social environment
TRANSCRIPT
APA ITU CSR? PENGERTIAN CSR Corporate Social ResponsibiltyDefinisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. COntoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSRtimbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.Seberapa jauhkah CSR berdampak positif bagi masyarakat ?CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSRmeliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.apakah peran CSR dalam perusahaan?Coorperate sosial respobility (CSR) atau tanggung sosial, menjadi sebuah kredo baru bagi pelaku bisnis. CSR merupakan media perusahaan untuk menjawab berbagai kritik. Sekarang, banyak perusahaan atau pelaku industri menjadikan CSR menjadi yang terintegrasi dari perusahaan, isu lingkungan, pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, juga mendapat perhatian yang serius dari pelaku bisnis. Kalau kita lihat di seluruh dunia, ada 175 perusahaan yang tergabung dalam World Busnis Council Sustainable Development (WBCSD) yang mengangkat isu : Community Development, Lingkungan, Livelihood dan Perubahaan Iklim. Kalau di Indonesia, Perusahaan Swasta maupun BUMN tergabung dalam Corporate Forum for Community Development (CFCD) yang mempunyai misi : Meningkatkan kesadaran umum akan pentingnya program Community Development bagi perusahaan sebagai bagian integral dari pembangunan masyarakat-bangsa sekaligus meningkatkan apresiasi dan pemahaman masyarakat atas peran dan fungsi Corporate CD dan CD Officer. Karenanya, CSR dalam image perusahaan dan peningkatan bisnis tidak bisa di pandang remeh. sebuah contoh perusahaan yang
menggunakan CSR(Corporate Social Responsibilty) adalah : Lantos menggunakan klasifikasi Carrol sebagai dasar untuk melihat pelaksanaan CSR pada perusahaan yaitu:
Tanggung Jawab Ekonomi : Tanggung jawab ekonomi artinya bahwa tetap menguntungkan bagi pemegang saham, menyediakan pekerjaan yang bagus bagi para pekerjanya, dan menghasilkan produk yang berkualitas bagi pelanggannya.
Tanggung Jawab Hukum : Setiap tindakan perusahaan harus mengikuti hukum dan berlaku sesuai aturan permainan
Tanggung Jawab Etik : Menjalankan bisnis dengan moral, mengerjakan apa yang benar, apa yang dilakukan harus fair dan tidak menimbulkan kerusakan
Tanggung Jawab Filantropis : Memberikan kontribusi secara sukarela kepada masyarakat, memberikan waktu, dan uang untuk pekerjaan yang baik.Dari klasifikasi Caroll tersebut di atas, Lantos membuat klasifikasi yang berkaitan dengannya yaitu:
Ethical CSR : Secara moral perusahaan memilih untuk memenuhi tanggung jawab perusahaan dari segi ekonomi, hukum, dan etika.
Altruistic CSR : Memenuhi tanggung jawab filantropik perusahaan, melakukan pencegahan timbulnya kerusakan, untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa memperhitungkan apakah hal itu menguntugkan perusahaan atau tidak.
Strategic CSR : Memenuhi tanggung jawab filantropik yang menguntungkan perusahaan melalui publikasi positif dan goodwill. (Ati Harmoni: 2008)Corporate Social Responbility adalah elemen penting dalam kerangka keberlanjutan usaha suatu industri yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Definisi secara luas yang ditulis sebuah organisasi dunia World Bisnis Council for sustainable Development(WBCD) menyatakan bahwa CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya serta seluruh keluarga. Sedangkan menurut Nuryana CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan.CSR dapat dikatakan sebagai tabungan masa depan bagi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh bukan hanya sekedar keuntungan secara financial namun lebih pada kepercayaan dari masyarakat sekitar dan para stakeholdersberdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan. Penelitian yang dilakukan Sandra Waddock dan Samuel Graves membuktikan bahwa perusahaan yang memperlakukan stakeholders mereka dengan baikakan meningkatkan kelompok mereka sebagai suatu bentuk manajemen yang berkualitas.Stakeholders bukan hanya masyarakat dalam arti sempit yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi perusahaan melainkan masyarakat dalam arti luas, misalnya pemerintah, investor, elit politik, dan lain sebagainya. Bentuk kerjasama yang dibentuk antara perusahaan dan stakeholders hendaknya juga merupakan kerjasama yang dapat saling memberikan kesempatan untuk sama-sama maju dan berkembang. Program-program CSR yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya akan berbalik arah yaitu memberikan keuntungan kembali bagi perusahaan tersebut. Diharapkan perusahaan dengan seluruh stakeholders dapat bersama-sama bekerjasama mengembangkan CSR
