strategi pembelajaran afektif
TRANSCRIPT
STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakekat dari belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang baik afektif, kognitif
maupun psikomotorik. P0erubahan ini akan terjadi melalui berbagai proses secara kontinyyu,
yang menjadi permasalahan bagaimana strategi pembelajaran afektif itu dapat diarahkan
guna mencapai tujuan pendidikan, karena pembelajaran afektif berhubungan sekali dengan
valve (Nilai) yang sulit di ukur, karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari
dalam, berada dalam fikiran seseorang, yang sifatnya tersembunyi. Nilai berhubungan
dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak, indah dan tidak
indah. Pandangan tentang semua itu hanya dapat diketahui dengan melihat sikap dan perilaku
seseorang.
B. Pembatasan-pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Apakah strategi pembelajaran-pembelajaran afektif itu?
2. Apakah ada hubungan antara pembelajaran afektif, kognitif dan psikomotorik?
3. Apa kegunaan mempelajari strategi pembelajaran-pembelajaran Afektif?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Untuk mengetahui pengertian dari strategi pembelajaran-pembelajaran afektif.
2. Untuk mengetahui Hakikat pendidikan, nilai dan sikap.
3. Agar mengetahui proses pembentukan sikap.
4. Agar mengetahui model strategi pembelajaran sikap.
5. Agar dapat menerapkannya dalam proses pendidikan.
D. Metodologi Penulisan
Metodologinya terdiri dari:
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah
B Pembatasan dan Perumusan Masalah
C Tujuan dan Kegunaan
D Metodologi Penulisan
BAB II KAJIAN TEORITIS
BAB III STRATEGI PEMBELAJARAN-PEMBELAJARAN SFEKTIF
BAB IV PENUTUP
A Simpulan
B Saran
BAB II
KAJIAN TEORITIS
PANDANGAN PARA AHLI MENGENAI PEMBELAJARAN AFEKTIF
a. Menurut Mc Paul. Dia menganggap pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan
kognitif yang rasional, pembelajaran moral siswa adalah pembentukan keperibadian, bukan
pengembangan intelektual.
b. Menurut Kohlberg moral manusia berkembang melalui tiga tingkat, dan setiap tingkat terdiri
dari 2 (dua) tahap.
c. Menurut John Dewey dan Jean Pinget, berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi
sebagai proses Restrukturisasi kognitif yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut
aturan tertentu.
d. Menurut Dooglas Graham (Golu). Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari
penampilannya.
Pengembangan dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan
psikomotorik, masalah nilai adalah masalah emosional dank arena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina, perkembangan nilai-nilai atau moral tidak akan terjadi
sekaligus, tetapi melalui tahap-tahap.
BAB III
STRATEGI PEMBELAJARAN-PEMBELAJARAN AFEKTIF
A. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan untuk mencapai dimensi lainya. Yaitu
sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit di ukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam
kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
B. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Sikap (afektif) erat kaitanya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap merupakan
refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah
pendidikan nilai. Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat-
sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak, pandangan seseorang
tentang semua itu, nilai pada dasarnya adalah setandar perilaku seseorang. Dengan demikian,
pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang
diharapkan kepada siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggap baik dan
tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Normativist : Kepatuhan yang terdapat pada norma-norma hukum.
Integralist : Kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dan pertimbangan-pertimbangan
yang rasional.
Fenomalist : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
Hedonist : Kepatuhan berdasarkan diri sendiri.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan selalu
menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu,
sisytem nilai yang dimiliki seseorang bisa di bina dan di arahkan. Komitmen seseorang
terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap, yakni kecenderungan
seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika seseorang berhadapan dengan sesuatu objek,
dia akan menunjukan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Goul (2005)
menyimpulkan tentang nilai tersebut :
Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Pengembangan dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan
psikomotorik. Maslah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina.
Perkembangan nilai atau moral tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian, berlajar sikap
berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek penilaian
terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berguna
atau berharga (sikap negatife).
C. Proses Pembentukan Sikap
Pola pembiasaan
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya sikap siswa
yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru, satu contoh
mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan timbul perasaan
benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada guru dan mata
pelajarannya.
Modeling.
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap
melalui proses asimilasi atau proses pencontoaan. Salah satu karakteristik anak didik yang
sedang berkembang adalah keinginan untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru
itu adalah perilaku-perilaku yang di peragakan atau di demontrasikan oleh orang yang
menjadi idman. Modering adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi
idolanya atau orang yang di hormatinya. Pemodelan biasanya di nilai dari perasaan kagum.
D. Model Strategi Pembelajaran Sikap
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konflik atau situasi problematic, melalui situasi ini diharapkan siswa dapat
mengambil keputusan berdasarkan nilai yang di anggapnya baik.
a. Model Konsiderasi
Model konsiderasi di kembangkan oleh Mc Paul, seorang humanis, paul menganggap bahwa
pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Menurutnya
pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan
pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi
pembelajaran yang dapat membentuk keperibadian, tujuannya adalah agar siswa menjadi
manusia yang memiliki keperibadian terhadap orang lain.
b. Model Pengembangan Kognitif
Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John dewey dan Jean Piage yang berpendapat
bahwa perkembangan manusia menjadi sebagai proses darirestrukturisasi kognitif yang
berlangsung serta berangsur-angsur menurut aturan tertentu.
c. Tehnik Mengklarifikasikan Nilai
Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat di tarik sebagai tehnik pengajaran
untuk membentuk siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai yang di anggapnya
baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada
dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang
membangun nilai menurut anggapanya baik, yang pada akhirnya nilai-nilai tersebut akan
mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif.
Kesulitan dalam pembelajaran afektif ini dikarnakan :
Sulit melakukan control karma banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap
seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun
modeling bukan hanya di temukan oleh faktor guru, akan tetapi faktor lain terutama faktor
lingkungan.
Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berbeda dengan aspek
kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran
berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup
pnjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan
proses lama.
Pengaruh kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa
dipungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negri yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti budaya asing yang
belum cocok dengan budaya lokal menerobos dalam setiap ruang kehidupan.
E. Afektif Sebuah Strategi Pembelajaran Terapan
Pembelajaran Afektif banyak yang beranggapan bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran
biologi, fisika ataupun matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran
bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa atau manusia itu memperoleh pembelajaran.
Oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran, melainkan pendidikan. Strategi
pembelajaran yang akan kita bahas ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga menyangkut dimensi lainnya yakni sikap dan
keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa sebagai
subjek belajar. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value), yang sulit diukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu, memang
Afektif dapat muncul dalam kejadian berhavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai
pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi
yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan
sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tidak serta
merta menilai sikap anak itu baik. Sebagai contoh melihat kebiasaan berbahasa atau sopan
santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh
guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi,
tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang
tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak indah dan tidak indah dan sebagainya.
Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat
mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasarnya standar
perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang mengenai baik dan buruk, layak
dan tidak layak dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya
merupakan proses penanaman niali kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya
siswa dapat berprilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap niali tertentu
yang dikemukakan oleh Douglas Graham (Gulo, 2002) yaitu :
1. Normativist
Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum, kepatuhan pada nilai atau norma itu
sendiri ; kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri ; kepatuhan pada
haslinya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
2. Integralist
Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan
yang rasional
3. Fenomenalist
Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
4. Hedonist
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Faktor Normativist adalah faktor yang kita harapkan menjadi dasar kepatuhan setiap
individual, karena kepatuhan semacam inilah adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan
nilai tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Dari empat faktor diatas terdapat lima tipe kepatuhan, yakni :
a. Otoritarian
Yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b. Conformist
Kepatuhan ini mempunyi tiga bentuk, antara lain : Conformist directed, yaitu
penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain, conformist hedonist yaitu kepatuhan
yang berorientasi pada “untung-rugi” dan conformist integral yaitu kepatuhan yang
menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.
c. Compulsive : Yaitu kepatuhan yang tidak konsisten
d. Hedonik Psikopatik
Yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
e. Supramoralist
Yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
Pada era teknologi informasi yang berkembang secara pesat ini, pendidikan nilai
sangatlah penting untuk diterapkan sebagai filter terhadap perilaku yang negatif. Nilai pada
seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu
itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sistem nilai yang dimiliki
seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah
diatas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan
demikian sikap seorang sangat tergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar
dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
1. Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
2. Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan
psikomotorik
3. masalai ini adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang sehingga
bisa di bina.
4. Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu
Sikap adalah kecenderungan seseerang untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap
berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek; berdasarkan
penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak
berhrga/tidak berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang
berperanan sekali dlam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai
kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternative (winkel : 2004).
Apakah sikap dapat dibentuk ?
Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar membentuk
sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh skinner melalui teorinya operant
conditioaning. Proses pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses
peneguhan respons anak. Setiap kalianak menunjukkan prestasi yang baik diberikan
penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang
menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu
pembentukan sikap melalui proses asimilasi tau proses mencontoh. Salah satu karakteristik
anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan. Prinsip
peniruan ini dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap
orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada
awalnya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pengarahan dan pemahaman
mengapa hal itu dilakukan. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar
disadari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.
Model-model strategi pembelajaran sikap antara lain :
1. Model konsiderasi
Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul (seorang
humanis). Dia menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan perkembangan
kognitif yang rasional. Menurut dia, pembelajaran moral siswa adalah pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi
pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian dengan tujuan agar siswa menjadi manusia
yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah
membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara
harmonis, peduli dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Implementasi dari model ini,
guru dapat mengikuti tahapan dibawah ini :
a. Menghadapkan siswa pada suatu maslah yang mengandung konflik, yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan suasana “seandainya siswa tersebut ada dalam
masalah itu”.
b. Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang
tampak, tetapi juga yang tersirat dalam permasalah tersebut, misalnya perasaan,
kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.
Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaanya sendiri sebelum ia
mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d. Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap
respons yang diberikan siswa.
e. Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang
diusulkan siswa. Siswa diajak berfikir keras dan harus dapat menjelaskan argumennya
secara terbuka serta dapat saling menghargai pendapat orang lain.
f. Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk
menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai
yang dimilikinya.
g. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan
pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai benar
atau salah atas pilihan siswa. Yang diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka
menentukan pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangan sendiri.
2. Model Pengembangan kognitif
Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh
Lawrence Kholberg. Model ini hanya diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget
yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi
kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut
Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2
tahap. Tingakat-tingkat tersebut antara lain :
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri.
Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini dibagi dua
tahap yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, perilaku anak didasarkan kepada
konsekuensi fisik yang akan terjadi. Anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar adalah
perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Jadi peraturan harus dipatuhui agar tidak
timbul konsekuensi negatif : Tahap orientasi instrumental-relatif, perilaku anak didasarkan
kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil
manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik, dengan demikian perilaku itu
didasarkan kepada saling menolong dan saling meberi.
b. Tingkat Konvensional
Dalam tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu
masyarakat. Pemecahan masalah bukan hanya didasarkan pada rasa keadilan belaka, akan
tetapi apakah permasalahan itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Banyak yang beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan, seperti
pelajaran Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran
bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh pembelajaran, oleh karena itu yang pas
untuk afektif bukanlah pengajaran melainkan pendidikan. Afektif berhubungan sekali dengan
nilai (Value) yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam.
Dalam batas tertentu afektif dapat muncul dalam kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian
untuk sampai pada kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan ktelitian dan
observasi yang terus menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan, dalam proses pembelajaran di
sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa
melalui proses pembiasaan.
Yang termasuk kemampuan afektif adalah sebagai berikut :
a. Menerima (Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan.
b. Menanggapi (Responding), yaitu afektif berpartisipasi.
c. Menghargai (Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan tertentu.
d. Membentuk (Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda.
e. Berpribadi (Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai sistem nilai
yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang mantap.
B. Saran
Akhirnya makalah yang bertema strategi pembelajran-pembelajaran afektif dapat kami
selesaikan. Dengan keterbatasan referensi dan kurangnya pengetahuan yang kami miliki
mengenai strategi pembelajaran afektif ini, untuk itu saran yang membangun sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sanjaya Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. Kencana. Jakarta : 2008
Raka, Joni. Strategi Belajar Mengajar, P3G, Jakarta : 1980
STRATEGI PENGAJARAN AFEKTIF
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-Ciri Nilai
Pengajaran afektif berhubungan dengan nilai (value). Oleh karena itu, sebelum kita berbicara tentang
strategi pengajaran afektif, terlebih dahulu perlu dikaji tentang nilai itu sendiri. Nilai (value, valere)
berhubungan dengan apa yang dianggap baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, adil dan tidak adil,
efisien dan tidak efisien dan sebagainya. Dalam hubungan ini, J.R Fraenkel sebagaimana dikutip oleh W.
Gulo, mengemukakan beberapa ciri tentang nilai sebagai berikut:
1. Nilai adalah konsep yang tidak berada di dalam dunia empirik, tetapi di dalam pikiran manusia.
2. Nilai adalah standar perilaku, ukuran yang menentukan apa yang indah, apa yang efisien, apa yang
berharga yang ingin dipelihara dan dipertahankan.
3. Nilai itu direfleksikan dalam perbuatan atau perkataan.
4. Nilai itu merupakan abstraksi atau idealis manusia tentang apa yang dianggap penting dalam hidup
mereka.[1]
B. Hakekat Pendidikan Nilai Dan Sikap
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap, yakni
kecenderungan seseorang terhadap suatu obyek. Misalnya jika seseorang berhadapan dengan suatu
obyek, maka ia akan menunjukkan gejala senang-tidak senang atau suka-tidak suka. Seseorang yang
berhadapan dengan pendidikan sebagai suatu obyek, maka manakala ia mendengarkan dialog tentang
pendidikan di televisi misalnya, ia akan menunjukkan gejala kesenangannya dengan mengikuti dialog itu
sampai tuntas dan begitu juga sebaliknya seseorang yang menunjukkan gejala ketidak senangannya
terhadap isu pendidikan, maka ia akan tutup telinga atau memindahkan canel televisinya.[2]
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan
nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh
kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu obyek, berdasarkan penilaian terhadap obyek itu
sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berharga (sikap negatif). Sikap
merupakan suatu kemampuan internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-
lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif.
Pernyataan kesenangan dan ketidaksenangan seseorang terhadap obyek yang dihadapinya, akan sangat
dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap obyek tersebut. Oleh karena itu
tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu obyek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya
(psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap obyek yang bersangkutan.[3]
C. Dasar Pemikiran Tentang Nilai
Komitmen seseorang terhadap nilai dapat dinyatakan antara lain pada kepatuhannya terhadap
suatu yang dianggap baik. Seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dianggapnya baik yang
bermacam-macam alasan. Wright mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi seseorang untuk
berbuat sesuatu, yaitu :
1. Hedonitas tanpa moral. Pertimbangan untuk melakukan sesuatu didasarkan pada kegunaan bagi diri
sendiri. Seseorang melakukan sesuatu kalau hal itu berguna bagi dirinya sendiri dan tidak mau
melakukannya jika tidak ada manfaatnya bagi dirinya sendiri.
2. Rasional. Pertimbangan untuk melakukan sesuatu didasarkan pada logika seseorang, kalau sesuatu itu
tidak masuk akalnya, maka ia tidak akan melakukannya.
