skripsi lala
TRANSCRIPT
-
8/3/2019 skripsi lala
1/33
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sindrom Stevens-Johnson merupakan reaksi hipersensitivitas kompleks imun
pada mukokutan yang paling sering disebabkan oleh obat-obatan dan lebih sedikit
oleh infeksi. Sindrom Stevens-Johnson adalah kelainan yang ditandai dengan
cepatnya perluasan ruam makula, sering dengan lesi target atipikal (datar, irreguler),
dan keterlibatan lebih dari satu mukosa (rongga mulut, konjungtiva, dan genital)
(Fitzpatrick, et al., 1999; Namayanja, et al., 2005).
Penggunaan obat antibiotik, analgesik, antikonvulsan, antiinflamasi non-
steroid, allopurinol, dan kortikosteroid merupakan etiologi dari Sindrom Stevens-
Johnson (Roujeau, 1995). Pada penelitian Ananworanich, et al, ( 2005), Nevirapine
menyebabkan 2 pasien yang terinfeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV)
menderita Sindrom Stevens-Johnson.
Nevirapine adalah non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor yang
digunakan dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain untuk pengobatan infeksi
HIV. Human Imunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus penyebab AIDS
(Acquired Immuno Deficiency Syndrome) yaitu kondisi dari sekumpulan gejala akibat
berkurangnya sel pertahanan tubuh yang disebabkan penekanan pada sel-sel limfosit
T oleh HIV (Samarayanake, et al., 2002).
1
-
8/3/2019 skripsi lala
2/33
Pada tahun 2002 diperkirakan antara 90.000-130.000 orang di Indonesia hidup
dengan HIV/AIDS, dari jumlah tersebut diperkirakan sebanyak 10.000 orang yang
terinfeksi HIV/AIDS membutuhkan terapi antiretroviral segera (Depkes RI, 2004).
Obat-obatan anti-HIV menolong orang yang terinfeksi HIV bertahan lebih
lama dan hidup lebih sehat. Obat-obatan antiretroviral harus diberikan dalam
kombinasi, dan semua obat tersebut dapat menyebabkan efek samping yang negatif
yaitu hepatotoksik, hiperglisemia, hiperlipidemia, laktik asidosis, lipodistrofi,
osteonekrosis, osteoporosis, osteopenia, dan Sindrom Stevens-Johnson (Department
of Health and Human Services, 2008).
Kelainan mukokutan seperti Sindrom Stevens-Johnson bisa muncul pertama-
tama di dalam mulut, dan tindakan dini dapat mencegah keterlibatan kulit lebih lanjut
(Lewis, 1998). Dokter dan dokter gigi seringkali berdiskusi untuk mengevaluasi dan
megobati ulserasi pada rongga mulut. Dokter gigi umum dapat mengambil peran
utama dalam mengidentifikasi pasien dengan ulser dalam rongga mulut yang
disebabkan oleh obatdan memfasilitasi pengobatan dan perawatan pasien (Cohen, et
al., 1999).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai prevalensi Sindrom Steven Johnson akibat penggunaan obat
anriretroviral (ARV) pada pasien rawat inap di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
periode Januari-Desember 2008.
2
-
8/3/2019 skripsi lala
3/33
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian dapat dirumuskan masalah yaitu :
1) Berapa prevalensi Sindrom Stevens Johnson akibat antiretroviral (ARV) pada
pasien rawat inap di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari-
Desember 2008.
2) ARV yang paling banyak menyebabkan Sindrom Stevens Johnson pada pasien
rawat inap di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari-Desember
2008.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai
prevalensi Sindrom Steven-Johnson akibat obat antiretroviral (ARV) pada pasien
rawat inap di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari-Desember 2008.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi dokter
umum maupun dokter spesialis mengenai prevalensi Sindrom Steven-Johnson akibat
antiretroviral serta sebagai pertimbangan dalam mencegah atau meminimalisir
terjadinya reaksi alergi obat.
Bagi dokter gigi, hasil penelitian ini diharapkan pula menambah ilmu
pengetahuan mengenai prevalensi Sindrom Stevens-Johnson akibat antiretroviral
sehingga dapat menegakkan diagnosa serta bekerjasama dengan dokter umum untuk
melakukan terapi yang tepat.
3
-
8/3/2019 skripsi lala
4/33
Hasil penelitian ini juga merupakan upaya informatif bagi pasien bahwa reaksi
alergi obat seperti Sindrom Steven-Johnson dapat terjadi akibat efek samping obat
antiretroviral sehingga pasien dapat lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi obat.
1.5 Kerangka Pemikiran
Sindrom Stevens-Johnson merupakan suatu kelainan mukokutan akut akibat
reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis makula eritem, papula, vesikel, dan bula
juga tedapat lesi pada 2 atau lebih membran mukosa disertai dengan gejala sistemik
(Martodihardjo, 1990; Roujeau, 1995; Rose, 2005).
Beberapa faktor sebagai pencetus Sindrom Stevens-Johnson antara lain obat-
obatan, bahan kimia, keganasan, dan infeksi. Obat-obatan yang mencetuskan sindrom
Stevens-Johnson yaitu antibiotik, antikonvulsan, antijamur, analgesik, sulfonilurea,
allopurinol, dan kortikosteroid (Lagayan, 2005). Menurut Meechan and Seymour
(2002), Efavirenz dan nevirapine menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson.
Nevirapine dan efavirenz merupakan obat antiretroviral golongan NNRTI.
Antiretroviral (ARV) merupakan obat yang melawan HIV yang bekerja menekan
replikasi HIV dalam darah, sehingga mengendalikan infeksi HIV serta melindungi
sistem kekebalan dari kerusakan. Golongan ARV yaitu NsRTI atau nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (abacavir, didanosine, stavudine, lamivudine, dan
zidovudine), NtRTI atau nucleotide reverse transcriptase inhibitor (tenofovir),
NNRTI atau non nucleoside reverse transcriptase inhibitor (efavirenz dan
nevirapine), dan PI atau protease inhibitor (nelfinavir, saquinavir, ritonavir,
amprenavir, indinavir, dan lopinavir) (Depkes RI, 2004).
