strategi pemasaran internasional produk lokal dengan bahan dasar lidah buaya di sarawak, malaysia...
DESCRIPTION
STRATEGI PEMASARAN INTERNASIONALPRODUK LOKAL DENGAN BAHAN DASAR LIDAH BUAYADI SARAWAK, MALAYSIA(STUDI KASUS PENGUSAHA DI PONTIANAK)TRANSCRIPT
1
STRATEGI PEMASARAN INTERNASIONAL PRODUK LOKAL DENGAN BAHAN DASAR LIDAH BUAYA
DI SARAWAK, MALAYSIA (STUDI KASUS PENGUSAHA DI PONTIANAK)
Oleh : Genoveva & V.Jajat Kristanto*
I. PENDAHULUAN
Lidahbuaya (Aloevera) merupakan salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris didunia yang
telah dikembangkan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Australia dan beberapa negara
di Eropa.Kalimantan Barat, khususnya Pontianak merupakan salah satu pusat produksi lidah
buaya. Di Provinsi ini lidah buaya tumbuh dengan baik karena intensitas penyinaran yang
cukup sehingga dapat menjadi komoditas eksport. Tanaman lidah buaya di Pontianak
merupakan varietas terunggul di Indonesia bahkan diakui keunggulannya di dunia.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pengusaha UKM (Usaha Kecil
Menengah) lidah buaya di Pontianak, awalnya sebagian dari pengusaha adalah petani lidah
buaya dan menyetorkan hasil panen ke pengusaha yang membeli secara rutin. Namun dalam
perkembangannya, usaha pengolahan makanan dari lidah buaya menurun sehingga pengusaha
menghentikan pembelian lidah buaya mentah. Petani kemudian mencoba menjual hasil panen
lidah buaya ke berbagai pasar dan pengusaha lain, namun kurang mendatangkan hasilnya,
sehingga beberapa petani kemudian mencoba mengolah lidah buaya menjadi minuman dan
makanan. Sementara petani lainnya beralih menanam cabe dan sayuran yang penjualannya
relatif lebih mudah karena tingginya permintaan di pasaran.
Selain berasal dari petani lidah buaya, pengusaha lidah buaya lainnya di Pontianak saat
ini masih berskala UKM (Usaha Kecil Menengah). Walaupun produk yang dihasilkan cukup
bervariasi, mulai dari krupuk, dodol, jeli, cokelat, kue kering dan basah serta berbagai minuman
2
seperti nata de aloe. Produk lidah buaya yang non makanan yaitu sabun, masker, body lotion
dan kerajinan tangan yang diolah dari limbah lidah buaya. Produk lidah buaya ini masih
dipasarkan dalam lingkup yang kecil yaitu kota Pontianak dan sekitarnya (Kalimantan Barat)
serta dikirim ke pulau Jawa dan Sumatera lewat relasi pengusaha, sedangkan sisa hasil panen
yang cukup besar dieksport ke berbagai negara dalam bentuk lidah buaya mentah. Setiap bulan
sebanyak 40 ton (tahun 2006) lidah buaya mentah dieksport ke Negara Malaysia, Hongkong,
Taiwan dan Singapura (www.kalbar-online.com). Sisanya ditunda panennya karena belum
adanya permintaan.
Kami memilih Pontianak (Kalimantan Barat) karena provinsi ini berbatasan dengan
Sarawak, Malaysia Timur sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan yang
merupakan tema seminar nasional ini yaitu memperkuat strategi produk local di daerah
perbatasan dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015. Rencana
memberlakukan Area PerdaganganBebas (Free Trade Area – FTA) ASEAN pada tahun 2015
membuka peluang bagi produsen karena dengan diberlakukannya FTA, maka hambatan-
hambatan masuk, berupa tariff dan bea masuk tidak menjadi kendala.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka kami mengajukan penelitian dengan
judul “Strategi Pemasaran Internasional Produk lokal Dengan Bahan Dasar Lidah Buaya
di Sarawak, Malaysia (Studi Kasus Pengusaha di Pontianak)”.