3. Tingkat kesadaran. Seseorang berbuat atau tidak berbuat sesuatu tergantung pada tingkat kesadarannya.
4. Konformitas. Seseorang berbuat sesuatu hanya untuk menyesuaikan diri dengan pihak lain dan tidak
muncul dari kesadaran sendiri.[4]
Douglas Graham melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan terhadap nilai tertentu yaitu :
1. Normatifis, biasanya kepatuhan kepada norma-norma hukum. Kepatuhan terhadap hukum itu terdapat
dalam tiga bentuk yaitu :
a. Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri,
b. Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri,
c. Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
2. Intregeralis yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang
rasional.
3. Fenomenalis yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
4. Hedonis yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
D. Proses Pembentukan Sikap
1. Pola pembiasaan
Pada suatu hari Watson melihat anak yang senang dengan tikus berbulu putih. Kemanapun anak itu
pergi, ia selalu membawa tikus berbulu putih yang sangat disenanginya. Watson ingin mengubah sikap
senang anak terhadap tikus putih itu menjadi benci atau tidak senang. Maka ketika anak hendak
memegang tikus itu, Watson memberi kejutan dengan suara keras, hingga anak itu terkejut. Terus
menerus hal itu dilakukan, dimana anak itu hendak mendekati dan hendak membawa tikus itu,
dimunculkanlah suara keras, maka anak itu semakin terkejut dan lama kelamaan anak itu menjadi takut
dengan tikus putih itu. Jangankan ia mau memegang atau membawanya, melihat saja ia menangis dan
ketakutan. Perubahan sikap anak tersebut dari positif menjadi negatif disebabkan karena kebiasaan.
Cara belajar sikap demikian menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu obyek. Dalam
proses pembelajaran di sekolah baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap
tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.[5]
2. Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan
sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang
berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan. Hal yang ditiru itu ada lah perilaku-
perilaku yang diperagakan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan itulah yang dimaksud
dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya
atau orang yang dihormatinya.[6]
E. Model Strategi Pembelajaran Sikap
1. Model konsiderasi, model ini dikembangkan oleh Mc. Paul.[7] Pembelajaran moral siswa menurutnya
adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini
menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Implementasi
modeling konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran sebagai berikut :
a. Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi “seandainya siswa ada dalam masalah tersebut”
b. Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang nampak, tapi
juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang
lain.
c. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.
d. Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang
diberikan siswa.
e. Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan
siswa.
f. Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah
wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya
berdasarkan pertimbangannya sendiri.
2. Model pengembangan kognitif Menurutnya, moral Manusia itu berkembang melalui tiga tingkat. Dan
setiap tingkat terdiri dari dua tahap :
a. Tingkat profesional, setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Pada
tingkat profesional ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap satu orientasi hukuman dan kepatuhan, tahap
dua orientasi instrumental relatif.
b. Tingkat konvensional, anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarakat.
Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan
aturan yang berlaku di masyarakat. Tahap ketiga keselarasan interpersonal, tahap keempat sistem sosial
dan kata hati.
c. Tingkat post konvensional, perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma
masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang
dimilikinya secara individu. Tahap kelima kontrak sosial, tahap keenam prinsip etis yang universal.[8]
3. Tehnik mengklarifikasi nilai (VCT)
VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan
menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses
menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Salah satu karakteristik VCT sebagai
suatu modal dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman mulai dilakukan melalui
proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa, kemudian menyelaraskan dengan
nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan.[9]
F. Taksonomi Domain Afektif
Taksonomi bloom[10] merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan dibagi ke dalam tiga domain yaitu cognitive domain, affective domain dan psycomotor
domain.[11] Dilihat dari strategi belajar mengajar, proses pembinaan nilai dalam kawasan afektif
melalui lima tahapan secara hirarkis. Pembagian domain afektif ini disusun oleh Bloom bersama David
Krathwol sebagai berikut :
1. Penerimaan (recevising/ attending), kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di
lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian, mempertahankannya
dan mengarahkannya.
2. Tanggapan (responding), memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi
persetujuan, kesediaan dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
3. Penghargaan (valuing), berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu obyek, fenomena
atau tingkah laku. Penilaian berdasarkan internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan
ke dalam tingkah laku.
4. Pengorganisasian (organization), memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik
diantaranya, dibentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
5. Karakterisasi berdasarkan nilai-nilai (characterization by a value or value complex), memiliki sistem nilai
yang mengendalikan tingkah lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya hidupnya.[12]
Sikap atau nilai menentukan wujud tindakan seseorang. Jika seseorang memiliki aspek-aspek
kawasan afektif yang tinggi, maka ia akan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang diakui baik secara
normatif. Sikap yang berhubungan dengan nilai afektif dapat dipisahkan menjadi :perilaku mendekat
yaitu melakukan hal-hal yang baik menurut norma, perilaku menjauh yaitu menghindari hal-hal yang
tidak baik menurut norma.[13]
G. Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif
Dalam proses pendidikan di sekolah, proses pembelajaran sikap terkadang diabaikan. Hal ini
disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan, diantaranya :
1. Selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk
pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran
di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif). Akibatnya upaya yang
dilakukan oleh setiap guru diarahkan kepada bagaimana anak dapat menguasai sejumlah pengetahuan
sesuai standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan
penguasaan materi pelajaran.
2. Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap
seseorang. Pengembangan kemampuan sikap, baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan
hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-faktor lainnya terutama lingkungan.
3. Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan
aspek kognitif dan aspek ketrampilan yang hasilnya diketahui setelah proses pembelajaran berakhir.
Maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang.
Hal ini disebabkan dengan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang
lama.
4. Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan acara,
berdampak pada pembentukan karakter anak secara perlahan tapi pasti oleh budaya asing yang belum
tentu cocok dengan budaya lokal yang meresap dalam setiap relung kehidupan, menggeser nilai-nilai
lokal sebagai nilai luhur.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan Strategi Pengajaran Afektif dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1. Ciri-Ciri Nilai diantaranya nilai adalah konsep yang tidak berada di dalam dunia empirik, tetapi di dalam
pikiran manusia, nilai adalah standar perilaku, nilai itu direfleksikan dalam perbuatan atau perkataan,
nilai itu merupakan abstraksi atau idealis manusia tentang apa yang dianggap penting dalam hidup
mereka.
2. Hakekat Pendidikan Nilai Dan Sikap yaitu komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi
melalui pembentukan sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu obyek. Sikap adalah
kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan nilai yang
dianggapnya baik atau tidak baik.
3. Dasar Pemikiran Tentang Nilai antara lain Wright mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi
seseorang untuk berbuat sesuatu, yaitu : Hedonitas tanpa moral, Rasional, Tingkat kesadaran,
Konformitas, Normatifis, Intregeralis, Fenomenalis dan Hedonis.
4. Proses Pembentukan Sikap yaitu melaui pola pembiasaan dan modeling.
5. Model Strategi Pembelajaran Sikap yaitu dibagi menjadi tiga : Model konsiderasi, Model pengembangan
kognitif, Tehnik mengklarifikasi nilai (VCT).
6. Taksonomi Domain Afektif menurut Bloom dan David Krathwol dibagi menjadi lima tahapan yaitu :
Penerimaan (recevising/ attending), Tanggapan (responding), Penghargaan (valuing), Pengorganisasian
(organization), Karakterisasi berdasarkan nilai-nilai (characterization by a value or value complex),
7. Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif yaitu selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum
yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Sulitnya melakukan kontrol karena
banyaknya faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Keberhasilan pembentukan
sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Adanya pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi
informasi yang menyuguhkan aneka pilihan acara, berdampak pada pembentukan karakter anak secara
perlahan tapi pasti.