4
-
8/3/2019 skripsi lala
5/33
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif dengan mengumpulkan data
dari catatan medis morbiditas pasien rawat inap dengan kode ICD L51.1 dan L51.2,
dimana kode ICD L51.1 adalah kode resmi dari WHO untuk diagnosa bullous dan
kode ICD L51.2 adalah resmi dari WHO untuk diagnosa Toxic Epidermal Necrolysis
di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari-Desember 2008.
1.7 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di instalasi rawat inap bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin serta bagian rekam medis RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan
Maret sampai dengan bulan Mei 2009.
5
-
8/3/2019 skripsi lala
6/33
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindrom Steven Johnson
2.1.1 Definisi
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit akut dan berat, terdiri dari erupsi kulit,
kelainan mukosa dan lesi pada mata (Siregar, 1996). Sedangkan menurut Laskaris (2000),
Sindrom Stevens-Johnson atau eritema multiformis mayor adalah variasi eritema multiformis
mukokutan yang lebih parah dengan ditandai keterlibatan membran mukosa.
Menurut Sharma and Sethuraman (1996), Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk
penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang dari ringan sampai berat berupa lesi
target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai makula, vesikel, bula dan purpura yang tersebar
luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih 10 % dari area
permukaan tubuh, serta melibatkan lebih dari satu membran mukosa. Kasus dengan
pengelupasan epidermis antara 10% sampai dengan 30% disebut dengan overlap Stevens-
Johnson Syndrome-Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN), sedangkan kasus dengan
pengelupasan epidermis lebih dari 30% disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) (Bastuji-
Garin, et al., 1993).
2.1.2 Etiologi
Tabel 2.1 Etiologi Sindrom Stevens-Johnson
No Etiologi Keterangan Referensi
1. Idiopatik Banyak kasus Sindrom Stevens-Johnson yangtidak diketahui secara pasti etiologinya, diduga
Cawson, 1994; Laskaris,2000; Parillo, et al., 2005.
6
-
8/3/2019 skripsi lala
7/33
sebesar 50% etiologi Sindrom Stevens-Johnsonadalah idiopatik.
2. Erupsi alergi obat
secara sistemik
Kebanyakan pasien memiliki riwayat
menggunakan obat-obatan sebelum timbulnyagejala-gejala Sindrom Stevens-Johnson. Erupsialergi obat secara sistemik adalah reaksi padakulit atau daerah mukokutan yang terjadi
sebagai akibat pemberian obat.
Mansjoer, dkk., 2000.
a. Antibiotik Golongan penisilin dan semisintetiknya,tetrasiklin, sulfonamid, sefalosporin,eritromisin, vankomisin.
Roujeau, 1995; Noel , et al.,2000; Rose, 2005.
b. Antikonvulsan Barbiturat, fenitoin, hidantoin, karbamazepin,fenobarbital
Roujeau, 1995; Lagayan,2005.
c. Antiinflamasi Oksikam, parasetamol, derivat salisilat,pirazolon
Villar, et al ., 2001; Rose,2005.
d. Antirematik Alopurinol Ghislain and Roujeau, 2005e. Antituberkulosis Rifampisin Fritsch and Sidoroff, 2000.
f. Antiretroviral Nevirapin Fagot, et al., 2001.g. Antihiperglikemi Sulfonilurea Roujeau, et al., 1995.h. Kortikosteroid Glukokortikoid Roujeau, et al., 1995.i. Antihelmintik Mebendazol Tong Chen, et al., 2003.
j. Amebisid Metronidazol Tong Chen, et al., 2003.
k. Antiepilepsi Lamotrigin Shuen Lam, et al., 2004l. Antimalaria Kinin, meflokuin, klorokuin Mansjoer, dkk., 2000
3. Bahan-bahan kimia perak nitrit, trikloretilen, nikel, air raksa,
arsenik, 9-bromofluoren, trinitrotuen danformaldehid
Smelik, 2005; Lagayan, 2005.
4. Infeksia. Infeksi virus Herpes Simpleks,HIV, Coxsakie,
orthomyxovirus, paramyxovirus, hepatitis B,Lymphogranuloma venereum (LGV),Rickettsia
sp, variola,Epstein-bardan enterovirus
Villar , et al., 2001; Dunant,
2002; Shuen Lam, et al.,2004; Lagayan, 2005; Parilloet al., 2005.
b. Infeksi bakteri Mycoplasma pneumonia, Streptokokus beta
Grup A, tularemia yang disebabkan olehFrancisella tularensis dan demam typhoid yang
disebabkan oleh Salmonella sp
Lagayan, 2005; Parillo, et al.,
2005.
c. Infeksi jamur Coccidioidomycosis oleh Coccidioides immitis,
histoplasmosis olehHistoplasma capsulatum,dermathophytosis oleh Trichophyton sp,
Epidermophyton sp dan Microsporinsp.
Lagayan, 2005; Parillo, et al.,
2005.
d. Infeksi protozoa Trichomonas Parillo, et al., 20055. Neoplasma Keganasan yang sering dihubungkan dengan
Sindrom Stevens-Johnson adalah beberapa
varian karsinoma dan limfangioma
Smelik, 2002; Lagayan, 2005;Parillo, et al., 2005).
6. Reaksi pascavaksinasi pemberian vaksin dipteri, tiphoid,Bacillus
Calmette Guerin (BCG), Oral Polio Vaccine(OPV), smallpox, antraks, tetanus dan campak
Chopra, et al., 2004; Smelik,2005; Rose, 2005; Parillo,2005.
7. Penyakit kolagen lupus eritematosus sistemik Ghislain and Roujeau, 2005.8. Faktor lain sinar X, sinar matahari, cuaca, keadaan
kehamilan, kontaktan, terapi radiasi dan alergimakanan
Mansjoer, dkk., 2000.
2.1.3 Insidensi dan Prevalensi
Sindrom Stevens-Johnson paling sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda,
jarang terjadi di bawah usia 3 tahun (Sularsito, dkk., 1986; Siregar, 1996; Mansjoer, dkk., 2000;
Smelik, 2005). Menurut Parillo, et al. (2005), rata-rata umur penderita adalah 20-40 tahun,
7
-
8/3/2019 skripsi lala
8/33
walaupun pernah dilaporkan penderita anak berumur 3 bulan. Hasil penelitian Foster, et al.