II. LANDASARAN TEORI
A. Definisi Pasar dan Pemasaran
Kotler dan Armstrong (2012:31) mendefinisikan pasar sebagai sekumpulan para pembeli
actual dan petensial dari sebuah produk atau jasa. Sedangkan Kotler dan Keller (2012:27)
3
mengutip definisi dari Asosiasi pemasaran Amerika (American Marketing Association - AMA)
yang mendefinisikan pemasaran sebagai aktifitas, perangkat lembaga-lembaga, dan proses-
proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, menyampaikan, mempertukarkan penawaran-
penawaran yang memiliki nilai bagi para pelanggan, partner, dan masyarakat pada umumnya.
B. Definisi Pemasaran Internasional
Menurut Cateora dan Graham (2002:7), “pemasaran internasional adalah kinerja
kegiatan-kegiatan bisnis yang didesain untuk merencanakan, menetapkan harga,
mempromosikan dan mengarahkan arus barang dan jasa sebuah perusahaan kepada para
konsumen atau para pemakai di lebih dari satu negara untuk mendapatkan keuntungan.”
Sedangkan untuk pemasaran global, Kotabe dan Helsen (2004:17) mendefinisikannya
sebagai kegiatan-kegiatan oleh perusahaan-perusahaan yang menekankan kepada upaya-upaya
standarisasi, koordinasi lintas pasar dan integrasi global.
Mengenai penggolongan jenis-jenis pemasaran internasional, Kotabe dan Helsen
(2004:13-18) membaginya ke dalam 4 (empat) jenis yaitu pemasaran ekspor, pemasaran
internasional, pemasaran multinasional, dan pemasaran global. Sedangkan Jeannet dan
Hennessey (1998:4-6) membaginya ke dalam 5 (lima) jenis yaitu pemasaran ekspor, pemasaran
internasional, pemasaran multinasional, pemasaran pan-regional, dan pemasaran global. Pada
kedua penggolongan di atas, terdapat istilah “pemasaran internasional”, oleh karena itu Jajat
Kristanto (2011:4) menawarkan penggunaan istilah “pemasaran internasional dalam arti luas”
untuk keseluruhan jenis-jenis pemasaran internasional, sedangkan istilah “pemasaran
internasional dalam arti sempit” adalah untuk salah satu jenis atau golongan pemasaran
internasional dalam arti luas tadi yaitu “pemasaran internasional.”
4
Ketiga definisi di atas terdapat satu persamaan pemasaran internasional merupakan
kegiatan pemasaran yang berusaha menembus lintas batas negara dalam pengertian geografis,
politik, hukum, sosial dan budaya. Dalam penelitian ini pemasaran produk lokal hasil olahan
lidah buaya dapat dipasarkan ke negera tetangga terdekat yaitu Serawak, Malaysia Timur.
Secara geografis Sarawak sangat dekat dengan Pontianak, dapat ditempuh dengan jalan darat,
dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Keadaan geografis yang dekat
memudahkan distribusi barang dan biaya transportasi juga lebih murah, apabila dibandingkan
dikirim ke pulau Jawa, Sumatera dan negara lainnya.
C. Bauran Pemasaran
Menurut Kotler dan Keller (2012:47), McCarthy mengklasifikasikan berbagai kegiatan-
kegiatan pemasaran ke dalam bauran pemasaran yang terkenal dengan istilah “4Ps” yaitu
product, price, place, dan promotion. Namun kemudian, mereka berpendapat bahwa keempat P
yang dikemukakan oleh McCarthy sudah tidak memadai pada saat ini sehingga mereka
menyarankan keempat P tersebut diganti dengan people, process, programs, dan performance
dan disebutnya sebagai “4Ps Manajemen Pemasaran Modern” (Kotler & Keller, 2012, 47).
Orang-orang (people) mengacu kepada para karyawan yang berperan penting untuk
keberhasilan pemasaran dan oleh karenanya, perlu untuk melakukan pemasaran internal. Proses
merefleksikan keseluruhan kreativitas, disiplin, dan struktur yang dibawa kepada manajemen
pemasaran. Program-program merefleksikan seluruh kegiatan perusahaan yang diarahkan
kepada para konsumen. Sedangkan, kinerja (performance), seperti pada pemasaran holistik,
mengacu kepada ukuran-ukuran keluaran (outcome) dari kegiatan-kegiatan pemasaran yang
berimplikasi baik terhadap keuangan maupun non-keuangan.
5
1. Product (Produk)
Kotler dan Armstrong (2012: 337) mengatakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang
dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, dimiliki, digunakan, atau
dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan pemakainya.
