan dan fungsi parpol secara eksplisit didalamnya, yaitu di Bab V serta
menjabarkannya di dalam Bab XI tentang Rekrutmen Politik dan Bab XIII tentang
Pendidikan Politik. Masih dalam kerangka pelembagaan Parpol dan untuk tujuan
dinamisasi kehidupan internalnya, Fraksi PKS menaruh perhatian penuh pada
proses demokratisasi internal Parpol. Demokratisasi itu berangkat dari kemandirian
parpol dalam menyelesaikan pelbagai persoalan internalnya dalam kerangka
resolusi yang demokratis. Salah satu fungsi Parpol adalah manajemen konflik
sehingga Parpol dituntut menyelesaikan persoalan internalnya secara mandiri tanpa
merugikan kepentingan publik secara luas. The best choice untuk itu semua adalah
melalui mekanisme yang demokratis. Fraksi PKS sangat setuju dengan rumusan
kemandirian dan demokratisasi internal parpol yang ada dalam RUU yang
dihasilkan menjadi UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.135
Ditegas lagi
dari penulis bahwa partai politik Islam dalam hal lahirnya UU No. 2 Tahun 2008
khususnya partai PKS tidak memberikan batasan bagi eksistensinya untuk meraih
suara mayoritas dalam pemilu lanjutan yaitu pemilu 2009 tergantung dari kerja
keras PKS dan penilaian masyarakat terhadap kinerja yang dilakukan selama ini
bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Jadi, paradigma UU No. 2 Tahun 2008 berbeda dengan UU Parpol
sebelumnya, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4251 ), yang berdasarkan UU No. 2 Tahun 2008
kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Menurut penulis undang-undang baru ini lahir karena dirasakan belum
mampu mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat. yang menuntut
peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta tuntutan
mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern.
Hal mendasar dalam UU No. 2 Tahun 2008, adalah salah satunya yang
telah diuraikan dalam poin 1 dibawah ini yaitu:
1. Masalah Verifikasi Partai Politik Menurut UU No. 2 Tahun 2008.
135 Lihat pendapat akhir fraksi PKS terhadap RUU tentang partai politik untuk disahkan
menjadi undang-undang tentang partai politik 6 Desember 2007. PSHK, h. 2. paripurna yang
dimaksud dilakukan pada 6 Desember 2007.
Salah satu tahapan yang menyedot perhatian sepanjang triwulan pertama
tahun 2008 adalah verifikasi partai politik peserta pemilu sebagaimana yang telah
ditetapkan di dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Konsentrasi awal
calon peserta pemilu adalah bagian pertama rangkaian verifikasi, yaitu seleksi
partai politik untuk badan hukum sebelum masuk ke tahap verifikasi lanjut di
komisi Pemilihan Umum untuk bisa menjadi peserta pemilu.136
Konsentrasi awal tertuju kepada calon peserta pemilu karena terjadi
perubahan-perubahan dalam aturan baru UU No. 2 Tahun 2008 yaitu Perubahan
yang paling signifikan tentang pembentukan partai politik dalam Pasal 2 ayat (2)
adalah penyertaan klausul yang menyatakan bahwa pembentukan partai politik
menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Selain itu, kepengurusan partai politik
di tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30%
keterwakilan perempuan.137
Perubahan lainnya terjadi pada syarat kepengurusan partai politik yang
ditambah. Kepengurusan harus tersebar paling sedikit 60% jumlah provinsi, 50%
jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan dan 25% jumlah
kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.138
Sebelumnya, kepengurusan diharuskan tersebar hanya paling sedikit 50% jumlah
136 Astrid Anugrah, UU Parpol 2008 (UU No 2 Tahun 2008) dan Keterwakilan Perempuan
dalam Parpol, h. 6
137 Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 138 Lihat Pasal 3 ayat (2) poin d UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
provinsi, 50% jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan dan
25% jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang
bersangkutan.139
Sehingga partai politik baru yang ikut serta dalam pemilu 2009 penuh
dengan perjuangan karena lahirnya UU No. 2 Tahun 2008 memberikan
peningkatan jumlah kepengurusan Parpol ditingkat pusat 10% sehingga total
keseluruhan 60% Pasal 3 ayat (2) poin d UU No. 2 Tahun 2008. Harus
menyertakan juga sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan Pasal 2 ayat
(2) UU No. 2 Tahun 2008.
Berikut ini perbandingan materi pengaturan Parpol peserta Pemilu dalam
UU No. 31 Tahun 2002 dan UU No. 2 Tahun 2008:140
UU NO. 31 TAHUN 2002 UU NO. 2 TAHUN 2008
• Pasal 2 ayat (1) “Partai politik
didirikan dan dibentuk oleh
sekurang-kurangnya 50 orang
warga negara Republik
Indonesia yang telah berusia
21 tahun dengan akta notaris”.
• Pasal 2 ayat (1) “Partai politik didirikan
dan dibentuk oleh paling sedikit 50 orang
warganegara Indonesia yang telah berusia
21 tahun dengan akta notaris”
• Pasal 2 ayat (2) “Pendirian dan
pembentukan partai politik menyertakan
30% keterwakilan perempuan”.
• Pasal 2 ayat (5) “Kepengurusan partai
politik tingkat pusat disusun dengan
menyertakan sekurang-kurangnya 30%
keterwakilan perempuan”.
139 Lihat Pasal 2 ayat (3) poin b UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lama) 140Astrid Anugrah, UU Parpol 2008 (UU No 2 Tahun 2008) dan Keterwakilan Perempuan
dalam Parpol, h. 7-8
• Pasal 20 “Kepengurusan partai politik
tingkat provinsi dan kabupaten/kota
disusun dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-
kurangnya 30% yang diatur dalam
AD/ART partai politik masing-masing”.
• Pasal 2 ayat (3) poin b Untuk
menjadikan badan hukum:
Memiliki kepengurusan paling
sedikit 50% dari jumlah
provinsi, 50% dari jumlah
kabupaten/kota pada setiap
provinsi yang bersangkutan,
dan 25% dari jumlah
kecamatan pada setiap
kabupaten/kota pada daerah
yang bersangkutan.
• Pasal 3 ayat (2) poin d. “Untuk menjadikan
badan hukum: Memiliki kepengurusan
paling sedikit 60% dari jumlah provinsi,
50% dari jumlah kabupaten/kota pada
setiap provinsi yang bersangkutan, dan
25% dari jumlah kecamatan pada setiap
kabupaten/kota pada daerah yang
bersangkutan”.
• Pasal 3 ayat (2) “Pengesahan
partai politik sebagai badan
hukum dilakukan menteri
kehakiman selambat-
lambatnya 30 hari setelah
penerimaan pendaftaran”.
• Pasal 4 ayat (2) “Penelitian dan/atau
verifikasi oleh departemen dilakukan
paling lama 45 hari sejak diterimanya
dokumen persyaratan secara lengkap”.
• Pasal 4 ayat (3) “Pengesahan partai politik
menjadi badan hukum dilakukan dengan
keputusan menteri paling lama 15 hari
sejak berakhirnya proses penelitian
dan/atau verifikasi”
Sumber: UU Parpol 2008 (UU No. 2 tahun 2008) dan Keterwakilan Perempuan.
2. Perbandingan Persyaratan Parpol Sebagai Badan Hukum Menurut
Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun
2008
Dalam undang-undang partai politik yang telah disepakati DPR dan
pemerintah pada awal Desember lalu dinyatakan, penelitian dan/atau verifikasi
partai politik dilakukan secara administrasi dan periodik oleh departemen yang
membidangi hukum dan hak asasi manusia bekerja sama dengan instansi terkait.
Penelitian dan/atau verifikasi dilakukan paling lama 45 hari sejak diterimanya
dokumen persyaratan secara lengkap. Pengesahan partai politik menjadi badan
hukum dilakukan Menteri141 paling lama 15 hari sejak berakhirnya proses
penelitian dan/atau verifikasi.
Verifikasi pemilu sekarang dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM
secara administratif saja. Sementara pada pemilu 2004 lalu, verifikasi yang
dilakukan adalah penelitian administratif dan subtantive terhadap akta pendirian
dan syarat pendirian partai politik. Pemeriksaan faktual atas kepengurusan dan
kantor langsung dilakukan dengan pengecekan ke daerah. Mengacu pada ketentuan
UU No. 31 Tahun 2002 Pasal 2 dan 3 dan lain-lain yang berkenaan dengan
verifikasi, yang disahkan sebagai Undang-Undang pada 27 Desember 2002.
Departemen Kehakiman antara lain bertugas mengecek kepengurusan partai politik
sebagaimana yang tercantum dalam akta pendirian partai politik dan pengurusan.142
Jadi syarat badan hukum dalam jumlah kepengurusan pada Undang-
Undang No 2 Tahun 2008 ini lebih di perketat, yakni sedikitnya memiliki 60 %
141 Lihat Pasal 1 ayat (6) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
142 Anugrah, UU No. 2 Tahun 2008 dan Keterwakilan Perempuan, h. 6-9
dari jumlah propinsi. Pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2002, hanya disyaratkan
sedikitnya memiliki 50 % dari jumlah propinsi.143 Menurut penulis lahirnya
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Semakin Memberikan kesulitan bagi para elit
masyarakat yang ingin membentuk partai politik baru. Konsekuensi logisnya
adalah bahwa UU Partai Politik yang baru semakin mencegah membludaknya
partai politik. dilihat dari segi manfaatnya, UU baru diharapkan mampu mencegah
terjadinya fragmentasi dikalangan umat Islam, karena meminimalisir pembentukan
partai politik Islam baru bagi penduduk mayoritas Islam di Indonesia. Artinya
partai politik Islam yang banyak akan menciptakan fragmentasi dikalangan Islam.