B. Saran
Bagi pendidik, dismaping memberikan suatu teori dari pendidikan, diharapkan juga memberikan
suatu praktek (operasional) secara nyata dari teori-teori yang diajarkan, sehingga anak didik akan
termotifasi total untuk mengamalkan secara langsung di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
strategi pengajaran afektif yang diterapkannya dapat berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Gulo, W. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo, 2002.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran:Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008.
http:// id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_bloom.http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2012/07/strategi-pengajaran-afektif.html
[1] W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Grasindo, 2002), 147.
[2] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran:Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2008), 273.
[3] Ibid., 276.
[4] W. Gulo, Strategi..., 150.
[5] Wina Sanjaya, Strategi..., 277-278.
[6] Ibid.
[7] Mc. Paul adalah seorang humanis yang menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional.
[8] Wina Sanjaya, Strategi..., 281-282.
[9] Ibid., 283-284.
[10] Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hierarkinya.
[11] http:// id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_bloom.
[12] Ibid.
[13] Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 288.
[14] Wina Sanjaya, Strategi..., 286-288.
MAKALH TERKAIT : 1. STRATEGI PEMECAHAN DAN PENYELESAIAN MASALAH 2. PENGEMBANGAN VARIASI MENGAJAR
3. IMPLEMENTASI BELAJAR MENGAJAR
4. HAKIKAT, CIRI-CIRI DAN KOMPONEN BELAJAR MENGAJAR
5. Pembelajaran Modul
6. MACAM-MACAM TEORI BELAJAR DAN PANDANGANNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU MANUSIA
7. METODE PENGAJARAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
8. MACAM-MACAM PENDEKATAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
9. KEDUDUKAN, PEMILIHAN DAN PENENTUAN METODE DALAM PENGAJARAN
10. 29 MACAM STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS ACTIVE LEARNING
11. KEGUNAAN DAN MANFAAT MEDIA PENGAJARAN
12. SUPERVISI EFEKTIF DALAM DUNIA PENDIDIKAN
STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCE
Oleh Mardianto, M.Pd
A. PendahuluanPendidikan adalah sebuah proses memberikan lingkungan agar peserta didik dapat
berinteraksi dengan lingkungan untuk mengembangkan kemampuan yang ada pada dirinya. Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan kognitif yakni mengasah pengetahuan, kemampuan afektif mengasah kepekaan perasaan, dan kemampuan psikomotorik yakni keterampilan melakukan sesuatu. Dengan tiga kemampuan ini menurut Binyamin S.Bloom (1956) seorang peserta didik diharapkan dapat dilepas menjadi individu yang siap memasuki dunia di luar sekolah.
Akan tetapi kenyataan yang terjadi kini, kemampuan seseorang di luar sekolah sangat kompleks. Kemampuan kemampuan tersebut disamping kemampuan yang ada pada dirinya secara internal juga kemampuan yang ada di luar dirinya secara eksternal. Sebagai contoh kemampuan seorang individu untuk melakukan kerjasama dengan orang lain berpartisipasi dalam satu kelompok kini menjadi bagian penting bila individu ingin sukses meraih apa yang ia inginkan. Ini artinya bahwa kemampuan kemampuan yang dibatasi selama ini sudah saatnya dirubah dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan dunia luar sekolah.
Dalam hal mengakomodir berbagai kemampuan pada seorang peserta didik, kemampuan ganda atau multiple intelligence adalah satu bagian penting yang harus diperkenalkan. Artinya peserta didik sejak dini sudah harus diberi wawasan, kegiatan, orientasi yang merupakan bentuk lingkungan agar mereka dapat mengembangkan diri sesuai dengan nilai nilai yang ada di luar sekolah. Ini maksudnya adalah memperkenalkan mutiple intelligence dalam kegiatan
pembelajaran harus dilakukan, dan tentunya memerlukan satu pembahasan yang baik. Pembahasan dimaksudkan untuk memberikan satu penjelasan, dimana multiple intelligence adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran siswa di kelas, di luar kelas yang secara keseluruhan adalah bagian dari tanggungjawab guru.
B. Teori Teori IntelligenceInteligensi terkait erat dengan tingkat kemampuan seseorang menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, baik itu kemampuan secara fisik maupun non fisik. Banyak hal yang telah diteliti orang tentang kemampuan ini, sehingga melahirkan rumus tetang bagaimana mengukur tingkat inteligensi seseorang. Uraian tentang inteligensi akan dijabarkan dalam dua pokok bahasan yakni; pengertian intelegensi dan tingkahlaku inteligensi.
1. Arti Intelgensi
Banyak defenisi yang dikemukakan para ahli tentang inteligensi, kadangkala pengertian pengertian yang mereka bangun berdasarkan hasil penelitian atau pendekatan yang dilakukan. Menurut William Stern inteligensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru dengan menggunakan alat alat berfikir yang sesuai dengan tujuan. (Agus Sujanto;1986,66).
Sementara itu penelitian yang berkenaan dengan inteligensi dilakukan oleh para ahli selalu dikaitkan dengan masalah masalah konsep tentang berbagai hal yang menyangkut perilaku kemampuan berfikir seseorang. Banyaknya lahir konsep tentang inteligensi ini digolongkan menjadi lima golongan yakni:
a. Konsepsi konsepsi yang bersifat spekulatif
b. Konsepsi konsepsi yang bersifat pragmatis
c. Konsepsi konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor yang kiranya dapat kita sebut konsepsi konsepsi faktor
d. Konsepsi konsepsi yang bersifat operasional, dan
e. Konsepsi konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional, yang kiranya dapat kita sebut konsepsi fungsional. (Sumadi Suyabrata:1989,128)
Dalam pada itu konsepsi tentang inteligensi ini berkembang terus sehingga banyak mendapat dan dalili dalil yang menjadi temuan dan pedoman bagi para ahli untuk mengembangkannya lebih jauh.
Sebagai pembahasan perbincangan tentang inteligensi harus didasarkan pada empat hal pokok yakni:
a. Bahwa inteligensi itu ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat, dan sebagainya untuk mempengaruhi inteligensi seseorang).
b. Bahwa manusia hanya dapat mengetahui inteligensi dari tingkah laku atau perbuatannya yang tampak. Inteligensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung, melalui “kelakuan inteligensinya”.
c. Bahwa bagi suatu perbuatan inteligensi bukan hanya kemampuan yang dibawa lahir saja yang penting. Faktor faktor lingkungan dan pendidikanpun memegang peranan.
d. Bahwa manusia dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan tujuan yang baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu/ (M.Ngalim Purwanto:1987,53).
Perkembangan dan pertumbuhan inteligensi dalam diri seseorang berirama sesuai dengan gejala pertumbuhan dan perkembangan yang ia alami. Namun demikian terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi inteligensi ini yakni:
a. Perbawaan, ialah gejala kesanggupan kita yang telah kita bawa sejak lahir, dan yang tidak sama pada setiap orang.
b. Kemasakan, ialah saat munculnya sesuatu daya jiwa kita yang kemudian berkembangan dan mencapai saat puncaknya.
c. Pembentukan, ialah segala faktor luar yang mempengaruhi inteligensi dimasa perkembangannya dan,
d. Minat, inilah yang merupakan motor penggerak dari inteligensi kita. (Agus Sujanto:1985,66).
Tentunya pengertian dan pembatasan inteligensi tidak berhenti sampai disini, para ahli terus berusaha menyempurnakan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman dan perobahan yang ada pada struktur aturan kegiatan keilmuan itu sendiri.
2. Perkembangan dan Pengukuran Inteligensi
Kemampuan yang dapat diperoleh dari inteligensi ini adalah dapat diketahui dengan cara menggunakan tes inteligensi. Tes ini dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai satu paket alat ukur terpadu untuk melihat tingkat kemampuan yang ada pada diri seorang individu.