sehingga keberlanjutan perusahaan baik itu keuntungan ekonomi (keuntungan financial) keuntungan sosial maupun keuntungan lingkungan dapat terwujud.CSR diterapkan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam konteks ekonomi global, nasional maupun lokal. Komitmen dan aktivitas CSR pada intinya merujuk pada aspek-aspek perilaku perusahaan (firm’s behaviour), termasuk kebijakan dan program perusahaan yang menyangkut dua elemen kunci:
Good corporate governance: etika bisnis, manajemen sumberdaya manusia, jaminan sosial bagi pegawai, serta kesehatan dan keselamatan kerja;
Good corporate responsibility: pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat (community development), perlindungan hak azasi manusia,perlindungan konsumen, relasi dengan pemasok, dan penghormatan terhadap hak-hak pemangku kepentingan lainnya.Dengan demikian, perilaku atau cara perusahaan memerhatikan dan melibatkan shareholder, pekerja, pelanggan, pemasok, pemerintah, LSM, lembaga internasional dan stakeholder lainnya merupakan konsep utama CSR. Kepatuhan perusahaan terhadap hukum dan peraturan-peraturan yang menyangkut aspek ekonomi, lingkungan dan sosial bisa dijadikan indikator atau perangkat formal dalam mengukur kinerja CSR suatu perusahaan. Namun, CSR seringkali dimaknai sebagai komitmen dan kegiatan-kegiatan sektor swasta yang lebih dari sekadar kepatuhan terhadap hukum.CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial- ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Pengertian CSR yang relatif lebih mudah dipahami dan dioperasionalkan adalah dengan mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines (profit, planet dan people) yang digagas Elkington (1998). Saya menambahkannya dengan satu line tambahan, yaitu procedure. Dengan demikian, CSR adalah “Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yangtepat dan profesional” (Suharto, 2008b).Sejarah Corporate Social ResponsibilitiesCSR sebenarnya sudah muncul dari jauh sebelum disahkannya UU No 40 tahun 2007 di Indonesia. Pandangan bahwa dunia bisnis memiliki tanggungjawab yang lebih dari sekadar meningkatkan kemakmuran ekonomi semata bukanlah sesuatu yang baru. Sepanjangcatatan sejarah, peranan organisasi-organisasi yang memproduksi barang dan jasa bagi pasar selalu dikaitkan dengan aspek sosial, politik dan bahkan militer. Sebagai contoh, pada masa perkembangan awal industrialisasi di Inggris, perusahaan seperti Hudson Bay dan the East India Company menerima mandat yang luas. Kebijakan publik saat itu sudah menekankan bahwa perusahaan harus membantu mewujudkan tujuan-tujuan kemasyarakatan, seperti perluasan wilayah koloni, pembangunan permukiman, penyediaan jasa transportasi, pengembangan bank dan jasa finansial. Pada awal abad ke-19, perusahaan sebagai sebuah bentuk organisasi bisnis berkembang pesat di Amerika. Pada awalnya, dewan direksi dan manajemen perusahaan dianggap hanya bertanggungjawab terhadap shareholder saja. Kemudian, kebijakan publik secara tegas mengatur domain sosial yang mesti direspon perusahaan secara lebih spesifik, seperti kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan konsumen, jaminan sosial pekerja, pelestarian lingkungan dan seterusnya. Selain harus merespon tuntutan-tuntutan pasar secara sukarela, karena merefleksikan tuntutan moral dan sosial konsumen, perusahaan juga memiliki
tanggungjawab sosial, karena harus patuh terhadap hukum dan kebijakan publik. Di pertengahan abad ke-20, CSR sudah dibahas di Amerika oleh para pakar bisnis semisal Peter Drucker dan mulai dimasukan dalam literatur. Pada tahun 1970, ekonom Milton Friedman menjelaskan pandangannya bahwa tanggungjawab sosial perusahaan adalah menghasilkan keuntungan (profit) dalam batasan moral masyarakat dan hukum. Ia mengingatkan bahwa inisiatif perusahaan untuk menjalankan CSR dapat membuat arah manajemen menjadi tidak fokus, pemborosan sumberdaya, memperlemah daya saing, serta mempersempit pilihan-lihan dan kesempatan. Namun demikian, CSR semakin berkembang dan terus menjadi isu kunci dalam konteks manajemen, pemasaran dan akuntansi di Inggris, Amerika, Eropa, Canada dan negara-negara lain. Pada tahun 1933, A Berle dan G Means meluncurkan buku berjudul The Modern Corporation and Private Property yang mengemukakan bahwa korporasi modern seharusnya mentransformasikan diri menjadi institusi sosial, ketimbang institusi ekonomi yang semata memaksimalkan laba. Hingga tahun 1980-1990an wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio de Jenairo, Brazil pada tahun 1992 menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai hal yang harus diperhatikan. Tidak hanya oleh negara tapi oleh