Sebagaimana dikutip dalam bukunya A.M. Fatwa dengan judul “Satu Islam
Multipartai”144
B. Prospek Partai Keadilan Sejahtera Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008
Terhadap prospek partai berasas Islam, sebagaimana munculnya tesis 'never
ending ideology' oleh Aiken (1964) dan dalam konteks politik Indonesia, Bahtiar
Effendi menyebutnya sebagai 'repolitisasi Islam’. Bahtiar dalam bukunya
Repolitisasi Islam tersebut, melanjutkan judul bukunya dengan menanyakan:
143 Ibid., h. 5 144 A.M. Fatwa, Satu Islam Multipartai: Membangun Integritas di Tengah Pluralitas,
(Bandung: Mizan, 2000), Cet. Pertama, h. 16
“pernahkah Islam berhenti berpolitik ?"145
. Bahwa hubungan antar satu ideologi
dengan ideologi lain sangat erat dalam aktivitas politik. Apabila ideologi telah
mati, maka berakhir pula dunia politik. Ideologi politik merupakan determinasi
falsafah politik karena adanya agenda dan kepentingan politik. Sifat pragmatisme
dan kecenderungan koruptif pada perilaku politik masyarakat modern, semakin
mempertegas arti penting Ideologi politik.146
Sementata Terkait dengan perumusan asas Parpol, Fraksi PKS menimbang
secara seksama draf pemerintah yang kembali pada rumusan di dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002, yaitu "Asas Parpol tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945," dengan dua
alasan, pertama, rumusan tersebut telah terbukti mampu mewujudkan stabilitas dan
keharmonisan dalam kehidupan politik berbangsa selama dua periode pemilu sejak
reformasi. Kedua, adanya upaya untuk mewacanakan aspirasi asas tunggal
misalnya, justru menimbulkan polemik dan ketegangan yang kontraproduktif bagi
upaya membangun persatuan dan kesatuan bangsa.147
Perdebatan alot atau pembahasan yang memakan waktu cukup panjang
terjadi ketika membahas tentang Pasal 9 yang mengatur tentang asas dan ciri partai
politik. Semula ada keinginan dari beberapa fraksi untuk menetapkan Pancasila dan
145 Lihat selengkapnya dalam, H. D. Aiken, The Revolt Against Ideology, Commentary
(1964) dan Bachtiar Effendi, Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, (Bandung :
Mizan Pustaka, 2000), Cet. Pertama, h. 198 146 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di
Era Demokras, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), Cet. Pertama, h. xi
147 Pendapat akhir Fraksi PKS terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik
untuk disahkan menjadi Undang-Undang Tentang Partai Politik, 6 Desember 2007. PSHK, h. 3
UUD 1945 menjadi semacam asas bersama bagi partai politik. Tapi melalui
beberapa kali lobi, akhirnya disepakati untuk mengacu pada draft RUU dari
Pemerintah dengan mencantumkan 1 ayat tambahan ( Pasal 9 ayat (3) yang akan
disempurnakan setelah paripurna).148
Enam fraksi dari partai berasas Islam
menyampaikan nota keberatan atas disahkannya UU Parpol 2008 ini. Mereka
menolak Islam menjadi subordinasi dari Pancasila dan UUD 1945.149
Karena itu, sebelum pimpinan Sidang Paripurna mengetok palu sebagai
tanda pengesahan RUU Parpol menjadi UU, wakil-wakil dari fraksi PPP, PKS,
PAN, PKB, PBR dan PBPD (Partai Bintang Pelopor Demokrasi) menyempaikan
nota keberatan. Keenam partai tersebut tetap setuju RUU ini disahkan menjadi UU
tetapi keberatan dengan rumusan Pasal 9 ayat (3).150 Berdasarkan pertimbangan dan
catatan tersebut, dengan mengucap “Bismillahirrahmanir-rahimi seraya memohon
perlindungan kepada Allah SWT Fraksi PKS DPR RI menyatakan Setuju untuk
mengesahkan RUU tentang Partai Politik menjadi Undang-Undang, dengan
terikat kepada kesepakatan Fraksi-fraksi untuk menyempurnakan redaksi pada
Pasal 9 ayat 3”.151
148 Pendapat akhir Fraksi PBR terhadap RUU tentang Partai Politik untuk disahkan
menjadi Undang-Undang Tentang Partai Politik, 6 Desember 2007. PSHK, h. 1. paripurna yang dimaksud dilakukan pada 6 Desember 2007. Lihat Pendapat akhir Fraksi PKS.
149 “Asas Parpol Masih Jadi Ganjalan, Pengesahan UU Parpol” , artikel ini diakses pada 15 Mei 2008 dari http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=18130&cl=Berita
150 Ibid. 151 Pendapat akhir Fraksi PKS terhadap RUU tentang Partai Politik, 6 Desember 2007.
PSHK, h. 3
Mengenai RUU Parpol, perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Dalam
Negeri, dalam hal menanggapi nota keberatan dari beberapa fraksi, menegaskan
bahwa RUU Parpol telah sah menjadi UU dan keberatan beberapa partai akan
menjadi masukan dikemudian hari.152 Menurut penulis, meskipun beberapa nota
keberatan dari wakil-wakil fraksi PPP, PKS, PAN, PKB, PBR dan PBPD (Partai
Bintang Pelopor Demokrasi) tidak ada perubahan rumusan dalam Pasal 9 ayat (3)
sampai disahkan menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 2008, bukan salah satu
faktor penghambat bagi partai PKS untuk memperoleh target sekitar 20 persen
suara di Pemilu 2009. Masyarakat pemilih sekarang sudah jauh lebih cerdas dan
cendrung memilih Parpol dengan kompetensi dan program kerja yang bagus terkait
aspek sosial-ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya hasil survei yang
dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2005 PKS termasuk sebagai
partai yang bersih dan anti-KKN, bahkan kalangan non-Muslim Greg Fealy,
pengamat Islam dan Indonesia dari Australian National University (ANU),
termasuk yang memujinya, bahwa dengan melihat contoh PKS di Indonesia, Barat
(dalam hal ini Australia) harus menanggalkan pandangan stereotype tentang Islam
dan partai berbasis Islam.153
Prof. William Liddle juga mengungkapkan hal yang sama bahwa partai
Islam yang meningkat perolehan suaranya pada pemilu 2009 nanti adalah partai
152 Ibid. 153 Dalam artikelnya di koran The Australian (29 Maret 2005) berjudul "Why West should
come to Islamist party", dan diakses pada 15 Mei 2008 dari http://madrasahduat.blogspot.com/
2008/04/eksistensi-partai-dakwah-dalam.html
PKS dengan melihat setiap peningkatan suara pada Pemilu 1999 dengan 1% dan
pada pemilu 2004 meningkat dengan perolehan 7% suara.154
Terbukti juga dari
beberapa hasil Pilkada, dari 138 Pilkada, PKS memenangkan 81 Pilkada155 dan
setiap Pemilihan Umum PKS selalu mengalami dukungan yang terus meningkat
sebagaimana hasil survei yang dilakukan oleh LSI pada 8-20 September 2008156
dipaparkan juga beberapa hasil wawancara langsung dari PKS dan tim
pemenangan pemilu 2009 bahwa :
“PKS kedepannya mempunyai eksistensi (ketahanan dan daya tahan) yang
cukup baik. PKS sudah jauh-jauh hari mempersiapkan beberapa persen suara
yang nantinya akan diraih untuk pemilu 2009. Misalnya dengan kegiatan-
kegiatan bakti sosial yang selama ini cukup membantu para konstituennya dan
masyarakat luas”.157
Munculnya sejumlah partai yang menggunakan simbol dan asas Islam atau
yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, 158 dalam konteks agama
dalam politik Amerika, ikatan kelompok keagamaan dan tradisi keagamaan
menjadi penting secara politik.159 Sehingga Banyak kalangan Parpol mungkin agak
nervous dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) belakangan ini. Khususnya
setelah dua pasang Cagub dan Cawagub yang didukung PKS memenangkan
154 Pengamat Politik Indonesia dari USA disampaikan pada acara West East Conection
pada siaran televisi swasta Metro TV Jumat 7 Nopember 2008. 155 Hilmi Aminuddin, Menghilangkan Trauma Persepsi, cet. III, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Bidang Arsip dan Sejarah DPP PKS dan Arah Press, 2008) h. 7 156 Parpol Islam Harus Garap Sumber Alternatif”, Kompas, 26 September 2008, h. 8
157 Wawancara langsung Heri Purnomo. Jakarta, 31 Oktober 2008
158 Bachtiar Effendi, Repolitisasi Islam, h. 195 159 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Agama dalam Politik Amerika, penerjemah
Debbie A. Lubis dan A.Zaim Rofiqi, (Jakarta: Kerjasama Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Freedom Institute, dan Yayasan Obor Indonesia, 2006 ), h. 425
Pilkada di Jawa Barat dan Sumatra Utara. Bukan hanya kalangan Parpol lain,
pengamat dalam dan luar negeri mengambil kasus di kedua daerah tersebut sebagai
pertanda awal dari peningkatan suara PKS dalam Pemilu 2009.160
Maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksudkan
adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang demikian itu, di dalam
perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk "mempolitikkan" bagian-bagian
yang menjadi dasar ideologi partai-partai tersebut.161 Termasuk telah dibuka keran
kebebasan dalam mencantumkan asas partai sebagaimana dalam UU No. 2 Tahun
2008 sesuai dengan pasal 9 kecuali ayat (3).162 Inilah salah satu keuntungan dari
keberadaan partai Islam yang ada di Indonesia khususnya Partai Keadilan Sejahtera
dalam peluangnya untuk meraih peningkatan target suara pemilu 2009.
Pendekatan politik Islam dewasa ini, seperti yang belakangan
dikembangkan oleh generasi baru kaum intektual dan aktivis Muslim, cenderung
bersifat inklusif atau integratif. Watak inklusif atau integratif pendekatan tersebut
khususnya tampak dalam (1) bagaimana para pemikir dan aktivis Islam politk
sekarang mengeksperisikan gagasan sosial-politik mereka; dan (2) bagaimana
mereka berupaya merealisasikan tujuan-tujuan sosial-politik Islam.163
160 Lihat, tulisan Prof. Azumardi Azra di Rubrik Resonansi Republika, Kamis, 24 April
2008, h. 12 161 Bachtiar Effendi, Repolitisasi Islam, h. 195-196
162 Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 9 ayat (1), (2),
dan (3).