(2005) menyatakan bahwa rata-rata umur penderita Sindrom Stevens-Johnson adalah 25-47
tahun. Menurut Foster, et al. (2005), di Jerman dilaporkan insidensi Sindrom Stevens-Johnson
sebesar 1,1 kasus tiap satu juta orang pertahun.
Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan antara pria dan wanita pada penderita Sindrom
Stevens-Johnson adalah 2:1 (Sularsito, dkk., 1986; Parillo, et al., 2005).
Data yang diperoleh berdasarkan penelitian oleh Committee Drug Adverse Reaction
Monitoring, Directory for Drug and Food Administration, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 1981-1995 menyatakan selama periode tersebut terjadi 2646 kasus reaksi
samping obat. Dari 2646 kasus, sebanyak 35,6% atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom
Stevens-Johnson dilaporkan terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus
(Budimulja dan Selamat, 1998). Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, insidensi Sindrom Stevens-Johnson setiap tahun kira-kira
terdapat 10 kasus, sindrom ini makin meningkat karena salah satu penyebabnya ialah alergi obat
dan sekarang semua obat dapat diperoleh secara bebas (Hamzah, 2002).
2.1.4 Patofisiologi
Patogenesis Sindrom Stevens-Jonson sampai saat ini belum jelas namun sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV (delayed-type hypersensitivity
reactions) adalah reaksi yang dimediasi oleh Limfosit T yang spesifik (Foster, et al., 2005).
Sindrom Stevens-Johnson merupakan reaksi imun sitotoksik dengan sasaran destruksi
keratinosit. Pembentukan imun ditandai dengan kelambatan antara paparan hingga permulaan
penyakit (1 sampai 45 hari; rata-rata 14 hari). Aktivasi sel T (termasuk CD4+ dan CD8+) telah
8
-
8/3/2019 skripsi lala
9/33
dilihat secara in vitro pada sel-sel darah perifer dari pasien dengan erupsi obat berlepuh (bullous
drug eruption); adanya produksi yang tinggi dari interleukin-5. Kerusakan epidermis
berdasarkan pada induksi apoptosis. Terdapat ekspresi berlebih yang drastis dari TNF pada
epidermis. TNF memainkan peranan penting dalam destruksi epidermis, dengan menginduksi
apoptosis secara langsung atau dengan menarik sel-sel efektor sitotoksik atau keduanya
(Fitzpatrick, 1999; Foster, et al., 2005).
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut
dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang
timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan
terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat
mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat
aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai
kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas
mediator serta produk inflamasi lainnya. Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis
membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu
macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Sindrom
Stevens-Johnson dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan
keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab (Fitzpatrick,
1999; Foster, et al., 2005).
2.1.5 Gejala Klinis Umum
9
-
8/3/2019 skripsi lala
10/33
Secara umum gejala klinis Sindrom Stevens-Johnson didahului gejala prodormal yang
tidak spesifik seperti demam, malaise, batuk, sakit kepala, nyeri dada, diare, muntah dan
artralgia. Gejala prodormal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan
sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan dalam keadaan yang berat
gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai koma
(Siregar, 1996; Mansjoer, dkk., 2000; Langlais and Miller, 2003).
2.1.6 Gejala pada Kulit
Lesi kulit pada Sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat
juga terjadi sesudah gejala klinis di bagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat
asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit berupa erupsi
yang bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini
menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan
seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan
ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas
pada wajah, dada dan seluruh tubuh (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Eritema yang tersebar luas pada wajah (Dunne,2000).
10
-
8/3/2019 skripsi lala
11/33
Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi,
menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas
meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi krusta yang
umumnya berwarna coklat gelap sampai kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura,
urtikaria dan edema. Selain itu, adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa
terbakar (Roujeau and Stern, 1994; Emond, et al., 1995; Lagayan, 2005; Parillo, et al., 2005).
2.1.7 Gejala pada Mata
Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien Sindrom Stevens-Johnson. Kelainan yang
sering terjadi adalah konjungtivitis (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Konjungtivitis (Cohen, 2000).
Selain konjungtivitis, kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang merata dengan
krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita Sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan
mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia, panophtalmintis,
deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata
11
-
8/3/2019 skripsi lala
12/33
kering, komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea,
dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan
kebutaan (Shafer, 1983; Lim and Constable, 1987; Sonis, et al., 1995; Manjoer, dkk., 2000;
Smelik, 2005; Lagayan, 2005).
2.1.8 Gejala pada Genital
Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis
adalah inflamasi pada glans penis (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Balanitis (Cohen, 2003).
Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa sekret uretra,
peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah
peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa
bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan
gangguan buang air kecil. Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa
peradangan anal atau inflamed anal (Scopp, 1973; Sularsito, dkk., 1986; Levene and Calnan,
1989; Bricker, et al., 1994).
12
-
8/3/2019 skripsi lala
13/33
2.1.9 Gejala pada Rongga Mulut
Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit, seluruh
permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak terjadi pada bibir, lidah
palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada gusi relatif jarang terjadi lesi
(Pindborg, 1994; Langlais and Miller, 2003).
Lesi oral didahului oleh makula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuran
vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun
bula terutama pada mukosa bibir mudah pecah karena gerakan lidah dan friksi pada waktu
mengunyah dan bicara, sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan
klinis intaoral. Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian
mengalami ekskoriasi dan berbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang berwarna
abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik
mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi
tidak jelas dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan
megalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman.
Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa
bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut (Gambar 2.4) (Shafer, 1983:
Pindborg, 1994; Emond, et al., 1995; Laskaris, 2000; Hamzah, 2002; Langlais and Miller,
2003).
13
-
8/3/2019 skripsi lala
14/33
Gambar 2.4 Krusta sanguinolenta pada bibir (Dunne,2000).
2.1.10 Diagnosa
Diagnosa merupakan hal yang penting sehubungan dengan perawatan yang akan
dilakukan. Diagnosa sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar perawatan dapat segera dilakukan
sehingga hasilnya akan lebih memuaskan dan prognosis yang buruk dari sindrom Stevens-
Johnson dapat dihindarkan. Penegakkan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat
berbagai macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosa Sindrom Stevens-
Johnson terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang.