kalangan korporasi yang makin kuat kekuatan kapitalnya. Hal ini pun diperkuat dengan buku yag dibuat oleh James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built to Last; Seccesfull Habits of Visionary Companiespada tahun 1994, lewat riset yang dilakukan, maka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak uang semata. Dipandang dari perspektif pembangunan yang lebih luas, CSR menunjuk pada kontribusi perusahaan terhadap konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni “pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengabaikan kebutuhan generasi masa depan.” Dengan pemahaman bahwa dunia bisnis memainkan peran kunci dalam penciptaan kerja dan kesejahteraan masyarakat, CSR secara umum dimaknai sebagai sebuah cara dengan mana perusahaan berupaya mencapai sebuah keseimbangan antara tujuan-tujuan ekonomi, lingkungan dan sosial masyarakat, seraya tetap merespon harapan-harapan para pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam bukunya Cannibals with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness John Elkington pada tahun 1997 mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Melalui konsep ini Elkington mengemukakan bahwa perusahaan yang ingin terus menjalankan usahanya harus memperhatikan 3P yaitu profit, people and planet. Perusahaan yang menjalankan usahanya tidak dibenarkan hanya mengejar keuntungan semata (profit), tetapi mereka juga harus terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), dan berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Ketiga prinsip tersebut saling mendukung dalam pelaksanaan program CSR. Setelah World Summit di Johanesburg pada tahun 2002 yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan, cetusan Elkington ini semakin bergulir kencang. Di wilayah Asia, konsep CSR berkembang sejak tahun 1998, tetapi pada waktu itu belum terdapat suatu pengertian maupun pemahaman yang baik tentang koknsep CSR. Sedangkan CSR sendiri dikenal di Indonesia pada tahun 2001Penerapan Corporate Social Respohttp://thiyo90.wordpress.com/2011/10/11/csr-corporate-social-responsibilty/
Arti Penting CSR Bagi Pembentukan Citra Perusahaan
Philip kotler, dalam buku CSR Doing the Most Good for Your Company
and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunya perusahaan
menggelar aktivitas CSR. Dalam buku tersebut dikatakan, CSR bisa membangun
positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar,
meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta
meningkatkan daya tarik korporat di mata investor. Konsep dasar CSR pada
awalnya dilatarbelakangi oleh motivasi korporasi yang sifatnya karitatif
(philantrophy/charity).
Pelaksanaan CSR yang paling umum adalah pemberian bantuan
(donasi/charity) kepada masyarakat miskin di sekitar korporasi tersebut beroperasi.
Konsep charity tersebut hanya parsial dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
ISSN : 2085 1979 57
hanya bentuk kegiatan korporasi untuk berbuat baik (do good) dan atau agar
terlihat baik (good image) (Edi Suharto dalam DR. Mukti Fajar ND., 2010, hlm. 6).
Bentuk program CSR memiliki dua orientasi. Pertama: internal, yakni CSR
yang berbentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas. Kedua:
eksternal, yakni CSR yang mengarah pada tipe ideal yang berupa nilai dalam
korporat yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan
yang sesuai keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya (Budimanta,
Prasetio&Rudito, dalam Reza Rahman, 2004, hlm. 77).
Menurut Reza Rahman (2009, hlm. 13), di Indonesia, CSR gencar
dikampanyekan oleh Indonesia Business Link (IBL). Terdapat lima pilar aktivitas
CSR, yaitu:
1. Building human capital
Berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan sumber daya manusia
yang andal. Di sisi lain, perusahaan juga dituntut melakukan pemberdayaan
masyarakat.
2. Strengtening economies
Perusahaan harus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya agar terjadi
pemerataan kesejahteraan masyarakat.
3. Assesing social chesion
Upaya menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar agar tidak
menimbulkan konflik.
4. Encouraging good governance
Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate
Governence (GCG).
5. Protecting the environment
Mengharuskan perusahaan untuk menjaga lingkungan sekitarnya.
(Wahyudi&Azheri, dalam Reza Rahman, 2008, hlm. 37).
http://journal.tarumanagara.ac.id/index.php/FIKOM/article/viewFile/1140/1232
Menurut Anda bagaimana kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan kertas saat ini?
Apakah kegiatan CSR yang bisa mereka lakukan sesuai dengan inti bisnisnya? Contohnya apa?