163 Bachtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesi , (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Pertama, h. 212
Sehubungan dengan itu, aspirasi-aspirasi politik Islam dirancang
sedemikian rupa sehingga mereka tidak harus berbenturan dengan masyarakat
pribumi Indonesia. Pada gilirannnya, hal ini diharapkan dapat menciptakan
hubungan yang relatif harmonis antara keislaman dan keindonesiaan.164 Mereka
percaya bahwa ekspresi tujuan-tujuan politik Islam tidak akan lagi di pandang
sebagai pinggiran. Dan yang lebih penting, mereka juga berkeyakinan bahwa
pemikiran dan praktik politik semacam itu tidak akan dipandang sebagai ancaman
terhadap "persatuan bangsa".165
Hidayat Nur Wahid sebagai anggota Majelis Syuro
PKS juga menyampaikan tidak ada lagi dikotomi bahwa partai yang berasaskan
Islam akan membahayakan NKRI.166
Demikian halnya mengenai sumber pendanaan (political finance) bagi
partai politik menjadi sangat penting untuk diatur dalam Undang-Undang No.2
Tahun 2008, karena seringkali perilaku koruptif terjadi, sehingga potret buram
bangsa Indonesia sebagai negara korup kembali dipertegas oleh Transparency
International Indonesia (TII) yang meluncurkan hasil survey Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) tahun 2007 pada tanggal 6 Desember 2007, bahwa dari 180 negara
yang disurvei, Indonesia berada di peringkat 143 bersama Rusia, Togo, dan
Gambia. Nilai IPK itu juga memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara yang
dipersepsikan terkorup di dunia, bersama 71 negara berindeks di bawah 3. Aktor
164 Ibid. 165 Ibid., h. 214
166 Lihat "Tak Ada Dikotomi Islam dan Nasionalis", Republika, 24 September 2008, h. 1
”Keberhasilan” Indonesia dalam mempertahankan prestasi sebagai negara korup
masih didominasi oleh Lembaga Parlemen.167 Contoh kasus temuan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya pencairan
lebih dari 400 lembar cek yang terdistribusikan secara mencurigakan. Temuan ini
menguatkan adannya benang merah dengan "nyanyian" politikus PDI Perjuangan,
Agus Condro, dengan pengakuannya menerima cek perjalanan senilai 500 juta
melalui Fraksi PDI Perjuangan DPR usai voting Komisi IX DPR yang
memenangkan Miranda Swaray Goeltom untuk menjabat gubernur senior Bank
Indonesia (BI) pada 2004. Ketika itu, Miranda meraih 41 suara dari 54 anggota
Komisi IX yang hadir.168
Alasan penulis mengutip ulasan diatas ialah disebabkan perlunya lembaga
partai pilitik yang bersih dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Inilah salah satu
konsekuensi pentingnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 mengatur masalah
sumber pendanaan partai sesuai dengan pasal 34 pasal (1) yang berbunyi
"keuangan partai politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah
menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah"169. "Kondisi Parlemen
saat ini juga tidak ideal untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat. Pasalnya,
167 Zamrony, "Pemberantasan Korupsi: Topik Out Of Date", artikel diakses pada 15
September 2008 dari http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&channel=s&rls=org
.mozilla%3AenUS%3Aofficial&hs=0Ig&q=laporan+ICW+mengenai+lembaga+terkorup+di+Indonesia&btnG=Telusuri&meta=
168 "KPK Telusuri 400 Cek Suap ke DPR", Republika, 11 September 2008, h. 12. 169 Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pasal (1).
posisi anggota Dewan secara perorangan sangat lemah. Selain itu, parlemen pun
tak bisa membuat anggotanya menjadi kuat dan tidak mempunyai agenda kerja
kerakyatan". Otokritik ini disampaikan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
DPR, Fahry Hamzah, dalam diskusi "Membangun Parlemen Pro Rakyat" di Jakarta
kamis (11/9). Sebelumnya, Bvitri Susanti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia mengatakan, ketidakpuasan masyarakat terhadap lembaga legislatif
memang besar. Masyarakat juga banyak yang tidak tahu siapa wakilnya di DPR.
Untuk memperbaiki ini, tidak ada jalan lain kecuali partai harus berbenah diri.
Memperbaiki mekanisme kaderisasi dan penentuan calon anggota legislatif yang
berkualitas".170
Sehingga Fraksi PKS sejak awal menyerukan dan memperjuangkan
pentingnya perwujudan partai kader di negeri ini guna mengimplementasi fungsi
Parpol dalam hal pendidikan politik, rekrutmen pemimpin, manajemen konflik, dan
agregasi kepentingan. Fungsi-fungsi itu harus dijalankan sepanjang waktu sehingga
Parpol tidak hanya sibuk dari pemilu ke pemilu lalu abai pada kepentingan
masyarakat. Parpol harus hadir sepanjang waktu melakukan pendidikan politik,
menyerap aspirasi, melakukan rekrutmen pemimpin dan yang tak kalah penting,
tentu saja, turut mengentaskan pelbagai persoalan yang menghimpit masyarakat.
Fraksi PKS sebelumnya menyambut gembira rumusan RUU Parpol yang
menegaskan tujuan dan fungsi Parpol secara eksplisit di dalamnya, yaitu di Bab V
170 "Parlemen Tak Ideal untuk Akomodasi Rakyat", Kompas, 13 september 2008, h. 4
serta menjabarkannya di dalam Bab XI tentang Rekrutmen Politik dan Bab XIII
tentang Pendidikan Politik.171
Dalam proses kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera, sumber keuangan dari
iuran anggota dan simpatisan cukup signifikan nilainya terhadap pendanaan partai,
hal ini juga diatur dalam Anggaran Rumah Tangga PKS oleh struktur Dewan
Pengurus Pusat.172 Padahal dalam budaya masyarakat yang opportunis dan perilaku
money politics kecenderungannya adalah sebaliknya, yaitu kader yang berusaha
mendapatkan keuntungan materi dari partai. Praktik pendanaan Partai Politik lain
sangat jarang menerapkan sumber pendanaan dari iuran anggotanya, lebih banyak
bersumber dari para kader anggota DPR, pejabat negara, pengusaha, dan bantuan
pihak lain.
Political finance atau sumber pendanaan Parpol diatur dalam Pasal 35, 36,
37, 38, dan 39 UU No. 2 Tahun 2008. PKS sebenarnya lebih mudah dalam masalah
transparansi. Karena selain sudah ada penggalangan dana dari kader, potongan
dana terhadap pendapatan anggota legislatif untuk partai pun tidak terlalu
memberatkan dan bersifat progressif. Artinya potongan disesuaikan dengan
kebutuhan keluarga. Tujuan dilakukan penggalangan dana yang trasparan seperti di
atas adalah kebaikan para kader agar tidak ada pihak yang dirugikan atau membuat
171 Pendapat akhir Fraksi PKS terhadap RUU tentang Partai Politik untuk disahkan
menjadi Undang-Undang Tentang Partai Politik, 6 Desember 2007. PSHK, h. 2
172 Lihat, Anggaran Rumah Tangga PKS Pasal (19)
miskin legislator PKS sehingga mencegah terjadinya sumber alternatif praktek
KKN.
PKS juga adalah partai kader sehingga dalam setiap pengkaderan ada istilah
tingkatan yang terbagi beberapa bagian kader, yaitu; anggota pemula, anggota
muda (anggota pendukung), anggota madya, anggota dewasa, anggota ahli dan
anggota purna (anggota inti)173 anggota yang sudah masuk dalam tingkatan level
kader inti adalah (anggota madya, anggota dewasa, anggota ahli dan anggota
purna) sudah diwajibkan membayar iuran kader, standar 5000 per orang dan
bahkan kebanyakan kader yang memiliki banyak dana, mereka menyumbang lebih
dari itu dengan dasar keikhlasan dan sedekah lillâhi ta'âla untuk dakwah.174
mengenai syarat lolosnya peserta pemilu, dalam bentuk rancangannya
Pemerintah berpendapat bahwa syarat jumlah pendiri partai politik perlu
ditingkatkan dari 50 menjadi 250 orang, untuk meningkatkan kualitas demokrasi
dan legitimasi partai politik sebagai representasi aspirasi politik masyarakat yang
bertujuan juga sebagai upaya membangun system kepartaian yang ideal, dan tidak
dimaksudkan untuk memperberat syarat pendirian partai politik sebagaimana
dalam pandangan F-PBR. Pemerintah setuju dengan F-BPD (Bintang Pelopor
Demokrasi) mengusulkan adanya peningkatan jumlah pendiri partai politik.175
173 Lihat, Anggaran Rumah Tangga PKS Pasal 5 ayat (1). 174 Wawancara Pribadi dengan Lili Nur Aulia. Jakarta, 24 Oktober 2008 175 Lihat Kartu Pemantauan Legislasi, dalam agenda Jawaban Pemerintah atas Pandangan
Fraksi-Fraksi terhadap RUU Parpol dan Susduk, 5 September 2007, PSHK, h. 2
Mengingat sentralnya peran Parpol dalam kehidupan politik yang demokratis dan
menilai pentingnya pelaksanaan fungsi-fungsi Parpol dalam kehidupan
bermasyarakat, Fraksi PKS dapat memahami dan akhirnya turut memperjuangkan
proses pendirian Parpol yang ringan, paling tidak sama dengan ketentuan UU
Parpol sebelumnya. Harus diakui, saat ini kita membutuhkan partisipasi luas dari
seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan perubahan dan demokratisasi yang lebih
ekstensif.176 Ini menunjukkan bahwa pasca lahirnya Undang-Undang Nomor. 2
Tahun 2008 partai Islam yang lolos verifikasi lebih rumit bandingkan dalam
undang-undang. Lihat uraian diatas mengenai Perbandingan persyaratan Parpol
sebagai badan hukum menurut undang-undang No. 31 Tahun 2002 dengan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008. Tetapi, kondisi ini tidak membuat praktisi
politik Islam patah semangat untuk tetap optimis dalam verifikasi misalnya PKS
dan partai Islam lainnya yang bertambah dua partai politik yaitu PKNU dan PMB177
dibandingkan dengan peserta pemilu 2004, yang hanya ada 5 partai Islam yaitu:
PKS, PPP, PBB, PBR, dan PPNUI178 artinya sebagai partai ideologis pada pemilu
2009 hanya bersaing dengan 7 Parpol yang berasaskan Islam peluang mendapatkan
jumlah suara pada pemilu 2009 lebih besar.
176 Pendapat akhir Fraksi PKS terhadap RUU tentang Partai Politik, 6 Desember 2007.
PSHK, h. 2 177 "Poros Islam Menyongsong 2009", Suara Islam, edisi 49, Tanggal 1-14 Agustus 2008 ,
h. 5
178Lihat Profil Partai, diakses pada 15 Mei 2008 dari http:/ /www.tempo.co.id/
hg/partai/index.html
Mengenai kadar keterwakilan peremepuan, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 pasal (20) menegaskan ”Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi
dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3)
disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga
puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.179
Sementara itu, Koordinator Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI)
dan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU Politik (ANSIPOL) Sri Budi Eko
Wardani mengatakan, UU Politik yang baru disahkan akan memberikan terobosan
penting bagi partisipasi perempuan di dalam Parpol. Menurutnya, keterlibatan
perempuan di dalam Parpol –sebagai anggota dan pengurus—merupakan “hulu”
dari perjuangan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Aturan yang merupakan hulu tersebut terletak pada dua hal yaitu pembentukan
Parpol yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5). Lainnya, soal kepengurusan
Parpol, yakni di Pasal 20.180
Terobosan baru dalam UU partai politik merupakan langkah awal dari
proses “feminisasi” negara melalui Parpol. Feminisasi politik ini menjelaskan
bagaimana proses politik akan lebih memperhatikan persoalan mendasar yang
dialami masyarakat, termasuk perempuan. Bagi perempuan hal ini dapat
ditunjukkan melalui lebih peduli pada kesehatan, peningkatan pendidikan,
179 Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pasal (20). 180 “Asas Parpol Masih Jadi Ganjalan, Pengesahan UU Parpol”, artikel ini diakses pada 15
Mei 2008 dari http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=18130&cl=Berita
penghapusan kekerasan terhadap perempuan, serta mendorong perempuan terlibat
dalam proses politik dalam kehidupan publik.181
Dalam kerangka partisipasi demokratis, Fraksi PKS juga dapat memahami
dan turut mendukung afirmasi politik 30% perempuan dalam pendirian dan
kepengurusan Parpol dengan rumusan yang dihasilkan:
"Menyertakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam
kepengurusan partai politik di tingkat pusat dan di tingkat propinsi serta di
Kabupaten/Kota."