2.1.10.1 Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa
penyakit. Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara dokter gigi dengan penderita atau
keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Seorang dokter gigi
harus menguasai cara melakukan anamnesis yang baik sehingga dapat mengarahkan dan
menganalisis jawaban-jawaban pasien untuk memperoleh suatu kesimpulan yang merupakan
penegakkan diagnosis dari sindrom Stevens-Johnson. Anamnesis yang dilakukan meliputi
keluhan utama, riwayat penyakit yang sedang dan pernah diderita baik penyakit umum maupun
14
-
8/3/2019 skripsi lala
15/33
penyakit gigi, riwayat penyakit keluarga, riwayat menggunakan obat secara sistemik, serta
riwayat timbulnya erupsi kulit.
2.1.10.2 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan baik ekstra oral maupun intra oral. Pemeriksaan klinis
yang dilakukan oleh dokter gigi diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas. Ada
beberapa hal penting dalam pemeriksaan klinis yang dapat dijadikan bahan acuan dalam
mendiagnosis sindrom Stevens-Johnson, yaitu (Mansjoer, dkk., 2000; Labreze, et al., 2000;
Fagot, et al., 2001; Dunant, et al., 2002; Chopra, et al., 2004; Shuen Lam, 2004; Jones, et al.,
2004) :
1) Diawali oleh penyakit peradangan akut yang disertai gejala prodormal berupa demam,
malaise, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia.
2) Tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mulut berupa stomatitis, kelainan pada mata berupa
konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis.
3) Keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk dan kesadaran penderita mulai dari sopor
bahkan menurun sampai koma.
4) Berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat tertentu secara sistemik, imunologi, atau
kombinasinya.
5) Manifestasi oral biasanya timbul setelah erupsi kulit, tetapi adakalanya timbul mendahului
erupsi kulit.
6) Pada lesi kulit terdapat makula, vesikel atau bula, dapat disertai purpura yang tersebar luas
pada tubuh.
7) Terdapat pengelupasan epidermis seluas kurang dari 10% area permukaan tubuh.
2.1.10.3 Pemeriksaan Penunjang
15
-
8/3/2019 skripsi lala
16/33
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan
hemaglutinasi dengan mikroskop imunoflouresensi. Pemeriksaan hemaglutinasi bertujuan untuk
memperlihatkan adanya komplemen dan antibodi Ig G atau Ig M. Selain itu, pemeriksaan
histopatologis dengan biopsi membantu membedakan sindrom Stevens-Johnson dengan penyakit
lainnya. Hasil pemeriksaan biopsi menunjukkan adanya bula subepidermal yang terdapat di
bawah epidermis, adanya area perivaskuler yang diinfiltrasi oleh limfosit dan terdapat juga
nekrosis sel epidermal (Siregar, 1996; Lagayan, 2005). Pada umumnya perubahan-perubahan
terjadi pada bagian atas kulit berupa pelebaran atau dilatasi pembuluh darah superfisial yang
dikelilingi oleh infiltrasi sel radang limfosit dari ringan sampai berat dan sejumlah sel radang
yang lainnya seperti neutrofil, eosinofil, leukosit dan sel polimononuklear. Selanjutnya reaksi
edematus meluas sampai epidermis, yang diikuti penetrasi sejumlah besar cairan edema sehingga
menyebabkan pembentukan vakuola. Batas antara dermis dan epidermis menjadi tidak jelas dan
pada kahirnya pembentukan vakuola akan menyebabkan terjadinya vesikel. Vesikel ditandai
dengan adanya celah pada perbatasan antara dermis dan epidermis serta nekrosis sel epidermis
bagian atas yang tebal dan padat. Vesikel selanjutnya dapat membentuk bula yang berisi eksudat
fibrinosa dan sejumlah besar sel radang. Vesikel maupun bula dapat terjadi pada subepitel dan
intraepitel (Laskaris, 2000; Cawson, et al., 2001; Fagot, et al., 2001; Foster, et al., 2005).
2.1.11 Diagnosa Banding
Diagnosa banding dibuat karena sindrom Stevens-Johnson memiliki gambaran klinis
yang bervariasi sehingga menimbulkan masalah dalam menentukan diagnosa yang tepat.
Penyakit yang memiliki tanda-tanda klinis menyerupai sindrom Stevens-Johnson antara lain :
1) Phempigus vulgaris (Shafer, 1983; Sularsito, dkk., 1986; Lynch, et al., 1994; Sonis, 1995)
16
-
8/3/2019 skripsi lala
17/33
2) Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) (Lynch, et al., 1994; Mansjoer, dkk., 2000; Ghislain and
Roujeau, 2005)
3) Sindrom Behcet (Langlais and Miller, 2003)
4) Pemphigoid bulosa (Langlais and Miller, 2003)
5) Lichen planus tipe bula (Pindborg, 1994)
6) Eksantem fiksum multiple generalisata (Mansjoer, dkk., 2000)
2.1.12 Prognosa
Tingkat keparahan penyakit sangat mempengaruhi prognosa sindrom Stevens-Johnson.
Apabila perawatan dilakukan secara tepat dan seksama, maka prognosa sindrom Stevens-
Johnson biasanya baik. Mortalitas sindrom Stevens-Johnson rata-rata sebesar 5-15%. Apabila
membran mukosa terlibat antara lain pada orofaring, mata, genital dan anal memerlukan
perhatian serta perawatan yang seksama. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang mempunyai
komplikasi pada epitel trakheobronkial dan gastrointestinal menyebabkan morbiditas yang
tinggi. Penderita dengan umur yang lebih tua, terjadi peningkatan persentase pengelupasan
epidermis, peningkatan konsentrasi urea dan natrium dalam darah, dan keterlibatan organ vital
akan memperburuk prognosa penyakit (Ghislain and Roujeau, 2005).
Pada kasus sindrom Stevens-Johnson yang berat dapat terjadi keadaan yang fatal,
walaupun sudah diberikan perawatan. Keadaan fatal dapat disebabkan oleh komplikasi yang
menyertainya yaitu sepsis (Roujeau and Stern, 1994). Menurut Hamzah (2002), apabila terdapat
purpura yang luas, leucopenia, keadaan umum yang buruk dan bronkopneumonia akan
memperburuk prognosis. Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi rekuren dua atau tiga kalidalam
setahun, kemudian dapat mereda secara spontan (Cawson, et al., 1994).