Hasil olahan lidah buaya merupakan kategori produk sehari-hari, seharusnya mudah
dipasarkan karena dikonsumsi dan dipakai secara rutin.
2. Price (Harga)
Pengertian harga menurut Kotler dan Armstrong (2012 : 430) adalah jumlahsemua nilai
yang konsumen tukarkan dalam rangka mendapatkan manfaat darimemiliki atau
menggunakan suatu barang ataupun jasa. Pendekatan harga yang dipakai oleh pengusaha
dalam penelitian ini adalah pendekatan harga umum yaitu dari berdasarkan biaya produksi
dan berdasarkan harga persaingan, yaitu harga yang berlaku umum di pasar.
3. Place (Tempat atau Saluran Distribusi)
Menurut Kotler (2012 : 17) lokasi sering pula disebut sebagai saluran distribusi yaitu suatu
perangkat organisasi yang saling tergantung dalam menyediakan suatu produk atau jasa
untuk digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen atau pengguna bisnis. Sebelum produsen
mamasarkan produknya, maka sudah ada perencanaan tentang pola distribusi yang akan
dilakukan.Disini pengting sekali perantara memiliki saluran distribusinya.
Distribusi yang dilakukan oleh pengusaha di Pontianak masih dijalankan secara tradisional,
yaitu menitipkan ke pedagang di Pontianak dan sekitarnya untuk dijual ke konsumen secara
langsung. Sebagian kecil pengusaha telah mengirim produknya ke Pulau Jawa dan
Sumatera melalui relasi untuk dipasarkan.
6
4. Promotion (Promosi)
Menurut Kotler dan Amstrong (2012: 153) promosi merupakan suatu programyang
memberi informasi kepada konsumen mengenai keunggulan produk. Promosi dapat
dilakukan dengan periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat, penjualan
personal dan pemasaran langsung.
Belum banyak upaya promosi yang dilakukan oleh pengusaha, pada umumnya masih
berupa penjualan personal yaitu melakukan penawaran secara langsung ke konsumen dan
pedagang, walaupun terdapat juga pengusaha yang mengikuti pameran untuk
mempromosikan produknya.
D. Strategi Pemasaran Internasional
Membahas strategi pemasaran internasional dalam arti luas, berarti membahas mengenai
strategi masuk ke pasar internasional dan strategi bauran pemasaran internasional.
Menurut Jajat (2011: 138), pilihan-pilihan strategi masuk ke pasar host country dapat
digolongkan ke dalam 3 kelompok yaitu: melalui kegiatan ekspor; melalui aliansi strategis yang
dapat berupa perlisensian (licensing), pewaralabaan (franchising), usaha patungan (joint
venture), dan kontrak produksi (contract manufacturing); dan, melalui investasi langsung
(foreign direct investment –FDI).
1. Pemasaran Ekspor
Kotabe & Helsen (2004: 507) mengatakan bahwa mengekspor merupakan sebuah cara yang
paling popular bagi banyak perusahaan untuk masuk ke pasar internasional terutama
disebabkan oleh karena: memerlukan sumber daya yang minimal sementara memungkinkan
7
fleksibilitas yang tinggi; dan, menawarkan keuntungan-keuntungan dalam keuangan,
pemasaran, teknologi, dan manfaat-manfaat lain bagi perusahaan.
Keegan & Green (2005: 203) mengemukakan bahwa pemasaran ekspor memerlukan:
pemahaman mengenai lingkungan target pasar; penggunaan penelitian pemasaran dan
identifikasi pasar potensial; dan, keputusan-keputusan berkaitan dengan desain produk,
penetapan harga, distribusi dan saluran-salurannya, periklanan dan komunikasi. Sedangkan
2. Perlisensian dan Pewaralabaan
Menurut Jajat (2011: 156), baik Keegan & Green (2005), Kotabe & Helsen (2004) maupun
Sherman (2004) mengemukakan definisi yang serupa mengenai perlisensian yaitu sebuah
pengaturan (Keegan & Green), metode pengembangan dan pemanfaatan properti intelektual
yang sudah dilindungi secara hukum (Sherman), sebuah transaksi (Kotabe & Helsen)
berdasarkan kontrak antara pihak pemberi lisensi (disebut licensor) dengan pihak penerima
lisensi (disebut licensee) dengan imbalan berupa royalty.