Gelombang afirmasi ini diharapkan tidak hanya menimbulkan tuntutan
yang berlebihan untuk tampilnya kaum perempuan pada lembaga publik. Tetapi,
menjadi pendorong untuk peningkatan kebijakan negara yang berpihak pada
pemuliaan kaum perempuan. Antara lain, lebih banyak mendengarkan,
meringankan beban fisik, meminimalisasi pelecehan, dan, segala bentuk yang
merendahkan kaum perempuan.182
Partai Keadilan Sejahtera dalam hal ini sudah menetapkannya dalam
Anggaran Rumah Tangga PKS bab IX tentang Struktur Partai di Tingkat Provinsi.
Ada beberapa anggota untuk komisi-komisinya misalnya poin 2 komisi yang
bertugas sebagai pengkaderan dan kewanitaan dan begitu juga terhadap Struktur
Partai di Tingkat Kabupaten.183
181 Astrid Anugrah, UU Parpol 2008 (UU No 2 Tahun 2008) dan Keterwakilan Perempuan
dalam Parpol, h. 27 182 Pendapat akhir Fraksi PKS terhadap RUU tentang Partai Politik, 6 Desember 2007.
PSHK, h. 3 183 Lihat, Anggaran Rumah Tangga PKS Pasal (27dan 40).
Sementara hambatan Parpol lain adalah alasan tidak adanya kader
perempuan dalam Parpol. Kader perempuan memang menjadi masalah ketika
Parpol tidak melakukan kaderisasi pada perempuan. Parpol hanya menjadikan
perempuan sebagai pemasok suara (vote getter) dalam pemilu, tetapi bukan kader
potensial Parpol.184
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga terbukti misalnya dalam pengajuan
573 anggota calon anggota legislatif, menempatkan 373 atau 65% pria dan 200
atau 35% perempuan. Hampir 100% dari 45 anggota DPR saat ini, menurut Sekjen
PKS, Anis Matta, kembali maju dalam pencalonan.185 Ketua Bidang Kewanitaan
DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifah, mengungkapkan ”kalau
berbicara realita, banyak dari kami yang justru bagus dan meraih suara lebih
banyak daripada lelaki,”186 Ini menandakan bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
merupakan partai yang selalu siap dalam menghadapi pemilu 2009. Bandingkan
dengan jumlah partai calon pemilu yang mendaftar tapi tidak lolos verifikasi
administraif dan partai yang tidak memenuhi keterwakilan 30% perempuan: 11
Parpol yang tidak lolos verifikasi yaitu:
184 Anugrah, UU Parpol 2008 (UU No 2 Tahun 2008) dan Keterwakilan Perempuan dalam
Parpol, h. 28. bandingkan dengan Pengumumam Daftar Calon Sementara Anggota DPR RI Pemilu
2009, Republika, 7 Oktober 2008, ada beberapa partai yang tidak memenuhi kuota 30%
keterwakilan perempuan diantaranya: PPRN (Partai Peduli Rakyat Nasional ), GERINRA (Partai
Gerakan Indonesia Raya), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan Partai Patriot. 185 "Berlomba Mencalonkan Perempuan ke DPR", Republika, 20 Agustus 2008 , h. 1
186 “Tergerus oleh Penetapan Suara Terbanyak”, Republika, 1 September 2008 , h. 9
Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Demokrasi Indonesia, Partai
Tenaga Kerja Indonesia, Partai Masyarakat Madani, Partai Pemersatu Nasional
Indonesia, Partai Republik, Partai Bela Negara, Partai Islam, Partai Persatuan
Perjuangan Rakyat, Partai Kerakyatan Nasional, Partai Reformasi Demokrasi.
Sedangkan yang mengundurkan diri karena tidak terdaftar memiliki badan
hukum di Depkum HAM yaitu: 187
1. Partai Islam Indonesia Masyumi
2. Partai Kemakmuran Rakyat.
Sedangkan dalam Rekapitulasi Daftar Calon Sementara DPR RI yang tidak
memenuhi keterwakilan 30% perempuan yaitu: 188
No Partai Jumlah Caleg Perempuan % Perempuan
4 Partai Peduli Rakyat Nasional 288 77 27%
5 Partai Gerakan Indonesia Raya 397 106 27%
24 Partai Persatuan Pembangunan 452 124 27%
30 Partai Patriot 118 23 19%
Mengenai proses Islamisasi kebijakan (ideologi) ditingkat nasional lebih
mudah untuk direalisasikan dengan budaya politik koalisi PKS dengan partai Islam
lain. lebih tepatnya apa yang disampaikan oleh Ketua Umum partai nasionalis
Hanura, Wiranto mengingatkan, koalisi lebih tepat bicara tentang kesamaan
187 Artikel diakses pada 15 Oktober 2008 dari http://hariansib.com/2008/06/01/kpu-
umumkan-51-Parpol-lolos-peserta-pemilu/ 188 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pengumumam Daftar Calon Sementara Anggota DPR
RI Pemilu 2009, Republika, 7 Oktober 2008, h. 26
program, bukan bagi-bagi kekuasaan. “Bagaimana program, visi, misi, dalam
membangun pemerintahan yang sama.”189 Tetapi dalam kehidupan politik dewasa
ini tak ada lagi dikotomi antara partai politik (Parpol) aliran nasionalis dan Islam.
Koalisi yang dibangun antar Parpol kini lebih cair. Partai berideologi Islam tanpa
ragu merangkul partai-partai nasionalis seperti terlihat dalam beberapa ajang
Pilkada. 190
Namun, nuansa pragmatis justru terasa lebih kental. Kalla mencontohkan
beberapa koalisi yang dibangun PKS disejumlah Pilkada. Sebagai partai
berasaskan Islam, PKS dapat berkoalisi dengan PDIP di Pilkada Sumsel. Di Sulsel,
PKS berkoalisi dengan partai Golkar. Bahkan partai yang sama-sama religius, tapi
dengan latar belakang agama yang berbeda, bisa bersatu di Pilkada. “Contohnya di
Papua, PKS berkoalisi dengan PDS”. Tidak ada rumusan baku menjalin koalisi.
sebab, tujuan koalisi antarpartai tak hanya sekedar kesamaan program, visi, dan
misi, tapi juga untuk mengisi kekurangan kemampuan maupun perolehan suara,
sehingga peluang mencapai kemenangan semakin besar.191
Sementara, bila ditilik dari sejarah, Taufiq Kiemas mengungkapkan bahwa
partai-partai nasionalis pun tak bisa dipisahkan dari umat Islam. Kalau sekarang
PDIP punya Baitul Muslimin, Taufiq menyatakan dahulu PNI juga memiliki
Jamiatul Muslimin. Hidayat Nur Wahid, menambahkan, sesuai undang-undang,
189 "Tak Ada Dikotomi Islam dan Nasionalis", Republika, 24 September 2008, h. 1
190 Ibid., seperti juga dikatakan M. Yusuf Kalla bahwa tidak ada lagi pertentangan antara
partai Islam dan Nasionalis. 191 Ibid.
semua Parpol memperoleh perlakuan sama. Tak ada pembedaan berdasarkan
ideologi partai, baik untuk Parpol Islam maupun Nasionalis. “sekarang bukan
waktunya lagi mempertentangkan partai berdasarkan asas Pancasila atau Islam.
Platform Parpol, sebenarnya banyak yang ber-singgungan. Hanya ada penekanan
tertentu, misalnya, di bidang ekonomi, umat, dan lainnya. “tidak lagi dikotomi
antara yang membahayakan dan tidak membahayakan NKRI”.192
Menurut penulis, mengutip salah satu paparan tokoh PKS yang juga ketua
MPR Hidayat Nur Wahid, bahwa dalam UU No.2 Tahun 2008 tidak ada
diskriminasi atau pembedaan berdasarkan ideologi partai, baik untuk Parpol Islam
maupun Nasionalis. Tidak lagi dikotomi bahwa partai yang berasaskan Islam akan
membahayakan NKRI. Disini dapat dilihat juga peluang bagi partai PKS untuk
berkoalisi dengan partai apapun demi mencapai kekuatan politik, mendapatkan
simpatisan dan dukungan publik. dimana didalam dunia politik. PKS mengartikan
politik sebagai “aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan
menjauhkan dari kerusakan serta mengantarkan kepada keadilan”.193
Dalam hal terjadi perselisihan, sebagaimana diatur dalam pasal 32 dan 33
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 yang selama ini marak terjadi dualisme
kepengurusan problem internal partai (misal kasus PKB) yang berujung di
Mahkama Agung dan berlanjut menjadi konflik pada akar rumput atau grass
192 Ibid. 193 Majelis Pertimbangan Pusat PK Sejahtera, Memperjuangkan Masyarakat Madani,
(Jakarta: MPP PKS, 2008), Cet. Pertama, h. 84
root,194 PKS cukup solid dengan berfungsinya struktur kelembagaan partai
diantaranya:
Majelis Syura adalah lembaga tertinggi partai. Kebijakan-kebijakan yang di
keluarkan oleh lembaga ini terdiri atas keputusan (tatsbit, beschikking) dan
peraturan (taqnin, regeling)195 adalah kebijakan yang sangat substansial. Misalnya
penetapan mengenai platform, visi dan misi partai, serta Capres dan Cawapres atas
rekomendasi Dewan Pimpinan Tingkat Pusat, mengevaluasi kinerja Dewan
Pimpinan Tingkat Pusat, menerima pengunduran diri pimpinan dan/atau anggota
dari kepengurusan Partai yang diangkat berdasarkan putusan Majelis Syura dan
lain-lain.196
Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (lembaga tinggi) adalah Pimpinan
Tingkat Pusat diantaranya: Ketua Majelis Syura, Ketua Dewan Syariah Pusat,
Ketua Majelis Pertimbangan Pusat, Ketua Dewan Pimpinan Pusat/Presiden Partai,
Sekjen dan Bendahara Umum.197 Agar tidak terjadi konflik internal pada PKS ialah
dengan melaksanakan AD/ART sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-
masing lembaga.198 Misalnya didalam partai lain yang banyak terjadi konflik
internal karena terjadi dualisme kepengurusan karena ada keputusan orang lain
yang dituruti (disegani) atau ada dikotomi keputusan individu yang dikultuskan.