17
-
8/3/2019 skripsi lala
18/33
Angka spesifik kesakitan TEN yaitu SCORTEN, dengan meningkatnya kesakitan dan
luasnya pengelupasan epidermal berhubungan dengan meningkatnya mortalitas Sindrom
Stevens-Johnson sampai Toksik Epidermal Nekrolisis dimana Sindrom Stevens-Johnson < 10%
(1-5% mortalitas), overlap SJS-TEN 10-30% dan TEN > 30% (25-35% mortalitas). 7 faktor
risiko pada Sindrom Stevens-Johnson dan Toksik Epidermal Nekrolisis yaitu (Bastuji-Garin,
2000) :
1) Usia > 40 tahun
2) Keganasan
3)Takikardia >120/menit
4) Permukaan pengelupasan epidermal pada permulaan >10%
5) Urea > 28 mg/dl
6) Glukosa > 252 mg/dL
7) Bikarbonat < 20 mmol/L
Setiap parameter diberikan 1 poin bila positif sehingga jumlah SCORTEN tingkatannya
0-7. Mortalitas berdasarkan nilai SCORTEN (Parillo, 2009) yaitu :
- SCORTEN 0-1, mortalitas >3.2%
- SCORTEN 2, mortalitas >12.1%
- SCORTEN 3, mortalitas >35.3%
- SCORTEN 4, mortalitas >58.3%
- SCORTEN 5 atau lebih, mortalitas >90%
2.1.13 Perawatan Sindrom Stevens-Johnson
2.1.13.1 Perawatan Secara Umum
18
-
8/3/2019 skripsi lala
19/33
Perawatan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan
perawatan secara umum meliputi :
1) Rawat Inap
Penderita sindrom Stevens-Johnson yang mengalami masa kritis akibat
ketidakseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, kesadaran penderita menurun, serta keadaan
umum yang buruk, maka rawat inap di rumah sakit sangat diperlukan. Rawat inap bertujuan agar
dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan penderita (Mansjoer, dkk., 2000;
Hamzah, 2002; Perdoski, 2003).
2) Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang
biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg
sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum
membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari kemudian diganti
dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari,
kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat
dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
Penurunan dosis kortikosteroid sistemik harus dilakukan oleh setiap dokter karena kortikosteroid
mempunyai efek samping yang besar bagi penderita (Hamzah, 2002).
Penggunaan preparat kortikosteroid harus di bawah pengawasan seorang ahli, mengingat
kortikosteroid memiliki efek samping berupa supresi daya tahan tubuh dan menekan aktivitas
korteks adrenal. Kortikosteroid hanya mengurangi gejala, memperpendek durasi penyakit, dan
tidak menyembuhkan penyakit secara total (Scopp, 1973).
19
-
8/3/2019 skripsi lala
20/33
3) Infus
Hal yang perlu diperhatikan pada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan atau
elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat
adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infus yang diberikan
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. (Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2002).
4) Obat Anabolik
Obat anabolik diberikan untuk menetralkan efek katabolik akibat penggunaan preparat
kortikosteroid. Obat anabolik yang sering digunakan seperti nandrolon fenilpropionat dengan
dosis 25-50 mg untuk dewasa dan dosis untuk anak tergantung berat badan (Mansjoer, dkk.,
2000).
5) KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium
atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral (Mansjoer, dkk.,
2000; Hamzah, 2002; Perdoski, 2003).
6) Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks kelenjar
adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengan
dosis 1 mg (Siregar, 1996).
7) Agen Hemostatik
20
-
8/3/2019 skripsi lala
21/33
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen
hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K (Siregar, 1996).
8) Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada
penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita
mangalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein
diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain
menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau
cair, terutama pada penderita yang sukar menelan (Hamzah, 2002).
9) Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks
diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau
1000 mg sehari ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga
pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler (Hamzah, 2003).
2.1.13.2 Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, kebanyakan penderita merasa
lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointmentberupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa
nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur
(Landow, 1983). Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim
sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat
diberikan untuk perawatan lesi pada kulit (Siregar, 1996; Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2000).
21
-
8/3/2019 skripsi lala
22/33
2.1.13.3 Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres dengan larutan
salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang kronis,
suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal ephithelial
breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.
Konsultasi dokter gigi dengan dokter spesialis mata sangat direkomendasikan dan sebaiknya
dilakukan sedini mungkin agar kebutaan dapat dihindarkan (Lagayan, 2005).
2.1.13.4 Perawatan pada Genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita.
Penderita sindrom Stevens-Johnson seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibat
uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar
buang air kecil (Landow, 1983; Lagayan, 2005).
2.1.13.5 Perawatan pada Rongga Mulut
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anestetik
topikal dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Penggunaan lidokain 2%
dengan cara mengoleskan secukupnya pada daerah lesi sampai merata dengan menggunakan
cotton swab. Campuran 50% air dan hidrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan
jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah
superinfeksi. Balloon dilatation kadang-kadang diindikasikan untuk perawatan esophageal
strictures (Smelik, 2005). Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa
kompres asam borat 3% (Siregar, 1996). Menurut Perdoski (2003), lesi oral terutama pada bibir
22
-
8/3/2019 skripsi lala
23/33
diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid
merupakan preparat kortikosteroid topikal. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral
adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif.
Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan
menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh
saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum.Rasa nyeri yang dialami penderita akibat
adanya lesi oral menyebabkan penderita mengalami sukar menelan makanan atau minuman.
Apabila penderita mampu minum secara peroral, maka penderita diijinkan makan makanan
padat. Penderita tidak dapat menyikat gigi, maka diganti dengan obat kumur seperti sodium
bikarbonat. Lesi pada mukosa bibir dapat diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin,
basitrasin yang digunakan untuk menjaga kelembaban bibir agar tidak melekat satu sama lain
(Landow, 1983).