Sedangkan mengenai pewaralabaan, beberapa definisi dikutip oleh Jajat antara lain definisi
menurut Keegan & Green (2005), Kotabe & Helsen (2004), Justis & Judd (2002), Anang
Sukandar (2004) yang mengutip definisi dari International Franchise Association, dan juga
menurut Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1997 yang pada intinya adalah sebuah kontrak
(Keegan & Green), pengaturan (Kotabe & Helsen), peluang bisnis (Justis & Judd), hubungan
kontraktual (International Franchise Association), perikatan (PP No. 16 tahun 1997)
antara/dimana perusahaan pemberi hak waralaba (pewaralaba – franchisor) memberikan hak
kepada pihak penerima hak waralaba (terwaralaba - franchisee) untuk menjalankan sebuah
bisnis yang dikembangkan oleh pewaralaba di wilayah tertentu dengan imbalan berupa
pembayaran fee dan royalty. Untuk kepentingan pemasaran internasional, mari kita simak
8
juga definisi menurut International Franchise Association seperti yang dikutip oleh Anang
Sukandar (2004: 22): “Suatu hubungan kontraktual antara pewaralaba dan terwaralaba di
mana pewaralaba menawarkan dan wajib memelihara kepentingan yang terus menerus pada
usaha terwaralaba dalam bidang-bidang pengetahuan, pelatihan, dan terwaralaba beroperasi
di bawah merek atau nama dagang, format dan prosedur yang sama dengan yang dimiliki
atau dikendalikan oleh pewaralaba, di mana terwaralaba telah mengadakan suatu investasi
dalam usaha tersebut dari sumber dananya sendiri.”
2. Usaha Patungan
Jajat (2011: 160) mengutip Keegan & Green (2005: 299) yang mendefinisikan usaha
patungan sebagai sebuah strategi masuk untuk sebuah pasar host country di mana pihak
mitra (lokal) memiliki kepentingan bersama dalam sebuah perusahaan yang baru dibentuk.
Kotabe & Helsen (2004: 280-281) seperti yang dikutip oleh Jajat (2011: 160-161)
mengemukakan manfaat-mafaat menggunakan strategi usaha patungan sebagai berikut: (1)
Pengawasan atas operasional bisnis lebih baik daripada strategi-strategi masuk sebelumnya
(exporting), dan (2) adanya dampak sinergis karena mitra lokal memiliki kelebihan-
kelebihan yang dapat melengkapi kekurangan-kekurangan perusahaan. Sedangkan
peringatan-peringatan yang mereka kemukakan adalah: (1) Peringatan utama adalah masalah
pengendalian yang tidak penuh oleh perusahaan; (2) mitra lokal dapat menjadi pesaing
potensial di kemudian hari; dan, (3) kemungkinan timbul konflik karena kurangnya
kepercayaan dan konflik-konflik antara kedua belah pihak dapat menyebabkan usaha
patungan menjadi malapetaka bagi kedua belah pihak.
9
3. Kontrak produksi (contract manufacturing)
Jajat (2011: 160) mengemukakan bahwa Keegan & Green (2005: 297) menggolongkan
strategi masuk ini, bersama-sama dengan waralaba, ke dalam pengaturan-pengaturan
perlisensian khusus (special licensing). Pada strategi ini, sebuah perusahaan global
menyediakan spesifikasi teknis kepada pabrikan lokal atau sebuah subkontraktor untuk
memproduksi produk-produk perusahaan global tersebut. Kelebihan strategi ini, dapat
berkonsentrasi pada desain produk dan pemasaran, serta mentransfer tanggung jawab untuk
kepemilikan fasilitas-fasilitas produksi kepada para kontraktor atau subkontraktor.
Sedangkan kelemahan utama strategi ini adalah kerahasiaan know-how perusahaan terbuka
kepada kontraktor dan/atau subkontraktor serta masalah-masalah ketenaga-kerjaan.