Secara garis besar, sebagian besar perusahaan di Indonesia masih mengartikan CSR secara sempit,
yaitu sebagai pengembangan masyarakat atau bahkan donasi belaka. Perusahaan kertas yang ada
di Indonesia juga bukan merupakan kekecualian. Kalau kita periksa dengan teliti praktik yang
mereka lakukan, penyempitan makna CSR memang masih merupakan ciri khasnya. Namun
demikian, bukan berarti tidak ada perusahaan kertas yang melampaui peer group-nya. Sama
dengan di industri lain, ada berbagai perusahaan dalam industri ini yang sudah melakukan CSR
yang sesuai dengan bisnis intinya. Mereka adalah perusahaan-perusahaan yang bisa dikatakan
relatif progresif dalam wacana dan implementasi CSR.
Bisnis inti dari perusahaan kertas adalah mendapatkan masukan untuk produksi—yang utamanya
adalah kayu—lalu melakukan proses untuk mengubahnya menjadi bubur kertas, lalu menjadi
kertas, kemudian memasarkannya hingga tiba di tangan konsumen. Dengan demikian, dampak
bisnis intinya sangatlah tergantung dari sumber bahan bakunya. Kalau kayu yang dipergunakan
seluruhnya adalah kayu yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari—yang dibuktikan
dengan perolehan sertifikat ekolabel dari LEI atau FSC, misalnya—maka perusahaan itu sudah bisa
mulai dinyatakan bertanngung jawab atas bisnis intinya. Proses produksinya kemudian perlu
dilihat juga, apakah benar-benar menegakkan prinsip keberlanjutan lingkungan, sosial dan
ekonomi. Demikian juga dengan produknya. Namun, sangatlah jelas bahwa dampak terbesar dari
bisnis inti perusahaan kertas sangat ditentukan dari sumber bahan bakunya.
Kalau melihat luasan hutan tanaman di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi ekolabel,
kemudian kita bandingkan dengan jumlah produksi kertas, sangatlah jelas bahwa sebagian besar
P2
kertas belum diproduksi dari bahan baku yang lestari. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa
sebagian besar perusahaan kertas tampaknya belum menjalankan CSR yang sesuai dengan bisnis
intinya.
Sinas Mas Pulp and Paper memiliki kegiatan CSR yang sesuai dengan inti bisnis mereka misalnya
pengolahan kertas rejected menjadi kerajinan tangan yang melibatkan warga, mengelola limbah
menjadi kerajinan tangan yg melibatkan ibu rumah tangga, dll. Bagaimana menurut Anda
program CSR seperti ini?
Tentu saja, mengolah limbah produksi menjadi adalah hal yang sangat bagus. Dalam salah satu
pilar ekonomi hijau, perusahaan harus mengupayakan untuk memastikan bahwa dirinya
bertanggung jawab atas hasil produksinya sebelum berubah menjadi bentuk lain, atau dikenal
dengan prinsip “waste = food.” Oleh karena itu, perusahaan yang memanfaatkan limbah
produksinya (by product) untuk menjadi masukan (input) produksi lain telah menegakkan prinsip
tersebut. Di alam, memang semua hal yang menjadi hasil sampingan suatu proses produksi selalu
akan dimanfaatkan sebagai masukan untuk produksi lainnya, sehingga prosesnya menjadi sangat
efisien. Perusahaan harus meniru proses seperti ini untuk bisa menjadi sepenuhnya bertanggung
jawab sosial.
Namun demikian, contoh bahwa Sinar Mas mengolah limbah produksinya menjadi kerajinan kertas,
tidak semata-mata bisa membuat perusahaan itu menjadi bertanggung jawab sosial dalam bisnis
intinya. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, kita harus melihat dari mana seumber bahan baku
asalnya dulu. Kalau memang seluruhnya berasal dari hutan yang dikelola secara lestari, atau
sepenuhnya berasal dari limbah—misalnya kalau mereka mengolah kertas bekas dalam proses
recycling—maka Sinar Mas bisa dikatakan menjalankan CSR yang benar-benar sesuai dengan bisnis
intinya. Apabila sumber bahan bakunya ternyata tidak lestari, maka upaya memanfaatkan limbah
produksinya menjadi kerajinan tetap tidak bisa membuat perusahaan itu menjalankan CSR yang
sesuai bisnis intinya.
Tentu saja, melibatkan warga dalam pembuatan kerajinan tersebut sangat perlu diapresiasi.
Bagaimanapun, penduduk setempat akan memiliki tambahan pengetahuan dan keterampilan yang
bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kalau mereka sudah memiliki pengetahuan
dan keterampilan itu, mereka tak perlu juga selalu menggantungkan diri pada Sinar Mas. Dan ini
berarti projek tersebut bisa memandirikan penerima manfaatnya.