2.2 Antiretroviral
2.2.1 Jenis Antiretroviral
Antiretroviral (ARV) merupakan obat yang dapat melawan HIV karena dapat menekan
replikasi HIV dalam darah, sehingga dapat mengendalikan infeksi HIV serta melindungi sistem
kekebalan dari kerusakan. Tiga golongan ARV yang umumnya dipakai, yaitu NRTI (nucleoside/
nucleotide reverse transcriptase inhibitor, atau analog nukleosida/nukleotida), NNRTI (non
nucleoside reverse transcriptase inhibitor, atau penghambat non-nukleosida), dan PI (protease
inhibitor). Ketiga golongan ini bekerja dengan cara yang berbeda untuk menghambat replikasi
HIV dalam sel CD4 (McGilvray, 2007).
Tabel 2.2 Macam Kelas Obat Anti-Retroviral (Ministry of Health Malawi, 2003).
NsRTI NtRTI NNRTI PI
Zidovudine
(ZDV)
Tenofovir
(TDF)
Nevirapine
(NVP)
Nelfinavir
(NFV)
23
-
8/3/2019 skripsi lala
24/33
Didanosine
(ddI)
Efavirenz
(EFV)
Saquinavir
(SQV)
Lamivudine(3TC)
Ritonavir(RTV)
Stavudine
(d4T)
Lopinavir
(LPV)Zalcitabine
(ddC)
Indinavir
(IDV)
Abacavir(ABC)
Amprenavir(APV)
2.2.2 Indikasi Penggunaan Antiretroviral
Penggunaan ARV yang tepat sebaiknya mengikuti pedoman yang telah dikeluarkan oleh
WHO. Pedoman WHO menjelaskan bahwa ART (Antiretroviral Therapy) sebaiknya sudah
ditawarkan pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS stadium 4, tanpa melihat jumlah CD4-nya.
ART sebaiknya diberikan bila jumlah CD4
-
8/3/2019 skripsi lala
25/33
PIs Nelfinavir 1250 mg 2x/hari
Saquinavir /ritonavir 1000 mg / 100 mg 2x/hariLopinavir / ritonavir 400 mg / 100 mg 2x/hari
Indinavir / ritonavir 800 mg / 100 mg 2x/hari
Obat yang termasuk dalam golongan NRTI dieliminir terutama melalui ginjal dan tidak
berinteraksi dengan obat lain yang melalui sitokrom P-450. Obat-obatan ini juga dapat
dikombinasikan dengan obat dari golongan PI dan NNRTI tanpa dilakukan penyesuaian dosis.
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah zidovudine (AZT), didanosine (DDL),
zalcitabine (ddC), stavudin (d4T), lamivudine (3TC), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan
emtricitabine (FTC).
Zidovudine (AZT, ZDV, Retrovir) memiliki efek samping anemia, netropenia, mual,
muntah, rasa lemah, lelah, asidosis laktat. Dengan dosis pemakaian 2x300 mg per hari obat ini
tidak boleh dipakai bersama Stavudine (d4T). Sedangkan stavudine (d4T, Zerit) memiliki efek
samping neuropati, lipoatrofi. Dosis pemakaiannya berdasarkan berat badan. Bila >60 kg maka
dosisnya adalah 2x40 mg per hari dan bila
-
8/3/2019 skripsi lala
26/33
pemakaian bersama dengan kedua obat ARV ini, harus berhati-hati terhadap gejala withdrawal
serta membutuhkan dosis yang lebih tinggi (Depkes RI, 2004; Department of Health and Human
Services. 2008).
Nevirapine (Neviral) memiliki efek samping ruam karena alergi, Sindrom Steven-
Johnson, anafilaksis, meningkatnya SGOT/PT, menurunkan konsentrasi rifampisin dan
ketokonazol dalam darah. Dosis yang digunakan adalah 1x200 mg per hari untuk 2 minggu
pertama, dan selanjutnya 2x200 mg per hari. Efavirenz dimakan pada malam hari dengan dosis
600 mg per hari. Efek samping mengonsumsi obat ini adalah teratogenik, gejala sistem saraf
pusat (dizziness, sakit kepala ringan, mimpi buruk) yang akan hilang pada mingggu pertama
pertama (Depkes RI, 2004; Department of Health and Human Services. 2008).
Golongan obat ketiga dari ARV adalah PI, yang terdiri dari saquinavir (SQV), indinavir
(IDV), ritonavir (RTV), nelvinafir (NFV), amprenavir (APV), lopinavir/Kaletra (LPV/r),
atazanavir (ATV). Obat-obatan ini menghambat CYP3A4 sehingga harus berhati-hati jika
digunakan bersama obat lain. Golongan obat ini memiliki kontraindiksi jika dipakai bersama
dengan obat antiaritmia, hinotik-sedatif, dan derivat ergot serta menurunkan knsentrasi plasma
lovastatin dan simvastatin secara umum (Depkes RI, 2004; Department of Health and Human
Services. 2008).
2.2.4 Reaksi Samping Antiretroviral
Reaksi simpang (adverse reaction) dari obat-obatan antiretroviral bervariasi dari ringan
sampai berat. Beberapa reaksi simpang yang umum yaitu (Balano, 2002) :
1) Nausea
26
-
8/3/2019 skripsi lala
27/33
Antiretroviral yang biasa dihubungkan dengan nausea adalah Zidovudine (AZT, ZDV,
Retrovir), Didanosine (ddI, Videx), Abacavir (ABC, Ziagen), semua protease inhibitor,
Tenofovir gas/bloating&flatulence.
2) Diare
Antiretroviral yang paling sering menyebabkan diare antara lain : ddI (tablet/ formula bubuk),
Abacavir , Nelfinavir, Ritonavir, Amprenavir, dan Lopinavir.
3) Ruam
Antiretroviral yang biasa dihubungkan dengan ruam yaitu Nevirapine, Delavirdine, dan
Amprenavir. Ruam juga terlihat pada Abacavir, 3TC, Nelfinavir, dan Efavirenz.
4) Fatigue
Antiretroviral yang dihubungkan denganfatigue adalah Zidovudine dan Efavirenz.
Reaksi samping obat antiretroviral pada rongga mulut antara lain (Kalmar, 2006;
Meechan and Seymour, 2002) :
- Serostomia yaitu Efavirenz.