Sejak awal disadari bahwa tes untuk mengukur kemampuan inteligensi seseorang adalah tidak ada yang sempurna sama sekali. Dalam hal ini diketahui bahwa ebilitas mental yang sangat kompleks menjadikan pengukuran hanya sebatas disusun, dibentuk dan dilengkapi. Untuk itulah maka ditegaskan sekali lagi bahwa; macam macam test ebilitas mental. Tes inteligensi dapat diklasifikasikan menjadi:(a) Individual atau kelompok, (b) Bahasa atau verbal, bukan bahasa atau non verbal atau perbuatan, dan (c) Mudah atau lebih sukar, disesuaikan dengan umur atau tingkat tingkat sekolah. (Lester D.Crow:1984,228).
Beberapa ahli yang telah merancang dan mengembangkan tes ukur inteligensi ini sampai kini sebagian darinya tetap digunakan oleh pada pendidik, namun sebagian ditinggalkan. Beberapa model tes yang pernah dikembangkan tersebut adalah:
1. Tes Wechsler
Tes inteligensi ini adalah dibuat oleh Wachsler Bellevue pada tahun 1939 terdiri dari dua macam yakni; untuk umur 16 tahun keatas disebut dengan Adult Inteligence Scale (WAIS) dan tes untuk anak anak yaitu Wechslr Intelegence Scale for Children (WISC).
Tes yang dikembangkan ini meliputi dua sub yaitu verbal dan performance (tes lisan dan perbuatan atau keterampilan). Tes lisan meliputi pengetahuan umum, pemahaman, ingatan, menari kesamaan, hitungan dan bahasa. Sedangkan tes keterampilan kegiatan seperti;menyusun gambar, melengkapi gambar, menyusun balok balok kecil, menyusun bentuk gambar dan sandi (kode angka angka).
2. Tes Progressive Matrices
Tes inteligensi ini diciptakan oleh L.S. Penrose dan J. C. Lave dari Inggris pada tahun 1938. dimana dengan tes ini dapat diberikan secara kelompok orang sekaligus untuk diukur atau diketahui tingkai inteligensinya.
3. Tes Army Alpha dan Beta
Tes inteligensi yang ini digunakan untuk mentes calon calon tentara di Amerika Serikat. Dimana tes army alpha khusus untuk calon tentara yang pandai membaca sedang army beta untuk calon yang tidak pandai membaca. Tes ini diciptakan awalnya untuk memenuhi keperluan yang mendesak dengan menseleksi calon tentara waktu perang dunia II.
4. Tes Binet-Simon
Tes inteligensi ini adalah tes psikologi yang pertama sekali diciptakan oleh Alfred Binet dan Theodore Simon pada tahun 1908 di Perancis. Awalnya tes ini dipersiapkan untuk mengukur tingkat kemampuan inteligensi anak anak, namun dalam perkembangannya mendapat sambutan yang baik, sehimngga disempurnakan menjadi lebih lengkap kemudian dapat digunakan untuk orang dewasa.
Beberapa ahli yang sempat merevisi dan menyempurnakan tes Binet-Simon ini adalah (a) Kuhman tahun 1912 dan 1922, (b) Lewis Terman dan Stanfor University tahun 1916, (c) Mordan tahun 1932, dan (d) David Merril tahun 1937. (Ahmad Mudzakir:1997,140).
Dalam pada itu suatu konsepsi yang orisinal, yang kemudian ternyata sangat berguna dan sangat baik diikuri orang lain ialah konsepsi tetang adanya umur yang dua macam yaitu: (a) Umur kalender atau umur kronologis (Cronological age yang biasa disingkat dengan CA), dan (b) Umur kecerdasan atau umur inteligensi (mental age, yang biasa disingkat dengan MA). (Sumadi Suryabrata:1989,154).
C. Multiple Intelligene Goelman mengemukakan, bahwa kehidupan mental manusia dibentuk dari dua pikiran yaitu
pikiran rasional dan pikiran emosional yang bekerja dalam keselarasan yang erat, dan saling melengkapi. (Goleman, 2001,11-12). Kecerdasan pikiran rasional diukur dengan IQ (intelligence Question). Test IQ digunakan sebagai dasar meramalkan kemampuan bidang karir akademik.
Selama ini IQ diyakini sebagai satu satunya faktor yang menentukan kesuksesan seseorang. Penyelidikan ilmiah pertama yang pernah dilakukan membandingkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) dengan cognitive inteligence (IQ), dilakukan dengan cara mengukur prestasi kerja menggunakan Baron Emotional Questient Inventory (EQ-i). Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa cognitive intelligence (IQ) mempengaruhi sekitar 1% performance kerja aktual. EI (emotional intelligence) mempengaruhi sebesar 27 % dan 72 % lainnya dipengaruhi oleh hal hal lain. (Multi-Health Systems Inc, 1998,2-3). Stein dan Book menyatakan bahwa IQ dapat digunakan untuk mempekirakan sekitar 1-20 % (rata-rata 6 %) keberhasilan dalam pekerjaan tertentu. EQ di sisi lain ternyata berperan sebesar 27-45 %, dan berperan langsung dalam keberhasilan pekerjaan tergantung pada jenis pekerjaan yang diteliti. (Stein dan Book, 2000,34).
Pandangan terhadap kegandaan (multiple) kecerdasan dipelopori oleh Gardner. Siapa sebenarnya Gadner itu? Dalam sebuah tulisan di Ensyclopedia Encarta disebutkan; American psychologist Howard Gardner originated the theory of multiple intelligences. Gardner’s theory sought to broaden the range of human abilities that should be considered aspects of intelligence.Woodfin Camp and Associates, Inc./Paula Lerner © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Gadner seorang tokoh muda dalam biang psikologi di Amerika telah memberikan banyak sumbangan terhadap psikologi khususnya tentang pengukuran psikologi anak. Hal ini tanpak sebagaimana ditulis oleh beberapa ahli tentang perkembangan pemikiran yang menyangkut tentang intelligence seperti kutipan berikut:
Gardner’s theory found rapid acceptance among educators because it suggests a wider goal than traditional education has adopted. Critics of the multiple intelligences theory have several objections. First, they argue that Gardner based his ideas more on reasoning and intuition than on empirical studies. They note that there are no tests available to identify or measure the specific intelligences and that the theory largely ignores decades of research that show a tendency for different abilities to correlate—evidence of a general intelligence factor. In addition, critics argue that some of the intelligences Gardner identified, such as musical intelligence and bodily-kinesthetic intelligence, should be regarded simply as talents because they are not
usually required to adapt to life demands. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved
Kutipan di atas, cukup memberikan informasi bahwa berbagai teori tentang pengukuran inteligensi selama ini banyak memiliki kelemahan disatu sisi, sementara anatomi manusia semakin kompleks. Dibutuhkan berbagai pendekatan untuk melihat dasar kemampuan, bakat dan kemauan serta stabilitas seseorang, untuk itulah Gadner mencoba memberikan tawaran bagaimana pengukuran kemampuan manusia secara lebih lengkap.
Gardner yang terkenal dengan multiple intelligence tidak memandang kecerdasan manusia sema berdasar secor tes standar, tetapi meliputi tujuh macam kecerdasan manusia yaitu: (1) Linguistik intelligence (kecerdasan lnguistik); (2) Logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika-matematika); (3) Spatial intelligence (kecerdasan spasial berpikir dalam tiga dimensi); (4) Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik-tubuh); (5) Musical intelligence (kecerdasan musik); (6) Interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal); dan (7) Intrapersonal intelligence (kecerdasan intrapersonal) (Campbell, Campbell dan Dickinson, 2002,2-3). Pemikiran Gardner tentang multiple intelligence mengenai kecerdasan inerpersonal di atas ditempatkan oleh Salovey dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional. (Goleman, 2001,57-59).