4. Penamanan Modal Asing Langsung (Foreign Direct Investment)
Jajat (2011: 161) mengutip Keegan & Green (2004: 282) menamakan strategi ini sebagai
wholly owned subsidiaries yaitu strategi masuk ke host country dengan cara mendirikan
sebuah anak perusahaan yang kepemilikannya 100% dipegang oleh perusahaan. Pelaksanaan
strategi masuk ini dapat dilakukan secara greenfield operations/investment yaitu mendirikan
sebuah perusahaan baru atau dengan cara lain yaitu dengan cara mengakuisisi atau
pembelian perusahaan yang sudah ada di host country. Kotabe & Helsen (2004: 283-285)
mengemukakan manfaat utama adalah perusahaan dapat mengawasi sepenuhnya operasi
anak perusahaan dan 100% laba dinikmati oleh perusahaan. Manfaat lain ialah dapat
mengatasi hambatan-hambatan masuk yang ada di pasar host country. Untuk akuisisi,
perusahaan dapat memperoleh transfer pengalaman teknologi. Adapun peringatan-peringatan
yang dikemukakan adalah: (1) memerlukan sumber daya yang besar; (2) risiko besar: dan,
10
(3) kadang-kadang dianggap sebagai sebuah ancaman bagi budaya dan/atau kedaulatan
ekonomi host country.
E. Strategi Bauran Pemasaran Internasional
Strategi bauran pemasaran internasional bergerak di antara dua kutub strategi yaitu
strategi standarisasi dan strategi adaptasi. Pembahasan mengenai kedua strategi pemasaran
internasional lebih banyak pada unsur produk dan promosi misalnya pada Keegan & Green
(2005), Keegan (2002), Kotabe & Helsen (2011). Namun, Vrontis (2003) dalam penelitiannya
pada 124 buah perusahaan multinasional terbesar di Inggris, menemukan bahwa perusahaan-
perusahaan tersebut menerapkan bukan salah satu dari kedua pilihan strategi pemasaran
internasional tersebut tetapi kedua-duanya secara berbarengan. Kombinasi strategi standarisasi
dan adaptasi diberi nama: strategi AdaptStand.
F. Perilaku Konsumen Di Sarawak, Malaysia Timur
Perilaku konsumen di Sarawak, menurut Winnie Wong Poh Ming dan Rabaath Tudin
(2010) dalam penelitian mereka menyimpulkan bahwa para penduduk Cina di Kuching
mengalokasikan porsi yang besar dari uang mereka untuk membeli makanan dan mereka lebih
menyukai menggunakan uang tunai daripada kartu kredit. Adapun 3 (tiga) item makanan yang
paling top adalah beras, roti dan daging (FEB Working Paper Series No. 1009, Faculty of
Economics and Business, Universiti Malaysia Sarawak).
Shaharudin Jakpar, et.al. (2012) melakukan menelitian mengenai pengaruh atribut-
atribut mutu produk terhadap kepuasan pelanggan di Kuching, bila harga di-diskon dan
11
melaporkan bahwa 3 (tiga) atribut-atribut yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap
mutu produk yang di-diskon adalah presesi mutu, kinerja dan kehandalan (reliability).
Ernest Cyril de Run, Mohsin Butt dan Chung Yen Nee (2010) meneliti mengenai
pengaruh model-model peran pada pembelian oleh para orang muda di Sarawak menemukan
bahwa baik model peran langsung maupun mewakili (vicarious) berpengaruh secara signifikan
terhadap niat membeli para mahasiswa strata satu di sebuah perguruan tinggi negeri di Sarawak
namun model-model peran mewakili memainkan peran yang lebih berpengaruh daripada
model-model peran langsung.
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif
adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi
saat sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual
sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung. Melalui penelitian deskriptif, peneliti
berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa
memberikan perlakukan khusus terhadap peristiwa tersebut. Variabel yang diteliti bisa tunggal
(satu variabel) bisa juga lebih dan satu variabel.
Alat komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah wawancara. Penulis memilih
metode wawancara karena sebagian besar pengusaha kurang lancar berbahasa Indonesia,
dengan pendekatan budaya dan bertemu langsung dengan responden, penulis dapat secara
fleksibel menggunakan bahasa setempat sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh masing-
masing pengusaha. Wawancara juga dilakukan terhadap pedagang yang memasarkan produk
12
lidah buaya di beberapa lokasi pedagang seperti di jalan Gajah Mada, Jalan 28 Oktober dan
Jalan Pattimura, Pontianak.
Selain menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara, penulis juga
memperoleh data sekunder dari Dinas Pertanian Pemerintah Kota Pontianak.