- Pigmentasi yaitu Zidovudin.
- Pembengkakan bibir dan lidah yaitu Zidovudin.
- Parestesi yaitu Lamivudin dan Zidovudin.
- Ulserasi mukosa yaitu Zidovudin.
- Gangguan indera pengecap yaitu Efavirenz, dan Zidovudin.
- Sindrom Stevens-Johnson yaitu Efavirenz, dan Nevirapine (Gambar 2.5).
27
-
8/3/2019 skripsi lala
28/33
Gambar 2.5 Seorang bayi dengan sindrom Stevens-Johnson akibat Nevirapine (Scheff, 2004).
28
-
8/3/2019 skripsi lala
29/33
DAFTAR PUSTAKA
Ananworanich, J., et al. 2005. Incidence and risk factors for rash in Thai patients randomized to
regimens with nevirapine, efavirenz or both drugs. Epidemiology and Social. AIDS:
Volume 19 - Issue 2 - p 185-192.
Balano, K. B. 2002. Adverse Reactions & Antiretroviral Therapy. Available at:
http://www.hawaii.edu/hivandaids/Adverse Reactions Oct 2002.ppt. (diakses 2 Juni2009).
Bastuji-Garin, et al. 1993. Clinical Classification of Cases of Toxic Epidermal Necrolysis,
Stevens-Johnson Syndrome, and Erythema Multiforme. Arch Dermatol 129 (1) : 92-96.
Bastuji-Garin, S. 2000. SCORTEN: a severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. J
Invest Dermatol. 115:149-53.
Bricker, S.L.; R.P. Langlais; C.S. Miller. 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment
Planning. 2nd ed. Philadelpia: A Waverly Company.
Budimulja, U.; L. S. Selamat. 1998. Epidemiology of Drug Eruption and Skin Testing with
Drugs in Indonesia. Environ Dermatol 5(Suppl 2) : 63-68.
Cawson, R. A. 1994. Atlas Bantu Kedokteran Gigi Patologi. Diterjemahkan oleh Sherley.
Jakarta: Hipokrates. 75-76.
Cawson, et al. 2001. Oral Disease Clinical and Pathological Correlations. 3th ed. London: Mosby
Chopra, et al. 2004. Stevens-Johnson Syndrome After Immunization with Smallpox, Anthrax,and Tetanus Vaccines. Mayo Clin Proc 79 : 1193-1196.
Cohen, B. 2000. Stevens-Johnson Syndrome. Johns Hopkins University. Available at:http://dermatlas.med.jhmi.edu/derm/display.cfm?ImageID=54 (diakses 2 Juni 2009).
Cohen, D.M., et al. 1999. Recalcitrant Oral Ulcers Caused by Calsium Channel Blockers :
Diagnosis and Treatment Considerations. JADA. Vol.130. American Dental Association.
Department of Health and Human Services. 2008. Guidelines for The Use of Antiretroviral
Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents. Available at:http://www.aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/AdultandAdolescentGL.pdf. (diakses 9 Juni
2009).
Depkes RI. 2004. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Available at: http://www.i-
base.info/itpc/Indonesian/spirita/docs/Pedoman-ART-04.pdf (diakses 15 Februari 2009).
29
http://www.hawaii.edu/hivandaids/Adverse%20Reactions%20Oct%202002.pptmailto:[email protected],[email protected]?Subject=DermAtlas:%20NO%20clinical%20questions,%20please&body=DermAtlas:%20NO%20clinical%20questions,%20pleasehttp://www.aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/AdultandAdolescentGL.pdfhttp://www.hawaii.edu/hivandaids/Adverse%20Reactions%20Oct%202002.pptmailto:[email protected],[email protected]?Subject=DermAtlas:%20NO%20clinical%20questions,%20please&body=DermAtlas:%20NO%20clinical%20questions,%20pleasehttp://www.aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/AdultandAdolescentGL.pdf -
8/3/2019 skripsi lala
30/33
Dunant, et al. 2002. Correlations Between Clinical Patterns and Causes of Erythema Multiforme
Majus, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic Epidermal Necrolysis. Arch Dermatol 138
: 1019-1024.
Dunne, F. 2000. Nevirapine flesh-eater halted SA Aids Trials. Available at:
http://www.aidsmyth.addr.com/viramune.htm (diakses 9 Juni 2009).
Emond, R.T.D.; H.A.K. Rowland, P. D. Welsby. 1995. Colour Atlas of Infectious Diseases. 3 th
ed. Barcelona: Mosby-Wolfe.
Fagot, et al. 2001. Nevirapine and the Risk of Sevens-Johnson Syndrome or Toxic Epidermal
Necrolysis. AIDS 15 (14). 1843-1848.
Foster, et al. 2005. Stevens-Johnson Syndrome. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview (diakses 7 April 2009).
Fitzpatrick, T.B., et al. 1999. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 5
th
edition. TheMcGraw-Hill.
Fritsch, P. O.; A. Sidoroff. 2000. Drug Induced Stevens-Johnson Syndrome/ Toxic Epidermal
Necrolysis. J Clin Dematology American 1 (6) : 349-360.
Ghislain, P.D.; J.C. Roujeau. 2005. Treatment of Severe Drug Reactions : Stevens-JohnsonSyndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity Syndrome. Dermatology
Online Journal 8 (1) : 5.
Hamzah, M. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Jones, et al. 2004. Early Diagnosis Is Key in Vancomycin-Induced Linear IgA Bullous
Dermatosis and Stevens-Johnson Syndrome. JAOA 104 : 157-163.
Labreze, et al. 2000. Diagnosis, Classification, and Management of Erythema Multiforme and
Stevens-Johnson Syndrome. Arch Dis Child 83 : 347-352.
Landow, R. K. 1983. Kapita Selekta terapi Dermatologik. Diterjemahkan oleh Petrus A. Jakarta:CV EGC.
Lagayan, M. M. C. 2005. Stevens-Johnson Syndrome. Available at:http://www.ehealth.ph/index.php/latest-ehealth-news/28 (diakses 1 Mei 2009).
Langlais, R.P., Miller, C.S. 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. AlihBahasa: Budi Susetyo. Jakarta: Hipokrates.