Ketujuh kecerdasan ini, kini banyak dikembangkan baik dalam pendidikan maupun pelatihan, serta pengembangan sumber daya manusia. Bagaimana sebenarnya pengembangan ketujuh kecerdasan terkait dengan pilihan profesi yang dapat diberikan pada kegiatan pembelajaran, hal ini dapat dilihat sebagaimana uraian tabel berikut dibawah ini.
Tabel Pengembangan Multiple Intelligence
No Kecerdasan Pengertian Aktualisasi
1 Linguistic intelligence (kecerdasan lingkuistik)
Kemampuan dalam bentuk berfikir tentang kata kata, menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks.
Novelis, pengarang, penyair, jurnalis, pembicara, penyiar berita
2 Logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika-matematika)
Kemampuan dalam menghitung, mengukur, mempertimbangkan proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan masalah operasi matematis.
Ilmuwan, ahli matematika, akuntan, insiyur, programing komputer
3 Spatial intelligence (kecerdasan spasial berpikir dalam tiga dimensi)
Kemampuan berpikir dalam tiga dimensi yakni; membayangkan keadaan internal dan eksternal, melukiskan kembali, merubah atau memodifikasi bayangan, mengemudiakan diri sendiri dan obyek melalui ruangan dan menghasilkan menguraikan informasi grafis
Pilot, pelaut, pemahat, pelukis dan arsitek
4 Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik-tubuh)
Adalah kemampuan menggerakan obyek dan keterampilan ketrampilan fisik yang halus.
Atlet, penari, ahli bedah dan seniman.
5 Musical intelligence (kecerdasan musik)
Adalah kemampuan dalam sensitivitas pada pola titinada, melodi, ritme dan nada.
Komposer, konduktor, musisi, kritikus, pembuat alat musik, dan pendengar musik
6 Interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal)
Adalah kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif
Guru, pekerja sosial, artis atau politisi yang sukses.
7 Intrapersonal intelligence (kecerdasan intrapersonal)
Adalah kemampuan untuk membua persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semaca itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang.
Agamawan, ahli psikologi dan ahli filsafat.
Diadaptasi dari Gardner 1983.
Namun demikian Lazear (1998) selangkah lebih maju dimana ia menemukan kecerdasan jamak dengan istilah “8 ways of knowing”. Kedelapan tersebut meliputi: (a) kecerdasan verbal/linguistik, (b) kecerdasan logika matematika, (c) kecerdasan intrapersonal, (d) kecerdasan interpersonal, (e), kecerdasan naturalis, (f) kecerdasan tubuh kinestetik, (g) kecerdasan musik irama, dan (h) kecerdasan visual spaial. Dengan demikian hampir tidak berhenti para ahli untuk meneliti dan mengembangkan kecerdasan manusia. Oleh sebab itu benar bila dikatakan bahwa multiple intelligence atau intelligensi jamak merupakan perkembangan mutakhir dalam bidang intelligensi menjelaskan hal hal yang berkaitan dengan jalur jalur yang digunakan oleh manusia untuk menjadi jerdas. (Jamaris,2002:74).
D. Penerapan Multiple Intelligence dalam PembelajaranMemperkenalkan multiple intelligence dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dalam
tiga bentuk utama yakni; orientasi kurikulum, metodologi pengembangan pembelajaran, dan evaluasi hasil pembelajaran.
1. Orientasi Kurikulum
Kompentensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep multiple intelligencei dalam kurikulum adalah sebagai berikut:
1) Multiple intelligence berkenaan dengan kemampuan peserta didik dalam melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
2) Multiple intelligence menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk menjadi standart kompentensi.
3) Multiple intelligence merupakan hasil belajar (leraning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran.
4) Kehandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
5) Penyusunan standart kompetensi, kompetensi dan hasil belajar hendaknya didasarkan pada kecerdasan jamak yang ditetapkan secara proporsional, tidak melulu hanya apsek kognitif atau spritual belaka tetapi seimbang dan tepat sasaran.
2. Pengembangan Metodologi Pembelajaran
1) Metode bercerita, adalah salah satu bentuk untuk mengembangkan intelligence lingusitic, dimana siswa diajak menyenangi dan mencintai bahasa, dimana siswa dapat menikmati suara dari kata kata, menghargai dan memakai kekuatan dengan penuh tanggungjawab.
2) Problem solving: Siswa dihadapkan pada masalah konkret. Misalnya adanya perkelahian antar pelajar, sering terlabat sekolah, prestasi kelas merosot, komunikasi dengan guru kurang lancar. Siswa diajak untuk memikirkan bersama, mendiskusikan bersama, dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Metode ini dapat mengasah kecerdasan interpersonal
3) Reflective thinking/critical thinking, siswa secara pribaddi atau berkelompok dihadapkan pada suatu artikel, peristiwa, kasus, gambar, foto, dan lain sebagainya. Siswa diajak untuk membuat catatan refleksi atau tanggapan bahan-bahan tersebut. Bahan-bahan bisa diplih sendiri oleh siswa. Cara ini dapat mengembangkan kecerdasan bodily kenisthetic, juga inteersonal intligence.
4) Group dynamic, siswa dibimbing untuk kerja kelompok secara kontinyu dalam mengerjakan suatu proyek tertentu. Metode ini dapat diterapkan untuk mengembangkan kecerdasan logical mathematical, dan kecerdasan interpersonal.
5) Community bulding, siswa satu kelas diajak untuk membangun komunitas atau masyarakat mini dengan aturan, tugas, hak, dan kewajiban yang mereka atur sendiri secara demokratis. Cara ini dapat dikembangkan untuk membangun kecerdasan intrapersonal.
6) Responsibility building, siswa diberi tugas yang konkret dan diminta membuat laporan pertanggungjawaban secara jujur. Cara ini juga dapat dikembangkan untuk membangun kecerdasan intapersonal.
7) Picnic, siswa merancang kegiatan santai di luar sekolah, tidak harus ke tempat jauh dan biaya mahal. Untuk menggali nilai-nilai social, spritual, keindahan, dsb. Ini adalah cara yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan spatial, dan kecerdasan musical.
8) Camping study, siswa di ajak melakukan kegiatan kamping dalam rangka belajar. Kegiatan ini juga tidak harus jauh, bisa di halaman sekolah. Seperti hal di atas, ini dapat diterapkan guru untuk membangun kecerdasan spatial, juga intrapersonal.
9) Kerja individu dan kelompok, proses pembelajaran pada intinya adalah pemberian layanan kepada setiap individu siswa agar mereka berkembang segara maksimal sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Pelayanan secara individual bukan berarti mengajari anak satu persatu secara bergantian, melainkan dengan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada setiap individu untuk memperoleh pengalaman belajar sebanyak-banyaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaktifkan siswa baik secara individu maupun beregu. Satu dari cara yang paling biasa untuk mendorong kerja-regu adalah meminta siswa-siswa untuk bekerja dalam suatu regu atau kelompok untuk mencari jawaban-jawaban pada pertanyaan-pertanyaan, untuk memecahkan suatu masalah, untuk melaksanakan suatu eksperimen atau meneliti suatu topik proyek. Namun, guru harus berhati-hati agar harapan akan kerjasama, toleransi, semangat regu dan pengertian tentang hakikat pekerjaan hendaklah realistis mengingat ketrampilan dan pengalaman siswa-siswa. Cara cara seperti di atas dapat dikembangkan oleh guru untuk membangun kecerdasan siswa dalam bidang interpersonal, juga kecerdasan bodlily kinesthetic.
10) Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental, banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEM’. Cara seperti ini dapat mengembangkan berbagai kecerdasan seperti kecerdasan lingustic, kecerdasan bodily kinethetic, dan bahkan kecerdasan interpersonal.
11) Pertanyaan efektif, jika siswa diminta untuk mengerti dan bukan sekedar mengingat informasi yang ditemukannya di dalam buku pelajaran, bahan rujukan, surat kabar dan sebagainya, maka mereka haruslah aktif mengumpulkan informasi. Pengajuan suatu pertanyaan menggunakan kata-kata dan ungkapan yang tidak mudah ditemukan di dalam teks atau naskah. Sehingga mendorong siswa berpikir dan berpendaat tidak hanya untuk menyalin jawaban. Ketrampilan ini sangat tepat bila digunakan guru untuk mengasah kecerdasan linguistic.
12) Membandingkan dan mensintesiskan informasi, Pemahaman informasi yang dikumpulkan dari sumberdaya dapat ditingkatkan jika siswa-siswa bekerja dalam kelompok dan setiap anggota kelompok diberi sumber data yang berbeda untuk digunakan dalam mencari jawaban atas pertanyaan yang sama. Dengan demikian, siswa-siswa harus membandingkan dan mendiskusikan jawaban-jawaban yang sudah mereka tuliskan, sehingga, sebagai hasilnya,
mereka akan mampu memberi satu jawaban yang memuaskan. Ini sering merupakan strategi yang efektif untuk dipakai oleh kelompok-kelompok pakar ketika pendekatan (jigsaw) terhadap proyek penelitian digunakan. Cara ini juga dapat dikembangkan untuk melatih anak dalam hal kecerdasan linguistic dan juga kecerdasan logical mathematical.
13) Mengamati (mengawasi) aktif, Sering siswa-siswa tidak berpikir dan belajar aktif pada waktu menonton video. Beberapa orang guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa-siswa untuk dijawab pada waktu mereka menonton video. Biasanya pertanyaan-pertanyaan itu disajikan dengan susunan dimana jawaban-jawaban akan muncul didalam video dan ungkapan-ungkapan kunci didalam pertanyaan-pertanyaan juga terjadi didalam video, sehingga menunjuk pada jawaban. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mudah dijawab dan jarang menuntut keterlibatan aktif. Cara ini dapat digunakan guru untuk melatih anak mengemangkan kecerdasan linguistic, kecerdasan musical.
14) Peta akibat, metode ini dapat digunakan sebelum atau sesudah siswa-siswa mempelajari sesuatu topik. Hal itu dapat digunakan untuk menemukan seberapa tuntas siswa-siswa dalam memikirkan sesuatu isu atau peristiwa, atau dapat digunakan untuk menemukan apakah mereka sudah mampu menerapkan informasi yang sudah dipelajarinya dalam menganalisis situasi baru. Siswa-siswa diminta untuk mempertimbangkan semua hasil atau akibat yang mungkin dari suatu tindakan atau perubahan dan kemudian hasil-hasil dan akibat-akibat sesudah itu. Mereka juga didorong untuk berpikir tentang akibat-akibat positif dan negatif. Cara ini juga dapat digunakan guru untuk melatih anak anak dalam mengembangkan kecerdasan linguistic.
15) Keuntungan dan kerugian, suatu tugas analisis yang kurang rumit dapat melibatkan siswa-siswa untuk memeriksa informasi yang mereka temukan tentang keputusan, sikap atau tindakan yang kotroversial (menjadi sengketa). Siswa-siswa bekerja sebagai satu kelas keseluruhan atau dalam kelompok-kelompok untuk menggolong-golongkan informasi yang mereka kumpulkan apakah untung atau rugi bagi mereka sendiri, keluarganya, desa atau masyarakat umumnya. Sesudah klasifikasi atas keuntungan dan kerugian sudah dirampungkan, siswa-siswa dapat diminta untuk memutuskan. Ini adalah salah satu cara guru untuk mengembangkan kecerdasan logical mathematical.
16) Permainan peranan/ konferensi meja bundar, strategi-strategi ini meliputi permainan peranan atau advokasi untuk kepentingan kelompok komunitas tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk membantu siswa-siswa mengenali bahwa biasanya terdapat suatu rentang sudut pandang mengenai sesuatu isu dan suatu rentang cara menafsirkan informasi tentang isu itu. Pandangan-pandangan ini biasanya ditentukan oleh pengalaman, harapan dan cita-cita, nilai pendidikan, gaya hidup dan peranan di dalam masyarakat dari orang yang mengungkapkan pandangan itu. Guru bertindak sebagai fasilitator (pemberi kemudahan), memastikan bahwa semua siswa diperkenankan mengemukakan pandangan sesuai peranan yang diterimanya, bahwa setiap diskusi berlangsung tertib dan mendorong peran serta yang jika perlu dengan mengajukan pertanyaan.Pada akhir konperensi meja bundar, siswa-siswa hendaklah didorong untuk memperhatikan semua sudut pandang dan tiba pada suatu keputusan pribadi tentang isu itu. Metode ini dapat dikembangkan untuk untuk meransang anak agar terlahit kecerdasan interpersonalnya dengan baik.
3. Pengembangan Evaluasi Hasil Pembelajaran
1) Evaluasi dikembangkan dengan prinsip untuk memberikan informasi kemajuan belajar siswa dalam berbagai bidang intelligensi (kecerdasan jamak). Hal ini sudah harus tergambar sejak dalam perencanaan pembelajaran pengembangan kegiatan pembelajaran.
2) Bentuk evaluasi harus dikembangkan dengan berbagai macam yang dapat mengakomodir kecerdasan yang sangat kompleks, baik itu kecerdasan dalam lingusiti, logical mathematical, interpersonal dan lain sebagainya. bentuk tes soal ujian harus diiringi dengan tugas, jadi nilai praktek dan nilai sehari hari sangat besar perannya dalam penentuan keberhasilan belajar.
3) Proses penilaian benar benar berbasis kelas dan berangkat dari potensi apa yang dimiliki anak, kemudian kecerdasan apa yang tepat untuk dikembangkan pada dirinya. Artinya kompetensi yang ditetapkan oleh guru dalam tujuan pembelajaran juga harus diiringi dengan pertimbangangan lain dimana masing masing anak memiliki keunikan yang khas, sehingga pengukuran kecerdasannyapun membutuhkan ciri khas.
E. Penutup
Multiple intelligence kini telah banyak dikembangkan dari sejak kajian teoretis sampai pada berbagai praktek kegiatan pendidikan dan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Kajian kajian tentang pengembangan kemampuan anak berdasarkan multiple intelligence ini diharapkan memberikan satu nuansa baru bagaimana sebenarnya hakikat manusia dari sisi potensi, bakat dan kemampuannya dapat dikembangkan secara optimal. Tentu kajian ini tidak berhenti sampai di sini saja. Lebih dari itu, masih terlalu dini untuk mengungkapkan bahwa multiple intelligence adalah yang terbaik dalam pengembangan kepribadian seorang anak.
Namun yang pasti memberi kesempatan bagi guru dan peserta didik sejak awal, khususnya tentang multiple intelligence kiranya dapat memberikan satu motivasi yang kuat, bahwa kegiatan pendidikan dan pembelajaran perlu dikaji lebih jauh. Tulisan ini diharapkan menjadi nilai nilai inspirasi bagi upaya peningaktan kemauan dan kemampuan dalam memahami multile intelligence tersebut.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijinkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika
Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini. Salam saya Ibrahim Lubis. email :[email protected]
Kepada Teman-Teman semua sebelumya saya mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan baik dari penulisan maupun isi dari Judul MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS ini, Saya secara pribadi hanya berniat untuk memberikan pengetahuan yang bermanfaat dan tidak ada unsur untuk memojokkan, menghina atau yang lain. jika terdapat Unsur yang tidak pantas ditampilkan atau menyinggung sesuatu yang tidak pantas, mohon saya diingatkan agar saya bisa memperbaikinya. Sekali lagi saya mohon maaf dan niat saya hanya untuk kebaikan. Teman-teman Telah Membaca MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS. Semoga dengan membaca MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS Memberikan Manfaat dan Berikan Komentar untuk saran dan kritik melalui email saya di [email protected]
Model Pembelajaran Afektif (Sikap) Posted on 8 Mei 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan
perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat
penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan.