194 Admin. “Konflik PKB” artikel diakses pada 15 Oktober 2008 dari http://agusromli.
com/portal/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30
195 Lihat, Anggaran Rumah Tangga PKS Pasal 13 ayat (2). 196 Lihat, Anggaran Dasar PKS Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, dan 19. 197 Lihat, Anggaran Rumah Tangga PKS Pasal 5 ayat (2).
198 Wawancara langsung Nur Arif Hidayat. Jakarta, 31 Oktober 2008
Ketua Majelis Pertimbangan Pusat
(lembaga tinggi)
PKS dalam hal mencegah terjadinya konflik internal selalu mengacu kepada
AD/ART atau sesuai dengan struktur kelembagaan yang ada.199
Struktur Kelembagaan
Dewan Pimpinan Tingkat Pusat PKS
C. Tantangan Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu 2009.
Sebagaimana yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia,
pada 9 Juli 2008 ada 34 Partai Politik Nasional yang akan mengikuti Pemilihan
Pemilu 2009. Ke-34 Partai Politik yang telah mendapatkan nomor secara berurutan
yang akan mengikuti Pemilu itu adalah: 1). Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), 2).
Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), 3). Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
199 Wawancara Pribadi dengan Lili Nur Aulia. Jakarta, 24 Oktober 2008
Ketua Majelis Syura (lembaga tertinggi)
Presiden Dewan Pengurus Pusat (lembaga tinggi)
Ketua Dewan Syari’ah Pusat
(lembaga tinggi)
Sekretaris Jenderal (lembaga tinggi)
Bendahara Umum (lembaga tinggi)
Ka.B
id B
PK
Ka. B
id B
PW
Ka. B
dn legis
latif
Ka. B
dn H
ub.
Lr
Negri
Ka.B
dn
Pem
en
angan
Pem
ilu
Ka.B
id P
olh
uk
Ka. B
id P
em
uda
Ka. B
id K
esra
Ka. B
id e
ku
inte
k
Ka. B
id K
ew
an
itan
Ka.B
dn.p
ere
ncan
aan
dakw
ah
Ka. B
dn h
um
as
(PPPI), 4). Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), 5). Partai Gerakan Indonesia
Raya (Gerindra), 7). Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), 8). Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), 9). Partai Amanat Nasional (PAN), 10). Partai
Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), 11). Partai Kedaulatan, 12). Partai Persatuan
Daerah (PPD), 13). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 14). Partai Pemuda
Indonesia (PPI), 15). Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis, 16). Partai
Demokrasi Pembaharuan (PDP), 17). Partai Karya Perjuangan (PKP), 18). Partai
Matahari Bangsa (PMB), 19). Partai Penegak Demokrasi Indonesa (PPDI), 20).
Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), 21). Partai Republika Nusantara (PRN), 22).
Partai Pelopor , 23). Partai Golkar, 24). Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 25).
Partai Damai Sejahtera (PDS), 26). Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia
(PNBKI), 27). Partai Bulan Bintang (PBB), 28). Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), 29). Partai Bintang Reformasi (PBR), 30). Partai Patriot, 31).
Partai Demokrat, 32). Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), 33). Partai
Indonesia Sejahtera (PIS), 34). Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
Dengan Berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI
Jakarta No. 104/VI/2008/PTUN JKT yang mengabulkan gugatan 4 partai politik
peserta Pemilu 2004 untuk menjadi peserta Pemilu 2009, KPU menetapkan partai-
partai politik tersebut sebagai peserta Pemilu 2009 yaitu:
41. Partai Merdeka
42. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI)
43. Partai Sarikat Indonesia (PSI)
44. Partai Buruh200
Di samping 38 Partai Politik Nasional Pemilu 2009 nanti juga akan
dimeriahkan oleh kehadiran 6 Partai politik local di Aceh diantara:
35. Partai Aceh Aman Sejahtera,
36. Partai Daulat Aceh,
37. Partai Suara Independen Rakyat Aceh,
38. Partai Rakyat Aceh,
39. Partai Aceh
40 Partai Bersatu Rakyat Atjeh dinyatakan lulus seleksi
ke-44 Partai tersebut dapat mengikuti Pilihan Umum 2009 yang
dijadwalkan akan dilaksanakan pada 9 April 2009.
Kehadiran 38 Partai Politik Nasional dan 6 Partai Politik Lokal di Aceh
sebagai peserta Pemilu 2009, dalam pandangan Warjio201 jelas akan berhadapan
dengan kondisi psikologis masyarakat yang sudah apatis terhadap Partai Politik
dan para elitnya. Kehadiran Parpol selama ini dan para elitnya yang dinilai gagal
membawa aspirasi masyarakat serta perilaku elit Partai Politik yang membawa
bangsa Indonesia ke jurang kehancuran melalui korupsi dan tindakan amoral yang
dilakukan mereka menjadi penyebab dari apatisme masyarakat terhadap Partai
Politik. Inilah satu keadaan psikologis yang berkaitan langsung dengan
kepercayaan pemilih di mana semua Parpol akan menghadapi tantangan.
200 Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009, artikel diakses pada 21
Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Umum_Legislatif_ Indonesia_2009 201 Penulis Political Analist, Staff Pengajar Departemen Ilmu Politik, FISIP USU
Untuk menarik kembali kepercayaan pemilih dalam Pemilu 2009 nanti
bukan pekerjaan yang mudah. Ini karena apatisme pemilih terhadap Parpol dan
elitnya telah ditunjukkan dengan kesadaran untuk Golput. Tren Golput ini sudah
mulai terasa di mana dalam setiap Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
kecenderungan untuk Golput terus membesar (Warjio, 2008). Sebagai catatan,
Golput pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 putaran pertama sebesar 24,60%
dan menjadi 26,31% pada putaran ke 2. Golput pada Pilkada Jawa Timur mencapai
39,2%. Ini berarti dari 29.061.718 pemilih sekitar 11,4 juta diantaranya diduga
tidak menggunakan hak pilihnya. Golput di Pilkada Banten, 26 November 2006,
mencapai 39,17%. Pilkada DKI Jakarta, 8 Agustus 2007 sebesar 34, 59%, Pilkada
Jawa Barat, 13 April 2008 mencapai 32,7% dan Pilkada Jawa Tengah, 22 Juni
2008 mencapai 41, 5%. Bahkan tingkat Golput dalam Pemilu 2009 diperkirakan
akan mencapai lebih 40% (Kompas, 25/72008).202 Mengenai tantangan beberapa
partai dalam hal Golput, termasuk PKS berusaha untuk meyakinkan agar mereka
terlibat dalam Pemilihan Umum 2009 untuk memilih PKS sebagai partai yang
bersih dan selalu mengedepankan amanah rakyat.203
Banyaknya Parpol peserta Pemilu 2009 sebenarnya menggambarkan juga
begitu beragamnya aliran atau ideologi. Ada yang beraliran agama, nasionalis atau
gabungan keduanya. Dengan demikian, keragaman ideologi ini jika tidak dikelola
dengan baik khususnya dalam masa kampanye bisa menimbulkan konflik.
202 Warjio, “Tantangan Parpol dalam pemilu 2009”, artikel diakses pada 15 Oktober 2008
dari Waspada Online http://www.waspada.co.id 203 Wawancara langsung Heri Purnomo. Jakarta, 31 Oktober 2008
Demikian juga bahwa berdasarkan nama-nama Partai Politik yang lulus verifikasi
KPU tersebut muncul Partai Politik baru di samping Partai Politik lama (Peserta
Pemilu 2004; di antaranya PKS sendiri, Partai Golkar, PKB, PBB, PAN, PDI-P,
dan Partai Demokrat). Demikian juga di antara Partai Politik yang lulus verifikasi
KPU tersebut tercatat juga Partai Politik "pecahan" dari Partai Politik peserta
Pemilu 2004 seperti Partai Politik Matahari Bangsa, pecahan dari Partai Amanat
Nasional (PAN). Penggunaan isu-isu yang berkaitan dengan keadaan ini juga akan
menimbulkan konflik tersendiri.204
Perlu dicatat pula bahwa dalam Pemilu 2009 nanti akan terjadi bukan saja
persaingan antara Partai Politik baru versus Partai Politik lama, persaingan ideologi
tetapi juga terjadi persaingan Partai Politik Nasional dengan Partai Politik lokal di
Aceh. Artinya, 38 Partai Politik Nasional akan bersaing memperebutkan pemilih
dengan enam Partai Politik Lokal di Aceh. Ini artinya, di Aceh isu-isu lokal akan
"berperang" dengan isu nasional. Kemampuan Partai Politik untuk mengemas
secara baik isu-isu ini tentu akan mudah baginya menarik simpati pemilih.
Persoalannya juga jika isu-isu ini dimunculkan tanpa menghiraukan kepentingan
bangsa secara keseluruhan ia akan berakibat fatal.205
Oleh karena itu, melihat kenyataan yang terjadi dalam berbagai permasalah
diatas merupakan tantangan bagi partai PKS untuk meraih suara terbanyak di
pemilu 2009, mau tak mau partai-partai Islam pun harus berhitung cermat. Apalagi,
204 Ibid., h. 2 205 Ibid.
menurut pengamat politik dari LIPI, Lili Romly, tantangan partai Islam
menghadapi pemilu 2009 nanti akan semakin berat. "Hal ini karena orientasi
ideologi dan kultur umat Islam Indonesia terus megalami perubahan"206
Meskipun dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2008 telah memberikan
kebebasan untuk mencatumkan asas partai tertentu dalam pasal 9 ayat (1) dan
(2),207 misalnya asas partai PKS adalah Islam.208 Dikutip dari Lili Romly dalam
majalah Suara Islam; memperjuangkan aspirasi dan hak-hak umat, edisi 49 (01-
14/’08), bahwa perubahan orientasi ideologi saat ini sangat terlihat jelas. Meski
tingkat ibadah ummat Islam semakin bertambah, tapi mereka belum tentu akan
memilih partai Islam.
"Tadinya ideologi mereka Islam, tapi sekarang berubah. Banyak massa Islam
yang akhirnya direbut oleh partai-partai nasionalis atau partai tengah.