Langlais, R.P. and C.S. Miller. 2003. Color Atlas of Common Oral Disease. Baltimore Maryland
USA: Lippincott Williams & Wilkins.
30
http://www.aidsmyth.addr.com/viramune.htmhttp://www.aidsmyth.addr.com/viramune.htmhttp://www.aidsmyth.addr.com/viramune.htmhttp://www.ehealth.ph/index.php/latest-ehealth-news/28http://www.aidsmyth.addr.com/viramune.htmhttp://www.ehealth.ph/index.php/latest-ehealth-news/28 -
8/3/2019 skripsi lala
31/33
Laskaris, G. 2000. Colour Atlas of Oral Diseases in Children and Adolescent. Stuttgart. Thieme
Medical Publishers. 178.
Levene, G.M.; C.D. Calnan. 1989. Atlas Berwarna Dermatology. Diterjemahkan oleh Drs. Med.
Adji Dharma. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lewis, M.A.O. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Alih bahasa oleh drg. Elly Wiriawan.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Widya Medika.
Lim, A.S.M.; I.J. Constable. 1987. Colour Atlas of Opthalmology. 2nd. Singapore.
Lynch. 1994. Burkets Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 9th ed. Philadelphia: J. B.
Lippincot Co. 20-22.
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius. 136-138.
Martodihardjo, S. dkk. 1990. Sindroma Stevens-Johnson dalam Aspek Klinis dan Patologi.
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Meechan, J.G.; Seymour R.A. 2002. Drug Dictionary for Dentistry. New York: Oxford
University Press Inc.
Ministry of Health Malawi. 2003. Treatment of AIDS Guidelines for The Use of Antiretroviral
Therapy in Malawi. 1st ed. Available at: http://www.who.int/hiv/ARV-guidelines.pdf
(diakses 9 Juni 2009).
Namayanja, G.K, et al. 2005. Stevens-Johnson Syndrome Due to Nevirapine. Uganda. Makarere
Medical School.
Noel, M. V., Sushma, S. Giudo. 2000. Cutaneous Adverse Drug Reactions in Hospitalized
Patients in a Tertiary Care Center. J. Pharmacol Indian 36 (5) : 292-295.
Parillo, et al. 2005. Stevens-Johnson Syndrome. Available at: http://www.eMedicine.com
(diakses 7 April 2009)
Parillo, S.J. 2009. Stevens-Johnson Syndrome: Follow-up. Philadelphia University. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/756523-followup (diakses 2 Juni 2009).
Perdoski. 2003. Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Jakarta: Perdoski.
38-40.
Pindborg, J. J. 1994. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Edisi keempat. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
31
http://www.who.int/hiv/ARV-guidelines.pdfhttp://www.emedicine.com/http://emedicine.medscape.com/article/756523-followuphttp://www.who.int/hiv/ARV-guidelines.pdfhttp://www.emedicine.com/http://emedicine.medscape.com/article/756523-followup -
8/3/2019 skripsi lala
32/33
Rose, L.C. 2005. Stevens-Johnson Syndrome. Available at:
http://www.5mcc.com/5mcc/ub/view/5-Minute-Clinical-
Consult/116568/all/Stevens_Johnson_Syndrome__SJS_?q=rose (diakses 7 April 2009).
Roujeau, J.C.; R.S. Stern. 1994. Severe Adverse Cutaneous Reactions to Drugs. Arch Dermatol
331 (19) : 1272-1285.
Roujeau, et al. 1995. Medication Use and the Risk of Stevens-Johnson Syndrome or Toxic
Epidermal Necrolysis. NEJM 333 (24) : 1600-1608.
Samarayanake, L.P.; B.M. Jones; C. Scully. 2002. Essential Microbiology for Dentistry. 2nd
edition. Inggris: Churchill Livingstone.
Scheff, L. 2004. The House That AIDS Built. New York Press. Available at:
http://www.altheal.org/toxicity/house.htm (diakses 9 Juni 2009).
Scopp, I.W. 1973. Oral Medicine a Clinical Approach with Basic Science Correlation. 2
nd
ed.USA.: C. V. Mosby Company.
Scully, C. and S. Porter. 2003. Orofacial Disease. London: Churchill Livingstone. Pp. 45-49.
Shafer, W.G. 1983. A Textbook of Oral Pathology. 4th ed. Philadelphia: W. B. Saunders
Company.
Sharma, V.K.; G.G. Sethuraman. 1996. Adverse Cutaneous Reaction to Drugs: an overview. J
Postgard Med 42 (1): 15-22.
Shuen Lam, et al. 2004. Clinical Characteristic of Childhood Erythema Multiforme, Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in Taiwanese Children. J MicrobiolImmunol Infect 37: 366-370.
Siregar, R.S. 1996. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal: 141-142;163-165.
Smelik, M. 2005. Stevens-Johnson Syndrome : A Case Study. Available at:
http://xnet.kp.org/permanentejournal/winter02/casestudy.html (diakses 5 April 2009).
Sularsito, S.A.; R.W. Soebaryo; Kuswadji. 1986. Dermatologi Praktis. Edisi pertama. Jakarta:
Perkumpulan Ahli Dermato-Venereologi Indonesia.
Tong Chen, et al. 2003. Outbreak of Stevens-Johnson Syndrome/ Toxic Epidermal necrolysis
Associated with Mevendazole and Metronidazole Use among Filipino Labores in Taiwan.J Public Health American 93 (3): 489-492.
Villar, et al. 2001. Case report : Positive Patch Test with Phenytoin in a Case of Stevens-Johnson
Syndrome. J alergol Immunol Clin 16 : 174-176.
32
http://www.altheal.org/toxicity/house.htmhttp://www.altheal.org/toxicity/house.htmhttp://www.altheal.org/toxicity/house.htm -
8/3/2019 skripsi lala
33/33
Warren, K.J., et al. 1998. Nevirapine-associated Stevens-Johnson syndrome. The Lancet Vol.
351. United States Food and Drug Administration, Maryland. Available at:
http://www.altheal.org/pdf/nevirapine2.pdf(diakses 10 Juni 2009).
33
http://www.altheal.org/pdf/nevirapine2.pdfhttp://www.altheal.org/pdf/nevirapine2.pdf