Perusahaan kertas juga memiliki CSR yang biasa dilakukan oleh perusahaan lain pada umumnya
misalnya bidang kesehatan, pendidikan dan lingkungan. Bagaimana menurut Anda?
CSR selalu memiliki bentuk yang partikular (khusus) dan universal (umum). Dari ISO 26000:2010
Guidance on Social Responsibility, kita tahu bahwa apapun bentuk organisasinya, apapun
industrinya, dan bagaimanapun ukurannya, ada 7 prinsip dan 7 subjek inti yang harus dijalankan
untuk bisa dianggap bertanggung jawab sosial. Namun demikian, di setiap subjek inti terdapat
kumpulan isu, dan tidak seluruh—jumlahnya 36—dari isu tersebut yang relevan bagi setiap
organisasi/perusahaan. Dalam panduan tersebut, perusahaan harus mengetahui terlebih dahulu
mana saja isu yang relevan untuk bisnis mereka, baru kemudian menjalankan ekspektasi di setiap
isu.
Oleh karena itu, proses untuk menentukan isu mana yang relevan untuk perusahaan—dikenal
sebagai proses uji materialitas isu—sangatlah penting untuk dilakukan. Di Indonesia, proses seperti
ini belum dilaksanakan dengan disiplin. Sebagian sangat besar perusahaan—termasuku
perusahaan kertas—dalam membuat perencanaan projek/program CSR-nya belum memulainya
dengan menguji apakah isu tersebut relevan untuk perusahaan dan pemangku kepentingannya.
Walaupun begitu, dalm kasus perusahaan-perusahaan yang progresif, mungkin hasilnya mungkin 3
tak terlampau meleset juga. Utamanya kalau mereka sudah melakukan penilaian kebutuhan
masyarakat (community needs assessment).
Dalam standar AA1000 Stakeholder Engagement Standard, juga dalam
Global Reporting Initiative Standard Disclosure 2.1, dinyatakan bahwa isu
yang material/relevan itu berasal dari gabungan sudut pandang
perusahaan dan pemangku kepentingan. Matriks materialitas dibentuk
dengan persilangan antara relevansi dari sudut perusahaan
(tinggi/rendah) dan relevansi dari sudut pemangku kepentingan
(tinggi/rendah). Jadi, seandainya saja isu kesehatan, pendidikan dan
lingkungan memang dipandang memiliki relevansi yang tinggi oleh
pemangku kepentingan, terlepas dari apakah perusahaan memandangnya
tinggi atau rendah, perusahaan tetap perlu untuk mempertimbangkan
pengelolaannya. Kalau memang relevansinya tinggi buat perusahaan,
maka pengelolaannya adalah harus; namun bila rendahpun perusahaan
tetap perlu berkontribusi dalam pengelolaannya demi hubungan baik dengan pemangku
kepentingan. Di Indonesia sendiri, di manapun perusahaan beroperasi, ketiga isu itu tampaknya
selalu relevan bagi pemangku kepentingan.
Apakah perusahaan kertas perlu melakukan inovasi lain dalam kegiatan CSR-nya? Seperti apa?
Tidak hanya perusahaan kertas, seluruh perusahaan sangat perlu memikirkan dan menerapkan
inovasi dalam ber-CSR. Inovasi berarti pembaruan dalam cara melakukan, dengan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan cara-cara yang dikenal sebelumnya. Inovasi dalam ber-CSR menjadi
sangat penting lantaran tiga hal. Pertama, agar hasil yang diperoleh oleh para penerima manfaat
bisa menjadi lebih baik dan menguntungkan mereka. Kedua, agar sumberdaya yang dipergunakan
oleh perusahaan menjadi lebih efisien, sehingga return on social investment-nya juga meningkat.
Ketiga, untuk membedakan CSR antara perusahaan yang satu dengan yang lain.
Kini sudah cukup banyak perusahaan yang telah menjalankan sebagian atau
seluruh subjek inti CSR. Ada juga perusahaan-perusahaan yang mulai
memanfaatkan CSR untuk meraih keuntungan bisnis, selain untuk
meningkatkan kondisi pemangku kepentingan mereka. Oleh karena itu,
cukup banyak literatur yang menuliskan bagaimana caranya perusahaan
membuat strategi competitive differentiation untuk CSR. Yang paling
mutakhir di antaranya adalah The Future of Value (Lowitt, 2011).