Sementara itu, hanya sedikit massa partai nasionalis yang beralih kepartai
Islam".209
Situasi menjadi semakin berat karena partai Islam dan yang berbasis massa
Islam bertambah menjadi sembilan. Meskipun dalam penulisan skripsi ini dibatasi
hanya ada tujuh yang menjadi bahasan utama partai Islam yakni yang berasaskan
Islam saja. Tetapi penulis mengambil simpel perbandingan saja untuk mengetahui
tantangan partai PKS dalam menghadapi pemilu 2009 nanti. Bila sebelumnya ada
PPP, PKB, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI (Partai Persatuan Nahdatul Ummah
206 Lihat, Suara Islam, edisi 49, Tanggal 1-14 Agustus 2008 , h. 5
207 Pasal 9 ayat (1) dan (2), UU No. 2 Tahun 2008
208 Pasal 2 Anggaran Dasar PKS 209 Lihat, Suara Islam, edisi 49, Tanggal 1-14 Agustus 2008 h. 5
Indonesia), kini ditambah PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama) dan Partai
Matahari Bangsa (PMB). Padahal pangsa pasarnya tetap sama. Akibatnya sesama
partai Islam bisa menjadi pemangsa, karena memperebutkan basis yang sama,210
hal yang sama juga disampaikan oleh siaran pers hasil survei nasional Lembaga
Survei Indonesia (LSI), bertema Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang
Pemilu 2009.211
Oleh karena itu, berbagai partai politik Islam disarankan berani keluar dari
pasar utama (captive market)-nya jika ingin mencapai target menjadi Parpol
dengan perolehan suara besar. salah satu caranya adalah dengan mencobah
merambah konstituen baru, yang selama ini bernaung di bawah rumah-rumah
Parpol ber-platform lain seperti nasionalis. Salah satu Peneliti senior, Dodi
Ambardi mengungkapkan:
“Jika upaya keluar dari captive market itu tidak dilakukan dan terus bertumpu
pada melulu mengeksploitasi sentimen keagamaan, Parpol-Parpol Islam hanya
tetap menjadi Parpol yang cukupan, status Parpol dengan perolehan suara pas-
pasan seperti itu justru kemudian menjerumuskan partai Islam untuk saling
meng-'kanibal' satu sama lain”.212
Kondisi itu diyakini LSI terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang
jumlah dukungan suaranya terus meningkat dalam setiap pemilu. Hal itu lantaran
PKS menarik para pemilih Muslim yang selama ini memilih Parpol Islam lainnya.
dengan kata lain, peningkatan perolehan suara PKS telah mengrogoti Parpol Islam
210 Ibid. 211 “Parpol Islam Harus Garap Sumber Alternatif”, Kompas, 26 September 2008, h. 8 212 Ibid.
lainnya. Survei yang dilakukan LSI kali ini, sepanjang 8-20 September 2008, juga
digelar untuk mencari tahu apakah kecendrungan penurunan perolehan suara tadi
juga akan terjadi pada pemilu 2009.213
Istilah “Kanibalisasi politik” sebenarnya terlalu berlebih-lebihan. Karena
didalam berdemokrasi kebebasan berpolitik (mendirikan partai politik) merupakan
ajang pertarungan / persaingan politik yang sehat dan cerdas. Kalau di dalam istilah
ilmu ekonomi Parpol ini adalah produk, produknya bagus yang bermamfaat,
bernilai, kemasannya cantik, dan promosinya juga cerdas dipercaya kualitasnya
oleh rakyat. Produk itu yang akan dipilih oleh masyarakat/ calon konsumen
potensial. Ini justru persaingan dan pendidikan politik buat masyarakat. Bagi PKS
memang merupakan tantangan dan kerja keras yang harus dilakukan bagi setiap
partai apabila ingin mendapat simpatisan rakyat.214
Tantangan lain yang dihadapi PKS adalah Masyarakat menginginkan ada
perubahan di legislatif terkait dengan penetapan daftar calon anggota legislatif
2009 yang tengah diajukan partai politik ke Komisi Pemilihan Umum. Reformasi
lembaga legislatif ini diharapkan bisa terwujud lewat terpilihnya wajah-wajah baru,
bukan anggota dewan yang saat ini sudah berkantor di “Senayan”. Masa kerja lima
tahun dirasakan sudah cukup untuk mewakili rakyat berkiprah di lembaga
legislatif. Kinerja yang kurang membanggakan dan banyaknya anggota dewan
yang ditangkap Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) karena dugaan suap atau
213 Ibid. 214 Wawancara langsung Heri Purnomo. Jakarta, 31 Oktober 2008
terlibat perkara korupsi membuat masyarakat enggan memilih mereka kembali. Hal
ini menjadi benang merah hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 10-12
September lalu. Sebagian besar responden (53%) menyatakan, jika pemilihan
umum legislatif dilakukan saat ini, mereka akan memilih nama-nama calon
anggota legislatif (Caleg) yang benar-benar baru. Alasannya, citra dan kinerja
anggota DPR periode saat ini dinilai buruk.
Adapun responden yang tetap ingin mempertahankan “muka-muka lama”
sebanyak 12,9%.215
Ini salah satu tantangan PKS dalam pemilu 2009 yang akan
datang, meskipun anggota fraksi PKS yang duduk di parlemen tidak pernah terlibat
korupsi. Tetapi atas pernyataan Anis Matta yang mengatakan hampir 100 % dari 45
anggota DPR saat ini, kembali maju.216 Artinya tidak memberikan kesempatan
kepada kader lain untuk menjadi calon anggota DPR RI pada pemilu 2009, tetapi
setelah di amati dan di cermati lagi dari daftar Bakal Calon Anggota DPR RI PKS
sistem urutnya ada perubahan antara nomor urut pertama yang dahulu dipasang
pada pemilu 2004. dirubah atau digantikan posisinya oleh orang yang dahulunya
nomor urut paling bawah. Dengan alasan pergantian yang rasional karena tidak
vokal dan tidak kelihatan banyak kinerjanya selama menjabat anggota legislatif.217
215 Gianie. "Jajak Pendapat "Kompas” Rakyat Rindu Wajah Baru di Legislatif”, Kompas,
22 September 2008, h. 5 216 ”Berlomba Mencalonkan Perempuan ke DPR”, pada Republika, 20 Agustus 2008, h. 1 217 Wawancara Pribadi dengan Sultan Hadi. Jakarta, 24 Oktober 2008
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu, penulis membuat beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Bahwa Pasca disahkanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, tidak ada lagi dikotomi antara Parpol beraliran nasionalis, ideologis
ataupun agamis. kedudukan parpol Islam justru bisa dilihat sebagai suatu
respon positif bagi demokratisasi yang tengah berlangsung.
2. Setelah melihat pembahasan tentang konstelasi politik yang ada dalam UU No
2 Tahun 2008 dengan melihat risalah hasil sidang diparlemen, fraksi PKS
mendukung dan menaruh perhatian penuh pada proses demokratisasi internal
parpol. Kemandirian parpol dalam menyelesaikan pelbagai persoalan
internalnya dalam kerangka resolusi yang demokratis. Salah satu fungsi parpol
adalah manajemen konflik sehingga parpol dituntut menyelesaikan persoalan
internalnya secara mandiri tanpa merugikan kepentingan publik secara luas.
The best choice untuk itu semua adalah melalui mekanisme demokratis yang
independen. Fraksi PKS menyambut gembira beberapa rumusan yang sangat
substansial diantaranya:
a) Terkait kemandirian dan demokratisasi internal parpol yang di hasilkan
dalam UU No. 2 Tahun 2008 yaitu pada pasal 32 dan 33.
b) Terkait dengan peran parpol dalam kehidupan politik yang demokratis dan
menilai pentingnya pelaksanaan fungsi-fungsi parpol dalam kehidupan
bermasyarakat, Fraksi PKS akhirnya turut memperjuangkan proses
pendirian parpol yang ringan. Dalam kerangka partisipasi demokratis
tersebut, Fraksi PKS juga turut mendukung afirmasi politik 30%
perempuan dalam pendirian dan kepengurusan parpol dengan rumusan
yang dihasilkan: "menyertakan keterwakilan perempuan sekurang-
kurangnya 30% dalam kepengurusan partai politik di tingkat pusat dan di
tingkat propinsi serta di Kabupaten/Kota." sebagaimana yang tercantum
dalam UU No. 2 Tahun 2008 Pasal 20. PKS juga telah menetapkan dalam
Anggaran Rumah Tangga PKS bab IX tentang Struktur Partai di Tingkat
Provinsi, ada beberapa anggota untuk komisi-komisinya misalnya poin 2
komisi yang bertugas sebagai pengkaderan dan kewanitaan dan begitu juga
terhadap Struktur Partai di Tingkat Kabupaten.
c) Fraksi PKS sepakat dan menghargai keputusan akhir Pansus yang
mengembalikan asas parpol sebagaimana rumusan UU No. 31 Tahun 2002
Pasal 5 "Asas parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ada dua alasan PKS menerima
rumusan ini, pertama, rumusan tersebut telah terbukti mampu mewujudkan
stabilitas dan keharmonisan dalam kehidupan politik berbangsa selama dua
periode pemilu sejak reformasi. Kedua, adanya upaya untuk mewacanakan
aspirasi asas tunggal misalnya, justru menimbulkan polemik dan
ketegangan yang kontraproduktif bagi upaya membangun persatuan dan
kesatuan bangsa. Sehingga PKS dimata rakyat konsisten terhadap ideologi
agama partainya.
d) Fraksi PKS sejak awal menyerukan dan memperjuangkan pentingnya
perwujudan partai kader di negeri ini guna mengimplementasi fungsi Parpol
dalam hal pendidikan politik, rekrutmen pemimpin, manajemen konflik,
dan agregasi kepentingan. Fungsi-fungsi itu harus dijalankan sepanjang
waktu. Parpol harus hadir sepanjang waktu melakukan pendidikan politik,
menyerap aspirasi, melakukan rekrutmen pemimpin dan yang tak kalah
penting, tentu saja, turut mengentaskan pelbagai persoalan yang
menghimpit masyarakat.
B. Saran-Saran
Berdasarkan kajian yang dilakukan atas kedudukan partai politik Islam
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, beberapa saran
penulis berkaitan dengan kedudukan partai politik Islam khususnya Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dalam UU No. 2 Tahun 2008 adalah:
Hendaknya prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU No. 2 Tahun 2008
ini, mampu memberikan keleluasaan berhubungan dengan eksistensi PKS atau
menjadi Parpol yang tangguh. Lebih mampu menjadi agen pembaruan sosial dan
kehidupan politik yang sehat, baik secara internal maupun peran eksternalnya di
tengah bangsa Indonesia yang sedang menapaki langkah kearah demokratisasi
yang kuat.
Berkaitan dengan kedudukan Parpol secara umum dalam UU No. 2 Tahun
2008. Di harapkan semua memperoleh perlakuan sama. Tak ada pembedaan
berdasarkan ideologi partai, baik untuk Parpol Islam maupun Nasionalis. “sekarang
bukan waktunya lagi mempertentangkan partai berdasarkan asas Pancasila atau
Islam. Tidak ada lagi dikotomi antara yang membahayakan dan tidak
membahayakan NKRI. Penulis juga menekankan bahwa UU Parpol yang disahkan
pada tanggal 6 Desember 2007. Menjadi landasan hukum di dalam mengelola
Parpol sehingga menjadi kredibel, modern dan mandiri.