IV. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 18 orang pengusaha di Pontianak
pada tanggal 31 Agustus – 2 September 2013 serta hasil wawancara dengan Kepala Dinas
Pertanian Pemkot Pontianak, berikut adalah hasil penelitian :
Gambar 4.1 Gambar 4.2 Jenis Kelamin Responden Kapasitas Produksi / Bulan
Sumber : diolah dari hasil wawancara
Berdasarkan data profil responden diatas, dapat disimpulkan bahwa pengusaha yang
mengolah lidah buaya masih didominasi oleh pria sebanyak 61,2% responden dan sisanya
adalah wanita sebanyak 38,8%. Sedangkan kapasitas produksi responden masih relatif kecil,
yaitu sebesar 60% responden hanya memproduksi kurang dari 5 ton / bulan, sedangkan
responden yang memproduksi > 5 – 10 ton, > 10 – 25 ton dan > 25 – 50 ton masing-masing
sebanyak 8%. Sisanya sebanyak 16% responden menghasilkan cukup besar yaitu >50 – 100 ton
/ bulan.
13
Gambar 4.3 Gambar 4.4 Jumlah Kategori Produk Variasi Produk
Sumber : diolah dari hasil wawancara
Berdasarkan data dari gambar 4.3 dapat disimpulkan bahwa rata-rata pengusaha memiliki
kategori produk antara 1-3 macam (73%), sedangkan kategori produk 4-6 produk, 6-9 produk
dan > 9 produk masing-masing hanya 9%. Sedangkan variasi produk hasil olahan lidah buaya
saat ini telah dikembangkan sampai 10 macam dengan kategori minuman terbanyak yaitu
diproduksi oleh 14 orang pengusaha, urutan berikutnya adalah dodol sebanyak 9 pengusaha,
krupuk dan manisan diproduksi oleh 4 orang pengusaha, teh dan jeli diproduksi oleh 2 orang
pengusaha, demikian juga dengan selai dan cokelat juga diproduksi oleh 2 orang pengusaha dan
yang terakhir adalah sabun dan stick, hanya diproduksi oleh 1 orang pengusaha.
Gambar 4.5 Gambar 4.6 Variasi kemasan Minuman Kisaran Harga Produk
Sumber : diolah dari hasil wawancara
Berdasarkan data dari hasil wawancara diperoleh 3 macam variasi kemasan untuk
minuman lidah buaya yaitu cup plastik diproduksi 1 orang pengusaha, kemasan botol plastik 2
14
pengusaha dan yang terbanyak adalah bungkus plastik sebanyak 11 pengusaha. Sedangkan
harga produk berbahan dasar lidah buaya yang relatif murah adalah sabun Rp 3.000,- – Rp
5.000,-, kemudian dodol berkisar Rp 5.000,- - Rp 15.000,-, stick dan krupuk berkisar Rp
10.000,- - Rp 15.000,-, produk jeli dan selai dijual dengan kisaran Rp 10.000,0 – Rp 20.000,-,
manisan dijual dengan harga antara Rp 5.000,- - Rp 20.000,- , produk teh dengan isi 24 sachet
dijual antara Rp 15.000,- - Rp 20.000,- dam yang terakhir adalah minuman antara Rp 40.000,- -
48.000,- untuk kemasan isi 20 bungkus.
V. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara dan analisa data diatas dapat dijabarkan bahwa usaha
pengolahan produk berbahan dasar lidah buaya telah dilakukan oleh 17 pengusaha yang masih
berskala UKM (Usaha Kecil Menengah) dan hanya terdapat 1 perusahaan yaitu anak
perusahaan Inaco yang memproduksi jelli lidah buaya untuk di eksport ke Jepang. Dengan
kondisi bentuk usaha yang masih berskala rumahan (home industri) maka jumlah karyawan
yang dimiliki dibawah 10 orang dan hanya 1 perusahaan yaitu anak perusahaan Inaco memiliki
lebih dari 50 orang karyawan.
Motivasi pengusaha dalam berbisnis sekitar 60% karena hasil pertanian tidak dapat dijual
sehingga diproduksi sendiri untuk dipasarkan kembali, sehingga lidah buaya mentah tidak
membusuk. Motivasi pengusaha lainnya adalah karena bahan baku murah sehingga modal yang
diperlukan untuk berbisnis tidak terlalu besar diakui oleh sekitar 24% pengusaha (harga lidah
buaya mentah Rp 1.500,- - Rp 2.000,- / Kg) dan hanya 16% atau 2 orang yang serius dalam
mengembangkan produk olahan lidah buaya agar dapat mengenalkan produk –produk lidah
buaya ke berbagai kota dan juga manca negara.