Sebetulnya, sudah cukup lama juga teori semacam first mover advantage
(Sirsly dan Lamertz, 2008) menegaskan bahwa dalam ber-CSR perusahaan
sangat perlu memerhatikan visibility di mata pemangku kepentingan internal
maupun eksternal. Tentu, perusahaan yang menjalankan CSR yang inovatif
akan jauh lebih tampak menonjol dibandingkan perusahaan-perusahaan lain yang hanya
menjalankan CSR dengan cara konvensional.
Ada banyak contoh perusahaan dengan CSR yang inovatif—lihat misalnya contoh-contoh yang
dikemukakan dalam Social Innovation, Inc. (Saul, 2010) sebagai salah satu contoh—namun untuk
kasus perusahaan kertas di Indonesia, tampaknya belum ada yang cukup menonjol. Mungkin
karena memang demikian, namun mungkin juga karena komunikasi CSR atas projek/program yang
inovatif belum dilakukan dengan cukup masif di Indonesia. Kasus-kasus komunikasi CSR
perusahaan kertas di Indonesia malahan kerap mengundang kritik dari pihak-pihak lain lantaran
dianggap membuat klaim yang tidak tepat. 4
Perusahaan produsen kertas selama ini dituding sebagai salah satu perusahaan yang merusak
hutan karena bahan bakunya berasal dari hutan. Apakah kegiatan CSR bisa membuat citra
perusahaan tersebut menjadi baik?
Pertama-tama harusnya dikatakan bahwa bahan baku yang berasal dari hutan tidaklah selalu
berarti merusak hutan. Secara global, sudah lebih dari satu dekade dunia mengenal berbagai
standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management). Hutan adalah
sumber dari sumberdaya yang terbarukan (renewable resource), sehingga apabila dikelola dengan
prinsip-prinsip kelestarian fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi, maka hutan tetap bisa lestari
keberadaan maupun manfaatnya.
Hanya saja, hingga kini proporsi unit pengelolaan hutan yang telah berhasil membuktikan dirinya
dikelola secara berkelanjutan masihlah sangat kecil. Tak terkecuali di Indonesia. Baik APP maupun
RAPP—dua raksasa industri kertas kelas dunia—belum sepenuhnya bisa membuat seluruh hutanhutan tanamannya dikelola secara lestari. Baru sebagian saja dari hutan mereka yang telah
mendapatkan sertifikat ekolabel, sementara hutan-hutan tanaman lain bahkan lebih buruk lagi
kinerjanya, karena di luar kedua grup itu hampir tidak ada lagi yang bersertifikat ekolabel.
Kondisinya juga diperparah dengan kenyataan bahwa kapasitas produksi industri bubur kertas dan
kertas telah jauh-jauh hari dibuat jauh melampaui kemampuan pasokan dari hutan tanaman.
Akibatnya, sumber dari hutan alam-pun dipergunakan untuk memasok kebutuhan industri ini.
Apakah CSR bisa membuat citra perusahaan kertas menjadi baik? Tergantung CSR seperti apa yang
dijalankan. Kalau CSR-nya masih bersifat projek-projek yang tak ada kaitannya dengan bisnis inti,
dan taidak juga sesuai dengan prioritas pemangku kepentingan, maka tak mungkin ada hasil yang
memuaskan. Kalau CSR itu mau sesuai dengan bisnis inti, maka setiap perusahaan kertas harus
berusaha sekeras mungkin agar setiap jengkal hutan di mana mereka mengambil sumber bahan
bakunya itu dkelola secara berkelanjutan. Kalau mereka bisa membuat seluruh pasokannya berasal
dari hutan tanaman yang bersertifikat ekolabel, membuat proses produksi yang ramah lingkungansosial-ekonomi, dan memasarkannya dengan cara-cara yang juga dilandasi prisnip yang sama, maka
bukan hanya citra baik yang mereka bisa peroleh, melainkan juga peningkatan reputasi.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Doorley dan Garcia (2007), reputasi
adalah resultan dari perilaku, kinerja dan komunikasi. Kalau salah satu di
antaranya tidak baik, maka reputasi yang bagus tidak bisa diperoleh.
Industri kertas tampaknya pertama-tama musti berusaha keras
memperbaiki perilaku dan meningkatkan kinerja keberlanjutan mereka
dahulu, sebelum bisa berkomunikasi dengan meyakinkan. Seperti yang
telah dinyatakan sebelumnya, ada banyak kejadian di mana komunikasi
CSR perusahaan kertas dari Indonesia malahan menimbulkan kritik. Hal ini
disebabkan bahwa di mata para pemangku kepentingan global, industri
kertas Indonesia belum cukup memperbaiki perilaku dan kinerjanya,
namun sudah terlampau kerap mengiklankan diri.