Untuk itu beberapa pokok pikiran mendasar yang bisa dinilai sebagai
terobosan untuk mencapai parpol yang kredibel, modern dan mandiri. Terpenting
diperhatikan adalah soal keterlibatan dan keterwakilan perempuan di dalam
pendirian dan pembentukan serta kepengurusan Parpol untuk lebih mengedepankan
kesetaraan, tidak ada diskriminasi bagi hak politik perempuan terutama nomor urut
caleg, agar bagi partai PKS menempatkan posisi yang menguntungkan yaitu nomor
urut jadi. Di harapkan kepada PKS agar gelombang afirmasi ini tidak hanya
menimbulkan tuntutan yang berlebihan untuk tampilnya kaum perempuan pada
lembaga publik. Tetapi, menjadi pendorong untuk peningkatan kebijakan negara
yang berpihak pada pemuliaan kaum perempuan. Antara lain, lebih banyak
mendengarkan, meringankan beban fisik, meminima-lisasi pelecehan, dan segala
bentuk tindakan yang merendahkan kaum perempuan.
Adapun dalam hal keuangan bagi PKS, selain berasal dari iuran anggota
dan sumbangan yang sah menurut hukum, juga akan memperoleh bantuan
keuangan dari APBN/APBD. Hanya saja, bantuan ini diberikan secara proporsional
bagi parpol yang memperoleh kursi di DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupatan/Kota. Penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.
“Konsekuensi adanya bantuan ini, PKS dilarang mendirikan badan usaha dan/atau
memiliki saham suatu badan usaha agar dalam kehidupan berpolitik tidak timbul
konflik kepentingan. Konsep seperti ini yang belum dikenal di dalam kehidupan
politik di Indonesia,” menjadi suatu tata aturan yang dapat memperbaiki moral
perilaku elit politik yang selama ini lebih cendrung kepada kebiasan opportunis.
Ketentuan baru dalam UU No. 2 Tahun 2008 terkait dengan penyelesaian
perselisihan parpol. Agar rumusan yang disahkan itu memberikan jalan terbaik
bagi pejabat atau para elit politik yang selama ini cendrung berselisih paham yang
berujung kepada pengadilan. Lebih mengedepankan peluang adanya arbitrase”.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Leo. Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Amal, Ichlasul, et. al (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogyakarta, 1996
Aminuddin, Hilmi. Menghilangkan Trauma Persepsi, Jakarta: Bidang Arsip dan
Sejarah DPP PKS dan Arah Press, 2008.
Anugrah, Astrid. UU Parpol 2008 (UU No 2 Tahun 2008) dan Keterwakilan Perempuan dalam Parpol, Jakarta: Pancuran Alam, 2008.
Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007
Badudu, J.S, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, Jakarta PT.
Kompas Media Nusantara, 2007
Budiardjo, Miriam Prof., Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004
--------- , Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2008
Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah Di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002.
Effendi, Bachtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesi, Jakarta: Paramadina, 1998.
--------- , Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung: Mizan
Pustaka, 2000.
Fatwa, A.M.. Satu Islam Multipartai: Membangun Integritas di Tengah Pluralitas.
Bandung: Mizan, 2000.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Furkon, Aay Muhammad, PKS Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Jakarta: Teraju, 2004.
Gatara, Said dan Said, Dzulkiah. Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.
Huntington, Samuel P., Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
Leege, David C. dan Kellstedt, Lyman A. Agama dalam Politik Amerika. Penerjemah
Debbie A. Lubis dan A.Zaim Rofiqi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dan Konstituante edisi revisi, Jakarta: LP3ES, 2006.
Mahendra, Yusri Ihza, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian Jakarta: Gema Insani
Press, 1996
---------, Rekonsiliasi Tanpa Mengkhianati Reformasi Jakarta: Teraju , 2004
Majelis Pertimbangan Pusat PKS. Memperjuangkan Masyarakat Madani Edisi Gabungan, Jakarta: MPP PKS, 2008.
Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional; Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung : Mizan, 2000
Poerwantana, P.K. Partai Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Roodee, Carlton Clymer dkk. Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: CV. Rajawali, 1987
Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004
Tesis
Arsyad, Dakwah PKS Melalui Kaderisas, Tesis S2 Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007
Peraturan Perundang-Undangan, AD-ART, dan Dokumen
AD-ART Partai Keadilan Sejahtera
Kartu Pemantauan Legislasi “Jawaban Pemerintah atas Pandangan Fraksi-Fraksi terhadap RUU Parpol dan Susduk” tanggal, 5 September 2007, PSHK.
SK MENDIKBUD No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan
Badan Koordinasi Kampus
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Nur Hasan Zaidi, S.Sos.I, Wakil Sekretaris Jenderal
(Wasekjen) VI DPP PKS Jakarta, pada tanggal 17 September 2008
Wawancara Pribadi dengan M. Lili Nur Aulia, Staf Dewan Wilayah Dakwah II
(Sumbagsel), pada tanggal 24 Oktober 2008 di Jakarta
Wawancara Pribadi dengan D. Heri Purnomo, SE., Staf Sekretariat DPP PKS Jakarta,
pada tanggal 31 Oktober 2008
Wawancara Pribadi Nur Arif Hidayat, Amd., Sekretaris Presiden PKS Jakarta, pada
tanggal 31 Oktober 2008
Wawancara Pribadi dengan Sultan Hadi, Staf Dewan Syari’ah Daerah Jakarta Pusat,
pada tanggal 24 Oktober 2008
Surat Kabar dan Majalah:
"Poros Islam Menyongsong 2009". Suara Islam, edisi 49. 2008.
“Tergerus oleh Penetapan Suara Terbanyak”. Republika. 1 September 2008.
"KPK Telusuri 400 Cek Suap ke DPR". Republika, 11 September 2008.
"Berlomba Mencalonkan Perempuan ke DPR". Republika, 20 Agustus 2008 .
"Jajak Pendapat Rakyat Rindu Wajah Baru di Legislatif”, Kompas, 22 September
2008.
"Tak Ada Dikotomi Islam dan Nasionalis". Republika, 24 September 2008.
“Pengumumam Daftar Calon Sementara Anggota DPR RI Pemilu 2009”. Republika, 7
Oktober 2008.
“Azumardi Azra Rubrik Resonansi Republika”. Republika, Kamis, 24 April 2008.
"Parlemen Tak Ideal untuk Akomodasi Rakyat". Kompas, 13 September 2008.
“Parpol Islam Harus Garap Sumber Alternatif”. Kompas, 26 September 2008.
“Partai Politik, Ketika Musim Verifikasi Tiba”. Kompas, 4 Januari 2008.
Artikel dari Internet:
Profil Partai, diakses pada 15 Mei 2008 http:/ /www.tempo.co.id/hg/partai/index.html
Admin. “Konflik PKB” artikel diakses pada 15 Oktober 2008 dari
http://agusromli.com/portal/?pilih=news&mod=yes&aksi=&id=30
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009, artikel diakses
pada 21 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Umum_
Legislatif_Indonesia_2009
Dalam artikelnya di koran The Australian (29 Maret 2005) berjudul "Why West should
come to Islamist party", dan diakses pada 15 Mei 2008
http://madrasahduat.blogspot.com/2008/04/eksistensi-partai-dakwah-
dalam.html
Zamrony, "Pemberantasan Korupsi: Topik Out Of Date", artikel diakses pada 15
September 2008
http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox+laporan+ICW+mengenai
+lembaga+terkorup+di+Indonesia&btnG=Telusuri&meta=
Lut “Asas Parpol Masih Jadi Ganjalan, Pengesahan UU Parpol” , artikel ini diakses
pada 15 Mei 2008 http:// cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=18130&
cl=Berita
Warjio, “Tantangan Parpol dalam pemilu 2009”, artikel diakses pada 15 Oktober 2008
dari http://www.waspada.co.id
Hasil Wawancara
Nur Hasan Zaidi (Wasekjend VI PKS 2005-2010 )
Pancoran, 17 September 2008
1. Bagaimana prospek Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kedepan dalam lahirnya
undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai
politik yang berkaitan dengan hal berikut ini:
a. Asas partai Pasal 9 (ayat 1, 2 dan 3)
Mengenai asas Islam di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008, PKS
merespon dengan baik serta menyetujui kembali disahkannya RUU Parpol
menjadi Undang-Undang. Demikian halnya juga dengan UUD 1945 terbingkai
didalamnya mengenai kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu. PKS memaknai hal tersebut demi untuk menjaga stabilitas
keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber
Bhineka Tunggal Ika. Dan menurut Soekarno bahwa seperti Pancasila dibuat
juga dengan kesepakatan politik dengan tujuan untuk memayungi masyarakat
banyak. Begitu juga asas Parpol diterapkan oleh masing-masing partai sesuai
dengan undang-udang Parpol yang baru yaitu pasal 9 ayat (2) “Partai Politik
dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita
Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Artinya Pasal ini juga
merupakan kesepakatan politik yang harus dilaksanakan dan tidak ada masalah
dalam merealisasikannya khususnya PKS. Justru dengan disahkannya pasal 9
ini akan meberikan prospek yang baik kedepan bagi PKS sebagai Partai yang
berasaskan Islam.
b. Sumber pendanaan (political finance) atau keuangan dalam partai politik
khusus PKS. Mulai dari Pasal 34 sampai pasal 39 sejauhmana dalam
melaksanakan apakah sudah diatur juga oleh AD dan ART PKS?
Dalam undang-undang Parpol No.2 Tahun 2008 sebenarnya sudah diatur
dengan jelas mengenai batasan dalam Pasal 35 saya kira itu sudah kesepakatan
politik. Khususnya PKS oleh karena itu PKS konsisten dalam menjalankan
aturan yang sudah ada, misalnya dalam hal yang sudah diatur mengenai sumber
keuangan. PKS adalah partai kader sekaligus partai massa yang mempunyai
komitmen untuk selalu membayar iuran anggota dari kader dan ini merupakan
nilai tersendiri bagi kinerja PKS karena telah diatur juga oleh AD dan ART
PKS.
c. Bagaimana tanggapan bapak mengenai seringnya terjadi konflik internal dalam
partai politik?
Sebenarnya didalam internal PKS kita terlibat dalam kepengurusan atau
diminta untuk memegang jabatan dalam dunia politik bukan sekedar untuk
mencari popularitas atau untuk kepentingan individu atau keluarga, terutama
dalam hal pen-caleg-kan tetapi lebih cendrung kita dituntut untuk
mempertanggungjawabkan suatu amanah dan itu merupakan ibadah. Inilah
yang dipegang oleh kader-kader PKS. Jadi, ini merupakan suatu solusi untuk
mencegah terjadinya konflik internal dalam tubuh PKS.