Meski demikian, pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan dikembangkan di luar kurikulum
formal sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah model pelatihan kepemimpinan ESQ ala Ari
Ginanjar.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif
sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-
hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari
mengajar segi kognitif dan keterampilan. Ada beberapa model pemebelajaran afektif. Merujuk pada
pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (2005) akan dikemukakan beberapa model pembelajaran afektif
yang populer dan banyak digunakan.
1. Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk
mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) siswa didorong
untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan
hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung
konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi
berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responsnya
masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain, (5) mengajak siswa melihat konsekuesi dari
tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.
2. Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-
nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat
multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building
model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional: (1) menigidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atu
penyimpangan tindakan, (2) menghimpun informasi tambahan, (3) menganalisis situasi dengan
berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, (4) mencari
alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya, (5) mengambil keputusan dengan berpegang
pada prinsip atau ketentuen-ketentuan legal dalam masyarakat.
3. Klarifikasi nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai
(value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau
proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan menilai dalam bidang
kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang
mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses
menilai.
Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai: (1) pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan
tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-
akibatnya, (2) mengharagai pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas
pilihannya, (3) berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya
pada hal lainnya.
4. Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang
yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini
bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai moral secara
kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif: (1) menghadapkan siswa pada suatu situasi yang
mengandung dilema moral atau pertentangan nilai, (2) siswa diminta memilih salah satu tindakan yang
mengandung nilai moral tertentu, (3) siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan
kejelekannya, (4) siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik, (5) siswa
menerapkan tindakan dalam segi lain.
5. Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang
utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan
kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa.
Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif: (1) menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi
bebas, (2) pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang
dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi, (3) pengembangan pemahaman ( insight), siswa
mendiskusikan masalah, guru memberrikan dorongan, (4) perencanaan dan penentuan keputusan,
siswa merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi, (5) integrasi, siswa
memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif.
Strategi Pembelajaran
– Secara umum strategi dapat diartikan sebagai suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi juga bisa diartikn sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.
Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Sanjaya, 2007 : 126).
Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dari pendapat tersebut, Dick and Carey (1985) juga menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa (Sanjaya, 2007 : 126).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan suatu rencana tindakan (rangkaian kegiatan) yang termasuk juga penggunaan metide dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti bahwa di dalam penyusunan suatu strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tindakan. Strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu, artinya disini bahwa arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan, sehingga penyusunan langkah-langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian tujuan. Namun sebelumnya perlu dirumuskan suatu tujuan yang jelas yang dapat diukur keberhasilannya.
Menurut Djamarah (2002 : 5-6) ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.Memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.
Dari batasan di atas, dapat digambarkan bahwa ada empat pokok masalah yang sangat penting yang dapat dan harus dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar agar dapat berhasil sesuai dengang yang diharapkan.
Pertama, dapat dilihat bahwa apa yang dijadikan sebagai sasaran dari kegiatan belajar mengajar. Sasaran yang dituju harus jelas dan terarah, oleh karena itu maka tujuan dari pengajaran yang dirumuskan harus jelas dan konkret, sehingga mudah dipahami oleh anak didik.
Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai sasaran. Dan disini dapat dilihat bahwa bagaimana cara seorang guru memandang suatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa yang harus digunakan oleh seorang guru dalam memecahkan masalah suatu kasus, akan mempengaruhi hasilnya.
Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif. Metode dan teknik penyajian untuk memotivasi anak didik agar mampu menerapkan pengetahuan dan pengalaman untuk memecahkan masalah.
Keempat, menerapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan tugas-tugas yang telah dilakukannya. Sehingga suatu program baru bisa diketahui keberhasilannya setelah dilakukan evaluasi. Sistem penilaian dalam kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu strategi yang tidak bisa dipisahkan dengan strategi dasar yang lain.
Menurut Sanjaya (2007 : 177 – 286) ada beberapa strategi pembelajaran yang harus dilakukan oleh seorang guru:
a. Strategi pembelajaran ekspositori
b. Strategi pembelajaran inquiry
c. Strategi pembelajaran berbasis masalahd. Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir
Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir merupakan strategi pembelajaran yang menekankan kepada kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran ini materi pelajaran tidak disajikan begitu saja kepada siswa, akan tetapi siswa dibimbing untuk proses menemukan sendiri konsep yang harus dikuasai melalui proses dialogis yang terus menerus dengan memanfaatkan pengalaman siswa.
Model strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir adalah model pembelajaran yang bertumpu kepada pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui telaahan fakta-fakta atau pengalaman anak sebagai bahan untuk memecahkan masalah yang diajarkan.
Dari pengertian di atas terdapat beberapa hal yang terkandung di dalam strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir. Pertama, strategi pembelajaran ini adalah model pembelajaran yang bertumpu pada pengembangan kemampuan berpikir, artinya tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran adalah bukan sekedar siswa dapat menguasai sejumlah materi pelajaran, akan tetapi bagaimana siswa dapat mengembangkan gagasan-gagasan dan ide-ide melalui kemampuan berbahasa secara verbal.
Kedua, telaahan fakta-fakta sosial atau pengalaman sosial merupakan dasar pengembangan kemampuan berpikir, artinya pengembangan gagasan dan ide-ide didasarkan kepada pengalaman sosial anak dalam kehidupan sehari-hari dan berdasarkan kemampuan anak untuk mendeskripsikan hasil pengamatan mereka terhadap berbagai fakta dan data yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, sasaran akhir strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir adalah kemampuan anak untuk memecahkan masalah-masalah sosial sesuai dengan taraf perkembangan anak.
e. Strategi pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam strategi pembelajaran kooperatif yaitu: (a) adanya peserta dalam kelompok, (b) adanya aturan kelompok, (c) adanya upaya belajar setiap kelompok, dan (d) adanya tujuan yang harus dicapai dalam kelompok belajar..
Strategi pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen), sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok tersebut menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan.
f. Strategi pembelajaran kontekstual CTL
g. Strategi pembelajaran afektif
Strategi pembelajaran afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh sebab itu menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Dalam batas tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggung jawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Apabila menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan keluarga.
Strategi pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis. Melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik.
Semoga artikel Contoh Makalah Strategi Belajar Mengajar, Makalah Strategi pembelajaran
MAKALAH STRATEGI BELAJAR MENGAJAR , makalah strategi pembelajaran , contoh karya ilmiah bahasa inggris , karya ilmiah bahasa inggris , contoh makalah strategi belajar mengajar , makalah strategi pembelajaran ekspositori , contoh karya ilmiah pendidikan bahasa inggris , contoh makalah pendidikan bahasa inggris , mendeskripsikan guru , contoh strategi
Tags: belajar dan mengajar, belajar mengajar, belajar pembelajaran, contoh karya ilmiah pendidikan bahasa inggris, contoh laporan tentang kegiatan belajar, contoh makalah belajar mengajar, contoh makalah strategi belajar mengajar, contoh makalah strategi pembelajaran, makalah belajar mengajar, makalah metode mengajar, makalah pembelajaran, makalah strategi belajar mengajar, Makalah Strategi pembelajaran, pembelajaran, proses belajar mengajar, strategi belajar, strategi belajar mengajar —