Apakah manfaat yang seharusnya dirasakan masyarakat sekitar dari kegiatan CSR perusahaan
kertas?
Sama saja dengan CSR industri lainnya, masyarakat sekitar memiliki “hak istimewa” karena posisi
mereka yang dengan perusahaan dan mereka tinggal di wilayah dampak. Tentu saja, sebagai
pemangku kepentingan yang istimewa ini, masyarakat sekitar perlu selalu dilibatkan dalam
pengambilan keputusan perusahaan yang menyangkut hidup mereka. Pelibatan ini harus serius
dilaksanakan, bukan hanya pada level konsultatif, namun hingga pengambilan keputusan yang
strategik. 5
Masyarakat juga memiliki hak untuk dilindungi dari berbagai dampak negatif aktivitas perusahaan.
Dahulu, ada banyak kasus yang menunjukkan pencemaran lingkungan yang parah dilakukan oleh
perusahaan kertas. Mereka mencemari udara, tanah, dan terutama sungai. Hal ini tidak boleh
terjadi di masa sekarang, apalagi dalam kondisi di mana hukum lingkungan telah menjadi lebih
ketat. Dampak negatif sosial dan ekonomi juga sangat penting untuk dihindarkan. Untuk itu,
masyarakat sangat penting untuk mendapatkan akses penuh untuk berpartisipasi dalam proses
pembuatan AMDAL, terutama ketika RKL dan RPL disusun. Dalam hal ini, masih sangat banyak hal
yang harus dilakukan, karena hingga sekarang partisipasi masyarakat dalam AMDAL sangatlah
terbatas.
Di luar dua hal di atas, masyarakat sekitar memiliki hak tertinggi—dibandingkan pemangku
kepentingan lain—untuk mendapatkan dukungan pengembangan masyarakat. Biasanya, ada tiga
hal yang masuk ke dalam kategori pengembangan masyarakat, yaitu kesempatan kerja, peluang
berusaha dan projek untuk komunitas. Dalam hal kesempatan kerja dan peluang berusaha,
masyarakat setempat tidak saja harus diprioritaskan—misalnya dengan diberi kuota serta
mendapat diskriminasi positif, yaitu mereka didahulukan apabila ada kandidat yang memiliki
kualifikasi yang sama—namun juga harus mendapatkan peningkatan kapasitas. Peningkatan
kapasitas bukan saja akan memampukan masyarakat untuk bekerja dan berusaha di perusahaan
yang memberikan peningkatan kapasitas itu, melainkan juga peluang ke perusahaan lain, atau
bahkan berwirausaha. Sementara, projek untuk komunitas harus diberikan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang ada di masyarakat namun belum cukup terpenuhi lantaran ada
sumberdaya yang belum cukup dimiliki masyarakat. Perusahaan bisa membantu dengan
membantu memberikan atau mencarikan sumberdaya yang kurang tersebut serta melaksanakan
projek hingga masyarakat mencapai kemandiriannya. Yang sangat penting diingat adalah bahwa
projek untuk komunitas tidak dimaksudkan untuk membuat mereka tergantung, melainkan agar
mereka menjadi mandiri.
*****
Hal yang sangat penting
diingat dari CSR industri
pulp and paper adalah
bahwa terdapat masalah
besar dalam sumber bahan
baku produksinya. Sampai
hal ini bisa dibuktikan
membaik dan sesuai
dengan prinsip
pembangunan
berkelanjutan, sangatlah
sulit bagi industri ini untuk
menyatakan dirinya sebagai industri dengan kinerja CSR yang baik. Kabar baiknya, para pakar yang
pendapatnya dihimpun dalam The Sustainability Survey 2011, Key Challenges and Industry
Performance (Sustainability dan GlobeScan, 2011) menyatakan bahwa industri hasil kehutanan,
termasuk pulp and paper tentunya, di seluruh dunia kini sedang menunjukkan perbaikan yang
lumayan. Walau dinyatakan bahwa tidak ada sektor industri yang bisa dibanggakan, namun
industri hasil kehutanan dipandang sebagai yang terbaik di antara yang sedang dan buruk
kinerjanya. Ini tentu saja membuat peluang buat perusahaan kertas di Indonesia untuk unjuk kerja
sebagaimana rekan-rekan globalnya. Kalau saja industri kertas bisa menunjukkan bahwa sumber
bahan bakunya berasal dari hutan yang dikelola secara lestari, maka masalah CSR terberatnya
sudah bisa dilampaui.6
Ini tentu saja
membuat peluang
buat perusahaan
kertas di
Indonesia untuk
unjuk kerja
sebagaimana
rekan-rekan
globalnya.