Hasil Wawancara
D. Heri Purnomo, SE., (Staff Sekretariat)
Mampang, 31 Oktober 2008
1. Bagaimana struktur fungsi apabila terjadi konflik diinternal partai di masing-
masing wilayah daerah ?
Kebiasaan yang kita ambil baik ditingkat daerah maupun pusat, kebijakan menjadi
tanggungjawab adalah setiap wilayah dakwah (Wilda). Dalam struktur organisasi
PKS mempunya beberapa pembinaan wilayah diantaranya: 1). Departemen
Wilayah Dakwah Sumbagut, 2). Departemen Wilayah Dakwah Sumbagsel, 3).
Departemen Wilayah Dakwah Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat. 3). Departemen
Wilayah Dakwah Jawa Tengah dan Jogjakarta, 4). Departemen Wilayah Dakwah
Jawa Timur dan Bali, 5). Departemen Wilayah Dakwah Kalimantan, 6).
Departemen Wilayah Dakwah Maluku, Maluku Utara, Irian, 7). Departemen
Wilayah Dakwah Sulawesi, dan 8). Departemen Wilayah Dakwah NTB dan NTT.
Apabila terjadi konflik di Wilayah Daerah yang bertanggung jawab adalah pertama
setiap departemen wilda yang terkait konflik dan berusaha diselesaikan lewat
masing-masing wilda. Misalnya pergantian antar waktu (PAW) atau dinon
aktifkan, baik secara hormat maupun tidak. Semua kebijakan dilaksanakan oleh
Wilda dan berkoordinasi dengan Dewan Pembinaan Wilayah dan Presiden PKS.
2. Bagaimana antisipasi PKS bila salah satu kadernya terlibat kepengurusan ganda
partai artinya tidak konsisten terhadap PKS di daerah?
Departemen Wilayah Daerah yang langsung mem-PAW.
Hasil Wawancara
Sulthan Hadi, (Staf Dewan Syari’ah Jakarta Pusat 2005-2010)
Pramuka Jati, 24 Oktober 2008
1. Selama ini masyarakat menilai kinerja anggota legislatif (DPR) kurang
membanggakan dan banyak yang juga diantara mereka yang ditangkap KPK
karena dugaan suap atau terlibat perkara korupsi membuat masyarakat enggan
memilih mereka kembali. Hal ini menjadi benang merah hasil jejak pendapat
Litbang Kompas pada 10-11 September 2008. Sebagian besar responden (53%)
menyatakan, jika Pemilu dilakukan sekarang. mereka akan memilih nama-nama
calon anggota legislatif (caleg) yang benar-benar baru. Alasannya citra dan
kinerja anggota DPR periode saat ini dinilai buruk. Sedangkan PKS hampir
100% dari 45 anggota DPR saat ini, kembali maju. Bagaimana pendapat anda
mengenai hal ini?
Kalau masalah itu memang sekjen yang banyak tahu masalah caleg 2009 tetapi
setelah saya amati lagi dari Daftar Bakal Calon Anggota DPR RI PKS ternyata
sistem urutnya yang direformasi antara nomor urut jadi yang dahulu dipasang
pada Pemilu 2004, ditukar posisinya menjadi nomor urut yang belum tentu jadi
atau paling bawah pada pemilu 2009. Dengan alasan pergantian yang rasional
yaitu karena kelihatan kurang Vokal dan kurang kelihatan kinerjanya selama
menjabat sebagai anggota DPR RI.
Hasil Wawancara
M. Lili Nur Aulia (Staf Wilda II Sumatera Bagian Selatan 2005-2010)
Pramuka Jati, 24 Oktober 2008
1. Berhubungan dengan asas Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008 ini sangat
mempermudah proses Islamisasi kebijakan (ideologi) ditingkat nasional dan lebih
mudah untuk direalisasikan dengan budaya politik koalisi PKS dengan partai Islam
lain. karena ini yang menjadi salah satu tantangan parpol Islam. sulit untuk bersatu
dan koalisi sesama parpol yang berasaskan Islam.
Kaitannya dengan kemungkinan koalisi-koalisi partai-partai Islam memang awal-
awal PKS sudah menjadi isu-isu dan dasar arahan tersendiri, karena PKS adalah
partai politik Islam yang baru berkembang menuju proses yang lebih baik lagi.
Maka wajar saja kalau didalam perbedaan pendapat itu masih ada antara partai
politik Islam lain karena memang dalam pentas politik masing-masing partai
berusaha untuk mengiring partai politik untuk memenangkan kelompok/partainya
masing-masing. Tetapi selama perbedaan itu tidak bersifat yang sangat prinsipil
dan selama masih ada titiktemu dicari dalam perbedaan-perbedaan itu PKS akan
mengutamakan koalisi atau bekerjasama dengan partai politik Islam tersebut.
Dewan Syariah Pusat juga mengeluarkan Fatwa “kita bekerjasama dalam hal-hal
yang kita sepakati dan saling bertoleransi mengenai hal-hal yang tidak kita
sepakati. Jadi, koalisi sesama partai itu sah-sah saja.
2. Hubungan dengan (political finance) dalam pasal 35, 36, 37, 38, 39 UU No. 2
Tahun 2008. PKS lebih mudah dalam penggalangan dana secara transparan,
dimana akhir-akhir ini beberapa anggota DPR terlibat gratifikasi dan suap.
Mungkin karena PKS sangat kuat dalam penggalangan dana dari kader sehingga
tidak ada kemungkinan terjadinya money politic bisa diberikan penjelasan
mengenai hal ini?
PKS dalam keterkaitannya dengan political finance memang sangat konsisten
dengan iuran dari kader dengan prinsip sadokah dan khususnya potongan terhadap
anggota dewan bersifat progresif tetapi tetap mengucu pada AD/ART. Yakni
diukur dari beberapa kebutuhan primer keluarga yang harus ditanggung misalnya
berapa anak yang harus dinafkahi, jika kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi itu
besar maka sedikit pula potonganya dan bisa juga sebaliknya jika keluarga yang
mau dinafkahi tidak banyak, maka potongan gajinya kecil. Tujuan dilakukan
sistem seperti ini agar tidak terjadi money politic, atau gratifikasi dan suap diantara
para anggota fraksi PKS dengan fraksi lain diparlemen (transparan).
3. Apabila terjadi perselisihan atau konflik internal partai. Wewenang siapa yang
berhak menyelesaikan permasalahan tersebut terkait dengan struktur kelembagaan
yang ada?
PKS mempunyai setruktur kelembagaan yang khusus menangani isu-isu problema
internal partai diantaranya: Pada tingkat pusat adalah Dewan Syari’ah Pusat, untuk
ditingkat provinsi adalah Dewan Syari’ah Wilayah dan ditingkat kabupaten/kota
adalah Dewan Syari’ah Daerah. Kemudian dipertanggung-jawabkan ke pada
Dewan Pimpinan Tingkat Pusat. Dalam struktur PKS ini adalah lembaga tinggi
partai dan memang hasil putusannya sangat dihormati. Apabila pelanggaran
dilakukan oleh seorang kader berkenaan dengan moral ada sanski tersendiri
misalnya ditugas untuk menghafal surah-surah didalam al-Qur’an. Apabila
seseorang itu melanggar berkenaan Politik Partai dan jelas-jelas melanggar
AD/ART. Maka sanski yang diberikan adalah non-aktifkan dari partai untuk
sementara. PKS juga konsisten dengan fungsi struktur yang ada.
4. Apa saja tantangan PKS untuk pemilu 2009?
PKS adalah partai baru yang akan mengikuti Pemilu yang ketiga, dan tantangan
besarnya adalah bagaimana PKS bisa bermain dalam lingkup Pemilu ini secara
fair. Karena selama ini banyak isu bahwa PKS memiliki kans yang cukup banyak
menurut kebanyakan pakar politik. Sehingga terkadang menimbulkan sentimen-
sentimen yang tidak baik dari partai lain. Oleh karena itu, PKS berusaha mencoba
meminimalisir agar tidak terlalu khawatir. Dan kaitannya juga dengan financial
juga merupakan problem besar karena ikut berpartisipasi dengan Partai Politik
memang dibutuhkan materi yang banyak. Bahkan bisa dilihat dari karakter
masyarakat kita yang lebih cendrung pragmatis menerima serangan fajar, mereka
lebih sukai daripada program atau visi misi yang baik ditawarkan oleh partai. Oleh
karena itu, kedepannya bagaimana PKS mempunyai sesuatu dana politik yang baik
untuk menunjang strategi politik yang baik terutama bagi pelayanan rakyat agar
tetap simpati terhadap PKS.
Hasil Wawancara
Nur Arif Hidayat, Amd ., (Sekretaris Presiden PKS)
Mampang, 31 Oktober 2008
1. Apa yang menjadi Acuan mekanisme dalam menyelesaikan konflik internal
partai?
Mekanisme acuan yang menjadi dasar interpretasi adalah Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga.
2. Bila terjadi konflik internal partai di Dewan Pengurus Pusat siapa yang
bewewenang mengeluarkan kebijakan dalam menyelesaikannya?
Putusan tertinggi yang menjadi dasar kebijakan dalam menyelesaikan konflik
yang bersifat konflik-konflik nasional adalah Majelis Syura tetapi tetap
mengacu kepada AD/ART.
3. Tantangan Partai Politik Islam salah satunya adalah harus berani keluar dari
pasar utama (captive market)-nya jika ingin mencapai target menjadi Partai
Poltik dengan perolehan suara besar bagaimana dengan PKS dalam hal ini?
Tantangan PKS sebagaimana tantangan partai politik lain adalah bagaimana
bisa merekrut massa yang banyak atau memenangkan Pemilu. PKS juga adalah
partai dakwah terjunnya kita keranah politik karena ibadah (islahul ummah)
bagaimana perbaikan ummat.
4. Konflik internal didalam PKS masing –masing ada bagian khusus yang
melaksanakan penyelesainnya, bisa dijelaskan mengenai hal ini?
Kalau ada permasalahan-permasalahan kader yang terkait dengan syari’ah
maka yang akan menyelesaikan adalah Dewan Syari’ah. Sedangkan untuk
permasalahan yang terkait dengan ketidak disiplinan dalam organisasi atau
kepengurusan maka diiselesaikan oleh Badan Penegak Disiplin Organisasi
(BPO) yang mana hampir sama jabatan kewengannya oleh presiden.
5. Apa yang memyebabkab kader itu konsisten dengan iuran dalam partai
sedangkan kebanyakan orang yang ingin masuk kedalam partai karena ada
kepentingan?
PKS memaknai bahwa ini adalah organisasi dakwah, seluruh kegiatannya
adalah bersifat dakwah maka itu semua bernilai ibadah. Oleh karena itu,
sumber pendanaan juga berasal dari kader-kader dan dari donatur-donatur
diluar pemerintah.