15
Pengusaha tidak mengalami kesulitan bahan baku karena adanya 11 kelompok tani yang
dibina oleh Pemkot dalam hal ini Dinas Pertanian. Jumlah lahan yang dimiliki oleh 11
kelompok tani adalah 96,3 hektar dan lahan yang telah siap panen seluas 71,7 hektar, sisanya
24,6 hektar masih dalam proses penanaman sehingga belum menghasilkan. Lahan tersebut
masih dapat terus dikembangkan hingga 73,9 hektar. Dinas Pertanian Pemkot Pontianak juga
mengadakan pelatihan dan bantuan peralatan untuk pengusaha.
Jumlah produk lidah buaya yang dikembangkan telah mencapai 10 macam produk pangan
dan beberapa macam produk non pangan (sabun, gantungan kunci, body lotion dan masker)
tetapi cara pemasaran yang dilakukan oleh pengusaha masih sangat tradisional, yaitu
menitipkan produk di pedagang dan beberapa pengusaha telah mengirim produk mereka ke luar
pulau seperti ke Jawa dan Sumatera, tetapi hanya dikirim ke relasi yang juga pedagang. Karena
produk-produk tersebut permintaannya belum tinggi, maka sistem penjualan ke pedagang
adalah konsiyasi dan pedagang mengambil keuntungan berkisar antara 10% – 20%. Karena
permintaan yang belum terlalu tinggi, pengusaha hanya memproduksi berdasarkan kemampuan
menjual yaitu rata-rata dibawah 5 ton/ bulan.
Potensi produk lidah buaya yang memiliki berbagai variasi dan sumber berbagai vitamin
untuk kesehatan memilili peluang untuk dikembangkan dengan pemasaran yang lebih luas.
Secara geografis, Pontianak berdekatan dengan negara tetangga Malaysia, khususnya Sawarak,
Malaysia Timur. Rencana pemberlakuan bebas tariff, akses jalan darat yang baik, lokasi yang
dekat dan murah merupakan peluang bagi pengusaha untuk memasarkan produk hingga ke
Malaysia Timur, Serawak. Sarawak merupakan Negara Bagian terbesar di Malaysia dengan
jumlah penduduk sebanyak 2,471.140 jiwa (Departemen Statistik, Malaysia, 2010).
(www.sarawak.gov.my/en/about-sarawak).
16
VI. PENUTUP
Berdasarkan hasil analisa diatas, kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian ini ialah :
A. Kesimpulan
1. Bahan baku produksi yaitu lidah buaya mentah kualitas prima (per pelepah 8 ons – 1 ,2
Kg) selalu tersedia yaitu 71,7 hektar siap panen, 24,6 hektar belum panen dan 73,9
hektar siap dikembangkan. Bahan baku juga relatif murah yaitu Rp 1.500,- - Rp 2.000,- /
Kg.
2. Jenis produk berbahan baku lidah buaya di Pontianak telah dikembangkan hingga 10
macam produk pangan dan 4 macam produk non pangan.
3. Pengusaha produk hasil olahan lidah buaya di Pontianak masih berskala UKM (Usaha
Kecil Menengah) dan sebagian belum berbadan hukum dengan jumlah produksi yang
relatif stabil yaitu rata-rata dibawah 5 ton / bulan karena pemasaran yang dijalankan
masih bersifat tradisional yaitu dengan menitipkan ke pedagang setempat dan
mengirimkan ke relasi di pulan Jawa dan Sumatera.
4. Bantuan Pemkot dalam hal ini Dinas Pertanian sudah ada tetapi baru dalam bentuk
pembinaan petani dan pelatihan serta pemberian bantuan peralatan kepada pengusaha,
sedangkan dalam bidang pemasaran masih dalam proses perencanaan dan penjajakan.
B. Saran-saran
Berdasarkan potensi tersebut maka saran-saran secara umum yang dapat dilakukan
pengusaha adalah :
1. Mendaftarkan perusahaan sehingga berbadan hukum. Bentuk badan hukum yang disarankan
adalah koperasi yang bertujuan mensejahterakan para anggotanya (pengusaha).