Kedua, sama saja dengan industri lainnya, masalah pelibatan masyarakat dalam pengambilan
keputusan strategik, termasuk boleh tidaknya sebuat perusahaan beroperasi belum cukup
mendapatkan tempat yang layak. Namun menyerahkan kekuasaan kepada masyarakat untuk
memegang sepenuhnya social license to operate—yang memang seharusnya menjadi hal mereka—
juga bukan tanpa tantangan. Sama saja dengan lembaga pemerintahan dan perusahaan, di mana
selalu ada yang baik dan jahat, berbagai kejadian mutakhir di Indonesia juga menunjukkan adanya
kelompok-kelompok masyarakat yang mementingkan keuntungan untuk diri sendiri dan kelompok
kecilnya, hanya mempertimbangkan keuntungan jangka pendek dan sebagainya. Sebelum nilainilai pembangunan berkelanjutan dipegang teguh, tampaknya pertimbangan masyarakat juga tidak
bisa dipandang bijak dan bebas kepentingan di luar pembangunan berkelanjutan. Apalagi kalau
sudah ada penunggangan dari kelompok elit, yang jelas bias kepentingan ekonomi dan politik.
Ketiga dan terakhir, walaupun ada banyak subjek yang harus dikelola agar perusahaan kertas bisa
dinyatakan bertanggung jawab sosial, namun pengembangan masyarakat tetaplah menjadi hal
yang sangat penting di Indonesia. Dalam hal ini perusahaan kertas penting untuk benar-benar
sampai pada kesimpulan kokoh soal apa saja kebutuhan masyarakat yang bisa dibantu
pemenuhannya, dan hasil akhirnya adalah kemandirian, bukan ketergantungan. Oleh karena itu,
yang sangat penting dilakukan perusahaan kertas adalah melakukan community needs assessment
untuk memutuskan apa yang penting dilaksanakan. Begitu telah diputuskan, perusahaan kertas
sebaiknya membuat baseline study, sehingga kelak akan dengan mudah diketahui apakah memang
projek/program yang dijalankan itu membawa pada peningkatan kesejahteraan. Tentu saja, untuk
mengetahuinya diperlukan upaya community impact asseessment, yang secara objektif seharusnya
dilakukan oleh para peneliti independen yang mumpuni.
http://www.csrindonesia.com/data/articles/20111107183518-a.pdf
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Maknanya pun kini lebih luas, bukan sekadar bagi-bagi sembako menjelang Lebaran, atau memberikan bantuan kesehatan bagi korban banjir.
Timotheus Lesmana, konsultan CSR yang juga Head of Corporate Sustainability PT Sinar Mas, mengatakan, CSR adalah bagaimana sebuah perusahaan mengelola dampak dari keputusan maupun aktivitasnya. “Dulu sebuah perusahaan melakukan kegiatan membagi sembako pada masyarakat sekitar agar keberadaannya tidak diganggu. Tapi, CSR sekarang berusaha agar kegiatan yang mereka jalankan berdampak bagi keberlanjutan perusahaan dan masyarakat,” jelas lulusan Magister CSR ini. Karena itu, kegiatan CSR harus masuk dalam anggaran perusahaan karena termasuk dalam investasi sosial.
John Elkington dalam buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), mengemas CSR dalam tiga fokus yang ia sebut 3P. Perusahaan masa kini tidak hanya memburu keuntungan semata (Profit). Tapi juga kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (Planet) dan kesejahteraan masyarakat (People).
Hal inilah yang disadari oleh perusahaan multinasional, PT Unilever Indonesia (UI). “Karena
perusahaan kami bergerak di bidang personal hygiene dan well being, maka komitmen kami jelas, yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tapi, kami melihat CSR bukan semata kegiatan community development. Prinsip CSR sudah mulai kami jalankan sejak dari mencari bahan baku, mengolah di pabrik, mendistribusikan ke seluruh penjuru Indonesia, hingga pada tahap berhubungan dengan konsumen,” papar General Manager Unilever Indonesia Foundation, Sinta Kaniawati.
Di fokus lingkungan (Planet), UI mengupayakan inisiatif untuk mengurangi dampak negatif lingkungan. Caranya dengan mengajarkan petani cara menanam ramah lingkungan. Lalu, setelah produk jadi, misi perusahaan jalan terus, dengan memberikan edukasi terhadap konsumen (People) tentang hidup bersih. “Kami punya program cuci tangan untuk produk sabun dan program sikat gigi dua kali sehari untuk produk pasta gigi,” ujar Sinta. (f)
http://www.femina.co.id/isu.wanita/karier/csr.bukan.hanya.kegiatan.amal/005/001/2