17
2. Pengusaha mempatenkan produknya sehingga tidak ditiru oleh pihak lain.
3. Pemkot Pontianak membantu melakukan promosi dalam bentuk pameran produk dan
kerjasama dengan pihak-pihak lain.
4. strategi utama pemasaran internasional yang dapat dikembangkan adalah :
a. Pemasaran Eksport
Mengirim produk hasil olahan lidah buaya ke negara tetangga terdekat Malaysia Timur,
Serawak. Dengan masuknya produk ke Serawak, diharapkan dapat dikembangkan ke
daerah Malaysia lainnya dan negara tetangga lain seperti Brunai Darussalam serta
Singapura. Berdasarkan hasil penelitian di Sarawak, perilaku konsumen dalam membeli
sangat memperhatikan presesi mutu, kinerja dan kehandalan (reliability). Ketiga faktor
ini harus diperhatikan oleh pengusaha dalam memasarkan produknya ke Malaysia.
b. Usaha Patungan
Menawarkan kerjasama, dimana pengusaha Pontianak sebagai mitra yang menyediakan
bahan baku dan tenaga kerja, sedangkan pengusaha dari luar menyediakan modal,
teknologi dan memasarkan produk yang telah jadi. Dengan bahan baku yang unggul dan
murah serta tersedianya tenaga kerja, hal ini dapat merupakan keunggulan sehingga
pengusaha asing tertarik untuk menanamkan modalnya dalam bentuk usaha patungan.
Pemkot dapat melakukan promosi dengan mengundang pengusaha-pengusaha asing,
khususnya di kawasan terdekat yaitu Serawak, Malaysia Timur. Ke depannya dapat juga
mengundang pengusaha Malaysia lain, Brunai Darussalam, Singapura hingga ke
berbagai negara lainnya.
-----0-----
18
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Anang Sukandar (2004), Franchising di Indonesia, Asosiasi Franchise Indonesia.
Jajat Kristanto (2011), Manajemen Pemasaran Internasional: Sebuah Pendekatan Strategi, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Justis, R.T. & Judd, R.J., 2002, Franchising, USA: Dame, a Division of Thomson Learning.
Keegan, W.J. (2002), Global Marketing Management, New Jersey, 7th Edition.
Keegan, W.J. & Green, M.C (2005), Global Marketing, USA: Pearson Prentice-Hall
Kotabe, M. & Helsen, K (2011), Global Marketing Management, Asia: John Wiley & Sons, Inc., 5th Edition.
Kotler, P. & Armstrong, G.(2012), Principles of Marketing, London: Pearson EducationLimited, 14th Edition.
Kotler, P. & Keller, K.L.(2012), Marketing Management, London: Pearson Education Limited, 14th Edition.
Sherman, A.J. (2004), Franchising and Licensing: Two Powerful Ways To Grow Your Business in any Economy, USA: American Management Association.
Jurnal :
Jajat Kristanto (2012), Penentuan Proporsi Standarisasi-Adaptasi pada Strategi AdaptStand,” Jurnal Manajemen, Vol.1-No.2, Mei 2012.
Vrontis, D. (2003), “Integrating Adaptation and Standardization into International Marketing: The AdaptStand Modeling Process,” Journal of Marketing Management, Vol.19, h.283-305.
Internet :
Commodities (2009), www. pertaniankalbar.comyr.com, diakses tanggal 12 Agustus 2013.
Eksport Lidah Buaya (2006), www.kalbar-online.com, diakses tanggal 10 Agustus 2013.
Mutiara Hijau Kalimantan Barat (2009), www.lenterahati.com, diakses tanggal 13 September 2013.
19
PeluangInvestasiPertanianProvinsiKalimantanBarat (2009), www.pemdakalbar.com, diakses tanggal 15 Agustus 2013.
The Demographic of Sarawak Population (2010), www.sarawak.gov.my/en/about-sarawak, diakses tanggal 10 September 2013
Wow, Lidah Buaya Lebih Menguntungkan Daripada Padi (2010, 9 Desember), www.surabayapost.co.id, diakses tanggal 15 September 2013
Zaenal Abidin (2013), Pontianak Tanam Kembali 30 Ha Lidah Buaya, www.antarakalbar.com, diakses tanggal 15 September 2013.